You are on page 1of 6

HUKUM DAN NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA A.

PENGANTAR HUKUM DAN NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA Antara hukum di satu pihak dengan nilai-nilai sosial budaya dilain pihak terdapat kaitan yang erat. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai budaya masyarakat itu ternyata, hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini, masih banyak persoalan-persoalan mengenai nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nialinilai baru mana yang akan menggantikannya. B. KASUS KUMPUL KEBO (SAMEN LEVEN) Istilah kumpul kebo berasal dari Jawa, yang merupakan istilah masyarakat bagi mereka (sepasang Insan berlainan jenis) yang tinggal serumah atau sekamar dalam jangka waktu yang tidak ditentukan, namun tidak memiliki ikatan syah perkawinan.. Istilah itu mulai dikenal secara luas sejak tahun 1980-an, ketika media massa (cetak) kala itu menurunkan laporan utama tentang perilaku sejumlah mahasiswa dan mahasiswi di Jogjakarta yang mempraktekkan hidup bersama di luar nikah (samen leven). Hingga kini, istilah itu tetap populer sebagaimana juga perilaku buruk kumpul kebo yang makin menggejala.(http://roevolusi.blogspot.com) Dizaman sekarang kumpul kebo menjadi persolaan klasik yang sulit diberantas, karena keterbukaan dan kebebasan yang telah menjadi trend hidup masyarakat modern. Bila dulu, kumpul kebo dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena kuatnya aturan atau norma-norma adat suatu wilayah, maka sekarang kumpul kebo dilakukan secara terang-terangan tanpa malu dan perasaan berdosa, tak peduli omongan orang ataupun cibiran masyarakat Berdasarkan survei Pusat Studi Wanita Universitas Islam Indonesia (PSW-UII) Jogjakarta tahun 2001, pola hidup seks bebas di kalangan anak remaja secara umum dan di pondokan atau kos-kosan, khususnya di daerah Kota Jogjakarta, berkembang semakin serius dengan makin longgarnya kontrol yang mereka terima. Pada tahun 2002, pernah dipublikasikan hasil survei Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) terhadap mahasiswa 1

Jogjakarta. Penelitian itu dilakukan selama tiga tahun, mulai Juli 1999 hingga Juli 2002, dengan melibatkan sekitar 1.660 responden yang berasal dari 16 perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di Jogjakarta. Dari 1.660 responden itu, 97,05 persen mengaku sudah hilang keperawanannya saat kuliah, karena pernah melakukan seks berpasangan atau berzina. Ditinjau dari tempat mereka melakukan seks bebas, sebanyak 63 persen melakukan seks bebas di tempat kos pria pasangannya. Sebanyak 14 persen dilakukan di tempat kos putri atau rumah kontrakannya. Selanjutnya 21 persen di hotel kelas melati yang tersebar di Jogjakarta dan 2 persen lagi di tempat wisata yang terbuka. Data di atas menujukkan bahwa tempat kos-kosan telah menjadi sarang kumpul kebo (seks bebas). akibat seks bebas jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Depok terhitung sejak tahun 2000 hingga 2008 mencapai 137 orang (http://www.nahimunkar.com) Harian Surya pernah menelusuri perilaku seks bebas (kumpul kebo) yang dilakoni para mahasiswa-mahasiswi di kota Malang, tahun 2007. Beberapa mahasiswa yang ditemui harian Surya di pemondokannya (kos-kosan) mengaku terbiasa melakukan seks bebas dengan pacarnya, antara lain karena akibat terlalu sering melihat adegan mesum di situs porno internet (http://www.surya.co.id) Para pengelola pondokan yang tidak melakukan pemisahan, pada umumnya berdalih, meski dicampur, namun ada ketentuan bagi pemondok pria tidak boleh masuk ke kamar pemondok wanita. Mereka juga berdalih, para penghuni pondokan pada umumnya tidak kenal satu sama lain. Namun kenyataannya, alasan-alasan itu sama sekali tidak dapat mencegah praktek kumpul kebo di kos-kosan. Contohnya, sebagaimana terjadi di Kediri, Jawa Timur. Sebagaimana diberitakan okezone (Selasa, 3 Februari 2009 - 16:14 wib), ketika aparat kepolisian Resor Kota Kediri melakukan razia pada sekitar pukul 10.30 WIB, berhasil ditangkap enam pasangan kumpul kebo di rumah kos-kosan milik Edi Memet Jalan Semeru Gang VI, Kelurahan Lirboyo, Kec Mojoroto. Empat pasang diantaranya adalah mahasiswa, dan dua pasang lainnya pelacur. Di Parongpong, Lembang, Kabupaten Bandung (Jawa Barta), sebelas remaja yang sedang pesta seks dan ganja di rumah kos-kosan, digrebek dan ditangkap aparat polres Cimahi. Terungkapnya pesta ganja diserta pesta seks dari video porno itu 2

