You are on page 1of 330

BAB PENGANTAR ETIKA PROFESI PNS

Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa dapat: 1. Menjelaskan kedudukan mata kuliah Etika Profesi PNS 2. Menjelaskan urgensi Etika Profesi PNS dalam reformasi birokrasi 3. Menjelaskan rencana perkuliahan Etika Profesi PNS

A. Kedudukan Mata Kuliah Etika Profesi PNS Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik yang dialami oleh negaranegara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Peningkatan kualitas pelayanan publik mutlak diperlukan mengingat kondisi sosial masyarakat yang semakin baik sehingga mampu merespon setiap penyimpangan dalam pelayanan publik melalui gerakan maupun tuntutan dalam media cetak dan elektronik. Apalagi dengan adanya persaingan terutama untuk pelayanan publik yang disediakan swasta membuat sedikit saja pelanggan merasakan ketidakpuasan maka akan segera beralih pada penyedia pelayanan publik yang lain. Hal ini membuat penyedia pelayanan publik swasta harus berlombalomba memberikan pelayanan publik yang terbaik. Ini yang seharusnya ditiru oleh penyedia pelayanan publik pemerintah sehingga masyarakat merasa puas menikmati pelayanan publik tersebut.

Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua

penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, maupun perusahaan pengangkutan. 2. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik yang bersifat

primer adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara sehingga klien/pengguna mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara, dan pelayanan perizinan. 3. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik yang bersifat adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang

sekunder

diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan. Pelayanan publik yang profesional artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah) dengan ciri sebagai berikut: 1. Efektif Lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran. 2. Sederhana Prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, dan tidak berbelit-belit. 3. Transparan Adanya kejelasan dan kepastian mengenai prosedur, persyaratan, dan pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelayanan publik tersebut. 4. Efisiensi Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan. 5. Keterbukaan Berarti prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang

berkaitan dengan proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak. 6. Ketepatan waktu Kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Cara-cara yang diperlukan untuk memberikan pelayanan publik yang profesional adalah sebagai berikut: 1. Menentukan pelayanan publik yang disediakan, apa saja macamnya, 2. Memperlakukan pengguna pelayanan sebagai customers, 3. Berusaha memuaskan pengguna pelayanan sesuai dengan yang diinginkan mereka, 4. Mencari cara penyampaian pelayanan yang paling baik dan berkualitas, 5. Menyediakan alternatif bila pengguna pelayanan tidak memiliki pilihan lain. Tuntutan masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Penetapan standar pelayanan Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara

pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-

kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya. 2. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP) Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal: a. Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus; b. Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku; c. Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan; d. Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan; e. Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan; f. Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan

diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas. 3. Pengembangan Survei Kepuasan Pelanggan Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survei kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;

4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan efisien mampu mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan; Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi. Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan. Dalam Undang-undang 43 Tahun 1999 antara lain dinyatakan bahwa sebagai unsur aparatur negara Pegawai Negeri Sipil harus memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional. Ciri- ciri profesional adalah memiliki wawasan yang luas dan dapat memandang masa depan, memiliki Kompetensi di bidangnya, memiliki jiwa berkompetisi/bersaing secara jujur dan sportif, serta menjunjung tinggi etika profesi. Dua kata kunci yaitu Kompetensi dan etika Profesi adalah Basic prerequisite dari profesionalisme yang harus ditetapkan landasan dasarnya dalam rangka pembangunan profesionalisme Pegawai Negeri Sipil. Kompetensi adalah sebagai tolok ukur seseorang untuk menduduki jabatan tertentu, sedangkan etika profesi unsur aparatur negara. Oleh karena itu untuk dapat membentuk Pegawai Negeri Sipil

yang profesional perlu ditetapkan standar kompetensi jabatan dan kode etik Pegawai Negeri Sipil. Yang dimaksud dengan kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif, dan efisien. Sedangkan pengertian kompetensi adalah persyaratan kompetensi minimal yang harus dimiliki seorang Pegawai Negeri Sipil dalam pelaksanaan tugas organisasi. Adapun pengertian kode etik Pegawai Negeri Sipil adalah kewajiban, tanggung jawab, tingkah laku, dan perbuatan sesuai dengan nilai-nilai hakiki profesinya yang dikaitkan dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat serta pandangan hidup Bangsa dan Negara Indonesia. Sebagai panduan bagi instansi untuk menyusun standar kompetensi melalui Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46A Tahun 2003 telah ditetapkan Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan Struktur Pegawai Negeri Sipil yang pada akhir tahun 2004 seluruh instansi baik Pusat maupun Daerah telah dapat menyelesaikan standar kompetensi jabatan di setiap wilayahnya. Disamping itu pada saat ini telah dirancang Peraturan Pemerintah mengenai kode etik Pegawai Negeri Sipil yang pada hakikatnya mengatur tentang nilai-nilai perilaku kedinasan Pegawai Negeri Sipil, baik sebagai profesional maupun sebagai aparatur negara. Materi Nilai-nilai Perilaku Kedinasan antara lain: a. Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya wajib berusaha

meningkatkan kemampuan, pengetahuan, dan profesionalisme di bidang tugasnya. b. Pegawai Negeri Sipil karena kedudukan atau jabatannya wajib menyimpan informasi resmi negara yang sifatnya rahasia. c. Pegawai Negeri Sipil wajib mentaati dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya segala Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kedinasan yang berlaku. d. Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.

e. Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya senantiasa mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka penegakan kode etik dibentuk komisi kehormatan Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai fungsi untuk menjabarkan lebih lanjut kode etik Pegawai Negeri Sipil, didalam implementasi penugasannya melakukan pemantauan dan pengendalian perilaku Pegawai Negeri Sipil yang melanggar kode etik serta merekomendasikan pada pejabat pembina kepegawaian dalam rangka pembinaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan selanjutnya. Untuk itu pada saat ini sedang disusun Rencana Peraturan Pemerintah tentang Penilaian Pegawai Berbasis Kinerja dengan tujuan untuk : a. Memperoleh gambaran langsung tentang kinerja seorang Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas pokoknya; b. Mengidentifikasi faktor-faktor penghambat kinerja, baik yang berasal dari individu Pegawai Negeri Sipil maupun unit kerja lain atau instansinya, yang dapat digunakan sebagai input bagi perbaikan atau peningkatan kinerja Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sekaligus bagi penyerpurnaan aspek manajemen dan organisasi dari unit kerja atau instansi dimana Pegawai Negeri Sipil itu bekerja. c. Memberikan gambaran tentang kinerja unit kerja dan instansi dimana Pegawai Negeri Sipil tersebut bekerja, dan mencari jalan keluar untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja unit kerja dan instansinya. Penilaian Pegawai Negeri Sipil berbasis kinerja dilaksanakan melalui Pendekatan hasil dan Pendekatan Kualitan. Kedua pendekatan ini dikombinasikan dalam salah satu pendekatan yang disebut dengan Pendekatan Pencapaian Tujuan/Target, artinya penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil, yang didasarkan pada target dan telah disepakati atau ditentukan terlebih dahulu. Adapun standar penilaian kinerja yang digunakan meliputi aspek-aspek sebagai berikut : a. Aspek Kuantitas, menggambarkan kesepakatan tentang jumlah barang yang dihasilkan, atau jumlah pelayanan atau jasa yang diberikan dalam pelaksanaan suatu tugas pokok seorang Pegawai Negeri Sipil pada periode tertentu.

b. Aspek Kualitas, menggambarkan kesempatan tentang mutu barang yang dihasilkan, atau mutu pelayanan/jasa yang diberikan, dalam pelaksanaan suatu tugas pokok seorang Pegawai Negeri Sipil pada periode tertentu. c. Aspek waktu, menggambarkan kesempatan tentang lamanya seoarang Pegawai Negeri Sipil menghasilkan jumlah barang dan pelayanan dengan kualitas yang telah disepakati, dalam pelaksanaan tugas pokoknya. d. Aspek biaya, menggambarkan kesepakatan tentang besarnya anggaran yang digunakan seorang Pegawai Negeri Sipil untuk menghasilkan jumlah barang dan memberikan pelayanan dengan kualitas yang telah ditentukan, dengan pelaksanaan tugas pokoknya. B. Urgensi etika profesi terhadap reformasi birokrasi 1. Reformasi Birokrasi Apa yang terlintas dalam benak kita apabila mendengar kata birokrasi. Pastilah yang terlintas adalah prosedur-prosedur yang berbelit, suap terhadap oknum aparat pemerintah, pelayanan publik yang rumit dan membingungkan, pejabat pemerintah dengan kekayaan yang tidak masuk akal dan pemikiranpemikiran negatif lainnya terhadap instansi dan pejabat pemerintah. Hal itu memang tidak sepenuhnya salah dan memang terjadi di pemerintahan. Pemerintah pun tidak tinggall diam, untuk mewujudkan pemerintahan yang baik pemerintah melakukan reformasi birokrasi terhadap instansi-instansi pemerintahan. Kementerian Keuangan Replubik Indonesia yang pertama kali menjalankan reformasi birokrasi di Indonesia. 2. Pengertian Birokrasi Menurut Max Webber Birokrasi, merupakan pemikiran dari Max Weber (1864-1920) seorang ahli sosiolog Jerman yang menekankan pada kebutuhan akan hierarki yang ditetapkan dengan ketat untuk mengatur peraturan dan wewenang dengan jelas. Menurutnya organisasi ideal pastilah sebuah birokrasi yang aktivitas dan tujuannya dipikirkan secara rasional dan pembagian tugas dari para karyawannya dinyatakan dengan jelas. Weber yakin bahwa kompetensi teknik harus ditekankan dan evaluasi prestasi kerja didasarkan pada keunggulan, organisasi apapun yang mempunyai orientasi pada sasaran yang terdiri dari beberapa ribu individu pasti memerlukan pengendalian seluruh aktivitasnya. Secara pribadi, pegawai ,dan pejabat bebas, tetapi dibatasi oleh jabatannya yang disusun berdasarkan hierarki, keatas, kebawah,

maupun kesamping. Pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi professional, memiliki jenjang karier yang pasti mendahulukan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi dan memperoleh imbalan yang setara. Pengertian Reformasi Birokrasi Reformasi Birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan

pemerintahan, terutama menyangkut aspek-aspek berikut : a. Kelembagaan (organisasi) b. Ketatalaksanaan (business process) c. sumber daya manusia aparatur Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem

penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak berjalan dengan baik, harus ditata ulang atau diperbarui. Reformasi Birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, Reformasi Birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu, dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu, harus segera diambil langkah langkah yang bersifat mendasar, komprehensif dan sistemik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaruan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner. Disadari sepenuhnya, kondisi birokrasi pemerintahan saat ini masih belum seperti yang dicita-citakan, yang antara lain diindikasikan dengan : a. praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini; b. tingkat kualitas pelayanan publik yang belum mampu memenuhi harapan publik; c. tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas dari birokrasi pemerintahan belum Optimal; d. tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah;

e. tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah; f. tingkat efektifitas pengawasan fungsional dan pengawasan internal dari birokrasi

pemerintahan belum dapat berjalan secara optimal. 3. Fungsi Pelayanan Publik Dalam kerangka Negara demokrasi, ada dua fungsi pokok pemerintahan Negara yang pelaksanaannya diserahkan kepada birokrasi. Kedua fungsi itu adalah fungsi pengaturan dan fungsi pelayanan publik. Fungsi pengaturan pada dasarnya mengandung tujuan pokok pemeliharaan sistem, yakni mewujudkan ketertiban sosial. Dalam rangka ketertiban sosial ini pemerintah bertanggung jawab untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu yang secara hokum mengikat setiap warga Negara. Setiap warga Negara terikat oleh dan harus taat kepada berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara yang bersangkutan. Fungsi pelayanan oleh birokrasi mengacu kepada konsepsi negara kesejahteraan, bahwa pemerintahan negara yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan hidup seluruh rakyatnya. Wujud dari usaha peningkatan kesejahteraan ini adalah pelayanan aparatur pemerintah kepada warga negara yang memperlukannya. Oleh sebab itu, birokrasi menyelenggarakan pelayanan umum atau pelayanan publik (public services), dan pelaksananya, yaitu pegawai negeri dikenal sebagai pelayan (abdi) masyarakat (public servants). Berdasarkan pengertian pelayanan umum seperti ini, maka sesungguhnya fungsi pengaturan merupakan bagian dari pelayanan umum, hanya saja dalam menyediakan pelayanan umum dalam konteks pengaturan ini aparatur pemerintah memiliki kewenangan tertentu yang tidak dimiliki oleh komponen lain di dalam masyarakat. Dalam hal ini, birokrasi dipercayai untuk mengemban tanggung jawab untuk membuat kebijakan dan juga melaksanakan kebijakan tersebut. Pejabat birokrasi biasanya disebut dengan birokrat. Di negara demokrasi, birokrat adalah pejabat publik (pemerintahan) yang diangkat, dipertahankan, dan dipromosikan melalui sistem merit (berdasarkan prestasi atau kinerja). Birokrat bukan pejabat publik yang diangkat secara politis, dan mereka mempunyai posisi yang relatif sangat aman. Jadi, birokrat berbeda dengan pejabat publik yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Di Indonesia, para menteri adalah pejabat negara (publik) yang berkait erat secara langsung dengan (diangkat oleh) presiden

10

yang dipilih rakyat melalui pemilihan umum. Oleh sebab itu, mereka tidak termasuk sebagai birokrat. Birokrat adalah mereka yang menduduki jabatan eselon I kebawah di kementerian atau lembaga-lembaga non-kementerian. Sesuai dengan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU Nomor 17 Tahun 1974 yang diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999), pegawai negeri yang membentuk pelayanan publik (public service) di Indonesia meliputi pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI, dan POLRI, dan pegawai BUMN/D. 4. Pengertian Etika Pelayanan Publik Uraian mengenai birokrasi dan pelayanan publik di muka secara jelas menunjukan pemerintahan kepada kita bahwa administrasi pemerintahan fungsi atau pokok birokrasi berupa publik ini

(disingkat pelayanan

birokrasi) publik

mempunyai (public

penyelenggaraan

service).

Pelayanan

dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan yang di Indonesia disebut dengan pegawai negeri. Jadi, pelayanan publik adalah identik dengan birokrasi atau administrasi pemerintahan dan pegawai negeri. Oleh sebab itu, istilah etika pelayanan publik mempunyai pengertian yang sama dan dapat dipertukarkan dengan istilah etika birokrasi atau etika pegawai negeri (khususnya PNS), walaupun tentu saja masingmasing istilah ini dapat memberikan nuansa yang agak berbeda. Etika pelayanan publik merupakan bidang etika terapan atau etika praktis. Dengan demikian, seperti halnya etika bisnis, etikan pelayanan publik tidak berkaitan dengan perumusan standar-standar etika baru, tetapi berkaitan dengan penggunaan atau penerapan standar-standar etika yang telah ada. Tegasnya, etika pelayanan publik berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip atau standar-standar moral dalam menjalankan tanggung jawab peran aparatur birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan bagi kepentingan publik. Focus utama dalam etika pelayanan publik adalah apakah aparatur pelayanan publik, pegawai negeri, atau birokrasu telah mengambil keputusan dan berperilaku yang dapat dibenarkan dari sudut pandang etika. Karena etika bersangkut paut dengan bagaimana agar manusia mencapai kehidupan yang baik, maka penerapan etika dalam konteks pelayanan publik dimaksudkan agar pelayanan kepada masyarakat oleh aparatur birokrasi benar-benar memenuhi harapan masyarakat tersebut. Sesuai dengan pengertian tersebut, kita dapat mengatakan bahwa beretika dalam konteks pelayanan publik berarti mempertimbangkan cara yang tepat untuk

11

bertindak bagi pegawai negeri sebagai pelayan publik (sehingga biasa disebut dengan abdi negara dan abdi masyarakat) dalam berbagai situasi pelayanan publik. Dengan demikian, etika pelayanan publik harus mencakup prinsip-prinsip, nilai-nilai, standar-standar, atau norma-norma moral (etika) yang harus dijadikan panduan oleh, dan criteria penilaian terhadap aparatur birokrasi atau pegawai negeri dalam menjalankan aktivitasnya di dalam organisasi (internal activities) dan dalam berhubungan dengan pihak-pihak luar, khususnya masyarakat (publik) pengguna layanan birokrasi (external activities). Secara khusus, perhatian pada isu-isu etika dalam pelayanan publik bermuara pada tujuan untuk mewujudkan integeritas dalam pelayanan publik (public service integrity). Integeritas mengacu kepada hubungan yang kuat antara nilai-nilai ideal dan perilaku nyata, dan merupakan syarat pokok bagi pemerintah untuk menyediakan kerangka yang terpercaya dan efektif bagi kehidupan ekonomi dan sosial seluruh warga negara. Pranata dan mekanisme untuk memajukan integritas dipandang sebagai komponen pokok good governance. Dalam konteks pelayanan publik, integritas berarti bahwa: a. Perilaku aparatur pemerintahan (pegawai negeri) sebagai pelayan publik adalah sejalan dengan misi pelayanan publik dari instansi tempat mereka mengabdikan diri. b. Pelaksanaan pelayanan publik sehari-hari dapat diandalkan c. Warga negara memperoleh perlakuan tanpa pandang bulu sesuai dengan ketentuan hukum dan keadilan. d. Prosedur pengambilan keputusan adalah transparansi bagi publik, dan tersedia sarana bagi publik untuk melakukan penyelidikan dan pemberian tanggapan. 5. Relevansi Etika dalam Pelayanan Publik Di sektor manapun, termasuk sektor publik (pemerintahan), ada dua aspek penting yang umumnya diyakini sebagai penentu kinerja prima, yaitu profesionalisme dan etika. Seperti halnya di sektor bisnis, sektor publik juga dituntut untuk mencapai kinerja prima, dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi, produktivitas, dan efektivitas, dan pada saat yang sama dituntut untuk senantiasa menjunjung tinggi standar etika, seperti integritas, objektivitas atau imparsialitas, keadilan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sektor publik, seperti sektor bisnis, dituntut memiliki dua keunggulan, yaitu keunggulan teknis (profesionalisme) dan keunggulan moral (etika). Ada beberapa alasan, baik normatif maupun objektif, yang dapat digunakan untuk

12

menjelaskan relevansi dan makin pentingnya etika dalam birokrasi atau pelayanan publik. a. Etika dan Kehidupan yang Baik Dalam bentuknya yang paling abstrak, etika adalah salah satu cabang filsafat. Etika berkaitan dengan perilaku moral, yaitu produk dari standar moral dan pertimbangan/keputusan moral. Tegasnya, etika berkaitan dengan bagaimana seharusnya kita hidup. Mengambil keputusan tentang bagaimana seharusnya kita hidup adalah fondasi etika. Dengan cara sederhana, kita dapat mengatakan bahwa etika berkenaan dengan bagaimana orang-orang melaksanakan urusan mereka, setiap jam atau setiap hari. Perilaku etis berarti jujur dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Etika berkaitan dengan karya, kinerja, atau prestasi, yang di-karya atau kinerja itulah nama kita melekat. Konsep etika tidak lain adalah sejumlah asumsi dasar yang melandasi hampir semua hubungan dan transaksi di dalam masyarakat. Asumsi-asumsi ini meliputi asumsi-asumsi tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain; apa hak kita dan apa hak orang lain; kapan hak individual kita berakhir dan kapan hak individual orang lain bermula; bagaimana harta milik individu dan masyarakat seharusnya diperlakukan, dan apa yang merupakan perlakuan yang wajar dan adil bagi semua orang. Dengan demikian, etika dapat diartikan secara luas sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan kehidupannya. Pernyataan berikut ini mencerminkan pengertian etika ini Bagaimana saya harus membawa diri dan bersikap?. Perbuatan-perbuatan mana yang harus saya kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil? Pelayanan publik merupakan bidang kehidupan penting yang ditujukan untuk kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam kenyataanya, pelayanan publik mempengaruhi seluruh segi kehidupan warga negara. Oleh sebab itu, sudah selayaknya jika isu-isu atau dimensi etika dimasukkan dalam pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan pelayanan publik. b. Kekuasaan birokrasi Dalam menjalankan fungsinya, birokrasi berkewenangan untuk membuat kebijakan dan melaksanakan kebijakan tersebut. Fungsi ini memberikan kekuasaan birokrasi untuk menafsirkan atau menjabarkan suatu kebijakan ke dalam kegiatan,

13

program atau proyek, yang pada gilirannya mempengaruhi kepentingan dan pelayanan publik. Dalam konteks ini, timbul pertanyaan apakah birokrasi

menjalankan kekuasaan atau kewenangannya tersebut dengan benar, apakah birokrasi tidak menyelewengkan kewenangannya tersebut demi kepentingan selain kepentingan masyarakat. Etika diperlukan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan dan sekaligus sebagai kriteria untuk menilai baik atau buruknya suatu keputusan tersebut. c. Kewibawaan Pemerintah Dimana pun, pemerintahan yang bersih dan berwibawa merupakan dambaan penyelenggara pemerintahan sendiri dan masyarakat secara umum. Kebersihan dan kewibawaan ini pada dasarnya hanya dapat diperoleh jika birokrasi dan pelaksananya bebas dari perilaku negatif atau tercela. Secara kategoris, dimana pun tidak ada pemerintah yang secara resmi menyutujui tindakan dan keputusan yang buruk/tercela para anggotanya. Sementara itu, makin disadari bahwa sumber kewibawaan birokrasi dan aparaturnya bukanlah kekuasaan yang mereka miliki, melainkan kualitas pengabdian mereka kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan perkataan lain, kecintaan rakyat, bukan oleh ketakutan rakyat. Kewibawaan pemerintah tersebut semakin besar jika dalam menjalankan fungsinya, aparatur pemerintahan berpegang teguh pada profesionalisme dan standar moral yang tinggi, seperti cermat, cepat, ramah, berkeadilan, objektif, transparan, dan manusiawi. d. Hak dan Kepatuhan Warga Negara Setiap warga negara berhak untuk memperoleh pelayanan dari pemerintah. Walaupun pelayanan umum dapat disediakan oleh komponen masyarakat selain pemerintah, pemerintahlah yang bertanggung jawab terhadap terselenggaranya pelayanan umum tersebut. Dalam hubungan ini, setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh pelayanan dari negara. Hak ini makin nyata karena negara berkewenangan dalam pengaturan dan pengaturan ini menyebabkan setiap warga negara berkewajiban untuk mematuhinya. Sebagai warga negara, setiap individu tidak bisa menghindar untuk meminta pelayanan ketika memiliki kepentingan tertentu. Senagai contoh, pemerintah mengatur bahwa setiap warga negara yang akan mendirikan bangunan wajib memiliki Ijin Mendirikan Bangungan (IMB). Jadi ketika, kita akan membangun sebuah rumah, kita berkewajiban untuk memperoleh

14

IMB dari pemerintah. Contoh lain, setiap warga negara yang telah mencapai umur tertentu wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sehingga ketika mencapai umur yang ditentukan, seorang warga negara harus berurusan dengan birokrasi untuk memperoleh layanan KTP. Ini berarti pemerintah hatus menyediakan pelayanan IMB, KTP, SIM, keamanan dan sejenisnya, dan kita berhak mendapatkan pelayanan itu ketika kita membutuhkannya. Sudah barang tentu, setiap warga masyarakat mengharapkan akan memperoleh pelayanan dari birokrasi dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan pengorbanan yang mereka lakukan. Etika diperlukan untuk memandu dan menjadi kriteria apakah birokrasi telah menjalankan fungsi pelayanannya sesuai dengan standar teknis dan etis sebagaimana diharapkan oleh warga negara. e. Celah Harapan Masyarakat Sudah menjadi rahasia umum bahwa kinerja pelayanan publik oleh birokrasi kita masih buruk, bahkan sering dikatakan sebagai sangat buruk dan ditinjau dari kriteria pelayanan yang bermutu, tidak satu pun dari kriteria tersebut dapat dipenuhi oleh birokrasi kita. Anekdot-anekdot seperti Kasih amplop (uang) urusan beres, Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah atau Kalau bisa lama kenapa dipercepat dan sejenisnya sering dilontarkan untuk menyebut kualitas atau kinerja pelayanan publik oleh birokrasi. Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah sangat khas yang lazim dikaitkan dengan birokrasi kita. Buruknya kinerja pelayanan publik ini telah menyebabkan sangat rendahnya kepercayaan masyarakat kepada birokrasi, bahkan terhadap pemerintah secara umum. Ini tampak dari tanggapan yang cenderung negatif terhadap sejumlah inisiatif pemerintah (perhatikan, misalnya, proyek busway dan perpanjangan waktu three in one oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta). Sementara itu, selain mengetahui betapa buruknya kinerja birokrasi, masyarakat semakin menyadari dan semakin berani menuntut hak-haknya untuk memperoleh pelayanan yang sesuai. Pada saat ini, masyarakat semakin berani untuk menggunakan hak-hak hukumnya menuntut pertanggung jawaban birokrasi ketika merasa dirugikan atau dilanggar hak-haknya dalam memperoleh pelayanan yang layak dari birokrasi. Semakin hari, semakin kencang tuntutan agar birokrasi efisien dan menghasilkan pelayanan prima (excellent services). Perkembangan kinerja pelayanan yang diperlukan untuk menghindari atau meiadakan risiko tuntutan

15

ini hanya dapat dicapai melalui peningkatan profesionalisme, yaitu peningkatan sarana-prasarana pelayanan dan kompetensi teknis dalam pelayanan yang dilandasi oleh kesadaran dan komitmen terhadap norma-norma moral. Seperti di negara-negara lain, masyarakat kita juga menuntut birokrasi untuk berperilaku etis (dengan standar tinggi) dalam memberikan pelayanan. Pelayanan publik sering dinyatakan sebagai kepercayaan publik (public service is a public trust). Warga negara mengharapkan para abdi negara melayani kepentingan mereka secara berkeadilan dan mengelola sumber daya publik sebaik-baiknya. Pelayanan publik yang adil (fair) dan dapat diandalkan melahirkan kepercayaan publik dan menciptakan suatu lingkungan yang menguntungkan bagi bisnis dan bidang-bidang kehidupan lain umumnya, sehingga memberikan sumbangan kepada berfungsinya pasar dengan baik dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. f. Reformasi Penyelenggaraan Pemerintahan Pegawai negeri (khususnya Pegawai Negeri Sipil) melaksanakan tugas mereka dalam lingkungan yang berubah cepat, dengan sumber daya yang makin terbatas, tuntutan yang meningkat dari warga negara dan pengawasan yang makin besar dari masyarakat. Ditambah dengan kenyataan mengenai buruknya kinerja pelayanan publik, tekanan-tekanan dari arus globalisasi, kemajuan teknologi, demokratisasi, dan penerapan prinsip-prinsip good governance, PNS dituntut untuk menjalankan urusan-urusan pemerintah dengan cara-cara baru yang efektif dan lebih kompleks. Dengan perkataan lain, agar dapat memenuhi tuntutan yang makin berkembang ini, pemerintah harus melakukan reformasi di berbagai bidang administrasinya. Di Indonesia sendiri ada sejumlah inisiatif yang telah dikembangkan dan dilaksanakan, diantaranya, desentralisasi dan otonomi penyelenggaraan pemerintah daerah, penilaian kinerja instansi sesuai dengan kriteria standar pelayanan minimum, dan manajemen berbasis kinerja. Akan tetapi, reformasi ini menimbulkan dampak ikutan terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini hidup dan dianut di lingkungan birokrasi (pelayanan publik). Nilai-nilai baru yang diadopsi, seperti penakanan pada kinerja, produktivitas, efisiensi, dan efektivitas, secara signifikan berbenturan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang secara tradisional berlaku. Dalam situasi seperti ini, peluang terjadinya perilaku menyimpang sangat besar. Sebagaimana telah banyak diungkapkan oleh sejumlah pihak, otonomi daerah di negara ditengarai telah berhasil memperluas wilayah dan memperbesar

16

jumlah pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di dalam birokrasi. Panduan etika, sesuai dengan tuntutan lingkungan yang baru, sangat diperlukan untuk memperjelas harapan dan tuntutan terhadap aparat birokrasi, termasuk laranganlarangan yang harus dipatuhi. Dengan perkataan lain, diperlukan penyesuaianpenyesuaian infrastruktur etika untuk membangun iklim etis yang dapat menjamin keunggulan dalam pelayanan publik dan menjamin terwujudnya misi pelayanan publik. Secara ringkas, relevansi dan makin pentingnya etika dalam pelayanan publik adalah karena fakta bahwa warga negara telah mempercayakan sumber daya publik kepada birokrasi. Pejabat pemerintahan, aparatur birokrasi atau pegawai negeri telah dianggap sebagai pengelola sumber daya dan penjaga kepercayaan khusus yang diamanatkan oleh warga negara. Selain itu, aparatur birokrasi menetapkan juga kebijakan dan mengimplementasikannya, kebijakan dan implementasinya ini mempengaruhi semua bidang kehidupan warga negara. Oleh sebab itu, rakyat, warga negara mengharapkan aparatur birokrasi benar-benar menjadi abdi negara dan abdi masyarakat, menempatakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, mengelola sumber daya publik yang tela dipercayakan secara professional dan menjunjung tinggi standar etika. 6. Sumber-sumber Nilai-nilai Etika Pelayanan Publik Dalam konteks pelaksanaan tugas sebagai aparatur pemerintah yang melaksanakan pelayanan publik, nilai-nilai tertinggi yang seharusnya diacu oleh aparatur pelayanan publik (birokrasi) di Indonesia adalah nilai-niali yang bersumber dari konstitusi (UUD 1945), falsafah negara (Pancasila), dan aturan-aturan khusus yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai acuan perilaku seluruh aparatur pemerintahan yang diantaranya adalah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (tentang Pokok-pokok Kepegawaian), dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 (tentang Peraturan Disiplin PNS). Untuk unit-unit organisasi tertentu, kode etik atau aturan perilaku yang lebih khusus ditetapkan sesuai dengan sifat dan lingkup atau kekhususan tugas unit yang bersangkutan. Sudah barang tentu, karena tergabung dalam wadah KORPRI, maka PNS terikat juga dengan Panca Prasetya KORPRI, sehingga Panca Prasetya KORPRI dapat dipandang sebagai panduan nilai-nilai bagi PNS dalam berperilaku.

17

Perlu diingat, bahwa seorang PNS mungkin juga merupakan anggota suatu profesi. Misalnya, seorang akuntan yang menjadi PNS adalah juga sebagai anggota Ikatan Akuntan Indonesia. Akuntan PNS ini seharusnya tunduk pula pada kode etik dan aturan perilaku yang berlaku di lingkungan profesi akuntansi. Jadi, pada saat yang bersamaan seorang PNS, di samping berperan sebagai pribadi, anggota masyarakat umum, juga berperan sebagai aparatur birokrasi, dan sebagai anggota profesi akuntansi. Dengan demikian, PNS tersebut pada dasarna memiliki tiga sumber acuan etika, yaitu nilai-nilai dan standar etika yang berlaku di masyarakat umum, di lingkungan birokraasi, dan di lingkungan profesi akuntansi. C. Rencana perkuliahan etika profesi PNS Mata kuliah ini menjelaskan tentang pengertian etika, memahami teori-teori etika, pengertian etika profesi, pengertian dan hakekat profesi, pengertian pelayanan publik, etika dan disiplin PNS, hukuman disiplin PNS serta kode etik Kementerian Keuangan. Tujuan umum mata kuliah Etika Profesi Pns ini adalah memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai yang tepat atas penerapan standar etika dalam profesi sebagai PNS. Dengan demikian diharapkan mahasiswa dapat: 1. Meningkatkan kesadaran dan kepekaan terhadap etika profesi PNS dan konsepkonsep yang menyertainya. 2. Meningkatkan kemampuan dalam memecahkan dilema etis di tempat kerja dan di luar tempat kerja. 3. Meningkatkan kesadaran untuk mempraktekkan kode etik yang berlaku di tempat kerja. Mata kuliah Etika Profesi PNS terdiri dari enam belas bab, yaitu: 1. Kuliah Umum I (Pengantar Etika Profesi PNS). Bab ini akan memperlajari: a. Kedudukan mata kuliah Etika Profesi PNS b. Urgensi Etika Profesi PNS dalam reformasi birokrasi c. Rencana perkuliahan Etika Profesi PNS Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah perkuliahan mahasiswa dapat memahami pentingnya mata kuliah Etika Profesi PNS dan gambaran umum tentang pokok-pokok bahasan yang akan disampaikan dalam mata kuliah Etika Profesi PNS. 2. Teori dan Konsep Etika I. Bab ini akan mempelajari: a. Pengertian Etika

18

b. Teori-Teori Etika (Teleologi, Deontologi, Etika Keutamaan) c. Konsep hak, kewajiban, keadilan dan kepedulian Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah memperlajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami teori dan konsep etika. 3. Teori dan Konsep Etika II . Bab ini akan mempelajari: a. Perbedaan etika dan etiket b. Pengertian nilai c. Pengertian norma Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah memperlajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami perbedaan etika dengan etiket serta pengertian nilai dan norma. 4. Etika Profesi. Bab ini akan mempelajari: a. Pengertian profesi dan etika profesi b. Urgensi etika profesi c. Prinsip-prinsip etika profesi Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini

mahasiswa memahami pengertian, urgensi dan prinsip-prinsip etika profesi. 5. Etika Bisnis. Bab ini akan mempelajari: a. Pengertian etika bisnis b. Prinsip-prinsip etika bisnis c. Isu-isu umum etika bisnis Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami beberapa hal tentang etika bisnis agar dapat menjalankan tugasnya. 6. Etika Kepemimpinan. Bab ini akan mempelajari: a. Pengertian etika kepemimpinan b. Urgensi etika kepemimpinan c. Karakter-karakter utama dalam etika kepemimpinan Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami beberapa hal tentang etika kepemimpinan agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai PNS. 7. Etika Pelayanan Publik. Bab ini akan mempelajari: a. Pengertian pelayanan publik

19

b. Prinsip-prinsip etika pelayanan publik c. Netralitas PNS Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami beberapa hal tentang etika pelayanan publik. 8. Etika Kerja. Bab ini akan mempelajari: a. Pengertian etika kerja b. Perbedaan etika kerja dan etika profesi c. Berbagai etika kerja PNS Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami beberapa hal tentang etika kerja. 9. Pokok-Pokok Kepegawaian. Bab ini akan mempelajari: a. Pengertian PNS b. Hak dan kewajiban PNS c. Pembinaan dan jabatan PNS Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami hak dan kewajiban sebagai PNS serta pembinaan dan jabatan-jabatan dalam PNS. 10. Disiplin PNS. Bab ini akan mempelajari: a. Urgensi disiplin PNS b. Larangan-Larangan bagi PNS c. Tingkat dan jenis hukuman PNS Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami tentang aturan-aturan disiplin sebagai PNS. 1. Pengertian Korupsi, Prinsip-Prinsip Anti Korupsi dan Faktor Penyebabnya. Bab ini akan mempelajari: a. Definisi korupsi dan bahayanya b. Prinsip-prinsip anti korupsi c. Faktor penyebab korupsi dan solusinya Tujuan yang ingin dicapai yaitu mahasiswa memahami definisi dan prinsipprinsip anti korupsi serta memahami penyebab terjadinya korupsi. 11. Aturan tentang Anti Korupsi. Bab ini akan mempelajari: a. Berbagai peraturan tentang anti korupsi b. Jenis-jenis korupsi dan sangsinya

20

c. Membentuk karakter anti korupsi Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami aturan-aturan tentang anti korupsi. 12. Jiwa Korps dan Kode Etik. Bab ini akan mempelajari: a. Pengertian dan pembinaan jiwa korps b. Pengertian dan sumber kode etik c. Pengertian dan Aturan Kode Etik PNS Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami urgensi pembentukan jiwa korps PNS dan pembentukan aturan kode etik PNS. 13. Kode Etik Kementerian Keuangan. Bab ini akan mempelajari: a. Pengertian, tugas dan tanggung jawab kementerian Keuangan b. Tugas Pokok dan Fungsi Eselon I Kementerian keuangan c. Aturan Kode Etik Kementerian Keuangan Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami tentang Kode Etik Kementerian Keuangan. 14. Kode Etik pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan. Bab ini akan mempelajari: a. Kode Etik Profesi Akuntan b. Kode Etik Profesi Anggaran c. Kode Etik Profesi Pajak d. Kode Etik Profesi Bea Cukai e. Kode Etik Profesi PPLN f. Kode Etik Profesi Perbendaharaan Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami Kode Etik pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan sesuai dengan spesialisasinya. 15. Kuliah Umum II (Membangun Etos Pribadi). Bab ini akan mempelajari: a. Urgensi memiliki etos pribadi b. Faktor-faktor pendorong perilaku tidak etis c. Cara membentuk etos pribadi Tujuan yang ingin dicapai yaitu setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami cara membangun etos pribadi.

21

Perlu dikemukakan disini bahwa uraian dalam modul ini mengutamakan penekanan praktis yang terutama ditujukan untuk memicu kesadaran dan pemahaman mahasiswa mengenai isu-isu penting yang dapat dijumpai dalam perjalanan karir seorang professional di bidang akuntansi. Selanjutnya, pada akhir modul ini diberikan beberapa contoh soal/kasus yang dapat digunakan untuk diskusi dalam rangka melatih kepekaan dan pemahaman mahasiswa akan isu-isu etis di lingkungan profesi. Untuk memperkaya wawasan mahasiswa, peristiwa-peristiwa sehari-hari yang diliput oleh media massa, misalnya dapat digunakan sebagai tambahan bahan diskusi sesuai dengan pokok

bahasannya. Hal ini membantu mahasiswa dalam menumbuhkan kesadaran dan kepekaan etis yang diperlukan saat-saat ini, sebagai kelompok intelektual.

22

RANGKUMAN

Pengantar etika profesi PNS memperkenalkan etika profesi PNS tersebut, dan sedikit menjelaskan mengenai implikasi dan aplikasi etika profesi PNS pada profesi birokrat. Bab ini menjelaskan bahwa birokrat perlu menjunjung tinggi etika profesi dalam menjalankan tupoksi utamanya yaitu pelayanan publik. Tujuan dituliskannya makalah ini adalah agar kita dapat: 1. Mengetahui tentang peranan dan kebijakan pelayanan publik. 2. Mengetahui etika pelayanan publik. 3. Mengetahui permasalahan pelayanan publik di Indonesia. 4. Mengetahui solusi dari permasalahan pelayanan publik di Indonesia. 5. Mengetahui contoh-contoh pelayanan publik dalam kehidupan sehari-hari. Di sektor manapun, termasuk sektor publik (pemerintahan), ada dua aspek penting yang umumnya diyakini sebagai penentu kinerja prima, yaitu profesionalisme dan etika. Seperti halnya di sektor bisnis, sektor publik juga dituntut untuk mencapai kinerja prima, dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi, produktivitas, dan efektivitas, dan pada saat yang sama dituntut untuk senantiasa menjunjung tinggi standar etika, seperti integritas, objektivitas atau imparsialitas, keadilan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sektor publik, seperti sektor bisnis, dituntut memiliki dua keunggulan, yaitu keunggulan teknis (profesionalisme) dan keunggulan moral (etika). Ada beberapa alasan, baik normatif maupun objektif, yang dapat digunakan untuk menjelaskan relevansi dan makin pentingnya etika dalam birokrasi atau pelayanan publik. Secara ringkas, relevansi dan makin pentingnya etika dalam pelayanan publik adalah karena fakta bahwa warga negara telah mempercayakan sumber daya publik kepada birokrasi. Pejabat pemerintahan, aparatur birokrasi atau pegawai negeri telah dianggap sebagai pengelola sumber daya dan penjaga kepercayaan khusus yang diamanatkan oleh warga negara. Selain itu, aparatur birokrasi menetapkan juga kebijakan dan mengimplementasikannya, kebijakan dan implementasinya ini mempengaruhi semua bidang kehidupan warga negara. Oleh sebab itu, rakyat, warga negara mengharapkan aparatur birokrasi benar-benar menjadi abdi negara dan abdi masyarakat, menempatakan kepentingan publik di atas kepentingan

23

pribadi, mengelola sumber daya publik yang tela dipercayakan secara profesional dan menjunjung tinggi standar etika. Mata kuliah ini menjelaskan tentang pengertian etika, memahami teori-teori etika, pengertian etika profesi, pengertian dan hakekat profesi, pengertian pelayanan publik, etika dan disiplin PNS, hukuman disiplin PNS serta kode etik Kementerian Keuangan. Tujuan umum mata kuliah Etika Profesi PNS ini adalah memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai yang tepat atas penerapan standar etika dalam profesi sebagai PNS. Dengan demikian diharapkan mahasiswa dapat: 1. Meningkatkan kesadaran dan kepekaan terhadap etika profesi PNS dan konsepkonsep yang menyertainya. 2. Meningkatkan kemampuan dalam memecahkan dilema etis di tempat kerja dan di luar tempat kerja. 3. Meningkatkan kesadaran untuk mempraktekkan kode etik yang berlaku di tempat kerja.

LATIHAN 1. Apakah pelayanan kepada publik perlu ditingkatkan? jelaskan 2. Sebutkan tiga jenis pelayanan publik berdasarkan organisasi yang

menyelenggarakannya 3. Sebutkan ciri-ciri pelayanan publik yang profesional 4. Mengapa diperlukan adanya standard operating procedures (sop)? 5. Apa yang dimaksud dengan kompetensi pns? 6. Jelaskan definisi dari kode etik pns 7. Sebutkan aspek-aspek dalam standar penilaian kinerja 8. Jelaskan pengertian birokrasi menurut max weber 9. Jelaskan pengertian reformasi birokrasi secara umum 10. Terdapat dua fungsi pokok pemerintahan negara yang pelaksanaannya diserahkan kepada birokrasi. Sebutkan dan jelaskan kedua fungsi tersebut 11. Jelaskan pengertian integritas dalam konteks pelayanan publik 12. Jelaskan secara ringkas relevansi pentingnya etika dalam pelayanan publik

24

BAB

TEORI DAN KONSEP ETIKA I _____________________________________________________


Tujuan Instruksional Khusus :

Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa memahami Pengertian Etika, Teori-Teori Etika (Teleologi, Deontologi, Etika Keutamaan), Konsep hak, kewajiban, keadilan dan kepedulian

___

A. Pengertian Etika Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, ethikos, berarti timbul dari kebiasaan. Etika memiliki banyak makna antara lain: 1. Semangat khas kelompok tertentu, misalnya ethos kerja, kode etik kelompok profesi. 2. Norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan masyarakat tertentu mengenai perbuatan yang baik dan benar. 3. Studi tentang prinsip-prinsip perilaku baik dan benar sebagai falsafat moral. Etika sebagai refleksi kritis dan rasional tentang norma-norma yang terwujud dalam perilaku hidup manusia. 4. Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika juga memiliki pengertian arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. 1. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. 2. Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. 3. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspektasi) profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa

25

profesi secara wajar, jujur, adil, profesional, dan terhormat. 4. Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit. 5. Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersama dan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Menurut K. Bertens, etika bisnis adalah pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang perilaku manusia yang penting. Menurut K. Bertens, ada 3 tujuan yang ingin dicapai dalam pengajaran etika bisnis, yaitu : 1. Menanamkan atau meningkakan kesadaran akan adanya dimensi etis dalam bisnis. Menanamkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan bila kesadaran itu sudah ada, tapi masih lemah dan ragu. Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa etika merupakan segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan perhatian serius. 2. Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis, serta membantu pebisnis/calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral yang tepat. Dalam etika sebagai ilmu, bukan hanya penting adanya norma-norma moral, tidak kalah penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui studi etika diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis. 3. Membantu pebisnis/calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat didalam profesinya (kelak). Hal ketiga ini memunculkan pertanyaan, apakah studi etika ini menjamin seseorang akan menjadi etis juga? Jawabnya, sekurang-kurangnya meliputi dua sisi

26

berikut, yaitu disatu pihak, harus dikatakan: etika mengikat tetapi tidak memaksa. Disisi lain, studi dan pengajaran tentang etika bisnis boleh diharapkan juga mempunyai dampak atas tingkah laku pebisnis. Untuk melengkapi tentang etika, perlu juga ditambahkan tentang apa yang sebenarnya bukan etika (What ethics is not). Salah seorang tokoh etika, Peter Singer menerangkan sebagai berikut: 1. Etika bukan seperangkat larangan khusus yang hanya berhubungan dengan perilaku seksual. 2. Etika bukan sistem yang ideal, luhur dan baik dalam teori, namun tidak ada gunanya dalam praktek. Agaknya, penilaian demikianlah yang apriori diberikan oleh masyarakat jika ada kasus kejadian klinis. 3. Etika bukan sesuatu yang hanya dapat dimengerti dalam konteks agama. Ini tentulah pemikiran sekuler. Menurut ajaran agama, sesuatu yang secara moral 'baik' adalah sesuatu yang sangat disetujui dan disenangi Tuhan. Sedangkan Singer berpendapat (sama dengan Plato 2000 tahun sebelumnya), suatu perbuatan manusia adalah baik karena disetujui Tuhan, bukan sebaliknya karena disetujui Tuhan perbuatan itu menjadi baik. Kontradiksi pendapat tentang ini sudah berlangsung berabad-abad, dan mungkin akan berlangsung terus. 4. Etika bukan sesuatu yang relatif atau subjektif. Sangkalan Singer terhadap anggapan keempat ini tidak dijelaskan lebih lanjut disini, karena elaborasinya dari sudut historis dan falsafah yang panjang dan rumit. B. Tiga Bagian Utama Etika Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika). 1. Meta-Etika (Studi Konsep Etika). Meta-Etika sebagai suatu jalan menuju konsepsi atas benar atau tidaknya suatu tindakan atau peristiwa. Dalam meta-etika, tindakan atau peristiwa yang dibahas dipelajari berdasarkan hal itu sendiri dan dampak yang dibuatnya. Sebagai contoh,"Seorang anak menendang bola hingga kaca jendela pecah." Secara meta-etis, baik-buruknya tindakan tersebut harus dilihat menurut sudut pandang yang netral. Pertama, dari sudut pandang si anak, bukanlah suatu kesalahan apabila ia menendang bola ketika sedang bermain, karena memang

27

dunianya (dunia anak-anak) memang salah satunya adalah bermain, apalagi ia tidak sengaja melakukannya. Akan tetapi kalau dilihat dari pihak pemilik jendela, tentu ia akan mendefinisikan hal ini sebagai kesalahan yang telah dibuat oleh si anak. Si pemilik jendela berasumsi demikian karena ia merasa dirinya telah dirugikan. Bagaimanapun juga hal-hal seperti ini tidak akan pernah menemui kejelasannya hingga salah satu pihak terpaksa kalah atau mungkin masalah menjadi berlarut-larut. Mungkin juga kedua pihak dapat saling memberi maklum. Menyikapi persoalan-persoalan yang semacam inilah, maka meta-etika dijadikan bekal awal dalam mempertimbangkan suatu masalah, sebelum penetapan hasil pertimbangan dibuat. 2. Etika Normatif (Studi Penentuan Nilai Etika). Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat. 3. Etika Terapan (Studi Penggunaan Nilai-Nilai Etika). Etika terapan memberi pemahaman tentang spektrum bidang terapan etika sekaligus menunjukkan bahwa etika merupakan pengetahuan praktis. Berbagai bidang terapan di antaranya adalah bidang kesehatan, tanggung-jawab sosial perusahaan atau yang biasa dikenal dengan istilah Inggris Corporate Social Responsibility (CSR), pengolahan tanah, dan masih banyak lainnya. C. Sejarah Etika Etika termasuk dalam ruang lingkup sejarah peradaban dan etnologi. Sejarah etika menekankan pada berbagai sistem filosofis yang dalam perjalanan waktu telah dielaborasi dengan mengacu pada tatanan moral. Oleh karena itu, pendapat yang dikemukakan oleh orang-orang bijak zaman dahulu, seperti Pythagoras (582-500 SM), Heraclitus (535-475 SM), Konfusius (558-479 SM), nyaris milik sejarah etika, karena, meskipun mereka mengusulkan berbagai kebenaran moral dan prinsipprinsip, mereka melakukannya dengan cara yang dogmatis, tidak secara filosofissistematis. Istilah etika pertama kali dipakai oleh orang Yunani, yaitu dalam pengajaran Socrates (470-399 SM).

28

1.

Etika filosof Yunani Kuno: Socrates, Plato, Aristoteles. Menurut Sokrates, objek utama dari aktivitas manusia adalah kebahagiaan,

dan sarana yang diperlukan untuk mencapainya adalah kebajikan. Karena semua orang selalu mencari kebahagiaan, tidak ada orang yang sengaja korup. Segala kejahatan muncul dari kebodohan, dan kebajikan adalah kehati-hatian. Oleh karena itu kebajikan bisa diberikan lewat instruksi. Murid Socrates, Plato (427-347 SM) menyatakan bahwa summum bonum terdiri atas imitasi sempurna dari Tuhan, baik yang mutlak, tiruan yang tidak dapat diwujudkan sepenuhnya dalam hidup ini. Kebajikan memungkinkan manusia untuk memerintah sesuai keinginannya, karena ia harus benar, sesuai dengan perintah akal budi, dan dengan bertindak demikian ia menjadi seperti Tuhan. Tetapi Plato berbeda dari Socrates, ia tidak menganggap kebajikan terdiri dari kebijaksanaan saja, tetapi juga keadilan, kesederhanaan, dan ketabahan. Kebajikan merupakan harmoni yang tepat dari kegiatan manusia. Aristoteles (384-322 SM), harus dianggap sebagai pendiri nyata etika sistematis. Dengan karakteristik ketajaman ia membahas etika dan politik. Sebagian besar masalah yang menyangkut etika itu sendiri. Tidak seperti Plato, yang mulai dengan ide-ide sebagai dasar pengamatan, Aristoteles lebih memilih untuk mengambil fakta-fakta pengalaman sebagai titik awalnya, menganalisis secara akurat, dan berusaha untuk melacak penyebab tertinggi dan utama. Dia berangkat dari titik bahwa semua orang cenderung untuk kebahagiaan sebagai objek akhir dari semua usaha mereka, sebagai kebaikan tertinggi, yang dicari demi dirinya sendiri, dan semua barang lainnya hanya berfungsi sebagai sarana. Kebahagiaan ini tidak terdapat dalam barang-barang eksternal, tetapi hanya dalam aktivitas yang tepat untuk sifat manusia. Kegiatan ini harus dilaksanakan dalam kehidupan yang sempurna dan abadi. Kesenangan tertinggi secara alami terikat dengan kegiatan ini, tetapi untuk membentuk kebahagiaan yang sempurna, barang-barang eksternal juga harus ada. Kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui usaha sendiri. Dengan penetrasi yang tajam dari Aristoteles dan hasil penyelidikan kebajikan intelektual dan moral, teorinya dianggap benar oleh sebagian besar orang. Satu-satunya yang kurang adalah bahwa visinya tidak menembus melampaui kehidupan duniawi ini, dan bahwa ia tidak pernah melihat dengan jelas hubungan manusia dengan Tuhan.

29

2.

Etika Filosof Yunani dan Romawi: Hedonisme, Epicurus, Sinis, Stoicisme,

Skeptis. Sebuah gilirannya etika lebih hedonistik (edone, "kenikmatan") dimulai dengan Democritus (460-370 SM), yang menganggap disposisi gembira dan ceria sebagai kebaikan dan kebahagiaan tertinggi manusia. Sensualisme murni atau Hedonisme pertama kali diajarkan oleh Aristippus dari Kirene (435-354 SM), menurut kesenangan adalah akhir dari kebaikan tertinggi usaha manusia. Epicurus (341-270 SM) berbeda dari Aristippus dalam prinsip bahwa jumlah total terbesar yang mungkin dari kenikmatan spiritual dan sensual adalah hal yang tertinggi yang dapat dicapai manusia. Kebajikan adalah norma direktif yang tepat dalam attainment akhir ini. Para Sinis, Antisthenes (444-369 SM) dan Diogenes dari Sinope (414-324 SM), mengajarkan kebalikan dari Hedonisme, yaitu bahwa kebajikan saja sudah cukup untuk kebahagiaan, bahwa kesenangan adalah kejahatan, dan bahwa manusia benar-benar bijaksana atas hukum manusia. Ajaran ini segera berubah menjadi kesombongan dan penghinaan terbuka untuk hukum dan untuk sisa manusia (Sinisme). Kaum Stoa, Zeno (336-264 SM) dan murid-muridnya, Cleanthes, Chrysippus, dan lain-lain, berusaha untuk memperbaiki dan menyempurnakan pandangan Antisthenes. Kebajikan, menurut mereka, dalam hidup manusia sesuai dengan perintah rasional, dan, seperti alam setiap individu seseorang hanyalah bagian dari tatanan alam keseluruhan. oleh karena itu, kebajikan adalah perjanjian yang harmonis dengan Tuhan, yang membentuk keseluruhan alam. Seperti apakah hubungan Tuhan dengan dunia dalam pandangan mereka, panteistik atau rasa teistik, tidak seluruhnya jelas. Stoa Romawi, Seneca (4 SM - AD 65), Epictetus (lahir sekitar tahun 50), dan Kaisar Marcus Aurelius (AD 121-180). Cicero (106-43 SM) menguraikan tidak ada sistem filsafat baru miliknya sendiri, tetapi memilih pandangan-pandangan tertentu dari berbagai sistem filsafat Yunani yang tampaknya terbaik menurutnya. Dia menyatakan bahwa kebaikan moral, yang merupakan objek umum dari semua kebajikan, ada di dalam manusia sebagai makhluk rasional yang berbeda dari makhluk buas. Tindakan sering baik atau buruk, adil atau tidak adil, bukan karena institusi atau kebiasaan manusia, tetapi sifat mereka. Cicero memberikan sebuah eksposisi lengkap dari kebajikan kardinal dan kewajiban terhubung dengan mereka. Ia bersikeras terutama pada devosi kepada dewa-dewa, yang tanpanya masyarakat

30

manusia tidak bisa ada. Sistem etika Yunani dan Romawi berjalan atas kecenderungan skeptis, yang menolak hukum moral alam, dasar seluruh tatanan moral pada kebiasaan atau kesewenang-wenangan manusia, dan membebaskan orang bijak dari ketaatan pada ajaran biasa dari tatanan moral. Kecenderungan ini dilanjutkan oleh kaum Sofis. 3. Etika: Sejarah Moralitas Kristen. Paganisme kuno tidak pernah memiliki konsep yang jelas dan pasti tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, kesatuan umat manusia, nasib manusia, serta sifat dan makna dari hukum moral. Kristen menjelaskan penuh pertanyaan ini dan pertanyaan lain yang sejenis. Seperti Santo Paulus mengajarkan (Roma, ii, 24 persegi), Tuhan telah menulis hukum moral di hati semua orang, bahkan yang berada di luar pengaruh Wahyu Kristen; hukum ini memanifestasikan dirinya dalam hati nurani setiap orang dan adalah norma yang menurut seluruh umat manusia akan dinilai pada hari perhitungan. Corse ini segera diadopsi dalam periode awal, seperti Yustinus Martir, Irenaeus, Tertullian, Clement dari Alexandria, Origenes, Ambrosius, Hieronimus, dan Agustinus. Mereka yang mengeksposisi dan membela kebenaran Kristen,

memanfaatkan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh para filsuf pagan. Hal ini terutama berlaku St Agustinus, yang melanjutkan untuk benar-benar

mengembangkan sepanjang garis filosofis dan untuk menetapkan dengan tegas sebagian besar kebenaran moralitas Kristen. Hukum abadi (lex aterna), jenis asli dan sumber dari segala hukum temporal, hukum alam, hati nurani, tujuan akhir manusia, kebajikan kardinal, dosa, pernikahan, dll diperlakukan oleh dia di paling jelas dan tajam cara. 4. Etika: Sejarah Filsafat Abad Pertengahan Etika. Sebuah garis tajam pemisahan antara filsafat dan teologi, dan khususnya antara etika dan teologi moral, pertama kali bertemu dengan dalam karya-karya terpelajar besar Abad Pertengahan, khususnya Albert (1193-1280) Besar, Thomas Aquinas (1225 -1274), Bonaventura (1221-1274), dan Duns Scotus (1274-1308). Pada fondasi diletakkan filsuf dan teolog Katolik yang berhasil terus membangun. Abad keenam belas ditandai dengan kebangkitan kembali pertanyaan etis, meskipun sebagian besar dijawab melalui teologi. Contoh teolog besar adalah Victoria, Dominicus Soto, L. Molina, Suarez, Lessius, dan De Lugo. Sejak abad

31

keenam belas jurusan etika (filsafat moral) telah didirikan di banyak universitas Katolik. Yang lebih besar, karya-karya filosofis murni tentang etika, namun tidak muncul sampai abad ketujuh belas dan kedelapan belas, sebagai contoh yang dapat kita contoh produksi Ign. Schwarz, "Instituitiones juris et universalis Naturae Gentium" (1743). 5. Etika: Sejarah Filsafat Etika 1500-1700-an. Para Reformator benar-benar memegang teguh kesucian sebagai sumber wahyu yang sempurna. Melanchthon, dalam bukunya "Elementa philosophiae moralis", masih melekat pada filosofi Aristotel, maka apakah Hugo Grotius, dalam karyanya, "De jure belli et Pacis" juga sama. Thomas Hobbes (1588-1679) mengandaikan bahwa manusia awalnya dalam kondisi kasar (Naturae status) di mana setiap orang bebas untuk bertindak saat dia senang, dan memiliki hak untuk semua hal, sehingga muncul perang semua melawan semua. Para penganut panteisme Spinoza Baruch (1632-1677)

menganggap insting untuk mempertahankan diri sebagai dasar kebajikan. Setiap makhluk diberkahi dengan dorongan yang diperlukan untuk menyatakan diri sebagai alasan tuntutan tidak bertentangan dengan alam, membutuhkan masing-masing untuk mengikuti dorongan ini dan sesak nafas setelah apapun yang berguna baginya. Kebebasan akan terdiri hanya dalam kemampuan untuk mengikuti dorongan alami unrestrainedly ini. Shaftesbury (1671-1713) mendasarkan etika pada kasih sayang atau kecenderungan manusia. Ada kecenderungan simpatik, idiopatik, dan tidak wajar. Yang pertama dari hal ini kepentingan umum, kedua kebaikan pribadi agen, ketiga menentang yang lainnya. Untuk menjalani kehidupan moral yang baik, perang harus dilancarkan pada impuls yang tidak wajar, sedangkan kecenderungan idiopathetic dan simpatik harus dilakukan untuk menyelaraskan. Keselarasan ini merupakan kebajikan. Dalam pencapaian kebajikan prinsip subjektif dari

pengetahuan adalah moralitas. Teori moralitas dikembangkan lebih lanjut oleh Hutcheson (1694-1747); sedangkan "akal sehat" disarankan oleh Thoms Reid (17101796) sebagai norma tertinggi perilaku moral. Di Perancis para filsuf materialistik abad kedelapan belas, seperti Helvetius, de la Mettrie, Holbach, Condillac, dan lainlain, menyebarluaskan ajaran sensualisme dan Hedonisme sebagaimana yang dipahami oleh Epicurus.

