You are on page 1of 16

1

PEMANFAATAN DATA HARIAN SENSOR MODIS AQUA/TERRA UNTUK MEMPERKIRAKAN SEBARAN KELIMPAHAN DIATOM DI SELAT BALI THE USE OF DAILY MODIS AQUA/TERRA SENSORS FOR PREDICTING DISTRIBUTION OF DIATOM ABUNDANCE IN BALI STRAIT Teja Arief Wibawa
Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL)-BalitbangKP, KKP Jl. Baru, Prancak, Negara, Jembrana Bali Email : tejaarief@gmail.com
Diterima tanggal :25 Maret 2012, Diterima setelah perbaikan:12 Juni 2012, Disetujui tanggal:08 Agustus 2012

ABSTRAK Produksi perikanan di Selat Bali didominasi oleh perikanan lemuru. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan lemuru diperlukan pengelolaan yang berbasis pada pemahaman ekologi sumberdayanya. Secara ekologi, ketersediaan data lokasi penangkapan ikan lemuru merupakan salah satu kunci untuk memahami sebaran ikan lemuru. Sejauh ini, jenis data tersebut sulit diperoleh. Data yang tersedia berupa data pendaratan ikan lemuru. Mengingat rantai makanan lemuru hanya terdiri dari fitoplankton dan zooplankton, maka untuk memahami sebaran ikan lemuru dilakukan melalui kajian rantai makanannya. Untuk memperkirakan sebaran kelimpahan diatom dalam dimensi ruang dan waktu, digunakan data-data dari Sensor MODIS Aqua/Terra. Pengambilan sampel diatom di Selat Bali dilakukan selama kurun waktu tahun 2008 2010. Variabel sea surface cholorophyll-a (SSC) dan photosinthetically available radiation (PAR) diperoleh dari data level dua harian sensor MODIS Aqua/Terra, dengan resolusi spasial 1 km. Data kelimpahan diatom dioverlay dengan data SSC dan PAR untuk periode waktu yang sama, untuk mendapatkan nilai SSC dan PAR di setiap koordinat pengambilan sampel diatom. Sedangkan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode generalized additive model (GAM). Hasil analisis dengan GAM menunjukkan, persamaan GAM yang terbentuk dari variabel PAR dan SSC dapat menjelaskan kelimpahan diatom sebesar 74 %. Variabel PAR mempunyai kontribusi yang lebih besar dalam pembentukan model GAM dibandingkan variabel SSC. Secara umum, kedua variabel tersebut mempunyai kontribusi yang signifikan dalam pembentukan model tersebut (p < 0.01). Model GAM yang terbentuk digunakan untuk memperkirakan sebaran kelimpahan diatom di Selat Bali. Kata kunci : Diatom, Sea Surface Chlorophyll-a, Photosinthetically Available Radiaton Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

ABSTRACT Bali Straits fisheries production has been dominated by Sardiniella lemuru. Fisheries management based on ecological understanding of S. lemurus behaviour is required to preserve its sustainibility. Ecologically, the availability of S. lemuru fishing ground data is essential for better understanding of its distribution. To date, those type of data are difficult to be obtained. Indeed, the mostly available data are only quantity of S. lemuru landed data which can be derived directly from fishing port. Considering of S. lemurus food chain which only consisting of phytoplankton and zooplankton, an approach based on its food chain was conducted throughout this research. MODIS Aqua/Terra data were utilized for predicting distribution of diatom abundance spatially and temporally. Bali Straits diatom concentrations were measured regularly during 2008-2010 period. Both daily sea surface chlorophyll-a (SSC) and photosinthetically available radiation (PAR) on 1 km spatial resolution, were derived from 2nd level of MODIS Aqua/Terra data. In order to extract SSC and PAR values on each diatom sample station, diatom abundance data were overlayed on SSC and PAR data. The data analysis was conducted using generalized additive model (GAM). Data analysis indicated that GAM equation which constructed from both of PAR and SSC variables explained as high as 74 % of diatom distribution. PAR had higher contribution on GAM construction rather than SSC. Generally, both of PAR and SSC had significant contribution on GAM construction (p < 0.01). Constructed GAM were used for predicting distribution of diatom abundance in Bali Strait. Keywords : Diatom, Sea Surface Chlorophyll-a, Photosinthetically Available Radiaton

