You are on page 1of 5

Silahkan download e-book ini di halaman download pada situs

Suku Bunga, Inflasi dan Ketidakadilan Ekonomi


Ekonomi & Bisnis, Artikel sapto July 26th, 2007

Oleh: Andi Irawan

Uang bekerja secara alami ketika ia membiayai kegiatan produksi dan


membuahkan keuntungan dari produksi tersebut. Karenanya, jumlah uang akan
bertambah sesuai dengan pertambahan hasil produksi. Dengan kata lain, penambahan
kesejahteraan haruslah berbanding lurus dengan usaha yang dilakukan. Penambahan
jumlah uang yang tidak diimbangi dengan penambahan jumlah produksi barang dan jasa
akan mengakibatkan nilai uang menurun terhadap barang dan jasa. Kita menyebutnya
inflasi.

Inflasi Vs. Suku Bunga

Pandangan umum yang berlaku saat ini, suku bunga memiliki hubungan negatif
dengan inflasi, menaikkan suku bunga berarti menurunkan inflasi. Ketika suku bunga
dinaikkan, maka orang akan tertarik untuk menyimpan uang di bank, sehingga akan
mengurangi jumlah uang beredar, akibatnya saat itu inflasi turun. Tetapi konsekuensi dari
penerapan suku bunga ialah adanya besaran tertentu yang nilainya sudah ditentukan di
awal. Nilai itu harus dibayar bank kepada nasabah pada saat bunga tersebut jatuh tempo.

Misal, pada awal proses ekonomi terdapat uang beredar sebanyak Rp 3.000
triliun, lalu dengan bunga sebesar 10%, sektor perbankan berhasil menyerap sepertiga
dari dana tersebut atau setara dengan Rp 1.000 triliun. Maka terjadi deflasi, jumlah uang
beredar dalam perekonomian tersebut turun menjadi duapertiganya atau Rp 2.000 triliun.
Tapi, setahun kemudian, ketika bunga telah jatuh tempo, perbankan harus membayar
sejumlah 10% dari Rp 1.000 triliun atau Rp 100 triliun kepada perekonomian. Maka, total
uang dalam perekonomian dan perbankan menjadi Rp 3.100 triliun. Jadi, alih-alih untuk
mengurangi inflasi, penerapan suku bunga justru berpotensi mendatangkan inflasi yang
lebih besar di kemudian hari.
Melanjutkan contoh tadi, sebetulnya tidak menjadi masalah ketika jumlah uang
dalam perekonomian tersebut bertambah Rp 100 triliun, asalkan perekonomian itu juga
mampu menghasilkan tambahan produksi barang dan jasa senilai Rp 100 triliun dalam
tempo yang sama. Jika hal itu dilakukan, maka tidak akan terjadi inflasi karena
penambahan jumlah uang diikuti dengan penambahan jumlah barang dan jasa. Tapi yang
jadi masalah saat ini, tidak adanya keterkaitan antara sektor riil dengan sektor finansial.

Dalam contoh di atas, melalui suku bunga sebesar 10%, sektor finansial
menentukan bahwa dalam setahun ke depan jumlah uang akan bertambah sebanyak Rp
100 triliun, sedangkan yang menentukan bertambahnya jumlah barang dan jasa adalah
sektor riil, yang belum tentu mampu memproduksi barang dan jasa senilai Rp 100 triliun
dalam setahun. Ketika sektor riil tidak mampu menandingi ‘kinerja’ sektor finansial,
maka yang terjadi adalah inflasi. Karena itu, perlu dikoreksi pendapat yang menyebutkan
tingkat suku bunga berbanding terbalik dengan tingkat inflasi.

Ketidakadilan Suku Bunga

Dalam buku pengantar ilmu ekonomi selalu disebutkan ketika pemerintah


mencetak uang terlalu banyak, maka yang terjadi adalah inflasi. Tapi seringkali kita lupa,
bank juga dapat ‘mencetak’ uang dengan cara menyalurkan kredit dan mengenakan bunga
atasnya, money creation by the bank, dan itupun dapat menyebabkan inflasi. Inflasi akan
merugikan orang yang berpenghasilan tetap, yakni naiknya nominal harga tidak diikuti
naiknya nominal pendapatan kita. Tetapi akan menguntungkan mereka yang memiliki
deposito dalam jumlah besar di bank konvensional.

Penerapan suku bunga akan menambah jumlah uang ke dalam suatu


perekonomian, tetapi yang jadi masalah adalah uang yang baru masuk ke dalam
perekonomian tersebut tidak terdistribusikan secara merata kepada seluruh pelaku
ekonomi, melainkan ke tangan segelintir pemilik modal saja, yaitu mereka yang memiliki
sejumlah besar uang di bank. Akibatnya, biaya inflasi sebagian besar ditimpakan kepada
orang yang tidak menerima uang baru tersebut, yaitu orang-orang miskin yang tidak
memiliki uang di bank.

Kita mengenal inflation tax sebagai pajak yang diambil pemerintah dari orang
yang memegang uang dengan cara pemerintah mencetak lebih banyak uang untuk
membiayai kebijakan ekspansi ekonomi. Tapi ternyata inflation tax bisa juga bermakna
sebagai ‘pajak’ yang diambil pemilik modal dari masyarakat umum, ketika perbankan
‘mencetak’ uang dengan cara menyalurkan kredit dan mengenakan sejumlah bunga
atasnya. Bahkan, kita harus lebih mewaspadai efek inflasi akibat penciptaan uang oleh
bank daripada penciptaan uang oleh pemerintah, karena bank selalu menciptakan uang,
sedangkan pemerintah lebih jarang.

