You are on page 1of 13

BAHASA GORONTALO RAGAM ADAT "POHUTU MOPONIKA"

1. PENDAHULUAN
Masyarakat yang mendiami negara Indonesia terdiri atas berbagai suku. Masing-
masing suku memiliki babasa dan adat daerahnya sendiri-sendiri. Berbagai aturan yang
tertuang dalam adat istiadat daerah dikemas dan diungkapkan melaui bahasa daerahnya
masing-masing. Tentu saja bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah ragam adat.
Gorontalo adalah salah satu daerah dari 19 daerah di Indonesia yang memiliki adat
istiadat sendiri, sering menggunakan bahasa Gorontalo ragam adat apabila ada sesuatu yang
disampaikan melalui proses peradatan di Gorontalo. Bahasa yang digunakan itu
kelihatannya lebih unik dan memiliki ciri-ciri tersendiri dari bahasa pengantar sehari-hari.
Keunikan bahasa ragam adat ini memerlukan pemeliharaan dan pelestariannya oleh
masyarakat penuturnya. Keunikan bahasa itu terutama terletak pada penggunaan kata-kata
yang tetap, penuh kiasan, kalimat-kalimat yang sarat dengan nuansa kebudayaan dan adat
istiadat lokal. Kadang kala pendengar yang hidup di zaman sekarang kurang memahami
makna kalimat yang diungkapkan oleh para pemangku adat, karena bahasa yang digunakan
memiliki ciri khas kebudayaan.
Dahulu kata-kata yang bernuansa kebudayaan itu dipahami oleh para pendengar
pada umumnya. Tetapi sekarang tidak lagi demikian, karena sudah dipengaruhi oleh
bahasa Gorontalo yang sudah lama hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia, maka
pergeseran makna dan tatanilai akibat pengaruh tersebut tidak dapat dihindari, sehingga
banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia yang ditransfer ke dalam bahasa Gorontalo
guna memberikan pemahaman yang lengkap kepada pihak pendengar.
Bahasa Gorontato sebagai salah satu bahasa daerah yang ada di wilayah Indonesia,
masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Gorontalo sebagai penuturnya. Dalam
penggunaannya sehari-hari telah teriadi perbedaan di kalangan penuturnya. Hal ini
disebabkan oleh lapisan sosial masyarakatnya yang sudah sangat bervariasi. Perbedaan
bahasa yang disebabkan oleh lapisan masyarakat penuturnya, oleh Koentjaraningrat
(2002:18) disebut "tingkat sosial bahasa".

Lebih jauh dikatakan bahwa pada bahasa dari suatu suku bangsa terutama suku
bangsa yang besar, dan terdiri atas beberapa juta penutur pun senantiasa terjadi variasi-
variasi, karena adanya perbedaan daerah geografi atau karena adanya perbedaan lapisan
dan lingkungan sosialnya. Penyebab lain adalah hubungan antarwarga dari dua suku
bangsa di daerah perbatasan sangat intensif, sehingga terjadi proses saling mempengaruhi.
Dewasa ini bahasa Gorontalo senasip dengan bahasa-bahasa daerah lain di
Indonesia yang semakin mengalarni pengeringan. Penyebab utama gejala ini adalah telah
terjadi kontak bahasa Gorontalo dengan bahasa Indonesia yang sudah berlangsung
sejak zaman dahulu kala. Ditambah lagi dengan sifat yang menggejala pada generasi muda
Gorontalo yang merasa malu menggunakan bahasa ibu sendiri, merasa rendah diri di
hadapan teman-temannya di kala berinteraksi dengan bahasa daerahnya sendiri. Sehingga
tidak rnengherankan lagi bahasa Gorontalo ragam adat yang sarat dengan istilah-istilah asli
Gorontalo sudah banyak yang tidak diketahui lagi oleh generasi sekarang. Keadaan ini
sungguh memprihatinkan, bahkan merupakan malapetaka bagi kita sebagai bangsa
yang kaya akan bahasa daerah sebagai identitas suatu suku bangsa di Indonesia.
Usaha untuk menyelamatkan budaya yang besar ini, sungguh merupakan
perjuangan yang sangat melelahkan. Namun sebagai orang yang peduli terhadap kekayaan
bangsa ini tetap melaksanakan usaha itu guna kebertahanan bahasa Gorontalo daii
ancaman kepunahan. Oleh sebab itu, gejala tersebut di atas perlu diungkapkan dan
dikaji untuk mendapatkan berbagai informasi dan data kebahasaan tentang bahasa
Gorontalo.
Pada dasarnya ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah
yang berhubungan dengan kajian kebahasaan. Kedua pendekatan itu adalah, pendekatan
linguistik dan pendekatan sosiolinguistik. Dari dua pendekatan itu, hanya satu pendekatan
yang dipilih untuk mengkaji masalah ke bahasaan di atas, karena disesuaikan dengan judul
tulisan ini, yakni Bahasa Gorontalo dalam Ragam Adat "Pohutu Moponika".
Sementara ragam bahasa itu sendiri terjadi karena sifat kemajemukan masyarakat
penuturnya. Selain itu, sosiolinguistik dipilih karena sosiolinguistik menempatkan
kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaiannya di dalam masyarakat
(Suwito, 1983:2).

