You are on page 1of 12

Perempuan dan Feminisme dalam politik internasional Abstract Representation of the world, like the world itself, is the

work of men; they describe it from their own point of view, which they confuse with absolute truth. Simone de Beauvoir Perempuan dan ketimpangan gender bukan bahasan yang baru. Tidak hentinya perempuan menjadi bahasan karena kompleksitas perempuan dan dunia disekitarnya. Introduction Subordinasi perempuan sebenarnya terjadi dikarenakan streotipe perempuan yang lemah. Penegasan mengenai konstuksi sosial yang patriarki membuat perempuan berada pada posisi tersudutkan. Perempuan merupakan salah satu dari dua jenis kelamin manusia; satunya lagi adalah lelaki atau pria. Berbeda dari wanita, istilah "perempuan" dapat merujuk kepada orang yang telah dewasa maupun yang masih anak-anak. Perempuan adalah sosok yang indah bila kita memiliki jiwa seni yang tinggi. Tuhan menciptakan perempuan dengan begitu sempurna, dengan tubuh yang lebih kecil daripada pria para perempuan dapat memiliki peran yang sama. Kalimat seperti perempuan adalah makhluk yang harus dilindungi menurut kalangan perempuan sendiri hal tersebut adalah fiksi. Gerakan perempuan mulai berkembang dikarenakan ketidakseimbangan peran yang terjadi. Perempuan dianggap lemah karena memiliki beberapa perbedaan biologis, perbedaan itu yang membuat perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak sempurna. Ketimpangan antara perempuan dan pria dibahas oleh feminisme, sebagai situasi yang dipandang dapat mempengaruhi pembagian kekuasaan antara pria, dan perempuan pada kehidupan. Relasi kekuasaan pria dan perempuan terjalin secara tidak langsung dikarenakan pria dan perempuan memiliki nilai sebagai suatu kesatuan. Kita dapat menyimpulkan bahwa gender memiliki pengaruh atas relasi kekuasaan antara pria dan perempuan. Gender adalah perspektif yang digunakan manusia untuk membedakan kumpulan nilai tertentu yang diutamakan. Gender berbeda dengan jenis kelamin (sex), karena sex bersifat natural, sementara gender itu nurture (bentukan). Secara alami perempuan akan mengalami yang namanya menstruasi, kehamilan, dan menopause. Hal tersebut semuanya tidak akan dialami oleh pria. Operasi penggantian kelamin pun tidak dapat mengubah secara sempurna sifat natural tersebut.

Namun berbeda dengan gender yang merupakan bentukan dari budaya dan peradaban manusia. Seperti menurut Peter dan Brigitte Berger, gender terbagi atas maskulin dan feminim, yang masing-masing memiliki nilai-nilai utama untuk dikejar. Maskulin adalah gender yang berorientasi pada kekuasaan, kekayaan material, dan pengakuan sosial/privilege. Gender ini juga memiliki nilai-nilai instrumental berupa pendidikan tinggi dan pekerjaan yang elit. Sementara itu, feminim adalah gender yang berorientasi pada kelembutan, kasih sayang, dan keindahan. Gender ini memiliki nilai-nilai instrumental berupa pengasuhan yang baik, penumbuhan dan penyebaran cinta kasih. Pada dasarnya, kedua gender ini memiliki kedudukan yang sama. Maskulin maupun feminin keduanya sama-sama dibutuhkan oleh manusia. Walaupun gender maskulin lebih dekat dengan pria, dan feminin menjadi identik dengan wanita, ada alasan medis berupa faktor hormonal serta alasan sosial berupa kebudayaan di baliknya. Akan tetapi, seorang manusia dapat saja memiliki nilai maskulin dan feminin sekaligus. Perempuan, Feminisme, Kekuasan, dan Politik Kekuasaan dekat dengan bagaimana kita mengotorisasi orang lain. Membuat orang lain mematuhi kita. Menurut Lydia Swan dalam bukunya Power Failure yang menjelaskan :` Kekuasaan adalah kemampuan berbuat atau bertindak. Kekuasaan adalah kemampuan memobilisasi sumber daya, uang, orang, untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Kekuasaan tidak dapat dinilai baik atau buruk. Kekuasaan bernilai netral. Mengumpulkan beberapa orang dan mengarahkan kepada suatu tujuan itulah kekuasaan Mitos yang mengharamkan wanita berkuasa karena merupakan penyimpangan dan tidak bisa diterima. Untuk memperoleh apa yang mereka inginkan perempuan belajar menjalankan kekuasaan dengan cara yang tidak terlalu maskulin.Karena sebenarnya perempuan melakukan hegemoni kekuasaan dengan cara-cara feminim yang terlihat dalam caranya mengendalikan anak dalam pola pengasuhan. Keinginan berkuasa cenderung ada pada setiap diri manusia tidak terkecuali untuk perempuan. Kaum perempuan juga memiliki kecenderungan yang sama menginginkan kekuasaaan. Dimana kekuasaan membuat mereka aman dan percaya diri. Namun banyak faktor yang membuat perempuan menekan keinginan tersebut.