PENDAHULUAN Perikanan lemuru di Selat Bali mempunyai kontribusi hampir 40% terhadap produksi perikanan lemuru di seluruh Perairan Indonesia (Merta, 1994). Sedangkan di Selat Bali sendiri, produksi ikan lemuru mencapai 90 % dari seluruh produksi ikan pelagis yang tertangkap di perairan tersebut (Hendiarti et al., 2005). Ikan lemuru dari Selat Bali mempunyai nama latin yang spesifik dibandingkan dengan ikan lemuru yang tertangkap di daerah lain, yaitu Sardiniella lemuru (Merta, 1994; Suwarso et al., 2004). Mengingat pentingnya sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali, pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru harus lestari dan berkelanjutan. Oleh karenanya diperlukan informasi akurat yang terkait distribusi lemuru dalam skala ruang dan waktu, serta faktor alam yang berpengaruh terhadap distribusinya. Pengelolaan sumberdaya ikan berbasis pada pemahaman Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

ekologi sumberdaya, merupakan salah satu kunci untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan (Wilson et al., 2008). Penangkapan lemuru dilakukan dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin. Saat ini terdapat dua kelompok besar nelayan di Selat Bali, yaitu kelompok nelayan yang berasal dari Jawa Timur dan kelompok nelayan dari Bali. Kelompok nelayan pertama umumnya mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Muncar Banyuwangi. Sedangkan kelompok nelayan kedua mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Pengambengan Bali (Suwarso et al., 2004). Penangkapan lemuru dilakukan dengan metode one day fishing. Umumnya kapal pukat cincin berangkat sore hari dan kembali pada keesokan harinya (Merta et al., 1999). Saat ini, penentuan arah pergerakan kapal dalam mencari gerombolan ikan lemuru ditentukan oleh seorang tukang panggung di setiap kapal. Peran tukang panggung relatif sama dengan peran seorang fishing master dalam sebuah kapal penangkapan ikan. Umumnya dalam menentukan lokasi potensial penangkapan ikan lemuru, tukang panggung mendasarkan pada pengalamannya atau pada informasi dari tukang panggung lainnya. Akibatnya hasil tangkapan lemuru setiap kapal cenderung tidak menentu. Ketika tidak ditemukan kumpulan ikan lemuru, kapal pukat cincin akan kembali ke pelabuhan tanpa hasil. Kondisi ini akan berdampak pada pendapatan para awak kapal pukat cincin, yang pendapatannya berasal dari sistem bagi hasil tangkapan lemuru dengan pemilik kapal. Daerah penangkapan lemuru berada di Selat Bali. Namun karena umumnya nelayan pukat cincin tidak menggunakan alat bantu navigasi, maka data lokasi penangkapan ikan lemuru di Selat Bali tidak tersedia. Saat ini, data-data yang tersedia untuk melakukan analisis penangkapan ikan lemuru di Selat Bali, adalah data jumlah pendaratan ikan lemuru, baik di Muncar maupun di Pengambengan. Jenis data tersebut yang banyak digunakan untuk melakukan analisis penangkapan lemuru di Selat Bali, seperti dalam Ghofar et al (1999), Suwarso et al. (2004), dan Sartimbul et al. (2010). Pendekatan dengan menggunakan nama lokal untuk identifikasi daerah penangkapan ikan lemuru telah dikembangkan oleh Merta (1994) dan Merta et al. (1999), yang mencatat ada lima belas daerah penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat tentang sebaran daerah penangkapan ikan lemuru dalam skala ruang dan waktu, pendekatan rantai makanan ikan lemuru dilakukan dalam penelitian ini. Golongan ikan sardin, dimana lemuru termasuk didalamnya, mempunyai hubungan langsung dengan fitoplankton dan zooplankton dalam rantai makanannya (Lalli and Parsons, 1997; Ware and Thomson, 2005). Burhanuddin dan Praseno (1982), menyebutkan komposisi makanan ikan lemuru adalah zooplankton (90.5 95.5 %) dan fitoplankton (4.5 9.5 %). Fitoplankton sendiri dikenal sebagai komponen dasar Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