Terjadinya ragam bahasa dalam masyarakat, sesuai dengan pandangan


sosiolinguistik bahwa bahasa itu sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta
merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Sedangkan yang
dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam
situasi kongkret, Appel (dalam Suwito, 1983:2).
Gejala yang terjadi dalam bahasa Gorontalo, pemakaiannya tidak dapat dipandang
secara individu tetapi dipandang secara kelompok. Sebab, di dalam masyarakat seseorang
tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dari yang lain. Dia merupakan anggota
dari kelompok sosialnya. Oleh sebab itu, bahasa dan pemakaian bahasanya tidak diamati
secara individual, tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatannya di dalam masyarakat.
Atau dengan kata lain, bahasa tidak saja dipandang sebagai gejala individual tetapi juga
merupakan gejala sosial.
Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh
faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik, antara lain adalah
faktor-faktor sosial. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa misalnya
status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Di
samping itu, pemakaian bahasa juga dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional, yaitu
siapa pembicara, bahasa apa yang dipakai, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai
masalah apa.

2. LANDASAN TEORI
Mencermati uraian yang dikemukakan pada pendahuluan di atas, tulisan kali ini mengkaji
masalah bahasa Gorontalo dalam Ragam Adat Pohutu Moponika". Sebagai suatu
kelompok suku bangsa, masyarakat Gorontalo memiliki dua cara berbahasa dalam konteks
komunikasi yang berbeda. Dalam interaksi sosial, bahasa yang dipilih adalah bahasa
Gorontalo ragam biasa. Sedangkan dalam konteks komunikasi yang bernuansa
kebudayaan, bahasa yang digunakan adalah bahasa Gorontalo ragam adat. Misalnya saja,
pada acara peminangan, bahasa yang digunakan mempunyai tatakalimat, pilihan kata,
tatamakna, dan cara penyampaian yang khas. Semua aspek kebahasaan tersebut memiliki
ciri dan sifat kedaerahan. Biasanya ragam bahasa adat tersebut ditandai dengan tatakalimat
yang sarat dengan kata-kata kias, berlirik sajak, dan pilihan katanya penuh perumpamaan,
dan maknanya bermuatan adat setempat. Dengan demikian, secara umum dikenal
adanya bahasa Gorontalo ragam biasa dan bahasa Gorontalo ragam adat.

BBahasa ragam adat ini tidak semua orang dapat menggunakan, memaknai, dan
menyampaikannya kepada pendengar. Untuk ragam ini harus dipilih orang yang memiliki
kemampuan dan keterampilan baik di bidang kebudayaan maupun di bidang kebahasaan
(khususnya bahasa Gorontalo ragam adat). Kemampuan dan keterampilan yang dimaksud
adalah kemampuan komunikatif yang meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki oleh
penutur serta keterampilan mengungkapkannya sesuai dengan fungsi dan situasi serta
norma-norma pemakaian dalam konteks sosialnya (Suwito, 1983:19).
Bahasa Gorontalo Ragam adat merupakan ragam sosial yang cukup berperan
dalam peristiwa kebudayaan Gorontalo. Hal ini didukung oleb beberapa kegiatan yang
bernuansa kebudayaan, bahasa ragam adatlah yang dipilih dan digunakan sebagai alat
komunikasi. Kita ambil saja sebagai contoh dalam peristiwa pernikahan bagi sepasang
muda-mudi suku Gorontalo. Peristiwa ini dilaksanakan melalui beberapa tahap. Salah
satu dari tahapan-tahapan itu adalah acara peminangan. Dalam

