You are on page 1of 127

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

Perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh perkembangan dunia pendidikan, di mana dunia pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam 1 menentukan arah maju mundurnya kualitas pendidikan. Hal ini bisa dirasakan ketika sebuah lembaga pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar bagus, maka dapat dilihat kualitasnya, berbeda dengan lembaga pendidikan yang melaksanakan pendidikan hanya dengan sekedarnya maka hasilnya pun biasa-biasa saja. Selanjutnya adanya Perubahan sistem pendidikan nasional, dari undang-undang No.2 Tahun 1989 menjadi undang-undang No. 20 Tahun 2003, merupakan upaya pembaharuan pendidikan kearah peningkatan mutu. Upaya peningkatan mutu beralih menjadi tangggung jawab sekolah dengan diberlakukannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sejalan dengan eraotonomi daerah. Banyak konsep pendidikan dalam UU Sisdiknas 2003 yang bernilai filosofis, yang dapat membangun Paradigma Baru pendidikan Indonesia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntunan kebutuhan sosial masyarakat. Pada akhirnya tuntunan tersebut bermuara kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat. dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen

pendidikan di sekolah. Chapman (1990) dalam Fattah (2003 : 28) menjelaskan bahwa : Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai terjemahan dari School Base Management adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk meningkatkan, me-redisain pengelolaan sekolah, bertujuan untuk memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi sekolah dalam upaya perbaikan kinerjanya yang mencakup guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat. Manajemen Berbasis Sekolah memodifikasi struktur pemerintahan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan pemerintahan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholders). Dengan mengalihkan wewenang dalam keputusan dari pemerintah tingkat Pusat/Kanwil/Kadis ke tingkat sekolah, diharapkan sekolah akan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntunan lingkungan masyarakatnya. Pada pelaksanaannya disadari bahwa mengimplementasikan pemberian kewenangan kepada sekolah melalui pendekatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memerlukan proses dan waktu. Organisasi berwajah lokal dalam kegiatannya cenderung berdasarkan pada konsensus lewat dialog dan diskusi yang terbuka dan seimbang. Dalam kaitan ini, jabatan Kepala Sekolah yang selama ini ditunjuk oleh pemerintah perlu diganti dengan Kepala Sekolah yang dipilih oleh guru dan kelak apabila masa jabatan sudah habis Kepala Sekolah akan dievaluasi oleh guru pula. Sekolah dengan bentuk organisasi semacam itu akan memungkinkan sekolah sebagai suatu lembaga yang relatif otonom dari kekuatan politik. Kerja Kepala Sekolah beserta staf administrasi tim yang demokratis orang tua murid dilibatkan dalam pelaksanaan pendidikan sebagai anggota bukan sebagai klien. Dari berbagai problem dan tantangan yang menyertainya, baik secara konseptual maupun secara operasional pelaksanaan model manajemen berbasis sekolah, maka urgensi penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji lebih mendalam pada tingkat

3 aktualisasi realitanya yang lebih riil. Untuk itu, maka muncullah sistem baru yaitu sistem Manajemen Berbasis Sekolah. Konsep Manajemen Berbasis sekolah (MBS) ini pertama kali muncul di Amerika Serikat. Latar belakangnya ketika itu masyarakat mempertanyakan tentang relevansi dan korelasi pendidikan yang diselenggarakan di sekolah dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Bertitik tolak dari kondisi tersebut, dipandang perlu membangun suatu sistem persekolahan yang mampu memberikan kemampuan dasar bagi peserta didik. Muncullah penataan sekolah melalui konsep MBS yang diartikan sebagai wujud dari reformasi pendidikan yang meredesain dan memodifikasi struktur pemerintah ke sekolah dengan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

(Sagala, 2004: 17). Sistem Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu sistem yang menunutut agar sekolah dapat secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan dan mempertanggung jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah (Mulyasa, 2006: 24). Pembelajaran berbasis kompetensi menekankan pembelajaran ke arah penciptaan dan peningkatan serangkaian kemampuan dan potensi siswa agar bisa mengantisipasi tantangan aneka kehidupannya. Sehingga orientasi pembelajaran yang selama ini lebih ditekankan pada aspek pengetahuan dan target materi yang cenderung verbalistis berubah menjadi lebih ditekankan pada aspek kompetensi dan target keterampilan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Peningkatan mutu pembelajaran merupakan suatu proses sistematis yang dilakukan secara terus menerus dalam meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pembelajaran, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat tercapai.

Keberhasilan pendidikan dengan sistem MBS ini dapat diukur dari indikatorindikator yang meliputi: input, proses, output dan outcome. (Engkoswara, 1988: 54). Pertama, input yaitu diantaranya adalah kualitas guru haruslah profesional dalam pengembangan ide kreativitasnya sehingga dapat menunjang mutu pembelajaran. Kedua, proses pembelajaran, pada umumnya pembelajaran ditekankan pada proses pengajaran oleh guru (teacher teaching) dibandingkan dengan proses pembelajaran oleh murid (student learning). Hal ini menyebabkan proses belajar menjadi statis dan beku. Oleh karena itu untuk memperbaiki mutu pendidikan, upaya pemberdayaan pembelajaran yang difokuskan siswa belajar menjadi sangat penting. Pemberdayaan yang dimaksud tidak akan meninggalkan fungsi dan peran guru, sehingga keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran sangat dibutuhkan. (Rahardja, 2002: 5). Ketiga, output, diantaranya adalah masyarakat dan dunia usaha. Hal ini pula yang menjadi tolok ukur peningkatan mutu pembelajaran di sekolah, karena sekolah yang baik merupakan suatu kebanggaan baik bagi pengelola (yayasan) ataupun bagi masyarakat sekitar (Fattah, 1999: 3). Adapun untuk dunia usaha itu juga merupakan suatu bukti ada tidaknya peningkatan mutu pembelajaran di sekolah tersebut, semakin baik dunia usaha yang dimiliki lulusan sekolah tersebut maka semakin baik juga pula mutu sekolah tersebut. Keempat, outcome meliputi jumlah lulusan ketingkat pendidikan berikutnya. Engkoswara, 1988: 54). Selain itu, sistem pembelajaran MBS ini memiliki ciri-ciri lain diantaranya: 1. Tidak bersifat sentralistik, maksudnya semua kegiatan pendidikan tidak tergantung pada pusat (pemerintah). 2. Memiliki hak otonomi yang luas dalam mengembangkan kreativitas dalam memberdayakan dan mengoptimalisasi sumber-sumber daya yang ada.

5 3. Memiliki sifat kewiraswastaan sehingga manajemen sekolah akan lebih luwes dan inovatif. 4. Non birokrasi yaitu sedikit mengesampingkan syarat-syarat hukum dan teknis dalam pendirian sekolah. (Bambang Rahardja, 2002: 5). Selain empat ciri diatas, ada empat alasan perlunya sekolah menerapkan program sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yaitu: 1. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kelebihan dan kelemahan dirinya, sehingga mereka dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya. 2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dalam proses pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah dan perkembangan anak didiknya. 3. Sekolah dapat mempertanggungjawabkan kinerja dan mutu pendidikan yang dihasilkan sekolah masing-masing kepada orangtua, masyarakat dan pemerintah, sehingga mereka akan berupaya seoptimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai target mutu pendidikan yang telah direncanakan. 4. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah daerah setempat atau bahkan pemerintah pusat. (Umaedi, 2000: 3). Pada dasarnya model manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan pendidikan yang mencoba diterapkan oleh sekolah- sekolah negeri maupun swasta, tidak terkecuali dengan SMP Negeri 4 Khusus yang juga telah menggunakan model manajemen berbasis sekolah. Berdasarkan observasi awal Sebagai implementasi dari konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang demokratis berciri pada pemberian

wewenang luas pada sekolah untuk mengatur pendidikan dan pengajaran sebagai aspirasi dari masyarakat kepada sekolah merupakan inti dari konsep MBS, maka di ketahui bahwa SMP Negeri 4 Khusus adalah salah satu lembaga yang mencoba

mempelopori dan menerapkan konsep MBS. SMP Negeri 4 Khusus sebagai sebuah lembaga pendidikan yang telah berdiri cukup lama dikenal sebagai sebuah lembaga yang memiliki segudang prestasi yang sangat membanggakan baik di tingkat Kabupaten, Provinsi bahkan sampai pada tingkat Nasional. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang di bawah naungan pemerintah, maka policy yang dilakukan tentu saja didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik dalam bidang administrasi, proses pendidikan, proses pengelolaan dan lain sebagainya. Karena orientasi kurikulum sekarang mengacu pada peningkatan kualitas manajemen yang berbasis sekolah, maka penekanan pengembangan yang semula berorientasi pada kuantitas berubah menjadi kualitas, mandiri, dan disentralisasi. Namun realitasnya bahwa belum sepenuhnya sekolah ini mampu

melaksanakan school based management atau MBS yang diharapkan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas maka ada beberapa hal yang mendasari mengapa penelitian ini mengambil lokasi di SMP Negeri 4 Khusus, yaitu: 1. Belum ada penelitian terdahulu yang membahas tentang bagaimana implementasi manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus. 2. 3. Tingkat kelulusan siswa pada setiap ujian nasional mengalami peningkatan. Berdasarkan observasi awal, tenaga pengajar di sekolah tersebut telah menjalankan aktivitas mengajar dengan konsep PAIKEM. 4. Diduga besarnya jumlah siswa pada sekolah tersebut mengindikasikan bahwa

7 minat, partisipasi, dan apresiasi masyarakat terhadap sekolah ini sangatlah besar. 5. Belum diketahui ketersediaan dan kesiapan input-input pendidikan yang mendukung keterlaksanaan program manajemen peningkatan berbasis sekolah diduga belum memadai. 6. Belum diketahui keterbukaan manajemen sekolah, baik di segi dana maupun program belum sesuai dengan yang dikehendaki. 7. Diduga iklim kerjasama antara sesama komunitas sekolah, komunitas sekolah dengan masyarakat belum terlaksana dengan baik. 8. Belum terdeteksi efektifitas partisipasi komite sekolah dan dewan pendidikan dalam penggalian dana sekolah. 9. Diduga belum maskimal akuntabitas sekolah kepada stakeholders. 10. Diduga belum memadai upaya untuk memecahkan berbagai faktor-faktor

penghambat dalam pengimplementasian manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dikemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum? 2. Faktor-faktor apa yang menghambat dan mendukung penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum. 2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menghambat dan mendukung penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis sebagai bahan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu Administrasi Negara. 2. Manfaat praktis adalah sebagai berikut: a. Sebagai bahan informasi bagi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan umumnya dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Umum dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. b. Sebagai bahan informasi kepada mereka yang berprofesi guru dalam menggali informasi penting tentang manajemen berbasis sekolah. c. Sumber pengetahuan aktual bagi pengelola sekolah (kepala sekolah, yayasan pendidikan) dalam penerapan manajemen berbasis sekolah. d. Memacu partisipasi aktif masyarakat dalam memajukan mutu pendidikan

9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Desentralisasi Pendidikan Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 10 pada hakekatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan azas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Berkaitan dengan aspirasi masyarakat, ditegaskan pula bahwa daerah dibentuk berdasarkan kehendak masyarakat setempat dengan mempersyaratkan kemampuan

ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah dan berbagai syarat lain yang memungkinkan daerah menyelenggarakan otonomi daerah (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 7 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004). Dipertegas pula Bahwa bidang pendidikan merupakan bidang yang termasuk dalam garapan kewenangan daerah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah pusat yang dikenal dengan desentralisasi pendidikan. Selanjutnya Burhanuddin (1998 : 117) Sistem Sentralisasi atau desentralisasi dalam penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan memiliki implikasi langsung terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional dan manajemen pendidikan. Bidang-bidang yang terkait langsung dengan sistem tersebut adalah kebijaksanaan, pengawasan, mutu dan sumber dana pendidikan. Pendelegasian bisa berarti penyerahan wewenang dari pusat ke daerah, atau dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau dari unit ke unit dibawahnya, termasuk pula dari pemerintah ke masyarakat. Salah satu wujud desentralisasi yang dimaksud adalah terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, seperti kewenangan

merumuskan, menetapkan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yang jangkauannya bersifat nasional. Karena itu tidak seluruh kewenangan dapat didesentralisasikan. Kalster (2000 : 11), menyebutkan bahwa desentralisasi pendidikan dalam bentuk School Base community, diyakini dapat meningkatkan efisiensi, relevansi. pemerataan dan mutu pendidikan serta memenuhi azas keadilan dan demokrasi. Hasil studinya menunjukkan bahwa terdapat potensi yang memungkinkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap, pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga dapat ditunjukkan sebagai sarana peningkatan efesiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Penekanan tersebut berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Misalnya krisis ekonomi yang tidak dapat dihindari dampaknya terhadap pendidikan, terutamanya berkurangnya penyediaan dana yang cukup untuk pendidikan dan menurunnya kemampuan sebagai orang tua untuk membiayai pendidikan anaknya. Kondisi tersebut secara langsung mengakibatkan menurunnya mutu pendidikan dan terganggunya proses pemerataan. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sekolah, pemerintah akan terbantu dalam control maupun pembiayaan sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada masyarakat kurang mampu yang semakin bertambah jumlahnya. Di samping itu, berkurangnya lapisan birokrasi dalam

11 prinsip desentralisasi juga mendukung efesiensi tersebut, keterlibatan kepala sekolah, dan guru dalam pengambilan keputusan sekolah yang pada akhirnya mendorong mereka untuk menggunakan sumber daya yang ada seefesien mungkin untuk mencapai hasil yang optimal. Pemberian otonomi yang luas kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dengan landasan tersebut, pemerintah mencoba untuk menerapkan desentralisasi pendidikan sebagai solusi. Selain hal tersebut diatas, ada beberapa faktor yang mendorong penerapan desentralisasi. Pertama, tuntutan orang tua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan. Kedua, anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah. Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam. Keempat, penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat. Kelima, tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan. (Umiarso dan Imam Gojali,2010:47-48) Dengan demikian, misi utama desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaran pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, serta terciptanya infrastruktur kedaerahan yang menunjang

terselenggaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan zaman, seperti

terserapnya konsep globalisasi, humanisasi dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi pendidikan dilakukan dengan mengikut sertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orang tua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai kebutuhan lingkungan. Selain itu, pengembangan kurikulum juga harus mampu mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka memajukan kebudayaan nasional. Pada tataran ini, desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu manajemen berbasis sekolah, pendelegasian wewenang, dan inovasi pendidikan. Hal yang menarik adalah desentralisasi pendidikan akan berimplikasi pada tataran dunia baru pendidikan yang lebih humanis. Artinya. Ada ruang-ruang dalam pendidikan untuk membangun peserta didik agar lebih mengerti dan berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama dengan landasan kearifan lingkungan. Dengan asas tersebut, tercipta pula kearifan ekologi yang merupakan buah dari inovasi kurikulum berbasis lingkungan atau masyarakat. Pertanyaan terpenting tentang arah desentralisasi pendidikan adalah sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi kewenangan yang lebih besar menentukan kebijakan-kebijakan tentang organisasi dan proses belajar mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, serta sumber-sumber pendanaan sekolah. Desentralisasi pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenagan dan pendanaan yang lebih besar dari pusat ke daerah, tetapi juga meliputi pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar ke sekolah-sekolah, sehingga mereka dapat merencanakan proses belajar megajar dan pengembangan sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masingt-masing sekolah. Oleh karena itu dalam desentralisasi pendidikan ada sasaran utama progaram restrukturisasi sistem dan

13 manajemen pendidikan di indonesia. Restrukturisasi tersebut hendaknya mencakup halhal berikut: (a) Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, serta mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. (b) Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsif edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolahraga, serta menjalankan syariat agama. (c) Tenaga pendidikan terutama tenaga pengajar harus melalui proses seleksi sejak memasuki LPTK disertai sistem tunjangan ikatan dinas dan wajib mengajar. (d) Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam persemester dan tujuan ajaran. (e) Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang dipelajari. (f) Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagi konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas. (g) Kegiatan supervisi dan akreditasi. Supervisi serta pembinaan administrasi dan akademis dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi bertujuan untuk pengendalian mutu, sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu pelayanan kelembagaan. (h) Pendidikan berbasis masyarakat, seperti pondok pesantren, kursus-kursus

keterampilan dan pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem

ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. (i) Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan pada bobot penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat, tingkat partisipasi pendidikan, serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pergeseran sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kewenangan lebih banyak kepada daerah kabupaten dan kota pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Pemangkasan mekanisme sistem birokrasi yang berbelit-belit yang terpusat secara sentralistik telah banyak membuang biaya dan waktu sampai tiba pada tahap sasaran pendidikan yang sesungguhnya seperti perbaikan kualitas dan personil pendidikan sekolah dan peserta didik di daerah. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigma yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan

15 life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat. Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha. Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality insurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan. Sebetulnya,sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas

kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah Sekolah Gratis sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, yaitu pemerintah. Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, pada SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan hasil belajar siswa masih menjadi proyek pemerintah pusat dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian pula pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih ikut-ikutan pemerintah pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian

17 dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan direbut oleh birokrasi pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan. Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacammacam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut : (1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS (2) Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3. (3) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP (4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru (5) Pemberian insentif kepada guru-guru negeri (6) Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah (7)Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana. Kebijakan otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah sebagai berikut, diantaranya: a) Secara general otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu pendidikan sebagai jawaban atas kekeliruan kita selama lebih dari 20 tahun bergelut dengan persoalan-persoalan kuantitas, b) Pada sisi otonomi daerah, otonomi pendidikan mengarah pada menipisnya kewenangan pemerintah pusat dan

membengkaknya kewenangan daerah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel

pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, c) Terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan. d) Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar otonomi pendidikan dapat berjalan pada relny, e) Pada tingkat persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip School Based Management pada tingkat pedidikan dasar dan menengah; penataan kelembagaan pada level dan tempat yang menjadi faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan, f) Sudah selayaknya jika otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan akuntabiliti terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan, g)Pada level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih tetap berada dalam kerangka otonomi keilmuan, h) Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapat ditempatkan bukan pada kepentingan daerah semata-semata melainkan pada kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional, i) Secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulankeunggulannya. (Yoyon, 2000:6) Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali Muhdi 2007:149, ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni: a) Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam jajaran birokrasi pusat. b) Pendelegasian, yaitu pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara publik c) Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah

19 d) Swastanisasi, berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau perorangan. Dalam kasus Indonesia, sejauh yang telah dilakukan nampaknya cenderung mengambil bentuk yang terakhir, swastanisasi.Menguatnya aspirasi otonomi dan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini adalah:1) Kebijakan pendidikan

nasional yang sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realita masyarakat Indonesia di berbagai daerah.2) Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian target kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran sangat berorientasi pada ranah kognitif dengan pendekatan formalisme dan pada saat yang sama, cenderung mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik. B. Kebijakan Publik Dalam Dimensi Akuntabilitas. Kebijakan (policy) secar etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu Polis yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75). Abidin (2006:17) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk

menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.Masih banyak kesalahan pemahaman maupun kesalahan konsepsi tentang kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan, yang maknanya sangat berbeda dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah aturan tertulis hasil keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan disini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan pada kita bahwa ruang lingkup kebijakan dapat bersifat makro, meso, dan mikro. Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas factorfaktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai.

