You are on page 1of 12

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI FISIOLOGI HEWAN INDERA PERASA DAN PEMBAU Oleh: Dinia Rizqi Dwijayanti 105090100111005

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2011

BAB I HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Analisa Prosedur Praktikum indera perasa dan pembau ini terdiri dari 4 uji secara bertahap. Uji pertama bertujuan untuk mengetahui telat reseptor perasa. Uji kedua bertujuan untuk mengetahui variasi waktu sensasi. Uji ketiga bertujuan untuk mengetahui kepekaan reseptor pembau.Uji keempat bertujuan untukmengetahui pengeruh indera pembau terhadap kesan pengecapan. Keempat uji tersebut dilakukan dengan memilih lima probandus dengan kondisi dan jenis kelamin yang berbeda yaitu laki-laki perokok, laki-laki flu, laki-laki sehat, perempuan flu, dan perempuan sehat. Pemilihan probandus dilakukan untuk mengetahui pola hidup perokok dan perbandingan gender. Uji pertama dimulai dengan membersihkan rongga mulut dengan berkumur. Tujuannya adalah untuk menghilangkan zat-zat yang dapat mengubah persepsi rasa pada mulut agar hasil yang dihasilkan dapat akurat. Selanjutnya, mata probandus ditutup agar tidak terjadi subjektivitas pada probandus. Cotton bud dicelupkan pada salah satu bahan yang merupakan representatif dari 4 rasa dasar yang dapat dirasakan manusia, yaitu manis (gula), asam (asam sitrat), asin (garam) dan pahit (pil lameson). Cotton bud yang telah dicelupkan tersebut dioleskan pada berbagai bagian lidah, yaitu bagian ujung, tepi depan, tepi belakang dan pangkal, setelah itu dicatat rasa larutan dan daerah yang paling peka terhadap rasa tersebut. Pengulangan dilakukan sebanyak jenis larutan yang digunakan. 4 bagian lidah tersebut dipilih karena menurut Sherwood (2007), 4 tempat tersebut memiliki tingkat kepekaan paling tinggi pada salah satu dari 4 rasa dasar yang dapat dirasakan oleh manusia. Uji kedua dimulai dengan membersihkan rongga mulut seperti halnya uji pertama. Berdasarkan data yang telah didapatkan dari uji pertama, larutan uji dioleskan pada bagian lidah yang paling peka dengan rasa larutan tersebut, lalu dihitung waktu yang diperlukan untuk merasakan sensasi rasa tersebut dengan menggunakan stopwatch. Setelah itu, mulut probandus dibersihkan dengan cara berkumur dan dilakukan pengulangan sejumlah jenis larutan uji yang dibuat. Perbedaan perlakuan yang dilakukan dalam uji ini adalah dibuat menjadi 2 variabel amatan, yaitu saat lidah kering dan saat lidah basah. Tujuannya adalah melihat perbedaan waktu yang

diperlukan untuk merasakan sensasi rasa yang ditimbulkan. Teori yang mendasari adalah sensasi rasa disebabkan oleh zat yang berbentuk cair atau larut dalam air, sehingga lebih cepat stimuli rasa pada lidah basah daripada lidah kering (Shallenberger, 1997). Uji ketiga dimulai dengan menutup mata probandus dengan tujuan mengurangi subjektivitas pada probandus. Salah satu bahan minyak didakatkan pada salah satu lubang hidung probandus agar probandus membau aroma minyak. Perlakuan tersebut dilanjutkan dengan menanyakan apakah probandus dapat membau aroma tersebut atau tidakuntuk mengetahui kepekaan pembau probandus. Selanjutnya, minyak tetap didekatkan hingga probandus tidak lagi sensitif terhadap pembau untuk mendapatkan nilai OFT. Di 15 menit pertama dan 15 menit kedua dihitung lagi apakah indera pembau probandus sudak kembali peka untuk mendapatkan nilai ORT. Hal ini didasarkan pada pendapat Sherwood (2010) bahwa seseorang akan mengalami olfactory fatigue jika terpapar bau cukup lama dan akan mengalami olfactory recovery jika telah beristirahat. Uji keempat dimulai dengan menutup mata probandus dengan tujuan yang sama yaitu mengurangi subjektivitas probandus atau tidak mengetahui bahan yang akan dirasakan. Lidah probandus dibersihkan dengan berkumur untuk membersihkan lidah dan lidah netral. Bahan makanan diletakkan di lidah probandus kemudian dimakan dengan keadaan hidung tertutup. Selanjutnya langkah tersebut diulang dengan keadaan hidung terbuka. Kedua langkah tersebut dilakukan dengan tujuan membandingkan kepekaan pengecap saat hidung tertutup dan terbuka. 1.2 Analisa Hasil 2.1 Letak Reseptor Pengecap Tabel 1. Letak Reseptor Pengecap Probandus Letak Reseptor Pengecap Ujung Tepi depan Tepi belakang Laki-laki asin dan Perokok asam Laki-laki asam dan pedas asin Flu manis Laki-laki pedas asin dan asam Sehat manis Perempuan manis dan Pedas dan asin

