You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Agama merupakan usaha untuk menciptakan sejumlah tata-aturan dan upacara. Dengan aturan-aturan tersebut kita dapat menyelamatkan diri dari gangguan naluri serta dasar rasa takut karena agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan batin manusia. Agama berisi peraturanperaturan untuk kebaikan umat manusia. Sedangkan moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan atau kelakuan, akhlak, dan sebagainya. Moral adalah suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada pengertiannya mengenai hal yang baik-baik. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.

B. Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian dari spiritual (agama) dan moral ? 2. Bagaimanakah tahap-tahap perkembangan penghayatan keagamaan ? 3. Bagaimana menurut pandangan islam tentang aspek-aspek spiritual (agama) dan moral ? 4. Bagaimanakah kaitannya dengan aspek-aspek yang lain ?

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Spiritual (Agama) dan Moral 1. Pengertian spiritual (agama) Kata spritualitas berasal dari bahasa inggris yaitu spirituality, kata dasarnya spirit yang berarti roh, jiwa, semangat (Echols & Shadily, 1997). Kata spirit sendiri berasal dari kata latin spiritus yang berarti: luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (courage), energi atau semangat (vigor), dan kehidupan (Ingersoll, 1994). Kata sifat spiritual berasal dari kata latin spiritualis yang berarti of the spirit (kerohanian).. Menurut kamus webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahsa latin spiritus yang berarti nafas dan kata kerja spirare yang berarti untuk bernafas. Melihat asal katanya, untuk hidup adalah untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Definisi tentang spiritualitas meliputi komunikasi dengan tuhan (Fox, 1983) dan upaya seseorang untuk bersatu dengan tuhan (Magill & McGreal, 1988). Sedangkan menurut Witmer (1989) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu kekuatan atau suatu yang lebih agung dari diri sendiri. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Disamping itu spiritual (agama) merupakan usaha untuk menciptakan sejumlah tata aturan dan upacara. Dengan aturan-aturan tersebut, kita dapat menyelamatkan diri dari gangguan naluri serta dasar rasa takut karena agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan batin manusia. Agama berisi peraturan-peraturan untuk kebaikan umat manusia. Manusia adalah makhluk yang berperasaan, beremosi, dan berafeksi. Sikap-sikap yang amat berbeda terhadap perasaan itu menjadi peringatan

bahwa bagi banyak orang agama memiliki kandungan rasa dan emosi tinggi. Spiritualitas dapat merupakan ekspresi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang, dan lebih dari pada hal yang bersifat indrawi. 2. Pengertian Moral Istilah moral berasal dari kata latin mores yang artinya tatacara kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Moral memiliki tiga komponen, yaitu: Komponen afektif moralitas (moral affect) merupakan berbagai jenis perasaan yang menyertai pelaksanaan prinsip etika. Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang penting. Komponen kognitif moralitas (moral reasoning) merupakan pikiran yang ditunjukkan seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan yang benar atau yang salah. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh. Komponen perilaku moralitas (moral behavior) merupakan tindakan yang konsisten terhadap tindakan moral seseorang dalam situasi di mana mereka harus melanggarnya. Islam menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan yang benar seperti menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Pengertian moral menurut para ahli antara lain: 1. Menurut (purwadarminto, 1957:957), moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. 2. Menurut Rogers (2008), moral merupakan standar baik buruk yang ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial. Dari pengertian diatas kita dapat menyimpulkan bahwa moralitas merupakan aspek kepribadian atau ajaran tentang baik buruk perbuatan atau kelakuan, akhlak yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan

kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan. Dan morallah yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah dalam moral diatur segala perbuatan yang dimiliki baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.

B. Tahap-Tahap Perkembangan Penghayatan Keagamaan Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual, di samping emosional dan volisional (konatif), mengalami perkembangan. Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, william James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tahapan-tahapan itu ialah sebagai berikut: 1. Masa kanak-kanak (sampai usia tujuh tahun) yang ditandai oleh: Sikap keagamaan reseptif meskipun banyak bertanya; Pandangan ke-Tuhan-an yang anthropornmorph (dipersonifikasikan); Penghayatan secara rohaniah masih superficial (masih belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual; Hal ke-Tuhan-an dipahamkan secara ideossyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih bersifat centric (memandang sesuatu dari sudut dirinya); 2. Masa anak sekolah (7-12 tahun) yang ditandai oleh: Sikap keagamaan bersifat reseptif tetapi disertai pengertian; Pandangan danpaham ke-Tuhan-an diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan keagungan-Nya;

Penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral. 3. Masa remaja (12-18) yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, yaitu: a. Masa remaja awal yang ditandai oleh: Sikap negatif (meskipun tidak terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hypocric (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya; Pandangan dalam hal ke-Tuhan-annya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak tidak cocok atau bertentangan satu sama lain; Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik (diliputi kewaswasan) swehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan. b. Masa remaja akhir yang ditandai oleh: Sikap kembali, pada umumnya, ke arah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa; Pandanga dalam hal ke-Tuhan-an dipahamkannya dalan konteks agama yang dianut dan dipilihnya; Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu pula ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia sebagai penganutnya, yang baik (saleh) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogianya diterima sebagai kenyataan yang hidup di dunia ini.