21 Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Ketika kebijakan politik dalam dan luar negeri, kebijakan pendidikan biasanya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula mengganti kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yang aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih ingat dibenak kita ada pelajaran PSPB yang secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun di pelajari di PMP (sekarang PKN/PPKN). Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut dengan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras sekeras tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini membuktikan bahwa kecenderungan masyarakat pada masa kini berbeda dengan masa lalu. Fasli Jalal dan Dedi Supariadi (2001) menyatakan: Bila di masa lalu masyarakat cenderung menerima apa pun yang diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak dengan mudah menerima apa yang diberikan oleh pendidikan. Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik bagi dirinya dan anak-anaknya. Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan: Upaya untuk mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yang relevan yang memperhitungkan kebutuhan masyarakat, kemampuan

manajemen yang tinggi, komitmen yang kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang yang mamadai, dan perangkat aturan yang jelas dan dilaksanakan secara konsisten oleh institusi pendidikan yang bersangkutan. Empat hal penting yang dikemukakan di atas membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat. Sebab tidak saja dibutuhkan kemauan tetapi juga kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam teori perubahan, orang dapat berubah, jika ia memiliki kemauan sekaligus kemampuan. Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. Di Indonesia telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat. Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi dari stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS telah muncul manajemen berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber daya penting: 1) informasi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan dan sanksi." Empat sumber daya ini jika dikelola secara baik akan meningkatkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan output yang berkualitas. Akuntabilitas yang tinggi hanya dapat dicapai dengan pengelolaan sumber daya sekolah secara efektif dan efisien. Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88): Tiga aspek yang dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga terakreditasi

23 (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntable. Institusi pendidikan yang akuntabel adalah institusi pendidikan yang mampu menjaga mutu keluarannya sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya suatu lembaga pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu lembaga juga bergantung kepada pengelolaan kemampuan keuangan suatu lembaga publik. pendidikan Penulis

mempertanggungjawabkan

kepada

mengelompokkan akuntabiltas yang pertama sebagai akuntabilitas kinerja, sementara yang kedua sebagai akuntabilitas keuangan. Manajemen Berbasis Sekolah yang diterapkan di Indonesia juga mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada publik. Menurut Slamet (2005:6): MBS harus dipahami sebagai model pemberian kewenangan yang lebih besar kepada sekolah, yang meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sekolah, mengambil keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan

kewenangan yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak

instituasi pendidikan yang lemah dan tidak sedikit institusi pendidikan yang tidak akuntabel. Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan sudah seharusnya lebih akuntabel kepada masyarakat dan kecenderungan umum bahwa isu-isu pendidikan seharusnya terbuka telah membuka ruang bagi untuk menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000). Di Indonesia akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, juga masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, isu akuntabilitas sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah sebagai basis penerapan manajemen pendidikan dituntut harus mampu mewujudkan akuntabilitas bagi publik. Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:5), "Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewajiban untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan akuntabilias dikaitkan dengan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya dapat terjadi jika ada partisipasi dari stakeholders sekolah. Semakin kecil partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah pula akuntabilitas sekolah.Jadi,kalau disimpulkan akuntabilitas adalah kemampuan sekolah

mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh sebagai hasil partisipasi dari stakeholders. Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, legal and financial dimensions and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut

25 tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other professionals." Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Pendapat Headington memberi tekanan pada akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia, juga di Negaranegara yang telah menerapkan MBS, terjadi kekacauan dalam memahami MBS, bahwa seringkali aspek pembelajaran dipahami terpisah dengan MBS. Apa yang dikatakan oleh David Marsh merupakan sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan dalam penerapan MBS. Bahwa MBS tidak dipahami sebagai sebuah inovasi yang terpisah dari pembelajaran. Jadi, kalau Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yang dimotori oleh guru, maka sebenarnya ini adalah bagian hakiki dalam penerapan MBS yang tidak boleh diabaikan oleh sekolah. Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan hasil kerja kepada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang

diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas di atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir dari sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru sebagai titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi. b.1. Pelaksanaan Akuntabilitas dalam MBS. Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi kewenangan mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga berperan besar dalam memenuhi berbagai aspek kepentingan masyarakat. Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat. Sekolah dan orang tua siswa. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas

27 pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah. Antar kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan guru. Pengelola sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh komponen pengelolaan MBS kepada masyarakat. Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Mengapa, karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus dapat melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar. Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning. Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola. Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dipercaya. Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari praktek

korupsi. Fakta menyangkut praktek korupsi dalam dunia pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) awal tahun 2008 bahwa, korupsi dalam dunia pendidikan telah menjamah, mulai dari Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, hingga di sekolah-sekolah. Kenyataan ini sangat ironis, karena berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya diajarkan lembaga pendidikan kepada anak bangsa, tidak saja dari segi intelektual tetapi juga moral. Informasi ini merupakan "tamparan" keras bagi dunia pendidikan. Oleh karena itu dalam rangka penerapan MBS ini, pengelolaan keuangan sekolah harus jauh dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika sekolah mampu

mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang mampu mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiens eksternal.

b.2. Faktor-Faktor Penghambat Akuntabilitas dalam MBS. Codd (1999), seorang pakar kebijakan pendidikan dalam Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan bahwa dalam perspektif global, akuntabilitas dipengaruhi oleh kecenderungan manusia yang mengutamakan kebebasan. Kebebasan yang muncul secara baru (neoliberalisme) ikut mempengaruhi ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas. Menurutnya Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-

masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal. Keduanya memiliki ciri yang berbeda, ini disebabkan oleh karena titik tolak kedunya berbeda. Akuntabilitas eksternal didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal didasarkan pada tanggung jawab profesional, dengan melekat sebuah konsep agen moral. Oleh karena

29 pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini berbeda, maka hal-hal yang diperlihatkanpun berbeda. Misalnya, akuntabilitas eksternal memiliki kepercayaan yang rendah, sedangkan pada akuntabilitas internal justru sebaliknya memiliki kepercayaan yang tinggi. Selanjutnya dari segi tanggung jawab, pada akuntabilitas eksternal terdapat kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal tanggung jawab professional didelegasikan. Dari segi pelaksanaan tugas, pada akuntabilitas eksternal terikat pada kontrak, sedangkan akuntabilitas internal menekankan pada komitmen, loyalitas, rasa memiliki, dan kecakapan. Akuntabilitas eksternal memperlihatkan proses formal dalam pelaporan dan perekaman untuk manajamen hirarkhis, sedangkan dalam akuntabilitas internal akuntabel banyak konstituen. Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan peran moral, ketimbang etika kebiasan, dan etika struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas internal peran moral tinggi sehingga pertimbangannya matang dan memiliki kebebasan untuk bertindak. Kedua jenis akuntabilitas di atas memiliki pendasaran yang sangat berbeda. Kalau akuntabilitas eksternal pengaruh faktor luar sangat besar, di sisi lain faktor dalam sangat lemah. Sebaliknya pada akuntabilitas internal faktor dari dalam diri lebih kuat ketimbang faktor luar. Kekuatannya terletak pada motivasi dan komitmen individu untuk melaksanakan akuntabilitas organisasi. Akuntabilitas dan Faktor nilai-budaya Sekolah sebagai tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata sosial. Dikatakan sebagai pranata sosial karena di tempat tersebut teradapat orang-orang dari berbagai latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai dan budaya tertentu. Nilai-nilai dan budaya tersebut potensial untuk mendukung penyelenggaraan manajemen sekolah yang akuntabel, tetapi juga sebaliknya bisa menjadi penghambat. Dalam sebuah ilustrasi

perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan: Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to shift their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to those differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at the same time not discriminating. Artinya, keberagaman tenaga kerja mempunyai implikasi penting pada praktik manajemen. Para manejer harus mengubah filosofi mereka dari memperlakukan setiap orang dengan cara yang sama menjadi mengenali perbedaan dan menyikapi mereka yang berbeda dengan cara-cara yang menjamin kesetiaan karyawan dan peningkatan produktifitas sementara, pada saat yang sama, tidak melakukan diskriminasi. Apa yang dikemukakan Robins berangkat dari asumsi akan perbedaan nilai dan budaya dari setiap anggota organisasi. Ada nilai-nilai yang dapat mendukung nilai-nilai organisasi, tetapi ada juga yang sebaliknya. Dalam konteks ini, dibutuhkan peran pemimpin untuk dapat mengelolanya. Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi dapat mendukungnya? Menjadi tantangan, oleh karena latar belakang tadi. Jadi, faktor yang mempengaruhi akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem dan faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan produk dari masyarakat dengan budaya tertentu. b.3.Upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas dalam MBS. Bagaimanapun juga pengelolaan MBS mensyaratkan akuntabilitas yang tinggi,

31 oleh karena itu perlu ada upaya nyata sekolah untuk mewujudkannya. Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal yang harus dikerjakan oleh sekolah untuk peningkatan akuntabilitas: Pertama, sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggungjawaban. Kedua, sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada publik/stakeholders di awal setiap tahun anggaran. Keempat, menyusun indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada publik/stakeholders diakhir tahun. Keenam, memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan pengaduan publik. Ketujuh, menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen baru. Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sehingga dapat digerakan untuk mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas. Sekolah dapat melibatkan stakeholders untuk menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan untuk melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang ada. Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis sekolah, dapat dilihat pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah:

1. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah. 2. Tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap

penyelenggaraanpendidikan di sekolah 3. Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat. Ketiga indikator di atas dapat dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah telah mencapai hasil sebagaiamana yang dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal sehingga kepercayaan masyarakat akan kinerja sekolah menjadi lebih tinggi dan dengan sendirinya partsipasi bertambah. C. Manajemen Pendidikan Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Balitbangdikbud (1991:47) menunjukkan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Selanjutnya Gaffar (1989 : 59), mengemukakan bahwa : Manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang sistemik dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Manajemen pendidikan dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu berkenan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah maupun tujuan jangka panjang. Substansi manajemen pendidikan lebih memusatkan diri pada substansi yang berkaitan dengan proses pendidikan, yaitu manajemen pengajaran, peserta didik, ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dan masyarakat dan layanan-layanan khusus. Mugatroyd dan Morgan (dalam Mantja, 2002 : 131) mengemukakan empat

33 gagasan dasar yang sangat sentral bagi keefektifan manajemen persekolahan. Pertama, adalah bahwa lembaga pendidikan merupakan mata rantai yang menghubungkan

pelanggan (customer client) dan pemasok (supplier), Kedua, yang merupakan gagasan kunci adalah semua hubungan antara pelanggan dan pemasok ditengahi oleh proses. Ketiga, orang yang paling melakukan perbaikan adalah mereka yang dekat dengan pelanggan dalam proses tersebut. Keempat, bahwa untuk menjamin terdapatnya dukungan perbaikan performansi kualitas terhadap sekolah dipersyaratkan

kepemimpinan yang bervisi, yang mendukung dan meningkatkan kinerja terhadap mereka yang dekat (familiar) dengan klien. D. Manajemen Berbasis Sekolah 1. Konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) Istilah Manajemen berbasis Sekolah merupakan terjemahan dari .School Based Management.. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. Pengertian Manajemen berbasis Sekolah menurut beberapa ahli: Menurut E. Mulyasa (2004:24) : .MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Menurut Nanang Fatah (2006:32) MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan

kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Manajemen berbasis Sekolah mengubah sistem pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal Local Stakeholder. Menurut Bedjo sudjanto (2005:37) MBS merupakan model manajemen pendidikan yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah. Disamping itu, MBS juga mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah yang dilayani dengan tetap selaras pada kebijakan nasional pendidikan. Hal yang penting dalam implementasi/pelaksanaan manajemen berbasis sekolah adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Menurut Mulyasa (2004 : 118), sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka pelaksanaan MBS, yaitu Kurikulum dan program pengajaran, tenaga kependidikan, kesiswaan, keuangan, sarana, dan prasarana pendidikan, pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat serta manajemen layanan khususnya lembaga pendidikan. Manajemen berbasis sekolah sebagaimana dikemukakan oleh para ahli adalah sebuah model pengelolaan sekolah yang mengarah pada kemandirian lembaga pendidikan sekolah dan terintegratif dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Olehnya itu, jika model ini dikembangkan dua syarat pokok yang harus dipenuhi oleh setiap pendidikan sekolah, pertama sekolah menjamin adanya kultur sekolah yang kondusif dan demokratis menanggapi respon masyarakat secara terbuka sebagai wujud pertanggungjawaban public. Jadi, MBS merupakan sebuah strategi untuk memajukan pendidikan dengan mentransfer keputusan penting memberikan otoritas dari negara dan pemerintah daerah kepada individu pelaksana di sekolah. 11MBS menyediakan kepala sekolah, guru, siswa,

35 dan orang tua kontrol yang sangat besar dalam proses pendidikan dengan memberi mereka tanggung jawab untuk memutuskan anggaran, personil, serta kurikulum. 2. Karakteristik MBS MBS memiliki karakter yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya, karakteristik tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki sehingga membedakan dari sesuatu yang lain. MBS memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Adanya otonomi yang luas kepada sekolah b. Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi c. Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional d. Adanya team work yang tinggi, dinamis dan profesional Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat dilihat pula melalui

pendidikan sistem. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MBS berdasarkan berdasarkan pada input, proses dan output 1. Input Pendidikan Dalam input pendidikan ini meliputi; (a) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas, (b) sumber daya yang tersedia dan siap, (c) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi, (d) memiliki harapan prestasi yang tinggi,(e) fokus pada pelanggan. 2. Proses Dalam proses terdapat karakter yaitu; (a) PBM yang memiliki tingkat efektifitas yang tinggi, (b) Kepemimpinan sekolah yang kuat, (c) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (d) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, (e) Sekolah memiliki budaya mutu, (f) Sekolah memiliki team work yang kompak, cerdas, dan dinamis.

d) Output yang diharapkan Output Sekolah adalah Prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses pembelajarn dan manajemen di sekolah. Pada umumnya output dapat di klasifikasikan menjadi dua yaitu output berupa prestasi akademik yang berupa NEM, lomba karya ilmiah remaja, cara-cara berfikir ( Kritis, Kreatif, Nalar, Rasionalog, Induktif, Deduktif dan Ilmiah. Dan output non akademik, berupa keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, toleransi, kedisiplinan, prestasi olahraga, kesenian dari para peserta didik dan sebagainya. Karakteristik MBS bisa diketahui juga antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia,dan pengelolaan sumber daya administrasi. Menurut Depdiknas fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah Sekolah di beri kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, Sekolah juga diberi kewenangan untuk melakukan evaluasi khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri. 2. Pengelolaan Kurikulum. Sekolah dapat mengembangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga di beri kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. 3. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar. Sekolah di beri kebebasan untuk memilih strategi, metode, dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.

37 4. Pengelolaan ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sanksi, hubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya. 5. Pengelolaan keuangan Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian atau penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Sekolah juga harus di beri kebebasan untuk untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan, sehingga sumber keuangan tidak semata-mata bergantung pada pemerintah. 6. Pelayanan siswa Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. 7. Hubungan sekolah dan masyarakat Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan. Yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. 3. Tujuan Manajemen berbasis Sekolah Tujuan utama Manajemen Berbasis Sekolah adalah meningkatkan efisiensi, mutu,dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi.

Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuh k Sementara itu baik berdasarkan kajian pelaksanaan dinegara-negara lain, maupun yang tersurat dan tersirat dalam kebijakan pemerintah dan UU sisdiknas NO. 20 Tahun 2003, tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat pasal 55 ayat 1:Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Berkaitan dengan pasal tersebut setidaknya ada empat aspek yaitu: kualitas (mutu) dan relevansi, keadilan, efektifitas dan efisiensi, serta akuntabilitas. 1) MBS bertujuan mencapai mutu quality dan relevansi pendidikan yang setinggi-

tingginya, dengan tolok ukur penilaian pada hasil output dan outcome bukan pada metodologi atau prosesnya. Mutu dan relevansi ada yang memandangnya sebagai satu kesatuan substansi, artinya hasil pendidikan yang bermutu sekaligus yang relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Bagi yang memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk pada dicapainya tujuan spesifik oleh siswa (lulusan), seperti nilai ujian atau prestasi lainnya, sedangkan relevansi lebih merujuk pada manfaat dari apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan dalam berbagai lingkup/tuntutan kehidupan (dampak), termasuk juga ranah pendidikan yang tidak diujikan. 2) MBS bertujuan menjamin keadilan bagi setiap anak untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu disekolah yang bersangkutan. Dengan asumsi bahwa setiap anak berpotensi untuk belajar, maka MBS memberi keleluasaan kepada setiap sekolah untuk menangani setiap anak dengan latar belakang social ekonomi dan

39 psikologis yang beragam untuk memperoleh kesempatan dan layanan yang memungkinkan semua anak dan masing-masing anak berkembang secara optimal. Sungguhpun antara sekolah harus saling memacu prestasi, tetapi setiap sekolah harus melayani setiap anak (bukan hanya yang pandai), dan secara keseluruhan sekolah harus mencapai standar kompetensi minimal bagi setiap anak yang diluluskan. Keadilan ini begitu penting, sehingga para ahli sekolah efektif menyingkat tujuan sekolah efektif hanya mutu dan keadilan atau .quality and equity. 3) MBS bertujuan meningkatkan efektifitas MBS bertujuan meningkatkan efektifitas dan efisiensi. Efektifitas berhubungan dengan proses, prosedur, dan ketepat-gunaan semua input yang dipaki dalam proses pendidikan disekolah, sehingga menghasilkan hasil belajar siswa seperti yang diharapkan (sesuai tujuan). Efektif-tidaknya suatu sekolah diketahui lebih pasti setelah ada hasil, atau dinilai hasilnya. Sebaliknya untuk mencapai hasil yang baik, diupayakan menerapkan indikator-indikator atau cirri-ciri sekolah efektif. Dengan menerapkan MBS diharapkan setiap sekolah, sesuai kondisi masing-masing, dapat menerapkan metode yang tepat (yang dikuasai), dan input lain yang tepat pula (sesuai lingkungan dan konteks social budaya), sehingga semua input tepat guna dan tepat sasaran. Atau dengan kata lain, efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara itu, efisiensi berhubungan dengan nilai uang yang dikeluarkan atau harga (cost) untuk memenuhi semua input (proses dan semua input yang digunakan dalam proses) dibandingkan atau dihubungkan dengan hasilnya (hasil belajar siswa). 4. MBS bertujuan meningkatkan akuntabilitas sekolah dan komitmen semua stake holders. Akuntabilitas adalah pertanggung jawaban atas semua yang dikerjakan sesuai wewenang dan tanggung jawab yang diperolehnya. Selama ini pertanggung

jawaban sekolah lebih pada masalah administratif keuangan dan bersifat vertical sesuai jalur birokrasi. Pertanggung jawaban yang bersifat teknis edukatif terbatas pada pelaksanaan program sesuai petunjuk dan pedoman dari pusat (pusat dalam arti nasional, maupun pusatpusat irokrasi di bawahnya),tanpa pertanggung jawaban hasil pelaksanaan program. 4. Langkah-langkah MBS Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan behasil melalui strategi- strategi berikut ini: Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif, dalam hal pembiayaan, prosespengambian keputusan terhadap kurikulum. Sekolah harus lebih banyak mengajaklingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat luas. Ketiga, kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Kepala sekolah dalam MBS berperan sebagai designer, motivator, fasilitator. Bagaimanapun kepala sekolah adalah pimpinan yang memiliki kekuatan untuk itu. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan dan bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan. Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus

41 mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orang tuanya, masyarakat dan para guru. Kepala sekolah jangan selalu menengok ke atas sehingga hanya menyenangkan pimpinannya namun mengorbankan masyarakat pendidikan yang utama. Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara bersungguh sungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri. Siapa kebagian peran apa dan melakukan apa, sampai batas-batas nyata perlu dijelaskan secara nyata. Keenam, adanya guidlines dari departemen pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Guidelines itu jangan sampai berupa peraturan-peraturan yang mengekang dan membelenggu sekolah. Artinya, tidak perlu lagi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan MBS, yang diperlukan adalah rambu-rambu yang membimbing. Ketujuh, sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawabannya setiap tahunnya. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu sekolah harus dijalankan secara transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak terkait. Kedelapan, Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Perlu dikemukakan lagi bahwa MBS tidak bisa langsung meningkatkan kinerja belajar siswa namun berpotensi untuk itu. Oleh karena itu, usaha MBS harus lebih terfokus pada pencapaian prestasi belajar siswa. Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialsasi dari konsep MBS, identifikasi

peran masing-masing pembangunan kelembagaan capacity building mengadakan pelatihan pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi atas pelaksanaan dilapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan. Bagi sekolah yang sudah beroperasi ( sudah ada / jalan) paling tidak ada 6 (enam) langkah, yaitu : 1) evaluasi diri self assessment; 2) Perumusan visi, misi, dan tujuan; 3)Perencanaan; 4) Pelaksanaan; 5) Evaluasi; dan 6) Pelaporan. Masing-masing langkah dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Evaluasi diri self assessment Evaluasi diri sebagai langkah awal bagi sekolah yang ingin, atau akan melaksanakan manajemen mutu berbasis sekolah.Kegiatan ini dimulai dengan curah pendapat brainstorming yang diikuti oleh kepala sekolah, guru, dan seluruh staf, dan diikuti juga anggota komite sekolah. Prakarsa dan pimpinan rapat adalah kepala sekolah. memancing minat acara rapat dapat dimulai dengan pertanyaan seperti: Perlukah kita meningkatkan mutu? seperti apakah kondisi sekolah / madrasah kita dalam hal mutu pada saat ini? Mengapa sekolah kita tidak/belum bermutu? Kegiatan ini bertujuan: a) Mengetahui kondisi sekolah saat ini dalam segala aspeknya (seluruh komponen sekolah), kemajuan yang telah dicapai, maupun masalah-masalah yang dihadapi ataupun kelemahan yang dialami. b) Refleksi/Mawas diri, untuk membangkitkan kesadaran / keprihatinan akan penting dan perlunya pendidikan yang bermutu, sehingga timbul komitmen bersama untuk meningkatkan mutu sense of quality. c) Merumuskan titik tolak point of departure bagi sekolah/madrasah yang ingin atau akan mengembangkan diri terutama dalam hal mutu. Titik awal ini penting karena

43 sekolah yang sudah berjalan untuk memperbaiki mutu, mereka tidak berangkat dari nol, melainkan dari kondisi yang dimiliki. 2) Perumusan Visi, Misi, dan tujuan Bagi sekolah yang baru berdiri atau baru didirikan, perumusan visi dan misi serta tujuan merupakan langkah awal/pertama yang harus dilakukan yang menjelaskan kemana arah pendidikan yang ingin dituju oleh para pendiri/ penyelenggara pendidikan. Dalam kasus sekolah/madrasah negeri kepala sekolah bersama guru mewakili pemerintah kab/kota sebagai pendiri dan bersama wakil masyarakat setempat ataupun orang tua siswa harus merumuskan kemana sekolah kemasa depan akan dibawa, sejauh tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU No. 23 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kondisi yang diharapkan/diinginkan dan diimpikan dalam jangka panjang itu, kalau dirumuskan secara singkat dan menyeluruh disebut visi. Keadaan yang diinginkan tersebut hendaklah ada kaitannya dengan idealisme dan mutu pendidikan. Idealisme disini dapat berkaitan dengan kebangsaan, kemanusiaan, keadilan, keluhuran budi pekerti, ataupun kualitas pendidikan sebagaimana telah didefinisikan sebelumnya. Sedangkan misi, merupakan jabaran dan visi atau merupakan komponenkomponen pokok yang harus direalisasikan untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, misi merupakan tugas-tugas pokok yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi. Tujuan merupakan tahapan antara, atau tonggak tonggak penting antara titik berangkat (kondisi awal) dan titik tiba tujuan akhir yang rumusannya tertuang dalam dalam bentuk visi-misi. Tujuan-tujuan antara ini sebagai tujuan jangka menengah kalau tiba saatnya berakhir (tahun yang ditetapkan ) akan disusul dengan tujuan berikutnya, sedangkan visi dan misi (relatif/pada umumnya) masih tetap. Tujuan (jangka menengah), dipenggal-penggal menjadi tujuan tahunan yang biasa disebut

target/sasaran, dalam formulasi yang jelas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tujuan-tujuan jangka pendek (1 tahun) inilah yang rincian persiapannya dalam bentuk perencanaan. 3) Perencanaan Perencanaan pada tingkat sekolah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjawab: apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannnya untuk mewujudkan tujuan (tujuan-tujuan) yang telah ditetapkan / disepakati pada sekolah yang bersangkutan, termasuk anggaran yang diperlukan untuk membiayai kegiatan yang direncanakan. Dengan kata lain perencanaan adalah kegiatan menetapkan lebih dulu tentang apa-apa yang harus dilakukan, prosedurnya serta metode pelaksanaannya untuk mencapai suatu tujuan organisasi atau satuan organisasi. Perencanaan oleh sekolah merupakan persiapan yang teliti tentang apa-apa yang akan dilakukan dan skenario melaksanakannya untuk mencapai tujuan yang dihar apkan, dalam bentuk tertulis. Dikatakan teliti karena ia harus menjelaskan apa yang akan dilakukan, seberapa besar lingkup cakupan kuantitatif dan kualitatif yang akan dikerjakan, bagaimana, kapan dan berapa perkiraan satuan-satuan biayanya, serta hasil seperti apa yang diharapkan. 4) Pelaksanaan Apabila kita bertitik tolak dari fungsi-fungsi manajemen yang umumnya kita kenal sebagai fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan/penggerakkan atau pemimpinan dan kontrol/pengawasan serta evaluasi, maka langkah pertama sampai dengan ketiga dapat digabungkan fungsi perencanaan yang secara keseluruhan (untuk sekolah) sudah dibahas. Didalam pelaksanaan tentu masih ada kegiatan perencanaanperencanaan yang lebih mikro (kecil) baik yang terkait dengan penggalan waktu

