You are on page 1of 2

99 Cahaya Di Langit Eropa Pertama kali melihat sampul buku ini, sejujurnya yang ada dalam benak saya

adalah novel Negeri 5 Menara karangan A. Fuadi. Buku yang lumayan tebal dengan warna sampul biru muda ini memang menyertakan gambar beberapa menaret masjid dan istana pada masa kejayaan Islam di Eropa. But dont jugde the book by the cover sebelum membaca buku tersebut. Memang pada awalnya saya merasa datar-datar saja pada halaman-halaman awal. Merasa biasa-biasa saja ketika memasuki bab-bab awal. Tapi disitulah saya merasakan kelebihan buku ini. Hanum Rais benar-benar menuliskannya apa adanya, sehingga memberikan gerbang yang luas bagi imajinasi ini untuk mempresentasikan setiap kalimat yang ditulis oleh mbak Hanum. Tidak seperti penulis lainnya yang begitu memaksakan interpretasi pembacanya dengan menyajikan kata-kata yang terlalu jauh dari kenyataan. Tulisan mbak Hanum bagi saya sangat objektif. Buku ini mengisahkan tentang pengalaman mbak Hanum ketika mengikuti suaminya mas Rangga yang sedang mengikuti program doctoral di Wina Ausria. Sebagai seorang yang merantau di negeri nun jauh di sana, otomatis beliau menjadi golongan minoritas. Jika di Indonesia banyak orang yang mengenal beliau karena beliau adalah putri dari kokoh nasional RI dan juga jurnalis terkenal. Tapi di negeri orang, siapa yang kenal? Banyak buku yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi seseorang. Katakanlah Andrea Hirata dengan Tetralogi Laskar Pelanginya, atau A Fuadi dengan Trilogi Negeri 5 Menaranya. Tapi kedua buku tersebut masih teracuni dengan bumbu-bumbu fiksi yang memaksa pembaca untuk berimajinasi membayangkan hal-hal yang aneh. Katakanlah saya harus membayangkan Tuk Bayan Tula atau membayangkan seperti apakah seorang Mak Cik Maryamah yang pandai bermain catur dengan teknik Karpov . Dalam buku ini mbak Hanum benar-benar membebaskan saya pada imajinasi saya sesuka hati saya. Banyak bagian indah dalam buku ini. Namun keindahan tersebut benar-benar ditulis objektif. Membaca buku ini, seakan-akan kita berhadapan dengan seorang perempuan yang bercerita dengan tenang. Penekanan emosi memang terkesan minim dalam buku ini. Mungkin karena saya memang bukan orang yang gampang tersentuh oleh hal-hal yang tidak saya lihat dengan mata kepala saya sendiri atau memang saya kurang peka. Bagian-bagian di mana Fatma (teman baik mbak Hanum) diceritakan menangis sedih menyesali Kakek buyutnya yang seorang panglima perang di Turky, sama sekali tidak menyentuh hati saya. Justru pada detik-detik akhir ketika mbak Hanum berhasil mencapai titik nol yaitu kabahlah saya mulai merasakan getaran. Entah karena getaran itu dibangun oleh kedekatan spiritual, atau kalimat-kalimat mbak Hanum yang benar-benar menyatakan bagaimana penghambaan sempurna seorang muslim terhadap Tuhannya. Membaca ini butuh ketelatenan, utamanya bagi pembaca yang tidak menyukai sejarah. Karena dalam halaman demi halaman tidak dicantumkan catatan kaki. Namun jangan khawatir, karena glosarrium yang menyertakan informasi singkat tersedia di bagian belakang dari buku tersebut. Mungkin penulis bermaksud untuk mebuat pembaca fokus terhadap apa yang beliau ceritakan. Sayangnya buku ini hanya menyertakan sedikit gambar. Membuat para pembaca yang tidak sabaran akan menaruh buku tersebut sesaat untuk searching internet mencari mencari gambar dan info tentang objek yang diceritakan oleh buku ini. Disamping kelemahan buku tersebut, bisa saya katakan buku ini Bagus dan patut direkomendasikan. Utamanya bagi para kaum muda muslim dan para petualang. Buku ini benar-benar

menjalari ktia semangat untuk menjelajahi jengkal demi jengkal bumi Allah yang luas ini. Keutamaan dalam buku ini adalah, banyak nilai-nilai kebijaksanaan yang bisa diambil dalam setiap pengalaman yang penulis alami. Buku ini sagat cocok bagi para aktivis dakwah yang mulai jenuh dengan bacaan yang hanya berisi tuntutan dakwah yang dibuat berat. Buku ini memberikan solusi bahwa dakwah itu tidak berat. Islam itu indah, Islam itu damai. Islam bukanlah sebuah agama yang selalu menuntut umatnya untuk menjadi fundamental dan radikal. Tapi Islam mengajarkan pada kemajuan dan kasih sayang yang tulus. Semua nilai yang terkandung di dalamnya dituliskan ringan dan berbobot, tidak berlebihan sebagaimana karangan para penulis yang jebolan aktivis dakwah. Buku ini mengajarkan pada kita bahwa banyak jalan menuju syurga. Bahwa banyak cara untuk menjadi muslim yang sesungguhnya. Buku ini benar-benar memberi teguran yang dalam bahwa kita selama ini hanya berbicara belaka bahwa kita adalah seorang agen muslim namun secara aksi kita nihil. Sepertinya kita harus belajar dari seorang Fatma dan pribadi-pribadi yang tersebut dalam buku itu. Bagaimana menjadi seorang muslim yang sesungguhnya, bagaimana menjadi orang yang menyenangkan dan rahmatan lil alamiin. Pastinya buku ini juga menampilkan beberapa rekaman sejarah yang membuat kita bangga menjadi seorang muslim dan menyesali betapa pengaruh nafsu dan ambisi telah memporak-porandakan sebuah peradaban yang bercahaya. Sayang untuk takaran harga, buku ini termasuk mahal dikantong siswa dan mahasiswa, namun jika dibandingkan dengan besar font yang digunakan, dan konten buku yang sangat menarik untuk dilewatkan, besar nominal seakan bukan menjadi hal yang membuat kita urung membeli buku tersebut. Pastinya dari buku ini kita bisa belajar bahwa ilmu itu tidaklah dilihat dari siapa yang mengatakannya, tetapi apa yang disampaikannya. Mutiara akan tetap menjadi mutiara sekalipun yang memegangnya adalah seorang perompak. Seperti kata Fatma yang sangat berkesan bagi saya Menjadi Agen Muslim yang Baik

You might also like