32

6.

Sejarah Filsafat Etika: Kant, John Stuart Mill, Altruisme. Sebuah revolusi lengkap dalam etika diperkenalkan oleh Immanuel Kant

(1724-1804). Dari bangkai alasan teoretis murni ia berpaling untuk penyelamatan untuk alasan praktis, dimana dia menemukan hukum, mutlak moral universal, dan kategoris. Hukum ini tidak harus dipahami sebagai otoritas eksternal, karena ini akan heteromony yang asing bagi moralitas sejati, melainkan lebih merupakan hukum akal kita sendiri, yang otonom yaitu, harus diamati untuk kepentingan sendiri, tanpa memperhatikan setiap kesenangan atau utilitas yang timbul darinya. Para pengikut Kant telah memilih satu doktrin lain dari etika dan gabungan berbagai sistem bersifat panteisme dengannya. Fichte tempat tertinggi manusia yang baik dan nasib di spontaniety mutlak dan kebebasan; Schleiermacher, dalam kooperasi dengan peradaban umat manusia progresif. Sebuah pandangan yang mirip berulang secara substansial dalam tulisan-tulisan Wilhelm Wundt dan, sampai batas tertentu, dalam orang-orang pesimis, Edward von Hartmann, meskipun budaya menganggap yang terakhir dan kemajuan hanya sebagai sarana untuk tujuan akhir, yang menurutnya, terdiri dari memberikan Mutlak dari siksaan eksistensi. Sistem Cumberland, yang mempertahankan kepentingan umum umat manusia untuk menjadi akhir dan kriteria perilaku moral, diperbaharui secara positif dalam abad kesembilan belas oleh Auguste Comte dan memiliki banyak pengikut menghitung, misalnya, di Inggris, John Stuart Mill, Henry Sidgwick, Alexander Bain, di Jerman, GT Fechner, F. E. Beneke, F. Paulsen, dan lain-lain. Herbert Spencer (1820-1903) berusaha untuk efek kompromi antara Utilitarianisme sosial (Altruisme) dan Utilitarianisme swasta (Egoisme) sesuai dengan teori evolusi. Menurutnya, perilaku yang baik yang berfungsi untuk meningkatkan kehidupan dan kesenangan. Karena kurangnya adaptasi manusia dengan kondisi kehidupan, kebaikan mutlak seperti perilaku belum mungkin, dan berbagai kompromi harus dibuat antara Altruisme dan Egoisme. Dengan kemajuan evolusi kondisi yang ada akan menjadi lebih sempurna, dan akibatnya manfaat yang diperoleh individu dari perilaku sendiri akan sangat berguna bagi masyarakat luas. Secara khusus, simpati (dalam sukacita) akan memungkinkan kita untuk mengambil kesenangan dalam tindakan altrusitic. 7. Etika: Filsafat Evolusioner, Sosialisme, Nietzsche. Sebagian besar non-Kristen filsuf moral telah mengikuti jalan yang dilalui Spencer. Dimulai dengan asumsi bahwa manusia, oleh serangkaian transformasi,

33

secara bertahap berevolusi dari makhluk buas itu, dan karena itu berbeda dari dalam gelar saja, mereka mencari jejak pertama dan awal dari ide-ide moral dalam kasar itu sendiri. Charles Darwin telah melakukan beberapa pekerjaan persiapan sepanjang jalan, dan Spencer tidak ragu untuk belajar brute-etika, pada keadilan pra-manusia, hati nurani, dan pengendalian diri kasar. Hari Evolusionis mengikuti pandangannya dan berusaha untuk menunjukkan bagaimana moralitas hewan telah dalam manusia terus menjadi lebih sempurna. Dengan bantuan analogi diambil dari etnologi, mereka menceritakan bagaimana awalnya umat manusia berjalan di atas muka bumi secara semi-biadab, tidak tahu tentang pernikahan, dan hanya dengan derajat mencapai tingkat yang lebih tinggi moralitas. Sebagai evolusionis, demikian juga Sosialis mendukung teori evolusi dari sudut pandang etika mereka, namun yang terakhir tidak mendasarkan pengamatan mereka pada prinsip-prinsip ilmiah, tetapi pada pertimbangan sosial dan ekonomi. Menurut K. Marx, F. Engels, dan eksponen lain dari "penafsiran materialistik dari sejarah" yang disebut, semua, moral religius, konsep-konsep yuridis dan filosofis tapi refleks kondisi ekonomi masyarakat di benak pria. Sekarang ini hubungan sosial tunduk kepada perubahan konstan; maka ide-ide moralitas, agama, dll juga terus berubah. Oleh karena itu, tidak ada kode universal moralitas yang mengikat semua manusia pada segala waktu. Manusia berbeda satu sama lain dan selalu berubah, dan mereka melihat dunia dengan cara mereka sendiri. Apalagi keputusan yang dikeluarkan pada masalah-masalah agama dan moral hakiki tergantung pada kecenderungan, minat, dan karakter dari penilaian orang, sedangkan yang terakhir ini terus-menerus bervariasi. Pragmatisme berbeda dari Relativisme, bahwa tidak hanya dianggap benar yang terbukti oleh pengalaman untuk menjadi berguna. Oleh karena hal yang sama tidak selalu berguna, kebenaran tidak mungkin berubah. Menurut Max Nordau, ajaran moral tidak lain hanyalah "kebohongan konvensional". Nietzsche pencetus sekolah yang doktrin yang didirikan pada prinsipprinsip ini. Menurutnya, kebaikan awalnya diidentifikasi dengan kemuliaan dan budi peringkat. Proletariat bawah diinjak. Dengan demikian muncul pertentangan antara moralitas dan budak. Mereka yang berkuasa masih terus memandang

kecenderungan egoistik mereka sendiri sebagai mulia dan baik, sementara rakyat memuji "naluri kawanan umum", yaitu semua qulaities diperlukan dan berguna untuk keberadaannya - seperti kesabaran, ketaatan kelemahlembutan, dan cinta sesama.

34

Kelemahan menjadi kebaikan, mengernyit merendahkan diri menjadi rendah hati, tunduk kepada penindas membenci adalah ketaatan, pengecut berarti kesabaran. "Moralitas adalah satu penipuan panjang dan berani." Oleh karena itu, nilai melekat pada konsep yang berlaku moralitas harus seluruhnya ulang. Superioritas intelektual di luar kebaikan dan kejahatan seperti yang dipahami dalam pengertian tradisional. Tidak ada order moral yang lebih tinggi yang orang-orang kalibrasi tersebut setuju. Akhir dari masyarakat bukanlah kebaikan bersama anggotanya. Aristokrasi intelektual adalah akhir sendiri. Seperti bersandar dengan masing-masing individu untuk memutuskan siapa yang milik ini aristokrasi intelektual, sehingga setiap orang bebas untuk membebaskan diri dari tatanan moral yang ada. D. Teori Etika Sejumlah teori dan konsep etika telah dikembangkan oleh beberapa filsuf atau pemikir dalam bidang etika. Pembelajaran teori etika tersebut untuk memperoleh kemudahan dalam mengupas persoalan etika dan sebagai panduan untuk menentukan benar atau salahnya suatu tindakan, keputusan dan kebijakan. 1. Teori Teleleologi. Dalam buku karangan Kusmanadji (2004, II-1-II-2) dikemukakan bahwa teori teleleologi disebut juga teori konsekuensialis, menyatakan bahwa nilai moral suatu tindakan ditentukan semata-mata oleh konsekuensi tindakan tersebut. Benar atau salahnya tindakan ditentukan oleh hasil atau akibat dari tindakan tersebut. Maka, yang menyebabkan tindakan itu benar atau salah adalah bukan tindakan itu sendiri melainkan akibat dari tindakan tersebut. Akibat dalam hal ini adalah konsekuensi baik. Oleh karena itu, kebaikan merupakan konsep fundamental dalam teori teleleologi. Menurut Aristoteles, Etika teleologis atau Etika Aristoteles, yakni etika yang mengukur benar/salahnya tindakan manusia dari menunjang tidaknya tindakan tersebut ke arah pencapaian tujuan (telos) akhir yang ditetapkan sebagai tujuan hidup manusia. Setiap tindakan menurut Aristoteles diarahkan pada suatu tujuan, yakni pada yang baik (agathos). Yang baik adalah apa yang secara kodrati menjadi arah tujuan akhir (causa finalis) adanya sesuatu. Yang baik yang menjadi tujuan akhir hidup manusia menurut dia adalah kebahagiaan atau kesejahteraan (eudaimonia). Itulah sebabnya teori etikanya sering disebut sebagai teori etika Eudaimonisme.

35

Dalam buku karangan Ucok Sarimah (2008, 5-6) membedakan teori teleleologi menjadi 3, yaitu: a. Egoisme Etis Suatu tindakan benar atau salah tergantung semata-mata pada baik buruknya akibat tindakan tersebut bagi pelakunya. b. Altruisme Etis Berlawanan dengan egoisme etis, bahwa baik buruknya suatu tindakan ditentukan oleh baik buruknya akibat tindakan tersebut terhadap orang lain, kecuali pelaku. c. Utilitarianisme Gabungan antara egoisme etis dan altruisme etis, bahwa benar salahnya tindakan tergantung pada baik buruknya konsekuensi tindakan tersebut bagi siapa saja yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut. Dari ketiga teori tersebut, teori teleleologi yang sangat menonjol adalah utilitarianisme yang biasanya dihubungkan dengan filsuf Inggris, Jeremy Betham dan John Stuart Mill. Sesuai dengan namanya utilitarisme berasal dari kata utility dengan bahasa latinnya utilis yang artinya bermanfaat dalam mengukur baik dan buruk. Kebaikan didefinisikan sebagai kesenangan sedangkan keburukan didefinisikan sebagai kesedihan. Bentuk klasik utilitarianisme dinyatakan sebagai berikut: Suatu tindakan adalah benar jika dan hanya jika tindakan itu menghasilkan selisih terbesar kesenangan di atas kesedihan bagi setiap orang. Dalam buku karangan Kusmanadji (2004, 2), Utilitarianisme mencakup empat prinsip, yaitu: 1) Konsekuensialisme. Prinsip yang berpendiran bahwa kebenaran tindakan ditentukan semata-mata oleh konsekuensinya. 2) Hedonisme. Manfaat (utility) dalam teori ini didefinisikan sebagai kesenangan dan tidak adanya kesedihan. Hedonisme adalah prinsip bahwa kesenangan dan hanya kesenanganlah yang merupakan perbuatan tertinggi. 3) Maksimalisme. Tindakan yang benar adalah tindakan yang tidak hanya memiliki konsekuensi berupa beberapa kebaikan, tetapi juga jumlah terbesar konsekuensi baik setelah memperhitungkan konsekuensi buruk. 4) Universalisme. Konsekuensi yang harus dipertimbangkan adalah konsekuensi bagi setiap orang.

36

Utilitarianisme Klasik dan Utilitarianisme Pluralistik Utilitarianisme Klasik mendefinisikan kebaikan tertinggi adalah kesenangan (pleasure) dan keburukan tertinggi adalah keburukan (plain) dan semua tindakan harus dievaluasi dengan ukuran kesenangan dan kesedihan yang dihasilkan bagi semua orang yang dipengaruhi. Utilitarianisme Pluralistik disebut juga utilitarianisme dalam arti luas yaitu dengan mengartikan kebaikan sebagai kesejahteraan umat manusia. Apapun yang menjadikan umat manusia secara umum lebih baik atau memberikan manfaat adalah kebaikan , dan apapun yang menyebabkan umat manusia menjadi lebih buruk atau menimbulkan kerugian adalah keburukan. Utilitarianisme Tindakan dan Utilitarianisme Aturan Utilitarianisme Tindakan berpendirian bahwa dalam semua situasi seseorang seharusnya melakukan tindakan yang memaksimalkan manfaat (utility) bagi semua orang yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut. Dapat pula dinyatakan suatu tindakan adalah benar jika dan hanya jika tindakan itu menghasilkan selisih terbesar dari kebaikan atas keburukan bagi setiap orang. Utilitarianisme Aturan berpendirian bahwa manfaat dapat diperhitungkan pada kelompok-kelompok tindakan, bukan pada masing-masing tindakan secara individual. Dapat pula dinyatakan suatu tindakan adalah benar jika dan hanya jika tindakan itu sesuai dengan seperangkat aturan yang keberterimaannya secara umum akan menghasilkan selisih terbesar dari kebaikan atas keburukan bagi setiap orang. Meski pun sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti utilitarisme secara teoritis tidak memiliki masalah. Jika semua yang dikategorikan sebagai baik hanya diperoleh dari manfaat terbanyak bagi orang terbanyak, maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada anjing gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang menyarankan anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya menyarankan dibunuh. Penganut utilitarisme akan menjawab tentu yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan? Apakah mereka harus menerima itu begitu saja? Kalau menurut teori ini YA. Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia? Bukan tidak mungkin hal ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam perkembangan peradaban

37

ada sejarah diskriminasi ras mau pun etnis. Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa sebelum tahun 1997 tampaknya tidak terdengar asing lagi di telinga. Salah satu sebab mereka didiskriminasikan karena mereka minoritas, dan mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini dibenarkan selama diskriminasi membawa manfaat. Kelebihannya adalah ketika berkenaan dengan bisnis dan keuangan. Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai tinjauan atas keputusan yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan yang ada kebanyakan adalah angkaangka, jadi keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan jumlah terbanyak bagi manfaat terbanyak. 2. Teori Deontologi. Menurut Teori Deontologi perbuatan tertentu adalah benar bukan karena manfaat bagi kita sendiri atau orang lain tetapi karena sifat atau hakikat perbuatan itu sendiri atau kaidah yang diikuti untuk berbuat. Dalam buku karangan Ucok Sarimah (2008, 6) dalam kaitannnya dengan teori deontologi dikenal: a. Deontologi Tindakan Menurut teori ini, bila seseorang dihadapkan pada situasi dimana harus mengambil keputusan, seseorang harus segera memahami apa yang harus dilakukan tanpa mendasarkan pada peraturan atau pedoman. b. Deontologi Kaidah Suatu tindakan benar atau salah karena kesesuaian atau tidak sesuainya dengan suatu prinsip moral yang benar. c. Deontologi Monistik Teori ini mendukung suatu kaidah umum seperti the golden rule sebagi prinsip moral tertinggi yang menjadi dasar untuk menurunkan kaidah atau prinsipprinsip moral lainnya. d. Deontologi Pluralistik Teori ini dikemukakan oleh William David Ross yang mengidentifikasi tujuh kewajiban moral pada pandangan pertama (prime face). Teori deontologi sebenarnya sudah ada sejak periode filsafat Yunani Kuno, tetapi baru mulai diberi perhatian setelah diberi penjelasan dan pendasaran logis oleh filsuf Jerman yaitu Immanuel Kant. Kata deon berasal dari Yunani yang artinya kewajiban. Sudah jelas kelihatan bahwa teori deontologi menekankan pada

38

pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban berarti sudah melakukan kebaikan. Deontologi tidak terpasak pada konsekuensi perbuatan, dengan kata lain deontologi melaksanakan terlebih dahulu tanpa memikirkan akibatnya. Berbeda dengan utilitarisme yang mempertimbangkan hasilnya lalu dilakukan perbuatannya. Lalu apa itu kewajiban menurut deontologi? Sulit untuk mendefinisikannya namun pemberian contoh mempermudah dalam memahaminya. Misalnya, tidak boleh menghina, membantu orang tua, membayar hutang, dan tidak berbohong adalah perbuatan yang bisa diterima secara universal. Jika ditanya secara langsung apakah boleh menghina orang? Tidak boleh, apakah boleh membantu orang tua? Tentu itu harus. Semua orang bisa terima bahwa berbohong adalah buruk dan membantu orang tua adalah baik. Nah, kira-kira seperti itulah kewajiban yang dimaksud. Menurut Kant, terdapat tiga kriteria agar suatu tindakan atau prinsip itu bermoral: a. Tindakan atau prinsip itu haruslah secara konsisten universal (dapat

diuniversalkan). b. Suatu tindakan secara moral benar bagi seseorang pada situasi tertentu jika dan hanya jika alasan untuk melakukan tindakan tersebut merupakan alasan yang ia harapkan dimiliki oleh orang lain pada situasi yang sama. c. Tindakan atau prinsip itu menghargai makhluk relasional sebagai tujuan akhir. d. Suatu tindakan secara moral benar jika dan hanya jika dalam melaksanakan tindakan tersebut seseorang tidak memperlakukan orang lain semata-mata sebagai alat untuk memenuhi kepentingannya sendiri, tetapi menghargai orang lain sebagai tujuan akhir bagi dirinya sendiri. e. Tindakan atau prinsip itu berasal dari, dan menghargai, otonomi makhluk rasional. f. Suatu tindakan adalah benar secara moral jika dan hanya jika tindakan tersebut

menghargai kapasitas orang untuk memilih secara bebas bagi dirinya sendiri. Selain Kant, filsuf lain yang dikaitkan dengan Teori Deontologi adalah William David Ross. Menurut penilaian moral yang umum, seseorang tidak perlu barangkali bahkan tidak boleh membiarkan konsekuensi buruk dari perbuatan sebenarnya baik, jika orang itu mempunyai kemampuan untuk mencegahnya. Ross mengajukan jalan

39

keluar dengan mengidentifikasi tujuh kewajiban moral pada pandangan pertama (prima face). Artinya bahwa kewajiban-kewajiban tersebut harus dilaksanakan kecuali ada kewajiban lain yang lebih penting atau pada situasi tertentu ada kewajiban lain yang sama atau lebih kuat. Ketujuh kewajiban moral tersebut adalah: a. Fidelity (kewajiban menepati janji/kesetiaan). b. Kita harus menepati janji yang dibuat dengan bebas, baik eksplisit maupun implisit, dan mengatakan kebenaran. c. Reparation (kewajiban ganti rugi). d. Kita harus memberikan ganti rugi kepada orang yang mengalami kerugian karena tindakan kita yang salah, kita harus melunasi hutang moril dan materiil. e. Gratitude (kewajiban berterima kasih). f. Kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita.

g. Justice (kewajiban keadilan). h. Kita harus memastikan bahwa kebaikan dibagikan sesuai dengan jasa orang yang bersangkutan. i. j. Benefience (kewajiban berbuat baik). Kita harus membantu orang lain yang membutuhkan bantuan kita, berbuat apa

pun yang dapat kita perbuat untuk memperbaiki keadaan oarng lain. k. Self-improvement (kewajiban mengembangkan diri). l. Kita harus mengembangkan dan meningkatkan diri kita dibidang keutamaan,

intelegensi, dll. m. Non-maleficence (kewajiban tidak merugikan). n. Kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. 3. Teori Keutamaan (Virtue). Teori keutamaan (virtue) adalah teori yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati, melainkan: apakah orang itu bersikap adil, jujur, murah hati, dan sebagainya. (Velasquez;2005) . Isu utama teori keutamaan adalah membicarakan tentang karakter apa saja yang membuat seseorang sebagai orang baik secara moral. Teori keutamaan sering juga dikatakan sebagai teori yang membicarakan tentang karakter yang merupakan keutamaan moral. Karakter yang pada umumnya dianggap sebagai keutamaan moral adalah watak baik yang ada pada setiap individu. Karakter yang umumnya dianggap sebagai keutamaan moral adalah:

40

a. Keberanian/keteguhan, meningkatkan peluang untuk memperoleh apa yang diinginkan. b. Kejujuran, mensyaratkan niat baik dan tulus untuk menyampaikan kebenaran. c. Kesetiaan, tanggung jawab untuk menjunjung tinggi dan melindungi kepentingan pihak-pihak tertentu dan organisasi. d. Keandalan, berusaha secara maksimal dan masuk akal dalam memenuhi komitmen. e. Moderat ( tidak ekstrim, cenderung ke dimensi pada umumnya). f. Pengendalian diri yang baik.

g. Toleransi terhadap sesama. h. Keramahan merupakan inti kehidupan bisnis, keramahan itu hakiki untuk setiap hubungan antar manusia, hubungan bisnis tidak terkecuali. i. Loyalitas berarti bahwa seseorang tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi mempunyai juga komitmen yang tulus dengan perusahaan. j. Kehormatan adalah keutamaan yang membuat seseorang terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan. k. Rasa malu membuat solider dengan kesalahan perusahaan. l. Kesantunan. menjadi peka

m. Belas kasih. n. Bangga (tetapi tidak arogan). o. Berkeadilan, memastikan bahwa manfaat atau keuntungan dibagikan sesuai dengan jasa pihak-pihak yang terkait dan berhak, dll. Etika keutamaan memerlukan konteks, artinya dalam menerapkan etika keutamaan kita perlu memiliki pemahaman mengenai hakikat manusia dan tujuan hidup ini. Hakikat manusia dapat diketahui dengan lebih memahami watak dari manusia itu sendiri. Sedangkan tujuan hidup dapat ditentukan dengan mempertanyakan apa akhir dari kehidupan manusia?. Bahwa manusia di dunia hanya bagian dari perjalanan panjangnya menuju kehidupan yang kekal sehingga dalam pribadi manusia secara otomatis memiliki sifa-sifat keutamaan. Keutamaan merupakan disposisi watak yang dimiliki seseorang dan memungkinnya untuk bertingkah laku baik secara moral. Ada tiga hal yang mencerminkan keutamaan, tiga hal tersebut adalah: a. Disposisi.

41

b. Keutamaan merupakan suatu kecenderungan tetap. Keutamaan cenderung bersifat permanen, walaupun tidak berarti tidak bisa hilang. Walaupun tidak mudah, Keutamaan dapat saja hilang. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi seperti faktor lingkungan, orang di sekitarnya, dll. c. Keutamaan merupakan sifat baik dari segi moral yang telah mengakar dalam diri seseorang. d. Kemauan/kehendak. e. Keutamaan adalah kecenderungan tetap yang menyebabkan kehendak tetap pada arah tertentu. Perilaku berkeutamaan disertai dengan maksud baik. Dengan demikian, Motivasi atau maksud pelaku sangat penting karena itulah yang mengarahkan kehendak. f. Pembiasaan diri. Keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir, melainkan diperoleh dengan cara membiasakan diri atau berlatih. Keberanian, misalnya, adalah keutamaan yang diperoleh melalui pembiasaan diri melawan rasa takut. Agar seseorang pada akhirnya dapat memiliki keutamaan moral, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: a. Pemahaman dan menentukan karakter-karakter yang baik terhadap tujuan akhir, yaitu kehidupan yang baik. b. Memberikan kandungan atau makna terhadap tujuan akhir tersebut. Dalam melangsungkan kehidupan kesehariannya manusia senantiasa melakukan suatu tindakan, tindakan yang dilakukannya ada tindakan yang benar dan ada tindakan yang salah. Suatu tindakan dinyatakan benar apabila tindakan yang dilakukan sepenuhnya mewujudkan atau mendukung keutamaan yang relevan, dimengerti sebagai ciri-ciri karakter yang memungkinkan untuk mencapai kebaikankebaikan sosial (Aristoteles, MacIntyre). E. Tiga Konsep Moral Yang Penting 1. Hak. Hak merupakan konsep moral yang penting, yang memungkinkan individu memilih secara bebas dalam memenuhi kepentingan atau menjalankan aktivitas tertentu dan melindungi pilihan-pilihan tersebut. Hak adalah suatu klaim yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. Seseorang mempunyai suatu hak apabila orang tersebut memiliki klaim untuk bertindak dengan cara tertentu atau mempunyai klaim

42

terhadap orang lain agar orang lain tersebut berbuat dengan cara tertentu. Macam hak antara lain: a. Hak legal dan hak moral. Hak legal adalah hak yang diakui dan ditegakkan sebagai bagian dari hukum. Hak legal ini lebih banyak berbicara tentang hukum atau sosial. Contoh kasus,mengeluarkan peraturan bahwa veteran perang memperoleh tunjangan setiap bulan, maka setiap veteran yang telah memenuhi syarat yang ditentukan berhak untuk mendapat tunjangan tersebut. Hak moral meliputi hak-hak yang secara moral seharusnya kita miliki, terlepas apakah diakui atau tidak oleh hukum.. Hak moral lebih bersifat individu. Hak ini memiliki kekuatan karena berasal dari kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip etika yang lebih umum.Selain itu, hak moral biasanya dianggap universal karena hak ini dimiliki oleh semua umat manusia, tidak dibatasi oleh juridiksi tertentu. b. Hak khusus dan hak umum. Hak khusus berkaitan denggan individu-individu tertentu. Sumber utama kekuatan hak khusus adalah kontrak atau perjanjian, karena instrumen ini menciptakan sejumlah hak dan kewajiban bagi individu-individu yang membuat perjanjian. Hak umum adalah hak yang melibatkan klaim terhadap setiap orang, atau kemanusiaan secara umum. Hak ini dimilki oleh semua manusia tanpa kecuali. Di dalam Negara kita Indonesia ini disebut dengan hak asasi manusia. c. Hak positif dan hak negatif. Hak positif adalah hak yang mewajibkan orang lain bertindak untuk kita. Contoh, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, mengharuskan pihak lain untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan. Hak negatif berkorelasi dengan kewajiban pada pihak lain untuk tidak bertindak terhadap kita. Contoh adalah hak milik. Hak negatif terbagi lagi menjadi 2 yaitu: hak aktif dan pasif. Hak negatif aktif adalah hak untuk berbuat atau tidak berbuat seperti yang orang kehendaki. Contoh, saya mempunyai hak untuk pergi kemana saja yang saya suka atau mengatakan apa yang saya inginkan. Hak-hak aktif ini bisa disebut hak kebebasan. Hak negatif pasif adalah hak untuk tidak diperlakukan orang lain dengan cara tertentu. d. Hak individual dan hak sosial.

43

Hak individual adalah hak yang dimiliki individu-individu terhadap negara. Negara tidak boleh menghindari atau mengganggu individu dalam mewujudkan hakhak yang ia miliki. Hak sosial bukan hanya hak kepentingan terhadap negara saja, akan tetapi sebagai anggota masyarakat bersama dengan anggota-anggota lain. Inilah yang disebut dengan hak sosial. e. Hak absolut. Hak yang bersifat absolut adalah suatu hak yang bersifat mutlak tanpa pengecualian, berlaku dimana saja dengan tidak dipengaruhi oleh situasi dan keadaan. Namun ternyata hak tidak ada yang absolut. Mengapa? Menurut ahli etika, kebanyakan hak adalah hak prima facie yang artinya hak itu berlaku sampai dikalahkan oleh hak lain yang lebih kuat. 2. Keadilan. Konsep keadilan dipergunakan untuk: a. Menilai tindakan seseorang. b. Menilai praktik-praktik dan institusi sosial, politik, dan ekonomi. c. Seringkali dijadikan sebagai kriteria tunggal untuk menilai benar/salahnya suatu perbuatan. Ada 2 tokoh dalam hal ini yaitu Aristoteles dengan konsep keadilan tradisional dan John Rawls dengan konsep keadilan egalitarian. Menurut konsep tradisional (Aristoteles), keadilan terdiri dari keadilan universal dan keadilan khusus. Berikut ini adalah penjelasannya: a. Keadilan universal. Keadilan yang berlaku bagi keseluruhan keutamaan. Orang yang adil adalah orang yang selalu berbuat benar secara moral dan mematuhi hukum. b. Keadilan khusus. Berkaitan dengan keutamaan pada situasi khusus. Adil berarti mengambil hanya bagian yang patut atau tepat; memberikan kepada siapa saja (tanpa pandang bulu) apa yang menjadi haknya. Tidak adil berarti mengambil terlalu banyak kekayaan, kehormatan atau manfaat lain yangg diberikan oleh masyarakat; menolak untuk menanggung bagian yang wajar dari suatu beban. Keadilan khusus dibagi menjadi 3 macam yaitu:

44

1) Keadilan distributif (distributive justice). Keadilan distributif adalah keadilan dalam pendistribusian manfaat dan beban. Keadilan ini diperlukan dalam kondisi: a) Manfaat yang akan dibagikan (yang tersedia) lebih sedikit daripada jumlah dan keinginan orang. (contoh: pembagian kompor gas). b) Beban atau pekerjaan yang tidak menyenangkan terlalu banyak

dibandingkan dengan jumlah orang yang bersedia memikul (banyak contoh). Prinsip yang mendasari keadilan distributif adalah bahwa orang yang sama dalam keadaan yang sama harus diperlakukan sama. Keadilan distributif bersifat perbandingan (comparative), maksudnya bahwa pertimbangan dalam keadilan ini adalah perbandingan antara jumlah bagian masing-masing orang yang menerima manfaat atau dibagi beban, bukan masalah jumlah absolut dari manfaat / beban yang diterima. (contoh kasus banyak terjadi di Aceh). Keadilan distributif dapat ditinjau dari 2 segi, yaitu keadilan prosedur dan keadilan hasil (distribusi yang sesungguhnya dicapai). Prosedur yang adil akan

membuahkan hasil yang adil. Isu atau permasalahan keadilan distributif muncul ketika kita menilai institusi sosial, politik dan ekonomi dalam kaitannya dengan pembagian manfaat dan beban dari usaha bersama kepada para anggota kelompok. 2) Keadilan kompensasi (compensatory justice). Keadilan kompensasi berhubungan dengan masalah pemberian imbalan atau penggantian (kompensasi) kepada seseorang karena kekeliruan atau kesalahan yang menimpa dan merugikannya. Alasan yang mendasari adanya kompensasi adalah terjadi suatu kekeliruan atau kecelakaan yang disebabkan kelalaian sehingga menyebabkan seseorang dalam keadaan lebih buruk, misalnya merusak

keseimbangan moral. Dengan memberikan kompensasi maka keadaan si korban dapat dikembalikan seperti semula, sehingga keseimbangan moral tercapai kembali. Tujuan kompensasi adalah mengembalikan apa yang hilang dari seseorang akibat kesalahan orang lain (bersifat memperbaiki). Keadilan kompensasi tidak bersifat perbandingan. Jumlah kompensasi yang harus diberikan kepada korban ditetapkan berdasarkan karakteristik masing-masing kasus. Seseorang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi kepada pihak yang menjadi korban apabila terdapat 3 kondisi sebagai berikut:

45

a) Perbuatan yang menyebabkan kerugian merupakan perbuatan yang salah atau merupakan kelalaian (negligence). b) Perbuatan orang yang bersangkutan merupakan penyebab

sesungguhnya kerugian tersebut. c) Orang tersebut secara sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kerugian. 3) Keadilan retributif (retributive justice). Keadilan retributif berkaitan dengan pemberian hukuman terhadap pelaku kesalahan. Alasan yang mendasari pemberian hukuman adalah seseorang yang melakukan suatu kejahatan telah merusak kesimbangan moral karena menjadikan orang lain dalam keadaan buruk. Pemulihan keseimbangan moral dalam kasus ini dicapai dengan memberikan hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut Tujuan pemberian hukuman adalah untuk memperbaiki (dengan cara memberikan hukuman). Keadilan retributif tidak bersifat perbandingan. Jumlah hukuman yang dikenakan kepada pelaku kejahatan ditentukan berdasarkan

karakteristik masing-masing kasus. Seseorang dapat diminta bertanggung jawab secara moral atau dapat dikenai hukuman sehingga keadilan retributif tercapai, namun harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) Seseorang tidak dapat dikenai hukuman jika ia tidak tahu atau tidak memiliki kebebasan untuk memilih apa yang ia perbuat. b) Orang tersebut sungguh-sungguh melakukan kejahatan. c) Hukuman harus konsisten dan proporsional dengan kesalahannya. Isu keadilan kompensasi dan retributif memperbaiki kesalahan. Berdasarkan konsep Egalitarian (John Rawls), perspektif keadilan muncul pada saat kita berupaya

berhubungan dengan pertanyaan: Bagaimana keadilan akan dapat dicapai ketika beberapa orang yang bebas dan setara berusaha mencapai tujuannya namun berbenturan dengan orang lain yang juga berusaha mencapai tujuannya (yang mungkin saja tidak setara). Keadilan diartikan sebagai kewajaran (fairness). Konsep keadilan ini mengakomodasi suatu kondisi dimana terjadi banyak perbedaan yang menimbulkan kesulitan untuk menetapkan keadilan secara absolut, sehingga diperlukan adanya personal judgement untuk menetapkan kewajaran. Keadilan menurut Egalitarian didasarkan pada 2 prinsip, yaitu:

46

a) Setiap orang memiliki kebebasan yang sama. b) Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga: menguntungkan perbedaan); sesuai dengan tugas dan kedudukan yang terbuka bagi semua pihak berdasarkan persamaan kesempatan (prinsip kesetaraan dalam kesempatan). Kedua prinsip di atas disusun menurut urutan prioritas artinya menjalankan prinsip a dahulu, baru kemudian dapat menerapkan prinsip b. a) Prinsip a. Setiap orang memilki hak-hak dasar yang harus dipenuhi sebelum ketidaksetaraan berdasarkan prinsip b dapat diterapkan. Kebebasan tidak boleh dipertukarkan dengan kemakmuran, artinya seseorang yang mengikuti kedua prinsip ini tidak boleh mengorbankan kebebasannya demi pihak yang paling kurang beruntung (prinsip

meningkatkan kemakmurannya. b) Prinsip b Ada kondisi-kondisi yang menyebabkan orang yang rasional akan membuat pengecualian terhadap prinsip a dan menerima bagian yang lebih kurang sama atas beberapa barang primer. Dengan demikian, dalam beberapa kasus, setiap orang akan menjadi lebih baik dengan ketidaksetaraan daripada kesetaraan. (dalam konteks manfaat dan beban). Ketidaksetaraan dalam kekayaan dan kewenangan adalah adil hanya apabila ketidak-setaraan itu mengakibatkan kompensasi manfaat/ keuntungan bagi setiap orang, khususnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. 3. Kepedulian. Salah satu karakteristik pokok sudut pandang etika adalah objektivitas atau ketidak berpihakan (impartiality), artinya setiap hubungan khusus yang kita miliki dengan orang-orang (keluarga, teman, pegawai) harus dikesampingkan pada saat kita mengambil keputusan atau melakukan tindakan. Hal ini tidak sesuai dengan teori etika kepedulian Dalam masyarakat luas, tidak hanya di Indonesia, kepedulian dan keberpihakan telah menjadi prinsip moral penting sebagaimana dikemukakan oleh pandangan etika kepedulian atau etika komunitarian (historis, dipelopori oleh

47

gerakan Feminisme). Menurut pandangan Etika Kepedulian, kewajiban moral tidaklah mengikuti prinsip-prinsip moral universal dan imparsial, melainkan memberikan perhatian dan tanggapan terhadap kebaikan orang-orang tertentu yang mempunyai hubungan dekat dan bernilai. Hubungan konkret tidaklah terbatas antar individu, atau antara individu dengan kelompok, namun mencakup juga sistem hubungan yang lebih besar yang membentuk komunitas konkret, karenanya Etika Kepedulian meliputi jenis-jenis kewajiban yang disebut etika komunitarian. Etika Komunitarian adalah etika yang melihat komunitas dan hubungan komunal konkret memiliki nilai fundamental yang harus dilestarikan dan dibina. Yang penting dalam etika komunitarian bukanlah individu-individu yang terisolasi, tetapi komunitas yang di dalamnya individu-individu menemuka diri mereka dengan memandang diri mereka sendiri sebagai bagian integral dari komunitas yang lebih besar, dengan tradisi, kebudayaan dan sejarahnya. F. Manfaat Dan Fungsi Etika Ketut Rinjin, 2004 melalui Sjafri Mangkuprawira, 2006 mengungkapkan peran dan manfaat etika sebagai berikut. 1. Manusia hidup dalam jaringan norma moral, religius, hukum, kesopanan, adat istiadat, dan permainan. Oleh karena itu, manusia harus siap mengorbankan sedikit kebebasannya. 2. Norma moral memberikan kebebasan bagi manusia untuk bertindak sesuai dengan kesadaran akan tanggung jawabnya - human act, dan bukan an act of man. Menaati norma moral berarti menaati diri sendiri, sehingga manusia menjadi otonom dan bukan heteronom. 3. Sekalipun sudah ada norma hukum, etika tetap diperlukan karena: a. Norma hukum tidak menjangkau wilayah abu-abu. b. Norma dan hukum cepat ketinggalan zaman, sehingga sering mendapat celahcelah hukum. c. Norma hukum sering tidak mampu mendeteksi dampak secara etis dikemudian hari; d. Etika mensyaratkan pemahaman dan kepedulian tentang kejujuran, keadilan dan prosedur yang wajar terhadap manusia dan masyarakat. e. Asas legalitas harus tunduk pada asas moralitas.

48

4. Manfaat etika adalah: a. mengajak mengajak orang bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan secara otonom; b. mengarahkan perkembangan masyarakat menuju suasana yang tertib, teratur, damai dan sejahtera. 5. Perlu diwaspadai bahwa 'power tends to corrupt", Absolute power corrupts absolutely serta pemimpin ala Machiavellian, yang galak seperti singa dan licin seperti belut. Artinya Kekuasaan cenderung disalahgunakan, jika kekuasaan itu absolut, penyalahgunaannyapun absolute. Jadi kekuasaan harus disertai dengan pengawasan dan penegakan hukum. "the end justifies the means, even at all out tujuan menghalalkan segala cara, apapun resikonya, pokoknya menang atau untung, sehingga siapapun yang merintangi harus disingkirkan atau dilibas. Etika, disebut juga filsafat moral, adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia dan merefleksikan ajaran moral. Lebih jauh lagi, Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Dr. Irmayanti, dkk. juga Popon Sjarif menyoroti sejauh mana etika mengatur tindakan manusia dan peranannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut mereka, dalam kehidupan nyata etika setidaknya mempunyai 3 fungsi yaitu sebagaimana yang akan dikemukakan berikut ini. c. Fungsi etika dalam tingkah laku dan pergaulan hidup manusia. Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik (karena itu ajaran moral), tapi etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Pluralisme moral diperlukan karena: a. Pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan. b. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional. c. Berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing

49

dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup. Peran etika menjadi nyata agar orang tidak mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Etika dapat membangkitkan kembali semangat hidup agar manusia dapat menjadi manusia yang baik dan bijaksana melalui eksistensi profesinya. a. Fungsi etika dalam pergaulan ilmiah. Etika keilmuan menyoroti bagaimana peran seorang mahasiswa, ilmuwan terhadap kegiatan yang sedang dilakukan (belajar, melakukan riset dan sebagainya). Tanggung jawab mahasiswa dan ilmuan dipertaruhkan ketika ia dalam proses kegiatan ilmiahnya terutama dalam sikap kejujuran ilmiah. Hal lain yang disoroti sebagai fungsi etika dalam pergaulan ilmiah adalah masalah bebas nilai. Mereka boleh meneliti apa saja sejauh itu sesuai dengan keinginan atau tujuan penelitiannya. b. Fungsi etika profesi. Bagi seorang professional yang bergerak di bidang tertentu, etika profesi dituangkan ke dalam suatu bentuk yang disebut dengan kode etik. Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Adapun peran kode etik adalah sebagai berikut: a. Pertama, sebagai kompas moral, penunjuk jalan bagi si profesional yang berdasarkan nilai-nilai etisnya: hati nurani, kebebasan-tanggung jawab, kejujuran, kepercayaan, hak-kewajiban dalam bentuk pelayanan/jasa sebaik-baiknya terhadap kliennya. b. Kedua, adanya kode etik akan melindungi klien dari perbuatan yang tidak profesional sehingga diharapkan dapat menjamin kepercayaan masyarakat (klienklien) terhadap pelayanan yang diberikan oleh si profesional.

50

RANGKUMAN
PENGERTIAN ETIKA Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, Ethikos, berarti timbul dari kebiasaan. Dari sekian banyak pengertian yang diberikan pada etika, definisi etika dapat disimpulkan sebagai studi untuk memahami apa yang merupakan kehidupan yang baik dan menaruh perhatian terhadap penciptaan kondisi bagi orang-orang untuk mencapai kehidupan yang baik tersebut. Menurut K. Bertens, etika bisnis adalah pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu sebagai berikut: Meta-etika (studi konsep etika), sebagai suatu jalan menuju konsepsi atas benar atau tidaknya suatu tindakan atau peristiwa. Etika normatif (studi penentuan nilai etika), etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika), memberi pemahaman tentang spektrum bidang terapan etika sekaligus menunjukkan bahwa etika merupakan pengetahuan praktis. SEJARAH ETIKA Etika Filsafat Yunani Kuno: Socrates, Plato, Aristoteles. Menurut Socrates, objek utama dari aktivitas manusia adalah kebahagiaan, dan sarana yang diperlukan untuk mencapainya adalah kebajikan. Plato

menyatakan bahwa summum bonum terdiri atas imitasi sempurna dari Tuhan, baik yang mutlak, tiruan yang tidak dapat diwujudkan sepenuhnya dalam hidup ini. Aristoteles lebih memilih untuk mengambil fakta-fakta pengalaman sebagai titik awalnya, menganalisis secara akurat, dan berusaha untuk melacak penyebab tertinggi dan utama. Etika Filsafat Yunani dan Romawi: Hedonisme, Epicurus, Sinis, Stoicisme, Skeptis Etika hedonistik menganggap disposisi gembira dan ceria sebagai kebaikan dan kebahagiaan tertinggi manusia. Epicurus (341-270 SM) menyatakan bahwa jumlah total terbesar yang mungkin dari kenikmatan spiritual dan sensual, dengan

51

kemungkinan kebebasan terbesar dari ketidaksenangan. Para Sinis mengajarkan kebalikan dari Hedonisme, yaitu bahwa kebajikan saja sudah cukup untuk kebahagiaan, bahwa kesenangan adalah kejahatan, dan bahwa manusia benarbenar bijaksana atas hukum manusia. Kaum Stoa berusaha memperbaiki dan menyempurnakan pandangan Antisthenes. Cicero memberikan sebuah eksposisi lengkap dari kebajikan kardinal dan kewajiban terhubung dengan mereka. Etika: Sejarah Moralitas Kristen Santo Paulus mengajarkan (Roma, ii, 24 persegi), Tuhan telah menulis hukum moral di hati semua orang. Hukum ini memanifestasikan dirinya dalam hati nurani setiap orang dan adalah norma yang menurut seluruh umat manusia akan dinilai pada hari perhitungan. Etika: Sejarah Filsafat Abad Pertengahan Etika Sebuah garis tajam pemisahan antara filsafat dan teologi, dan khususnya antara etika dan teologi moral, pertama kali bertemu dengan dalam karya-karya terpelajar besar Abad Pertengahan, khususnya Albert (1193-1280) Besar, Thomas Aquinas (1225 -1274), Bonaventura (1221-1274), dan Duns Scotus (1274-1308). Etika: Sejarah Filsafat Etika 1500-1700-an. Etika: Sejarah Filsafat Etika: Kant, John Stuart Mill, Altruisme. Etika: Filsafat Evolusioner, Sosialisme, Nietzsche. TEORI ETIKA Teori Teleleologi. Teori teleleologi disebut juga teori konsekuensialis, menyatakan bahwa nilai moral suatu tindakan ditentukan semata-mata oleh konsekuensi tindakan tersebut. Benar atau salahnya tindakan ditentukan oleh hasil atau akibat dari tindakan tersebut. Teori Teleleologi yang sangat menonjol adalah utilitarianisme. Bentuk klasik utilitarianisme dinyatakan sebagai berikut: Suatu tindakan adalah benar jika dan hanya jika tindakan itu menghasilkan selisih terbesar kesenangan di atas kesedihan bagi setiap orang. Utilitarianisme mencakup empat prinsip, yaitu

Konsekuensialisme, Hedonisme, Maksimalisme, dan Universalisme. Teori Deontologi Teori deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban berarti sudah melakukan kebaikan. Deontologi tidak terpaku pada

52

konsekuensi perbuatan. Menurut Kant, terdapat tiga kriteria agar suatu tindakan atau prinsip itu bermoral, yaitu tindakan atau prinsip itu haruslah secara konsisten universal (dapat diuniversalkan), tindakan atau prinsip itu menghargai makhluk easional sebagai tujuan akhir, dan tindakan atau prinsip itu berasal dari, dan mengharrgai, otonomi makhluk rasional. William David Ross mengidentifikasi tujuh kewajiban moral (prima face), artinya kewajiban-kewajiban tersebut harus dilaksanakan kecuali ada kewajiban lain yang lebih penting atau pada situasi tertentu ada kewajiban lain yang sama atau lebih kuat. Tujuh kewajiban moral, yaitu fidelity, reparation, gratitude, justice, benefience, self-improvement, dan non-maleficence. Teori Keutamaan. Isu utama dari teori keutamaan adalah membicarakan tentang karakter yang membuat seseorang sebagai orang baik secara moral. Karakter yang pada umumnya dianggap sebagai keutamaan moral adalah watak baik yang ada pada setiap individu, diantaranya kebaikan, keberanian, kejujuran, dll. Keutamaan merupakan disposisi watak yang dimiliki seseorang dan memungkinnya untuk bertingkah laku baik secara moral. Ada tiga hal yang mencerminkan keutamaan, tiga hal tersebut adalah: 1. Disposisi 2. Kemauan / kehendak 3. Pembiasaan diri TIGA KONSEP MORAL YANG PENTING Hak Hak adalah suatu klaim yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. Macam hak antara lain: Hak legal dan hak moral; Hak khusus dan hak umum; Hak positif dan hak negatif; Hak individual dan hak sosial; Hak absolut. Keadilan Aristoteles mengungkapkan konsep keadilan tradisional yang terdiri dari keadilan universal dan keadilan khusus (keadilan distributif, kompensasi, dan retributif). Keadilan distributif adalah keadilan dalam pendistribusian manfaat dan beban. Keadilan kompensasi berhubungan dengan masalah pemberian imbalan atau penggantian (kompensasi) kepada seseorang karena kekeliruan atau kesalahan yang menimpa dan merugikannya. Keadilan retributif berkaitan dengan pemberian

53

hukuman terhadap pelaku kesalahan. Berdasarkan konsep Egalitarian (John Rawls), keadilan diartikan sebagai

kewajaran (fairness). Keadilan menurut Egalitarian didasarkan pada 2 prinsip, yaitu: a. Setiap orang memiliki kebebasan yang sama. b. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa. Kedua prinsip di atas disusun menurut urutan prioritas artinya menjalankan prinsip a dahulu, baru kemudian dapat menerapkan prinsip b. Kepedulian Etika Kepedulian meliputi jenis-jenis kewajiban yang disebut etika komunitarian. Etika Komunitarian melihat komunitas dan hubungan komunal konkret memiliki nilai fundamental yang harus dilestarikan dan dibina. MANFAAT DAN FUNGSI ETIKA Sekalipun sudah ada norma hukum, etika tetap diperlukan karena: a. Norma hukum tidak menjangkau wilayah abu-abu. b. Norma hukum cepat ketinggalan zaman. c. Norma hukum sering tidak mampu mendeteksi dampak secara etis dikemudian hari. d. Etika mensyaratkan pemahaman dan kepedulian tentang kejujuran, keadilan dan prosedur yang wajar terhadap manusia dan masyarakat. e. Asas legalitas harus tunduk pada asas moralitas. Fungsi etika a. Fungsi etika dalam tingkah laku dan pergaulan hidup manusia. Etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan. b. Fungsi etika dalam pergaulan ilmiah. Etika keilmuan menyoroti bagaimana peran seorang mahasiswa, ilmuwan terhadap kegiatan yang sedang dilakukan (belajar, melakukan riset). c. Fungsi etika profesi. Etika profesi dituangkan ke dalam suatu bentuk yang disebut dengan kode etik. Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional.

54

SOAL-SOAL
Pilihan Ganda 1. Jalan menuju konsepsi atas benar atau tidaknya suatu tindakan atau peristiwa termasuk di salam studi . a. Etika Normatif c. Etika Deskriptif 2. Yang bukan pengertian etika adalah . a. Studi tentang prinsip-prinsip perilaku baik dan benar sebagai falsafat moral. b. Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia c. Sistem yang ideal, luhur dan baik dalam teori, yang tidak ada gunanya dalam praktek. d. Norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan masyarakat tertentu mengenai perbuatan yang baik dan benar. 3. Asal mula kata etika adalah ethikos, yang berasal dari bahasa . a. Latin c. Spanyol berbagai aspek kehidupan adalah . a. Meta-Etika c. Etika Terapan b. Etika Normatif d. Etika Deskriptif b. Romawi Kuno d. Yunani Kuno b. Etika Terapan d. Etika Analisis

4. Studi yang menunjukkan bahwa etika merupakan pengetahuan praktis dalam

5. Siapa tokoh yang dianggap menjadi penggagas etika pertama kali? a. Plato c. Sokrates b. Aristoteles d. Phytagoras

6. Apa inti dari filsafat etika periode perkembangan Kristen? a. Hubungan Tuhan dengan dunia b. Hukum moral berasal dari Tuhan c. Moral didasarkan atas wahyu d. Adanya penilaian atas moral tiap manusia di hari akhir 7. Apa yang menjadi dasar filsafat etika Immanuel Kant? a. Akal manusia c. Hukum universal 8. Apa yang dimaksud etika filsafat evolusioner? b. Hukum alam d. Moralitas sosial

55

a. Menganggap bahwa etika manusia adalah perkembangan alam b. Etika manusia hasil dari evolusi hewan buas zaman dahulu c. Etika berdasarkan nafsu d. Etika hasil kreasi alam 9. Salah satu teori yang mendasarkan penilaian etis dari sisi konsekuensi/akibat dari suatu tindakan adalah: a. Etika Keutamaan c. Etika Kantian b. Etika Deontologi d. Etika Teleleologi

10. Tindakan yang benar adalah tindakan yang tidak hanya memiliki konsekuensi berupa beberapa kebaikan, tetapi juga jumlah terbesar konsekuensi baik setelah memperhitungkan konsekuensi buruk. Hal tersebut merupakan salah satu prinsip dalam Utilitarianisme, yaitu: a. Hedonisme c. Maksimalisasi b. Konsekuensi d. Universalisme

11. Tiga kriteria agar suatu tindakan atau prinsip adalah bermoral, kecuali: a. Universalitas b. Otonomi c. Maksimalisasi d. Menghargai makhluk rasional 12. Dalam tujuh kewajiban moral menurut Ross, salah satunya adalah Fidelity, yaitu: a. Kewajiban tidak merugikan b. Kewajiban berbuat baik c. Kewajiban ganti rugi d. Kewajiban menepati janji 13. Hal utama yang dibahas dalam teori keutamaan (virtue) ini adalah a. Akhlak manusia c. Kewajiban manusia b. Perilaku manusia d. Hak manusia

14. Berikut ini merupakan tindakan yang mencerminkan sifat keutamaan, kecuali a. Disposisi c. Pembiasaan diri kecuali a. Kebaikan b. Rasa malu b. Kemauan/kehendak d. Keadilan

15. Hal berikut ini merupakan contoh yang mencerminkan sifat-sifat keutamaan,

56

c. Kepercayaan diri

d. Kelancangan

16. Tindakan berikut yang dapat dilakukan agar dalam kehidupan sehari-hari seseorang dapat melakukan tindakan keutamaan adalah a. Mengingat kesuksesan masa lalu b. Mengingat keterpurukan masa lalu c. Mengingat masa depan yang terbentang d. Mengingat orang-orang yang ada di sekitar 17. Hak yang melibatkan klaim terhadap setiap orang, atau kemanusiaan secara umum merupakan pengertian dari.... a. Hak moral c. Hak umum b. Hak sosial d. Hak absolut

18. Berikut ini adalah kondisi dimana seseorang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi kepada pihak yang menjadi korban, kecuali.... a. Perbuatan yang menyebabkan kerugian merupakan perbuatan yang salah atau merupakan kelalaian (negligence) b. Perbuatan yang membuat seseorang merasa rendah diri dan tersakiti karena tingkah laku kita c. Perbuatan orang yang bersangkutan merupakan penyebab sesungguhnya kerugian tersebut d. Orang tersebut secara sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kerugian. 19. Salah satu karakteristik pokok sudut pandang etika adalah.... a. kreativitas c. solvabilitas b. subjektivitas d. objektivitas

20. Sekalipun sudah ada norma hukum, etika tetap diperlukan karena, kecuali.... a. Norma hukum tidak dapat menjangkau wilayah abu-abu. b. Norma dan hukum cepat ketinggalan zaman, sehingga sering mendapat celah-celah hukum. c. Norma hukum sering tidak mampu mendeteksi dampak secara etis dikemudian hari; d. Etika tidak mensyaratkan pemahaman dan kepedulian tentang kejujuran,

keadilan dan prosedur yang wajar terhadap manusia dan masyarakat.

57

Essay 1. Jelaskan kaitan etika terapan dengan etika pada umumnya! 2. Mengapa banyak tokoh filsafat di awal terbentuknya berasal dari bangsa Yunani? 3. Berdasarkan Teori Teleleologi dan Deontologi, bagaimana kita dapat menentukan bahwa suatu tindakan itu baik atau tidak baik? 4. Sebut dan jelaskan tindakan yang mencerminkan sifat keutamaan! 5. Berikan contoh-contoh hak yang termasuk hak umum!

58

BAB TEORI DAN KONSEP ETIKA II

Tujuan Instruksional Khusus : Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu memahami perbedaan etika dengan etiket serta pengertian nilai dan norma A. Etika 1. Pengertian Etika. Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. Untuk itu perlu kiranya bagi kita mengetahui tentang pengertian etika serta macammacam etika dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah: a. Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. b. Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak. c. Nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat. Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata etika yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat

kebiasaan. Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu: usila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Dan yang kedua adalah Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000). Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata etika yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan kata etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti: a. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); b. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; c. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar Dalam dunia bisnis etika merosot terus maka kata etika di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata etika dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Jadi arti kata etika dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap. K. Bertens berpendapat bahwa arti kata etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik

dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut : a. nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial; b. kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik; c. ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral. Etika berkaitan dengan nilai, norma, dan moral. Di dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai dan pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Jadi nilai itu hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan,

dambaan-dambaan dan keharusan. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat


dikelompokkan dalam empat tingkatan yaitu: a. Nilai-nilai kenikmatan Dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak. b. Nilai-nilai kehidupan Dalam tingkatan ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan misalnya kesehatan, kesegaran jasmani, dan kesejahteraan umum. c. Nilai-nilai kejiwaan Dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Misalnya nilai keindahan, kebenaran maupun lingkungan.

d. Nilai-nilai kerohanian Dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dan tidak suci. Misalnya nilai-nilai pribadi. Ada empat macam nilai-nilai kerohanian, yaitu: 1) Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia. 2) Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada perasaan manusia. 3) Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak manusia. 4) Nilai religius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia. Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Jadi norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia. Antara norma dan etika memiliki hubungan yang sangat erat yaitu etika sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas. Etika memiliki peranan atau fungsi diantaranya yaitu: a. Dengan etika seseorang atau kelompok dapat menegemukakan penilaian tentang perilaku manusia b. Menjadi alat kontrol atau menjadi rambu-rambu bagi seseorang atau kelompok dalam melakukan suatu tindakan atau aktivitasnya sebagai mahasiswa c. Etika dapat memberikan prospek untuk mengatasi kesulitan moral yang kita hadapi sekarang. d. Etika dapat menjadi prinsip yang mendasar bagi mahasiswa dalam menjalankan aktivitas kemahasiswaanya. e. Etika menjadi penuntun agar dapat bersikap sopan, santun, dan dengan etika kita bisa di cap sebagai orang baik di dalam masyarakat. 2. Macam-Macam Etika. Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau

norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika (Keraf: 1991: 23), sebagai berikut: a. Etika Deskriptif. Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis. b. Etika Normatif. Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan normanorma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat. Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut: a. Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus

membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia. b. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik. c. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.

