You are on page 1of 7

Silahkan download e-book ini di halaman download pada situs

SEKURITAS SYARIAH

Oleh :

Ach. Bakhrul Muchtasib, SE.i

A. Pendahuluan

Adalah benar adanya bahwa perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas
dari perkembangan pasar modal. Perkembangan pasar modal di negara-negara maju,
termasuk di negara-negara muslim sekalipun, kiranya menuntut untuk dicermati lebih
lanjut. Hal ini menjadi keharusan, selain terkait dengan semakin membesarnya peran
pasar modal di dalam memobilisasi dana ke sektor riil, juga disebabkan adanya tuntutan
bahwa sekuritas yang diperdagangkan harus selaras dengan syariat Islam. Sependapat
dengan hipotesis Fauzi (lihat dalam Achsien, hal. xv, 2003), bahwa masyarakat yang
semakin terdidik akan semakin tidak suka menanamkan dana mereka di bank komersial,
karena bank komersial memberikan return yang relatif kecil, meskipun risikonya juga
relatif kecil. Tapi, justru di sinilah masalahnya. Masyarakat yang semakin paham akan
pasar keuangan, semakin mengerti akan penilaian dan pengendalian risiko investasi, akan
semakin berani memasuki area yang lebih berisiko.

Dalam konteks investasi syariah di pasar modal, pemahaman akan


pengendalian risiko dan return saja tidak cukup, hal lain yang tak kalah penting untuk
dipahami adalah pengenalan akan sekuritas-sekuritas mana yang selaras dengan syariah
Islam. Dari banyak jenis sekuritas yang ada, beberapa di antaranya telah telah
memperoleh pengakuan dari Dewan Syariah Nasional (DSN) atas kesyariahannya.

Yang dikehendaki dari pengenalan prinsip-prinsip keuangan Islami tersebut,


terutama tentang bentuk-bentuk kontraknya, adalah baik investor maupun para akademisi
nantinya dapat kritis menilai setiap sekuritas yang tersedia, serta tetap konsisten
menggunakan sekuritas-sekuritas yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan
demikian, mereka tidak akan menjadi naif, menolak seluruh sekuritas yang ada dengan
anggapan sama sekali bertentangan dengan syariah Islam. Tidak lantas pula menerima
begitu saja modifikasi-modifikasi yang dilakukan tanpa telaah yang dalam secara
substansif (Achsien, hal.59, 2003).

B. Pengertian

Istilah sekuritas (securities) seringkali disebut juga dengan efek, yakni sebuah
nama kolektif untuk macam-macam surat berharga, misalnya saham, obligasi, surat
hipotik, dan jenis surat lain yang membuktikan hak milik atas sesuatu barang. Dengan
istilah yang hampir sama, sekuritas dapat juga dipahami sebagai promissory
notes/commercial bank notes yang menjadi bukti bahwa satu pihak mempunyai tagihan
pada pihak lain. Adapun, yang dimaksud dengan sekuritas syariah atau efek syariah
adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi
prinsip-prinsip syariah.

Di antara bank-bank Islam yang ada, terdapat dua pendapat yang berbeda
dalam menyikapi surat berharga. Pertama, mayoritas bank Islam menolak perdagangan
surat berharga. Kedua, bank Islam di Malaysia, dalam beberapa kondisi termasuk juga
bank Islam di Indonesia, menerima transaksi surat berharga (Karim, hal. 114, 2001).

Alasan penyangkalan mereka yang menolak transaksi surat berharga adalah


karena di dalamnya terkandung bai ad-dayn (jual beli utang). Sementara itu, Islam secara
tegas telah mengharamkan jual beli utang. Reaksi yang berbeda dikemukakan oleh
pendapat kedua, yakni mereka yang mengabsahkan transaksi surat berharga. Umumnya,
mereka menyandarkan pada prinsip bahwa surat berharga tersebut haruslah diendors
(dijamin) oleh pihak penerbit, kemudian surat berharga tersebut haruslah timbul dari
aktivitas yang tidak bertentangan dengan syariah. Jadi, selama kedua hal ini tidak
dilanggar, transaksi surat berharga menjadi sah karenanya.

Bahkan, sebagaimana diuraikan oleh Karim (hal. 115, 2001), bank Islam di
Malaysia merujuk pada beberapa fatwa yang membolehkan jual beli surat berharga dan
kebolehan mengambil keuntungan dalam jual beli berdasarkan prinsip an taraddin
minkum (kerelaan kedua belah pihak).