45 (bulanan,semesteran, bahkan mingguan), atau yang terkait erat dengan kegiatan khusus, misalnya menghadapi lomba bidang studi, atau kegiatan lainnya. Tahap pelaksanaan, dalam hal ini pada dasarnya menjawab bagaimana semua fungsi manajemen sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan lembaga yang telah ditetapkan melalui kerjasama dengan orang lain dan dengan sumber daya yang ada, dapat berjalan sebagaimana mestinya (efektif dan efisien). Pelaksanaan juga dapat diartikan sebagai suatu proses kegiatan merealisasikan apa-apa yang telah direncanakan. Selanjutnya Sidi, mengemukakan bahwa kemandirian sekolah yang ditegaskan dalam manajemen berbasis sekolah, sangat menekankan pada optimalisasi pelaksanaan proses belajar mengajar, partisipasi masyarakat dan kinerja kepala sekolah. Khususnya mengenai pelaksanaan belajar mengajar, guru-guru memegang peranan yang sangat menentukan, sebab sekalipun sarana dan prasarana pendidikan lengkap dan mempunyai sumber dana yang cukup memadai, tetapi kalau sumber daya manusianya yaitu para guru-gurunya tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dalam proses belajar mengajar, maka tidak dapat diharapkan mutu output pendidikan akan meningkat. E. Kinerja Kepala Sekolah Kepala sekolah sebagai organisator memiliki peran yang sangat penting menentukan jalannya organisasi sekolah. Sekolah memerlukan suatu organisasi kerja yang baik, sehingga kepala sekolah dituntut mampu menumbuhkembangkan kreativitas kerja guru dan staf sekolah. Olehnya itu, kinerja kepala sekolah seharusnya mencerminkan lebih baik daripada guru dan staf lainnya. Kinerja kepala sekolah itu harus tampak dalam memainkan perannya secara professional. Peran kepala sekolah sebagai administrator pendidik bertolak dari hakikat administrasi pendidikan, yakni mendayagunakan berbagai sumber (manusia sarana

dan prasarana serta berbagai media pendidikan lainnya) secara optimal, relevan, efektif dan efisien guna menunjang pencapaian pendidikan. Secara kongkret pelaksanaan tugas dan fungsi administrator dalam administrasi pendidikan mencakup substansi lingkup

administrasi pendidikan (sekolah) (1) kurikulum atau pengajaran,

(2) kesiswaan, (3) perlengkapan, (4) keuangan., (5) kepegawaian dan (6) hubungan sekolah dan masyarakat (IKIP Malang, 1995). Sehubungan dengan itu tugastugas kepala sekolah sebagai administrator, (Burton dalam Mantja 2002) menyarankan bahwa: Beberapa kompetensi dasar yang perlu dikuasai oleh Kepala Sekolah yakni (1) memahami kurikulum sekolah, (2) membantu melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam kelas, (3) mengadakan hubungan dengan masyarakat di sekitarnya untuk keefektifan pelaksanaan pengajaran di sekolah khususnya para orang tua murid, (4) mampu menciptakan hubungan baik guru dengan murid di sekolahnya, (5) mengelolah sarana dan fasilitas sekolah; dan (6) mampu melaksanakan program kerja pengajaran. Kompetensi yang diperlukan administrator menekankan perlunya kompetensi dasar yang harus dikuasai yaitu: teknis, manusiawi, dan konseptual. Keterampilan teknis yang ditunjuk kerjakan oleh administrator sekolah Budgeting, schedule, staffing, dan berbagai tanggung jawab administrasi yang sejenisnya. Keterampilan manusiawi (insani) mengacu kepada keterampilan yang diperlukan dalam keberhasilan kerja dengan orang per orang atau dalam latar kelompok. Sedangkan keterampilan konseptual adalah kemampuan yang diperlukan oleh administrator untuk melihat gambaran keseluruhan dan hubungan-hubungannya diantara dan di dalam bagian-bagian yang berlainan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang mengacu pada perbuatan dan kinerja yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu termasuk tugas kepala sekolah sebagai administrator, manajer, pimpinan, sekolah supervisor secara

47 substansial merupakan tugas-tugas pokok kepala sekolah yang menurut kinerja kepala sekolah secara profesional. F. Kinerja Guru Dalam Proses Belajar Mengajar Bangsa dan negara akan dapat memasuki era globalisasi dengan tegar apabila memiliki sistem pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan, terutama ditentukan oleh proses belajar mengajar yang berlangsung dalam ruang kelas. Dalam proses belajar mengajar, guru memegang peranan yang penting, guru adalah kreator proses belajar mengajar. Dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan disadari suatu kebenaran fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan menciptakan dan mempersiapkan guruguru yang profesional yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab baru untuk merencanakan pendidikan masa depan. Pada dasarnya peningkatan kualitas diri seseorang harus menjadi tanggung jawab diri pribadi. Oleh karenanya usaha peningkatan kualitas guru terletak pada diri guru sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran pada diri guru untuk senantiasa dan secara terus menerus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan guna peningkatan kualitas kerja sebagai pengajar professional. Dengan demikian untuk pembinaan dan peningkatan profesional guru perlu dikembangkan kegiatan profesional kesejawatan yang baik, harmonis, dan objektif. Secara sistematis pengembangan kejawatan memerlukan : a. Wadah/kelembagaan, untuk pengembangan kesejawatan adalah kelompok yang merupakan organ yang bersifat non-struktural dan lebih bersifat formal. b. Bentuk kegiatan kelompok yang dibentuk merupakan wadah kegiatan dimana antara anggota sejawat biasa saling asah, asuh dan asih untuk meningkatkan kualitas diri masing-masing khususnya dan mencapai kualitas sekolah serta pendidikan pada

umumnya. c. Mekanisme, kegiatan kelompok dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan. Sebagaimana konsep asah, asuh dan asih. Maka setiap anggota kelompok memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dalam setiap kegiatan tanpa memandang jenjang kepangkatan jabatan dan gelar akademik yang disandangnya. d. Standar profesional guru, pada dasarnya kelompok yang diuraikan di atas merupakan wadah aktivitas profesional untuk meningkatkan kemampuan profesional guru. Aktivitas yang dimaksud tidak bersifat searah melainkan bersifat multi arah, artinya aktivitas yang dilaksanakan bersifat komprehensif dan total mencakup presentasi, observasi, penilaian, kritik, tanggapan, saran dan bimbingan G. Partisipasi Masyarakat Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Selanjutnya, peran serta masyarakat dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah yang diharapkan dari masyarakat, antara lain : 1. Tenaga yaitu sebagai sumber atau tenaga sukarela untuk membantu mensukseskan wajib belajar dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, serta memperbaiki sarana dan prasarana baik secara individu maupun secara kelompok. 2. Dana, untuk membantu pendanaan operasional sekolah, memberikan beasiswa, menjadi orang tua asuh, menjadi sponsor dalam suatu kegiatan sekolah, dan sebagainya. 3. Pemikiran, yaitu memberikan masukan berupa pendapat pemikiran dalam rangka menjaring anak-anak usia sekolah, menanggulangi anak putus sekolah, dan meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Salah satu kebijakan pemerintah menyangkut pembiayaan pendidikan dalam

49 rangka peningkatan mutu pada semua jenjang pendidikan (dasar, menengah dan tinggi) yakni, peningkatan peran serta masyarakat dunia usaha dalam penyelenggaraan pendidikan ditingkatkan, antara lain dengan mengembangkan mekanisme kerjasama saling menguntungkan bagi peserta didik, lembaga pendidikan, dan masyarakat dan dunia usaha. Kelompok masyarakat mampu perlu didorong untuk memberi sumbangan yang lebih besar dalam membiayai pendidikan. Sementara itu, bagi masyarakat tidak mampu disediakan bantuan, baik langsung ataupun tidak langsung demi pemusatan dan keadilan pendidikan. dunia usaha didorong untuk memberi bantuan beasiswa, tenaga fasilitas praktik dan penelitian. Masyarakat dunia usaha juga diharapkan untuk memberikan pemikiran dan sumbangan dalam perumusan kebijakan pendidikan. Sekolah merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari sekolah. Dikatakan demikian, karena keduanya memiliki kepentingan. Sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih dan membimbing generasi muda bagi peranannya di masa depan sementara masyarakat merupakan pengguna jasa pendidikan itu. Partisipasi masyarakat merupakan wujud pemberdayaan masyarakat sebagai daya dukung sekolah dalam rangka pengelolaan sekolah secara efektif dan efisien agar seoptimal mungkin sasaran dan tujuan pendidikan sekolah dapat tercapai. Partisipasi masyarakat luas seperti, kalangan dunia usaha, tokoh masyarakat dan organisasi pemerhati pendidikan dengan upaya-upayanya yang dapat dilakukan mulai pada tahap perumusan kebijaksanaan implementasi kebijaksanaan secara operasional serta evaluasi dan pengawasan dan pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan sekolah. 4. Kerangka Pikir

Sekolah dipandang sebagai suatu organisasi yang didesain untuk dapat berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia serta peningkatan derajat sosial masyarakat bangsa, sekolah sebagai institusi pendidikan perlu dikelola, diatur, ditata dan diberdayakan agar sekolah dapat menghasilkan produk atau hasil secara optimal. Dengan kata lain, sekolah sebagai lembaga tempat

penyelenggaraan pendidikan, merupakan sistem yang memiliki berbagai perangkat dan unsur yang saling berkaitan yang memerlukan pemberdayaan. Sekolah sebagai institusi/lembaga pendidikan, merupakan wadah tempat proses pendidikan dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. Dalam kegiatannya, sekolah adalah tempat yang bukan hanya sekedar tempat berkumpul guru dan murid, melainkan berada dalam satu tatanan sistem yang rumit dan saling berkaitan, oleh karena itu sekolah dipandang sebagai suatu organisasi yang membutuhkan pengelolaan. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah secara efektif dan efisien, merupakan suatu upaya peningkatan pengelolaan dan pemberdayaan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Implikasi pelaksanaan manajemen berbasis sekolah adalah perlunya dukungan dan peran aktif kepala sekolah, guru dan masyarakat sebagai pihak yang terkait dengan proses belajar mengajar di sekolah. Dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah sebagai pucuk pimpinan perlu memiliki pengetahuan kepemimpinan, perencanaan dan pandangan yang luas tentang sekolah dan pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus ditumbuhkembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian, semangat belajar, disiplin kerja, keteladanan dan hubungan manusiawi sebagai modal perwujudan iklim kerja yang kondusif. Kepala sekolah dituntut untuk melakukan tugas dan fungsinya sebagai manajer

51 sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar, dengan melakukan supervisi kelas, membina dan memberikan saran-saran positif kepada guru. Disamping itu kepala sekolah juga harus melakukan tukar pikiran sumbang saran, study banding antara sekolah untuk menyerap kiat-kiat kepemimpinan dari kepala sekolah yang lain. Guru kelas sebagai pelaksana proses belajar mengajar di kelas harus dapat berkreasi dalam meningkatkan manajemen kelas. Guru memegang peranan penting dalam proses belajar mengajar sebab sekalipun sarana dan prasarana pendidikan lengkap dan mempunyai sumber dana yang cukup memadai, tetapi kalau sumber daya manusia yaitu para guru tidak melaksanakan tugas dengan baik dalam proses belajar mengajar, maka tidak dapat diharapkan kualitas pendidikan para murid, akan meningkat. Guru adalah teladan dan panutan langsung para peserta didik dikelas, oleh karena itu guru perlu siap dengan segala kewajiban baik manajemen maupun persiapan isi materi pengajaran. Guru juga harus mampu mengorganisasikan kelas dengan baik, jadwal pelajaran, pembagian tugas peserta didik, penempatan alat dan Iain-Iain harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Suasana kelas yang menyenangkan dan penuh disiplin sangat diperlukan untuk mendorong semangat belajar peserta didik, kreativitas dan daya cipta guru untuk pelaksanaan MBS perlu terus menerus perlu didorong dan dikembangkan. Partisipasi masyarakat secara material dalam pendanaan operasional sekolah seperti pemberian beasiswa, menjadi sponsor dalam suatu kegiatan sekolah serta bantuan moril yang diharapkan seperti orang tua asuh bagi anak-anak usia sekolah yang kurang mampu, memberikan masukan berupa pendapat dan pemikiran dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Dengan demikian pelaksanaan manajemen berbasis sekolah mensyaratkan dukungan dan partisipasi aktif paling tidak dari tiga pihak terkait dengan proses belajar mengajar di sekolah, yakni kepala sekolah, guru dan

masyarakat. Jika ketiga unsur tersebut terlibat secara aktif dan kreatif dalam proses belajar mengajar di sekolah, dapat diharapkan kualitas pendidikan peserta didik (murid) akan meningkat sehingga mampu mengikuti perkembangan dan tuntutan untuk tahap pendidikan selanjutnya. Untuk memperoleh gambaran yang. jelas tentang arah penelitian ini secara skematis digambarkan kerangka pikir ini seperti dapat dilihat pada Gambar 1

Gambar 2.1. Sketsa Kerangka Pikir

53 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif 56 untuk menjelaskan analisis implementasi pelaksanaan manajemen berbasis Sekolah dalam proses belajar mengajar pada tingkat Sekolah Menengah Pertama. Objek yang diteliti adalah kinerja kepala sekolah, kinerja guru dan partisipasi masyarakat terhadap proses belajar mengajar, sedangkan subjeknya adalah kepala sekolah, guru dan masyarakat. Penelitian ini dilaksanakan pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum dengan pertimbangan bahwa Sekolah Menengah Pertama telah memiliki

kewenangan dan tanggung jawab pada tahap awal pelaksanaan manajemen berbasis sekolahdalam berbagai bidang untuk mencapai tujuan pendidikan sehingga

memungkinkan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dengan baik karena berbagi faktor-faktor pendukung yang dimiliki seperti, sumber daya guru (lebih banyak menggunakan guru inti), sarana dan prasarana serta infrastruktur sekolah yang cukup memadai. B. Defenisi Operasional Variabel Dalam penelitian ini terdapat beberapa variabel yang akan diteliti dan dianalisis yang diduga berkaitan dengan pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah, yakni (1) kinerja kepala sekolah, (2) kinerja guru dalam proses belajar mengajar, (3) partisipasi masyarakat serta (4) faktor pendukung serta faktor penghambat pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus. Variabel tersebut didefinisikan sebagai berikut:

1. Manajemen berbasis sekolah adalah bentuk pengelolaan sekolah berdasarkan sumber daya yang dimiliki sekolah secara efektif dan efisien dalam rangka, pencapaian sasaran dan tujuan pendidikan. 2. Kinerja kepala sekolah yaitu, kemampuan melaksanakan tugas dan fungsi jabatan sekolah. Indikator variabel ini adalah pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai kepala sekolah yang meliputi tugas dan fungsi kepala sekolah sebagai: (1) manajer, (2) administrator, (3) supervisor (4) pemimpin, (5) innovator, (6) motivator.

Variabel ini diukur dengan mengajukan serangkaian pertanyaan kepada guru sekolah, setiap pertanyaan akan diberi skor menunjukkan kinerja kepala sekolah. 3. Kinerja guru adalah kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar di kelas. Indikator variabel ini adalah pelaksanaan tugas dan fungsi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar meliputi : (1) kelengkapan program belajar mengajar, (2) penyajian materi (3) evaluasi hasil proses belajar mengajar, dan (4) program perbaikan dan pengayaan prosesbelajar mengajar. Variabel ini diukur dengan mengajukan serangkaian pertanyaan kepada guru sekolah, setiap pertanyaan akar, diberi skor dan jumlah skor menunjukkan kinerja guru. 4. Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam kegiatan pengelolaan dan pengembangan sekolah. Indikator variabel ini adalah : (1) partisipasi masyarakat dalam program perencanaan sekolah, (2) pelaksanaan program sekolah menggunakan dan (3) evaluasi dan monitoring program sekolah. Variabel ini diukur dengan mengajukan serangkaian pertanyaan masyarakat, yakni anggota komite sekolah sebagai perwakilan orang tua siswa di sekolah, setiap pertanyaan akan diberikan skor dan jumlah skor akan menunjukkan tinggi rendahnya partisipasi masyarakat.

55 5. Faktor pendukung dan faktor penghambat adalah segala sesuatu yang dapat mendukung dan menghambat implementasi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di SMP Negeri 4 Khusus dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut C. Variabel Penelitian Berdasarkan variabel yang diteliti dan dianalisis, pelaksanaan penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Manajemen Berbasis Sekolah. Pada variabel manajemen berbasis sekolah akan diteliti tentang bagaimana kinerja kepala sekolah dengan berbagai sub variabelnya, kinerja guru dengan sub variabelnya dan kinerja partisipasi masyarakat dengan sub variabelnya. 2. Faktor pendukung dan penghambat dalam pengimplementasian manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus akan dijabarkan secara mendalam dalam penelitian ini. D. Instrumen Penelitian Pengukuran variabel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa daftar pertanyaan yang meliputi: (1) instrumen kinerja kepala sekolah, (2) instrumen kinerja guru, (3) instrumen partisipasi masyarakat. Ketiga instrumen tersebut dikembangkan berdasarkan indikator masing-masing variabel, sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran I.

E. Populasi dan Sampel. Populasi penelitian ini adalah seluruh komponen yang terdapat pada

SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum yang terlibat langsung dengan aktivitas

pembelajaran berjumlah 66 guru, baik yang berstatus sebagai pegawai tetap maupun yang berstatus sebagai honorer. Mengingat jumlah populasi yang relatif besar, maka dilakukan tehnik sampling. Pemilihan sampel dilakukan secara bertujuan (purposive) dengan hanya memilih sebahagian orang sebagai sampel. Alasan Pemilihan sampel ini karena orang-orang tersebut dianggap mempunyai kesiapan dalam memberikan informasi yang diperlukan selama penelitian. Sumber data penelitian ini terdiri dari kepala sekolah, guru, anggota komite sekolah sebagai perwakilan orang tua/wali yang masing-masing terdapat pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum. Selanjutnya responder dipilih secara purposive dan dijadikan sampel yang dianggap memahami permasalahan penelitian. Responden diambil dari kepala sekolah, 24 guru, 24 anggota komite yang mewakili orang tua wali atau seluruhnya 49 Dengan perincian sebagai berikut: a. Kepala sekolah, yaitu untuk memperoleh keterangan mengenai usaha-usahanya dalam mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus. b. Wakil kepala sekolah, yaitu untuk memperoleh keterangan tentang upaya-upaya yang dilakukan dalam mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus c. Guru-guru, yaitu untuk memperoleh keterangan sebagai pelaksana langsung dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SMP Negeri 4 Khusus. d. Wakasek kurikulum dan pengajaran dan Wakasek Kesiswaan e. Kapala Tata Usaha f. Orang tua siswa dalam hal ini yang diwakili Komite sekolah, yaitu untuk memperoleh keterangan sejauh mana perannya sebagai wakil dari orang tua siswa dan

57 patner sekolah dalam pengimplementasian Manajemen Berbasis Sekolah di SMP Negeri 4 Khusus. F. Metode Pengumpulan Data 1. Metode observasi Metode observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki, dalam arti yang luas observasi tidak hanya terbatas pada pengamatan yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Suharsimi Arikunto (1996:57) wawancara adalah kegiatan memperhatikan sesuatu dengan menggunakan mata atau pengamatan yang meliputi kegiatan, pemusatan perhatian terhadap suatu objek dan menggunakan seluruh panca indera (Suharsimi Arikunto, 1996:57). Sedangkan menurut Mardalis, observasi atau pengamatan merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan, atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan/fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat Observasi atau pengamatan secara langsung. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data-data secara langsung dan sistematis terhadap obyek yang diteliti untuk memperoleh data lengkap mengenai kondisi umum, lingkungan sekolah, kegiatan proses belajar mengajar di SMP Negeri 4 Khusus, keadaan dan fasilitas pendidikan, kondisi belajar siswa, keadaan manajemen-manajemen mulai dari kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, kesiswaan, sarana prasarana, keuangan, Humas dan manajemen layanan khusus serta dalam melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah, dan lain sebagainya.