dalam rantai makanan di laut, karena kemampuannya melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan bahan organik dari sinar matahari (Robinson, 2010; Alvain et al., 2010). Salah satu pigmen fitoplankton yang berperan penting dalam proses fotosintesis adalah klorofil-a (Robinson 2004). Konsentrasi klorofila juga dapat menggambarkan biomassa fitoplankton dalam suatu perairan (Alvain et al., 2010). Walaupun semua jenis fitoplankton mengandung klorofil-a, namun setiap jenis fitoplankton memproduksi bahan organik yang secara substansi berbeda (Alvain et al., 2005). Diatom yang mempunyai lapisan silika pada selnya, dikenal dapat memproduksi bahan organik lebih efisien dibandingkan dengan kelas fitoplankton lainnya (Lochte et al., 1993 dalam Alvain et al., 2005). Umumnya diatom dan dinoflagellata mendominasi fitoplankton yang tertangkap dengan jaring plankton, karena ukurannya yang relatif besar dibandingkan dengan fitoplankton lainnya (Arinardi, 1997). Analisis kelimpahan fitoplankton Selat Bali dari penelitian sebelumnya, menunjukkan adanya dominasi diatom pada bulan Juli, yaitu mencapai kepadatan lebih dari 60.000 sel/m3 (Saliyo 1973 dalam Merta et al., 1999). Untuk mendapatkan informasi sebaran diatom di Selat Bali dalam skala ruang dan waktu, data variabel oseanografi dari hasil pengukuran sensor Ocean Colour digunakan dalam penelitian ini. Pengukuran konsentrasi klorofil-a dari sensor Ocean Colour merupakan salah satu terobosan menakjubkan dalam komunitas oseanografi pada abad ini (Robinson, 2004). Hasil pengukuran sensorsensor Ocean Colour semakin mendapat perhatian dalam dunia oseanografi, terutama ketika salah satu sensornya, SeaWiFS (Sea-viewing Wide-Field of view Sensor) mampu menghasilkan data konsentrasi klorofil-a dalam skala global secara terus menerus selama lebih dari sepuluh tahun sejak diluncurkan (McClain, 2009). Kemampuan sensor-sensor Ocean Color semakin bertambah dengan kemampuannya bekerja pada panjang gelombang near-infrared, sehingga dapat menghasilkan data sebaran suhu permukaan laut (Robinson, 2004; Alvain et al., 2010). Dalam perkembangannya, selain menghasilkan data sebaran konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut, sensor-sensor Ocean Colour dikembangkan untuk dapat memahami siklus biogeokimia dan produktivitas primer suatu perairan, diantaranya dengan dihasilkannya data sebaran particulate organic carbon (POC), sebaran photosynthetically active radiation (PAR), dan sebaran particulate inorganic carbon (POC) (Hoepffner et al, 2008). Pemanfaatan sensor Ocean Color untuk observasi komunitas fitoplankton dalam suatu perairan menjadi semakin menarik, dengan dipengaruhinya koefisien absorpsi radiasi sinar matahari setiap sel fitoplankton oleh komposisi pigmen sel tersebut (Satyendranath et al., 1987 dalam Satyendranath et al., 2004). Perkembangan tersebut menuju pada teridentifikasinya struktur komunitas fitoplankton dalam

Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

suatu perairan dari data-data sensor Ocean Colour, seperti yang terdapat dalam Satyendranath et al. (2004) dan Alvain et al (2010) . Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan sebaran diatom di Selat Bali pada skala ruang dan waktu dengan memanfaatkan data dari sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan suatu pendekatan awal untuk memahami sebaran ikan lemuru di Selat Bali. Diharapkan hasil pemodelan sebaran diatom dapat menjadi salah satu sumber acuan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang lestari dan berkelanjutan di Selat Bali. BAHAN DAN METODE Data kelimpahan dan keanekaragaman diatom diperoleh dari pengambilan sampel fitoplankton di Selat Bali selama periode tahun 2008 2010. Lokasi stasiun pengambilan sampel fitoplankton dapat dilihat pada gambar 1. Terdapat perbedaan pola pengambilan sampel antara tahun 2008, 2009 dan 2010. Pada periode tahun 2008, pengambilan sampel fitoplankton harian dilakukan dengan mengikutsertakan observer pada kapal pukat cincin yang beroperasi dalam Selat Bali. Sedikitnya sepuluh kali pengambilan sampel fitoplankton perbulan dilakukan pada periode Juli Desember 2008. Karena menggunakan kapal pukat cincin, maka lokasi stasiun pengambilan sampel fitoplankton adalah pada lokasi kapal pukat cincin melakukan penangkapan lemuru. Sedangkan pada periode tahun 2009, ditentukan tiga stasiun yang diobservasi setiap hari selama 10 hari dan 15 hari berturut-turut pada periode bulan September dan Oktober 2009. Pada pengambilan sampel fitoplankton periode tahun 2010, ditentukan sepuluh stasiun dengan pola observasi setiap hari selama lima hari beturut-turut. Pengambilan sampel fitoplankton pada periode tahun 2010 dilakukan pada bulan OktoberNovember 2010. Analisis kelimpahan dan keanekaragaman diatom dilakukan di Laboratorium Riset Kelautan Balai Penelitian dan Observasi Laut, Prancak Bali. Variabel oseanografi hasil observasi Sensor MODIS Aqua/Terra yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : sea surface chlorophyll-a concentration (SSC) dan photoshynthetically available radiation (PAR). Data-data harian SSC dan PAR tersebut diekstrak dari data level dua harian sensor MODIS Aqua/Terra dengan resolusi spasial 1 km. Sedangkan data-data level dua sensor MODIS Aqua/Terra sendiri diperoleh dari website Ocean Color (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov). Ekstraksi setiap data level dua menjadi variabel SSC dan PAR dengan wilayah Selat Bali, dilakukan dengan memanfaatkan IDL (Interactive Data Language) command-line yang terdapat dalam program SeaWiFS Data Analysis System (SeaDAS). Data harian Sensor MODIS Aqua/Terra yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai periode waktu yang sama dengan periode waktu pengambilan sampel fitoplankton. Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

Gambar 1. Stasiun pengambilan sampel fitoplankton periode 2008-2010 (Station of phytoplankton sampling during 2008-2010 period). Untuk mendapatkan nilai SSC dan PAR pada lokasi pengambilan sampel diatom, data harian diatom dioverlay dengan data harian SSC dan PAR pada periode hari yang sama. Nilai-nilai SSC dan PAR kemudian dianalisis dengan metode GAM (generalized additive model). Kelimpahan diatom digunakan sebagai variabel Y, SSC dan PAR digunakan sebagai variabel X. Sebelum dilakukan analisis GAM, terlebih dahulu dilakukan eksplorasi data sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam Zuur et al. (2009) dan Zuur et al. (2010). Pembentukan model GAM dilakukan dengan bantuan pustaka mgcv (Wood, 2006) yang terdapat dalam program R (R Development Core Team, 2008). Pustaka yang sama kembali digunakan untuk memperkirakan sebaran diatom secara spasial dari data-data PAR dan SSC. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Indirect Upwelling di Selat Bali Secara umum, dinamika oseanografi Selat Bali dipengaruhi oleh dinamika oseanografi yang terjadi di Samudra Hindia Sebelah Selatan Pulau Jawa-Bali. Pada musim timur, wilayah tersebut cenderung mengalami peningkatan produktivitas primer di lapisan permukaan sebagai akibat terjadinya upwelling. Proses upwelling yang dipicu oleh transpor Ekman di sepanjang pantai selatan Jawa-Bali, mengangkat massa kolom air di bawah lapisan permukaan yang kaya nutrien dan suhu yang lebih dingin ke lapisan permukaan (Hendiarti et al., 2004). Akibatnya produktivitas primer di wilayah upwelling cenderung meningkat ketika Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