Terlepas bagaimanapun reaksi yang diungkapkan oleh umat, yang pasti, Islam
sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan aktifitas ekonomi (mu’amalah) dengan
cara yang benar dan baik, serta melarang penimbunan barang, atau membiarkan harta
(uang) menjadi tidak produktif, sehingga aktivitas ekonomi yang dilakukan dapat
meningkatkan ekonomi umat. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh keuntungan
(falah), baik materi maupun non materi, dunia dan akhirat. Sementara itu, segala bentuk
aktivitas ekonomi yang dilakukan haruslah berdasarkan suka sama suka, berkeadilan, dan
tidak saling merugikan (la dharara wa la dhirara).

Karena itu, sehubungan dengan pembahasan sekuritas syariah ini, ada tiga
kategori sekuritas. Pertama, segala jenis sekuritas yang menawarkan predetermined
fixed-income tidak diperbolehkan dalam Islam, karena termasuk kategori riba. Dengan
demikian, interest-bearing securities, baik long term maupun short term, akan masuk
daftar instrumen investasi yang tidak sah. Saham preferen (Preference stocks), debenture,
treasury securities and consul, dan commercial papers masuk dalam kategori ini.

Kategori kedua, sekuritas-sekuritas yang berada dalam grey area


(questionable) karena dicurigai sarat dengan gharar, meliputi produk-produk derivatives,
seperti forward, future, dan juga options.

Kategori ketiga, yakni sekuritas yang diperbolehkan, baik secara penuh


maupun dengan catatan-catatan meliputi, saham (stocks) dan Islamic bonds, profit loss
sharing based, goverment securities, penggunaan institusi pasar sekunder dan
mekanismenya semisal margin trading. Karena seringkali catatan-catatannya begitu
dominan, berikut ini akan diuraikan dua contoh sekuritas yang telah akrab di tengah-
tengah masyarakat, yakni saham dan obligasi syariah.

C. Saham Syariah

Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang


atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah
selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik
perusahaan yang menerbitkan surat berharga.

Untuk investor muslim, Achsien (hal. 60, 2003) berujar, inestasi pada saham
(equity investment) memang sudah semestinya menjadi preferensi untuk menggantikan
investasi pada interest yielding bonds atau sertifikat deposito, walaupun jika kemudian
dinyatakan dalam fikih klasik dikatakan bahwa ekuitas dalam hal ini saham tidak bisa
dipersamakan dengan instrumen keuangan Islam seperti kontrak mudharabah atau
musyarakah. Saham dapat diperdagangkan kapan saja di pasar sekunder tanpa
memerlukan persetujuan dari perusahaan yang mengeluarkan saham. Sementara
mudharabah dan musyarakah ditetapkan berdasarkan persetujuan rab al mal (investor)
dan perusahaan sebagai mudharib untuk suatu periode tertentu.

Karena batasan periode kontrak yang mengikat tersebut, yang menjadikan


mudharabah dan musyarakah seringkali dianggap tidak likuid. Sementara saham,
memungkinkan untuk dijual kapan saja, sehingga sudah pasti lebih likuid dan lebih
atraktif, meskipun kemudian terjadi modifikasi untuk membuat kontrak keuangan Islam
mejadi likuid.

Adapun pendapatnya Wahbah al Zuhaili dalam al Fiqh al Islami wa


adillatuhu juz 3/1841 dinyatakan bahwa:

“bermuamalah dengan (melakukan kegiatan transaksi atas) saham hukumnya


oleh, karena pemilik saham adalah mitra dalam perseroan sesuai dengan saham yang
dimilikinya.”

Pendapat para ulama yang memperbolehkan jual beli saham serta pengalihan
kepemilikan porsi suatu surat berharga berdasar pada ketentuan bahwa selama semua itu
disepakati dan diizinkan oleh pemilik porsi lain dari suatu surat berharga (bi idzni
syarikihi). Keputusan Muktamar ke-7 Majma’ Fiqh Islami tahun 1992 di Jeddah pun
menyatakan bahwa boleh menjual atau menjaminkan saham dengan tetap memperhatikan
peraturan yang berlaku pada perseroan.
Tidak semua saham yang terdaftar di pasar modal memenuhi prinsip-prinsip
syariah. Untuk itulah Bursa Efek Jakarta(BEJ) bekerjasama dengan Danareksa
Investment Management, mengembangkan suatu indeks untuk melisting saham-saham
mana saja yang layak dianggap memenuhi prinsip-prinsip syariah. Indeks ini disebut juga
dengan Jakarta Islamic Indeks (JII). Saham-saham yang masuk dalam Indeks ini adalah
saham yang kegiatan emitenya tidak bertentangan dengan syariah, misalnya:

• usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan


terlarang

• usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan


asuransi konvensional

• usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan


makanan dana minuman yang tergolong haram

• usaha yang memproduksi, mendistribusi dan atau menyediakan barang-


barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat.