Membahas kekuasaan perempuan dalam dunia politik terdapat streotip yang menyatakan haruskah perempuan meninggalkan identitas mereka dan berlagak layaknya laki-laki dalam lingkungan politik. Salah satu akses kaum perempuan adalah mencoba mengenakan pakaian nilai maskulin untuk dapat menunjukkan kesetaraannya. Dalam beberapa hal kaum perempuan seperti ini cenderung masuk kedalam praktek lama awal feminisme. Banyak perempuan menduduki jabatan kepemimpinan dalam pemerintahan, bisnis, dan lembaga lain tidak lagi perlu meniru gaya dan cara berbusana laki-laki. Walaupun tidak dipungkiri sampai saat ini masih sulit untuk menanggalkan nilai maskulin di dunia politik. Politik adalah tempat untuk para laki-laki, dominasi laki-laki ini meyakinkan perempuan untuk menggunakan kekuasaannya untuk menunjukkan mereka mampu. Perempuan dalam lingkungan politik selalu merasa kurang cocok dengan adanya pembagian kerja yang berdasarkan jenis non-tradisional. Banyak anggota masyarakat berpendapat bahwa mereka belum bisa menerima sepenuhnya bila perempuan dan laki-laki menempati kedudukan yang dalam anggapannya tidak pantas untuk mereka. Kita masih dalam perspektif tradisional, heran kita bila melihat seorang isteri menduduki kedudukan yang tinggi sementara sang suami menjadi bapak rumah tangga. Pembagian kerja seperti ini tidaklah mengherankan bila sesuai dengan kapabilitas dan nilai-nilai masing-masing. Sekali lagi terkadang masyarakat bingung terhadap persoalan gender dalam politik yang tercermin pada hal-hal kecil yang menjengkelkan. Peran Perempuan Dalam Dinamika Politik-Ekonomi Internasional Pada tahun 1970-an para ahli Hubungan Internasional mengeluhkan tentang kelalaian bersama yang terjadi.dalam ilmu politik-ekonomi serta hubungan internasional. Pembahasan mengenai perempuan serta perannya dalam dinamika politik Internasional ternyata sama sekali belum dibahas. Begitupun dengan mahasiswa-mahasiswa baru yang mendapatkan beasiswa dibidang tersebut, tak ada perempuan disana. Artinya area tersebut steril dari perempuan, sebelum akhirnya aturan mengenai beasiswa di bidang politik-ekonomi-internasional mengalami perubahan.