C. Aspek-Aspek Spiritual Dan Moral Menurut Pandangan Islam Menurut pandangan islam moral atau akhlak itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan beragama. Karena nilai-nilai yang tegas, pasti tetap tidak bisa berubah karena keadaan. Tempat dan waktu adalah nilai-nilai yang bersumber dari agama. Ari Ginanjar Agustian, dalam bukunya ESQ (Emotional Spiritual Question), juga menjelaskan bahwa kekuatan berfikir (manusia) memiliki potensi bagi yang besar bagi hidup manusia. Dimana iman yang dimaksud adalah keyakinan dalam hati, mengucapkan dalam lisan serta mengamalkan perbuatan iman sebagai dasar rujukan dalam proses berfikir secara aktual yang dimanifestasikan dalam bentuk amal soleh yaitu suatu bentuk aktivitas kerja, kreatifitas yang ditempuh oleh semangat tauhid untuk mewujudkan rahmatan lil alamin. Keseimbangan bagi alam dan segala isinya. Hal ini sesuai dengan akhlak/moral islam yang merupakan suatu sikap dan perilaku perbuatan yang luhur, yang mempunyai hubungan dengan dzat yang maha kuasa:Allah SWT. Bahwasannya akhlak islam juga adalah produk dari keyakinan atas kekuasaan dzat ke-Esa-an tuhan, jadi dia adalah produk dari jiwa tauhid. Meskipun akhlak islam berdasarkan Al-Quran dan AsSunnah, bukan berarti islam tidak memandang akal sebagai tolak ukur perbuatan itu baik atau buruk. Peranan akal dalam mempertimbangkan baik tau buruknya suatu perbuatan juga sangat besar. Karenanya perbuatan bisa dinilai baik juga pikirannya bahwa perbuatan itu baik, dan buruk atau tercela jika melakukan perbuatan yang diputuskan akalnya buruk. Namun perlu diketahui pula bahwa akal manusia hanya merupakan suatu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan dan keputusannya. Bermula dari pengalaman empiris kemudian diolah menurut kemampuan pengetahuannya. Oleh keputusan yang diberikan akal hanya bersifat subyektif.

D. Aspek Spiritual (Agama) kaitannya Dengan Aspek Lain Kaitan antara Agama, Emosional, Moral, dan Sosial yaitu dengan adanya aturan-aturan dalam agama itu maka manusia dapat mengetahui, memahami serta merealisasikan aturan-aturan yang ada di dalam agama

tersebut. Dengan adanya aturan-aturan yang ada dalam agama itu, manusia dapat mengendalikan emosinya dan selain itu manusia juga harus memiliki kemampuan dan strategi untuk mengatur emosinya. Adapun strategi yang dapat digunakan untuk mengendalikan emosi. Nabi Muhammad SAW. Mengajarkan : apabila salah seorang dari kalian marah sambil berdiri, maka hendaklah dia duduk. Jika rasa marah itu hilang dari dirinya(maka hal itu sudahlah cukup). Namun jika masih belum pulang juga hendaknya dia berbaring. Sesungguhnya rasa marah itu termasuk godaan setan dan sesungguhnya setan itu di ciptakan dari api. Sesungguhnya api hanya bisa di padamkan dengan air. Oleh karena itu jika salah satu diantara kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR Abu Dawud). Selain itu, islam juga mengajarkan agar manusia itu tidak berlebih lebihan dalam meluapkan emosinya. Intensitas emosi yang terlalu tinggi dapat membuat seseorang kehilangan kontrol, baik emosi negatif maupun positif. Dan juga dengan adanya aturan-aturan itu manusia bisa membedakan yang baik dan buruk. Disamping itu dengan kita memahami agama itu kita dapat berkerja sama atau bersosialisasi antar sesama manusia. 1. Spiritual Dan Religiusitas Meskipun keduanya (agama dan spiritualitas) terlanjur dipisahkan, namun untuk pemenuhan makna hidup manusia yang sejati, nampaknya harus ada upaya pemaduan antara spiritualitas dan agama. Agama memang tidak sama dengan spiritualitas, namun agama merupakan bentuk spiritualitas yang hidup dalam peradaban, dengan pernyataan William Irwin Thompson (dalam Aliah B.Puewakania Hasan, 2006). Bahkan Mickley et al (dalam Achir Yani S.Hamid, 2000), menyebutkan bahwa agama merupakan salah satu dimensi eksistensial. Dimensi eksistensial dari spiritualitas berfokus pada tujuan dan makna hidup, sedangkan dimensi agama dari spiritualitas berfokus pada hubungan seseoang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Singkatnya, agama bisa dikatakan tidak sama dengan spiritualitas, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Betapapun, agama tanpa spiritualitas adalah kering, dan spiritualitas tanpa

