Professional Documents
Culture Documents
1. PENDAHULUAN
Masyarakat yang mendiami negara Indonesia terdiri atas berbagai suku. Masing-
masing suku memiliki babasa dan adat daerahnya sendiri-sendiri. Berbagai aturan yang
tertuang dalam adat istiadat daerah dikemas dan diungkapkan melaui bahasa daerahnya
masing-masing. Tentu saja bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah ragam adat.
Gorontalo adalah salah satu daerah dari 19 daerah di Indonesia yang memiliki adat
istiadat sendiri, sering menggunakan bahasa Gorontalo ragam adat apabila ada sesuatu yang
disampaikan melalui proses peradatan di Gorontalo. Bahasa yang digunakan itu
kelihatannya lebih unik dan memiliki ciri-ciri tersendiri dari bahasa pengantar sehari-hari.
Keunikan bahasa ragam adat ini memerlukan pemeliharaan dan pelestariannya oleh
masyarakat penuturnya. Keunikan bahasa itu terutama terletak pada penggunaan kata-kata
yang tetap, penuh kiasan, kalimat-kalimat yang sarat dengan nuansa kebudayaan dan adat
istiadat lokal. Kadang kala pendengar yang hidup di zaman sekarang kurang memahami
makna kalimat yang diungkapkan oleh para pemangku adat, karena bahasa yang digunakan
memiliki ciri khas kebudayaan.
Dahulu kata-kata yang bernuansa kebudayaan itu dipahami oleh para pendengar
pada umumnya. Tetapi sekarang tidak lagi demikian, karena sudah dipengaruhi oleh
bahasa Gorontalo yang sudah lama hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia, maka
pergeseran makna dan tatanilai akibat pengaruh tersebut tidak dapat dihindari, sehingga
banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia yang ditransfer ke dalam bahasa Gorontalo
guna memberikan pemahaman yang lengkap kepada pihak pendengar.
Bahasa Gorontato sebagai salah satu bahasa daerah yang ada di wilayah Indonesia,
masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Gorontalo sebagai penuturnya. Dalam
penggunaannya sehari-hari telah teriadi perbedaan di kalangan penuturnya. Hal ini
disebabkan oleh lapisan sosial masyarakatnya yang sudah sangat bervariasi. Perbedaan
bahasa yang disebabkan oleh lapisan masyarakat penuturnya, oleh Koentjaraningrat
(2002:18) disebut "tingkat sosial bahasa".
Lebih jauh dikatakan bahwa pada bahasa dari suatu suku bangsa terutama suku
bangsa yang besar, dan terdiri atas beberapa juta penutur pun senantiasa terjadi variasi-
variasi, karena adanya perbedaan daerah geografi atau karena adanya perbedaan lapisan
dan lingkungan sosialnya. Penyebab lain adalah hubungan antarwarga dari dua suku
bangsa di daerah perbatasan sangat intensif, sehingga terjadi proses saling mempengaruhi.
Dewasa ini bahasa Gorontalo senasip dengan bahasa-bahasa daerah lain di
Indonesia yang semakin mengalarni pengeringan. Penyebab utama gejala ini adalah telah
terjadi kontak bahasa Gorontalo dengan bahasa Indonesia yang sudah berlangsung
sejak zaman dahulu kala. Ditambah lagi dengan sifat yang menggejala pada generasi muda
Gorontalo yang merasa malu menggunakan bahasa ibu sendiri, merasa rendah diri di
hadapan teman-temannya di kala berinteraksi dengan bahasa daerahnya sendiri. Sehingga
tidak rnengherankan lagi bahasa Gorontalo ragam adat yang sarat dengan istilah-istilah asli
Gorontalo sudah banyak yang tidak diketahui lagi oleh generasi sekarang. Keadaan ini
sungguh memprihatinkan, bahkan merupakan malapetaka bagi kita sebagai bangsa
yang kaya akan bahasa daerah sebagai identitas suatu suku bangsa di Indonesia.
