You are on page 1of 20

DINASTI SANJAYA

Anggota : 1. Eric Hansel 2. Jeremia A.Y.S. 3. Stefanus Yodhy E.T.

Asal Usul Dinasti Sanjaya


Wangsa Sanjaya adalah wangsa atau dinasti yang sebagian besar rajanya menganut agama Hindu, yang dikenal sebagai pendiri Kerajaan Mataram Kuno. Wangsa ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Istilah Wangsa Sanjaya diperkenalkan oleh sejarawan bernama Dr. Bosch dalam karangannya yang berjudul Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952). Ia menyebutkan bahwa, di Kerajaan Mataram Kuno terdapat dua dinasti yang berkuasa, yaitu dinasti Sanjaya dan Sailendra.

Menurut Prasasti Canggal, wangsa ini didirikan pada tahun 732 M oleh Sanjaya. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Mataram Kuno, yaitu Sanjaya yang memerintah sekitar tahun 732. Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M) diketahui Sanjaya adalah penerus raja Jawa Sanna, menganut agama Hindu aliran Siwa.

LOKASI DINASTI SANJAYA


Dinasti Sanjaya terletak di Jawa Tengah, sebelum akhirnya dipindahkan ke Jawa Timur oleh raja Mataram Kuno terakhir, yaitu Mpu Sindok. Kekuasaan Dinasti Sanjaya

Raja-Raja Dinasti Sanjaya


Raja pertama dari Kerajaan Mataram Kuno adalah Raja Sanna. Kemudian, Raja Sanna digantikan oleh keponakannya yaitu Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Raja Sanjaya lah yang membentuk dinasti Sanjaya. Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 M. Kedudukan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat kerajaan Mataram Kuno. Raja Sanjaya mengundang pendeta-pendeta Hindu beraliran Siwa. Karena undangan Raja Sanjaya tersebut, maka Dinasti Sanjaya bernuansa agama Hindu Siwa. Raja Sanjaya meninggal kira-kira pada pertengahan abad ke 8 M. Sebelum meninggal, Raja Sanjaya mendirikan candi-candi untuk pemujuaan dewa-dewa. Salah satu candinya adalah candi Canggal.

Setelah Raja Sanjaya meninggal, ia digantikan oleh putranya yaitu Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran mendirikan banyak candi-candi. Beberapa diantaranya adalah Candi Sewu, Candi Plaosan, dan Candi Kalasan. Dari candicandi tersebut, bisa diketahui bahwa Rakai Panangkaran beragama Buddha. Rakai Panangkaran digantikan berturut-turut oleh Rakai Warak dan Rakai Garung.

Raja selanjutnya adalah Rakai Pikatan. Rakai Pikatan bergelar Sri Maharaja Rakai Pikatan. Rakai Pikatan mempunyai cita-cita untuk menguasai pulau Jawa. Untuk mewujudkan cita-citanya ini, Rakai Pikatan berusaha untuk menyatukan Dinasti Sanjaya dengan Dinasti Syailendra. Untuk itu, Rakai Pikatan meminang putri kerajaan Syailendra yang bernama Pramodhawardani, yaitu putri kerajaan Syailendra. Tetapi, kekuasaan dinasti Syailendra yang tadinya berada pada Pramodhawardani, jatuh ke tangan Balaputradewa. Balaputradewa tidak setuju untuk menyerahkan dinasti Syailendra pada Rakai Pikatan, sehingga terjadilah perang antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa, dimana Balaputradewa kalah dan lari dari Jawa, kemudian ia lari ke kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Raja berikutnya adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi. Dalam menyatukan pemerintahannya, Rakai Kayuwangi dibantu oleh suatu dewan penasehat merangkap staf pelaksana, yang terdiri dari 5 patih dan diketuai oleh seorang mahapatih. Rakai Kayuwangi berusaha keras memajukan pertanian dan keagamaan. Hal ini dibuktikan oleh prasasti yang ditemukan di daerah Dieng dan daerah Plaosan.

Kemudian, Rakai Kayuwangi digantikan oleh Rakai Watuhumalang. Pada masa pemerintahan raja ini, masalah keagamaan lebih mendapat perhatian dibandingkan masalah pemerintahan. Raja berikutnya adalah Dyah Balitung, yang bergelar Sri Maharaja Watakura Diah Balitung. Raja ini adalah seorang raja yang besar dan cakap. Ia berhasil menghadapi dan mengatasi masalah yang dihadapi Kerajaan Mataram dan mepersatukan kembali kerajaankerajaan yang hampir terpecah belah akibat pertentangan antarkaum bangsawan. Kesejahteraan rakyat meningkat dan keamanan terjamin, bahkan daerah kekuasaannya meluas hingga Jawa Timur. Diah Balitung memerintah Mataram sampai tahun 910 M. Masa pemerintahannya banyak meninggalkan prasasti. Prasasti terpenting adalah Prasasti Mantyasih (Kedu) yang berisi tentang silsilah raja-raja Mataram dan Raja Sanjaya sampai dengan Raja Diah Balitung. Pada masa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah susunan hierarki. Bawahan raja terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan i Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya, Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan. Struktur ini juga digunakan oleh kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti kerajaan Singasari dan Majapahit.

Setelah Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan riga raja seblum akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa. Raja berikutnya dari Dinasti Sanjaya adalah Sri Maharaja Rakai Wawa. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Mataram Kuno dilanda kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara itu, kekuatan ekonomi dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak kedudukan Mataram di Jawa. Pada masa itu, wilayah kerajaan juga dilanda oleh bencana letusan Gunung Merapi. Seluruh masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh Rakai Wawa. Ia wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian digantikian oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan i Hino Mpu Sindok yang menggantikan kedudukan dari Rakai Wawa, kemudian memindahkan kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur, dan disana ia mendirikan kerajaaan Medang Kemulan.

Ekonomi dan Sosial


Dari berita Cina diketahui bahwa di ibukota kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana, berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luar istana (masih di dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman para pejabat tinggi kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di mana para hamba dan budak yang dipekerjakan di istana juga tinggal sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar. Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris karena pusat Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di samping itu, penduduk di desa (disebut wanua) memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, dan itik. Sebagai tenaga kerja, mereka juga berdagang dan menjadi pengrajin. Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa sebelahutara. Pada hari pasaran ini, desa-desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desa-desa lain. Mereka datang dengan berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa barang dagangannya seperti beras, buah-buahan, dan ternak untuk dibarter dengan kebutuhan yang lain. Selain pertanian, industri rumah tangga juga sudah berkembang. Beberapa hasil industri ini antara lain anyaman seperti keranjang, perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula kelapa, arang, dan kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat diperoleh di pasar-pasar tadi.Sementara itu, bila seseorang berjasa (biasanya pejabat militer atau kerabat istana) kepada Kerajaan, maka orang bersangkutan akan diberi hak memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang kemudian dibuka menjadi pemukiman baru. Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi penguasa tempat yang baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu (kepala desa), senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan kepada kaum brahmana atau rahib untuk dijadikan asrama sebagai tempat tinggal mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi atau wihara.

You might also like