proses peminangan, juru bicara dari masing-masing calon mempelai bertarung dengan
menggunakan ragam bahasa yang sama yakni bahasa Gorontalo ragam adat yang sarat
dengan nuansa kebudayaan yang bersifat lokal. Bahasa yang mereka pilih sangat puitis
sesuai dengan kondisi dan situasi pada saat itu. Hal-hal yang menggejala dalam bahasa
Gorontalo inilah yang ingin dikaji dalam makalah ini.

3. BENTUK BAHASA GORONTALO DALAM PROSESI ADAT-ISTIADAT

Bentuk bahasa Gorontalo dalam prosesi adat-istiadat, terutama dapat kita pada
acara pohutu moponika yang dilaksanakan oleh masyarakat Gorontalo. Perlu
ditampilkan di sini bahwa adat pernikahan di daerah Gorontalo dilaksanakan melalui 23
tahap. Dari 23 tahap itu, hanya satu tahap yang akan dikaji dalam tulisan ini, yakni tahap
moponika. Penetapan tahap ini didasarkan pada pertimbangan bahwa fokus
pembicaraan ini lebih dititikberatkan pada masalah bahasa Gorontalo ragam adat pohutu
moponika.

3.1 Moponika (Acara Pernikahan)


Acara moponika merupakan upacara peresmian, pengumuman dan pengukuhan
sepasang muda-mudi untuk mendirikan rumah tangga. Oleh karena pernikahan itu
merupakan peresmian, pengumuman dan pengukuhan hubungan jejaka dan gadis bahkan
antara keluarga dengan keluarga maka acara itu dihadiri oleh Buatula Totolu yakni
Buatulo Aadati (Baate), Buatulo Lipu (Pemerintah) terutama family. Peserta pernikahan
dianggap pula resmi keluarga karena pada waktu itu sanak keluarga yang jauh datang
berkumpul. Ibu dan ayah, anggota keluarga hadir menjelaskan kepada anak-anaknya
tentang hubungan keluarga dengan tamu-tamu yang hadir. Keluarga yang hadir akan
berkenalan satu sama lain. Sekarang hal yang sebaik itu sudah mulai ditinggalkan. Orang
datang bukan untuk berkenalan sesama keluarga. Dewasa ini pesta perkawinan sudah lebih
banyak bersifat (a) pamer atau memperlihatkan kekayaan (harta), (b) formalitas artinya
orang duduk-duduk sambil menunggu acara bersantap dan kemudian kembali ke rumah
masing-masing.
Acara pada hari pernikahan mengikuti urutan tertentu. Misalnya pada pihak
laki-laki akan melaksanakan acara mopolaahe buleenditi la?i (melepas pengantin laki

laki) yang terdiri dari: (a) momudu?o (mengundang untuk berangkat), (b) mopodiambango
(mengundang melangkah), (c) mopolaahu (mengundang turun tangga), (d) mopolualo
(mengundang keluar halaman rumah), dan (e) mopota?e (mengundang naik kenderaan).
Sebelum pengantin laki-laki berangkat, kola-kola yang akan membawa u kilati harus
sudah siap. Di kola-kola itu naik pula (a) penabuh (tukang hantalo), (b) pelaksana saia, (c)
Utolia Luntu Dulungo Lai?o, dan petugas lain serta rombongan pihak laki-laki.

Ketika pengantin laki-laki diundang untuk berangkat maka ia di tuja?i dengan kata-
kata
ami baate lo u duluo kami pemangku adat
molo?opu moloduo menjemput untuk berangkat
moloduo molo?opu mempersilahkan dan mefiemput
aadati li pa?i pusaka dotu dengan adat kebesaran leluhur. Pengantin
laki-laki kemudian akan melangkah dan sebelum melangkah ia
akan dituja?i dengan kata-kata

lengge polai?opo mohon anda berjalan


lengge podiambangopo mohon supaya melangkah
donggo motitidu?oto tenanglah hatimu
lumuntu monolopoto naik kenderaan yang tersedia
to duungo humopoto dengan hati yang teguh dan rendah
Si pengantin laki-laki pun menuju tangga rumah. Sebelum ia menuruni tangga
ia dituja?i dengan kata-kata:
wombu laahulomai cucunda mohon turun
wombu polenggolomai cucunda bergerak saja

wahu igwalolomai dan keluar saja


lualai lonto ladia keluarlah dari istana
u maa popohulia akan segera diupacarakan
to aadati lo hunggia dengan adat kebesaran daearah

to uyito to utia yang berlaku di sana-sini


to ulimo to hunggia di lima daerah adat ini.