Pangkal pahit Pahit -

Flu Perempuan Sehat

pahit manis dan pedas

asam asin

asam

pahit

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui adanya perbedaan letak reseptor perasa pada probandus dengan karakter yang berlainan. Hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa laki-laki yang merokok, laki-laki yang sedang flu, dan perempuan yang sedang flu mengalami gangguan pada reseptor perasa yang terdapat di lidahnya. Menurut Sudjadi dan Laila (2005), reseptor yang paling peka terhadap rasa manis pada lidah manusia terletak di ujung lidah. Rasa asin terletak di bagian tepi depan, reseptor yang paling peka terhadap asam terdapat pada bagian tepi belakang lidah sedangkan yang paling peka terhadap rasa pahit terletak pada pangkal lidah. Letak reseptor perasa akan disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Letak Reseptor Perasa (Martini dan Frederic, 2007) Berdasarkan hal tersebut, terdapat banyak anomali yang dialami oleh hampir semua probandus, terutama oleh laki-laki perokok, lakilaki yang sedang flu, dan perempuan yang sedang flu. Hal ini dikarenakan oleh adanya perubahan struktur pada taste buds, yang merupakan kumpulan dari reseptor-reseptor dan berhubungan dengan saraf otak. Taste bud di rongga mulut berhubungan dengan saraf otak (cranial nerve) nomor VII (facial), IX (glossopharyngeal) dan X (vagus). Saraf otak ke 7, facial, memonitor semua taste bud yang berada pada 2/3 bagian anterior dari lidah, mulai dari ujung garis papilla sirkumvalata. Papilla sirkumvalata beserta 1/3 bagian anterior lidah berhubungan dengan saraf otak IX, glossopharyngeal. Sedangkan saraf ke 10, vagus, berhubungan dengan semua taste bud yang tersebar di epiglottis (Martini dan Frederic, 2007). Lidah pada manusia memiliki papilla yang tersebar di permukaan bagian dorsal dari lidah tersebut. Papilla tersebut berupa

bintil-bintil dan dapat teramati dengan mudah di permukaan lidah. Manusia memiliki empat tipe papillae, yaitu foliate, sirkumvalata, filiformis dan fungiformis. Papilla foliate merupakan papilla yang terdapat pada lipatan lidah yang terdapat di bagian belakang. Papilla sirkumvalata pada lidah tersusun menyerupai huruf V di bagian belakang lidah tersebut. Papilla fungiformis menyebar di seluruh permukaan lidah melalui ujung depan hingga bagian tengah dari lidah tersebut. Sedangkan papilla yang terakhir, yaitu filiformis, merupakan papilla yang terdapat di bagian ujung dari permukaan lidah (Delwiche, 2007). Berikut gambar skema bentuk-bentuk papilla yang tersebar pada lidah manusia.

(a) (b) (c) Gambar 2. (a). Papilla Fungiformis (b). Papilla Sirkumvalata dan Filiformis (c). Papilla Foliata (Delwiche, 2007) 2.2 Waktu Sensasi Pengecap Tabel 2. Waktu Sensasi Pengecap Probandus Waktu Sensasi Pengecap (detik) Manis Asam Asin Pahit Pedas K B K B K B K B K B Laki-laki >20 >20 >20 3 12 3 >20 >20 >20 20 Perokok Laki-laki >20 >20 1 2 2 2 3 2 6 3 Flu Laki-laki 6 3 12 5 2 2 4 3 5 6 Sehat Perempuan 2 2 3 7 5 4 3 7 2 9 Flu Perempuan 1 1 1 1 2 5 2 4 4 5 Sehat Berdasarkan pengamatan, rata-rata hasil uji pada tiap probandus hampir sama. Lidah dalam keadaan kering memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat merasakan sensasi warna. Hanya saja masih

