You are on page 1of 5

Kumpulan Puisi Dan Syair Islam Vol 1

(Beserta Penjelasannya)

Jatuh Cinta
(Diberi judul sendiri)

Aku simpan cintaku sehingga engkau menderita karena sikapku


Mereka mencelamu dan celaan mereka adalah aniaya
Musuh-musuhmu menghasut
Engkau mencintai dan telah menjadi bahan gunjingan
Tak ada manfaatnya menyimpan cinta
Engkau bagai harimau betina yang mati kepayahan
Pada bekas tapak Hindun atau bagaikan bibir yang sakit
Aku menjauhi kekasih karena takut dosa
Padahal menjauhi kekasih adalah dosa
Rasakanlah bagaimana (rasanya) menjauhi kekasih yang kau sangka
Bahwa itu tindakan bijaksana padahal mungkin itu bohong
(Sebuah syair dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, salah satu dari tujuh orang
ulama ahli fiqh dari kalangan tabi’in (fuqaha assab’ah), salah seorang guru utama Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, seorang ulama yang produktif menulis syair, yang pernah jatuh cinta)

Penjelasan :
Menjaga perasaan kepada lawan jenis merupakan kunci kesuksesan seseorang agar
terpelihara harga dirinya. Meskipun sama-sama saling menyukai, apabila merasa belum siap
untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, hendaknya perasaan itu kita tutup rapat-rapat.
Meskipun kita tahu, keduanya sebenarnya saling mengharapkan. Di saat seperti ini, segala
bentuk qorinah / tanda, apakah itu berupa perhatian, pemberian, dsb, hendaknya kita maknai
dengan pemaknaan yang sewajar-wajarnya.
Seseorang yang mengumbar perasaan cintanya, hanya akan menjadi bahan gunjingan
orang-orang di sekitarnya. Apakah hubungannya itu dapat berlanjut ke jenjang pernikahan,
maupun apabila hubungan tersebut gagal menuju tangga pernikahan, sama-sama
merupakan sumber gunjingan yang paling enak.
Di sisi yang lain, menyimpan perasaan kepada lawan jenis yang begitu mendalam akan
merusak jiwa seseorang, karena ingatannya tidak bisa lepas darinya. Alangkah baiknya
apabila kecederungan tersebut segera kita wujudkan dalam bentuk ikatan pernikahan,
sebagaimana sebuah hadits menyatakan, ”Tidak ada yang terbaik bagi dua orang yang saling
mencintai kecuali menikah.” (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan menunda-nunda ikatan pernikahan saat hati sudah tertambat pada diri
seseorang, atau berusaha menghindar terhadap seseorang yang kita sukai merupakan
bentuk penyiksaan batin yang lain, seperti seekor kucing yang dijauhkan dari makanan yang
baru ditemuinya. Ia merasa begitu kehilangan, karena dijauhkan dari sesuatu yang selama ini
ia harapkan. So, segera pastikan, cari sebuah jawaban, kunjungi orang tuanya, tentukan
tanggal pelaksanaan. Insya Allah hati akan menjadi tentram. Wallauhu’alam bishshowab.

Jendela Hati
Tak biasanya jendela itu terbuka setelah cahaya pergi
Sebuah aroma yang belum pernah hadir mulai melewati
Pertama terhirup membuat bulu hidung terasa berdiri
Untuk yang kedua diriku menjadi menikmati
Selanjutnya penciumanku selalu menanti dan mencari
Kapan aroma itu datang kembali
Bila sudah begitu jendela itu menjadi tak terkendali
Dia menjadi lupa kepada siapa harus terbuka atau terkunci
(Adi Nurcahyo, Jember - 2008)

Penjelasan :
Pada awalnya pandangan kita begitu terjaga, sampai akhirnya pandangan itu melihat
sesuatu yang belum pernah kita saksikan sebelumnya, sesuatu yang tidak layak kita lihat.
Sehingga membuat hati kita berdegup kencang dibuatnya, pikiran terasa tertusuk karenanya.
Namun, saat pandangan itu kita arahkan untuk yang kedua kali, degup hati sudah terkendali
dan pikiran mulai menghayati objek tersebut.
Bila penghayatan itu berlangsung sekian lama, maka hati mulai menikmati, dan jiwa
akan menyukai. Bila sudah begitu, hati akan menjadi rindu kepada objek tersebut. Untuk
selanjutnya kita akan berusaha untuk melihatnya kembali pada kesempatan yang lain,
dengan berbagai macam cara. Jadilah pandangan kita menjadi liar tak terkendali, karena
telah dikuasai oleh nafsu yang membakar hati.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, ”Zina mata (Lahadhat) adalah pandangan
kepada hal-hal yang menuju kemaksiatan. Bukan sekedar memandang, akan tetapi diikuti
dengan pandangan selanjutnya. Barangsiapa yang mengumbar pandangannya, maka ia
akan masuk kepada hal-hal yang membinasakan.”
Beliau melanjutkan, ”Antara mata dan qalbu itu ada penghubung dan jalan sehingga
saling berhubungan satu sama lain. Bila salah satunya baik, maka baik pula yang lain. Dan
sebaliknya, bila salah satu rusak, maka rusak pula yang lain.
Rusaknya qalbu akan merusakkan pandangan, dan rusaknya pandangan akan
merusakkan qalbu. Demikian pula sebaliknya, pandangan yang baik akan menjadikan qalbu
yang baik, dan qalbu yang baik akan membaikkan pandangan. Jika qalbu telah rusak, jadilah
ia seperti tempat sampah yang merupakan tempat pembuangan najis, kotoran dan apa-apa
yang berbau busuk. Jika sudah demikian keadaannya, ia tidak dapat menjadi tempat tinggal
yang nyaman bagi pengenalan kepada Allah SWT, cinta kepada-Nya, kembali kepada-Nya,
senang dan gembira bila dekat dengan-Nya. Namun yang menempatinya saat itu adalah
perkara-perkara yang sebaliknya.”
”Ia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”
(QS. Al Mu’min : 19)

