You are on page 1of 7

untuk apotik kalau pasien rawat jalan dikenakan PPN 10 % yang merupakan pajak keluaran sedang untuk pajak

masukkan dapat dikreditkan semuanya. sedang untuk rawat inap kalau obat yang dibeli sudah masuk dalam biaya pengobatan yang berarti semua biaya dijadikan satu saat penagihan maka pengambilan obat dari apotik yang ada diklinik tidak terutang PPN. tetapi kalau penebusan obat melalui resep yang langsung dibayar oleh pasien maka terutang ppn 10%. 2 Maret 2000 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 06/PJ.52/2000 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENGGANTIAN OBAT DI RUMAH SAKIT DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan perihal pengenaan PPN atas penyerahan obat pada unit instalasi farmasi/apotik di rumah sakit, dengan ini disampaikan penegasan kembali sebagai berikut : 1. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-21/PJ.52/1998 tanggal 8 September 1998 telah ditegaskan bahwa instalasi farmasi (kamar obat) merupakan suatu tempat untuk mengadakan dan menyimpan obat-obatan, gas medik alat-alat kesehatan serta bahan kimia yang bukan berdiri sendiri tetapi merupakan satuan organik yang tidak terpisahkan dari keseluruhan organisasi Rumah Sakit. Selanjutnya ditegaskan bahwa penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh instalasi farmasi (kamar obat) tidak terutang PPN. 2. Dalam kenyataannya instalasi farmasi melayani Rumah Sakit yang terdiri dari pasien rawat inap, pasien rawat jalan, dan pasien gawat darurat. Mengingat instalasi farmasi melakukan pelayanan kepada pasien rawat jalan sebagaimana lazimnya sebuah apotik, maka atas penyerahan obat-obatan oleh instalasi farmasi kepada pasien rawat jalan tetap terutang PPN. 3. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994, pedagang eceran adalah pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha perdagangan dengan cara : 1. tidak bertindak sebagai penyalur kepada pedagang lainnya; 2. menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios atau dengan cara penjualan langsung kepada konsumen akhir atau dari rumah ke rumah; 3. menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut; 4. melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis, penawaran, kontrak atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut langsung membawa sendiri Barang Kena Pajak yang dibelinya.

4. Dengan demikian apabila apotik atau instalasi farmasi di rumah sakit yang bertindak sebagaimana lazimnya apotik melakukan penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat jalan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam butir 3, maka Rumah Sakit yang mempunyai instalasi farmasi/apotik tersebut adalah merupakan Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran. Selanjutnya Pajak Pertambahan Nilai harus dibayar atas penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat jalan oleh instalasi farmasi/apotik adalah sebesar 2% dari jumlah seluruh penyerahan barang dagangan. 5. Surat Edaran ini berlaku mulai tanggal 1 April 2000. Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor : SE21/PJ.52/1998 tanggal 8 September 1998 dinyatakan tidak berlaku lagi. 6. Untuk memudahkan penggunaan Surat Edaran ini, dianjurkan agar pengarsipannya disatukan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-11/PJ.52/1998 tanggal 27 Mei 1998 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-17/PJ.52/1998 tanggal 28 Juli 1998. Demikian untuk mendapat perhatian Saudara guna disebarluaskan pada wilayah kerja Saudara masingmasing.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK ttd MACHFUD SIDIK 27 Mei 1998 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 11/PJ.52/1998 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENGGANTIAN BIAYA OBAT DI RUMAH SAKIT DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan masih banyaknya pertanyaan dari Kantor Pelayanan Pajak mengenai pengenaan PPN atas penyerahan obat pada unit apotik di rumah sakit, maka bersama ini diberikan penegasan kembali sebagai berikut : 1. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah jis. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun

1994, obat-obatan tidak termasuk barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2. Selanjutnya berdasarkan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 jenis jasa yang tidak dikenakan PPN adalah : 1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi; 2. jasa dokter hewan; 3. jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, fisioterapi, dan sejenisnya; 4. jasa kebidanan, dukun bayi dan sejenisnya; 5. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, sanatorium, dan sejenisnya. 3. berdasarkan ketentuan tersebut pada butir 1 dan 2 di atas, dengan ini ditegaskan kembali bahwa: 1. Atas jasa-jasa perawatan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit kepada pasien, tidak terutang PPN. 2. Atas pemakaian obat-obatan baik yang diperoleh dari apotik rumah sakit itu sendiri, maupun yang diperoleh dari apotik di luar rumah sakit, terutang PPN, sehingga pihak rumah sakit harus memungut PPN sebesar 10% dari jumlah tagihan pemakaian obat-obatan tersebut. 4. Untuk itu agar Saudara segera melakukan inventarisasi dan melakukan tindakan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak terhadap rumah sakit-rumah sakit yang belum ditunjuk sebagai PKP di wilayah kerja Saudara. Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK ttd A. ANSHARI RITONGA SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 17/PJ.52/1998 TENTANG PENYEMPURNAAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : SE-11/PJ.52/1998 TANGGAL 27 MEI 1998 PERIHAL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENGGANTIAN BIAYA OBAT DI RUMAH SAKIT DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan masih banyaknya pertanyaan berkenaan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal

Pajak Nomor : SE-11/PJ.52/1998 tanggal 27 Mei 1998 perihal Pajak Pertambahan Nilai atas Penggantian Biaya Obat di Rumah Sakit, dengan ini kami sampaikan penyempurnaan sebagai berikut : Butir 3 huruf b semula tertulis: Atas pemakaian obat-obatan baik yang diperoleh dari apotik rumah sakit itu sendiri, maupun yang diperoleh dari apotik diluar rumah sakit, terutang PPN, sehingga pihak rumah sakit harus memungut PPN sebesar 10% dari jumlah tagihan pemakaian obat-obatan tersebut. Disempurnakan menjadi : Atas penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh apotik di rumah sakit terutang PPN sebesar 10%. Apabila apotik di rumah sakit merupakan satu kesatuan dengan rumah sakit itu sendiri, maka yang ditunjuk sebagai PKP adalah rumah sakit yang bersangkutan dan penyerahan yang terutang PPN adalah penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh apotik tersebut. Untuk memudahkan penggunaan Surat Edaran ini, dianjurkan agar pengarsipan Surat Edaran ini disatukan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-11/PJ.52/1998 tanggal 27 Mei 1998. Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK DIREKTUR PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK TIDAK LANGSUNG LAINNYA, ttd A. SJARIFUDDIN ALSAH SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 06/PJ.52/1995 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEDAGANG ECERAN (SERI PPN 5 - 95) DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Sehubungan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 642/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 648/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994, dengan ini diberikan petunjuk pengenaan PPN atas Pedagang Eceran sebagai berikut : 1. Pengertian Pedagang Eceran dan penghitungan PPN yang harus disetor. 1.1. Berdasarkan Pasal 1 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994, yang dimaksud dengan Pedagang Eceran adalah Pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut : 1. tidak bertindak sebagai penyalur kepada Pedagang lainnya 2. menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir atau dari rumah ke rumah; 3. menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan ditempat penjualan secara eceran tersebut; 4. melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan, kontrak atau lelang, dan pada umumnya bersifat tunai serta pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut langsung membawa sendiri Barang Kena Pajak yang dibelinya. 1.2. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) huruf a Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 648/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994, Pengusaha yang selama satu tahun buku hanya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan nilai tidak lebih dari Rp. 240.000.000,- (dua ratus empat puluh juta rupiah) adalah Pengusaha Kecil. Demikian pula, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) huruf a Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 648/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994, Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan campuran antara Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dengan nilai tidak lebih dari Rp. 240.000.000,- (dua ratus empat puluh juta rupiah), dan lebih dari 50% dari nilai penyerahan tersebut berasal dari penyerahan Barang Kena Pajak, adalah Pengusaha Kecil juga. 1.3. Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dengan demikian adalah Pengusaha yang memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. melakukan kegiatan yang memenuhi kriteria pada butir 1.1, dan 2. berdasarkan data tahun buku sebelumnya, atau dihitung sejak awal tahun buku berjalan sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku yang sama, melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan nilai lebih dari Rp 240.000.000,-(dua ratus empat puluh juta rupiah), atau, dalam hal penyerahan yang dilakukan oleh Pengusaha tersebut adalah penyerahan campuran antara Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, maka harus memenuhi 2 (dua) persyaratan sekaligus, yaitu pertama, nilai penyerahan campuran melebihi Rp 240.000.000,- dan kedua, lebih dari 50% dari nilai penyerahan tersebut berasal dari penyerahan Barang Kena Pajak. Perlu ditegaskan bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan campuran dan menjadi PKP karena lebih dari 50% dari seluruh nilai penyerahannya berasal dari penyerahan Jasa Kena Pajak, bukanlah Pedagang Eceran dalam pengertian Surat Edaran ini. 1.4. PPN yang harus dibayar ke Kas Negara oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dari seluruh nilai penyerahan barang dagangan, dan jumlah tersebut merupakan hasil penghitungan antara Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan, sehingga Pajak Masukan yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya tidak dapat dikreditkan lagi, kecuali bila Pedagang