Usaha untuk menyelamatkan budaya yang besar ini, sungguh merupakan
perjuangan yang sangat melelahkan. Namun sebagai orang yang peduli terhadap kekayaan
bangsa ini tetap melaksanakan usaha itu guna kebertahanan bahasa Gorontalo daii
ancaman kepunahan. Oleh sebab itu, gejala tersebut di atas perlu diungkapkan dan
dikaji untuk mendapatkan berbagai informasi dan data kebahasaan tentang bahasa
Gorontalo.
Pada dasarnya ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah
yang berhubungan dengan kajian kebahasaan. Kedua pendekatan itu adalah, pendekatan
linguistik dan pendekatan sosiolinguistik. Dari dua pendekatan itu, hanya satu pendekatan
yang dipilih untuk mengkaji masalah ke bahasaan di atas, karena disesuaikan dengan judul
tulisan ini, yakni Bahasa Gorontalo dalam Ragam Adat "Pohutu Moponika".
Sementara ragam bahasa itu sendiri terjadi karena sifat kemajemukan masyarakat
penuturnya. Selain itu, sosiolinguistik dipilih karena sosiolinguistik menempatkan
kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaiannya di dalam masyarakat
(Suwito, 1983:2).
2. LANDASAN TEORI
Mencermati uraian yang dikemukakan pada pendahuluan di atas, tulisan kali ini mengkaji
masalah bahasa Gorontalo dalam Ragam Adat Pohutu Moponika". Sebagai suatu
kelompok suku bangsa, masyarakat Gorontalo memiliki dua cara berbahasa dalam konteks
komunikasi yang berbeda. Dalam interaksi sosial, bahasa yang dipilih adalah bahasa
Gorontalo ragam biasa. Sedangkan dalam konteks komunikasi yang bernuansa
kebudayaan, bahasa yang digunakan adalah bahasa Gorontalo ragam adat. Misalnya saja,
pada acara peminangan, bahasa yang digunakan mempunyai tatakalimat, pilihan kata,
tatamakna, dan cara penyampaian yang khas. Semua aspek kebahasaan tersebut memiliki
ciri dan sifat kedaerahan. Biasanya ragam bahasa adat tersebut ditandai dengan tatakalimat
yang sarat dengan kata-kata kias, berlirik sajak, dan pilihan katanya penuh perumpamaan,
dan maknanya bermuatan adat setempat. Dengan demikian, secara umum dikenal
adanya bahasa Gorontalo ragam biasa dan bahasa Gorontalo ragam adat.
BBahasa ragam adat ini tidak semua orang dapat menggunakan, memaknai, dan
menyampaikannya kepada pendengar. Untuk ragam ini harus dipilih orang yang memiliki
kemampuan dan keterampilan baik di bidang kebudayaan maupun di bidang kebahasaan
(khususnya bahasa Gorontalo ragam adat). Kemampuan dan keterampilan yang dimaksud
adalah kemampuan komunikatif yang meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki oleh
penutur serta keterampilan mengungkapkannya sesuai dengan fungsi dan situasi serta
norma-norma pemakaian dalam konteks sosialnya (Suwito, 1983:19).
Bahasa Gorontalo Ragam adat merupakan ragam sosial yang cukup berperan
dalam peristiwa kebudayaan Gorontalo. Hal ini didukung oleb beberapa kegiatan yang
bernuansa kebudayaan, bahasa ragam adatlah yang dipilih dan digunakan sebagai alat
komunikasi. Kita ambil saja sebagai contoh dalam peristiwa pernikahan bagi sepasang
muda-mudi suku Gorontalo. Peristiwa ini dilaksanakan melalui beberapa tahap. Salah
satu dari tahapan-tahapan itu adalah acara peminangan. Dalam
proses peminangan, juru bicara dari masing-masing calon mempelai bertarung dengan
menggunakan ragam bahasa yang sama yakni bahasa Gorontalo ragam adat yang sarat
dengan nuansa kebudayaan yang bersifat lokal. Bahasa yang mereka pilih sangat puitis
sesuai dengan kondisi dan situasi pada saat itu. Hal-hal yang menggejala dalam bahasa
Gorontalo inilah yang ingin dikaji dalam makalah ini.