Studi mengenai politik-ekonomi-internasional telah di-gender-kan. Secara khusus berkaitan dengan pengalaman gender, perempuan telah dibuat menjadi tak terlihat, meskipun disisi lain perempuan telah diizinkan untuk memasuki dunia politik-ekonomi-internasional. Perempuan dan pengalaman mereka seolah dibuat menghilang dibawah universialisasi pengetahuan (man)usia. Feminis yang mendapatkan beasiswa di bidang politik-ekonomiinternasioanal telah berusaha untuk membuat perempuan dan gender yang tumpang tindih terlihat melalui dua jalan, yakni dekonstruksi dan rekonstruksi. Dekonstruktif secara sistematis membawa perempuan ke garis depan untuk mengungkapkan bias andosentris (laki-laki sebagai norma) dalam lingkup politik-ekonomi-internasional. Rekonstruktif telah mengembangkan teori politik-ekonomi-internasional yang sensitive gender. Teori politik-ekonomi-internasional non-feminist telah mendegradasi perempuan kedalam zenana, bidang privat. Teoretis feminis dalam mengkritisi teori-teori ini mencoba untuk membangun pengetahuan dimana panggung politik-ekonomi-internasional mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kehidupan perempuan. Teoretisi feminis telah memperluas ruang lingkup politik-ekonomi-internasional yang bias serta mengkoreksi androsentris. Membuat lebih sesuai dengan kenyataan dengan memeriksa kembali kehadiran perempuan di perusahaan multi nasional, sector pertanian, informal, dan sektor jasa. Kita bisa melihat bagaimana wanita dibawah ke tengah panggung dengan memeriksa korporasi global. Pengenalan pengolahan zona ekspors atau zona perdagangan bebas di Negara dunia ketiga terus meningkat. Menurut model ekonomi-politik-internasional liberal/neoklasik , investasi perusahaan tertarik oleh penciptaan pasar bebas. Hal ini mendorong pembangunan di Negara dunia ketiga. Model ini berpendapat bahwa investasi perusahaan dipandu oleh upaya untuk mengoptimalkan keuntungan dan kebijakan tentang angkatan kerja yang lebih murah. Namun penyediaan tenaga kerja murah ini terkait dengan politik ras dan gender, hal ini bisa terjadi karena Negara dunia ketiga menyediakan tenaga kerja laki-laki yang lebih murah daripada tenaga kerja laki-laki di Negara dunia pertamadan tenaga kerja perempuan di Negara dunia ketiga bahkan lebih murah daripada tenaga kerja laki-lakinya. Jadi model liberal/neo klasik mengabaikan basis gender dalam hubungan industry-politik dari dunia nyata. Penelitian oleh feminis menyatakan bahwa gender atau konstruksi sosial untuk laki-laki dan perempuan adalah salah satu penyebab peningkatan tenaga kerja wanita. Baik manajer

pabrik dan pejabat pemerintah mengacu pada konstruksi biologis dan perbedaan emosional antara laki-laki dan perempuan dalam penetapan alokasi bekerja di area tekstil dan elektronik. Sebuah brosur dari pemerintah Malaysia menggunakan ketangkasan perempuan oriental untuk menarik investor perusahaan. Penggunaan ketangkasan perempuan oriental digunakan oleh pemerintah Malaysia karena istilah tersebut telah terkenal ke seluruh penjuru dunia. Mereka memiliki tangan yang lebih kecil dan sangat teliti. Entitas mana lagi, dalam hal ini yang lebih tangkas daripada perempuan oriental? yang dapat berkontribusi pada efisiensi produksi. Manajer Maquildras di perbatasan Amerika Serikat Meksiko juga telah menggunakan konsepsi serupa. Manajer pabrik mendasarkan preferensi mereka pada fitur anatomis perempuan (terutama perempuan muda). Mereka menyatakan bahwa perempuan dianggap lebih terampil daripada lakilaki. Mereka memiliki jari-jari lincah, lebih sabar, dan memiliki penglihatan lebih teliti daripada laki-laki sehingga mereka dianggap cocok untuk perakitan. Perubahan strategi korporasi global yang dianggap menghadirkan kembali peran perempuan dipandu oleh sebagian besar kebutuhan mereka akan tenaga kerja yang murah dan patuh. Lebih dari itu, angkatan kerja terbaik yang dapat ditemukan dari sekaligus yang paling rentan dalam populasi adalah perempuan muda. wanita dipekerjakan karena kewanitaan berdasarkan stereotype tentang wanita dan gender sebagai pembeda. Apakah ini mengarah pada eksploitasi atau pembebasan perempuan. Jawabannya tidak dapat ditemukan dalam dualism sederhana antara eksploitasi atau pembebasan. Investasi perusahaan pada perempuan sangat kompleks dan secara bersamaan dapat menimbulkan ekslpoitasi dan pembebasan sekaligus. Di satu sisi, korporasi global memberikan wanita pekerjaan dan upah yang tak dapat disediakan oleh perusahaan pribumi sehingga mereka dapat memiliki alat ekonomi yang dapat digunakan untuk pembebasan. Walaupun demikian, beberapa hal harus dikorbankan. Hal-hal tersebut meliputi berkurangnya atau hilangnya dukungan jaringan keluarga, kehilangan status dan rasa hormat, kerentanan terhadap serangan seksual. Pekerjaan tersebut lebih sering menimbulkan bahaya bagi kesehatan emosional dan fisik perempuan. Bahaya yang mengintai dari pekerja wanita adalah penyakit paru-paru coklat yang ditemukan diantara pekerja tekstil dan penyakit mata kronis yang ditemukan dalam pekerja elektronik. Tingkat stress dan kecemasan yang tinggi terkait ketidaknyamanan kerja, pelanggaran kode etik, beban kerja yang tinggi, dan pelanggaran hak-hak pekerja sering ditemukan. Praktek dari