terjadi periode upwelling. Proses upwelling juga mengakibatkan penurunan suhu permukaan laut (SST) sebagai akibat naiknya lapisan kolom air yang bersuhu lebih dingin ke lapisan permukaan (Hendiarti et al. 2004; Qu et al., 2005). Dalam konteks satelit oseanografi, proses terjadinya upwelling disuatu perairan dapat diidentifikasi dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a dan penurunan suhu permukaan laut di lapisan permukaan laut. Namun dalam penerapannya, terutama untuk wilayah Perairan Indonesia yang terletak pada daerah lintang rendah, diperlukan kehati-hatian dalam mengidentifikasi upwelling dengan hanya berdasarkan pada data konsentrasi klorofil-a permukaan dan suhu permukaan laut. Karena sebaiknya juga identifikasi terhadap faktor penggerak upwelling, yaitu arah dan kecepatan angin. Ketika memicu terjadinya upwelling di suatu wilayah perairan, arah dan kecepatan angin juga dipengaruhi oleh gaya koriolis dan transpor Ekman di wilayah tersebut (Robinson, 2010). Longhurst (2007) memperkuat analisis terjadinya upwelling di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada musim timur dengan data suhu laut pada kedalaman 200 m. Pada daerah upwelling, suhu pada kedalaman 200 m berkisar 11 C, sedangkan pada daerah non upwelling di wilayah tersebut, suhu pada kedalaman 200 m berkisar pada 18- 20C. Proses upwelling di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali juga berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas primer di lapisan permukaan Selat Bali. Proses ini lebih dikenal sebagai proses indirect upwelling (Hendiarti et al., 2005) dan cenderung mengikuti pola peningkatan SSC dan penurunan SST di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali. Seperti terlihat pada gambar 2, 3 dan 4, ketika memasuki bulan Mei, konsentrasi klorofil-a permukaan dan aktivitas fotosintesis meningkat, sedangkan sebaliknya SST cenderung menurun. Pola tersebut terjadi sampai bulan Oktober. Kondisi sebaliknya terjadi pada periode musim barat. Indikator lain terjadinya indirect upwelling di Selat Bali adalah meningkatnya konsentrasi salinitas di Selat Bali ketika memasuki musim timur. Ketika musim timur, salinitas di Selat Bali meningkat hingga mencapai 34 , disebabkan adanya aliran massa air dari Samudra Hindia pada saat terjadinya proses upwelling (Ilahude, 1975 dalam Suwarso et al., 2004). 2. Prakiraan Sebaran Kelimpahan Diatom Karena sensor MODIS Aqua/Terra merupakan sensor yang bersifat pasif (Robinson, 2004), maka tidak semua proses overlay menghasilkan nilai PAR dan SSC. Akibatnya hanya 38 titik pengambilan sampel diatom dari total 198 titik pengambilan sampel diatom, yang menghasilkan nilai PAR dan SSC. Dataset tersebut digunakan untuk membangun persamaan GAM.

Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

Gambar 2. Komposit bulanan SSC Selat Bali dari data level 3 Sensor MODIS Aqua periode 2008 -2010 (Monthly composite images of Bali Straits SSC derived from 3rd level of MODIS Aqua on 2008-2010 period).

Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

Gambar 3. Komposit bulanan PAR Selat Bali dari data level 3 Sensor MODIS Aqua periode 2008 -2010 (Monthly composite images of Bali Straits PAR derived from 3 rd level of MODIS Aqua on 2008-2010 period).

Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

10

Gambar 4. Komposit bulanan SST Selat Bali dari data level 3 Sensor MODIS Aqua periode 2008 -2010 (Monthly composite images of Bali Straits SST derived from 3rd level of MODIS Aqua on 2008-2010 period).

Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

11

Gambar 5. Prakiraan harian sebaran kelimpahan diatom periode musim timur 2011 (Daily prediction of diatom abundance distribution during southeast monsoon period 2011)

Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

12

Eksplorasi data yang dilakukan terhadap variabel PAR dan SSC menunjukkan tidak adanya kolinearitas antar kedua variabel tersebut. Nilai hasil analisis variance inflation factor (VIF) kedua variabel adalah 1.015. Nilai VIF kedua variabel tersebut kurang dari 3. Nilai VIF 3 digunakan sebagai indikasi terjadinya kolinearitas antar setiap variabel (Zuur et al., 2009). Persamaan GAM yang terbentuk dari kedua variabel tersebut adalah sebagai berikut : Diatom = exp + s(PAR) + s(SSC)..................................................................................(1) Persamaan tersebut mempunyai nilai deviance sebesar 74 %. Deviance dalam persamaan GAM mempunyai arti yang relatif sama dengan R pada regresi linear (Zuur et al., 2007). Dengan demikian persamaan GAM dengan variabel PAR dan SSC tersebut dapat menjelaskan kelimpahan diatom sebesar 74 %. Variabel PAR mempunyai kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan variabel SSC dalam menjelaskan kelimpahan diatom. Indikasinya terlihat pada tingkat signifikansi setiap variabel pembentuk persamaan GAM. Tingkat signifikansi variabel PAR berada pada kelompok sangat signifikan (p<0.001), sedangkan variabel SSC berada pada kelompok signifikan ( p<0.01). Definisi tingkat signifikansi tersebut mengacu pada Verzani (2005). Mugo et al. (2010) menggunakan metode yang sama untuk memperkirakan sebaran ikan cakalang di Jepang. Hasil persamaan GAM yang dibentuk dari empat variabel , yaitu SSC, SST, sea surface height (SSHA), dan eddy kinetic energy (EKE), dapat menjelaskan sebaran ikan cakalang di Jepang sebesar 13.3%. Lebih tingginya nilai deviance yang diperoleh dalam pembentukan GAM untuk diatom diduga karena kedua variabel yang digunakan untuk pembentukan model tersebut, secara ekologi terkait erat dengan aktivitas diatom di perairan. Pigmen klorofil-a ditemukan di setiap jenis fitoplankton laut (Ajani and Rissik, 2009), namun komposisi pigmen yang berbeda antar setiap jenis fitoplankton menyebabkan tingkat efektifitas absorpsi radiasi sinar matahari dan proses fotosintesis berbeda untuk setiap jenis fitoplankton (Satyendranath et al., 1987 dalam Satyendranath et al., 2004). Diduga karena perbedaan komposisi tersebut, variabel SSC mempunyai kontribusi yang lebih rendah dibandingkan variabel PAR dalam pembentukan model GAM. Variabel PAR mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton (Hoepffner et al., 2008), sedangkan diatom sendiri dikenal mempunyai tingkat efektivitas proses fotosintesis yang tinggi (Lochte et al., 1993 dalam Alvain et al., 2005). Diduga karena keterkaitan tersebut, variabel PAR mempunyai kontribusi yang lebih tinggi dibandingkan variabel SSC dalam model GAM yang terbentuk. Persamaan GAM digunakan untuk memprediksi sebaran kelimpahan diatom harian periode musim timur 2011 dengan input data harian PAR dan SSC pada periode tersebut. Hasil prediksi sebaran kelimpahan diatom ditampilkan pada gambar 5. Data harian sebaran PAR dan SSC Selat Bali dapat diperoleh dari hasil pengukuran Sensor MODIS Aqua maupun Sensor MODIS Terra. Namun, karena kondisi tutupan awan yang relatif tinggi pada wilayah Selat Bali, maka data harian SSC dan PAR yang mempunyai tutupan awan minimum saja yang dapat digunakan sebagai input dalam memprediksi sebaran kelimpahan diatom. Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