2. Metode wawancara. Metode wawancara atau interview adalah suatu metode yang dilakukan dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data melalui dialog (tanya jawab) secara lisan baik langsung maupun tidak langsung untuk menyelidiki pengalaman, perasaan, motif, serta motivasi. (Sutrisno Hadi, 2000: 136). Wawancara digunakan untuk mengungkapkan data tentang: a). Bagaimana implementasi manajemen berbasis sekolah bagi SMP Negeri 4 Khusus b), serta faktor-faktor apa yang mendukung dan

menghambat dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di SMP Negeri 4 Khusus. Wawancara tampaknya merupakan alat pengumpul data (informasi) yang langsung tentang beberapa jenis data sosial, baik yang terpadu maupun manifes. Sedangkan menurut Lexy J. Moleong, wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. 3. Metode Dokumentasi Dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Di dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih luas, dokumen bukan hanya yang berwujud tulisan saja, tetapi dapat berupa benda-benda peninggalan seperti prasasti dan simbol-simbol. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya. (Suharsimi Arikunto, 1998: 149). Dokumentasi ini digunakan untuk melengkapi dan menambah data yang

59 diperoleh melalui wawancara dan observasi. Sumber informasi yang dibuat dokumentasi adalah sumber informasi yang sangat penting dan dapat menggambarkan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah seperti data keadaan siswa dan lain lain baik yang terdapat pada sekoloah sampel maupun dokumen dari Dinas Pendidikan Kabupaten Umum. Metode ini penulis gunakan untuk meneliti benda-benda tertulis seperti buku raport, data dari dokumen sekolah tentang sejarah berdirinya SMP Negeri 4 Khusus, jumlah siswa, responden yang diteliti, daftar tenaga pendidik dan kependidikan dan lain sebagainya. G. Teknik Analisa Data Adalah proses penyusunan, pengaturan dan pengolahan data agar dapat digunakan untuk membenarkan atau menyalahkan hipotesis (Sudjana, 1991: 76). Dalam menganalisa data, penulis menggunakan tekhnik analisis deskriptif kualitatif yang

terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data dan sekaligus reduksi data. Penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi (Miller&Huberman, 1992: 16). Pertama, setelah pengumpulan data selesai kemudian dilakukan reduksi data yaitu

menggolongkan, mengarahkan, dan membuang yang tidak perlu dan pengorganisasian sehingga data terpilahpilah. Kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk narasi. Ketiga, penarikan kesimpulan dari data yang telah disajikan pada tahap kedua yang didukung oleh tabel untuk mengetahui kecenderungan variabel yang diteliti lalu selanjutnya menarik kesimpulan. Sedangkan untuk menganalisa faktor pendukung dan penghambat maka digunakan metode analisis SWOT yaitu Strength (kekuatan), weaknes (kelemahan), opportunity (peluang), treath (ancaman). Dalam proses pengambilan data di lapangan untuk menjaga kevalidan data yag diperoleh, penulis menggunakan instrumen pengumpulan data yang berupa pertanyaan kepada responden, penulis juga melakukan

pencatatan data-data yang ada di SMP Negeri 4 Khusus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden Responden sebanyak 49 orang yang terdiri dari 1 orang kepala sekolah dan 24 orang guru kelas, termasuk diantaranya wakil kepala sekolah dan berbagai urusan yang diberikan amanat untuk menjalankan tugas-tugas vital di sekolah serta 24 orang komite sekolah (masyarakat) yang merupakan perwakilan dari orang tua siswa. Selanjutnya untuk memperoleh informasi yang akurat maka responden dipilih sengaja dari lokasi sampel Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Watampone Kabupaten

61 Umum sebagai syarat memenuhi karakteristik sampel yang diteliti. Selanjutnya untuk 64 memperoleh gambaran secara rinci, akan diuraikan karakteristik responden sebagai berikut: a. Pangkat/golongan responden Semakin tinggi tingkat kepangkatan/golongan merupakan faktor yang

diasumsikan signifikan dengan kualitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai seorang guru Tabel 4.1. Karakteristik responden guru berdasarkan pangkat/golongan Pangkat/Golongan II/a II/d III/a III/d IV/a IV/e Jumlah Sumber: Data Primer, 2012 Frekuensi (f) 5 19 24 Persentase (%) 20,83 79,17 100

Tabel 4.1 tersebut menunjukkan bahwa dari 24 responden guru yang dijadikan sampel dapat dibuat perincian sebagai berikut yaitu untuk golongan IIa-IId adalah 0 persen, Untuk golongan IIIa-IIId sebanyak 20,83 persen atau sebanyak 5 orang guru, dan untuk golongan IVa-IVe sebanyak 79,17 persen . Jika responden guru dianalisis berdasarkan golongan seperti pada tabel yang disajikan di atas, bahwa responden golongan 1V yang paling tinggi yaitu sebanyak 79,17 persen, hal ini menunjukkan bahwa terdapat potensi yang memadai dalam rangka pengembangan manajemen berbasis sekolah dapat terlaksana dengan baik. b. Tingkat umur responden Tingkat umur responden dalam penelitian ini dimulai dengan batas usia 30 tahun sampai 55 tahun ke atas, hal ini diasumsikan keaktifan (enerjik) dalam pelaksanaan

tugas-tugas guru. Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa responden berusia 30 tahun ke bawah sebanyak 2 orang atau 8,33 persen, usia responden berusia 31-45 tahun sebanyak 7 orang atau sekitar 29,17 persen. Usia 46-55 tahun sebanyak 12 orang atau sekitar 50 persen dan hanya 3 orang responden atau 12.5 persen berusia 55 tahun ke atas. Tabel 4.2. Penyebaran responden guru menurut kelompok umur Kelompok Umur < 30 tahun 31-45 tahun 46- 55 tahun > 55 tahun Jumlah Frekuensi 2 7 12 3 24 (f) Persentase (%) 8,33 29,17 50 12.5 100

Sumber: Data Primer, 2012 Berdasarkan tabel 4.2 terlihat bahwa dari sebanyak 24 responden guru dan sampel yang diteliti sebanyak 21 orang atau sekitar 87.5 persen pada usia kurang dari 55 tahun masih sangat potensi dalam kedudukannya baik sebagai guru kelas maupun kedudukannya sebagai kepala sekolah dianggap cukup enerjik dan berpengalaman sedang sisanya yaitu sebanyak 3 orang karena berumur di atas 55 tahun atau sekitar 12.5 diasumsikan kurang enerjik. c. Tingkat pendidikan Distribusi responden menurut tingkat pendidikan merupakan suatu faktor yang diasumsikan mempunyai pengaruh terhadap kualitas responden yang berprofesi sebagai guru. Salah satu indikasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan baik output maupun inputnya adalah memberikan kesempatan kepada seluruh tenaga pendidik untuk melanjutkan pendidikannya pada level D.4 atau setara dengan sarjana.

63 Tabel 4.3. Penyebaran responden guru menurut tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan SPG Sederajat Diploma : 1. Diploma I 2. Diploma II 3. Diploma III 4. Sarjana Strata 1 5. Sarjana Strata 2 Jumlah Sumber: Data Primer, 2012 0 0 3 19 2 24 0 0 12,5 79,17 8,33 100 Frekuensi (f) 0 Persentase (%) 0

Memperhatikan tabel 4.3 penyebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan terlihat bahwa kategori pendidikan setingkat SPG sebanyak 0 persen atau tidak ada guru yang berpendidikan SPG sederajat, demikian halnya dengan pendidikan diploma dua sebanyak 0 persen, diploma tiga terdapat 3 orang atau 12,5 persen sedang sarjana strata satu 19 orang atau sekitar 79.17 persen dan 2 orang atau 8,33 persen dengan tingkat pendidikan strata dua. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dari sebanyak 24 responden guru apabila dianalisis berdasarkan kategori pendidikan rendah. sedang dan tinggi terlihat bahwa tidak terdapat guru yang berkualifikasi pendidikan rendah dan hanya terdapat 3 orang guru yang berpendidikan D.III atau sekitar 12,5 persen, disusul guru yang berpendidikan strata satu S1 tampak sangat mayoritas sebanyak 19 orang atau sekitar 79,17 persen dan yang berpendidikan stara 2 yakni sebanyak 2 orang atau sekitar 8,33 persen. Dengan membandingkan masing-masing tingkat pendidikan dalam tabel tersebut dimana tingginya tingkat pendidikan tinggi (Strata satu) menyusul tingkat pendidikan

diploma

dan strata 2 dapat dikatakan bahwa Keberadaan responden guru sangat

signifikan dengan kualitas akademik dengan prospek pengembangan sekolah dalam rangka pengimplementasian MBS. 1. Responden Masyarakat

Jumlah responden masyarakat/orang tua siswa sebanyak 24 orang. Responden anggota komite sekolah maupun orang tua/wali murid yang dipilih sebagai lokasi sampel penelitian. Selanjutnya karakteristik responden masyarakat akan diuraikan secara rinci sebagai berikut: a. Responden masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan Responden masyarakat/orang tua siswa sebanyak 24 orang. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan merupakan suatu faktor yang diasumsikan mempunyai pengaruh terhadap kualitas responden berpartisipasi terhadap pengembangan sekolah. Responden masyarakat menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.4 sebagai berikut: Tabel 4.4. Penyebaran responden masyarakat menurut tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD SD SLTP SLTA Sarjana Frekuensi (f) 2 9 13 Persentase (%) 8.33 37.5 54.17

Jumlah 24 100 Sumber: Data Primer, 2012 Tabel 4.4 tentang penyebaran responden menurut tingkat pendidikan dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan menyebar dari SLTP sebanyak 2 orang atau 8.33 persen, SLTA 9 orang atau sekitar 37.5 persen sampai pada tingkat sarjana sebanyak 13 orang atau sekitar 54.17 persen. Jika distribusi responden tersebut dianalisis dengan

65 membandingkan masing-masing tingkat pendidikan yang ada, dominan responden berpendidikan sarjana, hal ini menunjukkan bahwa peran serta masyarakat potensial terlibat dalam setiap kegiatan sekolah. b. Responden masyarakat berdasarkan pendapatan Distribusi responden menurut tingkat pendapatan diasumsikan signifikan dengan tingkat partisipasi masyarakat terhadap pembangunan/pengembangan sekolah. Responden masyarakat menurut tingkat pendapatan dapat dilihat pada tabel 4.5: Tabel 4.5. Penyebaran responden menurut tingkat pendapatan Tingkat Pendapatan < 1 Juta 1 5 Juta < 5 Juta Frekuensi (f) 5 12 7 Persentase (%) 20,83 50 29,17

Jumlah 24 100 Sumber: Data Primer, 2012 Pada tabel 4.5, menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendapatan 1-5 juta atau 50 persen. Dan bila dibandingkan dengan yang berpendapatan rendah (kurang 1 juta) lebih banyak berpendapatan tinggi (di atas 5 juta) yaitu sebesar 29,17 persen dan jumlah sampel yang diteliti (sebanyak 24 orang). Dari Persentase ini jika dianalisis, maka tingkat pendapatan masyarakat potensial terhadap pengembangan sekolah menjadi lebih baik. 2. Latar belakang pekerjaan responden masyarakat

Latar belakang pekerjaan dapat diasumsikan signifikan dengan tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengembangan sekolah. Biasanya tingkat pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang sangat mendukung dalam penetapan kebijakan pada sebuah institusi terlepas dari konsep politik maupun sosial. Adapun tabel penyebaran tingkat dan latar belakang pekerjaan dapat dijelaskan melalui tabel 4.6 di bawah ini:

Tabel 4.6. Penyebaran responden masyarakat menurut latar belakang pekerjaan Tingkat Pendidikan Pegawai Negeri Pensiunan Pegawai Negeri Wiraswasta Frekuensi (f) 14 2 8 Persentase (%) 41,67 20.83 37.5

Jumlah 24 100 Sumber: Data Primer, 2012 Dengan melihat tabel 4.6 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki latar belakang pekerjaan sebagai pegawai negeri yaitu sebanyak 9 orang atau sekitar 41,67, menyusul wiraswasta 8 orang atau sekitar 37,5 persen sedang pensiunan pegawai negeri yang terlibat dalam komite sekolah hanya 4 orang atau sekitar 20.83 persen. Memperhatikan tabel tentang penyebaran responded menurut latar belakang pekerjaan bahwa pegawai negeri sipil yang dominan memperlihatkan tingkat partisipasi paling tinggi, kemudian kalangan wiraswasta juga memperlihatkan tingkat partisipasi yang cukup tinggi, hal tersebut jika dianalisis bahwa selama ini perhatian dunia usaha/wiraswasta yang menjadi sorotan masyarakat telah mengalami perubahan yang mendasar sebagai akibat dan perubahan subsistem manajemen pendidikan yaitu manajemen berbasis sekolah. C. Kinerja Kepala Sekolah dalam Pelaksanaan MBS pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum Secara khusus variabel kinerja kepala sekolah dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan quosioner sebagai pedoman wawancara untuk menganlisis aktivitas kinerjanya sebagai kepala sekolah serta melakukan pengamatan secara seksama mengenai kondisi riil berkaitan dengan implementasi manajemen berbasis sekolah. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kinerja kepala sekolah adalah instrumen

67 yang sama dikeluarkan oleh departemen pendidikan nasional, Dirjen Dikdasmen tahun 2000, dengan upaya memotret keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah dan sekaligus menggambarkan kondisi obyektif profit sekolah secara utuh. Kinerja sekolah merupakan keterpaduan semua warga sekolah yang tidak terlepas dan pelaksanaan tugas kepala sekolah (Dirjen Dikdasmen 2000) Untuk kinerja kepala sekolah dipakai 7 (tujuh) komponen penilaian yaitu (1) kepala sekolah sebagai edukator (2) kepala sekolah sebagai manajer, (3) kepala. sekolah sebagai administrator, (4) kepala sekolah sebagai supervisor, (5) kepala sekolah sebagai leader, (6) kepala sekolah sebagai innovator, dan (7) kepala sekolah sebagai motivator. Kepala Sekolah sebagai Pendidik (Edukator). Sebagai edukator, kepala sekolah bertugas untuk membimbing guru, tenaga kependidikan, peserta didik, mengikuti perkembangan iptek, dan memberi teladan yang baik. Dalam melakukan fungsinya sebagai edukator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolahnya. Menciptakan iklim sekolah yang kondusif, memberikan nasehat kepada warga sekolah, memberikan dorongan kepada seluruh tenaga kependidikan, serta melaksanakan model pembelajaran yang menarik, seperti team teaching, moving class dan mengadakan program akselerasi bagi peserta didik yang cerdas di atas normal. Upaya yang dapat dilakukan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerjanya sebagai edukator, khususnya dalam peningkatan kinerja tenaga kependidikan dan prestasi belajar peserta didik adalah sebagai berikut: a) mengikutsertakan guru-guru dalam penataran, atau pendidikan lanjutan; b) menggerakkan tim evaluasi hasil belajar peserta didik; c) menggunakan waktu belajar secara efektif di sekolah, dengan cara

mendorong para guru untuk memulai dan mengakhiri pembelajaran sesuai waktu yang telah ditentukan, serta memanfaatkannya secara efektif dan efisien untuk kepentingan pembelajaran; dan sebagainya Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala SMPN 4 Watampone Drs Mahmud MM kegiatan pembelajaran di sekolahnya berjalan dengan tertib, bahkan beliau sebagai kepala sekolah mendapat tugas mengajar di kelas dengan jumlah jam wajib sebanyak 6 jam. Kepala Sekolah itu adalah tugas tambahan yang dipercayakan pemerintah kepada saya untuk memimpin lembaga ini. Tugas utama saya adalah mengajar, membimbing siswa serta membimbing guru dalam peningkatan proses pembelajaran. dan itu fungsi utama saya sebagai seorang edukator atau tenaga pendidik, meskipun saya menyadari kegiatan diluar yang berkaitan dengan kepentingan sekolah terkadang membuat saya tidak mengajar. Sekalipun demikian saya akan menggantinya atau mencarikan waktu untuk tetap mengajar pada kelas yang saya ajar. Khusus untuk membimbing siswa, saya serahkan ke pembina kesiswaan, sedangkan untuk pembimbingan guru diserahkan kepada tim yang saya bentuk untuk memantau kinerja guru (14 Maret 2012). Apa yang disampaikan oleh kepala SMPM 4 Watampone, sejalan dengan yang diinformasikan oleh Wakasek Drs Suradi dan bapak Muh Amin sebagai urusan Kurikulum. Tugas diluar dan tamu yang datang terkadang menyebabkan kepala sekolah tidak masuk mengajar dikelas, tetapi tetap mencari waktu di sore hari untuk mengajar. Oleh karena itu kami berusaha bekerja semaksimal mungkin agar tugas utama kepesek tidak terbengkalai maka jam mengajar kepala sekolah kami tempatkan pada jam 1dan 2 setiap hari senin sampai jumat. Kami memahami bahwa kepala sekolah memiliki kesibukan yang teramat padat sehingga tugas mengajarnya terkadang terabaikan, meskipun beliau tetap menggantinya di sore hari. Karena itu, kami membuat jadwal mengajar yang tetap memungkinkan kepala sekolah tetap mengajar dengan memberi jadwal jam 1-2 setiap hari Senin-Rabu, agar aktivitas pembelajaran siswa tidak terganggu (15 Maret 2012). Berdasarkan keterangan diatas, kepala sekolah sebagai seorang edukator telah bekerja sesuai standar yang berlaku. Dan menurut analisis penulis bahwa prilaku kepala

69 SMPN 4 Watampone yang mengajar dalam kelas dan berusaha menggantinya jika berhalangan masuk adalah sebuah prilaku yang patut ditiru oleh kepala sekolah yang lain yang terkadang hanya namanya yang tercantum dalam jadwal/roster mengajar tetapi orang lain yang menjalankannya. Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa Kepala Sekolah Menengah

Pertama Negeri 4 Watampone: a) Masuk kelas mengajar, dengan jumlah jam wajib 6 jam pelajaran/minggu yang dilaksanakannya setiap hari Senin-Rabu dengan masuk pada jam pertama sampai jam kedua. b) Kepala SMP Negeri 4 Khusus telah melaksanakan fungsinya sebagai Educator (pendidik) sebagaimana yang diharapkan dalam MBS yaitu kepala sekolah tetap menjalankan aktivitas mengajar dalam kelas. Adapun bentuk riil dan masing-masing tugas yang telah dilakukan Kepala Sekolah tersebut di atas adalah : a) Bersama dengan tim yang dibentuk dari urusan kurikulum dan pengajaran, kepala sekolah Membimbing guru dalam

meningkatkan kinerja mereka terutama bagaimana menyusun RPP dan mengajar dengan memanfaatkan tekhnologikhususnya dalam hal kegiatan proses belajar mengajar dan b) membimbing siswa dengan memberikan materi pembelajaran sekaligus memotivasi siswa untuk berprestasi. Kegiatan kepala sekolah masuk mengajar adalah selain sebagai tugas pokok juga memberi contoh kepada guru agar guru dapat melaksanakan tugasnya secara optimal dan siswa dapat termotivasi untuk belajar dengan baik.

Sebagai seorang manajer, Kepala Sekolah diharuskan mampu mensinkronkan antara berbagai program yang telah disusun dengan memanfaatkan sumber daya sekolah yang tersedia yang disesuaikan dengan arah dan kondisi sekolah, administrasi sekolah, uraian tugas berdasarkan kemampuan personil serta uraian tugas organisasi. Berdasarkan wawancara dengan ibu Rosmawati sebagai kepala tata usaha dan pak Herman sebagai wakasek kurikulum dan pengajaran, bahwa masih terdapat beberapa kelemahan yang dilakukan oleh kepala sekolah sebagai seorang manajer yang seharusnya kelemahan tersebut bisa diminimalisir bahkan ditiadakan. Potensi guru disekolah kami termasuk pegawai dari segi jumlah sangatlah besar, namun kepala sekolah sering memberikan tugas rangkap kepada seorang guru atau pegawai sehingga sumber daya yang seharusnya bisa dimaksimalkan perannya menjadi berkurang, seperti dalam kegiatan ketatausahaan, banyak tenaga honorer yang terparkir yang tenaganya hanya kadang dipakai untuk mengurus atau mengerjakan hal yang sama, padahal masih banyak pekerjaan lain(27 Maret 2012). Meskipun demikian, ditambahkan oleh ibu Rosmawati, bahwa kepala sekolah tetap menempatkan orang-orang yang dianggap sangat profesional dalam hal-hal yang sangat urgensial untuk kemajuan sekolah, karena semua urusan yang diangkat untuk mendampingi beliau dalam membantu menjalankan tugasnya adalah orang-orang pilihan, sehingga kelemahan-kelemahan yang terjadi dapat cepat diatasi. Kepala sekolah sangat jeli melihat guru atau pegawai yang profesional untuk ditempatkan pada bidang atau urusan yang sangat strategis dalam rangka pengembangan sekolah dan sangat membantu meringankan pekerjaan kepala sekolah(23 Maret 2012). Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Watampone sebagai seorang manajer telah

melaksanakan fungsinya dengan baik dengan catatan masih perlu melakukan koordinasi antar pegawai khususnya pegawai tata usaha. Adapun bentuk kegiatan riil dari masing-masing uraian tugas yang telah dilakukan kepala sekolah tersebut di atas adalah :

71 1. Pembuatan Program : Program utama yang menjadi fokus antara lain adalah (1) Program kerja kepala sekolah adanya : a) Program jangka panjang (8 tahun), jangka menengah (4 tahun) dan jangka pendek baik akademik maupun non akademik, penyusunan RAPBS serta dan mempunyai mekanisme monitor dan evaluasi

pelaksanaan program secara sistematika. b) c) Memiliki susunan kepegawaian sekolah Memanfaatkan sumber daya manusia serta sarana-prasarana secara optimal. d) Mempunyai catatan kinerja sumber daya manusia yang ada disekolah serta program peningkatan mutu. Kepala Sekolah sebagai Administrator Administrasi merupakan suatu proses yang menyeluruh dan terdiri dari bermacam kegiatan atau aktivitas di dalam pelaksanaannya. Sebagai administator, kepala sekolah bertanggung jawab atas kelancaran segala pekerjaan dan kegiatan administratif di sekolahnya. Aktivitas administratif adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan pencatatan, penyusunan dan dokumentasi program dan kegiatan sekolah. Secara spesifik, kepala sekolah juga dituntut untuk mengelola kurikulum, mengelola administrasi sarana dan prasarana, mengelola administrasi kearsipan, dan mengelola administrasi keuangan. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Watampone telah melaksanakan fungsi sebagai administrator. Adapun. bentuk kegiatan riil dari masing-masing uraian tugas yang telah dilakukan

kepala sekolah sebagai seorang administrator di SMPN 4 Watampone tersebut di atas adalah : a. Memiliki dokumen yang berkaitan dengan laporan penggunaan dana bos, dokumen penyusunan RAPBS dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan dana. b. inovasi yang mengikuti perkembangan dunia pendidikan dengan tujuan

meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan pengembangan kurikulum dilakukan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasiona c. Administrasi kepala sekolah yang dapat memperlancar semua kegiatan kepala sekolah yang dilengkapi beberapa administrasi antara lain administrasi kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana dan administrasi persuratan yang bertujuan untuk mempermudah/ memperlancar segala sesuatu tugas kepala sekolah. Sejalan dengan fungsinya sebagai seorang administrator, Kepala SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum telah berusaha secara maksimal untuk mengadministrasikan berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan sekolah. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada kepala sekolah, beliau menyatakan: Saya berusaha untuk mengarsipkan setiap laporan yang berkaitan dengan keuangan, kegiatan kesiswaan, persuratan, penyusunan dan dokumentasi program serta pengelolaan pemanfaatan sarana dan prasarana. Meskipun demikian karena banyaknya dokumen yang harus diarsipkan maka saya mempercayakan kepada kepala tata usaha untuk menghandel sebagian dari tugas-tugas saya selaku administrator, bahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kesiswaan juga banyak yang dipegang langsung oleh urusan kesiswaan( 27 Maret 2012).