sterilisasi paksa adalah contoh dari pemaksaan manajer perusahaan. Bila dilihat dari sisi ekonomi, tentu sangat eksploitatif mengingat besaran upah yang diterima lebih rendah daripada upah buruh internasional. Representasi Perempuan Dalam Politik Saat ini bila melihat representasi perempuan berpolitik, kita tidak bisa meninggalkan peran gerakan perempuan dan paham feminisme yang muncul. Walaupun banyak kritikan dan pandangan yang menyatakan bahwa berkembangnya feminisme menjebak perempuan untuk masuk dalam arena kesetaraan dan nilai-nilai emansipasi. Dalam sejarahnya bisa kita lihat bahwa perempuan sudah ikut berperan untuk kemajuan bangsa mulai dari jaman pra kemerdekaan hingga saat ini. Ketika para laki-laki mengangkat senjata, para perempuan juga ikut mengangkat senjata melawan penjajah. Bisa kita sebut Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu dan lain sebagainya sebagai contoh. Ketika para laki-laki mulai mendongkrak kemajuan bangsa lewat pendidikan maka wanita sudah memulainy dengan munculnya pemikiran R.A Kartini dan sekolah-sekolah yang dibangun Dewi Sartika. Seperti itu juga dalam halnya berpolitik, para perempuan telah membentuk kekuatan-kekuatan politik lewat organisasi-organisasi keperempuanan guna mengekspresikan dirinya dalam bidang politik. Akan tetapi dalam masa orde baru organisasi perempuan terhambat oleh paradigma yang dibangun selama masa itu, yaitu bahwa wanita adalah pembantu laki-laki dalam mengurusi masalah rumah tangga atau kita biasa menyebutnya masalah domestik. Dan saat orde baru berhasil ditumbangkan, era reformasi lahir. Gerakan perempuan seperti menemukan kehidupannya lagi. Setelah mendapat tekanan kuat dari pemerintah yang otoriter akhirnya organisasi perempuan mempunyai hak untuk dapat berkembang dan bergerak untuk ikut serta membangun kemajuan bangsa Indonesia. Banyak kalangan aktivis perempuan yang meranggapan bahwa sumber ketidakadilan yang diperoleh oleh para perempuan adalah akibat dari kebijakan negara yang tidak berpihak pada mereka. Dan bisa kita ketahui bahwa pada saat ini perlakuan legitimate untuk mengatur dan membuat aturan dalam rangka berbangsa dan bernegara adalah melalui jalur politik. Oleh sebab untuk memperjuangkan nasibnya perempuan harus ikut serta dalam perpolitikan bangsa.