Menarik untuk diteliti tentang kemunculan para milyuner dunia pada abad ke-20.
Apakah hal ini terkait dengan terjadinya industrialisasi ataukah lebih terkait dengan
berubahnya sistem finansial dunia, dimana praktik pembungaan uang dan lepasnya nilai
uang dari nilai emas sudah disahkan? Pasalnya, industrialisasi sendiri sudah dimulai
beberapa abad sebelumnya, tapi mengapa para milyuner itu baru muncul sekarang?
Ditambah lagi kemunculan mereka diikuti dengan meluasnya kemiskinan di seluruh
dunia. Apakah sekarang sedang terjadi penambahan kesejahteraan akibat industrialisasi
ataukah sedang terjadi eksploitasi kesejahteraan alias konsentrasi kekayaan akibat praktik
pembungaan uang?

Back It to It’s Nature

Dunia perbankan yang menjalankan fungsi intermediasinya dengan benar


seharusnya memiliki tingkat suku bunga yang kompetitif terhadap return investasi di
sektor riil. Karena menurut cara kerja alamiahnya, sektor riil-lah yang ‘memberi makan’
sektor finansial, sektor riil-lah yang menentukan penghasilan sektor finansial, bukan
sektor finansial yang menentukan berapa harga yang harus dibayar oleh sektor riil
kepadanya.

Jika suku bunga terlalu tinggi, sektor riil yang bekerja dan menanggung risiko
usaha justru hanya mendapat sedikit dari hasil usahanya, sebagian besar habis untuk
membayar bunga yang tinggi. Sedangkan sektor finansial yang tidak bekerja dan tidak
menanggung risiko justru mencetak laba yang tinggi. Seperti dikatakan Willem
Hoogendijk, sektor perbankan saat ini disebut mesin transfer yang memindahkan uang
secara otomatis dari tempat yang kekurangan uang (debitor) ke tempat yang kelebihan
uang (kreditor).

Tidak ada cara lain, untuk menyelamatkan perekonomian, kita harus membenahi
dulu sistem perbankan dengan mengembalikan logika bahwa sektor riil-lah yang
menentukan pendapatan sektor finansial, bukan sektor finansial yang menetapkan berapa
harga yang harus dibayar oleh sektor riil atas dana yang dipinjamnya. Perbankan harus
mengubah pola interaksinya terhadap sektor riil, dari yang selama ini menetapkan
keuntungan di awal menjadi menetapkan keuntungan di akhir, dari sistem suku bunga
menjadi sistem bagi hasil.***

(Mahasiswa FE UI, Peserta PPSDMS Regional I Jakarta. Saat ini menempuh


studi di Selandia Baru.)

3 Komentar pada “Suku Bunga, Inflasi dan Ketidakadilan


Ekonomi”

1. Adi Satyadi Nagara (Angktn II reg II) berkata:


July 26th, 2007 at 1:49 pm

artikel yang mencerahkan……


memang pemerintah sudah saatnya mengubah paradigma bahwa sektor riillah yang
menentukan pendapatn sektor finansial.Fondasi ekonomi kita terlalu lemah dan riskan
karena derasnya pergerakan arus modal jangka pendek tidak didukung oleh penyaluran
kredit ke sektor riil, maka wajar klo ada isu Krismon jilid II .

2. Dimas Bagus WK (Angkatan 2 PPSDMS IV SBY) berkata:


July 28th, 2007 at 11:09 am

saya kira pernyataan saudara andi terlalu berlebihan dengan mengatakan kita
untuk menghindari inflasi kita kembali ke sistem bagi hasil. Saya sebagai mahasiswa FE
UNAIR kurang sepakat, ada beberapa alasan : (1) perbankan syariah atau sistem bagi
hasil masih merupakan embrio dalam perekonomian global, (2) ekonomi global dikuasai
oleh dollar dengan kapitalismenya, (3) Ingat teori yang dikemukakan oleh Mundel
fleming yang mengatakan bahwa ekonomi di luar AS ada kecil dan terbuka, serta ada
mobilitas modal yang sempurna sehingga implikasinya pengaruh global dipaksakan atau
tidak pasti merujuk pada nilai tukar dan otomtis suku bunga sebagai harga dari uang.
sebaiknya menurut saya kondisi sekarang tetap menerapkan prinsip bunga akan tetapi
mekansime keadilan diperhatiakn dengan meningkatkan komitmen perbankan untuk
menyalurkan dananya kepada sektor riil. Namun, tulisan Akh Andi merupakan wacana
menarik untuk diperdebatkan dikalangan ekonom&mahasiswa ekonomi.

3. Parulian berkata:
August 30th, 2007 at 11:50 pm

fenomena inflasi pasti dihadapi oleh setiap negara, tidak terkecuali, apakah itu
negara maju, berkembang, ataupun negara yang miskin sekalipun. namun yang menjadi
perhatian dewasa ini adalah, ketika negara ini sedang carut marut perekonomiannya,
perpolitikannya, dan juga tidak terjafanya stabilitas keamanan, justru harus
mempersiapkan diri dengan lebih matang lagi untuk menghadapi dan mengatasi
persoalan klasik dalam perekonomian, yang tidak lain adalah “Inflasi”
karena itu Saya sangat mendukung sekali apabila dikalangan akademis dan pemerintah
dapat mengangkatkan suatu acara yang secara kontinue membahas tentang implikasi,
identifikasi, dan penanggulan dari Inflasi ini.
thanx.

You might also like