Kepala Sekolah sebagai Supervisor. Supervisi juga dapat diartikan sebagai pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan

73 situasi belajar mengajar dengan lebih baik sesuai dengan tujuan pendidikan. Kepala sekolah sebagai supervisior mempunyai peran dan tanggung jawab untuk membina, memantau, dan memperbaiki proses pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Supervisi kepala sekolah dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Di antara tugas-tugas kepala sekolah sebagai supervisor adalah: 1) Membantu stafnya menyusun program; 2) Membantu stafnya mempertinggi kecakapan dan keterampilan mengajar; dan 3) Mengadakan evaluasi secara kontinyu tentang kesanggupan stafnya dan tentang kemajuan program pendidikan pada umumnya. Keberhasilan peran kepala sekolah sebagai supervisor antara lain dapat ditunjukkan oleh: 1) meningkatnya kesadaran guru dan staf untuk meningkatkan kinerjanya; dan 2) meningkatakan keterampilan guru dan staf dalam melaksanakan tugasnya. Sesuai dengan wawancara yang dilakukan dengan kepala sekolah, Bapak Drs. Mahmud, MM, bahwa tugasnya sebagai seorang supervisor belumlah berlangsung dengan optimal, karena masih ada guru yang mengajar tidak sesuai dengan program yang telah disusunnya, disisi lain kemampuan mengajar yang diperlihatkan oleh guru yang disupervisi terlihat masih sangat rendah. Saya menyadari bahwa kemampuan mengajar antara guru yang satu dengan yang lain tidaklah sama, tergantung kepada kemampuan setiap guru. Setiap 3 bulan sekali saya melakukan supervisi akademik dan supervisi manajerial untuk memantau aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan selama hasil pemantauan masih ada guru yang belum membuat RPP padahal sudah disiapkan filenya oleh urusan kurikulum dan urusan pengajaran. Disis lain, aktivitas pembelajaran yang dilakukan belumlah mengaktifkan siswa sehingga pembelajaran yang sifatnya Joyfull Learning masih jauh dari harapan(27 Maret 2012). Kepala Sekolah sebagai Leader Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Untuk kepentingan

tersebut, kepala sekolah harus mampu mempengaruhi dan menggerakkan sumber daya sekolah dalam kaitannya dengan perencanaan dan evaluasi program sekolah, pengembangan kurikulum, pembelajaran yang berkarakter, pengelolaan ketenagaan, sarana dan sumber belajar, keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat, penciptaan iklim sekolah, dan sebagainya. Kondisi ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh kepala sekolahDrs. Mahmud, MM bahwa: Kedudukannya sebagai kepala sekolah sangat berkaitan erat dengan perencanaan dan evaluasi program , pengelolaan ketenagaan, pemanfaatan dana serta penciptaan iklim sekolah yang kondusif. Sebagai orang yang dipercayakan untuk memimpin SMPN 4 Watampone, terkadang sikap otoriter tetap dipakai agar sistem tetap berjalan karena jika terlalu lemah, bawahan bisa semakin menjadi-jadi, bahkan sebagai pimpinan saya harus berani mengambil resiko untuk kepentingan bersama. Perumusan visi dan misi demi sebuah pembaharuan harus menjadi prioritas utama demi terselenggarannya pendidikan yang bermartabat(27 Maret 2012). Adapun bentuk kegiatan riil dari masing-masing kegiatan uraian dan tugas yang telah dilakukan kepala sekolah di atas dapat dijabarkan sebagai berikut: a) Mengenal bawahannya Kepala sekolah harus mengenal bawahan dari dekat diantaranya jenjang pendidikan, tingkat golongan, kepribadian dan wawasan yang dimiliki guru serta memberikan penghargaan bagi guru yang mengharumkan nama sekolah. b) Berani mengambil resiko Tidak semua kepala sekolah berani mengambil resiko atau bertanggung jawab dalam kehidupan di sekolah. Misalkan gurunya dipindahkan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, pengamperaan kekurangan gaji guru terlambat. Solusinya dikoordinasikan bersama dengan semua personil sekolah dan komite sekolah. Bahkan kepala

sekolah tidak segan untuk turun kelapangan memperjuangkan bantuan bagi siswa yang tidak mampu. c) Memiliki Visi dan Misi

75 Sekolah harus memiliki visi dan misi yang bertujuan untuk kesiapan kedepan demi terlaksananya pendidikan yang efektif dan efisien. d) Gagasan Pembaharuan Kepala sekolah memikirkan akan perkembangan sekolahnya sehingga dapat membuat program-program sebagai pembaharuan yang ujung-ujungnya peningkatan mutu dan peningkatan kualitas sekolah. e) Evaluasi. Pelaksanaan evaluasi dalam fungsinya sebagai leader bahwa semua

tanggungjawabnya dilaksanakan sepenuhnya yaitu semua stafnya dinilai berdasarkan hasil yang sudah dicapai dengan pengajuan Kriteria yang didapat sebagai dasar tindak lanjut perbaikan (kalau perlu), pelaksanaan pengembangan kegiatan pembelajaran dan hasil kerja guru penetapan dan Kenaikan kelas,

administrasi, daftar hadir guru (jam dan harian), pembagian tugas guru, kesemuanya hal tersebut di atas dilaksanakan secara demokratis. Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Watampone Kabupaten Umum dapat melaksanakan tugas/fungsinya sebagai leader/ pemimpin. Berdasarkan perannya sebagai seorang leader atau pemimpin terdapat perbedaan cara pandang antara beberapa orang guru dengan kinerja kepala sekolah sebagai seorang leader. Jalani Salah seorang guru senior yang diwawancarai mengatakan bahwa: Kinerja kepala sekolah sebagai seorang pemimpin dianggap belumlah memihak kepada kepentingan guru dan siswa. Banyak kebijakan yang dibuat belum mencerminkan kepentingan guru padahal sumber pendanaan sangat menunjang untuk berbagai kegiatan yang dilakukan. Sambil memberi contoh tentang kegiatan ulangan, baik ulangan harian, ulangan semester, ulangan tengah semester serta berbagai aktivitas kesiswaan kurang mendapat perhatian dari kepala sekolah. Memang kami akui, bahwa kepala sekolah banyak berjuang untuk siswa tidak mampu agar mendapatkan bantuan, baik bantuan dari

provinsi maupun bantuan dari pusat, tetapi manakala menyangkut tentang pemanfaatan dana bos untuk kepentingan guru dan siswa, kepala sekolah terkesan bersikap otoriter,padahal telah banyak kritikan untuk memperbaiki kinerja beliau (28 bapak kepala 2012). Apa yang disampaikan oleh sala seorang guru yang mengajar di sekolah tersebut adalah bentuk ketidakpuasan atas kinerja kepala sekolah sebagai seorang pemimpin yang terkesan cenderung bersikap otoriter dan kebijakan yang dibuat belum mencerminkan keadilan untuk guru dan siswa. Apa yang disampaikan oleh Jalani juga dipertegas oleh salah seorang guru yang sering mengkritik kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi Asrib Adnan: Kepala sekolah belumlah bekerja maksimal untuk kepentingan guru dan siswa terutama dalam pemanfaatan dana. RAPBS yang dibuat terkadang hanyalah dokumen belaka yang tidak dijadikan acuan untuk melaksanakan setiap program yang telah dibuat. Bahkan berbagai kegiatan yang dilakukan lebih banyak melibatkan orang dekat ketimbang guru guru yang lain. Kami akui, kedekatan kepala sekolah dengan penentu kebijakan yang berada diatasnya telah membawa manfaat besar bagi kemajuan sekolah ditinjau dari segi bantuan untuk pembangunan infrastruktur tapi itu belumlah cukup.Kepala sekolah haruslah mampu menyeimbangkan antara kepentingan bawahan dengan kepentingan atasan(27 Maret 2012). Dengan mengacu kepada pendapat dua orang guru, menunjukkan bahwa peran kepala sekolah sebagai seorang leader atau pemimpin belumlah maksimal. Kebijakan yang dibuat tidaklah mencerminkan kepentingan banyak guru. Bahkan RAPS yang seharusnya dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan atau program yang disusun tidak dijadikan acuan melainkan lebih mengarah kepada keinginan pribadi. Dalam MBS, seorang kepala sekolah haruslah bersikap transparan dan akuntabel untuk kepentingan semua pihak baik dalam internal sekolah maupun dengan pihak yang berada diluar sekolah. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mencegah bentuk kesewenangan yang mungkin akan bertambah, maka dewan guru harus berani mengemukakan kepada komite sekolah akan kondisi yang terjadi dan dengan demikian diharapkan komite dapat menjadi penyeimbang setiap keputusan yang diambil oleh

77 pihak sekolah. Kepala sekolah Sebagai Inovator. Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai inovator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah dan mengembangkan modelmodel pembelajaran yang inovatif. Peran kepala sekolah sebagai innovator akan tercermin dari cara-cara ia melakukan pekerjaannya secara konstruktir, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, keteladanan, disiplin, serta adaptabel dan fleksibel. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala SekolahDrs Mahmud MM dinyatakan bahwa: Semaksimal mungkin, saya harus menjadi teladan bagi guru yang lain, misalkan datang disekolah tepat waktu bahkan mendahului guru yang lain termasuk ketika pulang, saya upayakan sebagai orang terakhir yang kembali kerumah. Tujuan utamanya adalah untuk menanamkan keteladanan dan kedisiplinan. Mendatangkan guru model untuk mengajar pada satu kelas yang dilihat banyak guru adalah salah satu upaya yang saya lakukan untuk memotivasi guru agar lebih inovatif dalam mengajar. Tujuan utamanya adalah bagaimana menggali potensi anak untuk berprestasi baik ditingkat sekolah,kabupaten maupun provinsi (27 Maret 2012). Hasil wawancara tersebut di atas menunjukkan bahwa Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Watampone telah melaksanakan fungsinya sebagai innovator di sekolahnya, adapun bentuk kegiatan riil dan tugas yang telah dilakukan kepala sekolah di atas, adalah : a. Adanya ide-ide baru yang menjadi pedoman dalam melaksanakan tugas pengembangan, pembinaan tenaga guru. b. Melaksanakan pembaharuan di bidang kegiatan ekstrakurikuler, menggali sumber daya dari komite. c. Mampu berprestasi di sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Untuk membuktikan kebenaran dari apa yang disampaikan oleh kepala sekolah, Peneliti mewawancarai Yusnani, sebagai salah satu pembina kesiswaan yang dikenal memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi berdasarkan informasi dari beberapa guru yang dimintai informasi tentang siapa guru yang paling rajin dan disiplin dimana sebahagian besar menjawab Yusnani. Dalam wawancara yang dilakukan, beliau menyatakan: Berbicara tentang masalah kedisiplinan, kepala sekolah memang terkenal sangat disiplin. Apa yang kepala sekolah lakukan tidak lain untuk menunjukkan sikap keteladanan sebagai seorang pemimpin. Karena itu rasanya kami malu jika datang terlambat. Meskipun demikian tetap ada beberapa orang guru yang sulit untuk datang tepat pada waktunya padahal jam mengajarnya jam 1. Cuma kami berharap tindakan kepala sekolah hendaknya dibarengi dengan pemberian penghargaan bagi guru yang rajin dan berdedikasi tinggi untuk kemajuan sekolah. Kami juga berharap sikap objektif dan keterbukaan kepala sekolah juga sampai pada tataran penggunaan dana (28 Maret 2012). Kepala sekolah Sebagai Motivator Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi kepada para tenaga kependidikan dalam melakukan berbagai tugas dan fungsinya. Motivasi ini dapat tumbuh melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif dan penyediaan berbagai sumber belajar melalui pengembangan pusat sumber belajar. Adapun bentuk kegiatan riil dari masing-masing uraian tugas kepala sekolah di atas adalah : a. Kemampuan mengatur lingkungan kerja adalah seorang kepala sekolah mampu mengatur ruang kepala sekolah yang kondusif untuk bekerja ruang kelas yang kondusif untuk kegiatan belajar mengajar, UKS dan perpustakaan, dan mengatur halaman lingkungan sekolah yang sejuk nyaman dan teratur. b. Kemampuan mengatur lingkungan kerja (non fisik) kepala sekolah menciptakan hubungan kerjasama sesame guru, antara guru dan masyarakat (orang tua siswa)

79 yang harmonis dan menciptakan rasa aman di lingkungan sekolah. c. Menetapkan prinsip motivasi yang berupa penghargaan dan hukuman Setiap kali membicarakan motivasi, hirarki kebutuhan maslow pasti disebutsebut. Hierarki ini didasarkan pada anggapan bahwa pada waktu orang telah memuaskan satu tingkat kebutuhan tertentu, mereka ingin bergeser ke tingkat yang lebih tinggi (Hamzah b. Uno, 2006:40). Abraham maslow mengemukakan lima tingkat kebutuhan yaitu (1) kebutuhan fisiologis,(2) kebutuhan akan rasa aman,(3) kebutuhan akan cinta kasih atau kebutuhan sosial,(4) kebutuhan akan penghargaan dan (5) kebutuhan akan aktualisasi diri. Motivasi kerja guru merupakan hal yang sangat menunjang kinerja guru. Seorang pemimpin pada sebuah institusi dalam memperhatikan kinerja pegawainya di dasari oleh berbagai pertimbangan. F.W. Taylor sebagai seorang tokoh manajemen ilmiah memusatkan perhatian pada sebuah pendekatan bahwa uang merupakan motivasi uatama bagi seseorang yang bekerja (Hamzah b.Uno,2006:40) Namun perkembangannya memang berbeda kepada setiap orang dan setiap pekerjaan. Orang yang bekerja dengan pekerjaan tangan yang sulit, biasanya tidak termotivasi oleh pekerjaan itu sendiri. Dalam keadaan seperti itu, uang merupakan pendorong semangat utama. Tampaknya pendekatan manajemen ilmiah Taylor sebagian benar. Yang pasti, tingkat pembayaran insentif yang tepat bagi orang-orang yang menangani pekerjaan-pekerjaan produksi menyebabkan peningkatan produktivitas dan lebih banyak upaya. Namun kewaspadaan perlu diterapkan untuk memastikan bahwa tidak terdapat perubahan mutu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, Kepala SMP Negeri 4 Khusus sedikit banyaknya telah berhasil dalam meningkatkan kinerja guru terhadap kontribusi mereka untuk mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah. Meskipun demikian

masih terdapat kelompok-kelompok tertentu yang menganggap motivasi kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru dan pegawai belum maksimal terutama dalam bentuk pemberian penghargaan kepada guru-guru yang sudah bekerja maksimal dalam memajukan sekolah. Berdasarkan hasil wawancara peneliiti dengan beberapa orang guru, diantaranya bapak Madeaming, Pak A. Zulfadli, ibu Harlina, ibu Hj A.Sukmawati, Pak Syamsuddin, Pak Bachrun Djahidin dan guru-guru lainnya terdapat kesamaan pandangan akan kinerja kepala sekolah dalam memberikan penghargaan kepada guru yang sudah bekerja memberikan yang terbaik kepada sekolah. Kepala Sekolah memang sudah bekerja untuk membangkitkan motivasi guru tetapi kami rasakan bentuk penghargaan yang diberikan kepada kami belumlah maksimal. Kami jujur, kami bekerja dengan ikhlas tetapi kami rasanya berat untuk berbuat terbaik manakala sekolah lain yang jumlah dana BOSnya kecil tetapi bisa melakukan yang terbaik untuk siswa maupun guru-gurunya, padahal menurut kami persoalan dana sama sekali bukanlah masalah prinsipil.karena kami tahu, dana BOS terbesar di Kabupaten Umum adalah SMPN 4 Watampone. Kedepan kami berharap, penghargaan yang sifatnya materiil kepada siswa maupun guru bisa diperbaiki dan transparansi pemanfaatan dana baik ke dewan guru maupun ke komite sekolah menjadi lebih terbuka dan akuntabel(28-3-2012). Adapun bentuk motivasi yang telah diterapkan oleh Kepala SMP Negeri 4 Khusus kepada guru dan pegawai antara lain: 1. Kepala sekolah berperan aktif dalam membina dan mengembangkan tugas profesionalisme guru. Pembinaan diberikan secara menyeluruh kepada semua guru dengan tidak berpihak pada guru tertentu serta membantu memecahkan masalah yang dihadapi guru bila terdapat kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya. 2. Dalam melaksanakan tugasnya kepala sekolah menjadikan staf dewan guru sebagai partner dalam melakukan tugas-tugas pembelajaran di sekolah. Setiap masukan ditampung dengan demokratis, sehingga guru mapun staf administrasi merasa dihargai.

81 3. Mendorong partisipasi bawahan dalam melakukan tugas di sekolah dan bertanggung jawab atas segala kegiatan yang berlangsung di sekolah. Jika terjadi keberhasilan dan kegagalan bawahan maka itu juga merupakan kegagalan dari kepala sekolah. 4. Pemberian penghargaan meskipun belum berjalan optimal tetap dilakukan oleh kepala sekolah, baik berupa pujian maupun dalam bentuk material. 5. Bagi guru yang dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga edukatif yang profesional diberikan teguran, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan selalu mengedepankan prinsip saling menghargai. Berdasarkan keadaan tersebut maka peran kepala sekolah dalam

mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah pada bidang motivator telah berjalan secara optimal walaupun untuk kedepannya bentuk penghargaan kepada guru harus lebih ditingkatkan, terutama kepada guru dan staf tata usaha yang telah mencurahkan waktunya untuk kemajuan sekolah, termasuk siswa-siswa yang telah berjasa mengharumkan nama sekolah. Dengan demikian Kepala sekolah mampu menerapkan/mengembangkan motivasi infernal dan eksternal bagi warga sekolah. Serta menerapkan prinsip penghargaan dan hukuman. Apabila suasana seperti ini

dilakukan kepala sekolah, maka penilaian guru tentang prilaku kepemimpinan kepala sekolah akan senatiasa mengarah pada iklim yang kondusif dan ini akan berdampak pada peningkatan kinerja guru. D. Kinerja Guru dalam Pelaksanaan MBS pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Watampone (1). Kelengkapan Program Mengajar Adapun yang menjadi fokus penelitian yang dilakukan peneliti berkaitan dengan

kelengkapan program mengajar adalah:1)Apakah guru-guru di SMPN 4 Watampone telah memiliki, memahami dan melaksanakan KTSP baik pada dokumen satu maupun pada dokumen dua,2)Apakah administrasi yang dimiliki oleh guru telah lengkap atau belum, seperti RPP, silabus, daftar hadir dan daftar nilai, analisis ulangan harian, program perbaikan dan pengayaan serta jurnal pembelajaran. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada 24 responden, hampir semuanya menjawab telah memiliki,memahami dan melaksanakan KTSP. Hal ini tercermin dari hasil wawancara dengan ibu A.Muliati dan Ibu A.Hajar sebagai berikut: Baik dokumen satu maupun dokumen 2 sudah kami pahami dan sudah kami jabarkan dalam kegiatan pembelajaran. Untuk dokumen satu tidak kami pegang karena itu menjadi dokumen sekolah, terlalu tebal dan memuat semua komponen mata pelajaran, sedangkan yang harus kami miliki adalah dokumen dua yang berisi semua kelengkapan untuk kepentingan kami sebagai guru dan itu dimiliki oleh semua guru karena kepala sekolah setiap awal semester melakukan pendataan kepada semua guru karena itu sangat berkaitan dengan penilaian kinerja(28-3-2012). Dari jawaban yang diberikan, mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran guru di SMPN 4 Watampone sangatlah besar dalam menjalankan tugasnya. Kondisi ini harus terus dijaga oleh sekolah khususnya kepala SMPN 4 Watampone, karena tanpa kontrol yang rutin khususnya kelengkapan administrasi maka semuanya akan menjadi kacau, karena terkadang seseorang hanya akan menjadi telaten dalam menjalankan tugas karena tuntutan administratif dan ketaatan yang sesaat kepada pimpinan, apalagi jika pimpinan tersebut dianggap tidak bisa mengakomodir berbagai kepentingan yang ada di sekolah. Salah satu kekurangan terbesar yang dimiliki oleh guru SMPN 4 Watampone menurut hasil wawancara dengan urusan kurikulum dan pengajaran, Bapak M.Amin adalah kurangnya kemampuan guru untuk membuat jurnal pembelajaran yang berkaitan dengan tugasnya ketika mengajar dalam kelas. Hal ini perlu diperhatikan karena pembuatan jurnal pembelajaran sangat membantu guru untuk memahami setiap batasan

83 materi yang diajarkannya dalam kelas. Menurut Pak Amin: Kendala terbesar yang dialami oleh guru-guru disini adalah lemahnya kemampuan untuk membuat jurnal pembelajaran. Hanya ada beberapa diantara guru yang melakukannya. Kemungkinan besar mereka tidak membuatnya karena menganggap hal baru dan kurang disosialisasikan serta tidak menjadi bahan evaluasi dari kepala sekolah maupun pengawas yang datang ketika melakukan supervisi akademik maupun manajerial(29-3-2012). Wujud dan pelaksanaan dari KTSP menurut hasil wawancara dijelaskan bahwa, KTSP khususnya pada dokumen 2 perlu dimiliki karena merupakan acuan untuk menyusun program pengajaran semester/tahunan, di samping kurikulum sebagai pedoman sekaligus acuan dalam pembuatan program pengajaran dan pembuatan tes, KTSP juga dibuat dalam bentuk program semester dan program tahunan dan terjabarkan dalam analisis materi pelajaran dan rencana pembelajaran artinya membuat analisis RPP, membuat program tahunan, membuat program semester, KKM serta indikator pembelajaran. Setiap proses pembelajaran perlu dipahami betul RPP yang telah dibuat, agar tidak keluar dari tujuan yang diharapkan dan wujud pelaksanaannya dituangkan dalam program pengajaran dan persiapan mengajar. Karena kalau mengajar tanpa RPP proses kegiatan belajar mengajar tidak berjalan lancer. Penyusunan KTSP juga merupakan sebagai pedoman, petunjuk atau acuan dalam penyusunan program pengajaran dan sekaligus untuk dipedomani dalam pembuatan Tujuan Pembelajaran Khusus yang sekarang dikenal dengan istilah indikator agar dapat memperlancar proses belajar mengajar. Untuk memperlancar hal tersebut maka pemerintah pusat telah menyusun standar kompetensi dan kompetensi dasar agar penyusunan RPP yang akan dibuat dalam proses pembelajaran dapat berjalan maksimal dengan langkah-langkah kegiatan menyiapkan materi metode. alat/media sumber usaha dan penelitian sehingga kurikulum

yang ada betul-betul berbasis kompetensi. Hasil wawancara lain menyebutkan KTSP perlu dimiliki karena merupakan acuan atau menyusun program pengajaran sebagai dasar atau pedoman untuk membuat perencanaan pengajaran. Wujud ataupun bentuk dan lingkupnya administrasi mengajar menurut hasil wawancara dijelaskan bahwa KTSP, program pengajaran. persiapan mengajar, bimbingan penyuluhan , kumpulan evaluasi, satuan pelajaran absensi, daftar nilai dan konseling analisis termasuk jurnal pembelajaran harus dimiliki oleh setiap guru agar pemberian pelayanan yang maksimal kepada anak didik dapat tercapai disamping ada juga program analisis dan rencana perbaikan dan kegiatan pengayaan. Bentuk lain dan administrasi yang sudah lengkap yaitu program pengajaran bimbingan penyuluhan persiapan mengajar, analisis materi alat peraga, disebutkan juga dalam wawancara yaitu program tahunan, program semester, persiapan mengajar, alat evaluasi. analisis materi, daftar nilai. GBPP, analisis pengajaran, kumpulan soal, kumpulan nilai buku BP analisis soal, buku satuan, rangkuman materi pelayaran. Bentuk dan persiapan sebelum mengajar itu, menurut hasil wawancara dijelaskan bahwa persiapan mengajar dalam bentuk satu kali pertemuan, dibukukan setiap mata pelajaran hal yang sama juga dijelaskan oleh responden yang lain bahwa persiapannya dalam bentuk 1 (satu) kali pertemuan atau di sesuaikan dengan kondisi yang ada. Ditambahkan lagi bahwa tiap-tiap mata pelajaran dengan bentuk tertulis dan setiap 1 (satu) kali pertemuan di ketahui dan di tanda tangani oleh kepala sekolah. Sumber yang lain menyebutkan bahwa bentuk persiapannya hanya berapa materi dan pola. Ada juga persiapan mengajar harian dalam bentuk matriks, dalam bentuk rencana pembelajaran. Meliputi inti (penjelasan materi) Tujuan Pembelajaran Khusus, kegiatan awal (motivasi, apersepsi) kegiatan akhir (evaluasi/pegangan) disamping itu