B. Etiket Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata etiket, yaitu: 1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu. 2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu

diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik.


Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal kedua istilah tersebut terdapat arti yang berbeda, walaupun ada persamaannya. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah berkaitan dengan moral (mores), sedangkan kata etiket adalah berkaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis. Artinya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan sesuatu perbuatan.Istilah etiket berasal dari Etiquette (Perancis) yang berarti dari awal suatu kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi, pesta dan resepsi untuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan. Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati berbagai peraturan atau tata krama yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian (tata busana), cara duduk, cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan si kap serta perilaku yang penuh sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi.Definisi etiket, menurut para pakar ada beberapa pengertian, yaitu merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab. Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan. C. Perbedaan Etika dan Etiket 1. Hubungan Etika dengan Manusia. Antara etika dengan mahasiswa memiliki hubungan yang sangat erat. Dalam contoh kasus mahasiswa Universitas Muslim Indonesia yang sudah diceritakan di atas, dapat kita nilai bahwa etika sangat berperan penting terhadap diri mahasiswa maupun orang lain, dengan memahami peranan etika mahasiswa dapat bertindak

sewajarnya dalam melakukan aktivitasnya sebagai mahasiswa misalnya di saat mahasiswa berdemonstrasi menuntut keadilan etika menjadi sebuah alat kontrol yang dapat menahan mahasiswa agar tidak bertindak anarkis. Dengan etika mahasiswa dapat berperilaku sopan dan santun terhadap siapa pun dan apapun itu. Islam telah mengajarkan kepada bahwa kita harus berperilaku sopan terhadap orang yang lebih tua dari kita dan etika juga sudah di jelaskan di dalam Islam, etika di dalam Islam sama dengan akhlaq, dan mahasiswa sebagai mahluk Allah SWT. yang telah diberikan karunia berupa akal, akhlaq yang baik ditujukan bukan hanya kepada manusia saja melainkan kepada semua mahluk baik mahluk hidup ataupun benda mati. Sebagai seorang mahasiswa yang beretika, mahasiswa harus memahami betul arti dari kebebasan dan tanggung jawab, karena banyak mahasiswa yang apabila sedang berdemonstrasi memaknai kebebasan dengan kebebasan yang tidak bertangung jawab. 2. Etika dan Etiket. Banyak orang sangat familiar dengan kata etika. Di berbagai kesempatan, kata etika seringkali digunakan dalam konteks kesopanan atau norma. Dalam konteks bisnis dan dunia kerja etika menjadi suatu pokok bahasan yang menarik untuk diulas. Bahkan di beberapa perguruan tinggi, etika dijadikan satu bahasan tersendiri yang dibakukan dalam sebuah mata kuliah, sebut saja etika bisnis dan etika profesi. Namun tahukah anda terkadang banyak dari kita yang salah menggunakan kata etika dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali maknanya tercampur dengan kata etiket. Berbeda dengan kata etika, hanya sedikit orang yang familiar dengan kata etiket. Wajar saja, karena sedikitnya literatur, publikasi dan informasi yang berbicara mengenai kata yang satu ini. Dari segi ejaan, kata ini hampir mirip dengan etika, namun maknanya tidak mirip sama sekali. Etiket merupakan suatu tata krama atau tata sopan santun yang menyangkut sikap lahiriah manusia. Pelanggaran terhadap sikap ini tidak menjadikan seseorang dicap sebagai manusia yang tidak bermoral. Sedangkan Etika dipahami sebagai suatu usaha manusia untuk menggunakan akal budinya dalam usaha mencapai hidup dengan lebih baik. Disini ada unsur penilaian terhadap suatu norma, nilai atau

agama tertentu. Pelanggaran terhadap sikap ini bisa dicap sebagai manusia tidak bermoral. Etiket lebih bersifat lahiriah sedangkan etika batiniah. Sebagai contoh, seorang direktur di sebuah perusahaan disebut manusia yang mempunyai etiket. Ini karena ia adalah orang yang disiplin, rapih dalam berpakaian, selalu mengerjakan tugasnya dengan baik, berbicara sopan, senyum menghias mukanya dan selalu menjaga hubungan baik dengan klien. Walaupun begitu ternyata ia adalah manusia yang dinilai tidak ber-etika. Dalam menjalankan bisnis ia selalu berbuat curang dengan melakukan penyuapan di berbagai tender, ia juga melakukan tindakan nepotisme di kantornya dan terkadang melakukan pelecehan terhadap karyawannya. Begitu pula dengan seorang koruptor, mafia kasus, pejabat/birokrat hukum yang menjadi sorotan negatif akhir-akhir ini. Lihatlah mereka, berjas rapih, senyamsenyum di depan wartawan dan beretorika bagus di pengadilan dan konferensi pers. Tentunya sangat gamblang kita menilai bahwa mereka adalah manusia-manusia yang tidak punya etika, namun belum tentu mereka tidak mempunyai etiket. K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika (2000) memberikan 4 (empat) macam perbedaan etiket dengan etika, yaitu : 1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Misal : Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket. Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan mencuri. Jangan mencuri merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri. 2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal : Saya sedang makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian.

Etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Misal: Larangan mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan meskipun si empunya barang sudah lupa. 3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misal : makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan. Etika bersifat absolut. Jangan mencuri, Jangan membunuh merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar. 4. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang pada etiket bisa juga bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi sebagai manusia berbulu ayam, dari luar sangan sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan. Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat munafik, sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik. D. Nilai 1. Pengertian Nilai. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Adanya dua macam nilai tersebut sejalan dengan penegasan pancasila sebagai ideologi terbuka. Perumusan pancasila sebagai dalam pembukaan UUD 1945. Alinea 4 dinyatakan sebagai nilai dasar dan penjabarannya sebagai nilai instrumental. Nilai dasar tidak berubah dan tidak boleh diubah lagi. Betapapun pentingnya nilai dasar yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 itu, sifatnya belum operasional. Artinya kita belum dapat menjabarkannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan UUD 1945 sendiri menunjuk adanya undang-undang sebagai pelaksanaan hukum dasar tertulis itu. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 itu memerlukan penjabaran lebih lanjut. Penjabaran itu sebagai arahan untuk kehidupan nyata. Penjabaran itu kemudian dinamakan Nilai Instrumental. Nilai Instrumental harus tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar yang dijabarkannya Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama dan dalam batas-

batasyang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Penjabaran itu jelas tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya. Nilai sama dengan sesuatu yang menyenangkan kita, nilai identik dengan apa yang diinginkan, nilai merupakan sarana pelatihan kita, nilai pengalaman pribadi semata, nilai ide platonic esensi. 2. Pengertian Nilai Para Ahli. a. Kimball Young Mengemukakan nilai sosial adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat. b. A.W.Green Nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek. c. Woods Mengemukakan bahwa nilai sosial merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari d. M.Z.Lawang Menyatakan nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan,yang pantas,berharga,dan dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang bernilai tersebut. e. Hendropuspito Menyatakan nilai sosial adalah segala sesuatu yang dihargai masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan manusia. f. Driyarkara (1966,38) Nilai adalah hakekat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia. g. Fraenkel (1977:6) Nilai adalah idea atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh sesorang, biasanya mengacu kepada estetika (keindahan), etika pola prilaku dan logika benar salah atau keadilan justice. (Value is any idea, a concept , about what some one think is important in life) h. Kuntjaraningrat (1992:26)

Menyebutkan sisten nilai budaya terdiri dari konsepi-konsepi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar keluarga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. i. John Dewey Value is any object of social interest j. Endang Sumantri Sesuatu yang berharga, yang penting dan berguna serta menyenangkan dalam kehidupan manusia yang dipengaruhi pengetahuan dan sikap yang ada pada diri atau hati nuraninya. k. Kosasih Jahiri Tuntunan mengenai apa yang baik, benar dan adil l. M.I. Soelaeman Agama diarahkan pada perintah dan larangan, dorongan dan cegahan, pujian dan kecaman, harapan dan penyesalan, ukuran baik buruk, benar salah, patuh tidak patuh, adil tidak adil m. Darji Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani n. Encylopedi Brittanca 963 Nilai kualitas dari sesuatu objek yang menyangkut jenis apresiasi atau minat. o. (Rokeach, 1973 hal. 5) Value is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence. p. (Feather, 1994 hal. 184) Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about desirable or undesireable goals or end-states. q. (Schwartz, 1994 hal. 21) Value as desireable transsituatioanal goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity. Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah 1. suatu keyakinan, 2. berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, 3. melampaui situasi spesifik,

4. mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadiankejadian, serta 5. tersusun berdasarkan derajat kepentingannya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman tentang nilai, yaitu: a. suatu keyakinan, b. berhubungan dengan cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Jadi, dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial (Schwartz & Bilsky, 1987). Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan. Schwartz menambahkan bahwa sesuatu yang diinginkan itu dapat timbul dari minat kolektif (tipe nilai benevolence, tradition, conformity) atau berdasarkan prioritas pribadi / individual (power, achievement, hedonism, stimulation, self-direction), atau kedua-duanya (universalism, security). Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu (misalnya pengasuhan orang tua, agama, kelompok tempat kerja) atau melalui pengalaman pribadi yang unik (Feather, 1994; Grube, Mayton II & Ball-Rokeach, 1994; Rokeach, 1973; Schwartz, 1994). Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya diinginkan, di mana lebih diinginkan mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin dilakukan individu atau mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku (Kluckhohn dalam Rokeach, 1973). Lebih diinginkan ini memiliki pengaruh lebih besar dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian maka nilai menjadi tersusun berdasarkan derajat kepentingannya. Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah. Karena nilai diperoleh dengan cara terpisah, yaitu dihasilkan oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu (Danandjaja, 1985), maka nilai menjadi tahan lama dan stabil (Rokeach,

1973). Jadi nilai memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal tertentu. Salah satunya adalah bila terjadi perubahan sistem nilai budaya di mana individu tersebut menetap (Danandjaja, 1985). Dari hasil penelitiannya di 44 negara, Schwartz (1992, 1994) mengemukakan adanya 10 tipe nilai (value types) yang dianut oleh manusia, yaitu : 1. Power Tipe nilai ini merupakan dasar pada lebih dari satu tipe kebutuhan yang universal, yaitu transformasi kebutuhan individual akan dominasi dan kontrol yang diidentifikasi melalui analisa terhadap motif sosial. Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pencapaian status sosial dan prestise, serta kontrol atau dominasi terhadap orang lain atau sumberdaya tertentu. Nilai khusus (spesific values) tipe nilai ini adalah : social power, authority, wealth, preserving my public image dan social recognition. 2. Achievement Tujuan dari tipe nilai ini adalah keberhasilan pribadi dengan menunjukkan kompetensi sesuai standar sosial. Unjuk kerja yang kompeten menjadi kebutuhan bila seseorang merasa perlu untuk mengembangkan dirinya, serta jika interaksi sosial dan institusi menuntutnya. Nilai khusus yang terdapat pada tipe nilai ini adalah: succesful, capable, ambitious, influential. 3. Hedonism Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik dan kenikmatan yang diasosiasikan dengan pemuasan kebutuhan tersebut. Tipe nilai ini mengutamakan kesenangan dan kepuasan untuk diri sendiri. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : pleasure, enjoying life. 4. Stimulation Tipe nilai ini bersumber dari kebutuhan organismik akan variasi dan rangsangan untuk menjaga agar aktivitas seseorang tetap pada tingkat yang optimal. Unsur biologis mempengaruhi variasi dari kebutuhan ini, dan ditambah pengaruh pengalaman sosial, akan menghasilkan perbedaan individual tentang pentingnya nilai ini. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah kegairahan, tantangan dalam hidup. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : daring, varied life, exciting life.

5. Self-direction Tujuan utama dari tipe nilai ini adalah pikiran dan tindakan yang tidak terikat (independent), seperti memilih, mencipta, menyelidiki. Self-direction bersumber dari kebutuhan organismik akan kontrol dan penguasaan (mastery), serta interaksi dari tuntutan otonomi dan ketidakterikatan. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : creativity, curious, freedom, choosing own goals, independent. 6. Universalism Tipe nilai ini termasuk nilai-nilai kematangan dan tindakan prososial. Tipe nilai ini mengutamakan penghargaan, toleransi, memahami orang lain, dan perlindungan terhadap kesejahteraan umat manusia. Contoh nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : broad-minded, social justice, equality, wisdom, inner harmony. 7. Benevolence Tipe nilai ini lebih mendekati definisi sebelumnya tentang konsep prososial. Bila prososial lebih pada kesejahteraan semua orang pada semua kondisi, tipe nilai benevolence lebih kepada orang lain yang dekat dari interaksi sehari-hari. Tipe ini dapat berasal dari dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan interaksi yang positif untuk mengembangkan kelompok, dan kebutuhan organismik akan afiliasi. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah peningkatan kesejahteraan individu yang terlibat dalam kontak personal yang intim. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : helpful, honest, forgiving, responsible, loyal, true friendship, mature love. 8. Tradition Kelompok dimana-mana mengembangkan simbol-simbol dan tingkah laku yang merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama. Tradisi sebagian besar diambil dari ritus agama, keyakinan, dan norma bertingkah laku. Tujuan motivasional dari tipe nilai ini adalah penghargaan, komitmen, dan penerimaan terhadap kebiasaan, tradisi, adat istiadat, atau agama. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : humble, devout, accepting my portion in life, moderate, respect for tradition. 9. Conformity Tujuan dari tipe nilai ini adalah pembatasan terhadap tingkah laku, dorongandorongan individu yang dipandang tidak sejalan dengan harapan atau norma sosial. Ini diambil dari kebutuhan individu untuk mengurangi perpecahan sosial saat interaksi dan fungsi kelompok tidak berjalan dengan baik. Nilai khusus yang

termasuk tipe nilai ini adalah : politeness, obedient, honoring parents and elders, self discipline. 10. Security Tujuan motivasional tipe nilai ini adalah mengutamakan keamanan, harmoni, dan stabilitas masyarakat, hubungan antar manusia, dan diri sendiri. Ini berasal dari kebutuhan dasar individu dan kelompok. Tipe nilai ini merupakan pencapaian dari dua minat, yaitu individual dan kolektif. Nilai khusus yang termasuk tipe nilai ini adalah : national security, social order, clean, healthy, reciprocation of favors, family security, sense of belonging. 3. Struktur Hubungan Nilai. Selain adanya 10 tipe nilai ini, Schwartz juga berpendapat bahwa terdapat suatu struktur yang menggambarkan hubungan di antara nilai-nilai tersebut. Untuk mengidentifikasi struktur hubungan antar nilai, asumsi yang dipegang adalah bahwa pencapaian suatu tipe nilai mempunyai konsekuensi psikologis, praktis, dan sosial yang dapat berkonflik atau sebaliknya berjalan seiring (compatible) dengan pencapaian tipe nilai lain. Misalnya, pencapaian nilai achievement akan berkonflik dengan pencapaian nilai benevolence, karena individu yang mengutamakan kesuksesan pribadi dapat merintangi usahanya meningkatkan kesejahteraan orang lain. Sebaliknya, pencapaian nilai benevolence dapat berjalan selaras dengan pencapaian nilai conformity karena keduanya berorientasi pada tingkah laku yang dapat diterima oleh kelompok sosial. Pencapaian nilai yang seiring satu dengan yang lain menghasilkan sistem hubungan antar nilai sebagai berikut : 1. Tipe nilai power dan achievement, keduanya menekankan pada superioritas sosial dan harga diri 2. Tipe nilai achievement dan hedonism, keduanya menekankan pada pemuasan yang terpusat pada diri sendiri 3. Tipe nilai hedonism dan stimulation, keduanya menekankan keinginan untuk memenuhi kegairahan dalam diri 4. Tipe nilai stimulation dan self-direction, keduanya menekankan minat intrinsik dalam bidang baru atau menguasai suatu bidang 5. Tipe nilai self-direction dan universalism, keduanya mengekspresikan keyakinan terhadap keputusan atau penilaian diri dan pengakuan terhadap adanya

keragaman dari hakekat kehidupan 6. Tipe nilai universalism dan benevolence, keduanya menekankan orientasi kesejahteraan orang lain dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi 7. Tipe nilai benevolence dan conformity, keduanya menekankan tingkah laku normatif yang menunjang interaksi intim antar pribadi 8. Tipe nilai benevolence dan tradition, keduanya mengutamakan pentingnya arti suatu kelompok tempat individu berada 9. Tipe nilai conformity dan tradition, keduanya menekankan pentingnya memenuhi harapan sosial di atas kepentingan diri sendiri 10. Tipe nilai tradition dan security, keduanya menekankan pentingnya aturan-aturan sosial untuk memberi kepastian dalam hidup 11. Tipe nilai conformity dan security, keduanya menekankan perlindungan terhadap aturan dan harmoni dalam hubungan sosial 12. Tipe nilai security dan power, keduanya menekankan perlunya mengatasi ancaman ketidakpastian dengan cara mengontrol hubungan antar manusia dan sumberdaya yang ada. Berdasarkan adanya tipe nilai yang sejalan dan berkonflik, Schwartz menyimpulkan bahwa tipe nilai dapat diorganisasikan dalam dimensi bipolar, yaitu : 1. Dimensi opennes to change yang mengutamakan pikiran dan tindakan independen yang berlawanan dengan dimensi conservation yang mengutamakan batasan-batasan terhadap tingkah laku, ketaatan terhadap aturan tradisional, dan perlindungan terhadap stabilitas. Dimensi opennes to change berisi tipe nilai stimulation dan self direction, sedangkan dimensi conservation berisi tipe nilai conformity, tradition, dan security. 2. Dimensi yang kedua adalah dimensi self-transcendence yang menekankan penerimaan bahwa manusia pada hakekatnya sama dan memperjuangkan kesejahteraan sesama yang berlawanan dengan dimensi self-enhancement yang mengutamakan pencapaian sukses individual dan dominasi terhadap orang lain. Tipe nilai yang termasuk dalam dimensi self-transcendence adalah universalism dan benevolence. Sedangkan tipe nilai yang termasuk dalam dimensi self-enhancement adalah achievement dan power. Tipe nilai hedonism berkaitan baik dengan dimensi self-enhancement maupun openness to change.

4. Fungsi Nilai. Fungsi utama dari nilai dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Nilai sebagai standar (Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994), fungsinya ialah: 1) Membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam social issues tertentu (Feather, 1994). 2) Mempengaruhi individu untuk lebih menyukai ideologi politik tertentu dibanding ideologi politik yang lain. 3) Mengarahkan cara menampilkan diri pada orang lain. 4) Melakukan evaluasi dan membuat keputusan. 5) Mengarahkan tampilan tingkah laku membujuk dan mempengaruhi orang lain, memberitahu individu akan keyakinan, sikap, nilai dan tingkah laku individu lain yang berbeda, yang bisa diprotes dan dibantah, bisa dipengaruhi dan diubah. b. Sistim nilai sebagai rencana umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan keputusan (Feather, 1995; Rokeach, 1973; Schwartz, 1992, 1994). Situasi tertentu secara tipikal akan mengaktivasi beberapa nilai dalam sistim nilai individu. Umumnya nilai-nilai yang teraktivasi adalah nilai-nilai yang dominan pada individu yang bersangkutan. c. Fungsi motivasional Fungsi langsung dari nilai adalah mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi sehari-hari, sedangkan fungsi tidak langsungnya adalah untuk

mengekspresikan kebutuhan dasar sehingga nilai dikatakan memiliki fungsi motivasional. Nilai dapat memotivisir individu untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994), memberi arah dan intensitas emosional tertentu terhadap tingkah laku (Schwartz, 1994). Hal ini didasari oleh teori yang menyatakan bahwa nilai juga merepresentasikan kebutuhan (termasuk secara biologis) dan keinginan, selain tuntutan sosial (Feather, 1994; Grube dkk., 1994). d. Nilai Sebagai Keyakinan (Belief) Dari definisinya, nilai adalah keyakinan (Rokeach, 1973; Schwartz, 1994; Feather, 1994) sehingga pembahasan nilai sebagai keyakinan perlu untuk memahami keseluruhan teori nilai, terutama keterkaitannya dengan tingkah laku. Nilai itu sendiri merupakan keyakinan yang tergolong preskriptif atau proskriptif, yaitu beberapa cara atau akhir tindakan dinilai sebagai diinginkan atau tidak diinginkan.

Hal ini sesuai dengan definisi dari Allport bahwa nilai adalah suatu keyakinan yang melandasi seseorang untuk bertindak berdasarkan pilihannya (dalam Rokeach, 1973). Robinson dkk. (1991) mengemukakan bahwa keyakinan, dalam konsep Rokeach, bukan hanya pemahaman dalam suatu skema konseptual, tapi juga predisposisi untuk bertingkah laku yang sesuai dengan perasaan terhadap obyek dari keyakinan tersebut. 5. Pengukuran Nilai. Selama ini pengukuran nilai didasarkan kepada hasil evaluasi diri yang dilaporkan oleh individu ke dalam suatu skala pengukuran (mis. Rokeach value survey, Schwartz value survey). Evaluasi diri membutuhkan pemahaman kognitif maupun afektif terhadap diri sendiri, termasuk untuk membedakan antara nilai ideal normatif dan nilai faktual yang ada saat ini. Sejalan dengan hal ini, Schwartz, Verkasalo, Antonovsky dan Sagiv (1997) melihat hubungan antara respon terhadap social desirability dan skala nilai berdasarkan pelaporan diri. Mereka membuktikan bahwa terjadi bias pada pengukuran nilai yang mengandung aspek social desirability tinggi, yaitu pada tipe nilai hedonism, stimulation, self-direction, achievement dan power. Jadi pengukuran nilai yang menggunakan skala pelaporan diri pada penelitian yang banyak dipengaruhi aspek social desirability seperti dalam penelitian ini (mis. tingkah laku seksual) kurang baik. Cara lain yang digunakan untuk mengetahui nilai individu adalah dengan teknik wawancara. Teknik ini telah digunakan oleh Rokeach (1973) untuk menggali nilai-nilai apa saja yang dimiliki seseorang. Ia melakukan wawancara dengan para responden yang dimintanya untuk menjawab pertanyaan tentang nilai apa yang menjadi tujuan akhir mereka. Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, nilai-nilai seseorang akan tampak dalam beberapa indikator: a. Berkaitan dengan definisi nilai sebagai cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu, maka indikator pertama adalah pernyataan tentang keinginan-keinginan, prinsip hidup dan tujuan hidup seseorang. b. Indikator berikutnya adalah tingkah laku subyek dalam kehidupannya sehari-hari. Nilai berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bertingkah laku, memberi arah pada tingkah laku dan memberi pedoman untuk memilih tingkah laku yang diinginkan. Jadi tingkah laku seseorang mencerminkan nilai-nilai yang dianutnya.

Dari tingkah laku dapat dilihat apa yang menjadi prioritasnya, apa yang lebih diinginkan oleh seseorang. c. Fungsi nilai adalah memotivasi tingkah laku. Seberapa besar seseorang berusaha mencapai apa yang diinginkannya dan intensitas emosional yang diatribusikan terhadap usahanya tersebut, dapat menjadi ukuran tentang kekuatan nilai yang dianutnya. d. Salah satu fungsi dari nilai adalah dalam memecahkan konflik dan mengambil keputusan. Dalam keadaan-keadaan dimana seseorang harus mengambil keputusan dari situasi yang menimbulkan konflik, nilainya yang dominan akan teraktivasi. Jadi, apa keputusan seseorang dalam situasi konflik tersebut dapat dijadikan indikator tentang nilai yang dianutnya. Fungsi lain dari nilai adalah membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam suatu topik sosial tertentu dan mengevaluasinya. Jadi apa pendapat seseorang tentang suatu topik tertentu dan bagaimana ia mengevaluasi topik tersebut, dapat menggambarkan nilai-nilainya. E. Norma 1. Pengertian Norma. Norma adalah aturan yang berlaku di kehidupan bermasyarakat. Aturan yang bertujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan sentosa. Namun masih ada segelintir orang yang masih melanggar norma-norma dalam masyarakat, itu dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adalah faktor pendidikan, ekonomi dan lain-lain. Norma terdiri dari beberapa macam, antara lain yaitu : a. Norma Agama b. Norma Kesusilaan c. Norma Kesopanan d. Norma Kebiasaan (Habit) e. Norma Hukum 2. Norma Yang Berlaku Dalam Masyarakat. a. Norma Agama Adalah suatu norma yang berdasarkan ajaran aqidah suatu agama. Norma ini bersifat mutlak yang mengharuskan ketaatan para penganutnya. Apabila seseorang tidak memiliki iman dan keyakinan yang kuat, orang tersebut cenderung melanggar

norma-norma agama. Norma ini merupakan peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah, laranganlarangan dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa siksa kelak di akhirat. Contoh norma agama ini diantaranya ialah: 1) Kamu dilarang membunuh. 2) Kamu dilarang mencuri. 3) Kamu harus patuh kepada orang tua. 4) Kamu harus beribadah. 5) Kamu jangan menipu. b. Norma Kesusilaan Norma ini didasarkan pada hati nurani atau ahlak manusia. Melakukan pelecehan seksual adalah salah satu dari pelanggaran dari norma kesusilan. Dengan kata lain norma kesusilaan merupakan peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Contoh norma ini diantaranya ialah : 1) Kamu tidak boleh mencuri milik orang lain. 2) Kamu harus berlaku jujur. 3) Kamu harus berbuat baik terhadap sesama manusia. 4) Kamu dilarang membunuh sesama manusia. c. Norma Kesopanan Sebuah norma yang berpangkal dari aturan tingkah laku yang berlaku di masyrakat. Norma Kesopanan ini timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan sehingga masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati. Akibat dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya, karena sumber norma ini adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri. Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat.

Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian. Contoh norma ini diantaranya ialah : 1) Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain-lain, terutama wanita yang tua, hamil atau membawa bayi. 2) Jangan makan sambil berbicara. 3) Janganlah meludah di lantai atau di sembarang tempat dan. 4) Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua. d. Norma Kebiasaan (Habit) Norma ini merupakan hasil dari perbuatan yang dilakukan secara berulangulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Orang-orang yang tidak melakukan norma ini dianggap aneh oleh anggota masyarakat yang lain. Kegiatan melakukan acara selamatan, kelahiran bayi dan mudik atau pulang kampung adalah contoh dari norma ini. e. Norma Hukum Adalah himpunan petunjuk hidup atau perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat (negara). Sangsi norma hukum bersifat mengikat dan memaksa. Norma Hukum merupakan peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundangundangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama. Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum bersifat heteronom, artinya dapat

dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan negara. Contoh norma ini diantaranya ialah : 1) Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/nyawa orang lain, dihukum karena membunuh dengan hukuman setingi-tingginya 15 tahun. 2) Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti kerugian, misalnya jual beli.

3) Dilarang mengganggu ketertiban umum. 3. Norma dari Sudut Pandang Umum. Norma juga bisa berarti sebagai aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di lingkungan kehidupannya. Dari sudut pandang umum sampai seberapa jauh tekanan norma diberlakukan oleh masyarakat, norma dapat dibedakan sebagai berikut. a. Cara (Usage) Cara mengacu pada suatu bentuk perbuatan yang lebih menonjolkan pada hubungan antarindividu. Penyimpangan pada cara tidak akan mendapatkan hukuman yang berat, tetapi sekadar celaan, cemoohan, atau ejekan. Misalnya, orang yang mengeluarkan bunyi dari mulut (serdawa) sebagai pertanda rasa kepuasan setelah makan. Dalam suatu masyarakat, cara makan seperti itu dianggap tidak sopan. Jika cara itu dilakukan, orang lain akan merasa tersinggung dan mencela cara makan seperti itu. b. Kebiasaan (Folkways) Kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih tinggi daripada cara (usage). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama karena orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Misalnya, kebiasaan menghormati orang yang lebih tua. c. Tata Kelakuan (Mores) Jika kebiasaan tidak semata-mata dianggap sebagai cara berperilaku, tetapi diterima sebagai norma pengatur, kebiasaan tersebut menjadi tata kelakuan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari sekelompok manusia, yang dilaksanakan atas pengawasan baik secara sadar maupun tidak sadar terhadap anggotanya. Tata kelakuan, di satu pihak memaksakan suatu perbuatan, sedangkan di lain pihak merupakan larangan sehingga secara langsung menjadi alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan individu. Misalnya, larangan perkawinan yang terlalu dekat hubungan darah (incest). d. Adat Istiadat (Custom) Tata kelakuan yang terintegrasi secara kuat dengan polapola perilaku masyarakat dapat meningkat menjadi adapt istiadat. Anggota masyarakat yang

melanggar adat istiadat akan mendapat sanksi keras. Misalnya, hukum adat di Lampung melarang terjadinya perceraian pasangan suami istri. Jika terjadi perceraian, orang yang melakukan pelanggaran, termasuk keturunannya akan dikeluarkan dari masyarakat hingga suatu saat keadaannya pulih kembali. Norma pada umumnya berlaku dalam suatu lingkungan. Oleh karena itu, sering kita temukan perbedaan antara norma di suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Setiap individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan individu atau kelompok lainnya. Interaksi sosial mereka juga senantiasa didasari oleh adat dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya interaksi sosial di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan lain

sebagainya. Masyarakat yang menginginkan hidup aman, tentram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia perlu menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Tata itu lazim disebut kaidah (berasal dari bahasa Arab) atau norma (berasal dari bahasa Latin) atau ukuran-ukuran. Norma-norma itu mempunyai dua macam isi, dan menurut isinya berwujud: perintah dan larangan. Apakah yang dimaksud perintah dan larangan menurut isi norma tersebut? Perintah merupakan kewajiban bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik. Sedangkan larangan merupakan kewajiban bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik.

RANGKUMAN 1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian etika ada tiga yaitu: (1) Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. (2)Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak. (3)Nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat. 2. Macam Etika bisa dikelompokkan sebagai Etika Deskriptif dan Etika Normatif 3. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata etiket, yaitu: (1) Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang bertuliskan nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu. (2) Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan dalam pergaulan agar hubungan selalu baik. 4. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. 5. Schwartz (1992, 1994) mengemukakan adanya 10 tipe nilai (value types) yang dianut oleh manusia, yaitu : 1. Power 2. Achievement 3. Hedonism 4. Stimulation 5. Self-direction 6. Universalism 7. Benevolence 8. Tradition 9. Conformity 10. Security. 6. Berdasarkan adanya tipe nilai yang sejalan dan berkonflik, Schwartz

menyimpulkan bahwa tipe nilai dapat diorganisasikan dalam dimensi bipolar, yaitu : (1) Dimensi opennes to change yang mengutamakan pikiran dan tindakan independen yang berlawanan dengan dimensi conservation yang mengutamakan batasan-batasan terhadap tingkah laku, ketaatan terhadap aturan tradisional, dan perlindungan terhadap stabilitas (2) dimensi pada self-transcendence yang

menekankan penerimaan bahwa manusia

hakekatnya sama dan

memperjuangkan kesejahteraan sesama yang berlawanan dengan dimensi selfenhancement yang mengutamakan pencapaian sukses individual dan dominasi terhadap orang lain.

7. Fungsi utama dari nilai (1)Nilai sebagai standar (2) Sistim nilai sebagai rencana umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan keputusan motivasional (4) Nilai Sebagai Keyakinan (Belief) 8. Pengukuran nilai biasanya didasarkan kepada hasil evaluasi diri yang dilaporkan oleh individu ke dalam suatu skala pengukuran atau dengan teknik wawancara 9. Indikator yang digunakan untuk menentukan nilai-nilaiseseorang antara lain (1) bagaimana cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu (2) tingkah laku subyek dalam kehidupannya sehari-hari (3) memotivasi tingkah laku 10. Norma adalah aturan yang berlaku di kehidupan bermasyarakat. Aturan yang bertujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan sentosa. 11. Macam-macam norma yng berlaku di masyarakat; Norma Agama, Norma Kesusilaan, Norma Kesopanan, Norma Kebiasaan (Habit) dan Norma Hukum. (3) Fungsi

LATIHAN 1. Jelaskan perbedaan etika dan etiket! 2. Apa arti nilai menurut kuntjaraningrat? berikan penjelasan! 3. Schawartz mengungkapkan bahwa ada 10 tipe nilai yang dianut oleh manusia, jelaskan masing-masing dari nilai tersebut dan berikan penjelasan mengenai tipe-tipe nilai tersebut! 4. Apakah yang dimaksud dengan Dimensi opennes to change, sebutkan contohcontoh yang termasuk dalam dimensi ini! 5. Orang yang lebih mudah untuk menemukan teman baru tetapi juga mudah untuk mendapatkan musuh karena sifatnya yang sombong termasuk dalam tipe yang

mana menurut Schwartz? Jelaskan jawaban anda! 6. Jelaskan fungsi nilai yang paling penting menurut anda! Berikan contohnya dalam kehidupan nyata! 7. Jelaskan beda antara nilai dan norma! Berikan contohnya sehingga mudah untuk dipahami! 8. Orang yang melanggar norma kesusilaan akan mendapatkan rasa penyesalan dalam diri karena bertabrakan dengan hati sanubarinya, namun saat ini banyak orang melakukan perbuatan yang sangat bertentangan dengan kebenaraan hati, dan mereka tidak merasa menyesal, bagaimana pendapat anda dengan permasalahan seperti ini? 9. Orang yang melanggar norma hukum akan mendapat hukuman, hukuman itu sendiri bersifat mengatur dan memaksa. Sebutkan perbedaan dari mengatur dan memaksa itu sendiri! 10. Ada seorang preman yang dikampung selalu meminta uang dari orang-orang kaya yang ada di kampungnya, bahkan tidak jarang mencuri dari orang-orang kaya itu, namun uang yang didapatnya digunakanuntuk membantu orang-orang yang di sekitarnya terutama untuk fakir miskin dan orang yang kurang mampu karena preman ini ingin membantu tetapi tidak punya pekerjaan, sedangkan orang kaya ini sombong dan itdak mau membantu yang lain. Dari masalah nilai, norma, etika dan etikaet, jelaskan masalah ini dengan teori-toeri yang sudah ada!

BAB

ETIKA PROFESI

_____________________________________________________
Tujuan Instruksional Khusus: 1. Memahami pengertian etika profesi 2. Memahami urgensi etika profesi 3. Memahami prinsip-prinsip etika profesi

A. Pengertian Profesi dan Etika Profesi 1. Etika Kita sering mendengar, membaca, atau bahkan menggunakan, istilah etika di berbagai kesempatan. Sejumlah pengamat, misalnya, menganggap bahwa banyak politisi berperilaku tidak etis atau tidak mempertimbangkan etika lagi. Mereka menuntut perlunya para penyelenggara negara memperhatikan etika, dan

mengusulkan agar disusun suatu kode etik bagi para anggota legislatif, dan penyelenggara lainnya, bahkan juga untuk pelaksanaan kampanye pemilihan umum. Demikian pula, ketika menyeruak skandal-skandal keuangan seperti enron di AS, sejumlah pihak menegaskan kembali perlunya fondasi etika dalam berbisnis, berarganisasi dan dalam menjalankan profesi. Mereka, misalnya, menyindir para pebisnis dan profesional dengan mempertanyakan, masih adakah yang namanya etika itu? Etika dalam kehidupan keseharian adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan keseharian. Apalagi dengan perkembangan kehidupan sosial ekonomi budaya dan teknologi yang mendorong munculnya gejala-gejala moral yang fenomenal.

Kenyataan ini menunjukkan perhatian dan minat orang-orang terhadap etika dan seluk beluknya, terus berkembang. Dampak langsungnya, eksistensi dan penerapan etika dalam dunia bisnis dan profesi, terus

berkembang dan semakin meningkat.Dalam dunia bisnis atau profesinal, etika merupakan prinsip-prinsip moralitas yang mengatur dan menjadi pedoman bagi para pelaku bisnis atau profesi. Dimulai dari ketika ia melakukan pemikiran, menciptakan, dan mengambil berbagai keputusan dalam menjalankan bisnis atau profesinya. Mengingat begitu pentingnya etika, hampir semua profesi yang ada saat ini memiliki kode etika profesi yang dituangkan ke dalam bentuk peraturan tertulis. Tentu saja memiliki sanksi sebagaimana peraturan lainnya bagi pelaku yang dianggap melanggarnya.
2. Pengertian Profesi Profesi berasal dari bahasa latin Proffesio yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi kegiatan apa saja dan siapa saja untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik. Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan keterampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan keterampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut. Profesi merupakan bagian dari pekerjaan, namun tidak setiap pekerjaan adalah profesi. Seorang petugas staf administrasi biasa berasal dari berbagai latar ilmu, namun tidak demikian halnya dengan Akuntan, Pengacara, Dokter yang membutuhkan pendidikan khusus. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang mengandalkan keterampilan dan keahlian khusus yang tidak didapatkan pada pekerjaan-pekerjaan sebelumnya. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pengemban profesi tersebut untuk terus memperbaharui keterampilannya sesuai perkembangan teknologi.

Secara populer sedikitnya ada dua pengertian yang diberikan pada istilah profesi. Pertama, pekerjaan yang ditekuni dan menjadi tumupuan hidup. Kedua, lebih dari sekedar pekerjaan, profesi adalah bidang pekerjaaan yang dialnadasi oleh pendidikan keahlian tertentu. Selain itu, profesi sering dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu profesi baisa dan profesi luhur. Istilah profesi dalam bab ini, sebagaimana dapat kita pahami nanti, selain mengandung arti pekerjaan sebagai panggilan dan tumpuan hidup dan standar yang tinggi, juga berarti pekerjaan yang bercirikan keluhuran dan komitmen moral yang tinggi. Tegasnya, profesi memnag suatu pekerjaan, tetapi berbeda dengan pekerjaan pada umumnya. Suatu profesi dibangun dengan landasan yang bermoral karena seorang profesional memang dituntut untuk menghasilkan kinerja berstandar kualitas tinggi dan mengutamakan kepentingan publik. Karena nilai-nilai moral ini, maka menyatakan pencopet adalah profesi tentulah tidak tepat; seorang pencopet, kerenanya, bukanlah seorang profesional, tetapi seorang penjahat yang pada dasarnya anti moral atau immoral. 3. Ciri-Ciri dan Syarat Profesi. Ciri-ciri suatu profesi diantaranya adalah: a. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun. b. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi. c. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat. d. Izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa

keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus. e. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi. Syarat Suatu Profesi 1) Melibatkan kegiatan intelektual. 2) Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus. 3) Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan. 4) Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan. 5) Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.

6) Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi. 7) Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat. 8) Menentukan standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik. 4. Pengertian Etika Profesi. Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitandengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation) yang sangat dipengaruhioleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetapi belumtentu dikatakan memiliki profesi yang sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yangdiperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatupekerjaan dapat disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yangmendasari praktek pelaksaan, dan penguasaan teknik intelektual yang merupakanhubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Adapun hal yang perludiperhatikan oleh para pelaksana profesi. Berkaitan dengan bidang pekerjaan yang telah dilakukan seseorang sangatlahperlu untuk menjaga profesi dikalangan masyarakat atau terhadap konsumen(klien atau objek). Dengan kata lain orientasi utama profesi adalah untukkepentingan masyarakat dengan menggunakan keahlian yang dimiliki. Akan tetapitanpa disertai suatu kesadaran diri yang tinggi, profesi dapat dengan mudahnyadisalahgunakan oleh seseorang seperti pada penyalahgunaan profesi seseorangdibidang komputer misalnya pada kasus kejahatan komputer yang berhasilmengcopy program komersial untuk diperjualbelikan lagi tanpa ijin dari hakpencipta atas program yang dikomesikan itu.Sehingga perlu pemahaman atasetika profesi dengan memahami kode etik profesi.Menurut Keiser dalam (Suhrawardi Lubis, 1994: 6-7), etika profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan profesional terhadap masyarakat dengan ketertiban penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat. Profesional (seorang profesional) adalah orang yang menjalani suatu profesi, dan karenanya, mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk berkarya dengan standar kualitas tinggi dilandasi dengan kmitmen moral yang tinggi pula. Mengingat makna profesi dan profesional itu, maka etika profesi merupakan unsur atau dimensi yang tak terpisahkan dari setiap profesi. Etika profesi atau etika profesional merupakan unsur sangat penting dalam kehidupan komunitas profesi. Etika profesi

merupakan pembeda utama antara para profesional dengan orang-orang yang sekedar ahli di bidang yang mereka pilih untuk ditekuni ( pekerjaan). Dengan berpedoman pada nilai-nilai etis, yang antara lain digariskan dalam kode etik profesi, para profesional meraih dan memiliki reputasi yang tinggi, dan karena itu jasa mereka sangat dibutuhkan dan dihargai oleh masyarakat. Etika profesi merupakan jantung harapan publik dalam kaitannya dengan tingkat kepercayaan dalam pekerjaan yang dikategorikan dengan sebutan profesional. Masyarakat menghargai profesi yang memegang teguh standar etika yang tinggi dan akan memandang rendah profesi itu jika kepercayaan yang mereka berikan dikhianati. Etika profesi atau etika profesional merupakan suatu bidang etika (sosial) terapan. Etika profesi berkaitan dengan kewajiban etis mereka yang menduduki posisi yang disebut profesional. Etika profesi berfungsi sebagai panduan bagi para profesional dalam menjalani mereka memberikan dan mempertahankan jasa kepada masyarakta yang berstandar tinggi. Sebagai bidang etika terapan, etika profesi pada dasarnya berkaitan dengan penerapan standar moral atau prinsip-prinsip moral tertentu yang disepakati untuk dijadikan sebagai nilai-nilai dan panduan bersamaoleh para anggota profesi. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan profesi, etika meliputi norma-norma yang mentransformasikan nilai-nilai atau cita-cita (luhur) ke dalam praktik sehari-hari para profesional dalam menjalankan profesi mereka. Norma-norma ini biasanya dikodifikasikan secara formal ke dalam bentuk kode etik (code of ethics) atau kode (aturan) perilaku (code of conducts) profesi yang bersangkutan. Etika profesi biasanya dibedakan dari etika kerja (work ethics atau occupational ethics) yang mengatur praktik, hak dan kewajiban bagi mereka yang bekerja di bidang yang tidak disebut profesi (non-profesional) non-propfesional adalah pegawai atau pekerja biasa dan dianggap dan dianggap kurang memiliki otonomi dan kekuasaan atau kemampuan profesional. Namun demikian, ada sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada alasan moral untuk mengeluarkan etika kerja dari kajian etika profesional karena keduanya tidak terlalu berbeda jenisnya kecuali yang menyangkut besarnya bayaran yang diterima dari pekerjaan mereka. Pertimbangan utamanya adalah bahwa orang pada umumnya tidak terlampau mengkhawatirkan terjadinya perampasan atau pengambilalihan pekerjaan, melainkan mengkhawatirkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan,

kekuasaan atau keahlian. Misalnya, masyarakat tidak atau kurang mengkhawatirkan bahwa tukang daging akan mengambil alih pekerjaan penjahit, atau sebaliknya, penjahit akan mengambil alih pekerjaan mereka hanya demi kepentingan mereka sendiri. Perbedaan antara etika profesi dan etika kerja lazimnya dilakukan mengingat aktivitas pra profesional seperti dokter, pengacara, dan akuntan, adalah berbeda dengan pekerja lain pada umumnya. Para profesional memiliki karakteristik khusus dari segi pendidikan atau pelatihan, pengetahuan, pengalaman, dan hubungan dengan klien, yang membedakannya dari pekerja non-profesional. Tuntutak akan standar profesionalisme dan etika untuk para profesionaladalah jauh lebih tinggi dibandingkan terhadap nonprofesional. Namun demikian tetap perlu diingat, meskipun etika profesi dibedakan dari etika kerja, kerangka dan prinsip-prinsip yang dicakup etika profesi tetap dapat diberlakukan sebagai etika kerja. Ini terutama karena etika profesi mencakup prinsip-prinsip umum etika yang, sebagaimana prinsip-prinsip itu diberlakukan pada kehidupan profesi, dapat diterapkan pada bidnag pekerjaan atau kehidupan yang lain. 5. Kode Etik Profesi Kode; yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis. Kode etik ; yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Menurut UU no. 8 (pokok-pokok kepegawaian), Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalammelaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana seseorang sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode etik profesi : a. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

b. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan keja (kalangan sosial). c. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan. Kode etik profesi sebetulnya tidak merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah ; SUMPAH HIPOKRATES, yang dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi dokter. Kode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi.Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti.Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis.Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kode etik yang berisikan nilainilai dan citacita yang diterima oleh profesi itu sendiri yang bis mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya di awasi terus menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode etik.

10

Sanksi Pelanggaran KodeEtik : a. Sanksi moral b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi c. Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek seharihari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya. Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi.Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi.Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya normanorma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang professional. Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah : a. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. b. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.

11

c. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah dibutuhkan dalam berbagai bidang. 6. Tujuan Kode Etika Profesi Prinsip-prinsip umum yang dirumuskan dalam suatu profesi akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan adat, kebiasaan, kebudayaan, dan peranan tenaga ahli profesi yang didefinisikan dalam suatu negar tidak sama. Adapun yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam kode etik (Code of conduct) profesi adalah: a. Standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab terhadap klien, institusi, dan masyarakat pada umumnya b. Standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaan c. Standar-standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama dan fungsi-fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan-kelakuan yang jahat dari anggota-anggota tertentu d. Standar-standar etika mencerminkan / membayangkan pengharapan moralmoral dari komunitas, dengan demikian standar-standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati kitab UU etika (kode etik) profesi dalam pelayanannya e. Standar-standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi f. Perlu diketahui bahwa kode etik profesi adalah tidak sama dengan hukum (atau

undang-undang). Seorang ahli profesi yang melanggar kode etik profesi akan menerima sangsi atau denda dari induk organisasi profesinya g. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi. h. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi. i. j. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat. Menentukan baku standarnya sendiri.

B. Urgensi Etika Profesi Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya

12

manusia bergaul.Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masingmasing yang terlibat agara mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindaksecara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang perlu kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita .Begitu juga dengan etika profesi yang keberadaannya sangat diperlukan bagi kalangan professional. Kode etik profesi merupakan produk etika terapan karena dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu profesi.Kode etik profesi dapat berubah dan diubah seiring perkembangan zaman.Kode etik profesi merupakan pengaturan diri profesi yang bersangkutan, dan ini perwujudan nilai moral yang hakiki, yang tidak dipaksakan dari luar. Kode etik profesi hanya berlaku efektif apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilainilai yang hidup dalam lingkungan profesi itu sendiri.Setiap kode etik profesi selalu dibuat tertulis yang tersusun secara rapi, lengkap, tanpa catatan, dalam bahasa yang baik, sehingga menarik perhatian dan menyenangkan pembacanya.Semua yang tergambar adalah perilaku yang baik-baik.Bukan algoritma sederhana yang dapat menghasilkan keputusan etis atau tidak etis Kadang-kadang bagian-bagian dari kode etik dapat terasa saling bertentangan ataupun dengan kode etik lain.Kita harus menggunakan keputusan yang etis untuk bertindak sesuai dengan semangat kode etik profesi.Kode etik yang baik menggariskan dengan jelas prinsip-prinsip mendasar yang butuh pemikiran, bukan kepatuhan membuta. Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan

13

pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat built-in mechanism berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999). Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semua dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujungujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini. C. Prinsip dan Peranan Etika Profesi 1. Prinsip-Prinsip Etika Profesi. Terdapat beberapa prinsip yang melekat dengan etika profesi diantaranya adalah sebagai berikut: a. Tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya dan tangggung jawab terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya. b. Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. c. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya, tetapi dibatasi tanggungjawab dan komitmen profesional dan tidak mengganggu kepentingan umum. d. Prinsip integritas moral yang tinggi. Komitmen pribadi menjaga keluhuran profesi.

14

2. Peranan Etika Dalam Profesi. a. Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama. b. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya. c. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya. 3. Prinsip etika akuntasi terhadap Kepentingan Publik. Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat

15

pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. 4. Penyebab Pelanggaran Kode Etik Profesi. a. Pengaruh sifat kekeluargaan Misalnya Seorang dosen yang memberikan nilai tinggi kepada seorang mahasiswa dikarenakan mahasiswa tersebut keponakan dosen tersebut. b. Pengaruh jabatan Misalnya seorang yang ingin masuk ke akademi kepolisian , dia harus membayar puluhan juta rupiah kepada ketua polisi di daeranhya , kapolsek tersebut menyalah gunakan jabatannya. c. Pengaruh masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia, sehingga

menyebabkan pelaku pelanggaran kode etik profesi tidak merasa khawatir melakukan pelanggaran. d. Tidak berjalannya kontrol dan pengawasan dari masyarakat e. Organisasi profesi tidak dilengkapi denga sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan f. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi,

karena buruknya pelayanan sosialisasi dari pihak profesi sendiri g. Belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya h. Tidak adanya kesadaran etis da moralitas diantara para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya 5. Sistem Penilaian Etika Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila.Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti.Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk

16

perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari semasih berupa angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata. Burhanuddin Salam, Drs. menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai pada 3 (tiga) tingkat : a. Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam hati, niat. b. Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti. c. Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau buruk. Berdasarkan sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa Etika Profesi merupakan bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Kata hati atau niat biasa juga disebut karsa atau kehendak, kemauan, wil. Dan isi dari karsa inilah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Dalam hal merealisasikan ini ada (4 empat) variabel yang terjadi : a. Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik. b. Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya kelihatannya baik. c. Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik. d. Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik. D. Isu-Isu Seputar Etika Profesi 1. Mal praktik dalam Birokrasi Pelayanan Publik. Mal-praktik telah menjadi isu yang sering didengar di Indonesia, seperti dalam buku Kusmanadji (2004,16-1) mal-praktik dalam birokrasi atau maladministrasi pada dasarnya adalah praktik administrasi yang menyimpang dari etika administrasi dan sekaligus menggagalkan pencapaian tujuan organisasi.Dalam konteks pelayanan publik atau birokrasi, mal administrasi adalah masalah etika karena menyimpang atau bahkan melanggar nilai-nilai atau prinsip-prinsip etika yang seharusnya dijunjung tinggi. Penyimpangan etika ini dapat mengambil banyak bentuk antra lain, ketidakjujuran, perilaku tercela, pengabaian atau pelanggaran hukum, favoritisme, perlakuan tidak adil, pemborosan dan penggelapan dana, menutupnutupi kesalahan, dan kegagalan dalam berinisiatif. Ketidakjujuran banyak terjadi dalam lilngkungan birokrasi contohnya

pelayanan yang dibuat menjadi lebih cepat dari biasanya karena telahmenerima

17

imbalan. Perbuatan tercela yang dilakukan oleh aparatur negara mungkin tidak melanggar hukum tapi menurut standar etika perbuatan tersebut tidak patut contohnya mendahulukan pejabat daripada orang biasa padahal orang tersebut

mengantre lebih dahulu. Pengabaian atau pelanggaran hukum mudah dijumpai di lingkungan birokrasi. Banyak pegawai yang mengetahui bahwa barang-barang dinas tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi namun mereka dengan sengaja menggunakan barang tersebut, misalnya kendaraan dinas untuk keperluan keluarga tanpa melalui proses perijinan yang ditetapkan. Favoritisme lazimnya berkaitan dengan ketidakobjektifan aparatur pemerintah dalam menafsirkan hukum atau peraturan.Dalam hal ini, aparatur pemerintah dalam menafsirkan hukum atau peraturan.Dalam hal ini, aparatur tersebut tetap mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, tetapi hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan sesuai dengan kepentingannya sendiri atu demi keuntungan pribadi. Perlakuan tidak adil acap terjadi baik terhadap pegawai ,maupun terhadap warga masyarakat yang menjadi pelanggan. Sebagi contoh, seorang atasan dalam suatu instansi, karena merasa senang dengan seseorang dibawahnya atasan tersebut memperlakukan bawahannya secara berbeda dibandingkan dengan bawahan lainnya termasuk misalnya dalan hal pengusulan untuk promosi.Pemborosan dan inefisiensi juga sering terjadi di birokrasi.Banyak terjadi bahwa harga barang atau jasa yang dibeli jauh lebih tinggi daripada harga wajarnya.Dalam banyak hal, pemborosan atau inefisiensi sejenis ini bersangkut paut dengan penggelembungan harga (mark-up).Selain itu, tidak sulit menemukan pegawai yang menggunakan barang-barang atau sarana lebih banyak dari yang diperlukan.Ini umumnya terjadi karena kurang atau tiadanya rasa memiliki dan tanggung jawab sebagaimana diharapkan oleh masyarakat yang memberikan kepercayaan kepada mereka untuk mengelola sumberdaya publik untuk kepentingan publik sebesar-besarnya. Bentuk lain mal-administrasi adalah kegagalan menunjukkan inisiatif, seperti ketidakberanian mengambil tindakan yang diperlukan padahal memiliki kewenangan untuk itu, ketidakmampuan memberikan usulan-usulan yang berguna. Banyak pejabat yang tidak berani mengambil keputusan dengan alasan menunggu adanya petunjuk pelaksana atau petujuk kriteria.