Bentuk bahasa Gorontalo dalam prosesi adat-istiadat, terutama dapat kita pada
acara pohutu moponika yang dilaksanakan oleh masyarakat Gorontalo. Perlu
ditampilkan di sini bahwa adat pernikahan di daerah Gorontalo dilaksanakan melalui 23
tahap. Dari 23 tahap itu, hanya satu tahap yang akan dikaji dalam tulisan ini, yakni tahap
moponika. Penetapan tahap ini didasarkan pada pertimbangan bahwa fokus
pembicaraan ini lebih dititikberatkan pada masalah bahasa Gorontalo ragam adat pohutu
moponika.
laki) yang terdiri dari: (a) momudu?o (mengundang untuk berangkat), (b) mopodiambango
(mengundang melangkah), (c) mopolaahu (mengundang turun tangga), (d) mopolualo
(mengundang keluar halaman rumah), dan (e) mopota?e (mengundang naik kenderaan).
Sebelum pengantin laki-laki berangkat, kola-kola yang akan membawa u kilati harus
sudah siap. Di kola-kola itu naik pula (a) penabuh (tukang hantalo), (b) pelaksana saia, (c)
Utolia Luntu Dulungo Lai?o, dan petugas lain serta rombongan pihak laki-laki.
Ketika pengantin laki-laki diundang untuk berangkat maka ia di tuja?i dengan kata-
kata
ami baate lo u duluo kami pemangku adat
molo?opu moloduo menjemput untuk berangkat
moloduo molo?opu mempersilahkan dan mefiemput
aadati li pa?i pusaka dotu dengan adat kebesaran leluhur. Pengantin
laki-laki kemudian akan melangkah dan sebelum melangkah ia
akan dituja?i dengan kata-kata
Pengantin turun perlahan-lahan. Setelah tiba di pintu masuk halaman rumah atau
istana, maka pengantin siap untuk keluar halaman. Sebelum ia keluar, ia dituja?i dengan
tuja?i mopoluwalo yang berbunyi
berjalan menuju tangga tersebut akan di tuja?i (undangan menuju rumah) yang berbunyi:
Lengge pahi moliale
tahuli Mbuu?i Bungale wali li bintelo lale taludepo timbuale lipu duluo lumale
lumonggia lumontale lumontale lumonggia malomai to ladia
Pengantin laki-laki pun berjalanlah menuju tangga. Setelah tiba di tangga ia akan
diundang naik rumah. Untuk itu akan dituja?i mopobotulo (mengundang naik) yang
berbunyi:
pengantin .perempuan. Ini bermakna bahwa kita boleh memasuki atau naik rumah
orang kalau ada izin dari pemilik rumah. Pengantin akan duduk di kursi atau tempat
yang disediakan. Sebelum ia duduk, pengantin dituja?i dulu dengan tuja?i
Utolia Luntu Dulungo Lai?o memaklumkan kepada Utolia Luntu Dulungo Wolato
bahwa pengantin laki-laki siap untuk diakad.
Si Utolia Luntu Dulungo Lai?o akan menghadap Buatulaa Touloongo (tiga
serangkai pemangku adat), yakni Baate, Udula?a Lolipu dan Udula?a to Sara?a dengan
mengucapkan kalimat-kalimat sebagai berikut: "wonu mo?otapu izini monto
Eeya amiaatia motitalumayi ode olanto wolo mongowutatonto, Uliipu wan Buto?o
wanu mcra o u sanangi olanto wolo mongowartataonto mealo Uipu wau Buto?o amiaatia
mobile wonu moali ma molumulaa kalaja (kalau mendapat izin dari Allah kami menghadap
bapak-bapak dan ibu-ibu, penghulu negeri dan penegak keadilan,
kalau bapak/ibu berkenan atau penghulu negeri dan penegak keadilan sudah menyetujuinya,
kami mohon izin kalau dapat kami akan mernulai acara). Dijawab: Bismillah
Utolia Luntu Dulungo Lai?o berucap selanjutnya: "to?u muloolo lo?u pohilee
lamiaatia de?uwitoyito mohile ma me?iwadaka, wanu ma wada-wadaka amiaatia ma
me?ipake, wanu maa pake pake amiaatia ma me?ibii?ati Utusan pengantin laki-laki
berucap selanjutnya: "pertama-tama kami mohon supaya pengantin perempuan di
mandikan.seandainya telah dimandikan, kami mohon supaya dipakaikan baju
kebesaran adat dan sekiraranya telah berbaju adat, kami mohon supaya di baiat
(diberi pengajaran)
Dijawab: Donggo mola ilaloalo (akan ditinjau lagi)
Utolia Luntu Dulungo Lai?o memberikan sedekah (moposadaka) kepada orang
yang akan melaksanakan baiat dengan ketentuan yang tidak mengikat (satu reyal). Setelah
baiat, dilanjutkan dengan akad. Utolia Luntu Lai?o Luntu Dulungo Lai?o harus
menyediakan uang wali, besarnya satu reyal yang diserahkan kepada ayah pengantin
perempuan. Seandainya ayah pengantin perempuan yang akan melaksanakan akad
maka uang tersebut boleh diambilnya, tetapi kalau akad nikah di wakilkan kepada orang
lain (ingat: hanya orang yang diikhlasi oleh ayah pengantin perempuan), maka uang itu
akan diteruskan kepada orang yang akan mewakilinya tersebut.