Pengantin turun perlahan-lahan. Setelah tiba di pintu masuk halaman rumah atau
istana, maka pengantin siap untuk keluar halaman. Sebelum ia keluar, ia dituja?i dengan
tuja?i mopoluwalo yang berbunyi

womhu luwalolomai cucunda silahkan keluar


luwalai to dutula keluarlah melalui jalur ini
tnbuu?i wau huhuntula ibu-ibu dan pengiringmu

panggeta la/ante hula tirai telah tersingkap


wali li Mato Lo Dula turunan Raja Mato Lo Dudci
wombu li Tolangohula cucu Tolangohula
hulawa de tilihula bahagia dan sejahtera untukmu Pengantin
laki-laki melangkah keluar halaman rumah untuk mendekati
kenderaan: Ia siap menaiki kenderaan. Sebelum naik kenderaan maka ia dituja?i
dengan kata-kata:

mbu?inga payu bulai putra bangsawan murni


wahu polenggepomai naiklah kenderaan
polenggepomai odia naiklah ke sini
u ta?ea malosadia kenderaan telah slap
u wolo banta mulia untukmu wahai anak tercinta
Kenderaan bergerak yang didahului oleh kola-kola. Hantalo dibunyikan karena
pengantin laki-laki sebagai raja hari itu akan melewati jalan.
Sepuluh meter sebelum pintu masuk pengantin perempuan, pengantin lakilaki turun
dari kenderaan. Utolia Luntu Dulungo Lai?o memaklumkan kepada pihak perempuan
bahwa pengantin laki-laki siap masuk halaman. Kalau disetujui maka si pengantin laki-laki
diundang menuruni kenderaan dengan tuja?i rnopolaahe to u ta?ea yang berbunyi
pangge wahu pangge berhati-hati dan berhati-hatilah

pangge u oduta?a berhati-hati pada tanah yang dipijak


pangge u otihula berhati-hati pada tempat berdiri
bolo pololotumbula jangan ada sesuatu yang terjadi

li mbui hulawa terhadap anakda yang mulia


wombu li Tolangohula cucu Tolangohula

wali li Mato Lo Dula turunan Raja Mato lo Dula


Pengantin laki-laki turun dari kenderaan menuju pintu masuk Ketika berjalan, ia
diiringi dengan sa?ia la?o-la?o sejenis sajak, yang dibawakan oleh ibu-ibu dan bapak.
Sebelum masuk halaman rumah pengantin perempuan, maka pengantin lakilaki, di tuja?i
dengan tuja?i mopotupalo (mengundang masuk halaman). Tuja?i ini bermakna kalau
memasuki halaman rumah orang harus- mendapat-izin dari pemilik rumah tersebut. Tuja?i
mopotupalo yang dimaksud berbunyi:
wombu topalolomai
tupalai to dutula taluhu wau bulua malo liiatua lotutai lopopalo de yiloohe lintalo ode
timo ipitolo ode pini bubo?alo ode hulawa putalo
Pengantin berjalan masuk halaman dan menghampiri tangga. Sebelum ia
cucu dipersilahkan masuk masuklah lewat jalur ini laksana
air dalam pipa bersatu dan berpadu lanpa risau dan ragu
dan tanpa rasa takut
laksana bawaan yang dijinjing laksana kapas yang pulih bersih
laksana emas bersinar cemerlang

berjalan menuju tangga tersebut akan di tuja?i (undangan menuju rumah) yang berbunyi:
Lengge pahi moliale
tahuli Mbuu?i Bungale wali li bintelo lale taludepo timbuale lipu duluo lumale
lumonggia lumontale lumontale lumonggia malomai to ladia

dulu dengan tuja?i mopontalengo


bergeraklah wahai putra agung turunlah bangsawan mulia turunlah bangsawan
terkemuka kami semua tanpa terkecuali kedua daerah membesarkan dengan hati-hati
berjalan berjalanlah dengan hati-hati anda telah tiba di mahligai