18

2. Korupsi. Korupsi merupakan isu etika yang banyak disoroti oleh penjuru dunia. Dalam bukunya Kusmanadji (2004,16-3) walaupun korupsi sering terjadi di hampir semua negara, namun di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, korupsi sangat merajalela bahkan ditengarai telah menjadi budaya.Secara ekonomi dan politik, korupsi ini dinilai memiliki dampak luar biasa karena menghambat pertumbuhan atau kemajuan ekonomi dan demokrasi megara yang bersangkutan.Oleh sebab itu, pada saat ini gerakan memberantas korupsi bergaung dimana-mana, dan Indonesia sendiri sebenarnya telah membangun kerangka atau system hukum dan

kelembagaan untuk memberantas korupsi, walaupun banyak pihak yang masih skeptic.Terakhir, lembaga independen anti korupsi, yakni Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) telah dibentuk dan telah memulai menjalankan tugasnya. Korupsi sebenarnya bukan monopoli pegawai negeri atau pejabat publik, namun tindak korupsi ini lebih menonjol dikaitkan dengan jabatan negeri atau publik (negara) Mengingat dampak buruknya yang dipandang luar biasa terhadap kehidupan social dan ekonomi suatu negara, masalah korupsi ini telah dikategorikan sebagai tindak pidana sehingga menjadi permasalahan hukum. Pada saat ini diakui bahwa pola korupsi adalah sangat beragam dari satu negara ke negara lain. Namun dari sudut pandang etika, korupsi dalam konteks birokrasi atau administrasi publikkorupsi dapat didefinisikan sebagai penggunaan jabatan, posisi, fasilitas atau sumberdaya publik untuk kepentingan atau kepentingan pribadi.Jadi, korupsi pada dasarnya merupakan pelanggaran, jika bukan pengkhianatan, terhadap kepercayaan publik yang diberikan kepada pegawai atau pejabat publik. Dengan perkataan lain, pejabat publik yang telah diserahi kepercayaan untuk mengelola sumberdaya publik dan seharusnya memberikan jaminan bahwa mereka bekerja demi kepentingan publik yang ternyata membelokkannya demi kepentingan diri sendiri. Keuntungan atau kepentingan pribadi tersebut tidak terbatas pada kepentingan tau keuntungan keuangan (finansial), tetapi meliputi juga semua jenis manfaat sekalipun tidak secara langsung berkaitan dengan diri pegawai/pejabat yang bersangkutan. Dengan definisi yang luas tersebut, maka sebenarnya banyak sekali tindakan atau keputusan pegawai negeri/pejabat publik yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. Perbuatan-perbuatan seperti pembelian atau pembayaran fiktif dan penggelembbungan harga, penerimaan suap atau uang pelican, pemungutan liar

19

(tidak sah), mangkir kerja, dan penerimaab hadiah atau sumbangan dapat dikategorikan sebagai korupsi, karena perbuatan-perbuatan tersebut berkaitan erat dengan kewenangan atau kedudukan/jabatan pelaku yang bersangkutan dan keuntungan atau kepentingan pegawai/pejabat (termasuk keluarga dan kawan). Perbuatan-perbuatan ini melanggar sumpah dan janji pegawai negeri dan sekaligus melanggar prinsip-prinsip etika seperti kejujuran, keadilan, objektivitas, dan legalitas. Dari sudut pandang hukum dalam UU tentang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3/1971 yang diubah dengan UU NO. 31/1999), korupsi merupakan tindak pidana yang diartikan sebagai perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara (Pasal 2). Jadi, secara hukum suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi jika memenuhi tiga kondisi : a. Melawan hukum b. Menguntungkan diri sendiri c. Merugikan negara atau perekonomian negara Selain itu, sesuai dalam pasal 3 termasuk sebagai korupsi adalah penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dimaksudkan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan perbautan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Definisi menurut hukum ini lebih spesifik dibandingkan dengan definisi menurut etika, yaitu dengan memasukkan kriteria memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kriteria ini dalam kasus-kasus tertentu banyak digunakan oleh koruptor untuk mengelak dari kejahatan. Dengan kriteria tersebut, seorang pegawai bisa mengatakan bahwa ia tidak melakukan korupsi ketika menggunakan mobil dinas untuk perjalanan dalam rangka urusan pribadi/keluarga, menggunakan telepon kantor untuk urusan keluarga, karena perbuatan-perbuatan tersebut tidak memperkaya dirinya atau tidak mengganggu perekonomian negara. Demikian pula, menggunakan waktu kerja untuk jalan-jalan di mall, datang terlambat di kantor, dan sejenisnya bukan korupsi melainkan perbuatan yang wajar-wajar saja. Ditinjau dari prinsip etika utilitarian, boleh jadi konsekuensi (kerugian) dari perbuatan-perbuatan tersebut tidak signifikan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang jika terus-menerus terjadi (perbuatan yang

20

bersangkutan menjadi kebiasaan) konsekuensi buruk tersebut akan sangat mempengaruhi kinerja instansi yang bersangkutan. Sementara itu dari sudut pandang etika kewajiban, jelas bahwa perbuatan-perbuatan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai (etika) yang seharusnya dipatuhi dan dijunjung tinggi, seperti loyalitas, tanggung jawab, efisiensi, dan kejujuran.Dalam perdebatan mengenai korupsi dan perumusan strategi pencegahan dan pemberantasannya, diakui bahwa korupsi ini bukan penyakit musiman atau bersifat sementara, tetapi dampak buruknya dapat dirasakan di mana-mana.Dengan makin intensif dan berkembangnya interaksi sector swasta dengan sektor publik, berbagai bentuk korupsi ditengarai tumbuh subur. Korupsi sering disandingkan dengan kolusi dan nepotisme sehingga terkenal dengan istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kolusi seperti halnya definisi yang digunakan dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi ,dam Mepotsme mengacu kepada permufakatan atau kerjasama (secara melawan hukum) dengan sesama

pegawai/pejabat publik atau dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masayrakat dan atau negara. Sementara itu nepotisme adalh setipa perbuatan oleh pegawai/pejabat publik (secara melawan hukum) yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.Dlam konteks birokrasi publik, kolusi dan nepotisme merupakan dua bentuk pelanggaran etika pelayanan publik, dan sebenarnya keduanya dipandang sebagai bentuk-bentuk dari tindak korupsi itu sendiri atau sebagai bagain dari tindak korupsi. 3. Benturan Kepentingan Isu etika penting lainnya yang bersangkut paut dengan birokrasi dan pelaku pelayanan publik adalah benturan kepentingan (conflict of interest). Sesuai dengan buku Kusmanadji (2004,16-6) benturan kepentingan ini tidak harus berarti korupsi, tetapi sangat membahayakan karena merupakan pintu menuju korupsi. Secara historis, pendefinisian benturan kepentingan dalam konteks birokrasi publik merupakan subjek beragam pendekatan.Ketika pejabat publik memiliki kepentingan yang sah yang timbul di luar kapasitas mereka sebagai warga negara biasa (pribadi), benturan kepentingan tidak dapat dihindarkan atau dihalangi, sehingga perlu didefinisikan, diidentifikasi dan dikelola.

21

Secara sederhana dan pragmatis, benturan kepentingan berkaitan dengan bentuan antara tugas publik dan kepntingan pribadi pegawai/pejabat publik, yang dalam hal ini kepentingan pribadi tersebut dapat mempengaruhi secara tidak menguntungkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab publik pegawai/pejabat yang bersangkutan, benturan ini termasuk dalam benturan kepentingan aktual. Benturan kepentingan yang tampak dapat dikatakan ada apabila tampak bahwa kepentingan pribadi seorang pejabat publik dapat secara tetapi tidak dalam

menguntungkan

mempengaruhi

pelaksanaan

tugas-tugasnya

kenyataannya tidak terjadi.Sementara itu benturan kepentingan potensial timbul apabila pejabat publik amemiliki kepentingan pribadi yang dapat menimbulkam benturan jika di kemudian hari terlibat dalam pelaksanaan tanggung jawab publik tertentu.Apabila suatu kepentingan pribadi dalam kenyataannya telah

mengkompromikan (mempengaruhi secara negatif) pelaksanaan tugas atau kinerja pejabat publik, maka situasi khusus ini lebih baik dianggap sebagai perilaku menyimpan, atau penyalahgunaan wewenang atau bahkan suatu tindak korupsi bukan benturan kepentingan. Seperti halnya pada definisi korupsi, pada definisi benturan kepentingan ini, pengertian kepentingan pribadi tidak dibatasi hanya pada kepentingan keuangan, atau kepentingan yang menyebabkan manfaat langsung bagi pejabat publik yang bersangkutan. Suatu benturan kepentingan dapat melibatkan aktivitas pribadi, hubungan pribadi,, dan kepentingan keluarga yang sah sekalipun, jika kepentingankepentingan tersebut dapat secara layak dianggap akan mempengaruhi secara negatif kinerja pejabat publik yang bersangkutan. Jadi kepentingan pribadi apa pun, yang berpotensi untuk mempengaruhi secara negative kinerja pejabat publik yang bersangkutan adalah relevan untuk mendefinisikan benturan kepentingan ini. Benturan kepentingan ini perlu mendapatkan perhatian, perlu dikelola dan diselesaikan dengan tepat. Tanpa pengelolaan yang tepat benturan kepentingan ini berpotensi untuk menggerogoti kelangsungan pemerintahan yang demokratis karena a. Melemahkan kepatuhan para pejabat publik teradap nilai-nilai legitimasi, imparsialitas, dan keadilann dalam pengambilan keputusan publik. b. Mendistorsi aturan hukum, perumusan dan pelaksanaan kebijakan, mekanisme pasar, dan alokasi sumberdaya publik.

22

4. Fakta-Fakta Pelanggaran Etika Profesi. a. BFA Skandal Baptist Foundation of Arizona (BFA) menjadi kebangkrutan terbesar perusahaan amal nirlaba dalam sejarah AS, dimana Andersen bertindak sebagai auditornya. Mereka dianggap menipu investor sebesar $570 juta. BFA didirikan untuk menghimpun dana dan mengelola gereja di Arizona. Lembaga ini bekerja seperti bank, membayar bunga deposito yang digunakan sebagian besar untuk berinvestasi di Arizona real estate. Ini merupakan investasi yang lebih spekulatif daripada apa yang dilakukan lembaga pembaptis lainnya. Masalah dimulai ketika pasar real estate mengalami penurunan, dan manajemen dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Karenanya, pengurus yayasan diduga menyembunyikan kerugian dari investor sejak 1986 dengan menjual

beberapa properti dengan harga tinggi kepada entitas-entitas yang telah meminjam uang dari ayyasan yang tak mungkin membayar properti kecuali kondisi pasar real estate berbalik. Dalam dokumen pengadilan apa yang disebut dengan skema Ponzi setelah kasus peniupuan yang terkenal, pejabat yayasan diduga mengambil uang dari investor baru untuk membayar investor yang sudah ada untuk menjaga arus kas. Sementara itu, pejabat puncak menerima gaji.Skema ini akhirnya terurai, mengarah pada investigasi kriminal dan tuntutan terhadap BFA dan

Andersen.Akhirnya, yayasan mengajukan petisi Bab 11 mengenai perlindungan kebangkrutan pada tahun 1999. Gugatan investor terhadap Andersen menuduh perusahaan ini melakukan pemalsuan dan menyesatkan laporan keuangan BFA.Dala sebuah pernyataannya di tahun 2000, Andersen merespon rasa simpatinya kepada BFA tetapi membela keakuratan dengan opininya tentang audit.Namun setelah dua tahun penyelidikan, laporan menunjukkan bahwa Andersen sudah diperingatkan kemungkinan kegiatan penipuan oleh beberapa karyawan BFA, yang akhirnya perusahaan setuju untuk membayar $217 juta untuk menyelesaikan gugatan dengan pemegang saham pada taun 2002. b. Sunbeam Masalah Andersen dengan Sunbeam bermula dari kegagalan audit yang membuat kesalahan serius pada akuntansinya yang akhirnya menghasilkan tuntutan class action dari investor Sunbeam. Baik dari gugatan hukum dan perintah sipil yang

23

diajukan SEC menuduh Sunbeam membesar-besarkan penghasilan melaului strategi penipuan akuntansi, seperti pendapatan cookie jar, recording revenue on contingent sales, dan mempercepat penjualan dari periode selanjutnya ke kuartal masa kini. Perusahaan juga dituduh melakukan hal yang tidak benar melakukan transaksi bill-and-hold, dimana menggembungkan pesanan bulan depan dari pengiriman sebenarnya dan tagihannya. Akibatnya, Sunbeam dipaksa meyatakan kembali laporan keuangan selama enam kuartal.SEC juga menuduh Arthur Andersen.Pada 2001, Sunbeam

mengajukan petisi kepada Pengadilan kepailitan AS Distrik Selatan New York dengan Bab 11 Judul 11 tentang aturan kebangkrutan. Agustus 2002, pengadilan memutuskan pembayaran sebesar $141 juta. Andersen setuju membayar $110 juta untuk menyeleaikan klaim tanpa mengakui kesalahan dan tanggung jawab.

Sunbeam mengalami kerugian pemegang saham sebesar $4,4 miliar dan kehilangan ribuan karyawannya. Sunbeam terbebas dari kebangkrutan. c. Waste Management Andersen juga terlibat dalam pengadilan atas data akuntansi yang dipertanyakan mengenai pendapatan yang berlebih sebesar $1,4 miliar dari Waste Management. Gugatan diajukan oleh SEC atas penipuan laporan keuangan selama lebih dari lima tahun. Menurut SEC, Waste Management membayar jasa audit kepada Andersen, yang menyarankan bahwa bisa memperoleh biaya tambahan melalui tugas khusus. Awalnya Andersen mengidentifikasi praktek-praktek akuntansi yang tidak tepat dan disajikan kepada Waste Management.Namun pimpinan Waste Management menolak mengkoreksi. Hal ini dilihat oleh SEC sebagai upaya menutupi penipuan masa lalu untuk melakukan penipuan masa depan. Hasilnya, Andersen harus membayar $220 juta ke pemegang saham Waste Management dan $7 juta ke SEC. Andersen dipaksa untuk melakukan perjanjian untuk tidak melakukan laporan palsu di masa mendatang atau izin usahanya akan dicabut suatu persetujuan yang kemudian memutuskan hubungannya dengan Enron. d. Enron Bulan Oktober 2001, SEC mengumumkan investigasi akuntansi Enron, salah satu klien terbesar Andersen. Dengan Enron, Andersen mampu membuat 80 persen

24

perusahaan minyak dan gas menjadi kliennya. Namun, pada November 2001 harus mengalami kerugian sebesar $586 juta.Dalam sebulan, Enron bangkrut. Departemen Kehakiman AS memulai melakukan penyelidikan kriminal pada 2002 yang mendorong Andersen dan kliennya runtuh. Perusahaan audit akhirnya mengakui telah menghancurkan dokumen yang berkaitan dengan audit Enron yang menghambat putusan. Atas kasus itu, Nancy Temple, pengacara Andersen meminta perlindungan Amandemen Kelima yang dengan demikian tidak memiliki saksi.Banyak pihak yang menamainya sebagai bujukan koruptif yang menyesatkan.Dia menginstruksikan David Duncan, supervisor Andersen dalam pengawasan rekening Enron, untuk menghapus namanya dari memo yang bisa memberatkannya. Pada Juni 2005, pengadilan memutuskan Andersen bersalah menghambat peradilan, menjadikannya perusahaan akuntan pertama yang dipidana.Perusahaan setuju untuk menghentikan auditing publik pada 31 Agustus 2002, yang pada prinsipnya mematikan bisnisnya. e. Perusahaan Telekomunikasi Sayangnya, tuduhan penipuan tidak berakhir pada kasus Enron. Berita segera muncul ketika WorldCom, klien terbesar Andersen, memiliki penyimpangan sebesar $3,9 miliar. Harga sahamnya kemudian jatuh dan investor melayangkan serangkaian tuntutan hukum yang mengirim WorldCOm ke Pengadilan Kepailitan. Andersen menyalahkan WorldCom dan berikeras bahwa penyimpangan tidak pernah diungkapkan kepada auditor dan bahwa ia telah memenuhi standar SEC dalam auditnya. WorldCOm balik menuduh Andersen karena gagal menemukan

penyimpangan yang ada. Selama kasus Enron dan WorldCOm berlanjut, banyak perusahaanperusahaan lainnya dituduh melakukan penyimpangan akuntansi. 5. Isu-isu Seputar Hukum dan Etika Dalam Pengauditan Andersen yang Menyimpang. Kasus tersebut secara kasat mata kasus tersebut terlihat sebuah tindakan malpraktik jika dilihat dari etika bisnis dan profesi akuntan antara lain: a. Adanya praktik discrimination of information/unfair discrimination, terlihat dari tindakan dan perilaku yang tidak sehat dari manajemen yang berperan besar pada kebangkrutan perusahaan, terjadinya pelanggaran terhadap norma etika corporate

25

governance dan corporate responsibility oleh manajemen perusahaan, dan perilaku manajemen perusahaan merupakan pelanggaran besar-besaran terhadap

kepercayaan yang diberikan kepada perusahaan. b. Adanya penyesatan informasi. Dalam kasus Enron misalnya, pihak manajemen Enron maupun Arthur Andersen mengetahui tentang praktek akuntansi dan bisnis yang tidak sehat.Tetapi demi mempertahankan kepercayaan dari investor dan publik kedua belah pihak merekayasa laporan keuangan mulai dari tahun 1985 sampai dengan Enron menjadi hancur berantakan.Bahkan CEO Enron saat menjelang kebangkrutannya masih tetap melakukan Deception dengan menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan prospek yang sangat baik. Andersen tidak mau mengungkapkan apa sebenarnya terjadi dengan Enron, bahkan awal tahun 2001 berdasarkan hasil evaluasi Enron tetap dipertahankan. c. Arthur Andersen, merupakan kantor akuntan publik tidak hanya melakukan manipulasi laporan keuangan, Andersen juga telah melakukan tindakan yang tidak etis, dalam kasus Enron adalah dengan menghancurkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan kasus Enron. Arthur Andersen memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan.Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur. Disini Andersen telah ingkar dari sikap profesionallisme sebagai akuntan independen dengan melakukan tindakan

menerbitkan laporan audit yang salah dan meyesatkan. 6. Bukti Bahwa Budaya Perusahaan Andersen Berkontribusi Terhadap Kejatuhan Perusahaan Ada beberapa poin yang membuktikan bahwa budaya perusahaan

berkontribusi terhadap kejatuhan perusahaan, diantaranya: a. Pertumbuhan perusahaan dijadikan prioritas utama dan menekankan pada perekrutran dan mempertahankan klien-klien besar, namun mutu dan independensi audit dikorbankan. b. Standar-standar profesi akuntansi dan integritas yang menjadi contoh

perusahaan-perusahaan lainnya luntur seiring motivasi meraup keuntungan yang lebih besar.

26

c. Perusahaan terlalu fokus terhadap pertumbuhan, sehingga tanpa sadar menghasilkan perubahan mendasar dalam budaya perusahaan. Perubahan sikap lebih memprioritaskan mendapatkan bisnis konsultasi yang memiliki pertumbuhan keuntungan lebih besar lebih tinggi dibanding menyediakan layanan auditing yang obyektif yang merupakan dasar dari awal mula berdirinya Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen. Pada akhirnya ini menggiring pada kehancuran perusahaan. d. Andersen menjadi membatasi pengawasan terhadap tim audit akibat

kurangnya check and balances yang bisa terlihat ketika tim audit telah menyimpang dari kebijakan semula. e. Sikap Arthur Andersen yang memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan. Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hokum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur.Akibatnya, banyak klien Andersen yang memutuskan hubungan dan Arthur Andersen pun ditutup. 7. Bagaimana UU Sarbanes-Oxiety Bisa meminimalkan Kesalahan Auditor dan Penyimpangan Akuntansi Akibat dari rentetan kasus itu, pemerintah AS menerbitkan Sarbanes-Oxley Act (SOX) untuk melindungi para investor dengan cara meningkatkan akurasi dan reabilitas pengungkapan yang dilakukan perusahaan publik. Kegagalan ini menimbulkan krisis yang serius terhadap kredibilitas akuntansi, pelaporan, dan proses tata kelola perusahaan sehingga oleh politisi AS diciptakan kerangka kerja baru terhadap akuntabilitas dan tata kelola perusahaan melalui Sarbanes-Oxley Act (SOX) untuk memulihkan kepercayaan yang cukup dan untuk menjadikan pasar modal kembali berfungsi normal. Undang-Undang Sarbanes-Oxiety bisa menetapkan pedoman dan arah baru untuk perusahaan dan bisa untuk pertanggungjawaban kepada divisi akuntansi. Dengan adanya tindakan ini , bisa untuk memerangi penipuan sekuritas dan akuntansi. Dan untuk menekankan kepada independensi dan kualitas, membatasi kemampuan perusahaan untuk menyediakan keduanya yaitu non-audit dan jasa untuk klien yang sama dan memerlukan tinjauan berkala audit perusahaan, agar hasilnya bisa memuaskan.

27

Beberapa perubahan yang ditentukan dalam SOX memiliki beberapa tujuan, diantaranya: a. Untuk menjamin independensi auditor. Kantor Akuntan Publik dilarang

memberikan jasa non-audit kepada perusahaan yang diaudit. b. Membutuhkan persetujuan dari audit committee perusahaan sebelum melakukan audit. Setiap perusahaan memiliki audit committee ini karena definisinya diperluas, yaitu jika tidak ada, maka seluruh dewan komisaris menjadi audit committee. c. Melarang Kantor Akuntan Publik memberikan jasa audit jika audit partnernya telah memberikan jasa audit tersebut selama lima tahun berturut-turut kepada klien tersebut. d. Kantor Akuntan Publik harus segera membuat laporan kepada audit committee yang menunjukkan kebijakan akuntansi yang penting yang digunakan, alternatif perlakukan-perlakuan akuntansi yang sesuai standar dan telah dibicarakan dengan manajemen perusahaan, pemilihannya oleh manajemen dan preferensi auditor. e. KAP dilarang memberikan jasa audit jika CEO, CFO, chief accounting officer, controller klien sebelumnya bekerja di KAP tersebut dan mengaudit klien tersebut setahun sebelumnya. Berkaitan dengan pemusnahan dokumen, SOX melarang pemusnahan atau manipulasi dokumen yang dapat menghalangi investigasi pemerintah kepada perusahaan yang menyatakan bangkrut. Selain itu, kini CEO dan CFO harus membuat surat pernyataan bahwa laporan keuangan yang mereka laporkan adalah sesuai dengan peraturan SEC dan semua informasi yang dilaporkan adalah wajar dan tidak ada kesalahan material. Sebagai tambahan, menjadi semakin banyak ancaman pidana bagi mereka yang melakukan pelanggaran ini.

28

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari kasus ini banyak terjadi perilaku tidak etis.Perilaku tidak etis paling paling mengemuka disini adalah adalah adanya manipulasi laporan keuangan untuk menunjukkan seolah-olah kinerja perusahaan baik. Andersen telah menciderai kepercayaan dari pihak stock holder untuk memberikan suatu informasi yang adil mengenai pertanggungjawaban dari pihak agen dalam mengemban amanah. Faktor tersebut adalah merupakan perilaku tidak etis yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dalam agama dan dalam bisnis

membahayakan.Faktor penyebab kecurangan tersebut diantaranya dilatarbelakangi oleh sikap tidak etis, tidak jujur, karakter moral yang rendah, dominasi kepercayaan, dan lemahnya pengendalian. Hal tersebut akan dapat dihindari melalui meningkatkan moral, akhlak, etika, perilaku, dan lain sebagainya, karena tindakan yang bermoral akan memberikan implikasi terhadap kepercayaan publik. Dalam kasus Andersen diketahui terjadinya perilaku moral

hazard diantaranya manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan padahal perusahaan mengalami kerugian.Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar saham tetap diminati investor.Ini merupakan salah satu contoh kasus pelanggaran etika profesi Auditor yang terjadi di Amerika Serikat, sebuah negara yang memiliki perangkat Undang-undang bisnis dan pasar modal yang lebih lengkap. Hal ini terjadi akibat keegoisan satu pihak terhadap pihak lain, dalam hal ini pihak-pihak yang selama ini diuntungkan atas penipuan laporan keuangan terhadap pihak yang telah tertipu. Hal ini buah dari sebuah ketidakjujuran, kebohongan atau dari praktik bisnis yang tidak etis yang berakibat hutang dan sebuah kehancuran yang menyisakan penderitaan bagi banyak pihak disamping proses peradilan dan tuntutan hukum. Saran yang dapat diberikan yakni sangat dibutuhkan kode etik profesi yang dapat menopang praktik yang sehat bebas dari kecurangan. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan hal apa yang baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai anggota profesi baik dalam berhubungan dengan kolega, klien, publik dan karyawan sendiri. Hal yang harus menjadi sebuah pelajaran

29

bahwa

sesungguhnya

suatu praktik

atau

perilaku

yang

dilandasi dengan

ketidakbaikan maka akhirnya akan menuai ketidakbaikan pula. Contoh-contoh lain seperti kasus etikolegal diantaranya adalah pelanggaran di mana tidak hanya bertentangan dengan butir-butir LSDI dan/atau KODEKI, tetapi juga berhadapan dengan undang-undang hukum pidana atau perdata

(KUHP/KUHAP). Misalnya : 1) Pelayanan kedokteran di bawah standar (malpraktek) 2) Menerbitkan surat keterangan palsu. 3) Membocorkan rahasia pekerjaan / jabatan dokter. 4) Pelecehan seksual dan sebagainya. Contoh nyatanya adalah kasus Drs. Irwanto PhD, peneliti dari Universitas Atmajaya, Jakarta, yang lumpuh akibat dokter salah mendiagnosis dan kasus Fellina Azzahra (16 bulan ), bocah yang ususnya bocor setelah dioperasi di Rumah Sakit Karya Medika, Cibitung, Bekasi. Terhadap tindakan medical errors yang diduga malapraktik itu tidak ada pertanggungjawaban, baik secara profesi maupun hukum. Di republik ini, kesalahan pengobatan oleh dokter tidak diatur secara khusus, malah dalam Rancangan Undang-undang Praktik Kedokteran yang disetujui Komisi VII DPR, Rabu (25/8) lalu, kasus malapraktik sama sekali tidak disinggung. Dalam kasus malapraktik dokter, sebenarnya ada dua pelanggaran profesi dan pelanggaran hukum.Namun, selama ini dalam setiap kasus malpraktik, dokter selalu berada di pihak yang benar.Keluhan yang secara lansung diajukan pasien selalu ditolak dan dan dimentahkan dengan berbagai argumentasi medis dan alasan teknis.Akibatnya, kerugian kesehatan dan material selalu melekat dalam diri pasien, sedangkan dokter tidak sedikitpun tersentuh tanggung jawab dan nurani kemanusiaannya.Semua ini disebabkan tidak ada payung hukum yang bisa dijadikan dasar penyelesaian kasus itu. Undang-undang (UU) Kesehatan nomor 23 Tahun 1992 pun tak dapat digunakan untuk menangani pelanggaran atau kelalaian dokter. UU ini hanya di desain untuk diperjelas lebih lanjut dengan 29 peraturan pemerintah (PP) yang hingga kini baru terbentuk enam PP. Aturan lebih lanjut yang tidak ada itu antara lain menyangkut standar pelayanan medis dan standar profesi. Ketiadaan aturan membuat bangsa ini tidak dapat mendefinisikan mana yang disebut malpraktik, kegagalan, kelalaian, atau kecelakaan.

30

Terhadap pelanggaran yang sifatnya hukum, ada pendapat apakah pelanggaran profesi itu tidak diarahkan kepada ganti rugi saja.Apakah harus dipidana.Itu harus ditimbang-timbang manakah yang paling cocok bagi kepentingan korban.Mestinya, dalam menyikapi persoalan malpraktik harus berorentasi kepada korban. Bagaimana memulihkan korban dan apa yang dilakukan jika korban meninggal dunia. Sayang, sistem hukum dinegeri ini pada mumnya belum memperhatikan persoalan itu.Walaupun belum ada standar, tetapi praktik standar profesi sudah ada sejak dahulu.Semisal sekolah profesi hukum atau dokter sudah mengenalkan hal itu seperti sumpah Socrates. Apakah esprit de corp telah menimbulkan kesulitan menghadirkan dokter sebagai saksi ahli dalam proses hukum malpraktik? Ini adalah tanggung jawab profesi sehingga kalau dipanggil pengadilan seharusnya seorang profesional hadir. Sistem ini di Amerika Serikat disebut sebagai subpoena, jika dipanggil untuk memberikan kesaksian tetapi mangkir tanpa alasan sah, seseorang dapat dikenai pidana. Di Indonesia pun seharusnya bisa dipanggil paksa.Solusi ideal terhadap persoalan malpraktik ini tentunya memprioritaskan penanganan keluarga atau korban, penguatan lembaga penegakan etik profesi, dan tindakan subpoena terhadap para saksi ahli yang enggan hadir di pengadilan.Secara objektif tindakan malpraktik terpulang kepada disiplin profesi kedokteran.Dominasi kehendak untuk melakukan tindakan selamat-tidaknya seorang pasien yang di tangani ada ditangan dokter. Namun malpraktik dalam profesi kedokteran agak sulit dicabut.Begitu juga dari sisi kompetensi peradilan, mungkin hanya memperpanjang birokrasi bila ditangani bukan oleh peradilan umum.Wacana yang terakhir ini tak mustahil terjadi.Untuk membuktikan ada tidaknya malpraktik, kasus akan dibawa ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Achmad Sujudi.Jika terbukti adanya malpraktik, kasus itu bisa dilanjutkan ke perkara perdata. Menurut Menkes, bisa saja kasus ini di bawa ke pidana jika dokter yang menjadi saksi ahli di MKDKI menolak menilai rekannya. Namun sebelumnya cari dulu dokter yang lain lagi. Akan tetapi, kelalaian yang terjadi dalam kegiatan pemberian terapi yang dilakukan dokter bukan kelalaian atau kesalahan yang bersifat organisatoris.Artinya, bukan tertuju kepada pribadi yang berkaitan dengan disiplin.Kelalaian itu bersifat pelayanan publik sehingga implikasinya adalah

31

implikasi publik alias tindakan pidana umum. Jadi, bukan implikasi internal yang berkonotasi pelanggaran disiplin, ujar Kamri A, staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar. Jika bersifat pidana, kelalaian itu merupakan kompetensi peradilan umum.Misalnya seorang dokter yang salah mendiagnosis seoarang pasien, lalu obat yang diberikan adalah berdasarkan hasil diagnosis yang salah itu, maka dapat dipastikan bahwa yang menjadi korban adalah pasien.Sesungguhnya kelalaian ini masuk katagori tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 359 KUHP.Atau meninggalkan seorang pasien yang memerlukan pertolongan seperti diatur dalam pasal 304 KUHP.Tindakan itu adalah malapraktik yang tentu menjadi kompetensi peradilan umum.Kesalahan dalam praktik medis tak mungkin dihilangkan seperti pada mesin dan komputer.Manusia bukan mesin dan setiap kasus pasien tak pernah betul-betul identik, papar ahli Kesehatan, Prof Iwan Darmansjah. Mengutip Atul Gawande, ahli bedah, dalam complications, data statistik kasus autopsi (bedah mayat) di Amerika Serikat yang menyebut dokter gagal mendiagnosa 25 pasien dari infeksi fatal, 33 persen dari serangan jantung, dan hampir dua per tiga dari kasus emboli paru. Selain itu, 40 persen penyebab kematian yang di cantumkan tidak benar. Seorang patolog, Goerge Lundbreg, di Journal of the American Medical Association melaporkan, keadaan ini tidak berubah sejak tahun 1938 hingga tahun 1960-1970 -1980 an. Sebab daerah kelabu dalam ilmu kedokteran sangat besar. Profesi medik cenderung membuat kesalahan (fallible), namun hanya sebagian kecil yang berakhir dengan cedera atau bahkan kematian pada pasien. Medical errors dapat dibagi dalam beberapa kategori, misalnya sekali-sekali atau sering, tidak serius dan serius (termasuk kematian), serta dicegah atau tidak.Jenisnya juga dapat beragam, seperti kesalahan dalam diagnostik,

pengobatan, atau tindakan seperti operasi.Yang paling mengerikan ialah bila kesalahan itu disengaja demi tambahan imbalan.Medical errors jenis ini tergolong malapraktik sejati.Karena itu, sistem harus bisa menjaga dan bereaksi terhadap kesalahan seperti ini.Tentu tidak semua medical errors termasuk malapraktik dan tidak semua medical errors harus dihukum.Kesalahan yang tidak disengaja dan manusiawi barangkali tak perlu masuk pengadilan.Praktik kedokteran dalam pengertian luas hakekatnya merupakan perwujudan idealisme dan spirit pengabdian seorang dokter sebagaimana yang di ikrarkan dalam sumpah dokter dan kode etik

32

kedokteran Indonesia.Dalam perkembangannya, seluruh aspek kehidupan di dunia ini mengalami perubahan paradigma, termasuk dalam profesi kedokteran.Akibatnya, terjadi pula perubahan orieantasi dan motivasi pengabdian pada diri sebagian dokter.Sebagai dampak perubahan yang semakin global, individualistik, materialistik, dan hedonistik, maka perilaku dan sikap tindak profesioanal di sebagian kalangan dokter juga berubah.Masyarakat kemudian memandang negatif profesi kedokteran setelah menyaksikan maraknya praktik-praktikyang semakin jauh dari nilai-nilai luhur sumpah dokter dan kedokteran. Masyarakat (hedonistik dan unethical para oknum dokter itu. Kalau tidak, kasus Irwanto, Fellina Azzahrapasien), yang dalam konteks kontrak terapeutik juga disebut konsumen, perlu dilindungi dari perilaku, dan korban lain yang mati sekalipun, cukup diselesaikan dengan minta maaf saja.

SOAL-SOAL 1. Mengapa bisa terjadi mal prakik dalam birokrasi? 2. Jelaskan pengertian korupsi dari sudut pandang etika! 3. Jelaskan pengertian korupsi dari sudut pandang hukum! 4. Apa perbedaan benturan kepentingan aktual, tampak dan potensial? 5. Sebutkan contoh benturan kepentingan aktual, tampak dan potensial!

33

BAB

ETIKA BISNIS

___________________________________________________________________ Tujuan Instruksional Khusus: 1. Memahami pengertian etika bisnis 2. Memahami urgensi etika bisnis 3. Memahami prinsip-prinsip etika bisnis

A. Pengertian etika bisnis Pengertian Etika dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: 1. Etika sebagai praktis: nilai-nilai dan norma-norma moral (apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral). 2. Etika sebagai refleksi: pemikiran moral. Berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. (dalam hal ini adalah menyoroti dan menilai baik-buruknya perilaku seseorang) Sedangkan, pengertian Etika Bisnis dapat dibedakan menjadi: 1. Secara makro: etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi secara keseluruhan. 2. Secara meso: etika bisnis mempelajari masalah-masalah etis di bidang organisasi 3. Secara mikro: etika bisnis difokuskan pada hubungan individu dengan ekonomi dan bisnis. Sehingga etika bisnis adalah studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis. (etika dalam berbisnis). Menurut Zimmerer, etika bisnis adalah suatu kode etik perilaku pengusaha berdasarkan nilai-nilai moral dan norma yang dijadikan tuntunan dalam membuat keputusan dan memecahkan persoalanpersoalan yang dihadapi. Ahli pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa

mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling

menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan. Sedangkan berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi. Menurut K. Bertens, ada 3 tujuan yang ingin dicapai dalam etika bisnis, yaitu : 1. Menanamkan atau meningkakan kesadaran akan adanya dimensi etis dalam bisnis. Menanamkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan bila kesadaran itu sudah ada, tapi masih lemah dan ragu. Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa etika merupakan segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan perhatian serius. 2. Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis, serta membantu pebisnis atau calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral yang tepat. Dalam etika sebagai ilmu, adanya norma-norma moral sangatlah penting namun yang tidak kalah penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui studi etika diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis. 3. Membantu pebisnis atau calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat didalam profesinya (kelak). Hal ketiga ini memunculkan pertanyaan, apakah studi etika ini menjamin seseorang akan menjadi etis juga? Jawabnya, sekurangkurangnya meliputi dua sisi berikut, yaitu disatu pihak, harus dikatakan bahwa etika mengikat tetapi tidak memaksa. Disisi lain, studi dan pengajaran tentang etikabisnis

35

boleh diharapkan juga mempunyai dampak atas tingkah laku pebisnis. Bila studi etika telah membuka mata, konsekuensi logisnya adalah pebisnis bertingkah laku menurut yang diakui sebagai hal yang benar. Selain itu, dalam etika bisnis juga tidak terlepas dari adanya ma salahmasalah. Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu: 1. Suap menerima (Bribery), atau adalah tindakan sesuatu berupa yang menawarkan, memberi, tujuan

meminta

berharga

dengan

mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak mudah dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat dengan mudah dimasukkan sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat disebut sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh pemberi hadia h. 2. Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu. 3. Penipuan (Deception), adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan. 4. Pencurian (Theft), adalah merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual. 5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang -orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara mereka yang 'disukai' dan tidak.

36

B. Prinsip Etika Bisnis Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh? Di dalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan, tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis. Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung. Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan di bidang ekonomi. Untuk mengatasi keliaran dunia bisnis tersebut, diperlukan suatu etika yang berfungsi sebagai pagar pembatas. Etika bisnis memiliki peran yang sangat penting untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki kemampuan untuk menciptakan nilai (value creation) yang tinggi pula. Von der Embse dan R.A. Wagley dalam publikasi yang berjudul Management Journal pada tahun 1988 mengungkapkan bahwa pada dasarnya terdapat tiga pendekatan dalam merumuskan prinsip etika bisnis, yaitu: 1. Pendekatan Utilitarian (Utilitarian Approach) Menurut pendekatan ini, setiap tindakan dalam dunia bisnis harus didasarkan pada konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Oleh karena itu, dalam

37

bertindak, seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya yang serendah-rendahnya. 2. Pendekatan Hak Individu (Individual Rights Approach) Menurut pendekatan ini, setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun, tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain. 3. Pendekatan Keadilan (Justice Approach) Menurut pendekatan ini, para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan, baik secara perseorangan maupun secara kelompok. Standar moral merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu: Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) a. Adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut. b. Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) Adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang digunakan sebagai

petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alas an bukan akibat, antara lain: 1) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain. 2) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran,dan kesamaan. Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: a). Keadilan distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari

38

pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social. b). Keadilan retributive, (ganti rugi) dan yaitu keadilan yang terkait dengan retribution atas kesalahan tindakan. Seseorang

hukuman

bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain. c). Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan

kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia. Sementara itu, menurut Muslich (1998 : 31-33) prinsip-prinsip etika bisnis terdiri dari: a. Prinsip Otonomi Prinsip otonomi memandang bahwa perusahaan secara bebas memiliki wewenang sesuai dengan bidang yang dilakukan dan pelaksanaannya sesuai dengan visi dan misi yang dimilikinya. Kebijakan yang diambil perusahaan harus diarahkan untuk pengembangan visi dan misi perusahaan yang berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan karyawan dan komunitasnya. b. Prinsip Kejujuran Kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam mendukung keberhasilan suatu perusahaan. Kejujuran harus diarahkan pada semua pihak, baik internal maupun eksternal perusahaan. Jika prinsip kejujuran ini dapat dipegang teguh oleh perusahaan, maka akan dapat meningkatkan kepercayaan dari lingkungan perusahaan tersebut. c. Prinsip Tidak Berniat Jahat Prinsip ini memiliki hubungan erat dengan prinsip kejujuran. Penerapan prinsip kejujuran yang ketat akan mampu meredam niat jahat perusahaan itu. d. Prinsip Keadilan Perusahaan harus bersikap adil kepada pihak-pihak yang terkait dengan sistem bisnis. Contohnya, upah yang adil kepada karyawan sesuai kontribusinya, pelayanan yang sama kepada konsumen, dan lain-lain.

39

e. Prinsip Hormat Pada Diri Sendiri Perlunya menjaga citra baik perusahaan tersebut melalui prinsip kejujuran, tidak berniat jahat dan prinsip keadilan. Tidak jauh berbeda dengan Muslich, Adiwarman Karim merumuskan prinsipprinsip etika yang harus dianut dalam dunia bisnis. Prinsip-prinsip itu terdiri dari: a. Kejujuran Banyak orang beranggapan bahwa bisnis merupakan kegiatan tipu-menipu demi mendapatkan keuntungan. Hal ini jelas keliru. Sesungguhnya kejujuran merupakan salah satu kunci keberhasilan berbisnis bahkan termasuk unsur penting untuk bertahan di tengah persaingan bisnis. b. Keadilan Perlakukanlah setiap orang sesuai dengan haknya. Misalnya, berikan upah kepada karyawan sesuai standar yang ada serta janganlah pelit untuk memberikan bonus saat perusahaan mendapatkan keuntungan lebih. Terapkan juga keadilan saat menentukan harga, misalnya dengan tidak mengambil untung yang merugikan konsumen. c. Rendah Hati Jangan lakukan bisnis dengan kesombongan. Misalnya, dalam

mempromosikan produk dengan cara berlebihan, apalagi sampai menjatuhkan produk pesaing, entah melalui gambar maupun tulisan. Pada akhirnya, konsumen memiliki kemampuan untuk melakukan penilaian atas kredibilitas sebuah produk/ jasa. Apalagi, tidak sedikit masyarakat yang percaya bahwa sesuatu yang terlihat atau terdengar terlalu sempurna pada kenyataannya justru sering kali terbukti buruk. d. Simpatik Kelolalah emosi. Tampilkan wajah ramah dan simpatik. Bukan hanya di depan klien atau konsumen anda, tetapi juga di hadapan orang-orang yang mendukung bisnis anda, seperti karyawan, sekretaris dan lain-lain. e. Kecerdasan Diperlukan kecerdasan atau kepandaian untuk menjalankan strategi bisnis sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku sehingga menghasilkan

keuntungan yang memadai. Dengan kecerdasan pula seorang pebisnis mampu mewaspadai dan menghindari berbagai macam bentuk kejahatan non-etis yang mungkin dilancarkan oleh lawan-lawan bisnisnya.

40

f.

Lakukan dengan Cara yang Baik, Lebih Baik, atau Dipandang Baik Sebagai pebisnis, anda jangan mematok diri pada aturan-aturan yang

berlaku. Perhatikan juga norma, budaya atau agama di tempat anda membuka bisnis. Suatu cara yang dianggap baik di suatu negara atau daerah, belum tentu cocok dan sesuai untuk di terapkan di negara atau daerah lain. Hal ini penting kalau ingin usaha berjalan tanpa ada gangguan. Selain berbagai prinsip-prinsip etika bisnis tersebut, terdapat beberapa hal pokok yang harus selalu dipegang teguh dalam rangka menciptakan praktik bisnis yang beretika, baik oleh kalangan pengusaha sendiri sebagai pelaku utama dunia bisnis maupun oleh pemerintah itu sendiri. Hal-hal pokok tersebut antara lain: 1. Pengendalian Diri Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masingmasing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Di samping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi

penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang etik. 2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility) Pelaku bisnis di sini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk uang dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya, sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll. 3. Mempertahankan Jati Diri Mempertahankan jati diri dan tidak mudah terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan

41

teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi. 4. Menciptakan Persaingan yang Sehat Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu, dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut. 5. Menerapkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan di masa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak mengeksploitasi lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan di masa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar. 6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara. 7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan katabelece dari koneksi serta melakukan kongkalikong dengan data yang salah juga jangan memaksa diri untuk mengadakan kolusi serta memberikan komisi kepada pihak yang terkait. 8. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya Antar Golongan Pengusaha Untuk menciptakan kondisi bisnis yang kondusif harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan

42

pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis. 9. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan Main Bersama Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada oknum, baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan kecurangan demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan gugur satu semi satu. 10. Memelihara Kesepakakatan Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis. 11. Menuangkannya ke Dalam Hukum Positif Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti proteksi terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi. C. Isu-isu etika bisnis Isu-isu yang dicakup oleh etika bisnis meliputi topik-topik yang luas. Isu-isu ini dapat dikelompokkan ke dalam 3 dimensi atau jenjang, yaitu: 1. Isu sistemik yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan etika yang timbul mengenai lingkungan dan sistem yang menjadi tempat beroperasinya suatu bisnis atau perusahaan: ekonomi, politik, hukum, dan sistem-sistem sosial lainnya. 2. Isu organisasi yang berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan etika tentang perusahaan tertentu.

43

3. Isu individu yang menyangkut tentang pertanyaan-pertanyaan etika yang timbul dalam kaitannya dengan individu tertentu di dalam suatu perusahaan. Manajemen beretika, yakni bertindak secara etis sebagai seorang manajer dengan melakukan tindakan yang benar (doing right thing). Manajemen etika adalah bertindak secara efektif dalam situasi yang memiliki aspek-aspek etis. Situasi seperti ini terjadi di dalam dan di luar organisasi bisnis. Agar dapat menjalankan baik manajemen beretika maupun manajemen etika, para manajer perlu memiliki beberapa pengetahuan khusus. Banyak eksekutif bisnis menganggap kultur korporat yang mereka pimpin, adalah sesuatu yang mereka inginkan. Mereka membuat lokakarya untuk mendefinisikan nilai-nilai dan proses-proses, menuliskan misi dan tujuan perusahaan pada poster, menyediakan sesi-sesi orientasi untuk pegawai baru, guna menjelaskan tujuan perusahaan dan lain-lain. Bahkan, ada yang mencetak statement nilai-nilai perusahaan di balik kartu identitas sebagai pengingat bagi para pegawai. 1. Isu-isu utama etika bisnis di Indonesia a. Masalah Etika Klasik Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang Ekonomi Klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Di Indonesia Paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik. Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Memasukkan gatra nilai etis

44

sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon mitos bisnis a moral Di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. b. Pemalsuan atau Pembajakan Hak Cipta Keuntungan usaha yang besar yang dapat diperoleh dari tumpangan gratis atas upaya kreatif dan investasi pihak lain dengan memperguankan tiruan dari produk-produk yang diinginkan dengan biaya lebih rendah dari yang ditimbulkan oleh produsen produk yang asli. Hal ini menyebabkan kerugian kompetitif dari tumpangan gratis terhadap biaya penelitian dan pengembangan serta pemasaran dari badan usaha yang sah. Sehingga dengan biaya produksi yang minim dengan

menggunakan hak cipta atau kekayaan intelektual milik orang lain seorang pemalsu dan pembajak berharap dapat memperoleh untung yang besar. Dari sudut pandang etika bisnis hal ini jelas-jelas melanggar dan parahnya pemalsuan serta pembajakan hak cipta marak terjadi di Indonesia. Di negara kita ini hampir 5 juta lagu dibajak tiap harinya, belum lagi pembajakan film dan buku. Bukan hanya itu produk-produk esensial bagi masyarakat seperti obat dan bahan makanan pun sering menjadi sasaran pemalsuan dan pembajakan demi mendapatkan keuntungan yang besar. Bukan hanya melanggar etika bisnis, pemalsuan dan pembajakan merupakan tuntutan hukum pidana maupun perdata bagi pelakunya. c. Diskriminasi dan Perbedaan Gender Gender adalah perbedaan perilaku antara pria dan wanita yang

dikontruksisecara sosial, yaitu perbedaan yang bukan ketentuan dari Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang dan gender sebagai seperangkat peran yang dimainkan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang tersebut feminim atau maskulin.Penampilan, sikap, kepribadian, tanggung jawab keluarga adalah perilaku yang akanmembentuk peran gender. Peran gender ini akan berubah seiring waktu dan berbedaantara satu kultur dengan kultur yang lainnya. Peran ini juga berpengaruh oleh kelas sosial, usia dan latar belakang etnis

45

Dalam etika bisnis juga harus memandang tentang kesetaraan serta prioritas. Tidak dalam semua hal kesetaraan gender diterapkan. Akibat adanya perbedaan sifat dari gender yang berbeda tidak bisa dipungkiri adanya prioritas terhadap wanita dan anak-anak tanpa menghalangkan kewajiban dan hak-hak mereka. d. Konflik Sosial dan Masalah Lingkungan Perusahaan yang tidak memperhatikan kepentingan umum dan menimbulkan gangguan lingkungan akan dianggap sebagai bisnis yang tidak etis. Dorongan pelaksanaan etika bisnis dating dari luar yaitu lingkungan masyarakat. Dorongan tidak selalu datang dari luar, akan tetapi sering muncul dari bisnis itu sendiri. Hal ini disebabkan karena bisnisman adalah juga manusia yang lengkap dengan rasa, karsa dan karya. Dengan demikian maka secara intern pelaksanaanya akan terbentur pada pertimbangan untung dan rugi yang pada umumnya mendominasi dan menjadi ciri dari suatu bisnis. Oleh karena itu mereka juga sering terdorong rasa kemanusiannya untuk menerapkan etika bisnis secara jujur. Bisnisman dituntut untuk lebih banyak memperhatikan aspek-aspek sosial dan menerapkan etika bisnis secara jujur. Konflik kepentingan bisnis dengan masyarakat akan selalu muncul dan kadang sulit untuk menyelesaikannya. Apabila konflik mencapai jalan buntu maka biasanya masyarakat akan menggunakan tangan pemerintah sebagai penengah. Hal itu yang melatarbelakangi ketentuan pemerintah untuk mewajibkan pengusaha yang akan mendirikan pabrik harus mendapatkan Izin HO (Hinder Orgonasie) agar dapat dicegah adanya konflik dikemudian hari. Pada umumnya, paling tidak semenjak jaman modern, orang lebih suka menggunakan pendekatan etika human-centered dalam memperlakukan lingkungan hidup. Melalui pendekatan etika ini, terjadilah ketidakseimbangan relasi antara manusia dan lingkungan hidup. Dalam kegiatan praktis, alam kemudian dijadikan obyek yang dapat dieksploitasi sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan manusia. Sangat disayangkan bahwa pendekatan etika tersebut tidak diimbangi dengan usaha-usaha yang memadai untuk mengembalikan fungsi lingkungan hidup dan makhluk-makhluk lain yang ada di dalamnya. Dengan latar belakang seperti itulah kerusakan lingkungan hidup terus-menerus terjadi hingga saat ini. Pertanyaanya sekarang adalah apakah pendekatan etika human-centered tersebut tetap masih relevan diterapkan untuk jaman ini?

46

Menghadapi realitas kerusakan lingkungan hidup yang terus terjadi, rasanya pendekatan etika human-centered tidak lagi memadai untuk terus dipraktekkan. Artinya, kita perlu menentukan pendekatan etis lain yang lebih sesuai dan lebih ramah terhadap lingkungan hidup. Jenis pendekatan etika yang kiranya memungkinkan adalah pendekatan etika life-centered yang tadi sudah kita sebutkan. Pendekatan etika ini dianggap lebih memadai sebab dalam praksisnya tidak menjadikan lingkungan hidup dan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya sebagai obyek yang begitu saja dapat dieksploitasi. Sebaliknya, pendekatan etika ini justru sungguh menghargai mereka sebagai subyek yang memiliki nilai pada dirinya. Mereka memiliki nilai tersendiri sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Nilai mereka tidak ditentukan dari sejauh mana mereka memiliki kegunaan bagi manusia. Mereka memiliki nilai kebaikan tersendiri seperti manusia juga memilikinya, oleh karena itu mereka juga layak diperlakukan dengan respect seperti kita melakukanya terhadap manusia 2. Etika Bisnis dari sudut pandang kasus dan peristiwa Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. a. Kasus Enron Kasus Enron yang selain menghancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.

47

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena:
1) Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya

friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.


2) 3) 4)

Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja. Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga Akan meningkatkan keunggulan bersaing. Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan

balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan. Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :

Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct) Memperkuat sistem pengawasan Menyelenggarakan menerus. Ketentuan tersebut seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh pelatihan (training) untuk karyawan secara terus

para pemegang saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE (antara lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan Worldcom. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat ini sudah sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi di muka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis

48

serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin dapat menjadikan perusahaan menjadi kokoh. b. Etika bisnis dalam periklanan Berbicara mengenai etika bisnis, kita akan masuk pada pembicaraan yang sifatnya abstrak. Ada dua hal yang perlu dimengerti mengenai etika bisnis, yaitu pemahaman tentang kata etika dan bisnis. Etika, merupakan seperangkat kesepakatan umum yang mengatur hubungan antar individu, individu dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat. Etika diperlukan untuk

menciptakan hubungan yang tidak saling merugikan. Semua bentuk masyarakat atau kelompok masyarakat memilliki perangkat aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Perangkat aturan tersebut bertujuan menjamin berlangsungnya hubungan baik antar anggotanya. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia bisnis. Di dunia bisnis terdapat pula seperangkat aturan yang mengatur relasi antar pelaku bisnis. Perangkat aturan ini dibutuhkan agar hubungan bisnis yang terjalin berlangsung fair. Perangkat aturan tersebut bisa berupa undang-undang, peraturan

pemerintah, keputusan presiden, peraturan perusahaan, dan lain sebagainya. Aturan itu mengatur hubungan internal dalam dunia bisnis, seperti bagaimana melakukan bisnis, berhubungan dengan sesama pelaku bisnis. Dalam kerangka yang lebih luas kita juga mengenal istilah code of conduct, ISO (International Organization for Standarization), dan sebagainya. Dalam beberapa tahun terakhir juga dikenal istilah Global Compact, Decent Works, Corporate Social Responsibility, yang bertujuan mengatur pelaku bisnis agar menjalankan bisnisnya dengan fair dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Lingkungan tersebut adalah masyarakat sekitar, lingkungan alam, dan hak asasi manusia. Jadi, secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal), dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.

49

Menurut Dawam Rahardjo, etika bisnis beroperasi pada tiga tingkat yaitu individu, organisasi, dan sistem. Pada tingkat individu, etika bisnis mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat pada kebijakan perusahaan dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu. Realitasnya, para pelaku bisnis terkadang sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas, seringkali kalah dalam upaya maksimalisasi laba melalui sikap yang individualistis melalui konflik dan persaingan yang tidak sehat. Hal ini tidak hanya terjadi di Dunia Barat, tetapi juga dilakukan oleh para pebisnis di Dunia Timur. Di dalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi penggerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumberdaya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabdian para pengusaha terhadap etika bisnis. Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Salah satunya adalah melalui iklan. Promosi dan iklan dinilai efektif menarik calon pembeli, namun belakangan banyak promosi dan iklan yang tidak lagi sesuai dengan penawaran yang sebenarnya dilakukan produsen atau penjual, bahkan cenderung membohongi publik. Salah satu modus yang sering dijadikan alat pembohongan publik adalah penawaran khusus yang disertai dengan sejumlah pembatasan yang dikenal dengan terminologi terms and condition apply atau syarat dan ketentuan berlaku. Entah disengaja atau tidak, perusahaan ritel, sering kali tidak menjelaskan secara rinci batasan-batasan yang menyertai penawaran khusus tersebut. Iklan yang mengandung penawaran khusus dengan syarat-syarat tertentu biasanya hanya diberikan tanda * (asterik) untuk menandakan syarat dan ketentuan berlaku, yang ditulis dengan huruf yang sangat

50

kecil dan diletakkan di bawah iklan tersebut. Sementara itu, keterangan lengkap tentang batasan-batasan yang berlaku hanya dapat diperoleh di lokasi-lokasi tertentu. Hal ini banyak dijumpai pada sejumlah iklan yang beredar di tanah air, baik yang dipublikasikan melalui media cetak maupun elektronik. Kasus ini banyak terjadi pada iklan-iklan perusahaan ritel, produk dan layanan telepon seluler, kartu kredit, dan perusahaan penerbangan. Menurut etika formal dan informal, praktik-praktik semacam ini jelas melanggar etika terutama berkaitan dengan kejujuran. Transaksi jual beli seharusnya menjunjung tinggi norma-norma baik yang berlaku di masyarakat, seperti pelayanan yang baik dan ramah, kejujuran, menghindari praktik-praktik penipuan maupun kebohongan public. Dari sisi legal formal, praktek-praktek tersebut jelas melanggar Undang-undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 10 menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau

membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; kegunaan suatu barang dan/atau jasa; kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Selain itu, pasal 12 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu atau jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. Pelanggaran terhadap isi pasal-pasal tersebut menimbulkan konsekuensi sanksi berupa hukuman penjara maksimal 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,-. Ketentuan hukum tentang pelanggaran etika bisnis dalam beriklan

sebenarnya sudah disusun, meskipun masih terbuka celah-celah untuk melakukan penyimpangan. Tapi intinya adalah pada moral pebisnis itu sendiri, karena pembohongan atau penipuan terhadap publik atau konsumen tidak hanya merugikan produk atau layanan yang dihasilkan perusahaan itu sendiri, tetapi juga akan melemahkan daya saing di tingkat internasional. Pengabaian etika bisnis akan

51

membawa kerugian, tidak saja pada masyarakat, tetapi juga tatanan ekonomi nasional. c. Pelanggaran etika bisnis dalam bisnis kartel Dari prinsip-prinsip yang telah dijabarkan diatas, kasus kartel sms yang terjadi belakangan ini, jika dicermati, telah melanggar prinsip-prinsip etika bisnis. Yang pertama, prinsip otonomi. Setiap perusahaan yang terdiri dari individu-individu dalam perusahaan telekomunikasi yang terlibat dalam kasus kartel ini, tidak memiliki prinsip otonomi yang baik. Mereka tidak dapat mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Maksudnya masing- masing perusahaan yang terlibat tidak mempunyai sifat otonomi karena kesepakatan yang antar mereka buat tidak memungkinkan mereka untuk menurunkan harga sms sesuai dengan harga riil sms yang seharusnya mereka jual pada konsumen, sesuatu yang seharusnya mereka lakukan. Kongsi yang antar perusahaan telekomunikasi buat membuat mereka tidak lagi independent dalam menjalankan bisnis mereka, termasuk dalam penentuan tarif sms. Seharusnya, sesuai dengan prinsip etika bisnis, setiap perusahan atau bentuk usaha harus mempunyai otonominya sendiri dan mempunyai kemampuan untuk memilih hal yang mereka anggap patut dan baik untuk dilakukan. Kedua, kasus kartel tersebut menunjukkan adanya pelanggaran terhadap prinsip kejujuran. Setiap bisnis seharusnya mempunyai itikad bisnis yang baik yang direpresentasikan dalam sebuah kejujuran. Baik dalam hal mutu produk, harga produk, pemberian informasi kepada konsumen atau rekan bisnisnya. Dalam kasus kartel ini, terdapat penipuan tariff sms yang ditawarkan kepada para konsumen, berarti perusahaan memang mempunyai intensi untuk tidak berlaku jujurpada konsumennya. Ketiga, terdapat prinsip keadilan yang tidak ditegakkan. Dalam sebuah bisnis prinsip keadilan harus dapat dijalankan. Jika beberapa perusahaan telekomunikasi melakukan penawaran tariff sms tidak sesaui dengan yang seharusnya mereka tawarkan, maka prinsip keadilan khususnya kepada konsumen tidak terjadi. Masalah ketidakadilan ini terjadi ketiga terdapat provider-provider lain yang menawarkan tariff sms dengan harga jauh dibawah tariff yang selama ini ditawarkan. Konsumen merasa, mereka tidak diperlakukan secara adil dan tidak memperoleh bagian yang wajar dari beban (tariff penggunaan sms) yang ditanggungnya.