dijumpai keabnormalan hasil pada laki-laki perokok, laki-laki flu, dan perempuan flu. Hasil pengujian pada tiga probandus tersebut menimbulkan kerancuan dan data yang dihasilkan tidak stabil. Sama seperti bahasan sebelumnya bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh gangguan pada berkurangnya kepekaan sel-sel perasa probandus. Menurut Shallenberger (1997), dalam pengecap saliva berperan untuk melarutkan ion-ion yang menyebabkan terjadinya sensasi rasa sehingga lebih mudah mencapai reseptor rasa pada membran sel pengecap. Hal ini dikarenakan oleh zat yang menyebabkan sensasi rasa (tastant) membutuhkan air untuk mencapai reseptor dan interaksi tastant dengan reseptor ditransmisikan melalui air.Persepsi rasa yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh data-data yang diperoleh oleh organ sensor lainnya. Informasi-informasi seperti bau dari makanan, tekstur, suhu dan lain sebagainya dapat mempengaruhi rasa dari suatu makanan (Martini dan Nath, 2009). Menurut Mason dan Nottingham (2002), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepekaan indra pengecap adalah suhu, tidur, tingkat lapar, umur, dan jenis kelamin. Suhu kurang dari 20 atau lebih dari 30 akan mempengaruhi sensitifitas kuncup rasa (taste bud). Suhu yang terlalu panas akan merusak sel-sel pada kuncup rasa sehingga sensitifitas berkurang, namun keadaan ini cenderung berlangsung cepat karena sel yang rusak akan cepat diperbaiki dalam beberapa hari. Suhu yang terlalu dingin akan membius kuncup lidah sehingga sensifitas berkurang (Zuhra, 2006). Usia mempengaruhi sensitifitas reseptor perasa. Menurut Sunariani (2007), pada orang yang berusia lanjut terdapat penurunan sensitifitas dalam menraskan rasa asin. Hal ini disebabkan pada orang berusia lanjut karena berkurangnya jumlah papilla sirkumvalata seiring dengan bertambahnya usia dan penurunan fungsi transmisi kuncup rasa pada lidah sehingga mengurangi sensasi rasa. Ambang rasa untuk setiap rasa juga dapat berpengaruh. Ambang rasa manis oleh sukrosa 0,1M, asin untuk natrium klorida 0,01M, asam untuk asam klorida 0,0009M dan pahit oleh quinin 0,8x10-6M. Ambang rasa berarti konsentrasi minimum bagi senyawa kimia tertentu untuk dapat melakukan transduksi pada sel pengecap sehingga akan menimbulkan sensasi rasa (Guyton, 1976). Faktor lain yang berpengaruh adalah adanya fenomena buta rasa. Beberapa orang mengalami akan adanya buta rasa pada lidahnya, yang berarti bila pada orang lain dapat merasakan suatu substansi, maka bagi

orang yang buta rasa maka akan tidak berasa apa-apa (Martini dan Nath, 2009). Pedas merupakan suatu sensasi panas dan terbakar yang diterima oleh papila. Makanan yang menyebabkan sensasi pedas adalah makanan yang mengandung suatu senyawa bernama capsaicin. Capsaicin berikatan dengan reseptor yang ada di papila lidah. Capsaicin dapat berikatan dengan semua papila lidah. Ketika capsaicin sudah berikatan dengan papila lidah, senyawa tersebut akan mengirimkan signal pada otak di mana signal itu sama persis dengan signal ketika tubuh terpapar panas atau nyeri. 2.3 Kepekaan Pembau Tabel 3. Kepekaan Pembau Probandus Kepekaan Laki-laki Ya Perokok Laki-laki Flu Ya Laki-laki Sehat Ya Perempuan Flu Ya Perempuan Ya Sehat

OFT 00:23 (C) 02:00 (L) 02.09 (L) 01:05 (S) 00:47 (C)

ORT 15 (C) 15 (C) 15 (C) 15 (C) 15(L)

Berdasarkan pengamatan, semua probandus menunjukkan kepekaan pembau. OFT tercepat dialami oleh laki-laki perokok dan perempuan sehat. ORT terlama dialami oleh perempuan sehat. Data tersebut menunjukkan dua kemungkinan yaitu adanya keabnormalan pada indera pembau perempuan sehat atau waktu perhitungan yang dilakukan salah karena ketidaktelitian. Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel-sel pembau. Pada sel-sel pembau terdapat ujungujung saraf pembau atau saraf kranial, yang selanjutnya akan bergabung membentuk serabut-serabut saraf pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak. Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara inspirasi mencapai reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga terjadi pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit. Abibatnya timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu akson bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak. Saraf otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga hidung kemudian bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan

impuls dijalarkan ke daerah pembau primer pada korteks otak untuk diinterpretasikan. Berikut adalah gambar mekanisme membau (Martini dan Nath, 2009).