Percikan Ikhlas
Saya menuntut ilmu bukan sekedar berbangga
Saya menuntut ilmu untuk ke surga
Saya bekerja bukan sekedar mencari harta
Saya bekerja untuk ke surga
Saya berbakti kepada orang tua bukan sekedar balas jasa
Saya berbakti kepada orang tua untuk ke surga
Saya kembali pulang bukan sekedar nostalgia
Saya kembali pulang untuk ke surga
Kupilih kamu bukan sekedar cinta
Kupilih kamu untuk ke surga
Kujauhi yang lain bukan karena tak suka
Kutinggalkan yang lain karena takut dosa
(Adi Nurcahyo, Jember - 2008)
Penjelasan :
Setiap saat kita senantiasa dihadapan dengan berbagai pilihan perbuatan, apakah itu
berkenaan dengan pekerjaan, keluarga, sekolah, atau berbagai aktivitas lainnya. Dan hampir
semua pilihan itu kita ukur dengan pertimbangan enak atau ga enak, baik atau buruk, untung
atau rugi, senang atau sengsara, dsb yang serupa dengan itu. Dan semua ini wajar dimiliki
oleh seseorang yang masih baik akalnya.
Pertanyaannya, materi-materi kebaikkan macam apa yang kita kehendaki dan materi-
materi keburukan seperti apa yang kita jauhi ? Kondisi-kondisi enak yang bagaimana yang
kita harapkan, dan kondisi-kondisi tidak enak semacam apa yang kita benci ? Keadaan-
keadaan senang semacam apa yang kita nantikan, dan keadaan-keadaan sengsara seperti
apa yang kita takuti ?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan sumber inspirasi kita dalam
berbuat. Ia merupakan pijakan utama kita dalam mengambil keputusan. Dan ia juga penegas
kedudukan kita sebagai hamba dunia atau hamba-Nya.
Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga hal yang
barangsiapa menetapinya ia akan merasakan manisnya iman, (1) Orang yang mencintai Allah
dan Rasul-Nya melebihi segala-galanya, (2) Orang yang mencintai orang lain hanya karena
Allah, (3) Orang yang enggan kembali kafir setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran
sebagaimana ia enggan untuk dilemparkan ke neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini berarti, segala sesuatu yang kita pilih hendaknya menyimpan materi-materi
kebaikkan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan sesuatu yang kita jauhi karena ia
mengandung materi-materi yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah saw juga bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung
dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka
barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena
wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya.” (HR.
Bukhari dan Muslim dari ‘Umar bin Khaththab r.a.)
Perkara yang sangat penting untuk diperhatikan, sehebat dan sebesar apapun amal
yang telah kita lakukan, tidak akan diterima di sisi Allah swt, kecuali setelah terpenuhinya dua
syarat :
1. Hendaknya amalan tersebut dikerjakan semata-mata karena mengharapkan
keridhaan Allah ta’ala (ikhlas), sebagaimana yang terkandung dalam hadits ‘Umar.
2. Hendaknya amalan tersebut secara zhohirnya sesuai dengan sunnah Rasulullah
saw, sebagaimana sabda beliau, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara
baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya maka amalan itu tertolak.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Al Qurthubi berkata, “Telah menjadi suatu perkara yang tetap dalam Al Kitab dan
Sunnah bahwa amalan-amalan yang shalih dan ikhlas ketika melakukannya dengan diiringi
keimanan akan membawa pelakunya menuju surga dan jauh dari neraka.”
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk : 2)
Fudhail bin Iyadh berkata mengenai ayat ini, “Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar”.
Ketika ditanyakan, “Wahai Abu Ali, apa maksud paling ikhlas dan paling benar.” Beliau
menjawab, “Sesungguhnya suatu amal sekalipun benar tetapi tidak dikerjakan dengan ikhlas,
maka amal itu tidak akan diterima. Sebaliknya, jika dikerjakan dengan ikhlas namun tidak
dengan cara yang benar, maka amal tersebut juga tidak akan diterima. Ikhlas hanya dapat
terwujud manakala amal itu diniatkan secara murni kepada Allah swt. Sedangkan amal yang
benar hanya dapat terwujud dengan mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw.”

You might also like