Eceran tersebut memilih menghitung PPN yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan umum penghitungan PPN. Pengertian penyerahan barang dagangan dimaksudkan meliputi penyerahan Barang Kena Pajak, bukan Barang Kena Pajak, Jasa Kena Pajak dan bukan Jasa Kena Pajak.[b][/b] 1.5. Dalam hal Pedagang Eceran yang memenuhi kriteria tersebut pada butir 1.3. menyerahkan barang maupun jasa yang lebih dari 50% dari seluruh nilai peredarannya merupakan penyerahan Barang Kena Pajak, maka terhadap Pedagang Eceran tersebut masih diberlakukan ketentuan pada butir 1.4. 1.6. Pedagang Eceran yang memenuhi kriteria tersebut pada butir 1.3 tetap berhak memungut PPN dengan tarif 10% dari penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. 1.7. Ketentuan tersebut pada butir 1.4., 1.5. dan 1.6 berlaku juga bagi Pedagang Eceran yang pada tanggal 1 Januari 1995 memenuhi kriteria sebagai Pedagang Eceran Besar berdasarkan peraturan perundang-undangan PPN yang lama. 1.8. Ketentuan tersebut pada butir 1.4., 1.5. dan 1.6 tetap diberlakukan meskipun berdasarkan ketentuan perundang-undangan PPh, Pedagang Eceran tersebut memilih dikenakan PPh dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. 1.9. Dalam hal PKP Kantor Pusat Pedagang Eceran memberitahu bahwa dalam menghitung pajaknya tidak memilih Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak, maka keputusan tersebut berlaku juga bagi seluruh PKP Cabang dan/atau tempat usahanya. PKP Cabang dan/atau tempat usaha wajib memberitahukan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan dilampiri foto copy tanda terima pemberitahuan tidak memilih Nilai lain dari PKP Kantor Pusat Pedagang Eceran tersebut. 2. Pengukuhan Pedagang Eceran menjadi Pengusaha Kena Pajak Dalam rangka pengukuhan Pedagang Eceran menjadi Pengusaha Kena Pajak, dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut : 2.1. Pedagang Eceran yang dalam suatu tahun buku memenuhi kriteria tersebut pada butir 1.3. wajib melaporkan usahanya kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk dikukuhkan menjadi PKP dan kepadanya diberikan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan dilampauinya batas nilai peredaran Barang Kena Pajak tersebut. Petunjuk selanjutnya ada pada butir 2 Surat Edaran Seri PPN 4 - 95. 2.2. Sesuai data SPT PPh terakhir atau keterangan lain, terhadap Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang Eceran, yang jumlah peredaran bruto Barang Kena Pajaknya dalam satu tahun buku melebihi Rp 240.000.000,- (dua ratus empat puluh juta rupiah) diambil langkah-langkah sebagai berikut : 2.2.1. Mengirimkan formulir pendaftaran sebagai PKP (formulir KP.PDIP 4.1 atau KP.PDIP 4.2) yang harus diisi, ditandatangani dan dikembalikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya formulir tersebut. 2.2.2. Pedagang Eceran yang telah mengisi, menanda-tangani, dan mengembalikan formulir pendaftaran dalam jangka waktu tersebut pada butir 2.2.1, agar langsung dikukuhkan, sedangkan terhadap Pedagang Eceran yang tidak mengembalikan formulir pendaftaran dalam jangka waktu tersebut, agar dilakukan pengukuhan secara jabatan, kecuali jika Kepala KPP yang bersangkutan memandang perlu untuk dilakukan Pemeriksaan Sederhana Lapangan sebelum Pedagang Eceran tersebut dikukuhkan. 2.2.3. Pengukuhan Pedagang Eceran menjadi PKP sebagaimana dimaksud dalam butir 2.2.1 dan 2.2.2 harus sudah diselesaikan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Maret 1995. 2.3 Terhadap Pedagang Eceran yang telah dikukuhkan sebelum tanggal 1 Januari 1995 karena