Gambar 3. Mekanisme Membau (Martini dan Nath, 2009) Olfactory fatigue yaitu ketidakmampuan sementara untuk membedakan bau tertentu setelah membaunya beberapa lama. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ketidakpekaan ini disebut olfactory fatigue times (OFT). Hal tersebut dapat terjadi karena saraf olfaktori bergantung pada massa dan bukan energi untuk melakukan reaksi. Di dalam hidung, ketika suatu molekul direspon, molekul ini harus dibuang dan ini memakan waktu. Jika molekul datang terlalu cepat, tidak ada tempat untuk merespon molekul tersebut di rambut olfactory sehingga molekul tersebut tidak dapat diterima atau seseorang akan kehilangan kepekaan pembaunya untuk sementara waktu. Olfactory recovery adalah kembalinya lagi kepekaan seseorang terhadap bau setelah mengalami olfactory fatigue. Waktu yang dibutuhkan untuk kembali peka ini disebut olfactory recovery times (ORT). Olfactory recovery dapat terjadi karena molekul yang awalnya berikatan dengan rambut olfactory telah dilepas sehingga molekul baru yang masuk dapat kembali dikenali baunya. (Sherwood, 2010). 2.4 Hubungan Indera Pengecap dan Pembau Tabel 4. Hubungan Pengecap dan Pembau Probandus Perlakuan Hidung tertutup Hidung terbuka Pembau Pengeca Pembau Pengecap

Laki-laki Perokok Laki-laki Flu Laki-laki Sehat Perempuan Flu Perempuan Sehat

B M B M B M B M B M

Berdasarkan pengamatan, seluruh probandus menunjukkan hasil yang hampir sama yaitu saat hidung tertutup hanya mampu mengecap dan tidak mampu membau buah mangga dan bengkoang. Saat hidung terbuka, probandus mampu mengecap dan membau buah mangga dan bengkoang yang diberikan. Pada percobaan ini hanya terdapat dua anomali yaitu pada laki-laki perokok mampu membau mangga saat hidung ditutup dan perempuan flu tidak mampu membau bengkoang saat hidung terbuka. Seseorang dapat mengecap apa yang dia makan karena adanya molekul kimia yang terkandung dalam makanan tersebut. Molekul tersebut baru dapat berikatan dengan reseptor protein pada mikrovili di lidah jika molekul tersebut terlarut dalam saliva. Terbentuknya ikatan antara protein reseptor pada mikrovili dengan molekul kimia akan menyebabkan potensial membran plasma mengalami depolarisasi. Hal ini mengakibatkan terbukanya voltage-gated Ca+ channel sehingga ion kalsium masuk ke dalam sel. Masuknya ion kalsium ini memacu dihasilkannya neurotransmitter. Neurotransmitter akan menginisiasi timbulnya potensial aksi pada ujung-ujung sel saraf yang saling berhubungan melalui celah sinapsis. Sinyal tersebut akan diterjemahkan oleh otak sehingga seseorang dapat merasakan sensasi rasa yang dimakannya (Sherwood, 2010). Menurut Martini dan Frederic (2007), di samping dapat dirasakan, dalam kondisi normal seseorang juga akan mampu membau makanan yang masuk ke dalam rongga mulutnya. Hal tersebut dapat terjadi karena uap makanan akan masuk ke dalam rongga hidung dan akan terjadi sederat proses mambau seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya. Dalam kondisi abnormal, karena flu misalnya, aroma makanan yang berada di rongga dalam hidung tidak dapat tercium karena serabut saraf tertutup oleh lendir. Tertutupnya serabut saraf oleh lendir mengakibatkan serabut saraf tidak mampu mengirimkan signal ke otak sehingga makanan tersebut tidak dapat tercium. Berikut ini merupakan kelainan-kelainan pada reseptor pengecap (Psychemate, 2007): 1. Ageusia Ageusia merupakan berkurangnya atau hilangnya kemampuan pengecapan. Penyebabnya adalah berbagai keadaan yang mempengaruhi lidah yaitu mulut yang sangat kering, perokok berat, terapi penyinaran pada kepala dan leher, dan efek samping dari obat (misalnya vinkristin-obat antikanker atau amitriptilinobat antidepresi). 2. Disgeusia Disgeusia adalah berubahnya sensasi pengecapan. Penyebabnya bisa berupa luka bakar pada lidah (bisa menyebabkan kerusakan sementara pada jonjot-jonjot pengecap), bell's palsy (bisa menyebabkan berkurangnya pengecapan pada salah satu sisi lidah), dan depresi. 3. Taste disorder Taste disorder adalah adanya gangguan sehingga tidak dapat merasakan makanan atau minuman dengan baik. Segala rasa akan terasa sama atau terasa aneh. 4. Hypogeusia Hypogeusia adalah berkurangnya kemampuan untuk merasakan rasa manis, asam, pahit, dan asin. 5. Dysgeusia of Phantogeusia Dysgeusia of Phantogeusia adalah adanya persepsi rasa walaupun papilla tidak terstimulasi oleh makanan atau minuman. 6. Parageusia Parageusia adalah persepsi rasa yang yang aneh, kadang terasa asin atau terasa seperti logam. 7. Hypergeusia Hypergeusia adalah kepekaan yang berlebihan terhadap segala rasa. 8. Xerostomia Xerostomia atau mulut kering adalah keadaan dimana kurangnya produksi saliva dalam mulut.