85 ada juga yang berdasarkan KTSP, ada pula yang berdasarkan silabus dibutuhkan

permata pelajaran dengan bentuk tertulis, satu kali pertemuan ditanda tangani oleh kepala sekolah. Bentuk atau model dan buku daftar nilai siswa menurut hasil wawancara yaitu satu buku diisi sesuai mata pelajaran mencakup nilai ulangan harian, pengamatan, portofolio dan pekerjaan rumah ada juga yang berupa ulangan harian (tertulis) pengamatan, nilai tugas dan portofolio, daftar nilai harian tes hasil belajar hal yang sama juga dijelaskan oleh responden yang lain bahwa buku daftar nilai siswa itu adalah daftar nilai ulangan harian. pengamatan portofolio dan sumatif artinya buku itu merupakan satu buku didalamnya terdapat format dan di isi sesuai mata pelajaran tiap semester atau satu buku yang didalamnya terdapat format ulangan harian, pekerjaan rumah atau tugas dan ulangan umum. Bentuk program perbaikan dan pengayaan yang dilaksanakan menurut hasil wawancara dengan responden yaitu dengan bentuk tindakan individu, kelompok diberi pekerjaan/tugas bentuk bimbingan pribadi Ditambahkan pula oleh responden yang lain, kadang individu kelompok berpasangan dan klasikal diberikan dalam bentuk bimbingan kelompok dan perorangan. Diberikan buku latihan tanya jawab artinya program perbaikan di tujukan terhadap siswa yang mengalami kesulitan baik secara klasikal maupun individu. c.2 Penyajian Materi Pelajaran. Adapun yang menjadi fokus penelitian yang dilakukan peneliti berkaitan dengan kelengkapan penyajian materi pelajaran penguasaan kelas, kegiatan free test dan post test baik sebelum memulai pelajaran maupun setelah melakukan pembelajaran, proses umpan balik dalam setiap pembelajaran, penggunaan model-model pembelajaran yang

bervariatif serta pemanfaatn alat-alat peraga. Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan kepala sekolah, Drs Mahmud MM, yang sering melakukan supervisi, terdapat kesan guru yang mengajar banyak yang tidak menguasai kelas. Ketika supervisi dilakukan, mulai dari awal sampai akhir pembelajaran masih ada guru yang tidak menguasai kelas. Hal ini terbukti banyak siswa yang terkesan tidak memperhatikan penjelasan guru, kurang aktif, banyak mengobrol dan tidak melakukan proses umpan balik. Guru terkesan mengajar seadanya tanpa memperhatikan keterampilan proses yang harus tercapai. Meskipun demikian, Persentase dari guru yang bersikap seperti itu tidaklah besar, biasanya hanya dilakukan oleh guru-guru yang mendekati usia pensiun, sementara Persentase dari guru yang mengajar dengan baik jauh lebih besar(27-3-2012). Salah satu faktor yang menyebabkan proses pembelajaran tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan adalah sikap kepala sekolah yang terkesan agak enggan untuk melakukan koreksi mendalam kepada guru-guru yang hampir memasuki usia pensiun. Sehingga tidak ada upayua maksimal dari guru yang bersangkutan untuk melakukan koreksi atas pebelajaran yang dilakukannya. Sementara itu bentuk penguasaan kelas yang dilakukan oleh guru menurut hasil wawancara yaitu dengan motivasi siswa agar perhatiannya pada pelajaran yang diberikan dan mengupayakan siswa untuk melibatkan diri dalam belajar. Bentuk yang lain yang ditentukan ialah menerangkan dan memberi motivasi serta mengadakan tanya jawab. Hal yang lain yang dilakukan yaitu diberikan penjelasan singkat, pembacaan doa memberikan kesempatan kepada siswa untuk ditiru oleh temannya, keterlibatan kelas hendak diperhatikan dan memberikan motivasi berupa penguatan materi dengan jalan melaksanakan free test dan post test. Kegiatan ini

dilakukan agar materi yang telah dipelajari siswa dapat tertanam dengan kuat. Kondisi ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Munir, Bahwa: Penguasaan kelas sangat diperlukan oleh guru untuk mempermudah penerimaan materi pelajaran. Tanpa penguasaan kelas, maka tujuan pelajaran yang ingin dicapai menjadi lebih sulit. Untuk memancing respon siswa terhadap materi yang diajarkan

87 maka kegiatan free test sudah menjadi rutinitas bagi guru-guru di SMPN 4 begitu pula dengan sebaliknya, kegiatan post test juga dijalankan.Persoalan hasil menjadi standar kedua, yang penting adalah siswa mau dan terus fokus dalam mengikuti pelajaran. Kegiatan ini berfungsi untuk memberikan pemahaman materi secara kuat kepada siswa(28-3-2012). Kondisi ini jelas sangat diperlukan seorang guru untuk menguasai kelas, agar optimal dalam pengajian materi sehingga tercipta pembelajaran PAIKEM demi melahirkan siswa-siswa yang cerdas dan kreatif serta memiliki keimanan karena mereka juga diwajibkan membaca doa atas surah-surah pendek agar mengenal agama mulai dari kecil sesuai dengan hadist bahwa tuntutlah ilmu dan lahir sampai liang lahat. Berkaitan dengan penggunaan model-model pembelajaran, dari 24 responden yang memberikan jawaban yang ditanyakan peneliti, 17 orang diantaranya atau sekitar 70,83 persen telah menggunakan model-model pembelajaran yang inovatif dan sangat menyenangkan bagi siswa sehingga siswa antusias dalam mengikuti pelajaran, sedangkan 7 orang atau 29,17 persen masih memakai pola lama yang bersifat teacher centered. Terdapat 2 jawaban yang berbeda atas penggunaan model model pembelajaran di dalam kelas. Ibu Dra Rahmatiah sebagai guru bahasa inggris yang mengajar dengan model pembelajaran yang inovatif berpendapat bahwa: Waktu yang dipakai dengan penggunaan model pembelajaran yang inovatif terbilang lama, karena pengaturan kelompok harus diatur sedemikian rupa, belum lagi pengaturan tempat duduk dan meja. Meskipun demikian siswa merasa sangat senang dengan cara baru yang dilakukan dalam belajar, dimana proses interaksi berjalan maksimal baik guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa, sehingga tidak terasa berjalannya waktu. Bentuk dan interaksi tersebut dapat berbentuk tanya jawab. diskusi, pemberian tugas. tanya jawab ini biasanya guru dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa. artinya interaksi ini terjadi agar antara guru dan siswa ada proses pembelajaran yang menyenangkan dan suasana kelas hidup, baik bentuk tanya jawab maupun demonstrasi(27-3-2012). Sementara itu Bapak H.Usman Abdullah yang diwawancarai tentang penggunaan model-model pembelajaran, punya pandangan lain tentang kegiatan pembelajaran yang

dilakukannya. Menurutnya, mengajar bahasa dengan mengajar IPA memiliki ruang pemahaman yang berbeda, yang mana bahasa inggris, lebih menekankan kepada kemampuan anak memahami kosakata, sedangkan IPA lebih menekankan kepada kemampuan anak dalam menguasai dan mengaplikasikan materi, terlebih lagi jika materi itu harus dijabarkan dalam bentuk perhitungan, sehingga pembelajaran harus lebih didominasi oleh guru. Pandangan yang sama juga disampaikan oleh guru matematika yang lainnya seperti ibu A. Nurfaigah S.Pd, ibu Hamansiah S.Pd, serta pak Drs

Suryadi, M.Pd. Mereka rata-rata berpendapat bahwa: Ada kelas yang diajar, bagaimanapun metode dan model pembelajaran yang coba untuk dijalankan tetap sulit terlaksana. Ilmu-ilmu pasti membutuhkan ketenangan dan keseriusan. Mungkin untuk kelas prestasi model pembelajaran yang inovatif dapat dijalankan, tetapi bagi kelas reguler biasa, model pembelajaran inovatif menjadi sulit. Jadi persoalannya bukan kepada mampu atau tidak mampu, tetapi lebih banyak karena kondisi psikologis siswa yang diajar(29-3-2012). Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh guru-guru SMPN 4 watampone, penggunaan model pembelajaran sangat bergantung kepada kondisi psikologis siswa, suasana hati guru yang mengajar, karakteristik mata pelajaran dan kemampuan untuk menjalankan model pembelajaran itu sendiri. Dalam MBS, kondisi yang diharapkan terjadi dalam proses pembelajaran adalah kondisi Joyfull Learning atau pembelajaran yang menyenangkan. Dalam kegiatan pembelajaran diharapkan guru yang mengajar dapat menerapkan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira dan berbobot atau yang biasa disingkat PAIKEM GEMBROT. Secara umum dapat dianalisis bahwa guru-guru di SMPN 4 Watampone, pada hakekatnya paham dengan apa yang diinginkan oleh MBS untuk jalannya pembelajaran yang pada akhirnya akan menciptakan guru-guru yang kreatif dan diidolakan oleh siswa. Dan yang paling penting, pembelajaran itu dapat menciptakan manusia-manusia yang berkarakter, cerdas Intelektual, Cerdas Spiritual dan Cerdas Emosional.

89 Berkenaan dengan penggunaan alat-alat peraga yang dapat membantu pelaksanaan pembelajaran hampir semua responden menjawab telah menggunakan alatalat peraga baik yang sudah tersedia maupun yang dibuat berdasarkan kreasi siswa. Wujud dan penggunaan alat peraga yang menyatakan ya menurut hasil wawancara dijelaskan bahwa alat peraga yang sesuai dengan materi yang dibahas, dan diupayakan mudah diperoleh dilingkungan sekolah siswa, misalnya pemanfaatan sampah untuk daur ulang, pembuatan pupuk organik, sistem fermentasi, baling-baling kertas memanfaatkan energi angin, termasuk penggunaan buku paket dan buku penunjang yang lainnya. Sementara hasil wawancara lain yang kontra dengan hasil wawancara sebelumnya menyebutkan bahwa, kadang ya kadang tidak sebab sulitnya mencari alat peraga yang sesuai dengan materi, karena kurangnya bahan/sumber dan kurangnya biaya. Senada dengan hasil wawancara diatas yaitu ada materi yang tidak membutuhkan alat peraga seperti masalah pembelajaran pada mata pelajaran sejarah pada rumpun IPS terpadu seperti masuk dan berkembangnya agama hindu dan budha di Indonesia, hanya memberikan gambar/perumpamaan. Ibu Hj Baraiyyah, S.Pd dan ibu Arniyanti S.Pd, guru yang mengajar bidang studi IPS, mengatakan bahwa: Ada saat tertentu kami memakai alat peraga, apakah itu peta, globe, chart, gambargambar pahlawan dan sebagainya jika materi yang diajarkan membutuhkan alat peraga seperti itu. Tapi adakalanya, kami tidak memakai alat peraga, karena sulit untuk mendapatkan bahan dari materi yang diajarkan seperti batu-batuan yang keluar dari letusan gunung berapi, kerajaan-kerajaan hindu-budha, dan masih banyak lagi yang lainnya. Bagaimana mungkin kami memakai alat peraga kalau di bone tidak ada gunung berapi dan bekas kerajaan-kerajaan yang bercorak hindu budha, katanya sambil tertawa(28-3-2012). Sebagaimana yang disampaikan oleh kedua guru tersebut, sudah seharusnya pihak sekolah menyiapkan miniatur atau meminta kepada dinas pendidikan agar segala hal yang berkaitan dengan materi pelajaran sepanjang pengadaannya sulit diadakan di daerah dapat di sediakan langsung oleh pemerintah pusat. Salah satu karakteristik MBS

adalah bagaimana mengajarkan materi siswa dibawah ke pengalaman langsung supaya mereka dapat memaknai, menghayati dan merasakan apa yang dipelajari, bukan hanya sekedar teori belaka. Salah satu indikator dari penilaian kinerja guru dalam tataran MBS adalah bagaimana guru mampu menjalankan fungsinya sebagai evaluator. Adapun yang menjadi fokus penelitian atas kinerja guru disini adalah:1) Apakah pelaksanaan evaluasi itu dilakukan secara tertulis atau lisan,2) Apakah penilaian kepada siswa itu dilaksanakan secara obyektif, transparan dan bertanggung jawab,3) Apakah hasil pekerjaan siswa setiap kali ulangan dikembalikan atau tidak, serta 4) apakah ada kegiatan perbaikan/remedial bagi siswa yang tidak tuntas dan program pengayaan bagi siswa yang dianggap sudah tuntas. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan, sebanyak 24 responden menjawab ya, bahwa mereka telah melaksanakan evaluasi baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk lisan, tetapi hampir semua responden lebih memilih menjawab mereka melaksanakan evaluasi dengan cara tertulis dengan jumlah guru yang melaksanakan ulangan tertulis sebanyak 21 orang atau sekitar 87,5 persen sedangkan 3 orang atau 12,5 persen guru menjawab evaluasi yang dilakukannya dengan cara lisan. Bagi guru yang melaksanakan ujian secara lisan, mereka berpendapat anak-anak menjadi lebih fokus dan sulit untuk saling menyontek, sebagaimana yang disampaikan oleh ibu Dra Pancawati dan Ibu Wardana S.Ag: Bentuk penilaian yang saya lakukan adalah menguji siswa dengan cara lisan, selain lebih mudah memasukkan nilainya siswa, juga mengurangi peluang mereka untuk saling menyontek. Meskipun agak sulit mengontrol siswa yang belum lisan tetapi dapat mengurangi tingkat kecurangan. Jika nilainya dianggap sudah memenuhi kriteria ketuntasan maka tidak perlu dilakukan pengulangan lisan tetapi jika belum maka akan diadakan perbaikan(29-3-2012). Sedangkan guru yang melakukan evaluasi dalam bentuk tulisan mempunyai

91 pandangan lain. Pak Munir S.Pd menyatakan: evaluasi yang dilakukan dengan bentuk evaluasi tertulis pada setiap akhir pelajaran dilakukan untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu menyerap materi yang diberikan. Setiap siswa ditanamkan kepercayaan untuk bersikap jujur dan tidak tergantung kepada siapapun, dan pengawasan yang ketat membuat anak sulit untuk berbuat curang. Selain tidak ribut, waktu yang diperlukan juga tidak banyak, berbeda dengan ujian lisan yang terkadang memakan waktu yang cukup lama(29-3-2012). Mengenai hasil pekerjaan siswa setelah ujian, sebanyak 12 responden menjawab telah mengembalikan ujian kepada siswanya atau sekitar 50 persen, 9 responden atau 37,5 persen tidak mengembalikan tetapi hanya menyebutkan nilainya sedangkan 3 responden atau sekitar 12,5 persen menjawab tidak karena tidak melaksanakan evaluasi tertulis. Ibu Harlina S.Pd mengatakan: Hal tersebut dilakukan, dikarenakan setiap selesai pemeriksaan ulangan, pekerjaan siswa dikembalikan agar anak-anak dapat mengetahui sejauh mana kemampuannya dalam menyerap materi, sekaligus pengkoreksian manakala guru keliru dalam memberikan peniaian, disamping itu apabila tidak dilaksanakan penilaian secara obyektif/ transparan dan bertanggung jawab kita tidak bisa membedakan mana murid pintar, sedang dan kurang sehingga hilanglah angka penilaian disamping itu, agar siswa diperlakukan sama tanpa dibeda-bedakan dan hasil yang didapat siswa harus di ketahui secara jelas agar menjadikan motivasi untuk berbuat lebih baik, sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik terhadap orang tua, masyarakat, dan Tuhan Yang Maha Esa.Siswa juga merasa sangat senang jika hasilnya memuaskan begitupun sebaliknya(30-3-2012). Sedangkan ibu Kaerlinda Yusuf, S.Pd, punya alasan lain mengapa setiap kali ujian hasil pekerjaan siswa tidak dikembalikan ujian kepada siswanya, hanya menyebutkan nilainya. Alasan yang hampir sama juga dikemukakan oleh guru-guru yang tidak mengembalikan pekerjaan siswa yang lebih banyak karena alasan kebersihan. Rata-rata mereka beranggapan: Sebelumnya setiap kali ulangan, pasti saya mengembalikan hasil pekerjaan siswa, tetapi anak-anak tidak punya kepedulian akan apa yang mereka hasilkan, terlebih jika nilai mereka tidak tuntas, lebih banyak dirobek atau dibuang secara sembarangan, karena itulah saya malas mengembalikan pekerjaan siswa(30-3-2012. Indikasi ini menunjukkan bahwa guru memiliki tanggungjawab yang teramat

besar dalam memantau hasil belajar peserta didik. Hal tersebut dilakukan karena siswa dapat puas dengan pekerjaannya dan dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan ketika menjawab soal-soal serta siswa yang terbelakang diberi tugas yang sejenis. Wawancara lain menyebutkan supaya ada umpan balik antara guru dengan murid guru dengan orang tua dan orang tua dengan anaknya, menjaga terjadinya silang pendapat antara guru siswa dan orangtua. Hal tersebut juga dilakukan agar siswa dapat mengetahui sampai dimana kemampuan menyelesaikan soal.Meskipun demikian ada 3 responden yang tidak mengembalikan hasil belajar peserta didik dengan alasan ujian yang mereka lakukan dalam bentuk lisan. Tetapi itu tidak berarti siswa tidak tahu nilainya karena siswa pun tahu akan nilai hasil ujian lisannya setelah semua selesai lisan. Dengan demikian semua responden sesungguhnya telah memeriksa pekerjaan siswa meskipun bentuk umpan baliknya berbeda. Mengenai tindak lanjut dari kegiatan perbaikan yang dilakukan apakah dalam bentuk remedial maupun pengayaan, semua responden menjawab telah melakukan perbaikan dan pengayaan. Menurut Pak Amin, yang menangani urusan kurikulum dan pengajaran, rata-rata guru di SMPN 4 Watampone telah melaksanakan kegiatan remedial dan pengayaan, yang dibuktikan dengan adanya analisis ulangan harian yang didalamnya terdapat progran remedial dan pengayaan. Setiap akhir semester ada laporan yang berkenaan dengan pelaksanaan remedial di sekolah kami, yang tujuannya untuk mengetahui berapa persen pencapaian target penguasaan kurikulum oleh guru yang bersangkutan sekaligus memantau perkembangan belajar siswa. Semua itu dilaporkan ke kepala sekolahdan komite agar ada umpan balik baik dari sekolah sendiri maupun dari masyarakat (30-3-2012). Sebagaima Hal tersebut diatas maka program yang berkaitan dengan perbaikan dan pengayaan kepada siswa, selain harus disampaikan ke pihak sekolah juga harus di sampaikan ke orang tua siswa agar anak tersebut mendapat perhatian orang tua dalam hal turut membantu di rumah dalam membimbing anaknya sendiri, agar ada umpan balik

93 antar Kepala Sekolah, siswa dan orang tua bahwa ada upaya bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan, agar ada saling pengertian antara kepala sekolah maupun orang tua siswa sehingga prinsip saling mempercayai tetap terpelihara antar warga sekolah. E. Peran Serta Masyarakat dalam Pelaksanaan MBS pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum (1). Partisipasi Dalam Perencanaan Sekolah Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian yang menyangkut peran serta masyarakat dalam pelaksanaan MBS terutama yang berkaitan dengan partisipasi dalam perencanaan sekolah, meliputi:1) Apakah masyarakat dilibatkan dalam merumuskan Visi, Misi, sasaran dan Tujuan sekolah,2) Apakah masyarakat memberikan usul, saran dan pertimbangan terhadap rencana pengembangan sekolah,3) Apakah masyarakat diundang dalam rapat komite di sekolah dan 4) Apakah kebijakan sekolah sudah sesuai harapan masyarakat atau belum. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang tua siswa yang menyangkut tentang peranan mereka dalam merumuskan Visi, Misi, Sasaran dan Tujuan, sebagian besar responden yang diwakili oleh pengurus komite sekolah menyebutkan bahwa mereka jarang dilibatkan dengan hal-hal yang dimaksud padahal seharusnya sekolah dalam hal ini kepala sekolah sebagai penentu kebijakan mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk dilibatkan aktif dalam perencanaan sekolah. Hal ini didasarkan dari pendapat ketua Komite sekolah, Bapak Drs H.A. Muh Palesangi MH. Kami memang pernah diundang ketika penyusunan RAPBS berapa tahun yang lalu bersama beberapa anggota komite sekolah lainnya. Ketika itu kami sepakat akan visi,misi,sasaran dan tujuan yang akan dicapai oleh SMPN 4 watampone, tetapi setelah itu kami sangat jarang diundang untuk berpartisipasi dalam perencanaan sekolah. Kami tidak tahu apakah Visi, Misi ,Sasaran maupun tujuan telah mengalami perubahan atau tidak. Meskipun demikian kami tetap diundang oleh pihak sekolah manakala ada kegiatan yang bersifat ceremonial atau keagamaan(2-4-2012).