berawal dari laporan warga sekitar yang menyebutkan di tempat itu sering dilakukan ajang pesta narkoba dan seks. (http://hariansib.com/2008/09/07/11-remaja-pesta-seksdigerebek/) Di Solo, harian Radar Solo edisi Kamis, 26 Juni 2008, memberitakan tentang lima mahasiswa UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret), yang selain melakukan kumpul kebo juga melakukan perbudakan seks terhadap Nita, yaitu memaksa Nita berpose bugil. Foto-foto bugil itu ditemukan aparat pada CPU komputer pribadi milik tersangka. Peristiwa ini oleh pihak UNS disebut sebagai skandal seks. Meski pondokan pria dan wanita dipisah, namun karena lemahnya pengawasan, skandal seks (kumpul kebo, free sex) tetap saja terjadi. (http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=8923) Kos-kosan tidak saja menjadi sarang kumpul kebo (free sex, pesta seks), tetapi bisa juga merangkap menjadi sarang perbuatan kriminal lainnya. Di Jakarta, sebuah rumah kos yang terletak di jalan Percetakan Negara IX Nomor 76-C Jakarta Pusat, Sabtu 15 Maret 2008 malam, digrebek petugas. Dari tempat itu berhasil diringkus enam orang saat pesta narkoba dan seks. Terungkapnya kasus ini setelah gencarnya masukan warga yang melihat banyak tempat kos di wilayah itu disinyalir kerap dijadikan ajang pesta narkoba dan seks. (http://www.Jabotabe.com) Praktik kumpul kebo juga terjadi di kalangan mahasiswa-mahasiswi ikatan dinas, yang mondok di dalam areal kampus (asrama). Sebagaimana pernah disinyalir Inu Kencana (dosen Ilmu Pemerintahan IPDN, kini STPDN), praktik kumpul kebo terjadi juga di lembaga pendidikan ini. Menurut Inu Kencana, dari 660 kasus free sex di IPDN ini, tidak satu pun mahasiswa yang dikeluarkan, karena mereka bisa memberikan alasan. Data itu merupakan hasil risetnya yang kemudian dijadikan bahan disertasi doktor di Universitas Padjajaran yang saat itu belum disidangkan. Namun, data yang diungkapkan Inu Kencana itu dibantah oleh petinggi IPDN (STPDN) kala itu. (http://www.dutamasyarakat.com/rubrik.php?id=11909&kat=Nasional) C. ANALISIS KASUS KUMPUL KEBO / SEMENT LEVENT DILIHAT DARI MAZHAB SEJARAH Pemikiran dari mazab sejarah ialah hukum / aturan yang baik dan dapat 3

bibelakukan di masyarakat adalah hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga dalam mazab sejarah apa yang dianggap perlu dilakukan dan apa yang harus dilarang, tanpa harus ada peraturan tertulis. Hukum yang diberlakukan dalam masyarakat itu telah dipercaya berlaku dari zaman sebelumnya. Kumpul kebo merupakan suatu perbuatan yang bukan tabu lagi untuk didengar, namun tanpa diperbincangkan secara mendalam semua orang mengakuinya bahwa perbuatan kumpul kebo itu sudah jelas bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan, karena bagaimanapun juga kumpul kebo tidak diperbolehkan oleh agama apapun, dan dikategorikan sebagai perbuatan zina. Karena kumpul kebo dilakukan tanpa ada hubungan status yang sah dan resmi secara factual dan yuridis. Semakin meluasnya kumpul kebo dikalangan remaja menunjukkan kuatnya pengaruh budaya tertentu dengan pola hidup hedonis , tanpa perlu memikirkan akibat jangka panjang, dan biasanya terjadi akibat melemahnya pengawasan orang tua dan rendahnya pengetahuan agama, sikap hidup yang masa bodoh, kenikmatan sesaat berdasarkan sikap suka sama suka, disamping beribu-ribu alasan lain tentunya. Rendahnya pengetahuan seksologi juga sebenarnya menjadi salah satu alasan mengapa kumpul kebo yang melibatkan hubungan seksual dengan mudah terjadi. Budaya kumpul kebo yang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia juga dianggap sebagai perbuatan yang melanggar norma dan etika, namun tidak akan menjadi suatu masalah bila dilakukan di Amerika Serikat, Begitu juga dengan sisi pandangnya secara hukum. Kalau di Indonesia, sudah jelas melanggar hukum dan bisa dikenakan pasal undang-undang tentang perbuatan asusila, sementara di Amerika, silahkan-silahkan saja. Ya, kan? Maka dari itu kumpul kebo harus segera diminimalisir dan dicegah karena apabila terus menerus dilakukan maka memungkinkan merebaknya budaya Free sex dalam kehidupan. Selain kumpul kebo itu sangat dilarang baik oleh agama, budaya dan hukum, hal ini juga dapat menimbulkan suatu konsekuensi bagi para pelakunya yang berdampak negative. Seperti halnya dengan melakukan kumpul kebo juga melakukan perbudakan seks terhadap salah satu pihak yang melakukan hal itu. Mengenai masalah kumpul kebo ini yang sangat dikhawatirkan adalah apabila hal yang mengenai perbuatan ini dapat merambah di kehidupan anak muda sehingga 4