52

Keempat, kasus ini juga telah melanggar prinsip saling menguntungkan. Kongsi perusahaan telekomunikasi yang dengan semena-mena mematok tariff sms jauh di atas harga yang seharusnya sama sekali tidak menguntungkan bagi para konsumen. Dalam sebuah bisnis seharusnya bukan hanya produsen yang diuntungkan, tetapi konsumen juga harus merasakan keuntungan yang sama akibat pembelian barang atau penggunaan jasa mereka. Kelima, prinsip integritas moral. Dilakukannya persekongkolan untuk

menetapkan tariff sms diluar tariff sewajarnya, tentunya berpotensi untk mencoreng nama baik dan integritas moral sebuah perusahaan. Kartel sms yang dilakukan beberapa perusahaan telekomunikasi menunjukkan adanya integrasi moral yang rendahkarenatidak bertujuan melakukan bisnis yang berpedoman pada prinsipprinsip etika bisnis pada umunya. Yang paling terlihat dalam kasus ini hanyalah penggunaan prinsip utilitarianisme dalam menjalankan bisnisnya. Utilitarianisme merupakan suatu bentuk etika teleological yang lebih dikenal oleh pelaku-pelaku bisnis yang memusatkan pandangannya terhadap masalah the bottom line. Keputusan- keputusan bisnis diambil dengan pandangan yang dipusatkan kepada akibat yang mungkin timbul atau konsekuensi apabila terjadi pertentangan di antara keputusan- keputusan itu, pertanyaan yang selalu diajukan adalah tentang hal atau keputusan yang terbaik bagi perusahaan. Jika pelaku bisnis, yang merupakan suatu badan hukum yaitu perusahaan, mempertimbangkan hanya bagaimana agar suatu tindakan akan memberikan keuntungan yang besar, maka hal ini adalah merupakan pandangan utilitarianisme. Utilitarianisme dalam hal ini dikenal sebagai salah satu dari pandangan dengan analisis laba-rugi (cost-benefit). Perusahaan telekomunikasi hanya berorientasi pada kegunaan yang ditawarkan dari adanya fasilitas sms yang ditawarkan pada konsumen dan menitikberatkan fokusnya pada pencapaian laba yang setinggi-tingginya.

53

RANGKUMAN 1) pengertian Etika Bisnis dapat dibedakan menjadi: Secara makro: etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi secara keseluruhan. Secara meso: etika bisnis mempelajari masalah-masalah etis di bidang organisasi Secara mikro: etika bisnis difokuskan pada hubungan individu dengan ekonomi dan bisnis. Sehingga etika bisnis adalah studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis. 2) Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu suap (bribery), paksaan (coercion), penipuan (deception), pencurian (theft), dan diskriminasi tidak jelas (unfair discrimination). 3) Rumusan prinsip etika bisnis menurut beberapa ahli dijabarkan sebagai berikut: a) Von der Embse dan R.A. Wagley dalam publikasi yang berjudul Management Journal pada tahun 1988 mengungkapkan bahwa pada dasarnya terdapat tiga pendekatan dalam merumuskan prinsip etika bisnis, yaitu: Pendekatan Utilitarian (Utilitarian Approach), Pendekatan Hak Individu (Individual Rights Approach), Pendekatan Keadilan (Justice Approach) b) Muslich (1998 : 31-33) menjabarkan prinsip-prinsip etika bisnis sebagai berikut: Prinsip Otonomi, Prinsip Kejujuran, Prinsip Tidak Berniat Jahat, Prinsip Keadilan, dan Prinsip Hormat Pada Diri Sendiri c) Adiwarman Karim merumuskan prinsip-prinsip etika sebagai berikut: Kejujuran, Keadilan, Rendah Hati, Simpatik, Kecerdasan dan Lakukan dengan Cara yang Baik, Lebih Baik, atau Dipandang Baik.

RANGKUMAN 4) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam etika bisnis antara lain: pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial (Social Responsibility), mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep Pembangunan Berkelanjutan, menghindari sifat 5K (katabelece, kongkalikong, koneksi, kolusi dan komisi), mampu menyatakan yang benar itu benar, menumbuhkan sikap saling percaya antar polongan pengusaha, konsekuen dan konsisten dengan aturan main bersama, memelihara kesepakatan, dan menuangkan ke dalam hukum positif. 5) Isu-isu yang dicakup oleh etika bisnis meliputi topik-topik yang luas. Isu-isu ini dapat dikelompokkan ke dalam 3 dimensi atau jenjang, yaitu: (1) sistemik, (2) organisasi, dan (3) individu. a) Isu-isu sistemik dalam etika bisnis berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan etika yang timbul mengenai lingkungan dan sistem yang menjadi tempat beroperasinya suatu bisnis atau perusahaan: ekonomi, politik, hukum, dan sistem-sistem sosial lainnya. b) Isu-isu organisasi dalam etika bisnis berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan etika tentang perusahaan tertentu. c) Isu-isu individu dalam etika bisnis menyangkut pertanyaan-pertanyaan etika yang timbul dalam kaitannya dengan individu tertentu di dalam suatu perusahaan 6) Isu-isu utama etika bisnis di Indonesia adalah: a) Masalah Etika Klasik b) Pemalsuan atau Pembajakan Hak Cipta c) Diskriminasi dan Perbedaan Gender d) Konflik Sosial dan Masalah Lingkungan

55

LATIHAN En v 1) Pengertian etika bisnis dapat dilihat secara mikro, meso dan makro. Jelaskan masing-masing pengertian tersebut! 2) Sebutkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam etika bisnis! 3) Suap (Bribery) merupakan salah satu jenis masalah yang dihadapi dalam etika bisnis. Apa yang dimaksud suap? Dan jelaskan pula masalah-masalah lainnya yang sering dihadapi dalam etika bisnis! 4) Prinsip etika bisnis terbagi menjadi tiga pendekatan dasar, yaitu utilitarian, hak individu, dan keadilan. Prinsip etika bisnis menurut siapakah ini? Jelaskan masingmasing pendekatan tersebut! 5) Salah satu prinsip etika bisnis menurut Muslich adalah kejujuran. Apakah yang dimaksud dengan prinsip tersebut? Jelaskan secara rinci! 6) Etika bisnis sangat menjunjung tinggi adanya keadilan. Sebutkan contoh implementasi prinsip keadilan dalam dunia bisnis sehari-hari! 7) Sebutkan beberapa hal pokok yang harus selalu dipegang teguh oleh para pelaku bisnis maupun pemerintah dalam rangka menciptakan praktik bisnis yang beretika! 8) Jelaskan beberapa pelanggaran prinsip etika bisnis yang terjadi dalam bisnis kartel!

Kasus Enron merupakan perusahaan dari penggabungan antara InterNorth (penyalur gas alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas. Kedua perusahaan ini bergabung pada tahun 1985. Bisnis inti Enron bergerak dalam industri energi, kemudian melakukan diversifikasi usaha yang sangat luas bahkan sampai pada bidang yang tidak ada kaitannya dengan industri energi. Diversifikasi usaha tersebut, antara lain meliputi future transaction, trading commodity non energy dan kegiatan bisnis keuangan.Kasus Enron mulai terungkap pada bulan Desember tahun 2001 dan

56

LATIHAN terus menggelinding pada tahun 2002 berimplikasi sangat luas terhadap pasar keuangan global yang di tandai dengan menurunnya harga saham secara drastis berbagai bursa efek di belahan dunia, mulai dari Amerika, Eropa, sampai ke Asia. Enron, suatu perusahaan yang menduduki ranking tujuh dari lima ratus perusahaan terkemuka di Amerika Serikat dan merupakan perusahaan energi terbesar di AS jatuh bangkrut dengan meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31.2 milyar. Dalam kasus Enron diketahui terjadinya perilaku moral hazard diantaranya manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan 600 juta Dollar AS padahal perusahaan mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar saham tetap diminati investor, kasus memalukan ini konon ikut melibatkan orang dalam gedung putih, termasuk wakil presiden Amerika Serikat. (Dikutip dari sebuah blog yang Diposkan oleh Dr. Dedi Kusmayadi, SE., M.Si.) Kasus enron yang menghebohkan dunia finansial khususnya Amerika Serikat melibatkan KAP Arthur Andersen yang sudah memiliki reputasi internasional yang dituduh terlibat manipulasi data keuangan perusahaan Enron. Menurut Anda etika bisnis dalam bentuk apa yang dilanggar dalam kasus ini? Jelaskan!

57

BAB

ETIKA KEPEMIMPINAN

___________________________________________________________________ Tujuan Instruksional Khusus: 1. Memahami pengertian etika kepemimpinan 2. Memahami urgensi etika kepemimpinan 3. Memahami prinsip-prinsip etika kepemimpinan

Dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam keluarga, masyarakat atau bernegara, diperlukan suatu aturan-aturan baik tertulis maupun tidak tertulis untuk mengatur hubungan antar individu. Pada dasarnya setiap individu memiliki kepentingan-kepentingan pribadi yang berbeda karena itu diperlukan aturan-aturan yang menjamin agar tidak terjadi atau meminimalisir gesekan antar kepentingan. Begitu juga dalam sebuah organisasi, selain aturan tertulis, diperlukan juga aturan tidak tertulis yang mengatur hubungan antar rekan kerja untuk memastikan tercapainya tujuan organisasi tersebut. Hubungan antar ekan kerja yang dimaksud di sini mencakup hubungan antar rekan sejawat, hubungan bawahan ke atasan, dan hubungan antara atasan ke bawahan. Selama inisudah menjadi pengetahuan umum seorang bawahan harus bersikap ke atasan, seorang bawahan harus bersikap hormat dan sopan kepada atasan, bahkan terkadang cenderung berlebihan untuk membuat atasan senang. Namun yang menarik disini adalah bagaimana seorang atasan seharusnya bersikap sebagai pemimpin agar bawahan bisa mengoptimalkan potensi kerjanya dan tercapainya tujuan organisasi. A. Etiket dan Kepemimpinan 1. Etika dan Etiket Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal kedua istilah tersebut terdapat arti yang berbeda, walaupun memiliki persamaan. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah berkaitan dengan moral (mores),

58

sedangkan kata etiket adalah berkaitandengan cara, sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. Keduanya memberikan pedooman tentang bagaimana seharusnya sesuatu perbuatan. Definisi etiket, menurut para pakar ada beberapa pengertian, yaitu merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab. Istilah etiket berasal dari Etiquette (Perancis) yang berarti dari awal suatu kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi, pesta dan resepsi untuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan. Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati berbagai peraturan atau tata krama yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian (tata busana), cara duduk, cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan sikap serta perilaku yang penuh sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi. Pendapat lain mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.Menurut K. Bertens, dalam buku berjudul Etika, 1994,selain ada persamaannya, dan juga ada empat perbedaan antara etika dan etiket, yaitu secara umumnya sebagai berikut: a. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. Etiket adalah menetapkan cara, untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan. b. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya penuh dengan sopan santun dan kebaikan. c. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian danyang salah harus mendapat sanksi.Etiket bersifat relatif, yaitu yang dianggap tidak sopan dalam suatukebudayaan daerah tertentu, tetapi belum tentu di tempat daerah lainnya. d. Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir.Etiket hanya berlaku, jika ada orang lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain maka etiket itu tidak berlaku. 2. Kepemimpinan Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam sebuah organisasi mutlak diperlukan seorang sosok pemimpin yang akan menjalankan fungsi kepemimpinan,

59

seorang pemimipin akan bertanggung jawab atas baik/buruknya organisasi yang dia pimpin, karena kepemimpinan adalah pusat dan pengambil kebijakan pada suatu organisasi. Berbagai ahli mengungkapkan teori-teori mereka tentang definisi

kepemimpinan, seperti a. Kepemimpinan adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok (George P Terry) b. Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum (H.Koontz dan C. O'Donnell) c. Kepemimpinan sebagai pengaruh antar pribadi yang terjadi pada suatu keadaan dan diarahkan melalui proses komunikasi ke arah tercapainya sesuatu tujuan (R. Tannenbaum, Irving R, F. Massarik). Dari pendapat para ahli di atas bisa diambil kesimpulan bahwa

kepemimpinan adalah sebuah sebuah upaya untuk mempengaruhi orang lain agar memiliki kemauan untuk mencapai tujuan bersama dan memastikan terjadinya kesatuan visi dalam sebuah kelompok 3. Etiket kepemimpinan Etiket kepemimpinan adalah cara-cara yang dianggap benar secara umum oleh sekelompok atau suatu komunitas masyarakat dalam upaya untuk

mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu tujuan bersama yang dimiliki oleh suatu organisasi. Etiket kepemimpinan sebagaimana etiket lainnya berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, organisasi ke organisasi lain, bahkan bisa berbeda dari satu bagian ke bagian lain, karena sifat etiket yang berupa hukum tidak tertulis dan sangat relatif. B. Nilai-nilai umum etiket Walaupun etiket di setiap masyarakat bisa berbeda, prinsip-prinsip umum dalam etiket selalu tetap, tidak berubah, bersifat universal, dan tak terbatas waktu dan tempat. Terdapat tiga prinsip dalam etiket, yaitu respek, empati dan kejujuran. 1. Respek Respek berarti menghargai orang lain, peduli pada orang lain dan memahami orang lain apa adanya. Tidak peduli mereka berbeda, berasal dari kultur berbeda, atau keyakinan berbeda. Sangat penting untuk menunjukkan penghargaan kepada

60

setiap orang dengan kelebihan, kekurangan, kesamaan dan perbedaan yang ada.Karena dengan bersikap respek kepada orang lain maka orang lain juga akan bersikap respek kepada kita. 2. Empati Empati berarti meletakkan diri di pihak orang lain. Sebelum bertindak atau berucap, kamu harus berpikir dulu, apa pengaruhnya bagi orang lain. Bagaimana bila hal itu diucapkan atau dilakukan orang lain kepadamu. Apakah akan membuatmu senang atau berang. Pikirkan dulu, jangan sampai tindakan atau ucapankita menyinggung dan menyakiti orang-orang di sekitar kita, atau membuat diri kita terlihat buruk di mata orang lain. Kata-kata dan sikap yang penuh pertimbangan dan empati, akan membuat seseorang terlihat bijaksana, dewasa dan manusiawi. 3. Kejujuran Kejujuran adalah sebuah bahasa yang universal, setiap orang bahkan mafia seklipun membutuhkan kejujuran dari bawahannya. Kejujuran akan diterima di manapun kita berada. Namun kejujuran juga harus menilai situasi dan kondisi, kejujuran yang akan kita katakan sebaiknya tidak menyinggung atau mengorbankan orang lain, atau apabila terpaksa, kejujuran yang kita terapkan haruslah lebih memiliki aspek manfaat dibanding mudharat. Etiket tidak hanya mengenai cara bergaul yang benar, tetapi juga menyangkut tentang tentang berkehidupan dengan lingkungan manusia, alam dan segala isinya termasuk flora dan fauna. Bila berkaitan hubungan dengan sesama manusia maka komunikasi dan sosialisasi sangat memerlukan etika agar maksud yang kita sampaikan tidak disalahartikan atau sikap yang kita lakukan tidak menyinggung atau terlihat ganjil di lingkungan masyarakat tertentu Contoh etiket dan penerapannya yang berlaku di masyarakat umum Indonesia. a. Misalnya dalam makan, etiketnya ialah orang tua didahulukan mengambil nasi, kalau sudah selesai terus mencuci

61

b. makan sambil menaruh kaki di atas meja dianggap melanggar etiket bila dilakukan bersama-sama orang lain, c. makan dengan tangan kanan, d. makan tidak boleh berdecap dan bersendawa e. Di Indonesia menyerahkan sesuatu harus dengan tangan kanan. Bila dilanggar dianggap melanggar etiket. f. mengucapkan salam ketika masuk ke rumah.

C. NILAI-NILAI UMUM ETIKET KEPEMIMPINAN a. Landasan Moral Kepemimipinan Pepatah Arab yang cukup terkenal di Indonesia mengatakan Innamalumamu akhlaqu maa baqiat fain humu jahabat akhlaquhum jahabu Artinya suatuumat akan kuat karena berpegang teguh pada moralitas yang ada, namun apabilamoral diabaikan maka tunggulah kehancuran umat tersebut. Pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang memiliki kompetensiuntuk mewujudkan visi organisasi secara bersamasama dengan sumber dayamanusia (SDM) yang dipimpinnya.Seorang pimpinan yang memiliki kemampuanrethingking future. Pimpinan yang mampu menggerakkan seluruh potensi yangdimiliki organisasi kearah masa depan yang lebih cemerlang. Pimpinan yang penuh kewibawaan sehingga mampumembangun semangat setiap pribadi untuk ikut ambil bagian dalam mewujudkantujuan. Pimpinan yang tidak hanya menguasai permasalahan yangdihadapi., tetapi juga memiliki semangat membara untuk bersama sama menyelasaikan highabstraction). Moral pemimpin yang bersumber pada Pancasila terutama dan terpentingadalah moral ketaqwaan.Pemimpin yang bermoral ketaqwaan dalam memimpinbangsa pasti mampu mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance).Ketaqwaan yang dimiliki seorang pemimpin mendorong mereka taat dan patuhserta konsisten menjadikan agama yang dianutnya sebagai point of reversencedalam melaksanakan tugas kepemimpinannya. Moral ketaqwaan masalah secara cepat dan tepat (high commitment and

melahirkanseorang pemimpin yang mampu menghargai pekerjaan orang lain, mengakui

62

Moral ketaqwaan mampu mendorong seorang pemimpin bersikaptransparan, keterbukaan dalam melaksanakan amanah yang diembannya. Dalamproses penetapan kebijakan memberikan kesempatan orang yang dipimpinmemberikan kontribusi dalam agenda setting. Manfaatnya rakyat menjadi individuyang aspiratif dan responsive.Sementara pimpinan menjadi fasilitator yang penuhdedikatif dan responsif akomodatif terhadap kepentingan orang yang dipimpinnya. Untuk lebih memahami bagaimana seharusnya seorang pimpinan beretiket, maka kiita perlu melihat contoh-contoh pemimpin yang kesuksesan dan

kewibawaanya sudah diakui oleh dunia. Seorang pemimpin yang sukse akan mmeninggalkan pengaruh yang berlangsung lama dan luas, bahkan ketika beliau sudah tidak ada atau sudah tidak menjadi pemimpin lagi. 1) Landasan Moral Kepemimpinan Rasullullah Rasulullah Muhammad Saw sudah diakui kehebatannya oleh seluruh dunia, baik pada masa kepemimpinannya atau ketika dia sudah tidak menjabat lagi, baik ketika dia hidup bahkan hingga beliau sudah wafat, dan tentunya diakui kemampuannya dalam meimpin oleh kawan maupun lawan. beberapa penulis yang tidak ragu menuliskan beliau sebagai orang paling berpengaruh di dunia diantaranya Michael H. Hart. Diantara rahasia sukses Rasulullah Saw memimpin umat ini adalahterletak pada kepribadiannya yang utuh, terarah dan berakhlakul karimah dalamsegala aspek kehidupan.ada kesesuaian antara kata dengan perbuatan.Berikut iniadalah

sebagaian akhlak dan kepribadiaan Rasulullah Saw : a). Sidik (Kejujuran) Selama hidupnya Rasulullah Saw sama sekali tak pernah berdusta. Baik itusebelum beliau diangkat menjadi nabi atau sesudahnya. Sampai usia 40 tahunbeliau tidak dikenal sebagai negarawan.pengkhutbah atau seorang orator. Ia tidakpernah tampak berbicara tentang masalah-masalah etika, metafisika,

hukum,politik, ekonomi ataupun masalahmsalah sosial. Namun tidak diragukan lagibahwa ia memiliki karakter yang luar biasa baiknya, tutur kata dan perilaku muliadan penampilan yang menawan. b) Amanah (menyampaikan) Rasulullah Saw dikenal oleh masyarakat sebagai Al-Amin (manusia yangdapat dipercaya) Akhlak yang ditampilkan oleh beliau ini amatlah disegani

63

kawanmaupun

lawan.Amanah

adalah

salah

satu

titipan

yang

bermakna

kepercayaan.Orang yang diserahi memegang amanah dapat dipercaya sehingga peluang untuktumbuh suburnya benalu nepotisme, kolusi dan korupsi dapat dibendung. Umatmanusia yang siap memikul amanah dan memeliharanya Insya Allah akanmencapai kemenengan dan keberuntungan dalam kehidupannya. Allah Swtberfirman : c) Adil Dalam sebuah riwayat sahih (terpercaya) diceritakan tentang seorang wanita dari kalangan bangsawan Arab yang kedapatan mencuri dan akan segera diberlakukan hukuman potong tangan padanya. Lalu datanglah Usamah bin Zaid yang merupakan orang terdekat Rasulullah Saw meminta dispensasi atau keringanan hukuman atas wanita bangsawan tadi. Apa jawab beliau " Seandainya Fatimah binti Muhammad sendiri yang mencuri niscaya aku akan potong tangannya " Tak akan diskriminasi dalam masalah hukum, semuanya sama dalam kaca mata undang-undang. Ada praktek kolusi dan manipulasi dalam masalah hukum/undang-undang merupakan sumber kehancuran generasi generasiterdahulu, demikian statement dan kebijakan tegas Rasul kepada yang meminta keringanan hukuman. d) Fathonah (Kecerdasan) Cara berfikir dan cara bertindaknya senantiasa dilakukan dengan cara-cara yang benar, jujur dan adil tanpa menutup diri dari sikap waspada dalam menghadapi setiap permasalahan yang muncul. Sehingga beliau mampu bertemu dan bertatap muka dalam setiap arena dengan penuh kematangan dan persiapan yang prima e) Tabligh Meski Rasulullah Saw seorang yang buta huruf dan menjalankan kehidupan dengan biasa, tenang tanpa halhal yang istimewa, namun ketika ia mulai menyiarkan risalahnya, seluruh orang Arab tertegun penuh kekaguman, terpikat oleh kefasiahannya berbicara dan kemampuan berpidato yang amat baik dan mengagumkan serta tak ada bandingannya, baik oleh penyair dan ahli pidato sekalipun.

64

Hal inilah yang perlu diteladani oleh para pemimpin umat dewasa ini bila menginginkan diri mereka mendapatkan tempat di hati orang banyak sebab omongan yang tak jelas berbau provokasi, kedustaan dan penuh caci maki sama sekali tak akan mendatangkan kebaikan. Bukankah amat sering kita mendengar pernyataan hati ini demikian lalu keesokan harinya diralat, maka kepercayaan rayat atau masyarakat pun segera hilang dan segera pula timbul gejolak di sana sini. f) Ketaqwaan AlQur'an menyebutkan hal ini sebagai kualitas tertinggi seorang muslim dan Rasulullah Saw merupakan manusia tertinggi kualitas taqwanya dibandingkan manusia manapun yang ada di jagad ini. Sebagaimana pernyataan beliau : " Saya adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa dibandingkan kalian namun saya melaksanakan qiyamullail dan tidur, saya berpuasa namun juga berbuka dan sayapun menikahi wanita...." (HR. Muslim). Demikianlah ciri-ciri moralitas yang mendasar dan yang senantiasa melandasi kepemimpinan Rasulluah Saw sehingga dengan moral force itulah manusia dapat mewujudkan potensi tertingginya dalam segala bidang sehingga terkendali secara baik. Rasulullah Saw yang terbimbing oleh wahyu berhasil membangun sistem moral yang baku yang pasti mendatangkan kebaikan bagi siapa saja yang menjalaninya terlebih lagi para pemimpin umat. 2) Moral Kepemimpinan dalam serat Jatipusaka Makutha Raja Serat Makutha Raja merupakan tulisan Sultan Hamengku Buwono V yang merupakan pedoman bagi raja atau pemimpin.Sebagai buku, serat ini mengandung ajaran-ajaran moral yang seharusnya (das Sollen) dilakukan dan dijalankan oleh Raja ataupun pemimpin pada umumnya. Sebagai kitab ajaran, berisi aturan-aturan yang bersifat imperatif atau mengharuskan. Tetapi tentu saja ini juga merupakan bagian dari membangun kesadaran moral seorang pemimpin.

65

Dalam Serat Makutha Raja pupuh Sinom, ditunjukkan bagaimana raja harus mengingat asal usul maupun niat ketika hendak menjadi seorang pemimpin. Oleh karena itu perilakunya harus benarbenar tidak boleh meninggalkan aturan, sebagaimana tertulis: Kepemimpinan yang etik menggabungkan antara pengambilan keputusan etik dan perilaku etik; dan ini tampak dalam konteks individu dan

organisasi.Tanggung jawab utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan etik dan berperilaku secara etik pula, serta mengupayakan agar organisasi memahami dan menerapkannya dalam kode-kode etik. Saran-saran untuk perilaku secara etik Bila pemimpin etik memiliki nilai-nilai etika pribadi yang jelas dan nilai-nilai etika organisasi, maka perilaku etik adalah apa yang konsisten sesuai dengan nilainilai tersebut. Ada beberapa saran yang diadaptasi dari Blanchard dan Peale (1998) berikut ini: a. berperilakulah sedemikian rupa sehingga sejalan dengan tujuan anda (Blanchard dan Peale mendefinisikannya sebagai jalan yang ingin anda lalui dalam hidup ini; jalan yang memberikan makna dan arti hidup anda.) Sebuah tujuan pribadi yang jelas merupakan dasar bagi perilaku etik. Sebuah tujuan organisasi yang jelas juga akan memperkuat perilaku organisasi yang etik. b. berperilakulah sedemikian rupa sehingga anda secara pribadi merasa bangga akan perilaku anda. Kepercayaan diri merupakan seperangkat peralatan yang kuat bagi perilaku etik. Bukankah kepercayaan diri merupakan rasa bangga (pride) yang diramu dengan kerendahan hati secara seimbang yang akan menumbuhkan keyakinan kuat saat anda harus menghadapi sebuah dilema dalam menentukan sikap yang etik. c. berperilakulah dengan sabar dan penuh keyakinan akan keputusan anda dan diri anda sendiri. Kesabaran, kata Blanchard dan Peale, menolong kita untuk

66

bisa tetap memilih perilaku yang terbaik dalam jangka panjang, serta menghindarkan kita dari jebakan hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba. d. berperilakulah dengan teguh. Ini berarti berperilaku secara etik sepanjang waktu, bukan hanya bila kita merasa nyaman untuk melakukannya. Seorang pemimpin etik, menurut Blanchard dan Peale, memiliki ketangguhan untuk tetap pada tujuan dan mencapai apa yang dicita-citakannya. e. berperilakulah secara konsisten dengan apa yang benar-benar penting. Ini berarti anda harus menjaga perspektif. Perspektif mengajak kita untuk melakukan refleksi dan melihat hal-hal lebh jernih sehingga kita bisa melihat apa yang benar-benar penting untuk menuntun perilaku kita sendiri. D. URGENSI ETIKA KEPEMIMPINAN Banyak keluhan saat ini bahwa pemimpin tidak punya etika. Misalnya, tidak mempunyai pendirian dalam berkoalisi (kasus politik di Indonesia), berbicara yang tidak pantas di depan publik, saling mencerca dan mencaci maki, bahkan tidak malu lagi untuk melakukan korupsi. Mereka seolah-olah sudah merasa nyaman saja melakukan kesalahan. Banyak orang merasa bahwa pemimpin tidak beretika dan perlu dibuatkan pedoman. Contoh kasus, adanya penyusunan pedoman tentang etika DPR Indonesia. Namun, pembuatan/penyusunan pedoman etika tersebut juga

menimbulkan kontroversi. Ada yang mengatakan tidak perlu ada pedoman etika karena yang penting adalah hatinya. Menurut mereka yang tidak setuju, Kalau mau dosa bisa di mana saja, manusia itu kan lebih lihai dari aturan dan pedoman!. Jika memnag demikian, apakah benar pemimpin perlu dibuatkan pedoman etika? Pertanyaannya, apa arti tidak punya etika? Apakah hanya tentang kesantunan belaka, atau tentang moralitas dan integritas pemimpin? Hal ini penting karena etiket berbeda dengan etika. Etiket adalah hal-hal tentang sopan santun baik dari segi cara berbicara atau bersikap, mungkin ada yang halus dan ada pula yang kasar. Misalnya, cara berbicara yang kasar dan tingkah laku yang tidak sopan adalah sebuah etiket. Etiket tetap penting untuk dipelajari dan dimiliki, namun tidak masuk

67

dalam ranah etika. Lain halnya dengan etiket, etika berbicara tentang baik dan buruk atau benar dan salah. Itulah sebabnya mengapa setiap pemimpin harus mengembangkan etika bagi dirinya dan perlunya ada pedoman etika sebagai pemimpin. Untuk apa pemimpin harus mempunyai etika? Etika memberikan tuntunan kepada para pemimpin di tengah-tengah masyarakat yang memiliki nilai yang beragam atau pluralism moral (Bertens, 31). Etika juga akan membimbing dan memampukan pemimpin dalam menghadapi persoalan akibat

muncul/berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara umum, sudah tentu etika sangat dibutuhkan di dalam kehidupan manusia yang hidup di zaman globalisasi. Baik dan buruk dalam masyarakat sudah bukan urusan pribadi atau suatu masyarakat saja, tetapi sudah menjadi kepedulian bersama suatu konteks yang lebih besar, misalnya lingkungan hidup, kekejaman, korupsi, kemiskinan, dan ketidakadilan, juga termasuk banyak kasus moralitas di dalam kehidupan pemimpin. Dalam suatu organisasi, etika kepemimpinan sangatlah penting. Pemimpin harus membuat keputusan yang tidak hanya menguntungkan, tetapi pemimpin juga harus memikirkan tentang pengaruhnya terhadap masyarakat. Pemimpin yang baik mengetahui nilai-nilai dan etika, serta mengaplikasikannya dalam gaya dan pelaksanaan kepemimpinannya. Ketika seorang pemimpin menggunakan etika dalam kepemimpinannya, ia akan dihormati dan dikagumi oleh bawahan dan karyawannya. Ada beberapa hal yang perlu dimiliki oleh pemimpin yang beretika. Di sini kita tidak berbicara tentang tingkah laku (behavior) yang terlihat, atau dengan kata lain mengubah tingkah laku yang terlihat saja, tetapi juga mempertimbangkan motif-motif hati si pemimpin. Oleh karena itu, syarat pertama pemimpin yang beretika adalah memiliki hati nurani yang baik. Kata hati nurani berasal dari kata conscienta yang berarti turut mengetahui atau dengan diketahui oleh. Dalam hal ini, siapa yang turut mengetahui? Maksud dari kata tersebut tentu ada suatu instansi di dalam diri manusia yang berfungsi sebagai saksi yang mengamati atau menilai kehidupan batin manusia dan mempertimbangkan sesuatunya (bdk. Verkuyl, 65; Bertens, 53). Jadi,

68

hati nurani adalah suatu penghayatan tentang baik dan buruk yang berhubungan dengan tingkah laku konkret/nyata manusia (Bertens, 51-52). Harga diri dan integritas manusia sebagai pemimpin terletak pada hati nuraninya. Bentuk hati nurani ada dua yaitu hati nurani retrospektif dan prospektif (Bertens, 54-56). Hati nurani retrospektif adalah hati nurani yang mengevaluasi terhadap perbuatan manusia pada masa lalu, apakah perbuatan tersebut baik ataukah buruk. Hati nurani retrospektif berfungsi sebagai instansi kehakiman yang mencela jika melakukan perbuatan yang tidak baik atau jahat, tetapi akan memberi pujian jika melakukan perbuatan yang baik dan terpuji. Hati nurani yang sehat dari seorang pemimpin adalah jika pemimpin tersebut memiliki hati nurani yang menuduh atau mencela yang disebut a bad conscience jika melakukan sesuatu yang buruk dan memiliki a good conscience atau a clear conscience jika melakukan sesuatu yang baik. Hati nurani prospektif adalah hati nurani yang memberikan penilaian atas perbuatan di masa yang akan dating. Ia memberikan nilai kondisional atas perbuatan manusia. Artinya, sebelum melakukan sesuatu hal maka hati nuraninya akan memberitahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Hati nurani bekerja pada saat suatu hal sedang dilakukan seseorang. Di samping memiliki hati nurani yang baik, setiap pemimpin wajib memiliki komitmen terhadap etika keutamaan. Maksud dari etika keutamaan adalah berfokus kepada manusia dan martabatnya, dan bukan kepada apakah suatu perbuatan sesuai norma atau tidak. Etika ini mempelajari keutamaan (virtue) sifat watak yang dimiliki manusia. Etika keutamaan bukan menilai perbutan, tetapi lebih kepada apakah manusia (kita) adalah orang yang baik atau buruk. Di samping etika keutamaan, ada pula etika kewajiban. Etika kewajiban menekankan pada being manusia, yaitu siapakah saya di hadapan Tuhan dan sesama. Di sini, manusia bukan memilih mana yang harus dipegang, apakah etika kewajiban ataukah etika keutamaan (bukan either-or), tetapi kedua-duanya perlu dipelajari dan dipraktikkan (both-and). Kita wajib tahu mana yang benar dan yang salah, baik dan buruk, tetapi juga mengembangkan watak serta karakter yang penuh pengorbanan, pelayanan, dan kebaikan sebagai etika keutamaan.

69

Hubungan antara etika keutamaan dan etika kewajiban adalah bahwa moralitas selalu berhubungan dengan aturan dan prinsip sertakualitas manusianya juga. Manusia tidak hanya baik karena menaati aturan, tetapi juga perlu pembentukan watak. Karakter atau watak manusia juga memerlukan norma. Jika ada yang berkata bahwa DPR tidak perlu ada pedoman etika, berarti dia tidak memahami fungsi etika kewajiban, bahwa manusia hanya bisa taat jika ada pedoman dan sanksi yang mengaturnya. Tetapi pedoman dan sanksi saja tidak cukup menjadikan manusia baik. Manusia memerlukan pengembangan watak dan karakter yang baik yang disebut pengembangan etika keutamaan. Di sini, keduanya berjalan bersamaan di dalam kehidupan seorang pemimpin. Kepemimpinan adalah suatu konsep yang mengagumkan. Kepemimpinan mampu menyiratkan tanggung jawab, pengetahuan dan komunikasi efektif. Etika kepemimpinan terutama mempunyai arti penting pada waktu-waktu belakangan ini ketika kepercayaan publik telah terkikis oleh tindakan tidak baik dari banyak entitas nirlaba maupun entitas komersial. Berikut ini adalah beberapa komponen dari etika kepemimpinan beserta pentingnya, yaitu: Ethical Communication Pemimpin yang beretika akan menetapkan standar kejujuran untuk setiap bawahan yang dipimpinnya. Ketika seseorang mengambil posisi sebagai pemimpin, ia mempunyai kesempatan untuk menempatkan kejujuran pada tempat tertinggi. Dalam hal ini, keteladanan pemimpin saja tidak cukup dalam melaksanakan standar ini. Kejujuran adalah tugas nomor satu harus menjadi slogan entitas tersebut. Informasi yang jujur adalah informasi yang berkualitas, baik untuk CEO, dewan direksi, maupun para investor.

Ethical Quality Seorang pemimpin yang beretika paham bahwa aa tiga faktor yang menentukan tingkat kompetitifnya suatu organisasi, yaitu produk yang

berkualitas, pelayanan pelanggan yang berkualitas, dan pengiriman yang berkualitas. Pemimpin harus bertanggungjawab dalam memimpin,

70

mengendalikan, dan mendanai dalam hal peningkatan kualitas. Keuntungan yang besar hanya dapat terjadi jika pemimpin dapat melaksanakan tanggungjawab tersebut.

Ethical Collaboration Pemimpin yang beretika membutuhkan banyak penasihat. Ia akan memilih penasihat yang paling unggul di dalam organisasinya dan akan mempekerjakan beberapa orang penasihat dari luar perusahaan. Pemimpin yang bijak berkolaborasi untuk menciptakan best practice, memecahkan masalah, dan menemukan issue-issue yang sedang dihadapi organisasi. Sayangnya, secara alamiah pemimpin akan cenderung menciptakan lingkaran penasihat yang tertutup. Pemimpin yang menggunakan etika kolaborasi akan menjaga agar lingkaran penasihat ini lebih terbuka dan cair. Tujuan dari pemimpin yang beretika adalah untuk menurunkan risiko organisasi dengan cara mempeoleh para ahli (dalam hal ini adalah penasihat) yang terpercaya.

Ethical Succession Planning Jika pemimpin yang berprinsip memiliki/menuntut kebutuhan akan pengendalian, ia akan memenuhi kebutuhan tersebut dengan menciptakan standar organisasi dan prosedur operasi untuk kualitas dan komunikasi yang kuat. Sementara itu, seorang pemimpin yang beretika harus memberikan kesempatan pada para penerus yang potensial untuk berlatih dan membangun kemampuan kepemimpinan mereka. Hal tersebut harus dipimpin oleh si pemimpin sendiri dengan memberikan kesempatan untuk berkomunikasi 360 0, dan melatih mereka tentang peran-peran yang mungkin akan mereka jalankan suatu saat nanti.

Ethical Tenure Berapa lamakah seharusnya seorang pemimpin mepimpin

organisasinya? Di Indonesia, wakil rakyat dipilih setiap lima tahun sekali. Di Amerika, pemimpin pemerintahan memimpin selama empat sampai delapan tahun. Sedangkan dalam bidang industri tidak memiliki standar masa kepemimpinan (tenure). Menurut seorang pakar kepemimpinan, Peter Block, kepemimpinan seringkali diukur lebih berdasarkan kepercayaan terhadap

71

individu daripada talenta/kemampuannya. Block juga mengemukakan bahwa misi dari pemimpin yang beretika adalah untuk melayani institusi yang dipimpinnya, bukan untuk melayani diri mereka sendiri. Pemimpin yang beretika berkolaborasi dan menyiapkan rencana penerusan kepemimpinan di dalam organisasinya yang akan menjamin pertumbuhan organisasinya. Pemimpin bekerja atas permintaan dari entitas, pelanggan, dewan direksi, dan para pemegang saham. Jika kepercayaan dari masing-masing pemegang kepentingan tersebut tidak

berubah/menurun, si pemimpin harus tetap memimpin hingga ia memilih untuk mundur dan turun jabatan. Sedangkan pemimpin yang merusak kepercayaan bawahannya, pelanggan, dan masyarakat luas harus menyingkir dan

membiarkan pemimpin lain yang lebih baik mengambil alih kepemimpinan dan kekuasaannya.

E.

KARAKTER UTAMA DALAM KEPEMIMPINAN Kita sering mengatakan penampilan seseorang adalah etika dari orang

tersebut, yang dapat menempatkan diri dengan baik di setiap situasi. Dapat dikatakan orang ini adalah individu yang beretika. Bagaimanapun ketika, orang yang beretika tidak lagi mementingkan kualitas karakter kehidupan yang baik, maka dia telah berhasil memanipulasi orang lain dengan etikanya yang baik itu karena apa yang terlihat oleh orang lain pada seseorang terjadi pada situasi normal. Karakter individu yang sebenarnya akan terlihat ketika indvidu berhadapan dengan tekanan, tantangan atau masalah-masalah. Kita mempunyai potensi-potensi untuk memanipulasi orang lain dengan kepintaran, pengalaman dan kekuatan penampilan luar kita tetapi ada satu hal yang penting jika kita ingin mengetahui kualitas hidup sebenarnya dari seseorang yaitu waktu. Waktu adalah cara pengujian yang ampuh. Secara normal, kita hanya berinteraksi dengan orang lain dalam jangka waktu yang pendek, misalnya dalam waktu kerja atau hanya dalam beberapa jam. Maka orang-orang yang mengetahui sifat baik dan kualitas kehidupan kita adalah orangorang yang telah mengenal dan bersama kita dalam jangka waktu yang panjang. Ekspresi yang tersembunyi akan terlihat dalam situasi tertentu. Tidak ada orang yang

72

dapat menyembunyikan dirinya yang sebenarnya di dalam untuk selamanya, karena dari cara dia berbicara, bertindak dan merespon, kita dapat mengidentifikasi karakter dia. Kita tetap membutuhkan waktu untuk mengingat atau mengetahui karakter teman-teman kita. Dengan mempelajari dan mengetahui ilmu karakter, kita akan menjadi sebuah pribadi yang seutuhnya. Bisa menikmati kehidupan yang nyaman, sehat dan bahagia. Kesuksesan akan dijagai oleh karakter yang baik karena kita bisa menggapai sukses dengan karisma tetapi hanya karakter yang bisa menjagai kesuksesan kita tetap pada puncaknya. A. 7 Kebiasaan manusia yang sangat efektif Di dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People yang dijabarkan oleh Stephen R. Covey, merupakan esensi perwujudan dari upaya kita untuk menjadi seseorang yang seimbang, utuh, dan kuat, serta menciptakan sebuah tim yang saling melngkapi berdasarkan rasa saling menghormati. Hal ini adalah merupakan prinsip-prinsip dari karakter pribadi. Gambar 3.1 Prinsip-rinsip Karakter Pribadi

73

Sumber: 7 habits of Highly Effective People (Stephen R. Covey)

Habit 1 - Proactive Menjadi proaktif adalah sesuatu yang lebih dari sekedar mengambil inisiatif. Proaktif berarti menyadari bahwa kita bertanggung jawab terhadap pilihanpilihan kita dan memiliki kebebasan untuk memilih berdasarkan prinsip dan nilai, dan bukan berdasarkan suasana hati atau kondisi di sekitar kita. Orang-orang yang proaktif adalah agen-agen perubahan, dan memilih untuk tidak menjadi korban, untuk tidak menjadi reaktif; mereka memilih untuk tidak menyalahkan orang lain. Habit 2 Start from the End Individu, keluarga, tim dan organisasi membentuk masa depan mereka dengan terlebih dahulu menciptakan sebuah visi mental untuk segala proyek, baik besar maupun kecil, pribadi atau antarpribadi. Mereka tidak sekedar hidup dari hari ke hari tanpa tujuan yang jelas dalam pikiran mereka. Mereka mengidentifikasi diri dan memberikan komitmen terhadap prinsip, hubungan, dan tujuan yang paling berarti bagi mereka. Habit 3 Put First thing first Mendahulukan yang utama berarti mengatur aktivitas dan melaksanakannya berdasarkan prioritas-prioritas yang paling penting. Apa pun situasinya, hal itu berarti menjalani kehidupan dengan didasarkan pada prinsip-prinsip yang dirasakan paling berharga, bukan oleh agenda dan kekuatan sekitar yang mendesak saja. Habit 4 Think Win Win Berpikir menang-menang adalah kerangka pikiran dan hati yang berusaha mencari manfaat bersama dan saling menghormati di dalam segala jenis interaksi. Berpikir menang-menang adalah berpikir dengan dasar-dasar Mentalitas Berkelimpahan yang melihat banyak peluang, dan bukan berpikir dengan Mentalitas Berkekurangan dan persaingan yang saling mematikan.

74

Karakter ini bukanlah berpikir secara egois (menang-kalah) atau seperti martir (kalahmenang). Karakter ini adalah berpikir dengan mengacu kepada kepentingan kita, bukan aku. Habit 5 Effective Communication Effective Communication yang dimaksud adalah berkomunikasi dengan empathy; berusaha memahami dulu, baru kemudian berusaha dipahami. Jika kita mendengar dengan maksud untuk memahami orang lain, dan bukan sekedar untuk mencai celah untuk menjawab, kita bisa memulai komunikasi dan pembentukan hubungan yang sejati. Peluang-peluang untuk berbicara secara terbuka dan untuk dipahami kemudian akan datang secara lebih alamiah dan mudah. Berusaha untuk memahami memerlukan pertimbangan matang; berusaha untuk dipahami memerlukan keberanian. Efektivitas terletak pada menyeimbangkan atau menggabungkan keduanya. Habit 6 Synergy Sinergi adalah alternatif ketiga bukan cara saya, cara Anda, tetapi sebuah cara ketiga yang lebih baik daripada apa yang bisa kita capai sendiri-sendiri. Sinergi merupakan buah dari sikap menghormati, menghargai, dan bahkan merayakan adanya perbedaan di antara orang-orang. Sinergi bersangkut paut dengan upaya untuk memecahkan masalah, meraih peluang dan menyelesaikan perbedaan. Ini seperti kerja sama kreatif di mana 1 + 1 = 3, 11, 111, atau lebih banyak lagi. Sinergi juga merupakan kunci keberhasilan dari tim atau hubungan efektif mana pun. Sebuah tim yang bersinergi adalah sebuah tim yang saling melengkapi, di mana tim itu diatur sedemikian rupa sehingga kekuatan dari para anggotanya bisa saling menutupi kelemahan-kelemahannya. Dengan cara ini kita mengoptimalkan kekuatan, bekerja dengan kekuatan tersebut, dan membuat kelemahan dari masing-masing orang menjadi tidak relevan.

75

Habit 7 Sharpen the Saw Mengasah gergaji berkenaan dengan upaya kita untuk memperbarui diri secara terus-menerus pada empat bidang Ini dasar adalah kehidupan: karakter fisik, yang

sosial/emosional,

mental,

dan

spiritual.

meningkatkan kapasitas kita untuk menjalankan semua kebiasaan lain yang akan meningkatkan efektivitas kita.

Tiga Kebiasaan yang pertama bisa diringkas dalam sebuah pernyataan empat kata yang amat sederhana: Membuat dan memenuhi janji. Kemampuan untuk membuat janji adalah proaktivitas (Kebiasaan 1). Apa yang dijanjikan adalah Kebiasaan 2, dan memenuhi janji adalah Kebiasaan 3.

Tiga kebiasaan selanjutnya bisa diringkas dalam sebuah kalimat pendek: Libatkan orang dalam permasalahan dan carilah penyelesaiannya bersama-sama. Hal ini memerlukan rasa saling menghormati (Kebiasaan 4), saling memahami (Kebiasaan 5), dan kerja sama kreatif (Kebiasaan 6). Kebiasaan 7, Mengasah Gergaji, adalah meningkatkan kompetensi Anda di empat bidang kehidupan: tubuh, pikiran, hati, dan jiwa. Kebiasaan ini memperbarui integritas dan rasa aman seseorang yang berasal dari kedalaman dirinya sendiri (Kebiasaan 1, 2, dan 3) dan memperbarui semangat maupun karakter untuk membentuk tim yang saling melengkapi.

Tabel 3.1 adalah bagan yang menggambarkan prinsip dan para-digma dari masing-masing kebiasaan dalam 7 Kebiasaan.

76

Sumber: The 8th Habit (Stephen R. Covey)

A. Prinsip-prinsip yang diwujudkan dalam 7 kebiasaan Lihatlah dengan saksama masing-masing prinsip tersebut. Kita dapat melihat tiga hal: Pertama, prinsip-prinsip itu bersifat universal. Artinya, prinsip-prinsip itu mengatasi batas-batas budaya dan terkandung dalam semua agama utama dunia maupun falsafah hidup yang tak lekang oleh waktu. Kedua, prinsip-prinsip ini abadi tak pernah berubah. Ketiga, prinsip-prinsip ini terbukti dengan sendirinya. Bagaimana kita tahu bahwa sesuatu adalah hal yang terbukti dengan sendirinya? Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kita tinggal mencoba berusaha membantahnya. Anda sama sekali tak akan berhasil. Dalam hal prinsip-prinsip yang mendasari 7 Kebiasaan, Anda tidak bisa membantah pentingnya tanggung jawab atau inisiatif, memiliki tujuan, integritas, saling menghormati, saling memahami, kerja sama kreatif, atau pentingnya untuk terus-menerus memperbarui diri. Tujuh Kebiasaan adalah prinsip-prinsip yang menyangkut karakter yang membentuk siapa dan apa diri Anda. Kebiasaan-kebiasaan ini memberikan basis bagi kredibilitas, wewenang moral, dan keterampilan yang membuat Anda bisa memiliki pengaruh besar dalam sebuah organisasi, termasuk keluarga, komunitas, dan masyarakat. Kebiasaan itu terletak pada inti dari peran pertama pada 4 Peran Kepemimpinan yaitu menjadi Panutan. 4 Peran Kepemimpinan itu adalah apa yang Anda lakukan sebagai pemimpin untuk mengilhami orang lain agar menemukan suara mereka.

77

Gambar 3.2 Empat Peran Kepemimpinan

Sumber: The 8th Habit (Stephen R. Covey)

Kepemimpinan

akan

menciptakan

sebuah

ruang

kehidupan

yang

sepenuhnya baru bagi 7 Kebiasaan, dan kebiasaan-kebiasaan ini akan dipandang sebagai hal yang memiliki nilai vital secara strategis bagi sebuah organisasi, dan bukan sekadar sebuah program pelatihan dengan gambar-gambar yang indah. Empat Peran Kepemimpinan membuat 7 Kebiasaan bisa menjadi hal utama yang dipraktikkan dalam organisasi. B. Paradigma 7 Kebiasaan Masing-masing kebiasaan dalam 7 Kebiasaan tidak hanya mewakili sebuah prinsip, tetapi juga sebuah paradigma, sebuah cara berpikir. Saat kita memikirkan secara lebih mendalam bahwa Kebiasaan 1, 2, dan 3 diwakili oleh empat kata "membuat dan memenuhi janji," kita menjadi paham mengenai paradigma yang menyertai masing-masing kebiasaan. Kebiasaan 1, Menjadi Proaktif, adalah sebuah paradigma determinasi diri atau penetapan diri, dan bukan sekadar determinasi genetik, sosial, fisik, atau lingkungan, melainkan "Saya bisa dan akan membuat janji." Inilah kekuatan dari pilihan. Kebiasaan 2, Memulai dengan Tujuan Akhir, adalah sebuah paradigma yang menyatakan bahwa semua hal diciptakan dua kali, pertama secara mental, dan baru

78

kemudian secara fisik. Ini adalah isi dari janji tersebut"Saya bisa memikirkan baik isi dari janji yang ingin saya buat maupun apa yang saya harapkan akan saya capai dari situ." Ini adalah kekuatan fokus. Kebiasaan 3 adalah paradigma prioritas, tindakan, dan pelaksanaan"Saya memiliki kemampuan dan tanggung jawab untuk memenuhi janji tersebut." Kebiasaan 4, 5, dan 6Berpikir Menang-Menang, Berusaha Memahami Dulu Lalu Berusaha Dipahami, dan Bersinergiadalah paradigma-paradigma pemikiran berkelimpahan saat berhubungan dengan pihak lainmelimpahnya rasa hormat, rasa saling memahami (menyeimbangkan antara pertimbangan dan keberanian), dan menghargai perbedaan. Ini adalah inti dari tim yang saling melengkapi. Kebiasaan 7 adalah paradigma perbaikan terus-menerus dari sebuah pribadi utuh. Ini adalah kebiasaan untuk pendidikan, pembelajaran, dan pembuatan komitmen ulangapa yang disebut oleh bangsa Jepang sebagai "Kaizen." Inilah sebabnya mengapa diagram melingkar yang dipergunakan di sepanjang buku ini memiliki sebuah mata panah yang tidak menutup lingkaran tersebut tetapi akan menciptakan sebuah spiral naik yang melambangkan sebuah perbaikan tanpa henti dalam masing-masing wilayah dari empat wilayah yang dipilih. C. Solusi Kepemimpinan dalam Organisasi Keputusan untuk mengilhami orang lain untuk menemukan suara mereka membawa Anda langsung ke inti dari empat masalah kronis organisasi yang diakibatkan oleh model kontrol Era Industri yang dipakai saat ini. Empat Peran Kepemimpinan sebenarnya adalah empat karak-teristik kepemimpinan pribadi: visi, disiplin, gairah, dan hati nurani yang ditulis ulang untuk konteks organisasi.

79

Gambar 3.3: Empat karakteristik kepemimpinan pribadi

Sumber: The 8th Habit (Stephen R. Covey)

Panutan (hati nurani): Menjadi contoh yang baik. Perintis (visi): Bersama-sama menentukan arah yang dituju. Penyelaras (disiplin): Menyusun dan mengelola sistem agar tetap pada arah yang telah ditetapkan. Pemberdaya (gairah): Memfokuskan bakat pada hasil, bukan pada metode, lalu menyingkir agar tidak menghalangi dan memberi bantuan jika diminta.

Mereka yang memegang posisi kepemimpinan formal dalam organisasi mungkin bisa melihat keempat peran ini sebagai cara yang menantang, namun alamiah, untuk memenuhi tugas mereka. Kendati demikian, kalau kita membatasi keempat peran ini hanya untuk eksekutif senior, hal itu hanya akan semakin memperkuat pola pemikiran yang mengatakan, "bos yang melakukan semua pemikiran penting dan pembuatan keputusan." Keempat peran ini adalah untuk semua orang, apa pun posisinya. Keempatnya adalah jalur untuk meningkatkan pengaruh Anda, pengaruh tim dan organisasi Anda. Stephen R. Covey dan teman-temannya mengajarkan model 4 Peran Kepemimpinan sejak tahun 1995. Dan ternyata, banyak pula pakar lain di bidang kepemimpinan yang secara terpisah telah menyusun model yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang sama. Sebagai contoh, Dave Ulrich (Universitas Michigan), Jack Zenger, dan Norm Smallwood yang menulis buku Results-Based Leadership (1999)

80

yang amat memperluas cakrawala wawasan kita. Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian, pengamatan, dan memberikan konsultasi, mereka mengembangkan sebuah model kepemimpinan empat kotak yang hampir sama persis dengan model 4 Peran. Perbedaan utamanya hanya terletak pada peristilahan yang dipakai, tetapi Kita bisa melihat bahwa makna pada intinya sama. Gambar 3.4: Apa yang dilakukan oleh Pemimpin Yang Sukses?

Sumber: The 8th Habit (Stephen R. Covey)

D. Pentingnya Urutan Peran Keempat peran ini juga amat saling tergantung. Dari satu sisi, peran-peran ini tampaknya berurutan. Tetapi dari sisi lain, peran-peran ini dijalankan secara bersamaan. Kedua sisi tersebut sama-sama benar. Peran-peran ini berurutan karena kita harus bisa mendapatkan kepercayaan yang tumbuh dari kelayakan kita untuk dipercaya, sebelum kita benar-benar bisa berpindah ke peran-peran lain yang akan membebaskan potensi alamiah manusia. Kendati demikian, peran-peran ini juga bekerja secara simultan jika dipandang dari sisi saat setelah terbentuknya sebuah budaya berdasarkan kepemimpinan ini. Keempat proses atau peran ini tetap harus diper-hatikan secara terus-menerus.

81

Stephen R. Covey menggambarkan pentingnya urutan dari keempat peran ini dengan cara membandingkannya dengan olahraga profesio-nal, yang seperti juga dunia bisnis, merupakan ajang kompetisi yang amat sengit. Saat seorang pemain masuk ke sebuah sasana latihan profesional dengan kondisi tidak memenuhi syarat tidak memiliki kekuatan otot dan daya tahan jantungnya tidak beres dia tidak akan bisa mengembangkan keahliannya secara maksimal. Dan jika dia tidak bisa mengembangkan kemampuan itu, tidak mungkin dia bisa bermanfaat sebagai

anggota tim dan menjadi bagian dari sebuah sistem pencetak kemenangan. Dengan kata lain, pengembangan otot mendahului pengem-bangan keahlian, dan pengembangan keahlian mendahului pengembangan tim dan sistem. Tubuh adalah sebuah sistem alamiah dan diatur oleh hukum-hukum alam. Perumpamaan olahraga amat tepat dan memberikan gambaran kuat yang bisa kita hubungkan dengan bidang yang lebih luas yakni meningkatkan kapasitas dan menemukan suara kita. Pengembangan pribadi mendahului pengembangan hubungan yang saling memercayai, dan hubungan yang saling memercayai adalah sebuah prasyarat mutlak untuk mengembangkan sebuah organisasi yang bercirikan kerja sama tim, kontribusi, dan kerja sama dengan komunitas yang lebih luas. Sebagai contoh, misalkan seseorang tidak mampu memenuhi janji, bahkan janji yang dibuat untuk dirinya sendirihidupnya tidak konsisten, tak beraturan, dan tergantung pada suasana hatinya. Ada-kah cara baginya untuk membangun hubungan yang sehat dan penuh rasa saling percaya dengan orang lain? Jawabannya sudah jelas. Dan jika kepercayaan dalam hubungannya dengan orang lain kurang, apakah dia akan memiliki dasar yang kuat untuk membangun sebuah keluarga yang efektif atau tim dan organisasi yang bisa membuat kontribusi yang signifikan? Sekali lagi, jawabannya sudah jelas: tidak mungkin. Persis seperti seorang anak tidak akan bisa berlari sebelum bisa berjalan atau tak bisa berjalan sebelum dia bisa merangkak, dan Anda juga tidak akan bisa mengerjakan soal-soal kalkulus sebelum Anda memahami aljabar, dan Anda tidak akan bisa mengerjakan aljabar sebelum Anda memahami dasar-dasar matematika, beberapa hal dasar yang diperlukan memang harus ada lebih dahulu sebelum yang lainnya bisa dilakukan. Setelah kita memahami pentingnya urutan ini, Anda akan melihat mengapa, bahkan jika kedua hal ini saling tergantung, amat penting untuk pertama-tama membayar harga untuk berusaha menemukan suara pribadi Anda

82

sebelum mencoba mengembangkan keahlian dalam membangun hubungan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi dan pemecahan masalah secara kreatif. Kerja yang bersifat sinergis dalam hubungan-hubungan yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi seperti itu kemudian akan menjadi dasar untuk menciptakan sebuah tim atau organisasi dari orang-orang yang saling bekerja samatim-tim yang memiliki tujuan dan nilai-nilai yang sama, dan bersedia untuk memainkan peran mereka di dalam konteks tersebut. Dan yang paling akhir, individu, tim, dan organisasi seperti itu kemudian bisa memperluas pengaruh mereka dengan melayani dan memenuhi kebutuhan dari pihak-pihak yang menjadi tanggung jawab mereka. Penempatan layanan bagi orang lain sebagai hal yang lebih tinggi daripada diri sendiri memberikan makna pada ketiga level tersebut dan membawa kita ke Era Kebijaksanaan, era kelima dari peradaban. Mungkin cara terbaik untuk menggambarkan betapa penting dan kuatnya urutan ini adalah dengan cara yang sering saya berikan kepada para peserta yang saya ajar. Saya mengundang seorang pria yang tampak amat kuat dan sehat untuk maju ke depan dan melakukan dua puluh kali push-up dengan punggung lurus. Jika dia benar-benar kuat dan selalu berlatih, dia akan bisa melakukan hal itu dengan mudah. Tetapi hanya sedikit yang sanggup melakukannya; bahkan banyak orang yang tampak kuat dan sehat, tetapi tidak sanggup melakukan lebih dari lima atau enam kali. Dengan mempergunakan analogi fisik ini, saya berpendapat bahwa sampai seseorang bisa melakukan dua puluh kali push-up emosional pada tingkat pribadi, mereka tidak akan memiliki ke-kuatan atau kebebasan untuk melakukan tiga puluh push-up emosional yang diperlukan untuk memenuhi tantangan dan tuntutan dari hubungan yang lebih luas. Dan sebelum mereka bisa melakukan lima puluh push-up pada tingkat pribadi dan hubungan, mereka tidak akan mungkin bisa membangun sebuah tim dan menghasilkan sebuah budaya organisasi dengan tingkat

kepercayaan dan kinerja yang tinggi. Dengan mengingat adanya urutan ini, kita sekarang berpindah dari pengembangan karakter yang diperlukan dalam menemukan suara kita sendiri, menuju pengembangan keahlian dan pengembangan tim dan sistem yang diperlukan

83

dalam upaya kita untuk mengilhami orang lain untuk menemukan suara mereka di dalam organisasi

Latihan Soal-soal
1. Apa yang dimaksud dengan Etika dan jelaskan fungsinya? 2. Jelaskan pengertian kepempimpinan menurut H.Koontz dan C. O'Donnell 3. Apa yang dimaksud dengan Etika Kepempimpinan? 4. Untuk apa pemimpin harus mempunyai etika? 5. Sebutkan beberapa komponen dari etika kepemimpinan beserta pentingnya! 6. Sebutkan prinsip-prinsip etika berorganisasi? 7. Jelaskan Bagaimana hubungan etika kepempimpinan dengan organisasi? 8. Etika kepemimpinan dapat diterapkan dengan baik apabila mendapat dukungan penuh dari beberapa faktor yaitu? 9. Seorang pemimpin yang sukses apabila ia mampu menggerakkan sejumlah orang dalam mencapai tujuan organisasi. Untuk keperluan itu, seorang pemimpin hendaknya dapat menciptakan beberapa hal, sebutkan?