Perjuangan telah dimulai dan pada akhirnya membuahkan hasil dengan adanya aturan tentang keikutsertan atau partisipasi perempuan dan tata cara pengambilan kebijakan yang gender mainstreaming. Akan tetapi masih banyak ketakutan yang menjadi perbincangan diantara para aktivis, apakah aturan-aturan yang dibuat akan menjadi alat substansial yang memperjuangkan partisipasi perempuan dalam dunia politik ataukah hanya akan menjadi alat tanpa kekuatan yang digunakan sebagai peredam gejolak para perempuan. Ada dua hal yang menjadi masalah utama mengenai keterlibatan perempuan dalam politik, yang pertama adalah mengenai keterwakilan perempuan yang sangat minim diruang publik dan yang kedua adalah minimnya platform partai politik yang sadar akan kebutuhan perempuan berpolitik. Hal ini dijawab dengan berbagai kebijakan pemerintahan yang berusaha menjadi solusi dari dua permasalahan tersebut yaitu kuota 30 % yang harus diisi oleh para perempuan. Dan dengan aturan ini tiap partai secara sadar ataupun tidak akan pentingnya partisipasi perempuan dalam berpolitik akan berlomba-lomba memenuhi targetan tersebut. Hal ini dirasa sangat pragmatis oleh beberapa pengamat, tapi inilah langkah awal yang mulai dibangun oleh pemerintahan untuk membentuk sistem perpolitikan Indonesia yang sadar gender dan bisa menghasilkan kebijakan yang lebih adil dan baik dibanding sistem perpolitikan yang hanya berisi para laki-laki saja. Setelah masalah tersebut bisa dijawab akan muncul permasalahan selanjutnya yaitu mengenai penyiapan para calon politisi perempuan yng memenuhi syarat. Karena keterwkilan sesutu itu tidak bisa dilihat hanya dari kuantitasnya saja akan tetapi juga hrus melihat secara kualitasnya agar keterwakilan yang telah diatur melalui undang-undang tidak hanya sekedr menjadi formalitas saja mengenai keberadaan perempuan di bidang politik akan tetapi bisa mempunyai artian substaansial pula akan keberadaannya. Oleh karena itu kami merasa bahwa proses memperjuangkan representasi perempuaan dalam bidang politik belum berhenti sampai disini. Aturan-aturaan yang telah dibuat dan disahkan harus dibarengi oleh kesadaran-kesadaran dari berbagai pihaak mengenai pentingnya representasi politik perempuaan guna kemajuan bangsa.

Semua pihak harus mengambil perannya, baik pemerintahan, anggota legislatif, aktivis perempuan hingga sistem pendidikan. Pemerintah bisa berperan dengan membuat programprogram yang menyedot partisipasi besar kaaum perempun dan membuat progrm-program yang memberikan kesadaran pada masyarakat akan pentingnya representasi perempuan, para anggotra dewan bisa berperan melalui aaturan-aturan yang dibuat sehingga baik secaraa langsung maupun tidak keikutsertaan perempuan akan menjadi kebutuhan oleh partai politik, aktivis perempuan bisa menjalankan pendidikan-pendidikan penyadaran kesetaraan gender, dan yang tidak boleh ketinggaalan adalan sistem pendidikaan Indonesia harus menjaadi sistem pendidikan yang gender mainstreaming sehingga mulai awal para calon-calon pemimpin bangsa telaah memiliki kesadaran akan pentingnya kesetaraan dalam gender untuk kemaajuan bangsa. Kami akan kembali mengingatkan bahwa representasi perempuan dalam politik tidak bermaksud untuk menggantikan atau menggeser peran laki-laki dalam politik. Karena perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama dalam hal memajukan bangsa. Kerjasama, itulah kata yng tepat untuk menggambarkan posisi perempuan daan laki-laki dalam perpolitikan bangsa. Peran Perempuan di Kancah Politik Internasional Pada umumnya hampir semua aliran feminisme menyatakan bahwa sumber ketidakadilan yang menyebabkan kesengsaraan bagi kaum perempuan merupakan implikasi dari kebijakan negara dan pembangunan. Feminisme sebagai teori kritik perubahan sosial dan pembangunan pertamakali muncul pada tahun 1976 dalam konferensi yang membicarakan tentang pengintegrasian kaum perempuan di Amerika Serikat. Sejak saat itulah feminisme lebih dikenal dan melahirkan cabang dan analisis-analisis baru. Seperti Women In Development. Inilah yang menjadi semangat para perempuan di seluruh dunia atau di duniaa internasional untuk ikut serta berkecimpung dalam perpolitikaan. Karena tidaak bisa dipungkiri bahw perempuan berpolitik dibutuhkan untuk memperjuangkan kepentingannya serta menyeimbangkan sudut pandang dan pengambilan kebijakan yang selaama ini hanya dibicarakan diantara para laaki-laki saja. Mengenai keikutsertaan perempuan telah dijamin oleh peraturan yang ada, baik dalam lingkup nasional maupun dalam kancah internasional. Secara eksplisit maupun secara implisit.