4. PEMBAHASAN
Lebih luas lagi, pengertian ragam biasa di sini adalah bahasa yang bebas dari
keterikatan aturan yang berlaku dalam bahasa adat. Kata-kata yang digunakan selalu
bermakna leksikal. Bahasa Gorontalo sebagai warisan para leluhur kita, dewasa ini masih
tetap dipelihara dan dipertahankan oleh masyarakat Gorontalo, meskipun di sana sini telah
terjadi pengikisan olah hadirnya bahasa kedua (bahasa Indonesia). Namun demikian,
masyarakat Gorontalo patut berbangga diri karena memiliki bahasa sebagai penanda
kesukuan Gorontalo_
c. Kata-kata lama
panggeta lalante hula pangge wahu pangge lengge pahi motiale taludepo timbuale
lipu duluo lumale lumonggia lumontale lumontale lumonggia malomai to ladia
tirai telah tersingkap berhati-hati dan berhati-hatilah bergeraklah wahai putra agung
kami semua tanpa terkecuali kedua daerah membesarkan dengan hati-hati berjalan
berjalanlah dengan hati-hati anda telah tiba di mahligai
Kata-kata lama ini tidak ditemukan lagi dalam percakapan sehari-hari dalam bahasa
Gorontalo. Kata-kata arif para leluhur ini berisi nasihat kepada kedua mempelai untuk
selalu berhati-hati dalam segala tindakan, baik bertutur maupun dalam bertingkah.
5. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. Bahasa
Gorontalo ragam adat berbeda dengan bahasa Gorontalo ragam biasa.
2. Bahasa Gorontalo ragam biasa dalam pemakaiannya bersifat umum, artinya semua
orang (penutur asli) memahami sepenuhnya percakapan dalam bahasa Gorontalo.
3. Bahasa Gorontalo ragam adat, kata-kata yang digunakan lebih bermakna simbolik
dan bersifat konotatif Tidak semua dapat memaknai kata-katanya, kecuali
oarang-orang tertentu (para pemangku adat).
4. Dalam bahasa Gorontalo ragam adat terjadi pergeseran makna, dari makna
sebenarnya ke makna imajinatif
6. SARAN
Sehubungan dengan tulisan ini dapat disarankan hal-hal sebagai berikut ini.
KEPUSTAKAAN
Dardjowidjojo, Soenjono.
2001 "Kikisan Budaya sebagai Sarana dan Pembangunan Bangsa
". Disajikan pada Seminar nasional Bahasa dan Budaya
Austronesia ii. Denpasar: Program Magister dan Doktor Linguistik
bekerjasama dengan Program Studi Kajian Budaya, Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Foley, William A. 1997.
Koentjaraningrat. 2002
Pateda, Mansoer.
1999 Kaidah Bahasa Gorontalo. Gorontalo: Viladan Gorontalo
Suwito
1983 PengantarAwal Sosiolinguistik: Teori dan Probelema.
Surakarta:Henary Offset