10. Apa yang dimaksud dengan pemimpin yang visioner?

84

GLOSARIUM

1. Ahli (kepandaian). 2. Amanah 3. Direksi

: Orang yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu

: Terpercaya : (Dewan) pengurus atau (dewan) pimpinan

perusahaan, bank,yayasan, dsb. 4. Entitas 5. Etika : Satuan yang berwujud; ujud. : Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk

tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). 6. Etiket : Tata cara (adat sopan santun, dsb) dalam masyarakat

beradab dalam memelihara hubungan baik antara sesama manusianya. 7. fathonah 8. Globalisasi : cerdas, kecerdasan : Proses masuknya ke ruang lingkup dunia: ~ siaran

televisi kita tidak dapat dihindarkan lagi. 9. Institusi : Sesuatu yang dilembagakan oleh undang-undang,

adat atau kebiasaan (seperti perkumpulan, paguyuban, organisasi sosial, dan kebiasaan berhala-bihalal pada hari lebaran); Gedung tempat diselenggarakannya kegiatan perkumpulan atau organisasi. 10. Investor menanamkan keuntungan. 11. Koalisi : Kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh : Penanam di uang usaha atau dengan modal; tujuan Orang yang

uangnya

mendapatkan

kelebihan suara di parlemen. 12. Kolaborasi 13. Komunikasi : (Perbuatan) kerja sama dengan musuh. : Pengiriman dan penerimaan pesan atau berita

antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; Hubungan; Kontak. 14. Organisasi : Kesatuan (susunan dsb) yang terdiri atas bagian-

bagian (orang dsb) dalam perkumpulan dsb untuk tujuan tertentu; Kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.

85

15. Penasihat menasihati. 16. Pluralisme

: Orang yang memberi nasihat dan saran; Orang yang

: Keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan

dengan sistem sosial dan politiknya). 17. Prosedur : Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas;

Metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu problem. 18. Sidiq 19. Slogan : Benar : Perkataan atau kalimat pendek yang menarik,

mencolok, dan mudah diingat untuk menjelaskan tujuan suatu idiologi golongan, organisasi, partai politik, dsb. 20. Standar 21. Tabligh : Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan. : Menyampaikan

86

DAFTAR PUSAKA
Covey, Stephen.R. The 8th Habit Covey, Stephen.R, 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, Binarupa Aksara, 1994 http://pribumibrebes.kabarku.com/My-Category/Pengertian-Etiket17645.html http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/11/pengertiankepemimpinan.html http://www.lintau.co.cc/2008/06/etika-kepemimpinan.html http://www.scribd.com/doc/30836348/Landasan-Moral-Dan-EtikaKepemimpinan

87

BAB

ETIKA PELAYANAN PUBLIK

_____________________________________________________
Tujuan Instruksional Khusus : Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa memahami beberapa hal tentang etika pelayanan publik yang meliputi: 1. Pengertian pelayanan publik 2. Prinsip-prinsip etika pelayanan publik 3. Netralitas PNS

A. Pengertian Etika Pelayanan Publik Dalam bentuknya yang paling abstrak, etika adalah salah satu cabang filsafat.Etika berkaitan dengan perilaku normal, yaitu produk dari standar dengan moral dan

pertimbangan/keputusan

moral.Tegasnya

etika

berkaitan

bagaimana

kita0020hidup.Mengambil keputusan tentang bagaimana kita hidup adalah fondasi etika. Dengan cara sederhana kita dapat, kita dapat mengatakan bahwa etika berkenaan dengan bagaimana orang-orang melaksanakan urusan mereka, setiap jam, atau setiap hari. Perilaku etis berarti jujur dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Etika berkaitan dengan karya, kinerja atau prestasi, yang di karya atau kinerja itulah nama kita melekat. Konsep etika tidak lain adalah sejumlah asumsi dasar yang melandasi hampir semua hubungan dan transaksi di dalam masyarakat. Asumsi-asumsi ini meliputi asumsi-asumsi bagaimana kita memperlakukan orang lain, apa hak kita dan apa hak orang lain, kapan hak individual kita berakhir dan kapan hak individual orang lain bermula, bagaimana hak milik individu dan masyarakat diperlakukan, dan apa yang merupakan perlakuan wajar dan adil bagi semua orang. Dengan demikian etika dapat diartikan secara luas sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan masyarakat untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan kehidupannya. Pertanyaan berikut ini mencerminkan pengertian

etika ini: Bagaimana saya membawa diri dan bersikap? Perbuatan-perbuatan mana yang harus saya kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil. Pelayanan publik merupakan bidang kehidupan penting yang ditujukan untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan Negara.Dalam kenyataannya, pelayanan publik mempengaruhi seluruh segi kehidupan warga Negara.Oleh sebab itu, sudah selayaknya jika isu-isu atau dimensi etika dimasukkan dalam pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan pelayanan publik. Birokrasi dan pelayanan publik menunjukkan kepada kita bahwa administrasi pemerintahan atau birokrasi pemerintahan mempunyai fungsi pokok berupa

penyelenggaraan pelayanan publik.Pelayanan publik ini dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan di Indonesia disebut dengan pegawai negeri.Jadi, pelayanan publik adalah identik dengan birokrasi atau administrasi pemerintahan dan pegawai negeri. Etika pelayanan publik merupakan bidang etika terapan atau etika praktis.Dengan demikian, seperti halnya etika bisnis, etika pelayanan publik tidak berkaitan dengan perumusan standar etika baru, tetapi berkaitan dengan penggunaan atau penerapan standar-standar etika yang telah ada.Jelasnya, etika pelayanan publik berkaitan dengan prinsip-prinsip atau standar-standar moral dalam menjalankan tanggung jawab peran aparatur birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan bagi kepentingan publik.Fokus utama dalam etika pelayanan publik adalah apakah aparatur pelayanan publik, pegawai negeri atau birokrasi telah mengambil keputusan dan berperilaku yang dapat dibenarkan dalam sudut pandang etika.Karena etika bersangkut paut dengan bagaimana agar manusia mencapai kehidupan yang baik, maka penerapan etika dalam konteks pelayanan publik dimaksudkan agar pelayanan kepada masyarakat oleh aparatur birokrasibenar-benar memenuhi harapan masyarakat tersebut. Sesuai dengan pengertian tersebut, kita dapat mengatakan bahwa beretika dalam konteks pelayanan publik berarti mempertimbangkan cara yang tepat untuk bertindak bagi pegawai negeri sebagaipalayan publik dalam berbagai situasi pelayanan publik. Dengan demikian, etika pelayanan publik harus mencakup prinsip-prinsip, nilai-nilai, standar-standar atau norma moral (etika) yang harus dijadikan panduan oleh, dan kriteria penilaian terhadap aparatur birokrasi atau pegawai negeri dalam menjalankan aktivitasnya dalam organisasi dan dalam hubungannya layanan birokrasi. dengan pihak-pihak luar khususnya masyarakat pengguna

Secara khusus, perhatian pada isu-isu etika dalam pelayanan publik bermuara pada tujuan untuk mewujudkan integritas dalampelayanan publik.Integritas mengacu pada hubungan yang kuat antara nilai-nilai ideal dan perilaku nyata, dan merupakan syarat pokok bagi pemerintah untuk menyediakan kerangka yang terpercaya dan efektif bagi kehidupan ekonomi da sosial bagi seluruh warga Negara.Pranata dan mekanisme untuk memajukan integritas dipandang sebagai komponen pokok good governance. Dalam pelayanan publik, integritas berarti bahwa : 1. Perilaku aparatur pemerintahan (pegawai negeri) sebagai pelayan publik adalah sejalan dengan misi pelayanan publik dari instansi tempat mereka mengabdikan diri. 2. Pelaksanaan pelayanan publik sehari-hari dapat diandalkan. 3. Warga Negara memperoleh perlakuan tanpa pandang bulu sesuai dengan ketentuan hukum dan peradilan. 4. Sumber daya publik digunakan secara tepat, efisien dan efektif. 5. Prosedur pedngambilan keputusan adalah transparan bagi publik, dan tersedia sarana bagi publik untuk melakukan penyelidikan dan pemberian tanggapan.

B. Relevansi Etika Dalam Pelayanan Publik Di sektor manapun, termasuk sektor publik (pemerintahan), ada dua aspek penting yang umumnya diyakini sebagai penentu kinerja prima, yaitu profesionalisme dan etika. Seperti halnya di sektor bisnis, sektor publik juga dituntut untuk mencapai kinerja prima, dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi, produktivitas dan efektivitas, dan pada saat yang sama dituntut untuk senantiasa menjunjung tinggi standar etika, sepertiintegritas, objektivitas atau imparsialitas, keadilan dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sektor publik, seperti sektor bisnis, dituntut untuk memiliki dua keunggulan, yaitu keunggulan teknis (profesionalisme) dan keunggulan moral (etika). Ada beberapa alasan, baik normatif maupun objektif, yang dapat digunakan untuk menjelaskan relevansi dan makin pentingnya etika dalam birokrasi atau pelayanan publik. 1. Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah. Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini.Tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya diskriminasi

pelayanan.Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan per-koncoan, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu

pelayanan.Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan.Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik.Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian tadi. Memang melakukan optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan mengingat pembaharuan tersebut menyangkut pelbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan kita. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif yang telah lama mewarnai pola pikir birokrat sejak era kolonial dahulu. Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat.Prosedur pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya berbelitbelit dan rumit. Tidak hanya itu, mulai masa orde baru hingga kini, eksistensi PNS (ambtennar) merupakan jabatan terhormat yang begitu dihargai tinggi dan diidolakan publik, khususnya jawa, sehingga filosofi PNS sebagai pelayan publik (public servant) dalam arti riil menghadapi kendala untuk direalisasikan. Hal ini terbukti dengan sebutan pangreh raja (pemerintah negara) dan pamong praja (pemelihara pemerintahan) untuk pemerintahan yang ada pada masa tersebut yang menunjukkan bahwa mereka siap dilayani bukan siap untuk melayani. Di samping itu, kendala infrastruktur organisasi yang belum mendukung pola pelayanan prima yang diidolakan. Hal ini terbukti dengan belum terbangunnya kaidah-kaidah atau prosedur-prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku konsumennya di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. Standard Operating Procedure (SOP) pada masing-masing service provider belum diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar.Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada masyarakat.

Gagasan David Osborne dan Ted Gaebler tentang Reinventing Government tertuang dalam karyanya yang berjudul Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Publik Sector yang dipublikasikan pada tahun 1992 dan Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, buku terakhir ini ditulis oleh David Osborne dan Peter Plastik yang dipublikasikan pada tahun 1997. Gagasan ini muncul sebagai respon atas buruknya pelayanan publik yang terjadi di pemerintahan Amerika sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Bahkan di penghujung tahun 1980-an, majalah Time pada sampul mukanya menanyakan: "Sudah Matikah Pemerintahan?".Di awal tahun 1990-an, jawaban yang muncul bagi kebanyakan orang Amerika adalah "Ya". Buruknya pelayanan publik ini dibuktikan dengan menurunya kualitas pendidikan, sekolah-sekolah di negeri AS adalah yang terburuk di antara negara-negara maju.Sistem pemeliharaan kesehatan tidak terkendali.Pengadilan dan rumah tahanan begitu sesak, sehingga banyak narapidana menjadi bebas. Banyak kota dan negara bagian yang dibanggakan pailit dengan defisit multi-milyaran dolar sehingga ribuan pekerja diberhentikan dari kerja.8 Gagasan-gagasan Osborne dan Gaebler tentang Reinventing Government

mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi.9 Adapun 10 prinsip tersebut adalah pertama, pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh. Artinya, jika

pemerintahan diibaratkan sebagai perahu, maka peran pemerintah seharusnya sebagai pengemudi yang mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai pendayung yang mengayuh untuk membuat perahu bergerak.Pemerintah entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan kebijakan-kebijakan strategis (mengarahkan) daripada disibukkan oleh hal-hal yang bersifat teknis pelayanan (mengayuh). Cara ini membiarkan pemerintah beroperasi sebagai seorang pembeli yang terampil, mendongkrak berbagai produsen dengan cara yang dapat mencapai sasaran kebijakannya. Wakil-wakil pemerintah tetap sebagai produsen jasa dalam banyak hal, meskipun mereka sering harus bersaing dengan produsen swasta untuk memperoleh hak istimewa.Tetapi para produsen jasa publik ini terpisah dari organisasi manajemen yang menentukan kebijakan.Upaya mengarahkan membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi dan mampu menyeimbangkan berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya. Upaya mengayuh membutuhkan orang yang secara-sungguh-sungguh memfokuskan pada satu misi dan melakukannya dengan baik.Kedua, pemerintahan milik

rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani. Artinya, birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan dari rakyat.Hal ini

bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi mereka.Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri.Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari penyelesaian masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini nantinya akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik rakyat. Ketika pemerintah mendorong kepemilikan dan kontrol ke dalam masyarakat, tanggung jawabnya belum berakhir.Pemerintah mungkin tidak lagi memproduksi jasa, tetapi masih bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan telah terpenuhi.Ketiga, pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Artinya, berusaha memberikan seluruh pelayanan tidak hanya menyebabkan risorsis pemerintah menjadi habis terkuras, tetapi juga menyebabkan pelayanan yang harus disediakan semakin berkembang melebihi kemampuan pemerintah (organisasi publik), hal ini tentunya mengakibatkan buruknya kualitas dan efektifitas pelayanan publik yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya diharapkan efisiensi yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih inovatif. Cara ini membiarkan pemerintah beroperasi sebagai seorang pembeli yang terampil, mendongkrak berbagai produsen dengan cara yang dapat mencapai sasaran kebijakannya. Wakil-wakil pemerintah tetap sebagai produsen jasa dalam banyak hal, meskipun mereka sering harus bersaing dengan produsen swasta untuk memperoleh hak istimewa.Tetapi para produsen jasa publik ini terpisah dari organisasi manajemen yang menentukan kebijakan.Upaya mengarahkan membutuhkan orang yang mampu melihat seluruh visi dan mampu menyeimbangkan berbagai tuntutan yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya.Upaya mengayuh membutuhkan orang yang secara-sungguh-sungguh memfokuskan pada satu misi dan melakukannya dengan baik. Kedua, pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani. Artinya, birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan dari rakyat.Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi mereka.Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri.Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari penyelesaian masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam

ini nantinya akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik rakyat. Ketika pemerintah mendorong kepemilikan dan kontrol ke dalam masyarakat, tanggung jawabnya belum berakhir.Pemerintah mungkin tidak lagi memproduksi jasa, tetapi masih bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan telah terpenuhi. Ketiga, pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Artinya, berusaha memberikan seluruh pelayanan tidak hanya menyebabkan sumber daya pemerintah menjadi habis terkuras, tetapi juga menyebabkan pelayanan yang harus disediakan semakin berkembang melebihi kemampuan pemerintah (organisasi publik), hal ini tentunya mengakibatkan buruknya kualitas dan efektifitas pelayanan publik yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus

mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya diharapkan efisiensi yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih inovatif.para pelanggannya, melaui survei pelanggan, kelompok fokus dan berbagai metode yang lain. Tradisi pejabat birokrasi selama ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika melayani warga masyarakat yang datang keistansinya.Tradisi ini harus diubah dengan menghargai mereka sebagai warga negara yang berdaulat dan harus diperlakukan dengan baik dan wajar. Di antara keunggulan sistem berorientasi pada pelanggan adalah memaksa pemberi jasa untuk bertanggung jawab kepada pelanggannya, mendepolitisasi keputusan terhadap pilihan pemberi jasa, merangsang lebih banyak inovasi, memberi kesempatan kepada warga untuk memilih di antara berbagai macam pelayanan, tidak boros karena pasokan disesuaikan dengan permintaan, mendorong untuk menjadi pelanggan yang berkomitmen, dan menciptakan peluang lebih besar bagi keadilan. keempat, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan. Artinya, sebenarnya pemerintah mengalami masalah yang sama dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan akan keuangan, tetapi mereka berbeda dalam respon yang diberikan. Daripada menaikkan pajak atau memotong program publik, pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana menjalankan program publik dengan dengan sumber daya keuangan yang sedikit tersebut. Dengan melembagakan konsep profit motif dalam dunia publik, sebagai contoh menetapkan biaya untuk publik service dan dana yang terkumpul digunakan untuk investasi membiayai inoasi-inovasi di bidang pelayanan publik yang lain. Dengan cara ini, pemerintah mampu menciptakan nilai tambah dan menjamin hasil, meski dalam situasi keuangan yang sulit.

kelima,

pemerintahan

antisipatif:

mencegah

daripada

mengobati.

Artinya,

pemerintahan tradisional yang birokratis memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah.Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai perawatan kesehatan.Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak polisi.Untuk memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk pemadam kebakaran.Pola pemerintahan semacam ini harus diubah dengan lebih memusatkan atau berkonsentrasi pada pencegahan.Misalnya, membangun sistem air dan pembuangan air kotor, untuk mencegah penyakit; dan membuat peraturan bangunan, untuk mencegah kebakaran. Pola pencegahan (preventif) harus dikedepankan dari pada pengobatan mengingat persoalan-persoalan publik saat ini semakin kompleks, jika tidak diubah (masih berorientasi pada pengobatan) maka pemerintah akan kehilangan kapasitasnya untuk memberikan respon atas masalah-masalah publik yang muncul. keenam, pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja. Artinya, pada saat teknologi masih primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan pekerja publik relatif belum terdidik, maka sistem sentralisasi sangat diperlukan.Akan tetapi, sekarang abad informasi dan teknologi sudah mengalami perkembangan pesat, komunikasi antar daerah yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai negeri yang terdidik dan kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa, maka pemerintahan desentralisasilah yang paling diperlukan.Tak ada waktu lagi untuk menunggu informasi naik ke rantai komando dan keputusan untuk turun. Beban keputusan harus dibagi kepada lebih banyak orang, yang memungkinkan keputusan dibuat "ke bawah" atau pada "pinggiran" ketimbang mengonsentrasikannya pada pusat atau level atas. Kerjasama antara sektor pemerintah, sektor bisnis dan sektor civil socity perlu digalakkan untuk membentuk tim kerja dalam pelayanan publik. Dan prinsip yang ketujuh,adalah pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar. Artinya, daripada beroperasi sebagai pemasok masal barang atau jasa tertentu, pemerintahan atau organisasi publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator dan pialang dan menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru tumbuh.Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan lingkungan bukan dengan pendekatan tradisional lagi, seperti berusaha mengontrol lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang inovatif untuk membentuk lingkungan yang memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari hanya institusi politik, sehingga strategi yang digunakan adalah membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama. Dalam rangka melakukan optimalisasi pelayanan publik,

10 prinsip di atas seharusnya dijalankan oleh pemerintah sekaligus, dikumpulkan semua menjadi satu dalam sistem pemerintahan, sehingga pelayanan publik yang dilakukan bisa berjalan lebih optimal dan maksimal. 10 prinsip tersebut bertujuan untuk menciptakan organisasi pelayanan publik yang smaller (kecil, efisien), faster (kinerjanya cepat, efektif) cheaper (operasionalnya murah) dan kompetitif.Dengan demikian, pelayanan publik oleh birokrasi kita bisa menjadi lebih optimal dan akuntabel. C. Prinsip-prinsip Etika Dalam Pelayanan Publik 1. Prinsip-prinsip umum dalam etika pelayanan publik Ada sejumlah prinsip etika dalam pelayanan publik yang dapat diidentifikasi dengan mengacu kepada nilai-nilai dasar yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (Pasal 6). Beberapa nilai-nilai dasar tersebut yaitu: a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan UUD 1945. c. Semangat nasionalisme d. Mengutamakan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi atau golongan. Prinsip-prinsip etika ini juga dapat dipandang sebagai kombinasi antara nilai-nilai yang berasal dari tradisi birokrasi/pelayanan publik (nilai-nilai tradisional) dan nilai-nilai baru. Nilai-nilai tradisional mencerminkan misi pokok pelayanan publik dan tercermin , antara lain, pada bunyi sumpah jabatan yang diucapkan setiap pegawai negeri ketika akan dilantik. Sementara itu, nilai-nilai baru mencerminkan artikulasi dari etos baru akibat adanya perkembangan dan tuntutan baru, seperti good governance dan profesionalisme. Prinsipprinsip tersebut meliputi: objektivitas (netralitas atau imparsialitas) dan keadilan, legalitas dan kepatuhan, loyalitas, integritas dan kejujuran, pengabdian (kepentingan publik), akuntabilitas, transparansi, tanggung jawab, kerahasiaan, dan efisiensi. 2. Karakteristik Pelayanan Bermutu Masyarakat makin menyadari bahwa sebagai warga negara memiliki hak untuk memperoleh pelayanan terbaik dari pemerintah.Oleh karena itu, masyarakat mengharapkan pegawai negeri dapat memberikan pelayanan yang bermutu tinggi dan birokrasi yang efisien. Pada dasarnya, pelayanan bermutu ditentukan oleh sekurang-kurangnya 5 faktor ,yaitu: a. Adanya atau hadirnya fasilitas fisik, peralatan dan orang (pelayan atau petugas) yang memenuhi syarat untuk pelayanan yang baik.

b. Keandalan, kemampuan untuk memberikan layanan yang diharapkan secara teliti dan konsisten. c. Kesiagaan atau ketanggapan, yakni kemauan untuk memberikan pelayanan dengan segera atau cepat dan kesediaan untuk membantu pelanggan. d. Jaminan, pengetahuan, keramahtamahan, dan kepercayaan dan keyakinan. e. Empati, kepedulian dan perhatian khusus kepada pelanggan (pihak yang membutuhkan pelayanan). Dalam rangka menyediakan panduan dan standardisasi penyelenggaraan pelayanan publik, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara antara lain mengeluarkan Keputusan Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. D. Prinsip-prinsip Pelayanan Publik Untuk mencapai standar pelayanan prima ini, ada sejumlah prinsip yang harus dijadikan panduan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu: 1. Transparansi Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. 2. Akuntabilitas Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangkemampuan untuk memberikan

undangan. 3. Kondisional Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. 4. Partisipasif Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. 5. Kesamaan hak Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. 6. Keseimbangan hak dan kewajiban Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masingmasing pihak.

Dasar hukum pelayanan publik yaang berlaku sekarang adalah Undang-undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.Hal ini berdasarkan pada pasal 59 bahwa semua peraturan atau ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam undang-undang ini paling lambat dua tahun.Undang-undang tersebut ditetapkan pada tanggal 18 Juli 2009.Undang-undang pelayanan publik diterbitkan dengan harapan mewujudkan penyelenggaraan pelayanan publik yang prima, memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan terjaminnya kepastian hak dan kewajiban serta kepastian hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik.Undang-undang

pelayanan publik ini juga memberikan sanksi bagi pelaksana dan penyelenggara pelayanan publik yang tidak memenuhi ketentuan dalam UU ini.Ketentuan tentang sanksi ini menunjukkan tingginya tuntutan untuk memenuhi harapan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan yang baik dari para penyelenggara pelayanan publik. E. Prinsip-prinsip dan Manajemen Etika Pelayanan Publik Pelayanan publik sangat penting dilakukan oleh pemerintah dalam usahanya

mensejahterakan rakyatnya. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, transfortasi, listrik, air bersih dan sebagainya. Namun sangat disayangkan, dalam berurusan dengan birokrasi pemerintahan, masyarakat sering mengeluh karena pelayanan yang mereka terima dari aparatur pemerintah kurang memuaskan karena lambat dan mahal. Padahal hak rakyat untuk

memperoleh kesejahteraan hidupnya dari negara telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya dalam pasal 27 sampai 34 serta lebih dioperasionalkan di dalam Undang-Undang. Agar dapat memberikan pelayanan publik yang prima, PNS harus memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip dan criteria pelayanan publik serta hak dan kewajibannya sebagai pegawai negeri. Prinsip-Prinsip Pelayanan Publik : 1. Transparansi 2. Akuntabilitas 3. Kondisional 4. Partisipatif 5. Kesamaan Hak. 6. Keseimbangan hak dan kewajiban.

Kriteria Pelayanan Publik: 1. sederhana, 2. jelas, 3. akurat, 4. tepat waktu, 5. aman, 6. tersedia sarana dan prasarana pendukung, 7. bertanggung jawab, 8. mudah dijangkau, 9. berdisiplin, 10. ramah, 11. Sopan, 12. Dan ruang kerja yang nyaman. Kewajiban Pegawai Negeri : 1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah 2. Wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia 3. Mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku 4. Melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab 5. Menyimpan rahasia jabatan, dan hanya dapat mengemukakannya kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas kuasa Undang-undang Hak Pegawai Negeri : 1. gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya 2. Memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. 3. Cuti, 4. Perawatan kesehatan, 5. Tunjangan cacat, 6. Hak ahli waris 7. Dan pensiun. Sementara itu, menurut Weber, tipe ideal birokrasi mencakup

1. Secara pribadi pegawai dan pejabat bebas, tetapi tidak bebas menggunakan jabatan posisi untuk kepentingan pribadi; 2. Jabatan disusun secara hirarki dari atas, bawah,dan samping, sehingga jelas perbedaan kekuasaannya; 3. Tupoksi masing-masing jabatan dalam hirarki secara spesifik berbeda spesialisasi 4. Para pejabat diangkat dengan suatu kontrak urjab, tugas, kewenangan 5. Pejabat diangkat karena profesional 6. Setiap pejabat memperoleh gaji dan pensiun 7. Struktur pengembangan karir dan promo berdasarkan senioritas dan merit sistem 8. Pejabat tidak boleh menggunakan jabatan dan sumber daya untuk kepentingan pribadi dan keluarga 9. Tiap pejabt berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin Sumber-sumber nilai dan panduan perilaku pelayanan publik 1. Nilai-nilai tertinggi yang harus diacu oleh aparatur pelayanan publik (birokrasi) adalah : nilai-nilai yang bersumber dari pancasila (dasar negara), UUD 1945 (konstitusi) dan nilainilai yang hidup dan berkembang di masyarakat; 2. Aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah : PP no. 42 th 2004 (pembinaan jiwa korps dan kode etik pns), uu no. 8 th 1974 jo uu no. 43 th 1999 (pokok-pokok kepegawaian), dan PP no. 30 th 1980 (peraturan disiplin pns) 3. Panca prasetya korpri A. Hakikat Profesionalisme Pelayanan Publik Pegawai negeri atau birokrasi pelayanan publik secara umum tidak dikategorikan sebagai suatu profesi. Namun, pegawai negeri juga dituntut profesionalismenya, bahkan dalam beberapa segi mengemban kewajiban profesional yang jauh lebih tinggi, utamanya karena tuntutan pengabdian kepada publik yang sangat tinggi, yang mengharuskan pegawai negeri mendahulukan kepentingan publik diatas kepentingan pribadi, menjalankan tugas betapapun kesulitan dan risiko yang dihadapi tanpa pamrih. Birokrasi pelayanan publik yang ideal harus ditunjang oleh keunggulan teknis dan keunggulan rtis (moralitas).Profesionalisme digunakan untuk merujuk kepada kompetensi teknis yang diperlukan agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan dengan hasil berstandar

tinggi.Sementara itu, etika lazimnya digunakan untuk merujuk kualifikasi perilaku moral (moralitas). Dalam menjalankan peran sebagai jembatan antara kepentingan Negara dan kepentingan warga Negara, profesionalisme di lingkungan birokrasi menuntut adanya loyalitas secara penuh kepada pemerintah dan pengabdian penuh dalam menjalankan urusan publik, memenuhi kepentingan warga Negara. Mereka yang berkarir di lingkungan pelayanan publik atau birokrasi pemerintahan diharapkan untuk: a. mempelajari dan menguasai pekerjaan mereka dibidang administrasi publik; b. menjadi pakar di bidang spesialisai yang mereka pilih; c. menjadi teladan dalam perilaku; d. memelihara pengetahuan dan keterampilan pada tingkat yang tinggi, menghindari benturan kepentingan dengan menempatkan nilai pengabdian kepada kepentingan publik diatas kepentingan pribadi; e. mendisiplinkan pelaku kesalahan dan anggota lainnya yang diyakini merusak reputasi profesi; f. mengungkapkan kecurangan dan malpraktik; dan unum meningkatkan kemampuan mereka melalui berbagai upaya

g. secara

pengembangan diri, termasuk penelitian, percobaan, dan inovasi. Profesionalisme pelayanan publik bukan lagi sekedar pekerjaan atau jabatan lain. Pelayanan publik adalah profesi menantang yang memerlukan komitmen tinggi untuk melayani publik, memenuhi kepentingan publik dan menghindari godaan untuk

mendahulukan kepentingan pribadi daripada tugas, mengutamakan kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi kepentingan publik. Publik adalah majikan yang keras, dan secara khusus bukanlah majikan yang senang atau mudah memberikan imbalan. Profesionalisme di lingkungan pelayanan publik tidak mungkin menikmati kelimpahruahan seperti rekan mereka di sector swasta, karena gaji yang kompetitif sekalipun dianggap hanya menghamburkan uang Negara. Dewasa ini para profesional dalam pelayanan publik menghadapi begitu banyaj tuntutan yang saling berbenturan, sehingga mereka harus menyusun prioritas dan memilih nilai-nilai mana yang harus digunakan. Nilai-nilai profesionalisme yang menjadi acuan perilaku dalam pelayanan publik meliputi:

a. memberikan manfaat publik. Profesional pada organisasi publik tidak bekerja sepenuhnya untuk memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri tapi juga untuk tujuan sosial. Lebih dari itu, seorang profesional pada pelayanan publik harus berusaha menjauhkan diri dari tindakan yang merugikan dan harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kemanusiaan dan HAM. a) Menegakkan aturan hukum. Ketidakpastian dan ketidakandalan merusak kredibilitas pemerintah dan kesewenangwenangan mengundang berbagai tindak kejahatan seperti penyalahgunaan kekuasaan, diskriminasi dan korupsi.Aturan hukum memberikan perlindungan terhadap

penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan, dan ini merupakan prinsip pertama pemerintahan yang demokratis. b) Menjamin adanya tanggung jawab dan akuntabilitas publik. Dalam lingkungan pelayanan publik, para pelaku betanggung jawab baik terhadap apa yang mereka kerjakan maupun terhadap apa yang seharusnya mereka kerjakan tetapi tidak atau gagal mereka kerjakan. Mereka bertindak bukan untuk kepentingan diri mereka sendiri tetapi untuk kepentingan publik secara keseluruhan.Nilai-nilai ini menuntut pegawai negeri untuk menjadi pelindung kepentingan publik, bersikap jujur, selalu memutakhirkan informasi, dan tanggap. c) Menjadi teladan. Profesional dalam pelayanan publik berarti memiliki komitmen terhadap cita-cita pengabdian kepada publik, pelaksana yang baik, memajukan kepentingan publik, dan memperbaiki kondisi kehidupan tanpa mengharapkan imbalan.Selain itu, harus siap untuk dipersalahkan atau tidak dihargai walaupun kemudian terbukti bertindak benar. d) Meningkatkan kinerja. Profesional dalam pelayanan publik harus selalu meningkatkan kinerja mereka dalam berbagai bidang tanggung jawab mereka. e) Memajukan demokrasi. Profesional di lingkungan pelayanan publik harus mengadopsi sejumlah nilai baru yang beberapa di antaranya mungkin berbenturan dan memerlukan prioritisasi.

B. Dilema dalam beretika Sebagai sesuatu yang etis.Karena itu, kaum teleologis ini berpendapat bahwa tidak ada suatu prinsip moralitas yang bisa dianggap universal, kalau belum diuji atau dikaitkan

dengan konsekuensinya.Implikasi dari adanya dilema diatas maka sulit memberi penilaian apakah aktor-aktor pelayanan publik telah melanggar nilai moral yang ada atau tidak, tergantung kepada keyakinannya apakah tergolong absolutis atau relativis.Hal yang demikian barangkali telah menumbuhkan suasana KKN di negeri kita.Persoalan moral atau etika akhirnya tergantung kepada persoalan interpretasi semata. Hierarki Etika. Di dalam pelayanan publik terdapat empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral pribadi yaitu yang memberikan teguran tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah etika organisasi yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan. Dan keempat, etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara.Adanya hirarki etika ini cenderung membingungkan keputusan para aktor pelayanan publik karena semua nilai etika dari keempat tingkatan ini saling bersaing.Misalnya, menempatkan orang dalam posisi atau jabatan tertentu sangat tergantung kepada etika yang dianut pejabat yang berkuasa. Bila ia sangat dipengaruhi oleh etika sosial, ia akan mendahului orang yang berasal dari daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan adanya KKN. Bila ia didominasi oleh etika organisasi, ia barangkali akan melihat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam organisasi seperti menggunakan sistim senioritas yang mengutamakan mereka yang paling senior terlebih dahulu, atau mungkin didominasi oleh sistim meri t yang berarti ia akan mendahulukan orang yang paling berprestasi. Dengan demikian, persoalan moral atau etika didalam konteks ini akhirnya tergantung kepada tingkatan etika yang paling mendominasi keputusan seorang aktor kunci pelayanan publik. Konflik antara nilai-nilai dari tingkatan etika yang berbeda ini sering membingungkan para pembuat keputusan sehingga kadang-kadang mereka menyerahkan keputusan

akhirnya kepada pihak lain yang mereka percaya atau segani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokoh-tokoh karismatik, orang pintar, dsb. C. Implikasi bagi Etika Pelayanan Publik di Indonesia Dibutuhkan Kode Etik. Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera.Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik.Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan.Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman. Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik aalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publikdiatas

kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistimmerit dan program affirmative action. Kedewasaan dan Otonomi Beretika.Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema diatas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku.Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam

beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut. Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik.Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman.Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika.Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.Perlindungan dan Insentif Bagi Pengadu.Diantara kita semua ada pihak yang sangat peduli dengan nilai-nilai etika atau moral, melakukan pengaduan tentang pelanggaran moral.Mereka adalah pihak yang berani membongkar rahasia dan menguji tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika.Namun upaya untuk melakukan hal ini kadang-kadang dianggap sebagai upaya tidak terpuji, bahkan sering dikutuk perbuatannya, dan nasibnya bisa menjadi terancam. Pengalaman ini cenderung membuat mereka takut dan timbul kebiasaan untuk tidak mau repot atau tidak mau berurusan dengan hukum atau pengadilan, yang insentifnya tidak jelas. Akibatnya, peluang dari pihak- pihak yang berpengaruh dalam pelayanan publik terus terbuka untuk melakukan tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika.Karena itu, dalam rangka meningkatkan moralitas dalam pelayanan publiki, diperlukan perlindungan terhadap para pengadu, kalau perlu insentif khusus.

D. Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Pendahuluan Reformasi di bidang kepegawaian yang merupakan konsekuensi dari perubahan di bidang politik, ekonomi dan sosial yang begitu cepat terjadi sejak paruh pertama tahun 1998 ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Peraturan perundang-undangan yang merupakan perubahan dan

penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 dengan pokok bahasan yang sama tersebut, kemudian diikuti dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, baik yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan Presiden (Keppres), untuk menjamin terlaksananya Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 ini secara baik dan terarah.

Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara manapun mempunyai tiga peran yang serupa.Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah.Untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat diperlukan.Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik.Ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas pelayanan yang diberikan PNS. Apabila tujuan utama otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga desentralisasi dan otonomi terpusat pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, maka PNS pada daerah-daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat setempat. Ketiga, PNS harus mampu mengelola pemerintahan.Artinya pelayanan pada pemerintah merupakan fungsi utama PNS.Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan dipahami oleh setiap PNS sehingga dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut. Dalam hubungan ini maka manajemen dan administrasi PNS harus dilakukan secara terpusat, meskipun fungsi-fungsi pemerintahan lain telah diserahkan kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten dalam rangka otonomi daerah yang diberlakukan saat ini. 2. Prasyarat Netralitas Untuk mewujudkan ketiga peran tersebut diharapakan dalam manajemen sistem kepegawaian perlu selalu ada: b. Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak perlu kuatir akan masa depannya serta ketenangan dalam mengejar karier. c. Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS beserta keluarganya. Sehingga keinginan untuk melakukan korupsi, baik korupsi jabatan maupun korupsi harta, menjadi berkurang, kalau tidak mungkin dihapuskan sama sekali dan d. Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga setiap PNS dapat memperkirakan kariernya dimasa depan serta bisa mengukur kemampuan pribadi. Ketiga prasyarat ini akan menumbuhkan keyakinan dalam diri setiap PNS, apabila mereka menerima sesuatu jabatan harus siap pula untuk melepas jabatan yang didudukinya itu pada suatu waktu tertentu. Bahkan kehilangan jabatan tersebut tidak perlu dikuatirkan.Apabila sistem penggajian sudah ditata rapih, setiap PNS tidak perlu mengejar jabatan hanya sekedar untuk mempertahankan kesejahteraan hidup bersama keluarganya. Selain itu, sistem kepegawaian yang memenuhi ketiga kreteria tersebut akan menjaga integritas dan kepribadian setiap PNS yang memang sangat diperlukan untuk mewujudkan

peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara seperti diamanatkan dalam Undang-undang No. 43 Tahun 1999.

1. Pelayanan publik yang beretika : mempertimbangkan cara yg tepat untuk bertindak bagi pegawai negeri sebagai pelayan publikabdi negara/abdi masyarakat dalam berbagai situasi pelayanan publik. 2. Etika pelayanan publik mencakup prinsip-prinsip, nilai-nilai, standar-standar atau norma-norma moral (etika) yang harus dijadikan panduan, dan kriteria penilaian terhadap aparatur birokrasi/pegawai negeri dalam menjalankan aktivitasnya di dlm orang & berhubungan dengan pihak-pihak luar khususnya masyarakat pengguna layanan birokrasi 3. Etika pelayanan publik memiliki interpretasi kurang lebih mempertimbangkan cara yang tepat untuk bertindak bagi pegawai negeri sebagai palayan publik dalam berbagai situasi pelayanan publik. 4. Seperti yang terjadi pada sektor bisnis, tuntutan akan efisiensi dan efektivitas organisasi, profesionalisme dan standar perilaku yang tinggi juga ditujukan pada birokrasi atau administrasi publik yang bertanggung jawab terhadap pelayanan publik. Aparat birokrasi kini makin dituntut untuk secara profesional menunjukkan kinerjanya yang berkualitas tinggi, dengan cara-cara yang menjunjung tinggi prinsipprinsip etrika. 5. Secara khusus, perhatian pada isu-isu etika dalam pelayanan publik bermuara pada tujuan untuk mewujudkan integritas dalampelayanan publik. 6. Masyarakat kini tidak hanya makin sadar akan hak-haknya, tetapi juga makin berani untuk menggugat birokrasi (administrasi pemerintahan) yang ternyata tidak mampu bekerja secara profesional sesuai harapannya. Oleh karena itu, seperti halnya bisnis, birokrasi juga memikul mandat baru untuk terus-menerus mereformasi diri guna meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya, dan pada saat yang sama mendorong aparatur birokrasi (PNS atau abdi masyarakat) agar memiliki integritas yang tinggi. 7. Pemahaman yang baik mengenai isu-isu etika dalam birokrasi akan memberikan bekal yang berharga bagi mereka jika mereka menjadi aparat birokrasi yang

mengemban tugas-tugas pelayanan publik ataupun jika menjadi akuntan profesional yang independen dan melakukan pengkajian dan penilai terhadap sistem dan kinerja birokrasi. Dalam kaitan ini, selain isu-isu etika birokrasi pada umumnya, perkembangan di bidang tata kelola pemerintahan (governance), secara khusus penting bagi akuntan profesional. Perkembangan tersebut menuntut para akuntan profesional untuk senantiasa memastikan bahwa nilai-nilai etika mereka adalah mutakhir, dan mereka siap bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut untuk mencapai kinerja terbaiknya 8. tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu besarnya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. 9. Prinsip-prinsip etika ini juga dapat dipandang sebagai kombinasi antara nilai-nilai yang berasal dari tradisi birokrasi/pelayanan publik (nilai-nilai tradisional) dan nilainilai baru. Nilai-nilai tradisional mencerminkan misi pokok pelayanan publik dan tercermin Sementara itu, nilai-nilai baru mencerminkan artikulasi dari etos baru

akibat adanya perkembangan dan tuntutan baru. 10. masyarakat pemerintahan, sering mengeluh karenadalam berurusan dengan birokrasi

pelayanan yang mereka terima dari aparatur pemerintah kurang

memuaskan karena lambat dan mahal. 11. Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara manapun mempunyai tiga peran yang serupa. yaitu sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah, melakukan fungsi manajemen pelayanan public, PNS harus mampu mengelola pemerintahan. 12. Pegawai negeri atau birokrasi pelayanan publik secara umum tidak dikategorikan sebagai suatu profesi. Namun, pegawai negeri juga dituntut profesionalismenya. 13. Birokrasi pelayanan publik yang ideal harus ditunjang oleh keunggulan teknis dan keunggulan etis (moralitas). 14. Semakin berkembang sistem pemerintaha yang ada di suatu Negara, maka dituntut juga pelayanan public yang semakin baik. Hal ini berkaitan dengan semakin beragamnya kebutuhan warga Negara akan pelayanan public yang baik. Pelayanan publik ini tidak semata-mata hanya mencukupi kebutuhan warga Negara, tapi dalam pelaksanaannya itu sendiri harus ada sebuah etika yang menjamin kepuasan pelanggan, kalancaran palaksanaan pelayanan, dan penggunaan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah secara efektif dan efisien. Sebagai calon pengawal

keuangan Negara, maka sudah sewajibnya kita semua mempelajari bagaimana manjadi pelayan masyarakan dan pengabdi Negara yang baik.nan public yang semakin baik.

1. Berikan pengertian etika dan hubungkan dengan dengan fungsi pelayanan public dari birokrasi pemerintahan. 2. Ikhtisarkan secara singkat alasan-alasan pentingnya etika dalam pelayanan public (birokrasi).
3. Nilai-nilai apa saja yang relevan untuk dijadikan prinsip etika dan perilaku dalam pelayanan publik? Jelaskan masing-masing. 4. Jika seorang pegawai negeri ceroboh, tidak teliti sehingga pelaksanaan pekerjaannya selalu memerlukan waktu yang lebih lama dan menggunakan bahanbahan yang lebih banyak dari seharusnya, prinsip manakah yang tidak terpenuhi? 5. Prinsip apa saja yang ditetapkan untuk pelayanan publik di Indonesia?

GLOSARIUM

:
Artikulasi perubahan ruang dan ruang dalam saluran suara untuk menghasilkan bunyi bahasa. Daerah artikulasi terbentang dari bibir luar sampai pita suara, dimana fenom-fenom terbentuk berdasarkan getaran pita suara disertai perubahan posisi lidah dana semacamnya. Birokrasi sistem pemerintahan yg dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi keadaan untuk dipertanggungjawabkan, keadaan dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan publik setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Tugas pokok dan fungsi wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah

Transparansi Akuntabilitas

Kondisional

Partisipatif

Tupoksi Otonomi

DAFTAR PUSTAKA

Kusmanadji, Etika Profesi Akuntansi, Bisnis, dan Pelayanan Publik. Materi Pokok Etika Bisnis dan Profesi untuk Mahasiswa Akuntansi ( Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, 2005).

BAB ETIKA KERJA

Tujuan Instruksional Khusus :

8 2

1. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai pengertian etika kerja, aspek-aspek etika kerja, dan faktor-faktor yang mempengaruhi etika kerja. 2.Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan etika kerja dan etika profesi. 3. Mahasiswa dapat memahami etika kerja pegawai negeri sipil. 4. Mahasiswa dapat menjelaskan mengenai macam etika kerja. A. Pengertian Etika (Etos) Kerja Secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti tempat hidup. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah Ethikos yang berarti teori kehidupan, yang kemudian menjadi etika. Dalam bahasa Inggris, etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain starting point, to appear, disposition hingga disimpulkan sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai sifat dasar, pemunculan atau disposisi/watak. Aristoteles menggambarkan etos sebagai salah satu dari tiga mode persuasi selain logos dan pathos dan mengartikannya sebagai kompetensi moral, tetapi Aristoteles berusaha memperluas makna istilah ini hingga keahlian dan pengetahuan tercakup didalamnya. Ia menyatakan bahwa etos hanya dapat dicapai hanya dengan apa yang dikatakan seorang pembicara, tidak dengan apa yang dipikirkan orang tentang sifatnya sebelum ia mulai berbicara. Disini terlihat bahwa etos dikenali berdasarkan sifat-sifat yang dapat terdeteksi oleh indera. Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai; guiding beliefs of a person, group or institution; etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi. A. S. Hornby (1995) dalam The New Oxford Advances Learners Dictionary mendefinisikan etos sebagai; the characteristic spirit, moral values, ideas or beliefs of a group, community or culture; karakteristik rohani, nilai-nilai moral, ide atau keyakinan suatu kelompok,komunitas, atau budaya. Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of English Language, etos

diartikan dalam dua pemaknaan, yaitu: 1. the disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that distinguishes it from other peoples or group, fundamental values or spirit, mores, disposisi, karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang

membedakannya dari orang atau kelompok lain, nilai atau jiwa yang mendasari; adatistiadat 2. the governing or central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like. Prinsip utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama. Menurut Anoraga (1992), etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah. Dalam situs resmi kementerian KUKM, etos kerja diartikan sebagai sikap mental yang mencerminkan kebenaran dan kesungguhan serta rasa tanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas (www.depkop.go.id). Pada Webster's Online Dictionary, etos kerja diartikan sebagai earnestness or fervor in working, morale with regard to the tasks at hand; kesungguhan atau semangat dalam bekerja, suatu pandangan moral pada pekerjaan yang dilakoni. Berdasarkan rumusan ini, kita dapat melihat bagaimana etos kerja dipandang dari sisi praktisnya yaitu sikap yang mengarah pada penghargaan terhadap kerja dan upaya peningkatan produktivitas. Dalam rumusan Jansen Sinamo (2005), Etos Kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi Etos Kerja dan budaya. Sinamo (2005) memandang bahwa Etos Kerja merupakan fondasi dari sukses yang sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penulisan-penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara

pada satu kesimpulan utama; bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian orang menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja. Sinamo (2005) lebih memilih menggunakan istilah etos karena menemukan bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas tetapi juga mencakup motivasi yang menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinankeyakinan, prinsip-prinsip, dan standar-standar. Melalui berbagai pengertian diatas baik secara etimologis maupun praktis dapat disimpulkan bahwa Etos Kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya. A. Aspek-Aspek Etika (Etos) Kerja Menurut Sinamo (2005) setiap manusia memiliki spirit/roh keberhasilan, yaitu motivasi murni untuk meraih dan menikmati keberhasilan. Roh inilah yang menjelma menjadi perilaku yang khas seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional, bertanggung jawab dan sebagainya melalui keyakinan, komitmen, dan penghayatan atas paradigma kerja tertentu. Dengan ini maka orang berproses menjadi manusia kerja yang positif, kreatif dan produktif. Dari ratusan teori sukses yang beredar di masyarakat sekarang ini, Sinamo (2005) menyederhanakannya menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang sesungguhnya bertanggung jawab menopang semua jenis dan sistem keberhasilan yang berkelanjutan (sustainable success system) pada semua tingkatan. Keempat elemen itu lalu dia konstruksikan dalam sebuah konsep besar yang disebutnya sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sanskerta) yang berarti Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu: 1. Mencetak prestasi dengan motivasi superior. 2. Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner. 3. Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif. 4. Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani. Keempat darma ini kemudian dirumuskan pada delapan aspek etos kerja sebagai berikut: 1. Kerja adalah rahmat. Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai

buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun. 2. Kerja adalah amanah. Kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya. 3. Kerja adalah panggilan. Kerja merupakan suatu dharma yang sesuai dengan panggilan jiwa kita sehingga kita mampu bekerja dengan penuh integritas. Jadi, jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, Im doing my best! Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya. 4. Kerja adalah aktualisasi. Pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai hakikat manusia yang tertinggi sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh semangat. Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa ada. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekerjaan. 5. Kerja adalah ibadah. Bekerja merupakan bentuk bakti dan ketaqwaan kepada Sang Khalik, sehingga melalui pekerjaan individu mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. 6. Kerja adalah seni. Semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya. 7. Kerja adalah kehormatan. Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.

8. Kerja adalah Pelayanan. Manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani sehingga harus bekerja dengan sempurna dan penuh kerendahan hati. Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercusuar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama. Anoraga (1992) juga memaparkan secara eksplisit beberapa sikap yang seharusnya mendasar bagi seseorang dalam memberi nilai pada kerja, yang disimpulkan sebagai berikut: 1. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia 2. Pekerjaan adalah suatu berkat Tuhan. 3. Pekerjaan merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral 4. Pekerjaan merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan berbakti 5. Pekerjaan merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih Dalam penulisannya, Akhmad Kusnan (2004) menyimpulkan pemahaman bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka ia menggunakan lima indikator untuk mengukur etos kerja. Menurutnya etos kerja mencerminkan suatu sikap yang memiliki dua alternatif, positif dan negatif. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki Etos Kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut: 1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia, 2. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia, 3. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia, 4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita, 5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah. Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan ditunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya (Kusnan, 2004), yaitu; 1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri, 2. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,

3. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan, 4. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan, 5. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup. Dari berbagai aspek yang ditampilkan ketiga tokoh diatas, dapat dilihat bahwa aspek-aspek yang diusulkan oleh dua tokoh berikutnya telah termuat dalam beberapa aspek etos kerja yang dikemukakan oleh Sinamo, sehingga penulisan ini mendasari

pemahamannya pada delapan aspek etos kerja yang dikemukakan oleh Sinamo sebagai indikator terhadap etos kerja.

B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etika (Etos) Kerja Etika (etos) kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Agama Dasar pengkajian kembali makna Etos Kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber. Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas (rationality) menurut Weber (1958) lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu

pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi. Weber (1958) memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan - namun hemat dan bersahaja (asketik), serta menabung dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern. Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), berbagai studi tentang Etos Kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas (Sinamo, 2005).

Menurut Rosmiani (1996), etos kerja terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja. Sikap ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang sebagian bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi tradisional. Ia menemukan etos kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan dan orientasi nilai budaya yang konservatif turut menambah kokohnya tingkat etos kerja yang rendah itu. 2. Budaya Selain temuan Rosmiani (1996) diatas, Usman Pelly (dalam Rahimah, 1995) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya dan secara operasional, etos budaya ini juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ini ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi dan sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja. Pernyataaan di atas juga didukung oleh studi yang dilakukan Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putri dan Weda (1997) yang menyimpulkan bahwa semangat kerja/Etos Kerja sangat ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang ada dan tumbuh pada masyarakat yang bersangkutan. Etos kerja juga sangat berpegang teguh pada moral etik dan bahkan Tuhan. Etos kerja berdasarkan nilai-nilai budaya dan agama ini menurut mereka diperoleh secara lisan dan merupakan suatu tradisi yang disebarkan secara turun-temurun. 3. Sosial Politik Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (1995) menemukan bahwa tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. KH. Abdurrahman Wahid (2002) mengatakan bahwa etos kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik. Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan pencapaian (achievement). Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat profesionalisme yang menjadi tulang

punggung masyarakat modern. 4. Kondisi Lingkungan/Geografis Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putri dan Weda (1997) juga menemukan adanya indikasi bahwa etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut. 5. Pendidikan Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Rahimah, Fauziah, Suri dan Nasution, 1995). 6. Struktur Ekonomi Pada penulisan Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (1995) disimpulkan juga bahwa tinggi rendahnya Etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. 7. Motivasi Intrinsik Individu Anoraga (1992) mengatakan bahwa Individu yang akan memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi suatu motivasi kerja. Maka etos kerja juga dipengaruhi oleh motivasi seseorang. Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam/terinternalisasi dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi faktor pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene ini merupakan faktor dalam kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan ketidakpuasan. Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya motivasi, tetapi ia tidak menyebabkan munculnya motivasi. faktor ini disebut juga faktor ekstrinsik, yang termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika sebuah organisasi

menargetkan kinerja yang lebih tinggi, tentunya organisasi tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor hygiene tidak menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi intrinsik. Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan berarti ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia. Faktor ini disebut juga faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi pencapaian sukses/achievement, pengakuan/recognition, kemungkinan untuk meningkat dalam jabatan (karier)/advancement, tanggung jawab/responsibility, kemungkinan berkembang/growth possibilities, dan pekerjaan itu sendiri/the work itself. (Herzberg, dalam Anoraga, 1992). Halhal ini sangat diperlukan dalam meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pekerja hingga mencapai performa yang tertinggi.

D. Etika Kerja vs Etika Profesi Etika profesi atau etika profesional (professional ethics) merupakan suatu bidang etika (social) terapan. Etika profesi berkaitan dengan kewajiban etis mereka yang menduduki posisi yang disebut profesional. Etika profesi berfungsi sebagai panduan bagi para professional dalam menjalani kewajiban mereka memberikan dan mempertahankan jasa kepada masyarakat yang berstandar tinggi. Sebagai bidang etika terapan, etika profesi pada dasarnya berkaitan dengan penerapan standar moral atau prinsip-prinsip etika yang telah ada ke dalam praktik kehidupan profesi. Standar moral ini biasanya meliputi prinsip-prinsip moral tertentu yang disepakati untuk dijadikan sebagai nilai-nilai dan panduan bersama oleh para anggota profesi. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan profesi, etika meliputi norma-norma yang mentransformasikan nilai-nilai atau cita-cita (luhur) ke dalam praktik sehari-hari para profesional dalam menjalankan profesi mereka. Norma-norma ini biasanya dikodifikasikan secara formal ke dalam bentuk kode etik (code of ethics) atau kode (aturan) perilaku (code of conducts) profesi yang bersangkutan. Etika profesi biasanya dibedakan dari etika kerja (work ethics atau occupational etchics) yang mengatur praktik, hak dan kewajiban bagi mereka yang bekerja di bidang yang tidak disebut profesi (non-profesional). Non-profesional adalah pegawai atau pekerja biasa dan dianggap kurang memiliki otonom dan kekuasaan atau kemampuan profesional. Namun demikian, ada sejumlah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada alasan moral untuk mengeluarkan etika kerja dari kajian etika profesional karena keduanya tidak terlalu berbeda jenisnya kecuali yang menyangkut besarnya bayaran yang diterima dari pekerjaan mereka.