Masyarakat jarang sekali dilibatkan dalam perumusan visi, misi, sasaran dan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan ketua komite sekolah yang menyebutkan bahwa mereka jarang dilibatkan dalam

perumusan visi, misi, sasaran maupun tujuan sekolah. Begitupun ketika peneliti menanyakan tentang bagaimana peranan masyarakat dalam memberikan usul,saran dan pertimbangan dalam pengembangan sekolah, informan kunci yang menjadi sumber informasi dalam penelitian ini juga mengatakan jarang sekali dilibatkan. Kecuali untuk hal-hal tertentu mereka selalu diundang oleh pihak sekolah. Seandainya ada kesempatan ketika mereka dilibatkan dalam pengembangan sekolah, banyak yang akan mereka usulkan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Junaedi: Kami sangat menginginkan agar sekolah bisa memiliki lapangan olahraga, karena menurut anak kami, kegiatan olahraga di SMPN 4 Watampone tidak dilakukan di dalam sekolah melainkan diluar sekolah. Selain membutuhkan biaya, juga mengancam keselamatan anak-anak kami dari bahaya kendaraan, kami juga berharap ada fasilitas internet di sekolah sehingga anak-anak tidak perlu keluar mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya manakala berkaitan dengan informasi yang sulit didapatkan dalam buku pelajaran(3-4-2012). Adapun usul, saran dan pertimbangan yang sering diberikan oleh masyarakat sesuai dengan hasil wawancara adalah melengkapi sarana dan prasarana pendidikan, sarana dan prasarana olah raga., kegiatan ekstrakurikuler ditingkatkan, agar anak tidak ngobrol ditempat lain yang tidak bermanfaat. diupayakan anak memiliki buku cetak setiap mata pelajaran, agar tugas/pekerjaan rumahnya cepat dikerjakan, jangan terlalu banyak tugas/ pekerjaan rumah yang diberikan kepada anak setiap hari agar ada waktunya bermain, supaya dibenahi/diadakan tempat parkir kendaraan motor bagi guru/pegawai, diadakan ruang piket siswa bagian depan sekolah dan sebagainya. Tapi, ada juga masyarakat yang acuh tak acuh tidak memberikan usul, saran dan pertimbangan kepada sekolah dengan alasan usul ataupun saran yang dimasukkan tidak direspon atau

95 karena sekolah dianggap kurang perhatian terhadap rencana pengembangan sekolah, tidak masuk menjadi pengurus komite sekolah, tapi ada juga masyarakat tidak terlibat didalamnya, ada juga masyarakat yang menyatakan kami selaku orang tua tidak perlu mencampuri urusan kebijakan yang dibuat sekolah karena kami percaya sekolah

memiliki orang-orang yang dapat diandalkan untuk membuat kebijakan demi kemajuan sekolah yang artinya penyusunan RAPBS, penyusunan berbagai program sekolah yang akan dibicarakan bersama pengurus komite melalui rapat pengurus komite sekolah dengan dewan guru. Sementara mengacu kepada pertanyaan mengenai kehadiran mereka dalam rapat yang pernah diadakan di sekolah, dari 24 responden sebagai perwakilan komite hampir semua pernah hadir dalam mengikuti rapat komite antara pengurus komite sekolah dengan pihak sekolah.. Rapat komite itu sendiri, menurut wawancara dengan responden isinya menyangkut berbagai kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan oleh sekolah, termasuk diantaranya pemanfaatan dana BOS, Penyusunan RAPBS, rencana kerja, memilih pengurus, meminta bantuan untuk meningkatkan mutu pendidikan, program partisipasi komite terhadap program sekolah. Selanjutnya mengacu kepada pertanyaan yang keempat tentang apakah kebijakan yang dibuat sadah sesuai dengan harapan masyarakat atau belum. Dari 24 responden dalam hal ini yang diwakili oleh informan kunci mengatakan kebijakan sekolah yang dibuat tentu didasari oleh pertimbangan pihak sekolah untuk kepentingan siswa dan warga sekolah. Sejalan dengan hal tersebut, Mardiana, ibu masradia, dan kasmawati dan beberapa responden lainnya berpendapat bahwa: Sekolah pasti sudah punya agenda dan kebijakan yang relevan dengan kemajuan anakanak kami, kami percaya sepenuhnya akan kebijakan yang dibuat dan sudah pasti kami bisa menerima. Persoalan puas atau tidak, senang atau tidak, bukan hal yang kami

permasalahkan(5-4-2012)

(2). Partisipasi Dalam Perencanaan Program Sekolah Adapun yang menjadi fokus pengkajian dalam partisipasi masyarakat dalam perencanaan program sekolah meliputi (1) Sumbangan pemikiran dan tenaga (2) Pengawasan pelaksanaan kebijakan dan program sekolah. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan responden sebanyak 9 responden menyatakan ya dalam memberikan sumbangan pemikiran dan tenaga atau dengan Persentase 37.5 persen sedangkan yang menyatakan tidak sebanyak 15 orang atau dengan Persentase 62.5persen. Sumbangan Pemikiran yang diberikan menurut hasil wawancara adalah kebersihan sekolah, masalah keamanan, perbaikan lingkungan, membantu menyusun proposal Life Skill, pengadaan tempat parkir kendaraan motor bagi guru/karyawan, penataan sarana dan prasarana sekolah, dan pengadaan ruang piket siswa bagian depan sekolah. Sedangkan yang tidak memberikan pemikiran. menurut hasil wawancara, karena kurangnya komunikasi antara masyarakat dengan kepala sekolah, tidak masuk pengurus komite sekolah tidak pernah dimintai untuk memberikan pemikiran oleh sekolah itu. Menurut bapak Drs Syahruddin M.Pd: Kebanyakan masyarakat tidak ikut terlibat aktif dalam memberikan sumbangan pemikiran dan tenaga karena kurangnya informasi yang disampaikan pihak sekolah kepada mereka, padahal orang tua siswa banyak yang sangat potensial untuk memberikan gagasan yang dapat meningkatkan mutu pendidikan. Meskipun demikian ketidakterlibatan masyarakat dalam memberikan sumbangsih pemikiran dan tenaga tidak mempengaruhi mereka untuk tetap berpartisipasi aktif. Ini semua disebabkan karena pendekatan yang dilakukan oleh ketua komite(4-4-2012). Selanjutnya dari hasil wawancara yang dilakukan dengan responden tentang pengawasan pelaksanaan kebijakan dan program sekolah menunjukkan jumlah responden yang menjawab ya untuk ikut serta mengawasi pelaksanaan kebijakan dan

97 program sekolah sebanyak 7 orang atau dengan Persentase 29,17 persen sedangkan yang menjawab tidak sebanyak 17 orang atau dengan Persentase sebesar 70,83persen. Menurut bapak A. Mallaloang SH Masyarakat banyak yang tidak berpartisipasi aktif dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan program sekolah karena lebih mempercayakan kepada pengurus komite yang dianggap dapat mewakili semua kepentingan mereka. Bahkan orangtua siswa sudah mempercayai peranan komite sebagai wakil dari orang tua di sekolah. Ketidakaktifan masyarakat untuk melakukan pengawasan disebabkan karena faktor kesibukan, karena tidak menjadi pengurus komite, karena program dan kebijakan tidak disampaikan secara tertulis kepada mereka(5-4-2012). Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah sangat berkaitan dengan peningkatan kinerja kepala sekolah dimana kewenangan yang tinggi terhadap berbagai tugas dan fungsi kepala sekolah seperti: kepala sekolah sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator, berdasarkan hasil penelitian dapat berjalan lebih baik. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dengan orientasi mewujudkan pendidikan yang bermutu tinggi, maka diperlukan sumber daya bermutu tinggi pula. Berdasarkan temuan pada lokasi penelitian bahwa kualitas sumber daya pendidikan dimana kualitas guru dapat dilihat berdasarkan golongan berada pada kategori tinggi yaitu diatas 50 persen golongan tiga dan tingkat pendidikan mayoritas guru sudah berada pada jenjang pendidikan strata satu sementara upaya guru dan pihak sekolah terhadap peningkatan kualitas guru masih terus dilaksanakan. Kedua faktor tersebut yaitu tingkat pendidikan dan golongan signifikan dengan kematangan/pengalaman bagi profesi sebagai guru. Selanjutnya, dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah unsur masyarakat dipandang sebagai unsur yang penting mendukung keberhasilan sekolah (Stakeholder) olehnya itu upaya keterlibatan masyarakat dalam organisasi sekolah telah dilembagakan

dalam bentuk komite sekolah. Pemberdayaan masyarakat terhadap organisasi sekolah baik dalam fungsinya sebagai pengawasan pengelolaan dan pengembangan sekolah juga partisipasi mereka secara material. Berdasarkan temuan penelitian bahwa tingkat partisipasi masyarakat lebih banyak ditentukan oleh berbagai faktor-faktor seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan. Tingkat pendidikan berkaitan dengan kemampuan masyarakat berinteraksi dengan organisasi sekolah mengakibatkan pemahaman masyarakat yang berbeda-beda terhadap pengetahuan berlembaga (komite sekolah). Menurut pengamatan peneliti bahwa tingkat pendidikan masyarakat signifikan dengan tingkat partisipasi mereka, hal ini menunjukkan bahwa gagasan-gagasan pemikiran dalam rangka pengembangan sekolah terdapat kecenderungan diwarnai oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sedang tingkat pendapatan masyarakat yang berbeda tidak menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang menjolok, baik kehadiran pada pertemuan rutin maupun gagasan dan pemikiran terhadap pengembangan sekolah, menyangkut hal berkaitan dengan sumbangan material secara umum juga tidak menunjukkan perbedaan yang menjolok. Dan faktor latar pekerjaan berkaitan dengan waktu dan kesempatan yang berbeda-beda signifikan terhadap tingkat partisipasi masyarakat berperan aktif dalam komite sekolah, hasil penelitian menunjukkan bahwa dan ketiga jenis pekerjaan yang dianalisis keterlibatan pensiunan dan profesi wiraswasta menduduki tingkat partisipasi yang lebih tinggi dibanding pegawai negeri sipil. Menurut keterangan dan salah seorang responden yang berprofesi sebagai

99 wiraswasta; bahwa keterbukaan pihak pengelola sekolah terhadap program-program yang direncanakan memberikan informasi kepada masyarakat baik sebagai orang tua murid maupun masyarakat sebagai bagian dari lingkungan sekolah memberikan kesempatan bagi pihak wiraswasta berperan serta dalam mendukung pengembangan sekolah. Selanjutnya bahwa dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah ketiga unsur disebutkan sebelumnya yaitu, pertama optimalisasi kinerja kepala sekolah yang memegang peranan penting terhadap keberhasilan sekolah, kedua kinerja guru dalam proses belajar mengajar yang berhubungan langsung dengan peserta didik sebagai sasaran pendidikan dan ketiga sumber daya masyarakat yang berhubungan dengan unsur pendukung (stakeholder) dalam upaya pengembangan sekolah. Untuk lebih jelasnya ketiga unsur tersebut akan dibahas secara rinci sebagai berikut: 1. Kinerja kepala sekolah Kinerja kepala sekolah sangat erat kaitannya dengan model manajemen yang diterapkan pengembangan modal manajemen berbasis sekolah yang relatif masih baru memperlihatkan hasil cukup memuaskan terhadap kinerja kepala sekolah. Peran Kepala Sekolah di mana sebelumnya harus mengikuti petunjuk dan instansi vertikal sampai pada masalah-masalah teknis kini telah mengalami perubahan-perubahan mendasar dengan reorientasi pada kemandirian sekolah di mana kewenangan disertai dengan tanggung jawab yang tinggi terhadap pengembangan sumber daya sekolah. Pada dasarnya Kepala Sekolah memiliki potensi yang cukup tinggi untuk berkreasi dan meningkatkan kinerja, namun banyak faktor yang menghambat mereka dalam mengembangkan berbagai potensinya secara optimal. Olehnya itu melalui manajemen berbasis sekolah para kepala sekolah dapat melaksanakan pembinaan secara

kontinu dan berkesinambungan dengan program yang terarah dan sistematis terhadap para guru dan personil pendidikan lain di sekolah. Berkaitan dengan hal tersebut dalam rangka mengimplementasikan paradigma pendidikan baru, seperti Manajemen Berbasis Sekolah. Program pembinaan guru dan personil pendidikan tersebut yang lazim disebut supervisi pendidikan rangkaian kegiatan sebagai suatu

manajemen pendidikan di mana peran kepala sekolah sebagai

supervisi pendidikan memperlihatkan hasil cukup memuaskan. Kompetensi Kepala Sekolah diperoleh melalui pendidikan/latihan yang mengandung muatan akademik/ teoritik dan praktik sangat mendukung kinerja kepala sekolah yang bersifat rasional dalam pelaksanaan tugas-tugas pendidikan, dan kompetensi tersebut sudah merupakan persyaratan sebagai jabatan kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai administrator pendidikan harus memenuhi fungsi dasar kepala sekolah, yakni program instruksional, kepegawaian kesiswaan, sumber-sumber fisik dan finansial serta menjalin hubungan kerjasama masyarakat yang dinilai berjalan cukup baik, walaupun dalam hubungan dengan fungsi tersebut kepala sekolah pada umumnya lebih menekankan aspek manajerial dan kepemimpinan. Pemahaman terhadap berbagai undang-undang pendidikan/ peraturan sekolah berdampak pada peran kepala sekolah sebagai administrator sekolah dalam pengembangan program, kurikulum atau pengajaran, administrasi kesiswaan,

administrasi perlengkapan administrasi keuangan, administrasi kepegawaian dan hubungan sekolah dengan masyarakat dapat pula berjalan dengan baik. Dalam hal ini kepala sekolah menggunakan prinsip pengembangan dan pendayagunaan organisasi secara kooperatif dan aktivitas melibatkan keseluruhan personil dan sumber daya masyarakat sekitar. Selanjutnya, mengetahui bahwa sekolah sebagai suatu organisasi

101 pendidikan formal merupakan wadah kerjasama sekelompok orang yang terdiri atas guru, staf, kepala sekolah dan siswa kepala sekolah sebagai pemimpin pemegang tugas kelembagaan dan pencapaian tujuan organisasi sekolah. inisiatif kepala sekolah dalam menyesuaikan sumber daya sekolah, pengorganisasian aktivitas-aktivitas kerja untuk mencapai sasaran-sasaran dilakukan melalui suatu tim kerja. Sedang kepala sekolah sebagai motivator lebih cenderung masih kurang profesional terhadap berbagai tugastugas di luar jam kerja guru dengan secara finansial, sebab bagaimanapun orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi selalu melihat hubungan antara usaha/kegiatan dengan hasil yang diperoleh. Kinerja kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut: 1. Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif. 2. Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. 3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan. 4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah. 5. Bekerja dengan tim manajemen

2. Kinerja guru dalam pelaksanaan Proses Belajar Mengajar Kualitas sumber daya guru secara nyata dapat dilihat pada bagaimana proses pendidikan itu berlangsung dengan baik sehingga output pendidikan dapat secara maksimal dicapai. Dalam kaitannya dengan penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan

Proses Belajar Mengajar. Proses Belajar Mengajar merupakan input pendidikan yang menentukan output pendidikan yang berkualitas yang sangat berkaitan dengan unsurunsur seperti kelengkapan program mengajar, penyajian materi pelajaran, evaluasi dan analisis hasil belajar siswa, serta program perbaikan/pengayaan. Dalam hubungannya dengan penelitian ini dilihat sebagai aspek utama dalam rangka pelaksanaan manajemen berbasis sekolah pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum. Pelaksanaan proses belajar mengajar berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur-unsur seperti kelengkapan program mengajar, penyajian materi, evaluasi dan analisa, secara umum berada dalam kategori tinggi. Sedangkan unsur perbaikan dan pengayaan masih berada dalam kategori rendah. Tingginya penilaian responden terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar ditunjukkan oleh keterangan salah seorang guru bahwa selama ini perumusan materi pengajaran lebih banyak bersifat konseptual, dan rancangan tersebut memberikan kewenangan penuh kepada guru. Dengan demikian, sehingga proses belajar mengajar guru yang sebelumnya bersifat subyektif terhadap murid, sekarang dituntut lebih aktif menemukan metode-metode yang sesuai, seperti perkembangan kejiwaan anak. Dengan otonomi guru yang lebih tinggi dalam proses belajar mengajar menciptakan iklim yang kondusif terhadap organisasi sekolah, di mana bahwa hubungan antar sesama guru, antar guru dengan pimpinan sekolah lebih banyak bersifat pelaporan dan koordinasi mengenai hasil yang dicapai.Tingginya penilaian terhadap responden terhadap proses belajar mengajar berdasarkan hasil penelitian pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum selanjutnya akan dibahas pada bagian berikut: a. Kelengkapan program pengajaran Program pengajaran bagi guru dalam menggunakan silabus secara

103 berkesinambungan mulai pada tahap penyusunan sampai pada tahap pelaksanaan pengajaran di kelas sehingga murid sebagai sasaran pengajaran menerima materi secara sistematis. Demikian pula kelengkapan administrasi guru mengajar di kelas seperti absen, buku paket/buku penunjang, buku keterampilan dan buku nilai harian yang setiap saat guru dapat menggunakan sebagai bahan evaluasi sementara dalam kelas untuk melihat dan memahami perkembangan kemampuan belajar peserta didik. Faktor lain yang sangat signifikan dimana proses belajar mengajar berlangsung dengan baik ditunjang dengan infrastruktur sekolah yang cukup memadai seperti ruang belajar, perpustakaan dan fasilitas-fasilitas ekstra kurikuler seperti alat-alat kesenian dan olahraga. Hal ini akan menunjang siswa belajar kreatif dan innovatif pada jenjang sekolah menengah pertama. b. Penyajian materi pelajaran. Penyajian materi pelajaran merupakan unsur pokok dalam proses belajar mengajar di mana unsur berkaitan langsung guru berinteraksi dengan peserta didik dalam kelas, olehnya itu disamping guru menguasai materi pelajaran juga memiliki kemampuan dalam mentrasformasi materi baik dalam fungsinya berperan utama sebagai media maupun sebagai motivator dalam penyajian materi pelajaran di kelas. Dalam strategi belajar dan pembelajaran guru mampu memahami dan mengelola kelas dalam pengertian bahwa penyajian materi pelajar tidak kaku atau fleksibel (infrovisasi) sehingga respon peserta didik berkesan menyenangkan menerima materi pelajaran. Guru diperkaya dengan penggunaan berbagai metode seperti diskusi, tanya jawab ceramah, demonstrasi (disertai alat peraga/alat bantu), digunakan secara terpadu komperatif dalam penyajian mata pelajaran. c. Unsur evaluasi dan analisis hasil belajar siswa

Berkaitan dengan evaluasi dan analisis hasil belajar terhadap kesinambungan dan berbagai kegiatan proses belajar mengajar dimana guru bersikap obyektif, transparan dan bertanggung jawab sehingga hasil belajar yang diperoleh murid merupakan data pokok yang dapat dijadikan rujukan untuk perbaikan dimasa akan datang. Kegiatan evaluasi dilakukan secara berkala, teratur serta pembukuan hasilnya sampai pada tahap pelaporan hasil evaluasi murid setiap semester yang akan digunakan baik untuk kebutuhan internal sekolah sekaligus sebagai bahan laporan pendidikan. d. Program perbaikan dan pengayaan Berdasarkan temuan penelitian bahwa program perbaikan dan pengayaan masih berada dalam kategori rendah, walaupun rancangan program perbaikan dan pengayaan dimiliki oleh setiap guru namun pada tingkat pelaksanaannya hanya sebagian kecil dilakukan oleh guru. Menurut pengamatan peneliti bahwa kegiatan ini tidak sepenuhnya berjalan, diakibatkan pada dua hal yaitu prestasi keseluruhan murid memperlihatkan hasil yang memuaskan, sehingga guru cukup merasa puas dengan prestasi anak didik mereka. Dari program perbaikan dan pengayaan berkaitan dengan anggaran yang disediakan masih relatif rendah serta keterbatasan waktu oleh guru. Seorang guru memberikan keterangan dan hasil wawancara peneliti program perbaikan dan pengayaan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dimana anggaran yang disediakan tidak cukup memadai padahal waktu yang digunakan untuk memberikan materi pengulangan cukup lama dan juga menggunakan biaya pembuatan materi. Berkaitan dengan perbaikan dan pengayaan menunjukkan bahwa masih ada sebagian guru beranggapan hanya ditujukan kepada murid yang kurang berprestasi, pada hal sasaran utama program perbaikan dan pengayaan adalah pendalaman materi pelajaran kepada murid secara keseluruhan.

105 3. Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat yang dilembagakan dalam bentuk komite sekolah untuk menjamin akan adanya akuntabilitas, transparansi terhadap proses pelaksanaan pendidikan. Olehnya itu masyarakat sebagai stekhoulder sekolah dituntut

keterlibatannya mulai pada tahap perencanaan program, pelaksanaan program, monitoring sampai pada tingkat evaluasi hasil yang dicapai. Berdasarkan hasil penelitian keempat unsur tersebut, yaitu peran serta masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program sekolah berada dalam kategori sedang, dan unsur yang lain yaitu peran serta masyarakat dalam monitoring dan evaluasi tergolong sangat rendah ketiga unsur tersebut akan dibahas pada bahagian berikut: a. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan program sekolah Keterlibatan peran serta masyarakat dalam perencanaan sekolah pada kegiatan yang bersifat akademik. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya peran serta masyarakat pada kegiatan-kegiatan seperti perumusan misi, visi, sasaran, tujuan dan program sekolah dan pemberian informasi/data yang diperlukan sekolah. Hanya jika hal itu bersifat usul, saran dan pendapat yang dominan mewarnai rapat-rapat antara komite dan pihak pengelolah sekolah sedang pada tingkat pengambilan keputusan masih sering terjadi salah pengertian. Menurut keterangan seorang kepala sekolah, pemahaman masing-masing masyarakat yang duduk pada organisasi komite sekolah yang relatif masih baru ini, belum ada persepsi yang sama dan tugas masing-masing masih cenderung tumpang tindih dan masyarakat lebih terkonsentrasi kepada masalah-masalah pengelolaan anggaran sekolah.

