You are on page 1of 4

Gaya Kepemimpinan Soeharto

Pada jaman pemerintahan Soeharto warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hakhak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruhkomunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya. Pak Harto, panggilan akrab, beliau merupakan pemimpin yang punya visi dan misi. Target jangka pendek dan jangka panjangnya sangat jelas. Mahir dalam strategi, detailis dan

pandai dalam menggunakan kesempatan. Pembawaaannya formal dan tidak hangat dalam bergaul. Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian. Seorang penulis bernama Christina Ismail-Mahn, tinggal di Eropa, menulis perihal Soeharto dengan penuh puji-pujian. Buku tipis 67 halaman itu ditulis pada 1981, berjudul President Suharto, A Profile. Soeharto digambarkan bak seorang presiden tanpa cela yang berhasil menyelamatkan dan menyejahterakan bangsa Indonesia. Pada masa pemerintahan Soeharto, rakyat tidak bebas dalam bersuara, kebebasan rakyat dibatasi dengan banyak aturan, dalam berorganisasipun diatur oleh pemerintah secara nyata. Media Pers dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sedangkan untuk mengeliminir gerakan

mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru. Sedangkan demi terwujudnya Negara yang bebas dari unsur PKI, Soeharto tak segansegan dalam memberantas unsur PKI. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Belum lagi penculikan terhadap keluarga anggota PKI. Disini terlihat sekali bagaimana ambisiusnya seorang Soeharto untuk mewujudkan misi dan visinya tanpa menghiraukan hubungannya dengan masyarakat.

Ambisi yang lainnya saat menjadikan Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente /partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka. Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil. Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa pemerintahannya membuatnya populer dengan sebutan "Bapak", yang pada jangka panjangnya menyebabkan pengambilan keputusankeputusan di DPR kala itu disebut secara konotatif oleh masyarakat Indonesia sebagai sistem "ABS" atau "Asal Bapak Senang". Pemerintahan bagai dimonopoli agar dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Soeharto. Disini dapat dilihat bahwa dalam gaya kepemimpinan Managerial Grid, gaya kepemimpinan Soeharto masuk ke dalam Grid 9.1. Seorang pemimpin disebut sebagai pemimpin yang menjalankan tugasnya secara otokratis. Pemimpin semacam ini hanya mau memmikirkan tentang usaha peningkatan efisiensi pelaksanaan kerja, tidak mempunyai atau hanya sedikit rasa tanggung jawabnya pada orang-orang yang bekerja dalam organisasinya. Dan gaya kepemimpinanya lebih menonjol otokratisnya. Setelah membaca artikel mengenai Soeharto diatas, menurut saya gaya kepemimpinan soeharto sangat otoriter, sehingga soeharto lebih cenderung mmemusatkan perhatiannya ke bidang produksi, tanpa memperhatikan hubungan dengan bawahannya. Hal tersebut diperjelas dengan sikapnya yang punya visi dan misi. Target jangka pendek dan jangka panjangnya sangat jelas. Mahir dalam strategi, detailis dan pandai dalam menggunakan kesempatan. Pembawaaannya formal dan tidak hangat dalam bergaul. Soeharto tidak kenal teman, pendukung, atau sekutu lama. Dia sangat ruthless memecat dan minyingkirkan orang yang dia pandang tidak berguna atau tampil sebagai rival. Pemerintahan Soeharto yang di sebut Orde Baru memang mengambil alih kekuasaan dalam keadaan politik yang kacau, termasuk ketidakpastian ekonomi rakyat karena harga yang meningkat pesat dan tidak terjangkau oleh daya beli rata-rata masyarakat luas. Karena itu, sampai beberapa tahun kekuasaan beralih masalah ekonomi masih menjadi persoalan yang pelik. Pemerintahan Soeharto pada waktu itu seperti tidak ada pilihan lain, kecuali mengubah dengan ekstrem fokus pembangunan di bidang ekonomi dengan cara yang luar biasa untuk

memacu pertumbuhan ekonomi, dan transformai menuju industrialisasi. Ide gagasan awal dari pola gerakan pembangunan ekonomi yakni pertumbuhan ekonomi akan menetes ke bawah dan tidak ada pemerataan tanpa pertumbuhan ekonomi, walaupun pada akhirnya yang dibagi hanya kemiskinan kepada masyarakat Indonesia. Permasalahan selanjutnya ketika pertumbuhan ekonomi benar-benar tercapai pada fase pertengahan kepemimpinan Soeharto sekitar 7-8% pada tahun 1967-1981, tetapi nampaknya tetap saja pemerataan tertinggal jauh di belakang. Landasan pembangunan ekonomi Soeharto, pada akhirnya mengakibatkan partisipasi masyarakat dalam sistem pemerintahan dianggap lebih mengganggu proses pembangunan.

You might also like