13

Kelemahan akibat tutupan awan yang relatif tinggi masih merupakan kendala dalam penggunanaan data-data sensor Ocean Color. Untuk wilayah Selat Bali sendiri, umumnya kondisi tutupan awan akan semakin meningkat ketika memasuki musim barat, sehingga data-data dari sensor Ocean Color cenderung tidak bisa digunakan untuk memprediksi sebaran kelimpahan diatom pada periode musim tersebut. Ketika musim barat, angin bertiup dari Benua Asia menuju Benua Australia dengan membawa massa udara yang lembab, sehingga menyebabkan presipitasi di Perairan Indonesia (Hendiarti et al., 2004). Dampaknya, tutupan awan di Perairan Indonesia cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya presipitasi pada periode musim barat. Prediksi sebaran kelimpahan diatom yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan pendekatan awal dalam memahami sebaran kelimpahan fitoplankton dan variabel-variabel oseanografi yang mempengaruhi distribusinya dalam skala ruang dan waktu. Pendekatan lain dengan menggunakan metode optical oceanography telah dilakukan oleh Satyendranath et al., (2004). Untuk menentukan sebaran populasi diatom dari sensor Ocean Color, Satyendranath et al., (2004) memanfaatkan perbedaan panjang gelombang radiasi balik setiap jenis fitoplankton. Pendekatan yang dilakukan oleh Satyendranath et al. (2004) tersebut setidaknya dapat membuktikan tentang perlunya pengembangan algoritmaalgoritma standar yang dipakai dalam pengolahan data-data dari sensor Ocean Color. Untuk meningkatkan akurasi dari prakiraan sebaran kelimpahan diatom yang dihasilkan dalam penelitian ini, pengambilan sampel diatom di Selat Bali masih terus dilakukan. Selain dapat digunakan untuk menambah jumlah data yang digunakan untuk keperluan pembentukan model GAM, data-data kelimpahan diatom yang diambil tersebut dapat juga digunakan untuk validasi hasil prakiraan sebaran kelimpahan diatom. KESIMPULAN Persamaaan GAM yang dibentuk dari variabel PAR (photosinthetically available radiation) dan SSC (sea surface cholorophyll-a) dapat menjelaskan kelimpahan diatom di Selat Bali sebesar 74 %. Secara statistik, variabel PAR mempunyai kontribusi yang lebih besar dalam pembentukan model GAM dibandingkan variabel SSC. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada tim observer Selat Bali BPOL yang terdiri dari Eko Susilo, Azis Muslim, dan Dedy Aan Zahruddin. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada tim Laboratorium Riset Kelautan-BPOL yang telah melakukan pengolahan data insitu konsentrasi diatom. Tidak lupa, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada mitra bestari Jurnal Kelautan Nasional, yang telah menelaah dan memberikan masukan untuk penyempurnaan makalah ini.

Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

14

DAFTAR ACUAN Ajani, P. and Rissik, D. 2009. Coastal and Marine Phytoplankton : Diversity and Ecology. In Suthers, I.M. and Rissik, D.(eds). Plankton. A Guide to Their Ecology and Monitoring for Water Quality. CSIRO Publishing. Pp. 141156. Alvain, S. Moulin, C., Dandonneau, Y. and Breon, F.M.. 2005. Remote Sensing of Phytoplankton Groups in Case 1 Waters from Global SeaWiFS Imagery. Deep Sea Research Part I Oceanographic Research Papers 52, 11 : 1989 2004. Alvain, S., Gaurier, L.D., and Loisel, H. 2010. Observation of Ocean Colour Beyond Chlorophyll-a : From Particulate Organic Carbon Content and Size Distribution to Phytoplankton Functional Groups. In Morales, J. Stuart, V., Platt, T., and Satyendranath, S. (eds). Handbook of Satellite Remote Sensing Image Interpretation : Appplication for Marine Living Resources Conservation and Management. EU PRESPO Project and IOCCG. Pp. 65-78. Ghofar, A., Mathews, C.P., Merta, I.G.S. and Salim, S. 1999. Incorporating the Southern Oscillation Indices to the Management Model of the Bali Strait Sardiniella Fishery. Proceeding of Workshop on the Fishery and Management of Bali Sardiniella (Sardiniella lemuru) in Bali Strait. Denpasar 8-6 April 1999. Hendiarti, N., Siegel, H., and Ohde, T. 2004. Investigation of Different Coastal Processes in Indonesian Waters using SeaWiFS Data. Deep Sea Research Part II: Tropical Studies in Oceanography. 51:85-97. Hendiarti, N., Suwarso, Aldrian, E, Amri, K., Andiastuti, R, Sachoemar, S.E and Wahyono, I.B. 2005. Pelagic Catch Around Java. Oceanography. 18(4) : 112-123. Hoepffner, N., Melin, F., Dowell, M., Marra, J., Saino, T., and Wilson, C. 2008.. Biogeochemical Cycles. In Platt, T., Hoepffner, N., Stuart, V., and Brown, C. (eds). IOCCG Report Number 7. Why Ocean Colour ? The Social Benefits of Ocean-Colour Technology. IOCGG. Pp. 31-46. Longhurst, A.R. 2007. Ecological Geography of the Sea. Second Edition. Elsevier. McClain, C.R. 2009. A Decade of Satellite Ocean Color Observations. Annual Review of Marine Science. 1 : 19-24. Merta, G.S., Iskandar, B., dan Bahar, S. 2004. Musim Penangkapan Ikan Pelagis Besar. Dalam Suwarso (ed). Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Balai Riset Perikanan Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Merta, G.S. 1994. Review of The Lemuru Fishery in the Bali Strait. In Potier, M., and Nurhakim, S. (eds).Biology, Dynamics, Exploitation of the Small Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