Menurut pengamatan peneliti bahwa masyarakat belum dapat menempatkan diri sepenuhnya sebagai mitra yang diperlukan oleh pengelola sekolah sampai pada tahap perencanaan program sekolah, masih terdapat anggapan bahwa masyarakat hanya berfungsi sebagai donatur dalam rangka pembangunan sekolah. Hal ini dapat dilihat pada konteks perumusan misi, visi, sasaran, tujuan dan program sekolah dan pemberian informasi/data yang diperlukan sekolah belum menunjukkan peran serta masyarakat yang berarti. b. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program sekolah. Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program sekolah seperti pemberian sumbangan tenaga, materi/uang, pengadaan sarana/prasarana sekolah dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sekolah seperti pembangunan pagar dan pembangunan sarana lainnya berdasarkan hasil penelitian berada dalam kategori tinggi. Peran serta masyarakat mendukung material pembangunan sekolah yang disponsori melalui komite sekolah termasuk sumbangan secara sukarela cukup besar namun di dalam pembiayaan operasional sekolah/rutin siswa bagi mereka yang kurang mampu dibiayai oleh Dana BOS (Dana bantuan Operasional) Sekolah. Pada kegiatan ekstrakurikuler seperti pekan olahraga dan kesenian dalam rangka perayaan hari ulang tahun kemerdekaan, dukungan masyarakat tetap ada untuk dapat meringankan anggaran program sekolah lebih efektif membiayai yang lebih penting. Seorang kepala sekolah memberikan keterangan berdasarkan hasil wawancara peneliti bahwa dukungan dana masyarakat diluar dan sumbangan komite (sumbangan sukarela) sangat bermanfaat membantu memperkuat pos-pos anggaran yang masih memerlukan dana tambahan secara terus menerus seperti pergantian dan penambahan alat peraga

107 sekolah yang berkembang terus menerus sesuai dengan kebutuhan sekolah. c. Partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi sekolah Partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi merupakan hal yang prinsipil dalam pelaksanaan pengawasan program sekolah sebagai hasil kebijakan yang telah diputuskan secara bersama baik bagi pihak pengelola sekolah maupun masyarakat secara khusus sebagai perwakilan masyarakat yang berada dalam komite sekolah (dewan sekolah). Berdasarkan hasil penelitian bahwa peran serta masyarakat dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan program-program sekolah masih berada dalam kategori rendah. Memantau perkembangan sekolah belum merupakan perhatian khusus bagi masyarakat baik yang bersifat non fisik seperti pengawasan proses

belajar mengajar/perkembangan prestasi anak didik di sekolah maupun yang bersifat fisik seperti bantuan pembangunan dan peralatan sekolah. Jikapun

temuan penelitian sebelumnya bahwa tingkat partisipasi masyarakat cukup tinggi secara material dalam sumbangan pembangunan sekolah, namun pada tingkat pengawasan terhadap pelaksanaan dan pengadaannya peran serta masyarakat masih sangat minim. Hal tersebut dikemukakan oleh seorang responden sebagai anggota dalam organisasi komite sekolah: bahwa masyarakat memang mempunyai tingkat partisipasi yang tinggi secara material terhadap pembangunan sekolah tetapi sangat jarang masyarakat mempersoalkan bagaimana alokasi dana tersebut disalurkan. Tidak ada penguraian secara rinci sebagai bahan evaluasi organisasi dan komite sekolah walaupun laporan pertanggung jawaban setiap kegiatan tetap ada dan pihak pengelola sekolah dan tidak pernah mendapat tanggapan yang serius baik dan komite sekolah maupun anggota

masyarakat yang hadir setiap pertemuan. A. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Implementasi MBS 1. Faktor Pendukung Dalam buku Pedoman Manajemen Berbasis Sekolah dikaitkan bahwa keberhasilan pelaksanaan MBS sangat dipengaruhi oleh berbagai fakta,baik faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor pendukung tersebut pada garis besarnya mencakup sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, gerakan peningkatan kualitas pendidikan dan gotongroyong kekeluargaan, potensi sumber daya manusia, organisasi formal dan internal, organisasi profesi serta dukungan dunia usaha dan dunia industri. a. Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan Pemerintah dan seluruh stake halder pendidikan perlu terus melakukan sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan di berbagai wilayah kerjanya, baik dalam pertemuanpertemuan resmi maupun melalui orientasi dan workshop. b. Gerakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan Pemerintah Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan, baik secara konvensional maupun movatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah diamanatkan dalam Undang-undang Sisdiknas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan kualitas pendidikan kepada setiap jenis dan jenjang pendidikan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan .Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan . pada tanggal 2 Mei 2002 c. Gotong Royong Dalam Kekeluargaan Gotongroyong dan kekeluagaan dapat menghasilkan dampak positif (synergistyc effect) dalam berbagai aktifitas. Gotongroyong dan kekeluargaan yang membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih dapat dikembangkan dalam mewujudkan Kepala Sekolah yang profesional, menuju terwujudnya visi pendidikan menjadi aksi

109 nyata di Sekolah. Kondisi ini dapat ditumbuhkembangkan melalui jalinan kerjasama dan keeratan hubungan dengan msyarakat dan dunia kerja, terutama yang berada di lingkungan Sekolah. d. Potensi Kepala Sekolah. Kepala Sekolah memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan secara optimal. Setiap kepala Sekolah harus memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Sekolah. Perhatian tersebut harus ditunjukan dalam keamanan dan kemampuan untuk mengembangkan diri dan Sekolahnya secara optimal. e. Organisasi Formal dan Optimal Pada sebagian besar lingkungan pendidikan Sekolah di berbagai wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke umumnya telah memiliki organisasi formal terutama yang berhubungan dengan profesi pendidikan seperti Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (Pokjamas), Kelompok Kerja Sekolah (KKM), Musyawarah Kepala Sekolah (MKM), Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah. Organisasi-organisasi tersebut sangat mendukung MBS untuk melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan kualitas pendidikan diwilayah kerjanya. f. Organisasi Profesi Organisasi profesi pendidikan sebagai wadah untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan seperti Pokjawas, KKM, Kelompok Kerja guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Peduli Guru (FPG), dan ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) sudah terbentuk hampir diseluruh Indonesia, dan telah menyentuh berbagai kecamatan. Organisasi profesi tersebut sangant mendukung implementasi MBS dalam peningkatan kinerja dan prestasi belajar peserta didik menuju peningkatan kualitas

pendidikan nasional g. Harapan Terhadap Kualitas Pendidikan MBS sebagai paradigma baru manajemen pendidikan mempunyai harapan yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, serta komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatakan mutu Sekolah secara optimal. Tenaga kependidikan memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa peserta didik dapat mencapai prestasi yang optimal meskipun dengan segala keterbatasan sumber daya pendidikan yang ada di Sekolah. Dalam pada itu, peserta didik juga termotivasi untuk secara sadar meningkatkan diri dalam mencapai prestasi sesuai bakat dan kemampuan yang dimiliki. Harapan tinggi dari berbagai dimensi Sekolah merupakan faktor dominan yang menyebabkan Sekolah selalu dinamis untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan (continous quality improvement).

h. Input Manajemen Paradigma baru manajemen pendidikan perlu ditunjang oleh input manajemen yang memadai dalam menjalankan roda Sekolah dan mengelola Sekolah secara efektif. Input manajemen yang telah dimiliki seperti tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung implementasi, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas dari warga Sekolah dalam bertindak, serta adanya sistem pengendalian mutu yang handal untuk meyakinkan bahwa tujuan yang telah dirumuskan dapat diwujudkan di Sekolah. Pada buku pedoman implementasi manajemen berbasis Sekolah yang diterbitkan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Jakarta, 2002, bahwa faktor pendukung keberhasilan MBS terdiri dari

111 a. Kepemimpinan dan manajemen Sekolah yang baik. MBS akan jika ditopang oleh kemampuan professional Kepala Sekolah dalam memimpin dan mengelola Sekolah secara tepat dan akurat, serta mampu menciptakan iklim organisasi di Sekolah yang mendukung terjadinya proses belajar mengajar. b. Keadaan social ekonomi dan penghayatan masyarakat terhadap pendidikan, factor luar yang akan turut menentukan keberhasilan MBS adalah keadaan tingkat pendidikan orangtua siswa dan masyarakat. Kemampuan dalam membiayai pendidikan, serta tingkat penghayatan, harapan dan pelibatan diri dalam mendorong anak untuk terus belajar. c. Dukungan pemerintah, hal yang sangat menentukan tingkat keberhasilan penerapan MBS terutama bagi Sekolah yang kemampuan orang tua/masyarakatnya relatif belum siap memberikan perannya terhadap penyelenggaraan pendidikan. Alokasi dana pemerintah dan pemberian kewenangan dalam pengelolaan Sekolah menjadi penentu keberhasilan. d. Profesionalisme, faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan hasil kerja Sekolah. Tanpa profesionalisme kepala Sekolah, guru dan pengawas akan sulit dicapai MBS yang bermutu tinggi serta prestasi siswa yang tinggi pula. 2. Faktor Penghambat Beberapa hambatan yang dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan Manajemen Berbasis sekolah (MBS) pada SMP Negeri 4 Khusus yang dapat dianalisis adalah sebagai berikut: 1. Tidak Berminat Untuk Terlibat. Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang

menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu. 2. Tidak Efisien. Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya

menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu. 3. Pikiran Kelompok. Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit pikiran kelompok. Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan. Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya

113 5.Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru. Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan. 6. Kesulitan Koordinasi. Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah. Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi. Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik. Berdasarkan faktor pendukung dan penghambat yang dikemukan diatas maka ada beberapa Strategi yang dapat diterapkan diterapkan di SMP Negeri 4 Khusus untuk

meningkatakan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS yaitu : 1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS. 2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan

pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah. 3. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.

115 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 121

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum diperoleh gambaran sebagai berikut: 1. Kinerja kepala sekolah terhadap berbagai tugas dan fungsi kepala sekolah seperti kepala sekolah sebagai edukator, manajer, administrator supervisor, leader, inovator dan motivator berjalan maksimal. 2. Kinerja guru dilihat dari empat aspek yang dinilai yakni kelengkapan program mengajar guru, penyajian materi pelajaran evaluasi dan analisis hasil belajar murid serta program perbaikan dan pengayaan. Dari empat aspek tersebut secara khusus pada program perbaikan dan pengayaan masih terdapat kelemahan-kelemahan seperti penyusunan tes dan materi berulang-ulang pada masing-masing sekolah, hal mana menunjukkan bahwa tingkat kreatifitas guru menyusun materi masih sangat terbatas. 3. Partisipasi masyarakat terhadap pihak pengelola sekolah belum sepenuhnya menunjukkan kerjasama yang baik diakibatkan oleh rendahnya kemampuan akademik masyarakat berorganisasi (komite sekolah) sehingga memiliki

keterbatasan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat akademik seperti, perumusan misi, visi dalam perencanaan dan mekanisme pengawasan dalam pelaksanaan pengelolaan sekolah. 4. Adapun faktor pendukung diterapkannya manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Watampone antara lain: adanya kerjasama antara kepala sekolah dengan semua pihak-pihak yang ada di sekolah, dukungan dana yang besar yang dapat

membiayai berbagai kegiatan baik ekstra maupun intra, kemampuan akademik dan manajerial para pendidik sangat menunjang dalam proses pembelajaran, kemampuan manajemen tenaga administratif sangat membantu kegiatan ketatausahaan, sedang yang termasuk faktor penghambat manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus antara lain: Transparansi dan akuntabilitas kepala sekolah belum bersifat terbuka terutama dalam pemanfaatan dana, wilayah sekolah yang sempit tidak seimbang dengan jumlah siswa yang teramat banyak lebih dari 1000 siswa, masih ada guru yang bersifat acuh terhadap peningkatan kualitas pendidikan, serta banyaknya peserta didik dengan berbagai karakter menyulitkan untuk pelaksanaan MBS B. Saran 1. Pihak pengelola sekolah perlu melakukan transformasi akademik secara intens dengan masyarakat secara kelembagaan melalui organisasi komite sekolah sehingga pemahaman masyarakat terhadap tanggung jawab keberhasilan sekolah dapat berjalan maksimal. 2. Dalam upaya untuk meningkatkan kinerja guru agar menjadi lebih profesional sesuai perkembangan tuntutan pendidikan maka pelaksanaan manajemen berbasis sekolah yang lebih mengedepankan kemandirian pengelolaan sekolah maka pengembangan tugas dan tanggung jawab guru menjadi suatu kebutuhan mendesak dengan terus memberikan pendidikan dan latihan atau bentuk kegiatan lainnya dalam rangka pengembangan profesionalisme guru. 3. Lebih memberikan peluang lebih nyata kepada wakil masyarakat dalam komite sekolah untuk lebih optimal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya baik secara teknis maupun secara konseptual sehingga pelaksanaan manajemen berbasis sekolah secara total.

117 mencerminkan demokratisasi di bidang pendidikan. 4. Hendaknya dalam meningkatkan efisiensi MBS, analisis serta pengkajian data dan informasi perlu dilakukan secara terus menerus dan mendalam agar setiap unit kerja di sekolah dapat melaksanakan MBS yang efisien. 5. Agar analisis pengimplementasian MBS menjadi lebih sempurna pada sekolah tingkat dasar, menengah dan lanjutan diharapkan kepada peneliti lain dapat melakukan pengkajian secara mendalam pada dimensi lain dalam MBS, sehingga pelaksanaan MBS tidak lagi menemui kendala di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1987. Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah. Jakarta : Media Sarana Press Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas Abustam, Idrus, Djaali dan Rahman Asfah, M. 1996. Pedoman Praktis Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Ujung Pandang Lembaga Penelitian IKP Ujung Pandang. Arikunto, Suharsimi, 2002 Prosedur Penelitian: Jakarta:Rineka Cipta, Cet ke-12. Suatu Pendekatan Praktek,

Bastian, Reza Aulia. 2002. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama. Berkepanjangan, ICW, 2004 Burhanuddin, 1998. Desentralisasi Manajemen Pendidikan. Malang : UNM Danuredjo. 1977. Otonomi Indonesia Ditinjau dalam Rangka Kedaulatan. Jakarta : Penerbit Laras Depdiknas, 2001 MPMBS, Konsep & Pelaksanaan, Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Depdiknas. 2001. Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar. Jakarta Depdiknas. Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta. Gajah Mada University Press Fatah, Nanang, 2003 Konsep Management Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah, Bandung Pustaka Bani Quraisy. Fattah, Nanang, 2000, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Fiske, Edward. B. 1998. Desentralisasi Pengajaran. (Terjemahan Ahli Bahasa Basillius Bengoteku). Jakarta: Grasindo. Hasbullah, 2006. Otonomi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Imron , Ali. 1995. Kebijakan Pendiikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara Jalal, Fasli, Supriadi dan Dedi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta : Adi Cita. Kalster, Wayang. 2000. Restrukturisasi Penyelenggaraan Pendidikan (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Oktober No. 26) Jakarta : Badan penelitian dan Pengembangan Depdiknas. Koesoemahatmadja. 1979. Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan di Daerah di

119 Indonesia. Bandung : Binacipta Lexy J. Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. Mantja, W. 1990. Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Wineka Media Mantja. W. dan Imron. AH. 1998. Manajemen Peserta Didik. Malang, Depdikbud Mardalis, 1993, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara. Margono, S. 2000. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta Rineka Cipta Mohrman Susan Albert and Wohlstette Priccilla (1994). School-Based Management, Organizing for High Performance, San Fransisco: Jossey-Bass Publisher. Muhdi, Ali. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta. Pustaka Fahima. Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi) Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. 2011. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi) cetakan ketigabelas, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nasution, S dan Thomas. M. 2001. Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi Disertasi Makalah. Jakarta: Bumi Aksara. Nugroho, D. Riant. 2000. Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi. Jakarta : PT Elex Media Computindo Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, 2004 Teori dan Praktek Bandung: Rosda Pongtuluran, Aris. 1995. Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial. Jakarta. LPMP Rutmini dan Juyono. 1999. Manajemen Berbasis Sekolah, Konseptual danKemungkinan Strategi Pelaksanaan. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas. Saleh, Syarif. 1963. Otonomi dan Daerah Otonom. Jakarta : Penerbit Endang Sidi Indra. Djati. 2000. Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan. Bandung: PPS UPI. Slamet PH. (2005). Handout Kapita Selekta Desentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas RI.

Slamet PH. (2005). Handout Kapita Selekta Desentralisasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Depdiknas RI Sujanto, Bedjo, Mensiasati Manajemen Berbasis Sekolah Di Era Krisis Yang Suparno, Paul. SJ. 2002. Reformasi Pendidikan (Sebuah Rekomendasi). Yogyakarta: Kanisius Suryono, Yoyon. 2000. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta. FIP UNY Sutrisno Hadi, 1993 Metodologi Research Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta Thoha, Miftah. 1995. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta: Rajawali Tilaar H.A.R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta . Rineka Cipta. Tisna. Amidjaja. D.A. 1989. Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia dan Pedoman Pelaksanaannya Jakarta Depdikbud. Umiarso dan Imam Gojali, 2010, Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan,Jogjakarta. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta Sinar Grafika. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Tentang Otonomi Daerah. Jakarta Sinar Grafika. Uno, B, Hamzah.2006, Teori Motivasi dan Pengukurannya. Analisis di Bidang Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara Wayong J. 1979. Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah. Jakarta:Penerbit Djambatan Zamroni. (2008). School Based Management. Yogyakarta: Pascarsarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta Bigraf Publising.

121

JUDUL
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum

ABSTRAK Manajemen berbasis sekolah merupakan usaha untuk menumbuhkan pendidikan dari bawah, yakni berakar dari masyarakat, atas inisiatif masyarakat, dikelola masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Dengan adanya manajemen berbasis sekolah ini memberikan kewenangan sekolah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh lembaga yang bersangkutan. Dari studi langsung di lapangan, ada tiga faktor sebagai penyebab mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Ketiga faktor itu antara lain bahwa kebijakan pendidikan kurang memperhatikan proses pendidikan, penyelenggaraan pendidikan secara sentralistik, dan peran serta masyarakat terutama orang tua hanya terbatas pada dukungan dana. Dalam MBS, sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan sekolah. Secara filosofis sekolah yang lebih memahami bagaimana situasi atau kondisi sekolah serta harapan apa yang akan dicapai. Tujuan progam MBS adalah peningkatan mutu pendidikan yang meliputi manajemen sekolah, pembelajaran aktif kreatif efektif, dan menyenangkan (PAKEM) dan peran serta masyarakat (PSM). Penelitian ini ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara umum tentang implementasi manajemen berbasis sekolah di SMP Negeri 4 Khusus, termasuk faktor pendukung dan faktor penghambatnya. Fokus penelitian MBS di SMP Negeri 4 adalah untuk mengetahui implementasi MBS dari pihak manajemen sekolah dalam hal ini kenerja kepala sekolah, kinerja guru dan peran serta masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan. Penelitian ini digolongkan sebagai penelitian deskriftif kualitatif. Sumber data utama adalah kata-kata dan tindakan dari kepala sekolah, Wakil kepala sekolah, guru, pengurus komite sekolah, serta tata usaha. Teknik dalam menggali data adalah melalui pengamatan, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian dari tiga unsur pokok menunjukkan, Pertama, bahwa pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dilihat dari kinerja kepala sekolah berbagai tugas dan fungsinya seperti sebagai manajer, administrator, supervisor, pemimpin, iv innovator, dan motivator dapat berjalan cukup baik. Kedua, bahwa kinerja guru dinilai melalui aspek-aspek seperti kelengkapan program mengajar, penyajian materi pelajaran, evaluasi dan analisis hasil belajar murid serta program perbaikan dan pengayaan dan Ketiga, bahwa partisipasi masyarakat belum sepenuhnya menunjukkan kerjasama yang baik dengan pihak pengelola sekolah. Hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kemampuan masyarakat berorganisasi (komite sekolah) sehingga memiliki keterbatasan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan seperti, perumusan misi, visi dalam perencanaan dan pengawasan. Kata kunci : implementasi, kebijakan, Managemen Berbasis Sekolah.

v ABSTRACT

vi

123

School based management is an effort to foster the education of, the roots of the community, the community initiative, managed for the benefit of the community and society. With a school-based management gives schools the authority to develop the potential of the institution concerned. Of studies in the field, there are three factors as the cause of the quality of education does not increase uniformly. These three factors, among others, that the lack of attention to education policy education process, education is centralized, and the role of the community especially the elderly is limited to financial support. In MBS, the school has greater authority in managing the school. In philosophical schools better understand how the situation or condition of the school and what expectations will be achieved. MBS program goal is to improve the quality of education, including school management, effective creative active learning, and fun (Active Learning) and community (PSM). This study aims to gather information about the implementation of school based management at SMP Negeri 4 Khusus, including the factors supporting and inhibiting factors. MBS research focus in at SMP Negeri 4 Khusus is to investigate the implementation of MBS from management in this kenerja school principal, teacher performance and community participation in improving the quality of education. This study is classified as a descriptive qualitative research. The main data sources are the words and actions of principals, vice principals, teachers, administrators of the school committee and administration.Techniques in exploring the data is through observation, interviews, and documentation. The results of three main elements indicate, first, that the implementation of school-based management be seen from the performance of the principal tasks and functions such as a manager, administrator, supervisor, leader, innovator, and can run pretty good motivator. Second, that assessed the performance of teachers through such aspects as completeness of the teaching program, presentation of subject matter, evaluation and analysis of student learning outcomes and program improvement and enrichment and Third, that public participation has not been fully demonstrated good cooperation with the school management. It is more often caused by poor ability to organize the community (school committee) so it has limited participation in such activities, the formulation of the mission, vision in the planning and supervision. Keywords: implementation, policy, school based management.

DAFTAR ISI Halaman

vii HALAMAN SAMPUL .................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... PRAKATA ..................................................................................................... ABSTRAK ....................................................................................................... ABSTRACT .................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... A. Latar Belakang Masalah ........................... B. Rumusan Masalah .................................... C. Tujuan Penelitian ..................................... D. Manfaat Penelitian ................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. A. Desentralisasi Pendidikan................

i ii iii v vi vii ix x 1 1 8 8 8 10 10

B. Kebijakan Publik Dalam Dimensi Akuntabilitas .......................................................... C. Manajemen Pendidikan ................... D. Manajemen Berbasis Sekolah ......... E. Kinerja Kepala Sekolah ................... 21 34 35 48

F. Kinerja Guru Dalam Proses Belajar Mengajar .......................................................... G. Partisipasi Masyarakat .................... H. Kerangka Pikir ................................ 49 51 52

125 BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ A. Jenis dan Lokasi Penelitian ....................................................... B. Defenisi Operasional Variabel................................................... C. Variabel Penelitian .................................................................... D. Instrumen Penelitian .................................................................. E. Populasi dan Sampel ................................................................. F. Metode Pengumpulan Data ....................................................... G. Teknik Analisis Data ................................................................. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... A. Identitas Responden .................................................................. 64 B. Responden Masyarakat ............................................................. 67 C. Kinerja Kepala Sekolah dalam Pelaksanaan MBS pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum.......................................... 70................................................................................................ D. Kinerja Guru dalam Pelaksanaan MBS pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Watampone........................................ 86 E. Peran Serta Masyarakat dalam Pelaksanaan MBS pada SMP Negeri 4 Khusus Kabupaten Umum.......................................... 98 F. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi MBS di SMP Negeri 4 Khusus ........................................................................ 56 56 56 58 58 59 60 62 64

BAB V

viii KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN ........................................ A. Kesimpulan ............................................................................... B. Saran-saran ................................................................................

113

121 121 122

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 124 DAFTAR TABEL Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6. Karakteristik responden guru berdasarkan pangkat/golongan.... 64 Penyebaran responden guru menurut kelompok umur................ 65 Penyebaran responden guru menurut tingkat Pendidikan........... 66 Penyebaran responden masyarakat menurut tingkat pendidikan. 68 Penyebaran responden menurut tingkat pendapatan................... 69 Penyebaran responden masyarakat menurut latar belakang pekerjaan...................................................................................... 69

ix

127

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sketsa Kerangka Pikir ................................................................ 55

You might also like