Pertimbangan

utamanya

adalah

bahwa

orang

pada

umunya

tidak

terlampau

mengkhawatirkan terjadinya perampasan atau pengambilalihan pekerjaan, melainkan mengkhawatirkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan atau keahlian. Misalnya, masyarakat tidak atau kurang mengkhawatirkan bahwa tukang daging akan mengambil alih pekerjaan penjahit, atau sebaliknya, penjahit akan mengambil alih pekerjaan tukang daging, tetapi lebih mengkhawatirkan apakah mereka melaksanakan pekerjaan mereka hanya demi kepentingan mereka sendiri. Masyarakat mengkhawatirkan bahwa tukang daging, misalnya, tidak memotong dan menimbang daging sesuai dengan ukuran yang dipesan; pembuat roti akan secara sengaja mencampurkan racun kedalam roti yang dibuatnya, atau piata rambut secara sengaja menyetrom pelanggannya yang sedang dikeringkan rambutnya dengan alat pengering rambut elektrik (hair-dryer). Dengan perkataan lain, apakah diskresi atau kewenangan mereka dalam mengambil keputusan tidak mereka salah-gunakan semata-mata hanya untuk mengejar kepentingan mereka sendiri (self-interest) dengan mengabaikan kepentingan orang lain yang seharusnya mereka layani. Pembedaan antara etika profesi dan etika kerja lazimnya dilakukan mengingat aktivitas para profesional seperti dokter, pengacara, dan akuntan, adalah berbeda dengan pekerja lain pada umumnya. Para profesional memiliki karakteristik khusus dari segi pendidikan atau pelatihan, pengetahuan, pengalaman, dan hubungan dengan klien, yang membedakannya dari pekerja non-profesional. Tuntutan akan standar profesionalisme dan etika terhadap profesional adalah jauh lebih tinggi dibandingkan terhadap non-profesional. Namun demikian tetap perlu diingat, meskipun etika profesi dibedakan dari etika kerja, kerangka dan prinsip-prinsip yang dicakup etika profesi tetap dapat diberlakukan sebagai etika kerja. Ini terutama karena etika profesi mencakup prinsip-prinsip umum etika yang, sebagaimana prinsip-prinsip itu diberlakukan pada kehidupan profesi, dapat diterapkan pada bidang pekerjaan atau kehidupan yang lain.

D. Disiplin Pegawai Negeri Sipil 1. Kewajiban PNS Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 3, bahwa setiap PNS wajib: a. Mengucapkan sumpah/janji PNS. Pelanggaran sumpah/ janji PNS ini akan diberikan hukuman disiplin sedang apabila dikakukan tanpa alasan yang yang sah.

b. Mengucapkan sumpah/janji jabatan Pelanggaran sumpah/ janji jabatan ini akan diberikan hukuman disiplin sedang apabila dikakukan tanpa alasan yang yang sah. c. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesaruan Republik Indonesia, dan Pemerintah. Yang dimaksud dengan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah adalah setiap PNS di samping taat juga berkewajiban melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kebijakan negara dan Pemerintah serta tidak mempermasalahkan dan/atau menentang Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelanggaran yang didapat dari tidak melaksanakan kewajiban sebagai pns ini akan diberikan sanksi ringan bila telah berdampak negative pada unit kerjanya. Apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan akan diberi teguran disiplin sedang. Dan apabila pelanggaran berdampak negative pada pemerintah dan/atau Negara akan diberikan hukuman disiplin berat. d. Menaati segala peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Pelanggaran yang didapat dari tidak melaksanakan kewajiban sebagai pns ini akan diberikan sanksi ringan bila telah berdampak negative pada unit kerjanya. Apabila pelanggaran berdampak negative pada instansiyang bersangkutan akan diberi teguran disiplin sedang. Dan apabila pelanggaran berdampak negative pada pemerintah dan/atau Negara akan diberikan hukuman disiplin berat. e. Melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab. Yang dimaksud dengan tugas kedinasan adalah tugas yang diberikan oleh atasan yang berwenang dan berhubungan dengan: a. perintah kedinasan, b. peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian atau peraturan yang berkaitan dengan kepegawaian, c. peraturan kedinasan, d. tata tertib di lingkungan kantor, atau e. standar prosedur kerja (Standar Operating Procedure atau SOP).

Pelanggaran yang didapat dari tidak melaksanakan kewajiban sebagai PNS ini akan diberikan sanksi ringan bila telah berdampak negative pada unit kerjanya. Apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan akan diberi teguran disiplin sedang. Dan apabila pelanggaran berdampak negative pada pemerintah dan/atau Negara akan diberikan hukuman disiplin berat. f. Menjunjung tinggi kehormatan Negara, pemerintah, dan martabat PNS Pelanggaran yang didapat dari tidak melaksanakan kewajiban sebagai pns ini akan diberikan sanksi ringan bila telah berdampak negative pada unit kerjanya. Apabila pelanggaran berdampak negative pada instansiyang bersangkutan akan diberi teguran disiplin sedang. Dan apabila pelanggaran berdampak negative pada pemerintah dan/atau Negara akan diberikan hukuman disiplin berat. g. Mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan. Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib menjalankan kewajibannya dengan

memprioritaskan kepentingan-kepentingan umum dari kepentingan personalnya. Maksudnya, dalam menjalankan tugasnya, setiap PNS wajib mendahulukan kepentingan-kepentingan Negara daripada kepentingan dirinya sendiri ataupun kepentingan kelompok. h. Memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan. Yang dimaksud dengan menurut sifatnya dan menurut perintah adalah didasarkan pada peraturan perundangundangan, perintah kedinasan, dan/atau kepatutan. Jadi Setiap Pegawai Negeri Sipil, harus senantiasa memegang teguh rahasia jabatan berdasarkan perundangan. i. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara. Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib menjalankan tugas-tugasnya dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat demi kepentingan Negara. j. Melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil. Pegawai Negeri Sipil memiliki kewajiban dalam memberikan informasi dengan cepat kepada atasan, jika mengetahui berbagai hal yang dapat memberikan kerugian atau berbahaya terhadap Pemerintah.

k. Masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja. Yang dimaksud dengan kewajiban untuk masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja adalah setiap PNS wajib datang, melaksanakan tugas, dan pulang sesuai ketentuan jam kerja serta tidak berada di tempat umum bukan karena dinas. Apabila berhalangan hadir wajib memberitahukan kepada pejabat yang berwenang. l. Mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan. Yang dimaksud dengan sasaran kerja pegawai adalah rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang pegawai yang disusun dan disepakati bersama antara pegawai dengan atasan pegawai. j. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya. Yang dimaksud dengan menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya adalah setiap PNS wajib menggunakan dan memelihara barang milik Negara dengan efektif dan efisien serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan k. Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Yang dimaksud dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. l. Membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas. Yang dimaksud dengan membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas adalah membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan peraturan perundang-undangan. m. Memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier. Yang dimaksud dengan memberikan kesempatan kepada bawahan untuk

mengembangkan karier adalah member kesempatan kepada bawahan untuk meningkatkan kemampuan dalam rangka pengembangan karier, antara lain memberi kesempatan mengikuti rapat, seminar, diklat, dan pendidikan formal lanjutan. n. Menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

Yang dimaksud dengan menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang adalah menaati peratuan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2. Larangan PNS Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pasal 4, bahwa setiap PNS dilarang: a. Menyalahgunakan wewenang. Yang dimaksud dengan menyalahgunakan wewenang adalah menggunakan kewenangannya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu untuk kepentingan pribadi atau kepentingan pihak lain yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut. b. Menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain. Sebagai contoh : Seorang PNS yang tidak memiliki wewenang di bidang perizinan membantu mengurus perizinan bagi orang lain dengan memperoleh imbalan. c. Tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional. d. Bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing. e. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah. Yang dimaksud dengan memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang- barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah adalah perbuatan yang dilakukan tidak atas dasar ketentuan termasuk tata cara maupun kualifikasi dokumen, atau benda lain yang dapat dipindahtangankan. f. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara. g. Memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan. barang,

Yang dimaksud dengan jabatan adalah jabatan struktural dan jabatan fungsional tertentu. h. Menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya. PNS dilarang menerima hadiah, padahal diketahui dan patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan kewajibannya. i. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya. Yang dimaksud dengan bertindak sewenang-wenang adalah setiap tindakan dengan

atasan kepada bawahan yang tidak sesuai dengan peraturan kedinasan seperti tidak memberikan tugas atau pekerjaan kepada bawahan, atau memberikan nilai hasil pekerjaan (Daftar Penilaian Pekerjaan Pegawai) tidak berdasarkan

norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan. j. Melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga

mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani. k. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan. Yang dimaksud dengan menghalangi berjalannya tugas kedinasan adalah

perbuatan yang mengakibatkan tugas kedinasan menjadi tidak lancar atau tidak mencapai hasil yang harus dipenuhi. Contoh: PNS yang tidak memberikan dukungan dalam hal diperlukan koordinasi, sinkronisasi dan integrasi dalam l. tugas kedinasan.

Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: 1) ikut serta sebagai pelaksana kampanye 2) menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS PNS sebagai peserta kampanye hadir untuk mendengar, menyimak visi,

misi, dan program yang ditawarkan peserta pemilu, tanpa menggunakan atribut Partai atau PNS. Yang dimaksud dengan menggunakan atribut partai adalah dengan menggunakan dan/atau memanfaatkan pakaian,

kendaraan, atau media lain yang bergambar partai politik dan/atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, dan/atau calon Presiden/Wakil Presiden dalam masa kampanye. Yang dimaksud dengan menggunakan atribut PNS adalah seperti menggunakan seragam Korpri, seragam dinas, kendaraan dinas, dan lain-lain. 3) sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau 4) sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; m. Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara: 1) membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau 2) mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap

pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat n. Memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang- undangan, dan o. memberikan dukungan kepada calon dengan cara: 1) terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Yang dimaksud dengan terlibat dalam kegiatan kampanye adalah seperti PNS bertindak sebagai pelaksana kampanye, petugas kampanye/tim sukses, tenaga ahli, penyandang dana, pencari dana, dan lain- lain. 2) menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye 3) membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan masa atau Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,

merugikan salah satu pasangan calon selama dan/atau

kampanye,

4) mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan

terhadap

pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau dalam lingkungan unit kerjanya, anggota

pemberian barang kepada PNS keluarga, dan masyarakat.

F. Hukuman disiplin PNS PNS yang tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau Pasal 4 PP No 53 Tahun 2010 seperti yang disebutkan sebelumnya akan dijatuhi hukuman disiplin. Adapun Tingkat dan Jenis Hukuman Disiplin yang dapat dijatuhi berdasarkan Pasal 7 PP No 53 Tahun 2010 adalah sebagai berikut: 1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari: a. hukuman disiplin ringan; b. hukuman disiplin sedang; dan c. hukuman disiplin berat. 2. Jenis hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan c. pernyataan tidak puas secara tertulis. 3. Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari: a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun; b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. 4. Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari: a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; c. pembebasan dari jabatan; d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap kewajiban: 1. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 3, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja; 2. menaati segala peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 4, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja;

3. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja; 4. menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja; 5. mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 7, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja; 6. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 8, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja; 7. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 9, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja; 8. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 10, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja; 9. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 11 berupa: a. teguran lisan bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 5 (lima) hari kerja; b. teguran tertulis bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 6 (enam) sampai dengan 10 (sepuluh) hari kerja; dan c. pernyataan tidak puas secara tertulis bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 11 (sebelas) sampai dengan 15 (lima belas) hari kerja; 10. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 13, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja; 11. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 14, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 12. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 15, apabila pelanggaran dilakukan dengan tidak sengaja;

13. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 16, apabila pelanggaran dilakukan dengan tidak sengaja; dan 14. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 17, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja. Hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap kewajiban: 1. mengucapkan sumpah/janji PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 1, apabila pelanggaran dilakukan tanpa alasan yang sah; 2. mengucapkan sumpah/janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 2, apabila pelanggaran dilakukan tanpa alasan yang sah; 3. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 3, apabila pelanggaran berdampak negative bagi instansi yang bersangkutan; 4. menaati segala peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 4, apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi yang bersangkutan; 5. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi yang bersangkutan; 6. menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi yang bersangkutan; 7. mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 7, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan; 8. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 8, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan; 9. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 9, apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi yang bersangkutan; 10. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan,

keuangan, dan materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 10, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan; 11. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 11 berupa: a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 16 (enam belas) sampai dengan 20 (dua puluh) hari kerja; b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 21 (dua puluh satu) sampai dengan 25 (dua puluh lima) hari kerja; dan c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 26 (dua puluh enam) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja; 12. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 12, apabila pencapaian sasaran kerja pada akhir tahun hanya mencapai 25% (dua puluh lima persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen); 13. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 13, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan; 14. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 14, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 15. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 15, apabila pelanggaran dilakukan dengan sengaja; 16. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 16, apabila pelanggaran dilakukan dengan sengaja; dan 17. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 17, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan. Hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap kewajiban: 1. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 3, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara;

2. menaati segala ketentuan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 4, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; 3. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; 4. menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; 5. mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 7, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; 6. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 8, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; 7. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 9, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; 8. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 10, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/ataunegara; 9. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 11 berupa: a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 31 (tiga puluh satu) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) hari kerja; b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah bagi PNS yang menduduki jabatan struktural atau fungsional tertentu yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) hari kerja; c. pembebasan dari jabatan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural atau fungsional tertentu yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 41 (empat puluh satu) sampai dengan 45 (empat puluh lima) hari kerja; dan

d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 46 (empat puluh enam) hari kerja atau lebih; 10. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 12, apabila pencapaian sasaran kerja pegawai pada akhir tahun kurang dari 25% (dua puluh lima persen); 11. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 13, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; 12. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 14, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 13. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 17, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara. Hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap larangan: 1. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barangbarang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara, secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja; 2. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja; 3. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 9, apabila pelanggaran dilakukan dengan tidak sengaja; 4. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 5. menghalangi berjalannya tugas kedinasan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif pada unit kerja. Hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap larangan:

1. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barangbarang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan; 2. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada instansi yang bersangkutan; 3. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 9, apabila pelanggaran dilakukan dengan sengaja; 4. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; 5. menghalangi berjalannya tugas kedinasan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif bagi instansi; 6. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara ikut serta sebagai pelaksana kampanye, menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf a, huruf b, dan huruf c; 7. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara

mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf b; 8. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 14; dan 9. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap

pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf a dan huruf d. Hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap larangan: 1. menyalahgunakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 1; 2. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 2; 3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 3; 4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 4; 5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barangbarang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 5, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; 6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 6, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; 7. memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 7; 8. menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 8; 9. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 10, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; 10. menghalangi berjalannya tugas kedinasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 11, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; 11. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara

sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf d; 12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf a; dan 13. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf b dan huruf c. Pelanggaran terhadap kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 angka 9, Pasal 9 angka 11, dan Pasal 10 angka 9 dihitung secara kumulatif sampai dengan akhir tahun berjalan.

G. Macam-Macam Etika (Etos) Kerja 1. Etos Kerja Pancasila Etos kerja Pancasila merupakan pemikiran, nilai-nilainya dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila yang tidak tertulis secara eksplisit, tetapi harus digali lebih dalam, khususnya pada sila Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan demikian, etos kerja ini dihubungkan dengan sistem keyakinan untuk membedakannya dari etos kerja yang bersifat sekular seperti yang ditawarkan oleh falsafah Pragmatisme. Keunikan etos kerja ini dengan etos kerja lainnya bisa dilihat dari 10 ciri utamanya, yaitu: Spesialisasi, Rasionalitas, Sistematis, Efisiensi, Konsistensi, Kerajinan, Kerja keras, Ketekunan, Pengharapan, dan Cinta Kasih. Tentu bukan hanya ini saja nilai-nilai dalam sistem kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Masih ada kejujuran, keadilan, kesabaran, kesopanan, tolong menolong, dan bersikap ramah, dan nilai-nilai etis lainnya. Namun, hanya sepuluh (10) nilai ini yang ingin ditonjolkan sebagai bentuk sederhana dari etika kerja Pancasila. Tentu, etos kerja ini belum secara jelas terlihat dalam kehidupan masyarakat seperti etos kerja Barat atau Jepang, yang sudah melekat pada masyarakatnya. Seperti visi Indonesia Raya, etika kerja Pancasila masih dalam bentuk cita-cita. Namun, dengan etos

kerja inilah bangsa Indonesia mampu mencapai negara yang adil dan makmur, cita-cita yang diikrarkan oleh para pendiri bangsa ini. 2. Etos Kerja Muslim Etos kerja muslim dapat difenisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur. Apabila setiap pribadi muslim memahami, menghayati, akan dan tampak kemudian pengaruh mau serta

mengaktualisasikannya

dalam

kehidupannya

maka

dampaknya kepada lingkungan, yang kemudian mendorong dirinya untuk terjun dalam samudra dunia dengan kehangatan iman. a. Ciri Ciri Etos Kerja Muslim Ciri ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tigkah lakunya yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu merupakan bentuk ibadah, suatu panggilan dan perintah Allah yang akan memuliakan dirinya, memanusiakan dirinya sebagai bagian dari manusia pilihan. 1. Memiliki jiwa kepemimpinan ( leadership ) Memimpin berarti mengambil peran secara aktif untuk mempengaruhi orang lain, agar orang lain tersebut dapat berbuat sesuai dengan keinginannya. Sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk memiliki kepemimpinan Islam sudah barang tentu seluruh peranan dirinya merupakan bayang bayang dari kehendak Allah sehingga keputusan dirinya mampu mempengaruhi orang lain, lingkungan, dan ruang serta waktu dengan nilai tauhid. 2. Selalu berhitung Rasulullah pernah bersabda, bekerjalah untuk duniamu, seakan akan engkau akan hidup selama lamanya dan beribadahlah untuk akhirat seakan akan engkau akan mati besok. Setiap langkah dalam kehidupan seorang muslim harus selalu memperhitungkan segala aspek dan resikonya dan menggunakan perhitungan yang rasional, yaitu tidak percaya dengan takhayul. Komitmen pada janji dan disiplin pada waktu merupakan citra seorang muslim sejati. 3. Menghargai waktu Hal ini tercantum di dalam firman Allah, Q. S. Al Ashr : 1 3. Waktu bagi seorang muslim adalah rahmat yang tiada terhitung nilainya. Baginya pengertian terhadap makna

waktu merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Sebagai konsekuensi logisnya dia menjadikan waktu sebagai wadah produktivitas. 4. Hidup hemat dan efisien Seorang muslim mempunyai cara hidup yang sangat efisien di dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Dia menjauhkan sikap yang tidak produktif dan mubadzir, karena kedua sikap tersebut dijauhi dalam Islam. Dia berhemat bukan dikarenakan karena ingin menumpuk kekayaan, sehingga melahirkan sikap kikir. Tetapi berhemat dikarenakan bahwa tidak selamanya hidup itu berjalan mulus, sehingga berhemat berarti mengestimasikan apa yang akan terjadi di masa depan. 5. Keinginan untuk mandiri Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanya terdapat pada jiwa yang merdeka, sedangkan jiwa yang terjajah akan terpuruk, sehingga dia tidak pernah mampu mengolah kemampuan serta potensi dirinya secara optimal.

RANGKUMAN

1. Etika (Etos) kerja merupakan sehimpunan perilaku positif yang lahir sebagai buah keyakinan fundamental dan komitmen total pada sehimpunan paradigma kerja yang integral. 2. Delapan etos kerja menurut Jansen H. Sinamo: a. Kerja adalah rahmat, bekerja tulus penuh syukur. b. Kerja adalah amanah, bekerja tulus penuh tanggung jawab. c. Kerja adalah panggilan, bekerja tulus penuh integritas. d. Kerja adalah aktualisasi, bekerja tulus penuh semangat. e. Kerja adalah ibadah, bekerja tulus penuh kecintaan. f. Kerja adalah seni, bekerja tulus penuh kreativitas

g. Kerja adalah kehormatan, bekerja tulus penuh keunggulan. h. Kerja adalah pelayanan, bekerja tulus penuh kerendahan hati. 3. Faktor yang mempengaruhi etos kerja antara lain agama, budaya, sosial politik, kondisi lingkungan/geografis, pendidikan, struktur ekonomi, dan motivasi intrinsik individu.

4. Etika profesi berfungsi sebagai panduan bagi para professional dalam menjalani kewajiban mereka memberikan dan mempertahankan jasa kepada masyarakat yang berstandar tinggi. Sedangkan etika kerja mengatur praktik, hak dan kewajiban bagi mereka yang bekerja di bidang yang tidak disebut profesi (non-profesional). Nonprofesional adalah pegawai atau pekerja biasa dan dianggap kurang memiliki otonom dan kekuasaan atau kemampuan profesional. 5.Etos kerja dapat dibedak ke dalam beberapa jenis, antara lain: a. Etos kerja pancasila Etos kerja Pancasila merupakan pemikiran; nilai-nilainya dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila, yang tidak tertulis secara eksplisit, tetapi harus digali lebih dalam, khususnya pada sila Ketuhanan yang Maha Esa. b. Etos Kerja Muslim Etos kerja muslim dapat difenisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal sholeh dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur. Beberapa ciri etos kerja muslin adalah memiliki jiwa kepemimpinan, selalu berhitung, menghargai waktu, hidup hemat dan efisien, dan keinginan untuk mandiri.

LATIHAN

I. SOAL ESSAY 1. Apa yang anda ketahui dengan etos kerja? Sebutkan faktor2 yang mempengaruhi etos kerja? 2. Jelaskan perbedaan antara etika kerja dan etika profesi! 3. Sebutkan dan jelaskan lima indikator untuk mengukur etos kerja menurut teori Akhmad Kusnan! 4. Sebutkan dan jelaskan kewajiban dan larangan PNS menurut PP NO 53 Tahun 2010! 5. Sebutkan tingkat dan jenis hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan PNS menurut PP NO 53 Tahun 2010! 6. Menurut anda, bagaimanakah etos kerja PNS yang berkembang selama ini ? Hubungkan dengan teori etos kerja yang anda ketahui!

II. SOAL KASUS Kasus I : Cuti Bersama Tak Mendidik Kerja Keras Pemerintah kembali memutuskan Jumat, 3 Juni 2011, sebagai cuti bersama. Kesepakatan untuk libur ini dinilai sebagai pembolosan yang disahkan. Terlalu banyak libur akan melemahkan etos kerja dan ujungnya menurunkan produktivitas nasional. Padahal, semestinya warga Indonesia bekerja keras bila ingin maju, kata Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya Prof Zainuddin Maliki, Senin (23/5) di Surabaya. Cuti bersama pada Jumat 3 Juni diputuskan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Perubahan Hari Libur dan Cuti Bersama. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dalam siaran persnya menjelaskan, cuti bersama untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan hari kerja di antara dua hari libur. Selain itu, selama ini sebagian pegawai negeri sipil tidak sepenuhnya memanfaatkan hak cuti tahunan yang menjadi momen rekreasi dan penyegaran bagi karyawan dan keluarga. Menurut Zainuddin, Indonesia sudah bermasalah dengan produktivitas dan etos kerja bangsa. Hari kerja pun seperti libur karena jam kerja tidak dimanfaatkan secara produktif, ujarnya. Praktisi pendidikan Arief Rachman menilai, kebiasaan cuti bersama di Indonesia tidak mendidik karakter bangsa yang suka bekerja keras. Padahal, bangsa ini harus mengembangkan semangat dan kebiasaan bekerja keras, bukan lebih senang liburan. Benar-benar tidak mendidik bangsa agar suka kerja keras jika setiap kali ada hari kejepit, dilanjutkan dengan cuti bersama. Yang namanya cuti, terserah pribadi, ujarnya. Arief khawatir, kebiasaan cuti bersama ini bisa jadi contoh tidak baik bagi anakanak sekolah. Anak-anak jadi lebih suka menantikan liburan, bukan belajar, ujarnya. (INA/INE/ELN) (Sumber: Kompas, Selasa, 24 Mei 2011)

Pertanyaan: 1. Bagaimana pendapat anda mengenai etos kerja PNS yang sering melakukan cuti bersama tersebut ? Berikan jawaban anda dengan jelas dan berlandaskan pada teori etos kerja.

Kasus II: Dirjen Pajak Pecat Gayus Tambunan Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo akhirnya memecat secara tidak hormat pegawainya, Gayus Tambunan, sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Direktorat Jenderal Pajak. Gayus dipecat berdasarkan hasil rekomendasi Direktorat Kepatuhan Internal Transformasi Sumber Daya Aparatur atau KITSDA yang menemukan adanya pelanggaran disiplin dan kode etik yang dilakukan oleh Gayus. "Kalau sekarang status (Gayus) masih pegawai negeri. Tetapi pelanggaran sebagai pegawai negeri sudah ada sehingga terancam hukuman diberhentikan tidak hormat. Senin segera diusulkan ke Menkeu untuk diberhentikan," kata Tjiptardjo, saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (26/3/2010). Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh KITSDA, Gayus menurutnya mengaku telah menerima uang dari wajib pajak. Hal ini kemudian dijadikan bukti untuk memecat Gayus secara tidak hormat dari Ditjen Pajak. "Dia diberhentikan itu karena pelanggaran dia sebagai pelanggaran kode etik. Dia ngaku mengerjakan ini, terima uang segini, itu sudah cukup," ungkap Tjiptardjo. (Sumber : Kompas, Jumat, 26 Maret 2010)

Pertanyaan: 1. Jelaskan pelanggaran etika kerja yang dilakukan oleh Gayus dalam kaitannya dengan pelanggaran disiplin PNS dalam PP NO 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS!

GLOSSARIUM

Etika

: cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.

Etika kerja

: sistem nilai atau norma yang digunakan oleh seluruh karyawan perusahaan, termasuk pimpinannya dalam pelaksanaan kerja seharihari

Etika profesi

: sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan profesional terhadap masyarakat dengan ketertiban penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.

Etimologi Etos

: cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata. : adalah memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu.

Integrasi

: suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masingmasing.

KORPRI

: organisasi di Indonesia yang anggotanya terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, pegawai BUMN, BUMD serta anak perusahaan, dan perangkat Pemerintah Desa.

Profesi

: pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus

Pegawai Negeri

warga negara RI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 ayat 1 UU 43/1999).

PNS

: salah satu jenis Kepegawaian Negeri di samping anggota TNI dan Anggota POLRI (UU No 43 Th 1999).

Pragmatisme

: aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis.[

SOP

: Suatu standar/pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.

Teologi

: ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama.

DAFTAR PUSTAKA

Siagian, Prof. Dr. Sondang P.1995. Teori Motivasi Dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sinamo, Jansen. 2005. Delapan Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses. Bogor: Grafika Mardi Yuana.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri.

http://8etos.com/ http://www.putra-putri-indonesia.com/pengertian-etos-kerja.html http://kasihdalamkata.blogspot.com/2008/06/etos-kerja-bagi-masyarakat-muslim.htm http://www.putra-putri-indonesia.com/etos-kerja-pancasila.htm

BAB
PENGERTIAN KORUPSI, FAKTOR PENYEBAB KORUPSI, DAN PRINSIP-PRINSIP ANTI KORUPSI

Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian korupsi, faktor penyebab korupsi, serta prinsip-prinsip anti korupsi, sehingga termotivasi untuk menumbuhkan prinsip anti korupsi dalam dirinya.

A. Istilah dan Definisi Korupsi Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio, corruptus atau kata kerjanya Corrumpere; dalam bahasa Inggris dan Perancis disebut corruption, dalam bahasa Belanda disebut korruptie, yang berubah menjadi korupsi dalam bahasa Indonesia. Istilah coruruption atau korupsi menurut Webster New World Dictionary of The American Langguage adalah: A making, becoming or being corrupt Evil or wicked ways Bribery or dishonest dealings Decay, rottenness.

Dalam Al Quran juga tidak didapati istilah korupsi, namun dikenal istilah fassad yang berarti segala perbuatan yang menimbulkan kerusakan, termasuk berbagai perbuatan tidak jujur, merusak, menyogok, memalsu, menipu. Istilah korupsi, atau tindak pidana korupsi juga tidak dikenal dalam KUHP. Korupsi di sektor publik yang banyak terjadi merupakan perbuatan pidana yang pada umumnya hanya mungkin dilakukan oleh orang yang mempunyai kualifikasi jabatan pada sektor publik, oleh karenanya perbuatan semacam itu dikelompokkan dalam Bab XXVIII dalam Pasal 415 sampai dengan Pasal 425 KUHP tentang Kejahatan

Jabatan. Pasal-pasal kejahatan jabatan meliputi berbagai tindak pidana seperti penggelapan, pemerasan, penyuapan, penyuapan terhadap Hakim, perusakan atau memalsukan dokumen, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa dan sebagainya, yang kesemuanya merupakan perbuatan pidana berkenaan dengan penyalahgunaan wewenang dan atau jabatan. Istilah korupsi pertama kali digunakan dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat No Prt/Peperpu/013/1958 terkait upaya pemberantasan korupsi, yang kemudian di tuangkan dalam undang-undang No 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan korupsi, yang akhirnya digunakan dalam UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi. Perbuatan korupsi bukanlah tindak kejahatan yang hanya terjadi di Indonesia; perbuatan semacam ini terjadi dimana mana di seluruh dunia. Kalau melihat peta korupsi dunia, maka korupsi marak di Negara-negara berkembang atau baru berkembang seperti, Negara-negara di wilayah Amerika Lain, Negara-negara di Afrika, Asia Tengah, Eropah Timur (eks Uni Sovyet), Negara-negara di Asia kecuali Jepang, Hongkong, Korea, Singapura. Diantara Negara-negara Asean, Indonesia menempati posisi kedua tertinggi dalam korupsi (lebih baik dari pada Myanmar). Korupsi telah menjadi perhatian seluruh dunia, oleh karenanya semua Negara berkepentingan untuk memberantasnya; dengan konvensi PBB anti korupsi yang ditanda tangani di Meirida Meksiko pada tahun 2003 (termasuk Indonesia) seluruh dunia telah mencanangkan upaya pemberantasan secara bersama di seluruh dunia. Sejalan dengan telah diratifikasinya Konvensi PBB Anti Korupsi atau dikenal dengan United Nation Against Corruption (UNCAC) dengan UU Nomor 7 Tahun 2006, pengertian korupsi akan diperluas lagi dan meliputi lingkup: a. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), karena perbuatan korupsi bukan delik berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan berbagai perbuatan pidana lain seperti pidana perdagangan anak atau manusia (human trafficking), pidana narkotika, perdagangan senjata, perjudian, pemalsuan uang, money launder, sulit pembuktiannya dan lain sebagainya;

b. Korupsi adalah kejahatan internasional, international crimes karena lingkup perbuatan korupsi tidak terbatas pada wilayah negara tertentu, tetapi meluas dan ada hubungan antara perbuatan korupsi pada satu Negara dengan Negara lainnya; c. Korupsi disebut juga organized crimes, karena pembuat dan pelaku korupsi sering kali terjalin antara organisasi formal dengan organisasi kejahatan. Master mindnya sering kali adalah pejabat resmi yang terlibat dalam kegiatan illegal lainnya, misalnya dalam kasus perjudian, illegal logging, illegal fishing, human trafficking dan sebagainya; d. Korupsi terjadi di segala sektor kehidupan, baik sektor publik maupun sektor swasta; e. Terdapat beberapa perbuatan yang dikriminalisasi seperti, insider trading, trade in influence, kejahatan perpajakan seperti transfer pricing dan manipulasi faktur pajak dsb. B. Bentuk atau Macam Korupsi Bentuk korupsi berbacam-macam, yang umum dikenal adalah material corruption atau korupsi material terkait menggunakan uang secara tidak berhak untuk kepentingan sendiri. Ada bentuk lain yaitu political corruption; yaitu korupsi terkait berbagai kebijakan, yang kemudian dituangkan dalam bentuk peraturan sehingga menimbulkan legislation corruption. Money politic termasuk bagian dari political corruption yang berujung pada korupsi material (memperoleh jabatan dengan membayar dll). Bentuk lain adalah intelectual corruption berupa manipulasi informasi untuk mencapai tujuan tertentu yang semuanya berdampak merugikan masyarakat, misalnya manipulasi oleh pemerintah tentang data statistik. C. Lingkup Korupsi Perbuatan korupsi tidak terbatas pada perbuatan mencuri uang rakyat saja (sektor publik), karena dalam kenyataannya korupsi itu terjadi di baik di sektor publik maupun di sektor swasta. Memang untuk saat ini dalam KUHP dan undang-undang anti korupsi yang berlaku, pidana korupsi masih terbatas pada perbuatan korupsi yang terjadi di sektor publik. Berbagai kasus korupsi di Indonesia yang ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi 77 % adalah korupsi terkait dengan penggunaan APBN dan APBD.

Namun tidak demikian halnya di negara lain, misalnya di Hongkong, Singapura, di negara negara Amerika dan Eropah. Bahwa perbuatan korupsi terjadi juga di sektor swasta. Sebagai contoh di Amerika Serikat, data Report to The Nation (ACFE:2006) menggambarkan organisasi yang terlibat dalam perbuatan curang atau korupsi di Amerika Serikat adalah sebagai berikut : a. Perusahaan swasta: b. Perusahaan publik: c. Organisasi publik: d. Organisasi nir laba: 36,8% , jumlah kerugian: US $ 210,000 31,7 %, jumlah kerugian: US $ 200,000 17,6%, jumlah kerugian: US $ 100,000 13,9 %, jumlah kerugian: US $ 100,000

Fakta bahwa korupsi terjadi disektor swasta, dunia internasional pernah dihebohkan dengan kasus yang melibatkan Enron Corporation, perusahaan raksasa di Amerika Serikat seperti WorldCom, Merck dan sebagainya (investigasi SEC). Terakhir adalah kasus di sektor lembaga keuangan (Lehman Brother, Goldman Sachs dll) yang memicu terjadinya krisi ekonomi dunia. Di Indonesia pun terdapat berbagai kasus di sektor swasta, misalnya kasus Bank Summa, kasus BLBI, audit BI, audit beberapa perusahaan yang akan Go Public. Kasus yang menonjol antara lain adalah kasus yang melibatkan BNI 46, Kasus Bank Mandiri. Kini mencuat pula kasus Bank Century yang diduga telah terjadi political corruption dalam proses pengambil putusan bailout atas bank tersebut sebesar Rp 6,7 triliun. Mengapa perbuatan curang di sektor swasta disebut korupsi, intinya karena perbuatan itu nyata-nyata merugikan para stake holder yaitu: pemerintah, karyawan, pemegang saham, nasabah atau masyarakat. Oleh karenanya di lingkungan Internasional korupsi dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat. Sayangnya undang-undang anti korupsi di Indonesia belum mencakup perbuatan korupsi di sektor swasta. Dilihat dari sifat perbuatannya, secara sosiologis korupsi tidak terbatas pada perbuatan menggunakan uang negara secara (material corruption) tidak sah seperti persepsi masyarakat pada umumnya, tetapi perbuatan korupsi adalah perilaku yang menyimpang, seperti:

a. Tidak memperhatikan kepentingan umum atau kepentingan orang lain; contohnya dalam pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Siapa yang membayar mendapat prioritas, sedangkan mereka yang miskin lebih sering terabaikan. b. Manipulasi informasi publik; banyak informasi yang disampaikan publik tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Informasi kepada publik lebih diarahkan untuk menentramkan masyarakat; contoh kekacauan dalam pemilu, pilkada, berbagai informasi yang simpang siur (Indonesia telah swa sembada beras, tetapi perlu impor beras). c. Melakukan mark up dalam pengadaan barang dan jasa; bukan rahasia umum, hampir semua pengadaan barang dan jasa di Indonesai di monopoli kelompok tertentu dan nilai transaksinya telah di mark up hingga lebih dari 40 %). d. Mengulur waktu dalam pemberian pelayanan; lihat contoh buitr a. e. Berperilaku boros, tidak efisien, tidak memperhatikan waktu sehingga pelaksanaan tugas berlarut-larut tanpa kepastian; bisa dilihat sikap perilaku aparatur pemerintahan di seluruh Indonesia. Di Kalangan perguruan tinggi juga terjadi, misalnya dosen mengurangi jam kulian, dosen tidak siap dan hanya memberikan diktat , penggangkatan dosen berdasarkan nepotisme, dosen tidak obyektif dalam memberi nilai ujian dll (hasil survai pada Perguruan Tinggi Agama) f. Menganggap penerimaan uang tanda terima kasih atas pelaksanaan kewajiban sebagai sesuatu yang wajar, sekalipun pada hakekatnya hal itu adalah pemerasan pasif, dan sebagainya. Bila dikaitkan dengan kondisi masyarakat di Indonesia, korupsi pada hakekatnya adalah erosi nilai-nilai sosial yang berakibat sikap (attitude) dan perilaku (behavior) masyarakat mengganggap tindakan korupsi adalah wajar. D. Penyebab Perbuatan Korupsi Beberapa pendapat atau teori tentang penyebab korupsi, adalah sebagai berikut: 1. Lord Acton mengatakan Power tend to Corrupt. Kekuasaan adalah sumber perbuatan korupsi, terutama sekali apabila Power (Kekuasaan) tidak diikuti oleh Accountability atau (C=P-A); artinya dalam suatu pemerintahan yang tidak diikuti system pengawasan, pembagian kekuasaan yang memadai,

serta tiada akuntabilitas, yang berdampak mismanagement. Sebagai contoh, Dosen cukup berkuasa dalam kelas, sehingga dapat berbuat apa saja yang memaksa mahasiswa mengikuti perintahnya. Polisi Lalu Lintas dapat menentukan berapa denda harus dibayar karena punya kekuasaan. Demikian pula pemegang kekuasaan dapat memerintahkan apa saja kepada bawahannya walaupun melanggar hukum. 2. Jack Bologne menyebutkan bahwa penyebab korupsi dirumuskan dengan teori G(reed) O(pportunity), N(eed), E(xposure) atau disingkat GONE. Greed merupakan keserakahan dari pelaku. Opportunity atau kesempatan adalah kondisi kurangnya pengawasan, karena system yang jelek atau

mismanagement, atau disebut juga bad government. Need; Adalah kondisi dari pelaku, misalkan sangat membutuhkan, sehingga dia berusaha memperoleh sesuatu secara illegal. Exposure; adalah kondisi eksternal yang berpengaruh kepada pelaku, misalnya lingkungan yang hedonistic, tekanan di lingkungan kerja dan lain.lain. 3. Prof Klittgard (Prof. DR Muladi, 2007) menyatakan bahwa Corruption timbul karena adanya Monopoly kekuasaan ditambah Discretion, tidak diimbangi dengan Accountability atau (C=M+D-A). Perinsipnya seperti uraian pada digaris bawahi bahwa discretion adalah suatu kewenangan

butir 1, perlu

yang melekat pada setiap orang atau manajer untuk mengambil pilihan dari beberapa alternatif Namun discretion yang dilakukan tanpa ada kendali

akuntabilitas akan merupakan sumber korupsi. Negara Negara yang mengalami mismanagement disebut juga bad government atau Negara yang pemerintahannya belum melaksanakan tatakelola pemerintahan yang baik (Good Governance). Daniel Kaufman et al (World Bank Institution; 2005) mencermati praktek Governance di berbagai Negara di dunia (termasuk Indonesia) yang diukur dari 6 variabel, dan setiap variable diberi nilai dengan skala 0-100. Keenam varaibel tersebut: 1. Voice and Accountability, mengukur kehidupan politik dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia;

2. Political Instability, mengukur kehidupan politik, keamanan termasuk masalah terorisme; 3. Goverment Effectiveness, mengukur kemampuan birokrasi memberikan dengan layanan publik; 4. Regulatory Burden, mengukur berbagai kebijaksanaan yang marketunfriendly; 5. Rule of Law, mengukur tingkat penegakkan hukum; 6. Control of Corruption, mengukur tindakan dalam pemberantasan korupsi. Hasil evaluasinya dengan enam tolok ukur tersebut, terutama unsur Government Effectiveness, Rule of Law dan Control of Corruption sampai dengan 50. Artinya Indonesia termasuk diperoleh nilai berkisar 25 diantara Negara yang

pemerintahannya masih tergolong Bad Governance, yang tercermin dari monopoli kekuasaan., yang berdampak timbulnya masyarakat korup (state capture corruption. Indikator lainnya yang membuktikan bahwa Negara Indonesia tergolong korup adalah : 1. Tingkat atau kemampuan bersaing di dunia internasional (Competitveness Growth Index); Indonesia berada dalam urutan ke 70 sampai dengan 50. 2. Tingkat atau kualitas pelayanan publik yang rendah. Skor rata-rata adalah 5,6 dibandingkan dengan kualitas pelayanan publik Korea yang mencapai skor 8 (data survai tingkat pelayanan publik oleh KPK). Penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) antara lain: 1. Aspek individu pelaku. a. Sifat tamak manusia. b. Moral yang kurang kuat. c. Penghasilan yang kurang mencukupi. d. Kebutuhan hidup yang mendesak. e. Gaya hidup yang konsumtif. f. Malas atau tidak mau kerja.

g. Ajaran Agama yang kurang diterapkan. 2. Aspek organisasi.

a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan. b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar. c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi yang kurang memadai. d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen. e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi. 3. Aspek tempat individu dan organisasi berada. a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan. b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi. c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari. d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat

berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya. e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

E. Penyebab Korupsi di Indonesia Penelitian Daniel Kaufman, data lTransparansi Internasional yang menempatkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) selama hampir 9 tahun antara 2,3- 2,8 (ditahun 2009) telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara terkorup di dunia. Malaysia (skor IPK sekitar 3,5), dan Singapura tergolong terbersih dengan skor 9. Dalam uraian diatas telah dijelaskan bahwa korupsi bukan perbuatan yang berdiri sendiri, dan tidak disebabkan oleh penyebab tunggal. Korupsi disebabkan oleh berbagai sebab yang saling berkaitan satu sama lain, dan intinya disebabkan adalah berbagai sistem yang jelek, seperti: a. Sistem hukum; pembangunan hukum yang cenderung sektoral sehingga membuka peluang terjadinya jual beli kasus. Korupsi sudah terjadi sejak saat pembuatan di lembaga legislatif. Pembangunan hukum lebih condong lebih fokus membela kepentingan kelompok, sehingga mendorong terjadinya berbagai korupsi di lingkungan peradilan. Tiadanya sikap patuh pada hukum. b. Sistem politik yang jelek yang lebih mengetengahkan kepentingan golongan, menjadi kendaraan untuk memperoleh kedudukan serta melupakan

pendidikan politik bagi masyarakat. Kondisi tersebut memunculkan fenomena money politic dalam proses pemilihan wakil rakyat dan pejabat eksekutif. c. Sistem rekruitmen pegawai yang jelek, yang tidak memberikan penghargaan pada prestasi sumberdaya manusia, tetapi lebih mengedepankan sikap nepotisme dalam pemilihan, pengangkatan, penempatan para pegawai atau aparatur pemerintahan. Termasuk dalam hal ini jeleknya sistem penggajian, pengawasan pendidikan aparatur, disamping tiadanya sistem evaluasi kinerja yang memadai. d. Sistem sosial yang sangat permisif (tidak berani memberikan hukuman terhadap mereka yang melanggar hukum), tidak adanya sanksi sosial yang didukung oleh sikap masyarakat yang lebih mementingkan hak daripada kewajiban. e. Sistem budaya yang berorientasi vertikal, tunduk dan patuh pada kemauan atasan tanpa memperhatikan apakah perintahnya menyalahi hukum atau tidak. Hal ini terutama berdampak terhadap perilaku aparatur yang lebih patuh pada kemauan atasan daripada menjalankan tugas pekerjaannya

(termasuk menunggu perintah daripada menjalankan SOP yang ada). Sistem budaya yang jelek termasuk pula tidak bisa memahami pengertian rizki (reward). Setiap pemberian dianggap rizki. Masyarakat negara lain, hanya menerima sesuatu karena telah berbuat sesuatu (prestasi); jadi reward diperoleh karena hasil perbuatannya. Di Indonesia setiap pemberian diangap rizki, walaupun pemberian tersebut bersumber dari perbuatan tidak halal. Sebab sebab tersebut diperkuat oleh: a. Sistem pemerintahan sentralistik dan sangat represif serta tidak memberikan peluang pada masyarakat untuk mengembangkan sanksi sosial; b. Sistem pemerintahan yang otoriter, dimana lembaga lembaga kenegaraan yang ada lebih berperan sebagai lembaga legitimasi dari pada menjalankan tugas dan fungsinya; c. Kesejahteraan aparatur yang rendah yang menimbulkan dorongan kuat untuk korupsi; d. Law enforcement rendah (terkait sikap permisif terhadap masyarakat terhadap segala sesuatu yang negatif); e. Kondisi masyarakat yang hedonistik, materialistik dan menurunnya nilai nilai sosial yang pernah hidup; f. Income per kapita yang sangat rendah (penyebab korupsi by need).

Untuk lebih memahami keterkaitan antar sistem yang jelek sebagai unsur penyebab dapat dilihat dari triangle theory Donald Cresey (Examiner Manual:2006); kejahatan, kecurangan atau korupsi ditempat kerja disebabkan oleh tiga hal : a. Exposure atau problem yang dihadapai seseorang atau pegawai (ada tekanan) yang tidak dapat didiskusikan dengan orang lain, seperti mempunyai utang dalam jumlah besar, berjudi, punya simpanan, pengaruh masyarakat yang bersifat konsumerisme, atau mau balas dendam kepada pemilik perusahaan; b. Opportunity atau peluang (kesempatan), seperti memiliki ketrampilan yang mendukung perbuatan curang, lemahnya pengawasan, prosedur yang tidak jelas, tiadanya sanksi yang memadai atas pelanggaran yang terjadi dan sebagainya;

c. Rasionalisasi; persepsi yang memandang perbuatan curang atau korupsi sebagai suatu perbuatan wajar, sikap permisif masyarakat, nampak dari ungkapan:ya wajar saja pegawai tersebut punya rumah kan sudah sekian tahun bekerja (tanpa dilihat dari mana sumber dana untuk membeli rumah). F. Dampak atau Akibat Korupsi Telah diuraikan diatas bahwa Indonesia tergolong negara yang tinggi tingkat korupsinya. Korupsi tidak semata-mata mengurangi dana yang masuk ke kas negara, tetapi akibat yang ditimbulkan sangatlah mengerikan, yaitu: a. Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi mengancam dan melanggar hak-hak sosial dan ekonomi secara luas, yang berdampak meningkatnya angka kemiskinan, menyengsarakan rakyat, serta dan kriminalitas. b. Bad system terkait dengan pengawasan di lingkungan birokrasi telah memunculkan molekulisasi kekuasaan; yaitu unit unit kecil dalam organisasi yang memiliki kekuasaan tanpa dapat dikontrol oleh atasannya. Unit kecil ini dapat melakukan apa saja yang merugikan masyarakat. Contohnya pemeriksa pajak, dia dapat memutuskan apa saja yang ditemui pada waktu pemeriksaan berlangsung, demikian pula Polisi Lalu Lintas, dapat meningkatnya masalah sosial

menentukan apa saja pada waktu melakukan tilang (DR. Daniel Sparingga: 2007). c. Bad system dan molekulisasi kekuasaan telah memunculkan berbagai peluang bagi aparatur untuk melakukan pungli, yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi (high cost economic); Ekonomi biaya tinggi pada gilirannya akan melemahkan kemampuan bersaing Indonesia (competitiveness grrowth) di lingkungan Internasional (DR Hermawan: 2007). d. Belum diterapkannya prinsip Good Governance dapat meningkatkan terjadinya tindak pidana korupsi, yang disisi lain akan dijadikan alasan oleh negara lain untuk menolak ekspor produk Indonesia. e. Lingkungan korup berdampak berkurangnya kemampuan negara untuk

mengumpulkan dana (penerimaan negara) bagi pembangunan yang

mengancam pembangunan infrasruktur, mengancam pembangunan dan supremasi hukum. f. Rendahnya kualitas infrastruktur dan kualitas layanan publik, yang

berdampak terhadap perlakuan yang tidak adil tehadap masyarakat yang termarjinalkan. g. Korupsi mengancam sendi-sendi kehidupan demokrasi, karena

pembangunan yang tidak merata. h. Korupsi memungkinkan menjadi mata rantai berbagai kejahatan lain, misalnya penyelundupan, perdagangan obat narkotik, perdagangan manusia dll, seperti dalam pengiriman TKI Wanita. G. Kebijakan di Bidang Pencegahan Titik berat upaya pencegahan korupsi adalah melalui: 1. Review dan rekomendasi perbaikan sistem atau yang lebih dikenal dengan Reformasi Birokrasi. 2. Promosi penerapan prinsip-prinsip Good Governance. 3. Pendidikan anti korupsi. 4. Pemberdayaan masyarakat. Beberapa kebijakan di bidang pencegahan adalah antara lain: 1. Mendorong segenap instansi dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran anti korupsi dan peran sertanya dalam pencegahan korupsi di lingkungan masing-masing. 2. Melakukan deteksi untuk mengenali dan memprediksi kerawanan korupsi dan potensi masalah penyebab korupsi secara periodik untuk disampaikan kepada instansi dan masyarakat yang bersangkutan. 3. Mendorong lembaga dan masyarakat untuk mengantisipasi kerawanan korupsi (kegiatan pencegahan) dan potensi masalah penyebab korupsi (dengan menangani hulu permasalahan) di lingkungan masing-masing. H. Prinsip Good Governance Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) atau UNDP, memberikan definisi governance terkait dengan langkah otoritas politik sekaligus pengawasan dalam masyarakat terkait pengelolaan sumberdaya sosial dan pertumbuhan ekonomi. World Bank (WB) justru mendefinisikan governance sebagai

sikap di mana kekuasaan digunakan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan sosial sebuah negara. Tahun 1994, WB menguraikan beberapa aspek penting dalam terminologi governance. Pertama, terkait struktur rezim politik sebuah negara. Bagi WB, struktur ini sangat penting karena terkait pada sikap dan perilaku elite politik pada sumber daya ekonomi dan sosial dikelola. Artinya, kesadaran dan mentalitas elite politik dalam struktur tersebut berperan besar dalam perubahan kebijakan. Kedua, WB menekankan pada proses bagaimana sumber daya ekonomi dan sosial tersebut dikelola bagi kesejahteraan rakyat. Pakar politik pembangunan Goran Hyden (1999) mengaitkan governance dengan aturan politik baik secara formal maupun informal. Di dalam governance terdapat pula tolok ukur untuk melihat bagaimana kekuasaan dijalankan sekaligus upaya untuk meredam kebocoran anggaran. Agar kebocoran itu tidak terjadi, ada yang berteori agar kalau perlu, demi terwujudnya GG, pemerintah mencontoh cara kerja perusahaan swasta yang bekerja berdasar prinsip-prinsip efektivitas serta efisien. Berikut ini sepuluh prinsip Good Governance, antara lain: 1. Partisipasi. 2. Penegakan hukum. 3. Transparansi. 4. Kesetaraan. 5. Daya tanggap. 6. Wawasan ke depan. 7. Akuntabilitas. 8. Pengawasan. 9. Efesiensi & Efektifitas. 10. Profesionalisme. Tata pemerintahan yang baik, good governance, merupakan sesuatu yang penting dalam mewujudkan suatu keadaan yang ideal bagi negara. Good governance adalah cara yang dapat digunakan oleh suatu negara untuk melaksanakan wewenangnya dalam menyediakan barang dan jasa publik. Tata pemerintahan yang buruk akan membawa dampak yang sangat merugikan bagi suatu negara itu, misalnya pelayanan publik yang buruk, iklim investasi yang lemah, dan korupsi. Oleh karena itu, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia,

good governance sangat perlu diwujudkan oleh pemerintah demi menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Menurut dalam konteks perwujudan good governance pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, agenda yang seharusnya menjadi prioritas utama adalah mereformasi birokrasi yang ada di Indonesia secara keseluruhan. Reformasi birokrasi sangat perlu untuk direalisasikan mengingat berbagai permasalahan yang telah melanda negeri ini, seperti korupsi dan pelayanan publik yang buruk, disebabkan oleh birokrasi yang tidak berjalan dengan semestinya. Di dalam kehidupan birokrasi yang ada saat ini, terdapat hal-hal yang membuat situasi menjadi kondusif untuk melakukan penyimpangan. Hal-hal tersebut antara lain adalah kurangnya transparansi dan pertanggungjawaban, monopoli kekuasaan, dan inefisiensi dalam birokrasi yang bersifat mubazir. Pelaksanaan reformasi birokrasi secara menyeluruh itu, secara ringkas, dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, antara lain adalah

meningkatkan kinerja dari birokrasi sendiri dan memperbaiki tata pelayanan terhadap publik. Birkorasi reformasi yang baik sesungguhnya meliputi tiga hal utama yang patut untuk dibenahi, yaitu aspek kelembagaan, aspek ketatalaksanaan, dan aspek sumber daya manusia (SDM). Reformasi birokrasi yang telah dilakukan oleh Departemen Keuangan merupakan contoh yang layak dari reformasi birokrasi dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Namun dalam konteks pemerintahan SBY-Boediono, yang direformasi adalah seluruh lembaga atau organisasi yag aktif dalam pemerintahan. Pertama, dalam aspek kelembagaan atau organisasi, langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam mewujudkan perbaikan adalah dengan menjadikan semua organisasi atau lembaga yang aktif dalam kegiatan pemerintahan menjadi sebuah lembaga atau organisasi yang mementingkan dan menekankan pada fungsi dan berorientasi kepada pemangku kepentingan. Setiap lembaga dan organisasi harus membentuk unit kepatuhan internal dan membangun pusat pengaduan layanan (complaint center) sehingga kerja dari suatu lembaga atau organisasi tetap dapat dikontrol dan diawasi. Selain itu, lembaga atau organisasi juga perlu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan tujuan mempercepat, mempermudah, dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja dari lembaga atau organisasi tersebut.

Kedua, aspek ketatalaksanaan. Terkait dengan aspek yang pertama, patokan tata cara pelaksanaan dari lembaga-lembaga tersebut adalah harus sederhana dan transparan, efisien dan efektif, akuntabel, serta memuat janji layanan, seperti persyaratan, biaya, dan waktu. Dalam hal pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, yang harus dilakukan adalah membangun sistem kontrol (built in control system), menerapkan sistem pemebritaan atau laporan yang otomatis dan

terintegrasi (automatic and integrated reporting system). selain itu juga dibutuhkan fasilitas dan pemberlakuan lebih UU keterbukaan informasi untuk memastikan resiko dan

adiministrasi

transparan,

serta

menerapkan

manajemen

pemantauan kerja melalui indikator kinerja utama. Ketiga, aspek manajemen SDM. Beberapa poin yang harus diperhatikan demi mendapatkan sumber daya manusia yang baik lagi bersih antara lain adalah basis kompetensi, penerapan kode etik dan majelis kode etik, dan penerapan indikator kinerja utama pada masing-masing SDM. Perbaikan sistem birokrasi dalam suatu lembaga, dalam aspek SDM ini, perlu juga diperhatikan persoalan gaji.

Meningkatkan jumlah gaji harus dibarengi dengan perbaikan rekrutmen, promosi, penempatan jabatan, serta pelatihan dan pendidikan yang baik demi mendapatkan SDM yang berkualitas dan dapat memberikan hasil yang baik. Setelah melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh, pemerintah juga memiliki kewajiban untuk mentata kehidupan di segala area utama dalam

pemerintahan demi memaksimalkan tata pemerintahan yang baik tersebut. Pemberantasan korupsi lebih baik diprioritaskan di area-area yang rawan, seperti bidang pendidikan dan kesehatan yang sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu, memperbaiki serta memberantas segala penyimpangan di sistem peradilan (hakim, jaksa, dan polisi) juga penting untuk langkah dan prakarsa anti korupsi berikutnya. Pengawasan dan pencegahan eksploitasi alam yang berlebihan dan pengrusakan lingkungan juga menjadi perhatian utama bagi pemerintah agar tidak menjadi lahan yang subur bagi tindakan penyimpangan seperti korupsi. Dengan diwujudkannya tata pemerintahan yang baik atau good governance diharapkan dapat menyelesaikan segala akar permasalahan di bangsa ini serta mencegahnya kembali menjadi masalah yang meresahkan seluruh rakyat Indonesia.

I.