Contoh nyata berkecimpungnya perempuan dalam kaancah politik bisa kita lihat dengan bermunculannya para tokoh perempuan dalam jabatan-jabatan pemerintahan, seperti di Indonesia Megawaati Soekarno Putri pernah menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia, dan seterusnya. Kondisi tersebut tidak lain muncul dari perjuangan para aktivis perempuan sebelumnya yang berseru-seru mengenaai kesetaraan peran perempuan dan laki-laki diberbagai bidang termasuk bidang politik. Peran perempuan dibutuhkan dalam hal ini karena selamaa ini dirasa tiap kebijaakan yang diambil selalu menyisihkan kondisi perempuan daan menyebabkan munculnya kebijakan yang tidak bisa menyentuh permasalahan pokok di masyarakat yaitu yang terbanyak adalah masalah kesejahteraan para perempuan itu sendiri. Akhir-akhir ini banyak sekali pertemuan-pertemuan perempuaan secara internasional guna membahas peran perempuan diberbagai bidaang termasuk politik dan juga proses pencerdasan dan penanaman kesadaran pada perempuan itu sendiri. Akan tetapi dengan banyaknya tokoh perempuan yang bermunculan dalam perpolitikan kancah internasional bukan berarti permasalahan berhenti sampai disini, ada banyak masalah lain yang harus bisa dijawab dan diselesaikan oleh para perempuan yaitu salah satunya dan yang paling terpenting adalah bagaimana membuat representasi perempuan dikancah politik internasional tidak hanya dinamis dalam kuantitasnya akan tetapi juga dinamis dalam hal kualitasnya. Representasi formalitas saja hanya akan menjadi beban bagi perempuan itu sendiri, karena adanya pemaksaan perluasan wilayah garapan yang tidak dibarengi kemampuan akan menjadi beban tersendiri.

Kesimpulan Perempuan memandang politik sebagai sebuah aktivitas maskulin yang telah terkontruksi oleh pemikiran global. Nilai feminism dari perempuan menjadikan perempuan tersubordinat. Ada dua hal yang menjadi masalah utama mengenai keterlibatan perempuan dalam politik, yang pertama adalah mengenai keterwakilan perempuan yang sangat minim diruang publik dan yang kedua adalah minimnya platform partai politik yang sadar akan kebutuhan perempuan berpolitik. Representasi perempuan mengharuskan perempuan untuk meninggalkan ruang privat yang terlabel pada sistemasi kerjanya. Sedangkan mayoritas kelompok laki-laki selalu membawa ranah privat itu ke publik.

Daftar Pustaka Book Arivia, Gadis. Filsafat bersperskpektif feminis. Jakarta: Yayasan jurnal Perempuan Bryson, Valerie. 2003. Feminist Political Theory. New York:Palgrave Macmilan. Beckmen, R. Peter, dan Francine DAmico (editor). (1994) . Women, Gender, and World Politics : Perspective, Policies, and Prospects. Westport : Greenwood Publishing Groups. Cantor. Dorothy W, dan Toni, Bernay. 1998. Woman in Power.Jakarta: Gramedia Web http://wri.or.id/id/penelitian%20politik%20dan%20perempuan/Representasi%20Perempuan %20dalam%20Politik%20Lokal http://www.cercsindonesia.org/index.php?p=detilberita&id=37 http://www.komnasperempuan.or.id/2010/07/gerakan-perempuan-indonesia-dan-komnasperempuan-di-mata-dua-feminis-internasional/

You might also like