Pengantin laki-laki pun berjalanlah menuju tangga. Setelah tiba di tangga ia akan
diundang naik rumah. Untuk itu akan dituja?i mopobotulo (mengundang naik) yang
berbunyi:

Banta pei bulai ananda bangsawan mulia


wahu polenggelomai silakan anda naik
wahu molai?olomai bergeraklah ke marl
lai?ai odia naiklah ke sini

pu?ademalosadia pelaminan sudah disediakan

uolo banta mulia bagi ananda mulia


bubato hihaadiria para pejabat telah hadir
Sehabis pelafalan tuja?i, pengantin laki-laki melangkah naik ke rumah

pengantin .perempuan. Ini bermakna bahwa kita boleh memasuki atau naik rumah
orang kalau ada izin dari pemilik rumah. Pengantin akan duduk di kursi atau tempat
yang disediakan. Sebelum ia duduk, pengantin dituja?i dulu dengan tuja?i

mopohulo?o (mengundang duduk) yang berbunyi:


bulentiti humulo mempelai yang diangungkan

ito maa toduoolo anakd •J dipersilahkan


boli malo popohulo?olo dan dipersilahkan duduk

to kadera wa_ jalolo di kur si kebesaran


Kini pengantin laki-laki telah duduk di kursi atau tempat yang disediakan. Si

Utolia Luntu Dulungo Lai?o memaklumkan kepada Utolia Luntu Dulungo Wolato
bahwa pengantin laki-laki siap untuk diakad.
Si Utolia Luntu Dulungo Lai?o akan menghadap Buatulaa Touloongo (tiga
serangkai pemangku adat), yakni Baate, Udula?a Lolipu dan Udula?a to Sara?a dengan
mengucapkan kalimat-kalimat sebagai berikut: "wonu mo?otapu izini monto
Eeya amiaatia motitalumayi ode olanto wolo mongowutatonto, Uliipu wan Buto?o
wanu mcra o u sanangi olanto wolo mongowartataonto mealo Uipu wau Buto?o amiaatia
mobile wonu moali ma molumulaa kalaja (kalau mendapat izin dari Allah kami menghadap
bapak-bapak dan ibu-ibu, penghulu negeri dan penegak keadilan,

kalau bapak/ibu berkenan atau penghulu negeri dan penegak keadilan sudah menyetujuinya,
kami mohon izin kalau dapat kami akan mernulai acara). Dijawab: Bismillah
Utolia Luntu Dulungo Lai?o berucap selanjutnya: "to?u muloolo lo?u pohilee
lamiaatia de?uwitoyito mohile ma me?iwadaka, wanu ma wada-wadaka amiaatia ma
me?ipake, wanu maa pake pake amiaatia ma me?ibii?ati Utusan pengantin laki-laki
berucap selanjutnya: "pertama-tama kami mohon supaya pengantin perempuan di
mandikan.seandainya telah dimandikan, kami mohon supaya dipakaikan baju
kebesaran adat dan sekiraranya telah berbaju adat, kami mohon supaya di baiat
(diberi pengajaran)
Dijawab: Donggo mola ilaloalo (akan ditinjau lagi)
Utolia Luntu Dulungo Lai?o memberikan sedekah (moposadaka) kepada orang
yang akan melaksanakan baiat dengan ketentuan yang tidak mengikat (satu reyal). Setelah
baiat, dilanjutkan dengan akad. Utolia Luntu Lai?o Luntu Dulungo Lai?o harus
menyediakan uang wali, besarnya satu reyal yang diserahkan kepada ayah pengantin
perempuan. Seandainya ayah pengantin perempuan yang akan melaksanakan akad
maka uang tersebut boleh diambilnya, tetapi kalau akad nikah di wakilkan kepada orang
lain (ingat: hanya orang yang diikhlasi oleh ayah pengantin perempuan), maka uang itu
akan diteruskan kepada orang yang akan mewakilinya tersebut.