memenuhi kriteria sebagai Pedagang Eceran Besar berdasarkan peraturan perundang-undangan PPN lama, tidak perlu dilakukan pengukuhan ulang atau pembaharuan pengukuhan. 3. Kebijaksanaan dalam masa peralihan bagi Pedagang Eceran selain Pedagang Eceran yang berdasarkan peraturan perundang-undangan PPN lama memenuhi kriteria sebagai Pedagang Eceran Besar pada tanggal 1 Januari 1995. Untuk mempermudah pelaksanaan pengenaan PPN atas Pedagang Eceran selain Pedagang Eceran Besar dalam masa peralihan, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut : 3.1. Pedagang Eceran yang belum dikukuhkan sebagai PKP oleh KPP setempat tetapi telah melaksanakan pemungutan PPN sejak 1 Januari 1995 tetap harus menyetor PPN yang telah dipungut tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3.2. Pedagang Eceran yang belum melaksanakan pemungutan PPN sejak tanggal 1 Januari 1995 sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pengukuhan berdasarkan Surat Edaran ini, hanya berkewajiban memungut dan menyetor PPN terhitung sejak tanggal sebagaimana tersebut dalam Surat Keputusan Pengukuhan, baik pengukuhan tersebut secara jabatan maupun atas permohonan Pengusaha. 3.3. Pedagang Eceran yang sebelum tanggal penerbitan Surat Edaran ini telah dikukuhkan secara jabatan menjadi PKP oleh KPP setempat akan tetapi terbukti tidak melaksanakan pemungutan PPN sejak tanggal 1 Januari 1995 sampai dengan tanggal penerbitan Surat Edaran ini, hanya berkewajiban menyetor PPN terhitung sejak Masa Pajak berikutnya setelah Masa Pajak terbitnya Surat Edaran ini. 3.4. Pedagang Eceran yang sebelum tanggal penerbitan Surat Edaran ini telah dikukuhkan atas permohonan sendiri, dianggap telah melakukan pemungutan PPN sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengukuhan, sehingga harus menyetor PPN terhitung sejak dikukuhkan sebagai PKP. Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung-jawab.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd FUAD BAWAZIER

Apakah apotik yang belum dikukuhkan sebagai pkp, boleh memungut PPN sebesar 2% ? Sangat tidak boleh.... Originaly posted by denny_kf: Bila apotik tersebut belum di kukuhkan tetapi sudah melakukan pembayaran PPn atas penjualannya, adakah sanksi atas hal tersebut ? Tidak ada sanksi.... tetapi logisnya Apotik tsb segera harus minta dikukuhkan sbg PKP

You might also like