agama lumpuh. Atau seperti apa yang dikemukakan oleh Nasr, mengembangkan spiritualitas tanpa agama seperti menanam pohon di atas angin, tidak akan tumbuh sempurna. 2. Spiritualitas Dalam Psikologi Humanistik Psikologi humanistik berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak baiknya daripada buruknya. Psikologi humanistik memusatkan perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni sifat-sifat kemampuan khusus manusia yang terpatri pada eksistensinya, seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, humor, sikap etis dan rasa estetika. Psikologi humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri. Asumsi ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar, mandiri, pelaku aktif yang dapat menentukan hampir segalanya. Viktor frankl adalah salah seorang tokoh psikologi humanistik yang sangat mempercayai dan banyak mempelajari fenomena makna hidup, kehendak untuk hidup bermakna dan bagaimana mengembangkan makna hidup. Perhatiannya yang besar terhadap fenomena makna hidup ( the meaning of life ) ini kemudian melahirkan sebuah aliran psikologis/psikiatri yang dikenal dengan logoterapi. Sesuai dengan akar kata logos yang dalam bahasa yunani berarti meaning (makna) dan juga sprituality (kerohanian), maka logoterapi atau spiritualitas disamping dimensi-dimensi ragawi,, kejiwaan dan lingkungan sosial budaya, Frankl beranggapan bahwa keinginan yang paling fundamental dari manusia adalah keinginan untuk memperoleh makna bagi eksistensinya, yang dalam bahasa Frankl disebut sebagai kehendak akan makna ( the will to meaning). 3. Spiritualitas Dalam Psikologi Transpersonal Psikologi transpersonal sebenarnya merupakan kelanjutan atau lebih tepatnya pengembbangan dari psikologis humanistik. Aliran psiologis ini disebut aliran keempat psikologi. S.I. Shapiri dan Denise H.

Lajoie (1992) menggambarkan psikologi transpoersonal sebagai berikut: transpersonal psychology is concerned with the study of humanitys highest potential, and with the recognation, understanding, and realization of unitive, spiritual, and trancendent states of consciousness. Dari rumusan diatas terlihat dua unsur penting yang menjadi perhatian psikologis transpersonal, yaitu, potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan penomena kesadaran, (state of coniousness) manusia. Dengan perkataan lain, psikologi transpersonal mempokuskan perhatian dimensi speritual dan pengalaman-pengalaman rohaniah manusia. The states of consciousness atau lebih populernya disebut the altered states of consciousness adalah pengalaman seorang melewati

batas-batas kesadaran biasa, seperti pengalaman-pengalaman ahli dimensi, memasuki alam-alam kebathinan, kesatuan mistik, komunikasi batiniah, pengalaman meditasi dan sebagainya. Demikian juga mengenai potensipotensiluhur manusia menghasilkan telaah-telaah seperti altered states of consciousness, extra sensory perception, transendensi diri, kerohanian, potensi luhur dan paripurna, dimensi di atas alam kesadaran, pengalaman mistik, ekstasi, parapsikologi, paranormal, daya-daya batin, pengalaman spritual dan praktek-praktek keagamaan di kawasan timur dan dan di berbagai belahan dunia lainnya, dan sebagainnya. Psikologi transpersonal, seperti halnya psikologi humanistik, menaruh perhatian pada dimensi spritual manusia yang ternyata mengandung berbagi potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontenporer. Bedanya adalah; psikologi humanistik lebih memanfaatkan potensi-potensi ini untuk peningkatan hubungan antara manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman luar biasa dari potensi spritual ini ( bastaman, 1997 ). Gambaran selintas mengenai psikologi transpersonal menunjukkan bahwa aliran ini mencoba untuk menjajagi dan melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai bidang

garapan kaum kebatinan, agamawan, dan mistik. Meskipun masih dalam taraf telaah awal, psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar alam kesadaran biasa terhadap ragam dimensi lainyang luar biasa potensialnya.

10

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Dari uraian di atas kita menyimpulkan bahwa spiritual(agama) itu merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup, serta merupakan untuk menciptakan tata aturan. Sedangkan moral adalah aspek kepribadian atau ajaran tentang baik buruk perbuatan atau kelakuan, akhlak yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil dan seimbang. Perilaku moral di perlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai, penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan. Adapun berbagai aspek perkembangan yang mempengaruhi individu yaitu pertumbuhan fisik, pertumbuhan kognitif, intelektual, perkembangan perkembangan sosial, dan

psikomotorik,

perkembangan

perkembangan emosi.

11

DAFTAR PUSTAKA

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya. Aliah B. Purwakania Hasan. 2006. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Abin Syamsuddin Makmun. 2007. Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Abu Ahmadi ddk. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta. Muhammad Asrori ddk. 2006. psikologi perkembangan-Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta. Mustaqim dkk. 2005. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Rineka Cipta. Sunarto dan Agung Hartono. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

12

You might also like