15

Pelagic Fishes in the Java Sea. The Agency for Marine and Fisheries Research. Merta, G.S., Widana, K., Yunizal , and Basuki, R. 1999. Status of the Lemuru Fishery in Bali Strait : Its Developments and Prospects. Proceeding of Workshop on the Fishery and Management of Bali Sardiniella (Sardiniella lemuru) in Bali Strait. Denpasar 8-6 April 1999. Mugo, R., Saitoh, S., Nihira, A., and Kuroyama, T. 2010. Habitat Characteristisc of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) in The Western North Pacific : A Remote Sensing Perspective. Fisheries Oceanography. 19(5): 382 396. Qu, T., Du, Y. Strachan, J., Meyers, G., and Slingo, J. 2005. Sea Surface Temperature and its Variability in The Indonesian Region. Oceanography. 18 : 5061. R Development Core Team.. 2008. R : A Language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. http://www.R-project.org. Robinson, I. S. 2004. Measuring Ocean from the Space, The Principles and Methods of Satellite Oceanography. Springer-Praxis. Robinson, I.S. 2010. Discovering The Ocean from Space. The Unique Applications of Satellite Oceanography. Springer-Praxis. Sartimbul, A. Nakata, H, Rohadi, E. Yusuf, B. and Kadarisman, H.P. 2010. Variations in Chlorophyll-a Concentration and The Impact on Sardinella lemuru Catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in Oceanography. 87 : 168-174. Satyendranath, S. Watss, L. Devred, E. Platt, T. Caverhill, C. and Maass, H. 2004. Discrimination of diatoms from other phytoplankton using ocean-colour data. Marine Ecology Progress Series. 272 : 59 -68. Suwarso. Hariati, T. Sadhotomo, B., Atmaja, S.B., dan Wudianto. 2004. Musim Penangkapan Ikan Pelagis Kecil. dalam Suwarso (ed.) Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Balai Riset Perikanan Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Verzani, J. 2005. Using R for Introductory Statistics. Chapman and Hall/CRC Press. Ware, D.M. and Thompson, R.E. 2005. Bottom-Up Ecosystem Trophic Dynamics Determine Fish Production in the Northeast Pacific. Science. 308 : 12801285. Wilson, C., Morales, J., Nayak, S., Asanuma, I., and Feldman, G. 2008. OceanColour Radiometry and Fisheries . In Platt, T., Hoepffner, N., Stuart, V., and Brown, C. (eds.). IOCCG Report Number 7. Why Ocean Colour ? The Social Benefits of Ocean-Colour Technology.IOCCG. Pp. 47-58.

Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

16

Wood, S.N. 2006. Generalized Additive Model, An Introduction with R. Chapman and Hall/CRC Press. Zuur, A.F., Ieno, E.N., Walker, N.J., Saveliev, A.A., and Smith, G.M. 2009. Mixed Effect Models and Extension in Ecology with R. Springer. Zuur, A.F. Ieno, E.N. and Elphick, C.S. 2010. A Protocol for Data Exploration to Avoid Common Statistical Problems. Methods in Ecology and Evolution. 2010(1): 3 14.

Wibawa, T.A.. 2012. Pemanfaatan Data Harian Sensor MODIS Aqua/Terra untuk Memperkirakan Sebaran Kelimpahan Diatom di Selat Bali. Jurnal Kelautan Nasional 7(2): 120-132.

You might also like