9. Burning Mouth Burning Mouth adalah perasaan terbakar dan sakit pada lidah, serta ada gejala dysgeusia yang terjadi. 10. Anosmia Penyakit ini menyebabkan penderitanya kehilangan rasa bau. Penyakit ini disebabkan karena penyumbatan rongga hidung misalnya tumor dan polyp, reseptor-reseptor pembauan rusak karena infeksi virus atau atrophi, dan gangguan pada syaraf ke I, bulbus, tractus olfactoris ataupun cortex otak karena benturan kepala ataupun tumor. BAB II PENUTUP 2.1 Kesimpulan Lokasi pengecap pada manusia adalah ada pada lidah. Ujung lidah sensitif terhadap rasa manis, bagian tepi depan sensitif terhadap rasa asin, bagian tepi belakang sensitif terhadap rasa asam serta pangkal lidah sensitif terhadap rasa pahit. Variasi waktu sensasi dapat dipengaruhi oleh kondisi lidah, gaya hidup seseorang dan jenis kelamin. 2.2 Saran Disaranakan untuk praktikum selanjutnya agar probandus dan asisten lebih teliti dalam melakukan pengamatan agar tidak terjadi kerancuan data dan kesalahan analisis data.

DAFTAR PUSTAKA Delwiche, J. F. 2007. The Gustatory Taste Systems. http://tastingscience.info/gustatory_taste_system. Tanggal akses 7 Oktober 2011 Guyton, A.C. 1976. Textbook of Medical Physiology. W.B. Saunders Company. Philadelphia Martini dan Frederic. 2007. Anatomy and Physiology Seventh Edition. Pearson Education South Asia Pte.Ltd. Singapore Martini, F.H. dan J.L. Nath. 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology 8th Edition. Benjamin Cummings. San Francisco Mason, R.L. dan S.M. Nottingham. 2002. Sensory Evaluation Manual. The University of Queensland. Queensland Psychemate. 2007. Watching Smell and Taste. http://psychemate.blogspot.com/2007/12/watching-smell-andtaste-movie.html. Diakses tanggal 7 Oktober 2011 Shallenberger, R.S. 1997. Taste Recognition Chemistry. Pure & Appl. Chem. Vol 69. No 4: 659-666 Sherwood, L. 2010. Human Physiology. Cengange Learning Press. Canada Sudjadi, B. dan S. Laila. 2005. Biologi: Sains dalam Kehidupan. Penerbit Yudistira. Surabaya Sunariani, J . 2007. Perbedaan Persepsi Pengecap Rasa Asin Usia Subur dan Usia Lanjut. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/perbedaan %20persepsi%20pengecap.pdf . Diakses tanggal 7 Oktober 2011 Zuhra, C.F. 2006. Flavor (Citarasa). http://journal.usu.ac.id/PDF/Flavor/Citarasa.pdf. Diakses tanggal 7 Oktober 2011

You might also like