tidak ada lagi batasan hubungan fisik antara lawan jenis. Dan mengenai aturan mengenai larangan kumpul kebo tidak harus dituangakan dalam undang-undang, toh kumpul kebo juga merupakan hukum itu sendiri yang dapat dianut oleh kalangan masyarakat. Hukum bukan untuk kehidupan apabila dikritisi bahwa hukum ada kehidupan itu sendiri jadi dimanapun dan kapanpun masalah kumpul kebo tidak bagus dan tidak boleh dilakukan karena aturan kumpul kebo untuk menjadi bagian kehidupan.Dalam kasus ini, kumpul kebo dapat kita perjelas lagi jika kita analisis menggunakan suatu mazhab sejarah dalam filsafat hukum. Yang dimana Inti dari pemikiran mazhab sejarah menjelaskan bahwa hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat yang menjadi isi daripada hukum itu sendiri yang dimana hukum ditentukan oeh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Dan menurut Von Savigny, hukum itu berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminanya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks. Berdasarkan kasus diatas, jika dikaitkan dengan mazhab sejarah maka dapat dianalisis bahwa Kumpul kebo atau bahasa kerennya "Samen Leven" memang tidak ada dalam KUHP yang sekarang berlaku. Demikian pula di KUHP Belanda. Tetapi pasal 486 RUU KUHP yang sudah disusun tim Ditjen Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mencantumkan delik tersebut.Pasal 486 selengkapnya berbunyi: "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak kategori III".Namun, delik kumpul kebo dianggap sulit diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Sebab, masih ada kelompok masyarakat yang mentolerir hidup bersama, oleh karena itu untuk pemberlakukan hukum bagi pelakunya masih sulit untuk diterapakan. Meskipun kita tahu bahwa dalam beberapa hukum adat, kumpul kebo merupakan perbuatan pelanggaran. Tapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa masih ada masyarakat adat di Indonesia yang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Walau dalam KUHP masalah kumpul kebo hanya dibatasi pada setiap

pasangan yang salah satunya sudah memiliki pasangan yang sah, maka masalah kumpul kebo yang makin komplek tidak dapat diselesaikan dengan KUHP. Makin maraknya kasus ini adalah hal yang wajar. Maka dari itu dengan mengunakan mazab sejarah bahwasanya kumpul kebo adalah perilaku menyimpag yang menjadi penyakit masyarakat. Apapun alasanya (termasuk karna tidak ada di delik KUHP) kumpul kebo adalah hal yang tidak boleh dilakukan, karena dalam masyarakat sudah dipercaya bahwa hal ini sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai luhur masyarakat sejak zaman dulu. Sehingga, ketika delik kumpul kebo ini hendak diangkat menjadi hukum positif yang pada prinsipnya akan berlaku di seluruh wilayah hukum Indonesia, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik di beberapa daerah tersebut. Sehingga, pada kasus diatas, wajar kalau tidak/ belum mendapat tindakan hukum (dan mungkin juga lingkungan tempat mereka tinggal adalah lingkungan yang memang memaklumi perilaku seperti itu). Karena memang belum ada aturan hukumnya (masih berupa RUU KUHP) apalagi dua-duanya masih single. Lain soal misalnya ada salah satu diantara mereka yang sudah menikah. Dengan begitu dalam kasus ini jika dikaitkan langsung dengan prespektif mahzab sejarah maka agar tindakan tersebut bisa dianggap sebagai perilaku pelanggaran yang pasti dan memiliki hukum yang dapat berlaku di semua daerah, maka semua itu tergantung dari masyarakat nya sendiri . Sesuai dengan mahzab sejarah hukum itu bergantung dari pada jiwa masyarakat itu sendiri untuk dijadikan isi hukum. Jadi dalam hal ini kasus mengenai perilaku kumpul kebo dapat di anggap sebagai perilaku pelanggaran norma hukum apabila semua masyarakat mengakui dan sepakat bahwa perilaku kumpul kebo itu harus memiliki landasan hukum yang mengaturnya. Dengan begitu perilaku tersebut memiliki hukum yang kuat dan akan dipatuhi oleh masyarakatnya. Sumber: tugas Filsafat Hukum semester 7 PKnH FISE UNY

You might also like