D. Obligasi Syariah

Obligasi syariah di dunia internasional dikenal dengan sukuk. Sukuk berasal


dari bahasa Arab “sak” (tunggal) dan “sukuk” (jamak) yang memiliki arti mirip dengan
sertifikat atau note. Dalam pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim)
kepemilikan. Sebuah sukuk mewakili kepentingan, baik penuh maupun proporsional
dalam sebuah atau sekumpulan aset (lihat, Hakim, 2005).

Berbeda dengan konsep obligasi konvensional selama ini, yakni obligasi yang
bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga, obligasi syariah adalah
suatu surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan
Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi syraiah berupa bagi hasil/margin/fee serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo (lihat Fatwa DSN, 2004).

Kendatipun, jika ditinjau dari aspek akad, obligasi dapat dimodifikasi ke


pelbagai jenis, seperti obligasi salam, istisna, murabahah, musyarakah, mudharabah
ataupun Ijarah, namun yang lebih populer dalam perkembangan obligasi syariah di
Indonesia hingga saat ini adalah obligasi mudharabah dan ijarah.

Obligasi syariah di Indonesia mulai diterbitkan pada paruh akhir tahun 2002,
yakni dengan disahkannya Obligasi Indosat obligasi yang diterbitkan ini berdasarkan
prinsip mudharabah. Obligasi mudharabah mulai diterbitkan setelah fatwa tentang
obligasi syariah (Fatwa DSN-MUI No. 32/DSN-MUI/ /2002) dan obligasi syariah
mudharabah (Fatwa DSN-MUI No. 33/DSN-MUI/ /2002). Sedangkan obligasi syariah
ijarah pertama kali diterbitkan pada tahun 2004 setelah dikeluarkannya fatwa tentang
obligasi syariah ijarah (Fatwa DSN-MUI No. 41/DSN-MUI/ /2003).

Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak


selaku mudharib, pegelola dana dan investor bertindak selaku shahibul mal, lias pemilik
modal. Keuntungan yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan
dari pengelolaan dana oleh investor. Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat
kontradiksi antara mudharabah dan obligasi dalam definisi, serta masih adanya anggapan
bahwa obligasi syariah mudharabah sejatinya tetaplah sebagai surat hutang, lebih lanjut,
Hakim mengatakan bahwa transaksi mudharabah dalam konteks obligasi syariah
mudaharabah ini adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment
meruapakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip
inilah yang mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.

E. Problematika Sekuritas Syariah

Tidak dipungkiri, dengan melihat perkembangan industri pasar modal syariah


yang masih baru, masih sangat dimungkinkan jika pengaruh cara pandang ekonomi
konvensional masih kental terasa. Namun, hal ini tidak seharusnya menjadikan umat dan
pelaku pasar muslim bersikap permisif serta tidak kritis untuk menilai ulang fakta yang
ada. Sesungguhnya, inilah yang merupakan tantangan bagi konsep dan sistem ekonomi
Islam untuk dapat membuktikan diri secara aplikatif mampu menjadi sistem altenatif
ekonomi umat.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Achsien (2003), konsep ekonomi


konvensional yang sampai saat ini masih kontroversial digunakan di industri keuangan
Islam, antara lain penerapan time value of money atau positive time preference serta
margin trading, disamping belum adanya variabel benchmark untuk menentukan tingkat
diskonto (discount rate) dari sekuritas ataupun pembiayaan syariah.

Terlepas apapun polemik tentang sekuritas syariah yang terdapat di tengah


masyarakat, adalah menjadi tugas bersama untuk memperbaiki, dan bahkan menyusun
kembali sekuritas ini sesuai dengan prinsip syariah yang sebenarnya, sehingga dapat
memberikan kemaslahatan bagi umat.

Daftar Rujukan

Achsien, Iggie H., 2003, Investasi Syariah di Pasar Modal: Menggagas Konsep
dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.
Kedua.

Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, 2004, Cet. Kedua

Hakim, Cecep Maskanul, 2005, Obligasi Syariah di Indonesia: Kendala dan


Prospek, Makalah, disampaikan pada kuliah informal Ekonomi Islam, Fakultas
Universitas Indonesia, 16 April 2005.

Zuhaily, Wahabah, 1989, al Fiqh al Islami wa adillatuhu, Juz 3, Damaskus: Cet.


Ketiga

http://www.pkes.org/file/publication/SEKURITAS%20SYARIAH.doc?PHPSESSID=eaed0
52902292afca49c5bf80a15baed.

You might also like