3.2 Mongakaji (Acara Akad Nikah)


Sebelum acara akad nikah dilaksanakan maka diadakan dahulu penjemputan
mempelai perempuan (bulentiti bua) dari kamar hias (huali lo wadaka) ke kamar adat
(huali lo humbia). Seorang baate segera menuju kamar pengantin perempuan.
Pengantin perempuan diundang berdiri dan untuk itu ia akan di tuja?i dengan tuja?i
moxnodu?o (mengundang berdiri) yang berbunyi:

wombu hulawa gumala cucunda hangsawan mulia


maa lenggeo to madala dipersilahkan berdiri

poli po?o?ambulawa para tamu kim telah berkumpul


to u dula?a kimala dan pejabat yang terhormat
wombu malo pudu?olo cucunda kini d jemput
tombuluo wuntuolo dihormati dan diagungkan
timihu tumene?olo diundang berdiri
Pengantin perempuan pun berdirilah. Dia melangkah pintu kamar. la siap
keluar kamar. Sebelum keluar kamar ia akan dituja?i dengan yuja?i mopolualo
(mengundang keluar kamar) yang berbunyi:

wombu polai?opo cucunda bergeraklah


wombu polualopo cucunda silahkan keluar
donggo motitidu?oto tenangkan hatimu
moombungo momolopoto hadapi masa depan dengan fencing
wombu lualolomai cucunda keluarlah
lualai odia keluarlah ke sini
wahu ma popohulia akan diupacarakan
lo adati lo hunggia dengan adat kebesaran
Pengantin perempuan menuju kamar adat. Sebelum ia melengkah memasuki
kamar tersebut ia dutuja?i dengan tuja?i mopodiambango (mengundang bergerak)
yang berbunyi:
mbuu?i payu bulai cucunda bangsawan mulia
ontode-ontodepomai perhatikan ke sini
podiambango pomai melngkahlah ke sini
ode huali to humbia ke kamar adat
Pengantin pun melangkahlah. la kini telah tiba di pintu masuk kamar. Sebelum ia
masuk ke ruang kamar, ia dituja?i dengan tuja?i mopotuato (mengundang masuk kamar)
yang berbunyi:
wombu tuoto lomai cucunda dipersilahkan masuk
tuotai odia masuklah ke sini
wombu payubalai cucunda bangsawan mulia

wahu towotolomai silakan masuk saja


luotai odia masuklah ke sni
wahu malo popohulia dan akan dikenakan
lo aadati lo hunggia dengan adat kebesaran
Pengantin perempuan masuk kamar lo humbia. la akan diundang duduk.
Sebelum ia duduk, ia akan dituja?i dengan tuja?i anopohulo?o yang berbunyi
bulentiti humolo pengantin yang diagungkan
ito maa todaiolo cucunda dipersilahkan
boll maa popohulo?olo dan dipersilahkan duduk
to taambati wajalolo di tempat kebesaran
Pengantin perempuan akan dibaiat. Yang akan melaksanakan pembaiatan ini adalah
Kadhi atau Imam (pegawai agama). Sementara itu pengantin laki-laki siap akan diakad.
Mengenai tempat pelaksanaan akad nikah, menurut penututran para informan, hams
dilaksanakan di dalam rumah, diinduk rumah. Akad nikah tidak dibenarkan di teras rumah
apalagi di sabua. Hal ini tidak disetujui karena teras rumah atau sabua hanya merupakan
tambahan rumah saja dan masih tetap dianggap rumput. Dalam wala?u?u bode dila taa
lotapu?u to hu?oyoto yang artinya bahwa anakku ini tidak ku peroleh dari perkawinan
yang tidak sah atau tidak terhormat. Itu sebabnya ia harus dihormati. Akad nikah di
pelaminin pun tidak dibenarkan.
Setelah akad nikah dilaksanakan, acara dilanjutkan dengan doa nikah.

4. PEMBAHASAN

4.1 Bahasa Gorontalo Ragam Biasa


Bahasa Gorontalo mempunyai ragam atau dialek yang bersifat geografis dan sosial.
Bahasa Gorontalo ragam biasa adalah ragam bahasa yang digunakan secara umum oleh
masyarakat dalam kegiatan komunikasi sehari-hart. Karena sifatnya umum, maka siapa
pun yang terlibat dalam percakapan dengan menggunakan bahasa Gorontalo, maka dapat
dipastikan terjadi interaksi sosial di dalam kelompok itu.

Lebih luas lagi, pengertian ragam biasa di sini adalah bahasa yang bebas dari
keterikatan aturan yang berlaku dalam bahasa adat. Kata-kata yang digunakan selalu
bermakna leksikal. Bahasa Gorontalo sebagai warisan para leluhur kita, dewasa ini masih
tetap dipelihara dan dipertahankan oleh masyarakat Gorontalo, meskipun di sana sini telah
terjadi pengikisan olah hadirnya bahasa kedua (bahasa Indonesia). Namun demikian,
masyarakat Gorontalo patut berbangga diri karena memiliki bahasa sebagai penanda
kesukuan Gorontalo_

4.2 Bahasa Gorontalo Ragam Adat


Bahasa Gorontalo ragam adat mempunyai ciri khas yang didasari oleh falsafah
kebudayaan turun-temurun di tengah masyarakat penutur bahasa Gorontalo. Sebagaimana
dikemukakan di atas, bahasa Gorontalo ragam adat ditandai dengan intonasi dan gaya
bahasa yang bernuansa kias, pantun, seni, dan adat. Tatamaknanya dikemas sedemikian
rupa yang kadang-kadang amat jauh dari makna leksikal pilihan katanya. Pemakaiannya
pun tidak di semua peristiwa bahasa, melainkan ditentukan oleh konteks sosial-budaya yang
berlaku di tengah masyarakat setempat.
Bahasa' adat memiliki aturan tertentu yang berlaku untuk itu. Aturan yang berlaku
itu adalah penggunaan kata-kata yang bernuansa adat kebiasaan, terikat oleh persajakan,
bait dan baris, diucapkan dengan alunan suara yang teratur sebagai kekhasan dalam
proses adat-istiadat Gorontalo. Kalimat yang dipilih senantiasa bersifat situasional,
artinya disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat bahasa itu diucapkan. Penggunaan
kata-kata dalam bahasa adat dapat dirinci seperti berikut ini.
a. Kata-kata perumpamaan

to duungo humopoto dengan hati yang teguh dan rendah


hulawa de tilihula bahagia dan sejahtera untukmu
ode Limo ipitolo laksana bawaan yang dUir jing

ode pini bubo?alo laksana kapas yang putih bersih


ode hulawa putalo laksana emas bersinar cemerlang

bulowe loombuto kembang mekar yang terjaga kehormatan


Melihat deretan kata-kata ini semuanya adalah kata-kata arif para leluhur kita
untuk memperhalus penyampaian nasihat kepada kedua mempelai. Amanat yang dipesan
melalui deretan kata-kata ini diharapkan kepada kedua mempelai agar selalu teguh pada
pendirian dan selalu bersifat rendah diri. Diharapkan pula senantiasa hidup bahagia
dan sejahtera. Jangan setelah menikah hanya hidup melarat dan sengsara. Dianjurkan
pula selalu dalam keadaan suci bersih agar sikap dan perilaku selalu bersinar dan
cemerlang di tengah-tengah masyarakat bagaikan kembang mekar yang selalu terjaga
kehormatannya.

b. Kata-kata yang bermakna imajinatif


luwalai to dutula keluarlah melalui jalur ini
mbuu?i wau huhuntula ibu-ibu dan pengiringmu
taluhu wau buluaa laksana air dalam pipa
Kata dutula dalam bahasa sehari-hari bermakna sungai, tetapi dalam bahasa adat
dimaknakan jalur. Memang secara imajinatif bahwa dutula itu bermakna jalur sebagai hasil
analogi dari air sungai yang mengalir melalui saluran yang teratur. Kalau jalur dalam
bahasa Gorontalo wanuhe, (atau jalan setapak). Jadi wanuhe dan dutula sama sekali tidak
ada hubungan makna. Tetapi dalam bahasa adat kata ini dipilih tidak lain adalah untuk
mencari persajakan dalam ungkapan itu_
Demikian juga kata huhuntula. Huhuntula adalah kata keadaan dalam bahasa
Gorontalo yang artinya berjubel. Misalnya ada sekelompok orang berjubelah menuju
tempat tertentu. Huhuntula dalam bahasa adat bermakna pengiring. Melihat makna ini,
terdapat kedekatan antara berjubel dan huhuntula.
Sementara itu, kata taluhu wau bulua makna sebenarnya adalah air dan peti. Tetapi
tujuan dari ungkapan ini bermakna lain yakni laksana air dalam pipa. Ungkapan ini dapat
diinterpretasikan bahwa kedua mempelai sebaiknya saling merindukan. Kata pipa di sini
hendaknya dijadikan sebagai tempat pembulu rindu bila saling berjauhan.

c. Kata-kata lama
panggeta lalante hula pangge wahu pangge lengge pahi motiale taludepo timbuale
lipu duluo lumale lumonggia lumontale lumontale lumonggia malomai to ladia
tirai telah tersingkap berhati-hati dan berhati-hatilah bergeraklah wahai putra agung
kami semua tanpa terkecuali kedua daerah membesarkan dengan hati-hati berjalan
berjalanlah dengan hati-hati anda telah tiba di mahligai
Kata-kata lama ini tidak ditemukan lagi dalam percakapan sehari-hari dalam bahasa
Gorontalo. Kata-kata arif para leluhur ini berisi nasihat kepada kedua mempelai untuk
selalu berhati-hati dalam segala tindakan, baik bertutur maupun dalam bertingkah.

5. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. Bahasa
Gorontalo ragam adat berbeda dengan bahasa Gorontalo ragam biasa.
2. Bahasa Gorontalo ragam biasa dalam pemakaiannya bersifat umum, artinya semua
orang (penutur asli) memahami sepenuhnya percakapan dalam bahasa Gorontalo.
3. Bahasa Gorontalo ragam adat, kata-kata yang digunakan lebih bermakna simbolik
dan bersifat konotatif Tidak semua dapat memaknai kata-katanya, kecuali
oarang-orang tertentu (para pemangku adat).

4. Dalam bahasa Gorontalo ragam adat terjadi pergeseran makna, dari makna
sebenarnya ke makna imajinatif

6. SARAN
Sehubungan dengan tulisan ini dapat disarankan hal-hal sebagai berikut ini.

Bahasa Gorontalo sebagai identitas suku Gorontalo perlu dijaga kelestariannya.


Untuk mewujudkan keinginan itu di mana-mana (daerah Gorontalo) perlu
digalakkan penggunaan bahasa Gorontalo dalam berkomunikasi sehari-hari.
2. Point ke-3 pada simpulan dikatakan bahwa yang dapat memaknai kata-kata yang
bernuansa adat-istiadat hanyalah orang-orang tertentu (para pemangku adat).
Untuk itu melalui tulisan ini disarankan kepada pemerintah perlu melakukan
kegiatan diklat bahasa Gorontalo khususnya ragam adat yang melibatkan generasi
muda demi kelestarian bahasa Gorontalo ragam adat serta kelestarian budaya dan
adat-istiadat Gorontalo tetap terpelihara keberadaannya di masyarakat.

KEPUSTAKAAN

Dardjowidjojo, Soenjono.
2001 "Kikisan Budaya sebagai Sarana dan Pembangunan Bangsa
". Disajikan pada Seminar nasional Bahasa dan Budaya
Austronesia ii. Denpasar: Program Magister dan Doktor Linguistik
bekerjasama dengan Program Studi Kajian Budaya, Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Foley, William A. 1997.

Koentjaraningrat. 2002

Labov, William. 1994

Anthropological Linguistics. Oxford: Blackwell Publishers,Ltd

Pengantar Antropologi: Pokok Pokok E'tnografi. Jakarta: Rineka


Cipta

Principles of f Linguistics Change: Internal Factors. Vol. 1


Cambridge: Blackwell Publishers.
Mbete, Aron Meko dkk (Penyunting).
1998 Proses dan Proses Budaya: Persembahan untuk
Ngurah Bagus. Denpasar: PT Offset BP.

Ola, Simon Sabon.


1995 "Pemertahanan Bahasa, Kedwibahasaan, dan Pengajaran Bahasa di
Indonesia". Dalam Lingi istika, Tahun II Edisi 3. Denpasar:
Program Magister (S2) Linguistik Universitas Udayana.

Pateda, Mansoer.
1999 Kaidah Bahasa Gorontalo. Gorontalo: Viladan Gorontalo

Pemda Tingkat II Kabupaten Gorontalo.


1985. Empal Aspek Adal Daerah Gorontalo. Kab. Gorontalo: Yayasan
23 Januari 1942 Jakarta.

Suwito
1983 PengantarAwal Sosiolinguistik: Teori dan Probelema.
Surakarta:Henary Offset

You might also like