Prinsip Anti Korupsi Prinsip-prinsip anti korupsi terdiri dari transparansi, akuntabilitas, kewajaran,

aturan main, dan kontrol aturan main. Berikut merupakan penjelasan terkait dengan prinsip-prinsip tersebut. 1. Akuntabilitas Akuntabilitas adalah prinsip politik (demokrasi) yang mengharuskan pejabat instansi pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka kepada masyarakat (external control). Akuntabilitas juga berarti penggunaan kriteria untuk mengukur kinerja pejabat publik dan mekanisme pengawasan untuk menjaga agar standar tercapai. Akuntabilitas mengacu pada kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan kerja. Akuntabilitas terdiri dari akuntabilitas legal, keuangan, birokrat/manajerial, dan politik. Kenapa Perlu Akuntabilitas? Untuk mencegah konsepsi yang salah tentang kepentingan publik karena pejabat pemerintah dan PNS tidak mewakili secara merata semua kolempok sosial, ekonomi, dan budaya. Untuk mencegah praktek KKN berdasarkan kepentingan pribadi, kelompok atau asing yang merugikan kepentingan masyarakat/nasional. Bagaimana mengukur akuntabilitas? Akuntabilitas harus dapat diukur dan dipertanggungjawabkan melalui Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan semua kegiatan. Evaluasi atas kinerja administrasi, proses pelaksanaan, dampak dan manfaat yang diperoleh masyarakat baik secara langsung maupun manfaat jangka panjang dari sebuah kegiatan. 2. Tranparansi Transparansi merupakan prinsip yang mengharuskan semua proses kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi menjadi pintu masuk sekaligus kontrol bagi seluruh proses

dinamika

struktural

kelembagaan.

Dalam

bentuk

yang

paling

sederhana,

transparansi mengacu pada keterbukaan dan kejujuran untuk saling menjunjung tinggi kepercayaan (trust). Perlunya Keterlibatan masyarakat dalam proses transparansi: Proses penganggaran yang bersifat bottom up, mulai dari perencanaan, implementasi, laporan pertanggungjawaban dan penilaian (evaluasi) terhadap kinerja anggaran. Proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan. Hal ini terkait pula dengan proses pembahasan tentang sumber-sumber pendanaan (anggaran pendapatan), dan alokasi anggaran (anggaran belanja). Proses pembahasan tentang pembuatan rancangan peraturan yang berkaitan dengan strategi penggalangan (pemungutan) dana, mekanisme pengelolaan proyek mulai dari pelaksanaan tender, pengerjaan teknis, pelaporan finansial, dan pertanggungjawaban secara teknis. Proses pengawasan dalam pelaksanaan program dan proyek pembangunan yang berkaitan dengan kepentingan publik dan yang lebih khusus lagi adalah proyek-proyek yang diusulkan oleh masyarakat sendiri. Proses evaluasi terhadap penyelenggaraan proyek yang dilakukan secara terbuka dan bukan hanya pertanggungjawaban secara administratif, tapi juga secara teknis dan fisik dari setiap out put kerja-kerja pembangunan.

3. Kewajaran Prinsip kewajaran ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi

(ketidakwajaran) dalam penganggaran, baik dalam bentuk mark up maupun ketidakwajaran lainnya. Lima langkah penegakan prinsip kewajaran, yaitu: a) Komprehensif dan disiplin yang berarti mempertimbangkan keseluruhan aspek, berkesinambungan, taat asas, prinsip pembebanan, pengeluaran dan tidak melampaui batas (off budget). b) Fleksibilitas yaitu adanya kebijakan tertentu untuk efisiensi dan efektifitas.

c) Terprediksi yaitu ketetapan dalam perencanaan atas dasar asas value for money dan menghindari defisit dalam tahun anggaran berjalan. Anggaran yang terprediksi merupakan cerminan dari adanya prinsip fairness di dalam proses perencanaan pembangunan. d) Kejujuran yaitu adanya bias perkiraan penerimaan maupun pengeluaran yang disengaja, yang berasal dari pertimbangan teknis maupun politis. Kejujuran merupakan bagian pokok dari prinsip fairness. e) Informatif, yaitu adanya sistem informasi pelaporan yang teratur dan informatif sebagai dasar penilaian kinerja, kejujuran dan proses pengambilan keputusan. Sifat informatif merupakan ciri khas dari kejujuran. 4. Aturan main Aturan main anti korupsi dibuat agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Aturan main anti korupsi tidak selalu identik dengan undang-undang anti-korupsi, namun bisa berupa undang-undang kebebasan mengakses informasi, undang-undang desentralisasi, undang-undang anti-monopoli, maupun lainnya yang dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol terhadap kinerja dan penggunaan anggaran negara oleh para pejabat negara. Empat aspek aturan main anti korupsi, yaitu: a) Isi aturan main. Aturan main anti korupsi akan efektif apabila di dalamnya terkandung unsurunsur yang terkait dengan persoalan korupsi. b) Pembuat aturan main. Kualitas isi aturan main tergantung pada kualitas dan integritas pembuatnya. c) Pelaksana aturan main. Aturan main yang telah dibuat dapat berfungsi apabila didukung oleh aktoraktor penegak aturan main, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. d) Kultur aturan main. Eksistensi sebuah aturan main terkait dengan nilai-nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap hukum atau undang-undang

anti korupsi. Lebih jauh kultur aturan main ini akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. 5. Kontrol Aturan main Kontrol aturan main merupakan upaya agar aturan main yang dibuat betul-betul efektif dan mengeliminasi semua bentuk korupsi. Kontrol aturan main tersebut terdiri dari tiga model, yaitu: a) Partisipasi yaitu melakukan kontrol terhadap aturan main dengan ikut serta dalam penyusunan dan pelaksanaannya. b) Oposisi yaitu mengontrol dengan menawarkan alternatif aturan main baru yang dianggap lebih layak. c) Revolusi yaitu mengontrol dengan mengganti aturan main yang dianggap tidak sesuai. Tiga model kontrol aturan main tersebut digunakan sesuai dengan sistem yang dibangun dalam suatu pemerintahan. Misalnya, dalam sistem demokrasi yang sudah mapan (established), model kontrol aturan main yang digunakan adalah partisipasi dan oposisi. J. Pendidikan Anti Korupsi Untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang bersih, diperlukan sebuah sistem pendidikan anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi. Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan anti korupsi ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis siswa. Setidaknya, ada dua tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan anti korupsi ini. Pertama untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Sehingga, pekerjaan membangun bangsa yang terseok-seok karena adanya korupsi dimasa depan tidak ada terjadi lagi. Jika korupsi sudah diminimalisir, maka setiap pekerjaan membangun bangsa akan maksimal. Tujuan kedua adalah, menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum

seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa. Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi termasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor. Gerakan bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan dukungan moral bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya. Tidak hanya itu, pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan secara sistemik di semua tingkat institusi pendidikan, diharapkan akan memperbaiki pola pikir bangsa tentang korupsi. Selama ini, sangat banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah lama diakui sebagai sebuah hal yang lumrah dan bukan korupsi. Termasuk hal-hal kecil. Misalnya, sering terlambat dalam mengikuti sebuah kegiatan, terlambat masuk sekolah, kantor dan lain sebagainya. Menurut KPK, ini termasuk salah satu bentuk korupsi, korupsi waktu. Kebiasaan tidak disiplin terhadap waktu ini sudah menjadi lumrah, sehingga perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat. Materi ini dapat diikutkan dalam pendidikan anti korupsi ini. Begitu juga dengan hal-hal sepele lainnya. Contoh lain, kebiasaan tidak mau repot ketika melakukan pelanggaran aturan lalu lintas. Ketika ditilang oleh polisi lalu lintas, banyak orang yang tanpa pikir panjang dan tidak mau repot untuk sidang di pengadilan. Sehingga secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada polisi untuk korupsi. Perbuatan ini banyak sekali ditemukan di jalan raya, dan cenderung menjadi lumrah. Sehingga memang diperlukan edukasi bahwa perbuatan suap tersebut, termasuk korupsi yang merugikan negara. Oleh karena itu, perlu pendidikan terpadu yang diselenggarakan di semua tingkatan institusi pendidikan.

Tahap Pelaksanaan Kurikulum pendidikan anti korupsi ini disusun seperti kurikulum mata pelajaran yang lain dan diagendakan dalam kurikulum pendidikan nasional. Penyusunan kurikulum dimulai dari tujuan pembelajaran umum, khusus serta indikator dan hasil belajar apa saja yang ingin dicapai setelah memperoleh pendidikan anti korupsi ini. Ada dua pilihan untuk menerapkan pendidikan anti korupsi pada sekolah dan perguruan tinggi. Pertama, menambah satu mata pelajaran baru, pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah. Kedua, melakukan integrasi pendidikan anti korupsi kedalam salah satu mata pelajaran yang ada. Mata pelajaran yang dipilih adalah mata pelajaran sosial seperti Pendidikan Kewarganegaraan. Pilihan pertama, menambahkan mata pelajaran baru tentang pendidikan anti korupsi dirasa kurang memungkinkan. Pada saat ini, siswa-siswa di sekolah telah dibebankan begitu banyak mata pelajaran. Ditambah lagi dengan pekerjaan rumah (PR) setiap mata pelajaran. Maka, tidak memungkinkan jika menambah mata pelajaran baru. Dikhawatirkan, hasilnya tidak akan maksimal dan hanya sebatas pengetahuan teori saja yang didapatkan oleh siswa. Sementara esensi dari pendidikan anti korupsi ini tidak didapatkan. Untuk tahap awal, pendidikan anti korupsi ini bisa disisipkan dalam bentuk satu pokok bahasan pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Waktu yang dibutuhkan untuk satu pokok bahasan ini antara 8 sampai 9 jam. Atau sekitar 4 sampai 5 kali pertemuan. Metoda pembelajaran yang digunakan dapat berupa ceramah, diskusi, simulasi, studi kasus dan metoda lain yang dianggap akan membantu tercapainya tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Media yang dapat digunakan seperti tabel angka korupsi dan bahkan bisa digunakan media audiovisual seperti menonton video-video yang berhubungan dengan korupsi. Melakukan studi pustaka tentang negara-negara maju yang hidup tanpa korupsi. Teori yang dipelajari pada pendidikan anti korupsi tersebut dapat langsung dipraktekan dalam sebuah kegiatan nyata. Misalnya, nilai-nilai kejujuran yang menjadi aspek capaian utama dalam pendidikan anti korupsi dapat dipraktekan dengan membangun sebuah warung kejujuran di sekolah yang bersangkutan.

Warung kejujuran adalah sebuah warung yang dikelola oleh siswa, dimana tidak ada penunggu warungnya. Semua transaksi berjalan dengan swalayan dan kesadaran membayar berapa harga barang yang di beli. Tanpa ada yang mengawasi. Semua barang ditempeli label harga dan pembeli membayar dengan sadar ke dalam sebuah kotak terbuka berisi uang. Jika uang yang dimasukan ke kotak perlu kembalian, maka si pembeli mengambil kembaliannya sendiri. Semua transaksi berjalan tanpa pengawasan, hanya berbekal kejujuran. Warung ini akan melatih kejujuran, sebuah nilai kehidupan yang menjadi cikal bakal hidup terbebas dari korupsi. Dengan adanya pendidikan anti korupsi ini, diharapkan akan lahir generasi tanpa korupsi sehingga dimasa yang akan datang akan tercipta Indonesia yang bebas dari korupsi. Harapan awal tentunya ini akan berdampak langsung pada lingkungan sekolah yaitu pada semua elemen pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa. Lingkungan sekolah akan menjadi pioneer bagi pemberantasan korupsi dan akan merembes ke semua aspek kehidupan bangsa demi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi. K. Pendidikan Anti Korupsi dalam Keluarga Walau telah dibentuk Undang-Undang Anti Korupsi kemudian berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang dikenal dengan nama KPK hingga lahirnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Pengadilan Tipikor bahkan baru-baru ini dibentuk Satgas Mafia Hukum, namun sepertinya kasus Korupsi makin marak di negeri ini. Korupsi seakan menjadi budaya yang telah mengakar dari generasi ke generasi hingga sulit untuk diberantas sampai ke akarnya namun bukan berarti tidak bisa karena seperti cerita lama bahwa batu yang keras bisa berlubang karena tetesan air, itu artinya bahwa walaupun korupsi sulit dihilangkan namun kalau terus menerus diberantas maka ia akan lenyap. Kosakata terus-menerus menjadi kunci dari sebuah keberhasilan pemberantasan korupsi karena kalau hanya sekedar cari muka dalam memberantas korupsi maka sampai kapanpun korupsi tidak akan hilang. Pemberantasan korupsi bisa dimulai dari lingkungan yang terkecil yaitu rumah kita sendiri. Kenapa harus rumah sendiri bukan dari diri sendiri ataupun juga lingkungan yang lebih luas lagi. Karena biasanya korupsi terlahir karena didikan dari

keluarga walaupun kita tidak menyadarinya. Banyak hal yang sebenarnya adalah korupsi di keluarga kita namun terkadang dia lewat begitu saja karena menganggap itu adalah hal wajar. Kenapa wajar karena kebiasaan itu seperti sebuah tradisi yang sulit dihilangkan. Misalnya, Kamu dititipi ibumu uang untuk belanja di toko dan ternyata ada uang kembaliannya namun kamu malah membelanjakan uang kembalian tersebut tanpa sepengetahuan ibumu. Itu namanya sudah korupsi. Lalu dimana letak pembelajaran korupsinya, biasanya setelah sampai di rumah, kamu akan bilang Bu, tadi uang kembaliannya saya belikan dan ibunya pun berkata Tidak apa-apa, asal belanjaan sudah dibeli. Kata-kata Tidak apa-apa menjadikan kamu merasa hal itu biasa hingga akhirnya berlanjut ketika kamu sudah punya jabatan, misalnya Kamu disuruh beli semen yang terbaik namun malah membeli semen kualitas tidak baik karena kamu berpikir yang penting semennya sudah dibeli. Atau ketika sebelum atau sesudah ulangan terkadang orangtuamu mengajak kamu ke tempat gurumu sambil membawakan bingkisan hadiah dengan harapan agar gurumu tadi memberikan nilai yang baik. Padahal itu juga merupakan bagian dari korupsi. Karena bisa saja ditiru oleh anaknya suatu hari, semisal, Ketika ingin memenangkan sebuah tender proyek tertentu ia mengirimkan hadiah pada pihak yang punya wewenang penentuan tender tersebut. Hal-hal yang mungkin sepele seperti contoh diatas mungkin adalah hal biasa namun disitulah letak kesalahan kita. Seharusnya ketika anak kita, membelanjakan uang tanpa sepengetahuan kita, ada baiknya kita beri nasehat dan jangan langsung membiarkannya begitu saja dan kalau itu diulangi nya kembali tak ada salahnya kita memberinya hukuman sebagai bentuk pembelajaran padanya bahwa mengambil uang tanpa sepengetahuan yang punya itu dilarang. Kemudian juga, jangan membiasakan datang ke tempat guru sebelum ataupun sehabis ulangan dengan membawa bingkisan hadiah karena hal itu akan memberikan contoh yang buruk pada anak kita. Jadi untuk memotong akar dari korupsi ini bisa diawali dengan menghilangkan kebiasaan-kebiasaan di rumah kita yang bisa menjadi contoh buruk bagi anak kita suatu saat nanti. Selain menghilangkan kebiasaan salah tersebut, ada baiknya kita juga memberikan pendidikan anti korupsi sejak dini namun tentu juga diimbangi dengan

pemberian contoh karena kalau hanya berkutat pada teori maka pendidikan anti korupsi hanya akan menjadi sebuah buku tanpa amal. Harus ada keseimbangan antara teori dengan praktik nyata yang kita berikan. Pemberian contoh anti korupsi dalam kehidupan nyata biasanya akan lebih membekas dalam ingatan. Pemberian contoh bisa dimulai dari dalam keluarga, misalnya berangkat kerja tepat waktu, tidak memakai kendaraan dinas untuk keperluan pribadi. Namun juga dalam pendidikan anti korupsi hal yang perlu diperhatikan adalah hati karena bagaimanapun kalau hati sudah salah maka sulit memberikan jalan lurus karena itu hindarilah makanan yang bersifat haram semisal makanan dari hasil korupsi karena kalau sudah pernah memakan hasil uang korupsi maka ia akan mendarah daging dalam tubuh kita dan hanya tinggal masalah waktu saja kitapun bisa terjerumus juga dalam lingkaran hitam. Dan ketika kita sudah terjerumus, terus memberikan nafkah serta makanan dari hasil korupsi maka istri dan anak kitapun bisa juga terjerumus dalam lingkaran itu. Sesuatu yang haram masuk ke dalam tubuh bisa mempengaruhi kejiwaan walaupun ini tidak pernah ada penelitian namun itulah yang sering terjadi dimasyarakat. Ayahnya koruptor, anaknya juga. Selain menjaga hati kita, keluarga kita juga perlu mendukung dalam hal anti korupsi karena kalau keluarga tidak mendukung maka biasanya akan sulit dilakukan. Dukungan pertama itu harus ada dari istri karena bagaimanapun dibalik kesuksesan suami selalu ada istri. Ketika istri kita termasuk orang yang materialistis maka biasanya tuntutan terhadap gaya hidup begitu tinggi yang akibatnya bila sang suami tak mampu memberikan, maka bisa saja ia mendorong suaminya untuk melakukan korupsi hanya untuk memenuhi gaya hidup istrinya. Jadi, untuk membasmi korupsi tidak bisa ditebang dari atas namun dari bawah yaitu keluarga. Penebangan itu bisa dilakukan dengan cara tidak membiasakan korupsi sejak dini atau memberikan contoh korupsi serta tentu adanya pendidikan anti korupsi. Namun dari semua itu bisa dilakukan kalau hati kita kuat dan tegar dalam menghadapi godaan lingkungan yang mungkin banyak koruptornya dan juga jangan memberikan makanan yang tidak halal kepada keluarga kita karena itu bisa mempengaruhi kejiwaan serta adanya dukungan keluarga karena bagaimanapun keluargalah yang bisa mempengaruhi seseorang dalam berpikir dan bertindak.

L. Implementasi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dalam Kehidupan Sehari-hari Ada beberapa tindak nyata yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut : a. b. c. d. Upaya pencegahan (preventif). Upaya penindakan (kuratif). Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Upaya Pencegahan (Preventif) 1) Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama. 2) Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis. 3) Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi. 4) Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua. 5) Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi. 6) Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien. 7) Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok. 8) Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya. Upaya Penindakan (Kuratif) Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK : 1) Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).

2) Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian. 3) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004). 4) Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an negara Rp 10 milyar lebih (2004). 5) Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI (2004). 6) Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005). 7) Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005). 8) Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo. 9) Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004). 10) Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005). Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat memberikan kontribusi nyata dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, masyarakat harus dididik agar: 1) Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik. 2) Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh. 3) Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional. 4) Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya. 5) Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi

me-lalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW lahir di Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba sekarang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi. M. Faktor-faktor Keberhasilan Pemberantasan Korupsi Pemberantasan korupsi dapat lebih baik dan berhasil jika didukung oleh faktorfaktor di bawah ini yaitu antara lain: 1. Political will; 2. Clean government; 3. Komitmen yang kuat dari Pemimpin dan Elit; 4. Profesional; 5. Dukungan media massa; 6. Dukungan masyarakat secara aktif. N. Hambatan atau Kendala Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Hambatan-Hambatan yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi antara lain: 1. Kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi. Hal ini mengindikasikan rendahnya komitmen pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi dan bahwa selama ini pemberantasan korupsi belum menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah, yang mencerminkan masih lemahnya political will pemerintah bagi upaya pemberantasan korupsi.

2. Kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara donor bagi program pemberantasan korupsi. Minimnya bantuan luar negeri ini merupakan cerminan rendahnya tingkat kepercayaan negara-negara donor terhadap komitmen dan keseriusan pemerintah di dalam melakukan pemberantasan korupsi. 3. Kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Dan, berita buruk yang keempat adalah rendahnya insentif dan gaji para pejabat publik. Insentif dan gaji yang rendah ini berpotensi mengancam profesionalisme, kapabilitas dan independensi hakim maupun aparat-aparat penegak hukum lainnya, termasuk dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi. 4. Terjadinya perdebatan tiada henti tentang posisi dan kedudukan hukum dari kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara. Beberapa pihak berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara adalah dapat disentuh oleh hukum pidana, sehingga pejabat negara yang korup adalah dapat digugat secara hukum, baik hukum pidana maupun perdata. Sedangkan, beberapa pihak yang lain berpendirian bahwa kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara adalah tidak tersentuh oleh hukum, sehingga pejabat-pejabat negara yang korup tersebut adalah tidak dapat digugat secara hukum, baik pidana maupun perdata. Sedangkan, beberapa pihak yang lain lagi berpendapat bahwa hukum administrasi negara merupakan satu-satunya perangkat hukum yang dapat menyentuh kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh para pejabat negara. Sayangnya, perdebatan tentang permasalahan tersebut cenderung berlarut-larut tanpa dapat memberikan pemberantasan korupsi di Indonesia. 5. Peraturan perundang-undangan yang menyangkut upaya pemberantasan korupsi mempunyai beberapa kelemahan yang terletak pada substansi peraturan perundang-undangan, baik dari aspek isi maupun aspek teknik pelaksanaannya, sehingga memungkinkan terjadinya ketimpangan dalam pemberantasan korupsi. Diantara kelemahan-kelemahan tersebut adalah: a. Tidak jelasnya pembagian kewenangan antara jaksa, polisi dan KPK dan tidak adanya prinsip pembuktian terbalik dalam kasus korupsi. solusi yang efektif bagi upaya

b. Lemahnya dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, sehingga seseorang yang dianggap mengetahui bahwa ada penyelewengan di bidang keuangan tidak bersedia untuk dijadikan saksi/memberikan kesaksian. Hambatan yang kedua berkaitan dengan kurangnya transparansi lembaga eksekutif dan legislatif terhadap berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Mekanisme pemeriksaan terhadap pejabatpejabat eksekutif dan legislatif juga terkesan sangat birokratis, terutama apabila menyangkut izin pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. c. Iintegritas moral aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang keberhasilan mereka dalam melakukan upaya

pemberantasan korupsi. d. Masalah kultur/budaya, dimana sebagian masyarakat telah memandang korupsi sebagai sesuatu yang lazim dilakukan secara turun-temurun, disamping masih kuatnya budaya enggan untuk menerapkan budaya malu. 6. Kurangnya kewibawaan pemerintah. Kurangnya kewibawaan pemerintah dimana anggota masyarakat bisa bersifat apatis terhadap segala anjuran-anjuran dan tindakan pemerintah.Sifat sifat yang demikian ini jelas bahwa ketahanan Nasional akan rapuh karena anggota masyarakat merasa dirinya tidak ikut bertanggung jawab dalam keutuhan nasional atau negara. Dalam situasi masyarakat yang demikian ini akan dapat dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik atau pihak ketiga lain yang tidak bertanggung jawab untuk merongrong kewibawaan pemerintah. 7. Kurangnya mental pejabat pemerintah. Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi ialah bahwa korupsi dapat merusak mental para pejabat pemerintah. Segala sesuatu akan dilihat dari kacamata materi saja sehingga lupa akan tugasnya sebagai pejabat pemerintah. Sebagai contoh mengenai seorang perwira menengah ABRI menjual rahasia pertahanan nasional bangsa ini kepada bangsa lain dalam hal ini kepada bangsa Rusia, dengan kata lain kedudukannya, pengetahuannya dan jabatannya dia nilai dengan materi sehingga rahasia negara yang seharusnya dia pegang teguh malah diuangkannya. Pejabat-pejabat yang bermental korupsi berpikir dalam hatinya mengenai apa yang bisa diambil negara dan bangsa ini. Berbeda dengan

apa yang dikatakan oleh J.F.Kennedy pada waktu penyumpahan beliau sebagai presiden USA Dont ask what your do for your country can do for you, but ask your self what can you do for your country yang terjemahannya sebagai berikut: janganlah kau bertanya apa yang dapat diberikan oleh Negara kepadamu tetapi tanyalah kepada dirimu apa yang dapat kau sumbangkan kepada negaramu. Pada negara ini, sebagaimana juga di negara-negara lain yang sedang berkembang ucapan J.F.Kennedy ini diputar balikan tanpa memikirkan kelanjutan hidup dari pada bangsa dan negaranya. Sesuatu hal yang sangat berbahaya lagi adalah jika sampai generasi muda ini mencontoh sifat korupsi yang berjangkit dalam masyarakat Indonesia sekarang. Jika hal ini bisa terjadi maka cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang di cita-citakan bangsa ini semakin jauh dan tipis harapan-harapan untuk tercapai. 8. Kurang tegasnya hukum. Negara Indonesia adalah negara hukum dimana segala sesuatunya harus didasarkan kepada hukum jadi bukan berdasarkan pada kekuasaan oleh karenanya terwujudnya tertib hukum merupakan suatu keharusan bagi kitasemua. Tanggung jawab akan hal ini bukan hanya terletak pada penegak hukum saja tetapi merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Bahwa cita-cita terwujudnya tertib hukum tidak akan dapat dicapai jika korupsi meraja lela di kalangan penegak hukum, sehingga hokum tidak dapat ditegakan terhadap penyelewengan atau pelaku-pelaku yang merong-rong ketertiban hukum itu. Dari kejadian-kejadian selama ini jelaslah bahwa sebagian besar penegak hukum sudah bermental korupsi sehingga menurunkan wibawanya sebagai penegak hukum.seorang yang melakukan

perbuatan yang melanggar hukum akan tetap bahagia dan tertawa sepanjang para penegak hukum masih dapat disuap dan hukum dapat dilumpuhkan dengan kekuatan uangnya. Artinya ia masih dapat membeli keadilan dan pengadilan bahkan penjara sekalipun dapat dibeli dengan kekuatan uang yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa timbul suara-suara sumbang dalam masyarakat yang mengatakan bahwa orang kaya atau pejabat kebal terhadap hukum. Keadilan dapat debelokkan sesuai dengan seleranya sepanjang para penegak hukum tersebut masih dapat disuap. Hukum dan keadilan telah dapat diombang-ambingkan oleh uang, sehingga berubah menurut selera si penyuap dan timbullah kepincangankepincangan dan keanehan-keanehan penegak hukum dalam masyarakat. Fakta-

fakta korupsi di atas menyebabkan pembangunan dan pembinaan hukum nasional akan terhambat. Mental dan karakter para pejabat penegak hukum merupakan faktor utama bagi pembinaan hukum nasional dan masyarakat adil dan makmur.

RANGKUMAN 1) Bentuk korupsi berbacam-macam, yang umum dikenal adalah material corruption, political corruption, legislation corruption, dan intelectual corruption. 2) Perbuatan korupsi tidak terbatas pada perbuatan mencuri uang rakyat saja (sektor publik), karena dalam kenyataannya korupsi itu terjadi di baik di sektor publik maupun di sektor swasta. 3) Dilihat dari sifat perbuatannya, secara sosiologis korupsi tidak terbatas pada perbuatan menggunakan uang negara secara (material corruption) tidak sah seperti persepsi masyarakat pada umumnya, tetapi perbuatan korupsi adalah perilaku yang menyimpang. 4) Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengutarakan bahwa penyebab terjadinya korupsi dibagi menjadi tiga aspek, yaitu: aspek individu pelaku, aspek organisasi, dan aspek tempat individu dan organisasi berada.

5) Korupsi disebabkan oleh berbagai sebab yang saling berkaitan satu sama lain, dan
intinya disebabkan adalah berbagai sistem yang jelek, seperti: sistem hukum, sistem politik, sistem rekruitmen pegawai yang jelek, sistem sosial yang sangat permisif, dan sistem budaya yang berorientasi vertikal. 6) Korupsi tidak semata-mata mengurangi dana yang masuk ke kas negara, tetapi akibat yang ditimbulkan sangatlah mengerikan.

7) Titik berat upaya pencegahan korupsi adalah melalui: Reformasi Birokrasi, promosi
penerapan prinsip-prinsip Good Governance, pendidikan anti korupsi, dan pemberdayaan masyarakat. 8) Sepuluh prinsip Good Governance, antara lain: partisipasi, penegakan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efesiensi & efektifitas, dan profesionalisme. 9) Prinsip-prinsip anti korupsi terdiri dari transparansi, akuntabilitas, kewajaran, aturan main, dan kontrol aturan main. 10) Pendidikan anti korupsi harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.

11) Ada dua tujuan yang ingin dicacai dari pendidikan anti korupsi ini. Pertama untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Kedua adalah, menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa. 12) Untuk memotong akar dari korupsi ini bisa diawali dengan menghilangkan kebiasaan-kebiasaan di rumah kita yang bisa menjadi contoh buruk bagi anak kita suatu saat nanti. Selain menghilangkan kebiasaan salah tersebut, ada baiknya kita juga memberikan pendidikan anti korupsi sejak dini namun tentu juga diimbangi dengan pemberian contoh. 13) Ada beberapa tindak nyata yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut : upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa, dan upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). 14) Pemberantasan korupsi dapat lebih baik dan berhasil jika didukung oleh faktorfaktor di bawah ini yaitu antara lain: political will, clean government, komitmen yang kuat dari Pemimpin dan Elit, profesional, dukungan media massa, dan dukungan masyarakat secara aktif. 15) Hambatan-Hambatan yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi antara lain: kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi, kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara donor bagi program pemberantasan korupsi, kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi, terjadinya perdebatan tiada henti tentang posisi dan kedudukan hukum dari kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara, peraturan perundang-undangan yang

menyangkut upaya pemberantasan korupsi mempunyai beberapa kelemahan yang terletak pada substansi peraturan perundang-undangan, kurangnya kewibawaan pemerintah, kurangnya mental pejabat pemerintah, dan kurang tegasnya hukum.

LATIHAN

1. Jelaskan pengertian korupsi menurut pendapat anda berdasarkan teori-teori mengenai istilah dan definisi korupsi yang telah anda pahami! 2. Sebutkan dan jelaskan macam-macam bentuk korupsi! 3. Sebutkan lima contoh perilaku menyimpang yang terjadi di Perguruan Tinggi yang termasuk dalam lingkup korupsi! 4. Sebutkan dan jelaskan faktor internal (dari dalam diri sendiri/individu) dan faktor eksternal (dari orang lain dan lingkungan) yang menyebabkan terjadinya korupsi! 5. Di Indonesia, penyebab utama korupsi adalah jeleknya sistem-sistem yang berlaku. Sebutkan dan jelaskan secara singkat sistem-Sistem yang dianggap jelek tersebut! 6. Sebutkan akibat/dampak korupsi bagi bidang politik, sosial, dan budaya! 7. Menurut Anda, bagaimanakah bentuk pemberdayaan masyarakat yang paling efektif dalam rangka upaya pencegahan tindak korupsi? 8. Sebut dan jelaskan beberapa prinsip goodgovernance yang relevan jika dikaitkan dengan pemberantasan korupsi di negeri kita! 9. Sebut dan jelaskan langkah-langkah penerapan prinsip kewajaran dalam kaitannya dengan pendidikan antikorupsi! 10. Salah satu contoh praktik pendidikan anti korupsi dalam lingkungan sekolah adalah Kantin Kejujuran. Apa yang dimaksud dengan Kantin Kejujuran? Apa saja hambatan dalam mengembangkan Kantin Kejujuran? Jelaskan! 11. Misalkan Anda seorang PNS yaitu sebagai auditor BPK RI. Suatu ketika Anda dan Tim Anda diminta memeriksa/mengaudit suatu proyek di luar Pulau Jawa selama seminggu. Setibanya di sana, Anda dan Tim Anda diberikan fasilitas serba mewah dan tambahan uang saku oleh Pimpinan Proyek yang melebihi fasilitas yang diberikan oleh Instansi anda (BPK RI). Bagaimana sikap Anda dalam menghadapi situasi tersebut? Jelaskan! 12. Bagaimanakah cara media masa untuk mendukung pembrantasan korupsi di Indonesia? 13. Apakah pemberian insentif dan gaji yang tinggi kepada para pejabat dapat memberantas korupsi? Jelaskan pendapat anda dengan membandingkan teori dengan fakta yang terjadi (berikan alasannya)!

GLOSSARIUM

Bailout : istilah ekonomi dan keuangan digunakan untuk menjelaskan situasi dimana sebuah entitas yang bangkrut atau hampir bangkrut, seperti perusahaan atau sebuah bank diberikan suatu injeksi dana segar yang likuid, dalam rangka untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Good governance : cara yang dapat digunakan oleh suatu negara untuk melaksanakan wewenangnya dalam menyediakan barang dan jasa publik. Intelectual corruption : manipulasi informasi untuk mencapai tujuan tertentu yang semuanya berdampak merugikan masyarakat, misalnya manipulasi oleh pemerintah tentang data statistik. Konsumtif : perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Material corruption : korupsi material terkait menggunakan uang secara tidak berhak untuk kepentingan sendiri. Molekulisasi kekuasaan : Unit kecil dalam organisasi yang memiliki kekuasaan tanpa dapat dikontrol oleh atasannya. Unit kecil ini dapat melakukan apa saja yang merugikan masyarakat. Political corruption : korupsi terkait berbagai kebijakan. Stakeholder : pemangku kepentingan atau segenap pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang diangkat.

DAFTAR PUSTAKA

http://antikorupsi.org/ http://www.bpkp.go.id/ http://www.disdik-kepri.com/index.php?option=com_content&view=article&id=57:pendidikan-antikorupsi-masuk-kurikulum&catid=33:berita&Itemid=77 http://generasibersih.0fees.net/?page_id=7 http://www.kpk.go.id/ Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

BAB ATURAN TENTANG ANTI KORUPSI

10

Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai peraturan tentang anti korupsi serta jenisjenis korupsi dan sanksinya, sehingga termotivasi untuk membentuk karakter anti korupsi dalam dirinya

A. Peraturan Tentang Anti Korupsi Banyak peraturan yang membahas mengenai anti korupsi, berikut beberapa diantaranya: 1. Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Unsur-Unsurnya : a. Setiap orang, meliputi: 1) Pegawai Negeri Pasal 92 KUHP UU No.30 Tahun 1999, jo UU No.20 Tahun 2001 UU No.28 Tahun 1999 Pasal 1 (2) UU No.31 Tahun 1999

2) TNI / POLRI 3) Swasta Pasal 1 (3) UU No.31 Tahun 1999

4) Korporasi Adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Permasalahan yang sering timbul adalah delik penyertaan (deelneming), bentuk deelneming yang terjadi :

a)

Medeplegen Antara sesama peserta ada kesadaran bekerja sama, dan ada kerjasama secara fisik. Peran dan kualitas antar peserta bisa sama dan bisa tidak sama. Dalam hal turut serta melakukan disyaratkan bahwa setiap pelaku mempunyai opzet dan pengetahuan yang ditentukan, untuk dapat menyatakan telah bersalah turut serta melakukan haruslah diselidiki dan terbukti bahwa tiap-tiap peserta itu mempunyai pengetahuan dan keinginan untuk melakukan kejahatan itu. Dalam perkara korupsi harus diperhatikan jabatan/kedudukan para peserta guna menentukan kapan berkas perkara harus displit dan kapan tidak.

b)

Doenplegen Tidak ada kesadaran bekerja sama, dan bisa tidak ada kerja sama secara fisik. Yang menyuruh melakukan dipertanggung jawabkan, yang melakukan tidak dipertanggung jawabkan. Berkas perkara dan surat dakwaan satu.

a)

Uitlokking Ada kesadaran bekerja sama, tapi tidak ada kerja sama secara fisik. Harus menggunakan sarana tersebut secara limitatif pada pasal 55 (1)ke 2 KUHP. Berkas perkara harus displit, sehingga antar sesama peserta dapat saling menyaksikan.

d)

Medeplichtig Tidak ada kesadaran bekerja sama, tapi bisa ada kerja sama secara fisik. Kesempatan, sarana atau keterangan itu diberikan pada si pelaku telah terdapat maksud untuk melakukan kejahatan (H.R.6 Maret 1939 no. 897). Berkas perkara antara pelaku dan pembantu displit

b.

Secara melawan hukum Melawan hukum, dapat berarti :

1)

Bertentangan dengan hukum

2) 3)

Bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subyektif seseorang Tanpa hak atau tidak berwenang Jadi sifat melawan hukum meliputi : - Melawan hukum dalam arti formil, kalau perbuatan telah mencocoki semua

unsur delik. - Melawan hukum dalam arti materiil, kalau perbuatan oleh masyarakat dirasakan tidak patut, tercela yang menurut rasa keadilan masyarakat harus dituntut. c. Melakukan perbuatan Selama ini unsur melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dianggap hanya satu unsur saja, sehingga yang dibuktikan hanya unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, tanpa membuktikan apakah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan tujuan atau dikehendaki. Unsur melakukan perbuatan sama maknanya dengan unsur dengan maksud pada Pasal 362 KUHP, yang artinya dikehendaki atau sengaja, yang

merupakan unsur subyektif pada pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 ini. Membuktikan unsur melakukan perbuatan dengan menggunakan teori kesengajaan, yaitu Wilstheorie dan Voorstellingtheorie. Bagian inti suatu delik meliputi unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif meliputi unsur Lalai/Culpa. Kesalahan yang terdiri dari Sengaja/Opzet dan

d.

Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi Pengertian memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

harus dikaitkan dengan Pasal 37 ayat (3) dan (4) UU No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU No. 20 tahun 2001 : Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau

korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan, yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk

memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi : (Pasal 38B ayat (1) UU No. 20 tahun 2001). Dalam hal terdakwa tidak bisa membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, maka harta benda tersebut dianggap diperoleh dari tindak pidana korupsi. Merupakan beban pembuktian terbalik. (Pasal 38B ayat (2) UU no. 20 tahun 2001).

e.

Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Berbeda dengan unsur Pasal 1 ayat (1)a UU No. 3 tahun 1971 yang

merupakan delik materiil, maka Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 ini merupakan delik formil. Dengan diubah menjadi delik formil maka pengembalian hasil korupsi kepada negara tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana terdakwa karena tindak pidana telah selesai. (Pasal 4 UU ini). Pasal 2 UU ini pada dasarnya sama dengan Pasal 1 ayat (1) a UU No. 3 tahun 1971; Perbedaan terletak pada subyek delik Pasal 2 diperluas dan Unsur dapat merugikan keuangan negara pada Pasal 2 merupakan delik formil sementara pada Pasal 1 ayat (1)a merupakan delik materiil. 2. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Unsur-Unsurnya : a. Setiap orang Pada dasarnya sama dengan unsur setiap orang pada Pasal 2 di atas. Yang perlu diperhatikan kalau terjadi delik penyertaan, antara pejabat dan bukan

pejabat, antara yang punya kewenangan dan yang tidak punya kewenangan. Pastikan kapan perkara displit dan kapan tidak dalam hal terjadi delik penyertaan. b. Dengan tujuan Unsur ini juga sama dengan unsur melakukan perbuatan pada Pasal 2 di atas, sehingga penyidik maupun penuntut umum harus bisa membuktikan adanya unsur sengaja untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan. c. Menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi Unsur itupun pada dasarnya sama dengan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi pada Pasal 2 di atas. Jadi untuk membuktikan unsur ini hendaknya dihubungkan dengan Pasal 37 ayat (3) dan (4) UU No. 31 tahun 1999 dan Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU No. 20 tahun 2001. Unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi tidak selalu dalam bentuk uang akan tetapi dapat meliputi pemberian, hadiah, fasilitas, dan kenikmatan lainnya.

d. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan Unsur ini merupakan unsur melawan hukum dalam arti sempit atau khusus. Unsur ini merupakan unsur alternatif dari 6 kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu : 1. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan 2. Menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan 3. Menyalahgunakan kesempatan karena jabatan 4. Menyalahgunakan kesempatan karena kedudukan 5. Menyalahgunakan sarana karena jabatan, atau 6. Menyalahgunakan sarana karena kedudukan

Dalam praktik hampir tidak pernah kita jumpai pilihan salah satu dari enam pilihan unsur yang tepat berdasarkan fakta yang ada, baik dalam berkas perkara hasil penyidikan, surat dakwaan, surat tuntutan bahkan dalam pertimbangan putusan pengadilan sekalipun. Hal ini disebabkan karena sulitnya membedakan antara kewenangan dan kesempatan, demikian juga antara jabatan dan kedudukan. Putusan MARI Tanggal 17-02-1992 No. 1340K/Pid/1992, memperluas pengertian Unsur Pasal 1 ayat (1).b UU No.3 Tahun 1971, dengan cara mengambil alih pengertian menyalahgunakan kewenangan yang ada Pasal 53 ayat (2) b UU No. 5 Tahun 1986 sehingga unsur menyalahgunakan kewenangan mempunyai arti yang sama dengan pengertian perbuatan melawan hukum Tata Usaha Negara yaitu, bahwa pejabat telah menggunakan kewenangannya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang itu. e. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Unsur ini juga merupakan unsur alternatif dari 2 (dua) pilihan kemungkinan yang bisa terjadi. Penjelasan mengenai unsur ini sama dengan penjelasan unsur yang sama pada Pasal 2 di atas. 3. Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 Unsur-unsurnya : a. Setiap Orang b. Melakukan tindak pidana Pasal 209 KUHP 4. Pasal 209 ayat (1) ke 1 KUHP Unsur-Unsurnya : a. Barang Siapa b. Memberikan hadiah atau janji c. Kepada Pegawai Negeri d. Dengan Maksud e. Untuk menggerakkannya melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu f. Dalam Tugasnya

g. Bertentangan Dengan Kewajibannya

5. Pasal 209 ayat (2) ke 2 KUHP Unsur-Unsurnya : a. Barang Siapa b. Memberikan hadiah atau janji c. Kepada Pegawai Negeri d. Karena Telah Berbuat Sesuatu atau Mengalpakan sesuatu e. Dalam Jabatannya f. Bertentangan Dengan Kewajibannya

6. Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 ayat (1) a Unsur-Unsurnya : a. Setiap Orang b. Memberikan atau menjanjikan sesuatu c. Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara d. Dengan Maksud e. Berbuat atau Tidak Berbuat Sesuatu dalam Jabatannya f. Yang Bertentangan Dengan Kewajibannya

7. Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 ayat (1) b Unsur-Unsurnya : a. Setiap Orang b. Memberikan sesuatu c. Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara d. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban e. Dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya

8. Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 ayat (2) Unsur-Unsurnya : a. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara b. Yang Menerima Pemberian atau Janji c. Dimaksud Dalam Ayat (1) huruf a atau b

9. Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 Unsur-unsurnya : a. Setiap Orang b. Melakukan tindak pidana Pasal 418 KUHP

10. Pasal 418 KUHP Unsur-unsurnya : a. Pegawai negeri b. Menerima pemberian atau janji c. Yang diketahui atau Patut harus diduganya d. Pemberian atau janji ada hubungan dengan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki karena jabatannya atau menurut anggapan orang yang memberikan pemberian atau janji ada hubungan dengan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki karena jabatannya

11. Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 Unsur-unsurnya : a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara b. Menerima hadiah atau janji Yang dimaksud dengan pemberian tidak harus dalam bentuk uang akan tetapi yang penting mempunyai nilai. Pemberian atau janji harus diterima, kalau ditolak atau tidak diterima maka yang memberikan yang dapat dipidana menurut Pasal 5 ayat (1) apabila maksudnya supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau mengabaikan sesuatu dalam jabatannya bertentangan dengan kewajibannya. Orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara menurut KUHP, tidak dipidana.

Lain halnya menurut Pasal 1 (1) d UU No. 3 Tahun 1971 : Orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukannya itu.

c. Diketahui atau patut diduga Unsur ini merupakan unsur sengaja yang harus dibuktikan. Tersangka atau terdakwa harus tahu bahwa pemberian atau janji diberikan kepadanya karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi cq menerima hadiah walaupun menurut anggapannya uang yang diterima itu dalam hubungannya dengan kematian keluarganya, lagi pula penerima barang-barang itu bukan terdakwa melainkan isteri dan anak-anak terdakwa. (M.A. 19 Nop 1974, No. 77 K/Kr/1973)

d. Hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

12. Pasal 12 a UU No. 20 Tahun 2001 Unsur-unsurnya : a. Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara b. Menerima hadiah/janji c. Padahal diketahui, atau patut diduga d. Hadiah/janji tersebut diberikan untuk menggerakan e. Agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu f. Dalam jabatannya

g. Bertentangan dengan kewajibannya

13. Pasal 12 b UU No. 20 Tahun 2001 Unsur-unsurnya : a. Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara b. Menerima hadiah c. Padahal diketahui, atau patut diduga d. Hadiah/janji tersebut diberikan sebagai akibat/disebabkan e. Telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu f. Dalam jabatannya

g. Bertentangan dengan kewajibannya Pasal 12 a dan b UU No. 20 Tahun 2001Perumusan deliknya sama dengan Pasal 419 ke 1 dan 2 KUHP

14. Pasal 419 ke 1 KUHP Unsur-unsurnya : a. Pegawai negeri b. Menerima suatu pemberian atau janji c. Yang diketahuinya d. Pemberian atau janji itu telah diberikan kepadanya untuk menggerakan dirinya e. Agar ia melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu f. Bertentangan dengan kewajiban

g. Dalam jabatannya

15. Pasal 419 ke 2 KUHP Unsur-unsurnya : a. Pegawai negeri b. Menerima suatu pemberian c. Yang diketahuinya d. Pemberian itu telah diberikan kepadanya e. Karena telah melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu

f.

Bertentangan dengan kewajiban

g. Dalam jabatannya

16. Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 Unsur unsurnya : a. Setiap Orang b. Memberi hadiah atau Janji c. Kepada Pegawai Negeri d. Dengan mengingat Kekuasaan atau Wewenang yang melekat pada hadiah atau janji dianggap

jabatannya / kedudukannya ATAU pemberi

melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. B. Jenis-jenis Korupsi dan Sanksinya 1. Korupsi yang merugikan keuangan negara. Terdapat dua bentuk tindakan Pegawai Negeri Sipil yang berupa korupsi yang merugikan keuangan negara, yaitu: a. Mencari untung dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Sebuah tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) setiap orang; 2) memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi; 3) dengan cara melawan hukum; 4) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Sanksi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar. b. Menyalahgunakan jabatan utuk mencari keuntungan dan merugikan negara. Sebuah tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) setiap orang;

2) memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi; 3) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana; 4) yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; 5) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar.

2. Korupsi yang berhubungan dengan suap menyuap a. Menyuap pegawai negeri yang kewajiban kerjanya berhubungan langsung dengan kepentingan penyuap tersebut. Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) setiap orang; 2) memberikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu; 3) kepada pegawai negeri ataupun penyelenggara negara; 4) dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuai dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajiban. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (I) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp. 250 juta. b. Menyuap pegawai negeri yang kewajiban kerjanya tidak berhubungan secara langsung dengan kepentingan penyuap tersebut. Perbedaan jenis korupsi ini dengan poin sebelumnya adalah pada jenis korupsi ini kewajiban kerja pegawai negeri yang disuap tidak berhubungan langsung dengan kepentingan yang diminta oleh penyuap kepada pegawai negeri tersebut. Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut:

1) setiap orang; 2) memberikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu; 3) kepada pegawai negeri ataupun penyelenggara negara; 4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (I) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp. 250 juta. c. Memberi hadiah ke pegawai negeri karena jabatannya. Jenis ini adalah variasi dari jenis korupsi pada poin sebelumnya. Perbedaannya adalah penyuapan dilakukan kepada seorang pejabat karena mengetahui akan kewenangan dan kekuasaan yang dapat menguntungkan penyuap. Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) setiap orang; 2) memberikan hadiah atau janji; 3) kepada pegawai negeri; 4) dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap telah melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp. 150 juta. d. Pegawai negeri menerima suap. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) pegawai negeri atau penyelenggara negara;

2) menerima pemberian atau janji; 3) sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp. 250 juta. e. Pegawai negeri menerima suap agar melakukan/tidak melakukan sesuatu. Korupsi jenis ini adalah penajaman dari jenis korupsi pada poin 2d. Perbedaannya adalah si pegawai negeri dianggap bersalah karena menerima sogokan atau janji yang dia terima diberikan supaya dia mau melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) pegawai negeri ataup penyelenggara negara; 2) menerima hadiah atau janji; 3) diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

menggerakannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya 4) patut diduga bahwa agar hadiah atau janji sesuatu tersebut dalam diberikan jabatannya untuk yang

menggerakannya

melakukan

bertentangan dengan kewajibannya. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar. f. Pegawai negeri menerima suap karena tindakan yang telah dilakukannya. Serupa dengan jenis korupsi pada poin 2e, namun perbedaannya ada pada tindakan si penerima suap. Pegawai negeri (penerima suap) dianggap korupsi karena hadiah atau janji yang dia terima diberikan, karena ia telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 12 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) pegawai negeri ataup penyelenggara negara; 2) menerima hadiah; 3) diketahuinya bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya 4) patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar. g. Pegawai negeri menerima suap karena jabatan Dalam hal ini, suap atau sogokan diberikan karena adanya kekuasaan dari pegawai negeri yang disuap yang dapat menguntungkan penyuap. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) pegawai negeri ataup penyelenggara negara; 2) menerima hadiah; 3) diketahuinya; 4) patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pikiran. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp. 250 juta. h. Menyuap hakim. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (I) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) setiap orang; 2) memberi atau menjanjikan sesuatu; 3) kepada hakim; 4) dengan maksud mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 15 tahun atau denda maksimal Rp. 750 juta. i. Menyuap advokat. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (I) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) setiap orang; 2) memberi atau menjanjikan sesuatu; 3) kepada advokat yang menghadiri sidang pengadilan; 4) dengan maksud mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 15 tahun atau denda maksimal Rp. 750 juta. j. Advokat menerima suap. Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 12 huruf d UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) advokat yang menghadiri sidang pengadilan; 2) menerima hadiah atau janji; 3) diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar. k. Hakim menerima suap Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 12 huruf c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) Hakim; 2) menerima hadiah atau janji; 3) diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar. l. Hakim dan advokat menerima suap. Sesuai pasal 6 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) Hakim atau advokat; 2) Yang menerima pembayaran atau janji; 3) Sebagaimana pasal 6 ayat 1 huruf a atau huruf b. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 15 tahun atau denda maksimal Rp. 750 juta. 3. Korupsi yang berhubungan dengan penyalahgunaan jabatan. a. Pegawai negeri menyalahgunakan penyalahgunaan uang. Hal ini diatur dalam pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 yang menjelaskan unsur-unsur korupsi jenis ini sebagai berikut: 1) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan untuk menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu; 2) dengan sengaja; penggunaan uang atau membiarkan

3) Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu; 4) Yang disimpan karena jabatannya. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 15 tahun atau denda maksimal Rp. 750 juta. b. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi. Pemeriksaan administrasi dalam hal ini memiliki arti yang luas, mulai dari pemeriksaan keuangan hingga pemeriksaan jumlah peralatan kantor. Demikian halnya dengan buku, buku dalam hal ini memiliki arti luas, mulai dari laporan keuangan, buku besar, hingga daftar peralatan kantor. Suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut: 1) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu; 2) dengan sengaja; 3) memalsu; 4) buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan akuntansi. Hal tersebut diatur dalam pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp. 250 juta. c. Pegawai negeri menghancurkan bukti. Bukti, dapat berupa akta, surat, atau daftar yang dipakai sebagai bukti atas suatu benda atau kegiatan. Menurut pasal 10 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001, unsur-unsur dalam korupsi jenis ini adalah: 1) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu; 2) dengan sengaja; 3) menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai;

4) barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk menyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang; 5) yang dikuasainya karena jabatannya. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp. 350 juta. d. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti. Menurut pasal 10 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001, unsur-unsur dalam korupsi jenis ini adalah: 1) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu; 2) dengan sengaja; 3) membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai; 4) barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana disebut pada Pasal 10 huruf a. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp. 350 juta. e. Pegawai negeri membantu orang lain merusak bukti. Menurut pasal 10 huruf c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001, unsurunsur dalam korupsi jenis ini adalah: 1) Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu; 2) dengan sengaja; 3) membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai; 4) barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana disebut pada Pasal 10 huruf a. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp. 350 juta. 4. Korupsi yang berhubungan dengan pemerasan. a. Pegawai negeri memeras karena kekuasaannya.

Pemerasan dalam jenis korupsi ini adalah pemerasan yang paling mendasar, dalam hal ini seorang pegawai negeri mempunyai kekuasaan sehingga dia memaksa orang lain untuk memberi atau melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya. Unsur-unsur korupsi jenis ini menurut pasal 12 huruf e UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 adalah: 1) pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2) dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain; 3) secara melawan hukum; 4) memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya; 5) menyalahgunakan kekuasaan. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar. b. Pegawai negeri memeras dengan alasan imbalan atas jasanya. Korupsi jenis ini hampir sama dengan yang sebelumnya, hanya saja kali ini pegawai negeri memeras dengan alasan uang atau pemberian illegal itu adalah bagian dari perantaraan atau hak dia, padahal kenyataannya tidak demikian. Unsur-unsur korupsi jenis ini menurut pasal 12 huruf e UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 adalah: 1) pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2) pada waktu menjalankan tugas; 3) meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang; 4) seolah-olah merupakan utang kepada dirinya; 5) diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar. c. Pegawai negeri memeras pegawai negeri lain. Unsur-unsur korupsi jenis ini menurut pasal 12 huruf f UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 adalah: 1) pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2) pada waktu menjalankan tugas;

3) meminta atau menerima pekerjaan, atau memotong pembayaran; 4) seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum memiliki utang kepada dirinya; 5) diketahuinya bahwa hal tersebut bukanlah merupakan utang. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar. 5. Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan. a. Pemborong atau kontraktor curang (dalam proyek pembangunan). Korupsi jenis ini melibtkan kecurangan dalam proyek bangunan, khususnya yang melibatkan si pemborong, tukang, atau pemilik took bahan bangunan. Unsur-unsur korupsi jenis ini menurut pasal 7 ayat (I) huruf a UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 adalah: 1) Pemborong, ahli bangunan, atau penjual barang bangunan; 2) Melakukan perbuatan curang; 3) Pada waktu membuat bangunan atau waktumenyerahkan bangunan; 4) Yang dapat membahayakan keamanan orang atau keamanan barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp. 350 Juta. b. Pengawas proyek membiarkan anak buah melakukan kecurangan. Unsur-unsur korupsi jenis ini menurut pasal 7 ayat (I) huruf b UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 adalah: 1) Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bangunan; 2) Membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bangunan; 3) Dilakukan dengan sengaja; 4) Sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (I) huruf a.. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp. 350 Juta. c. Kecurangan pada rekanan TNI atau Polri.

Unsur-unsur korupsi jenis ini menurut pasal 7 ayat (I) huruf c UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 adalah: 1) Setiap orang; 2) Melakukan perbuatan curang; 3) Pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI dan atau kepolisian negara RI; 4) Dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp. 350 Juta. d. Pengawas rekanan TNI atau Polri membiarkan kecurangan. Unsur-unsur korupsi jenis ini menurut pasal 7 ayat (I) huruf d UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 adalah: 1) Orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau kepolisian RI; 2) Membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud pasal 7 ayat (I) huruf c; 3) Dilakukan dengan sengaja. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp. 350 Juta. e. Penerima barang TNI atau Polri membiarkan kecurangan. Unsur-unsur korupsi jenis ini menurut pasal 7 ayat (2) huruf c UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 adalah: 1) Orang yang bertugas menerima penyerahan bahan bangunan atau penyerahan barang keperluan TNI dan atau kepolisian RI; 2) Membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud pasal 7 ayat (I) huruf a atau c. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 7 tahun atau denda maksimal Rp. 350 Juta. f. Pegawai negeri menyalahgunakan tanah milik negara hingga merugikan orang lain.

Unsur-unsur korupsi jenis ini menurut pasal 12 huruf h UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 adalah: 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2) Pada waktu menjalankan tugas menggunakan tanah negara yang diatasnya adalah hak pakai; 3) Seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 4) Telah merugikan yang berhak; 5) Diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar. 6. Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan. Tindakan yang tergolong ke dalam jenis korupsi ini adalah ikut sertanya pegawai negeri menjadi peserta tender pengadaan barang atau jasa untuk negara. Seharusnya, orang atau badan yang ditunjuk untuk melakukan pengadaan barang atau jasa ditunjuk melalui seleksi yang berjalan dengan bersih dan jujur. Unsur-unsur korupsi jenis ini dijelaskan dalam Pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yaitu: a. pegawai negeri atau penyelenggara negara; b. dengan sengaja; c. langsung atau tidak langsung turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau, persewaan; d. pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar.

7. Korupsi yang berhubungan dengan gratifikasi(hadiah). Salah satu bentuk korupsi ini adalah pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melapor ke KPK.

Berdasarkan penjelasan Pasal 12B, ayat 1, UU No.20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/ 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Sebuah tindakan dapat dikategorikan ke dalam jenis korupsi ini jika memenuhi unsur sebagai berikut. 1) Pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2) Menerima gratifikasi; 3) Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya; 4) Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan pada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. Tindak korupsi jenis ini dijelaskan dalam Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dan Pasal 12C UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Sangsi terhadap pelaku korupsi jenis ini adalah hukuman penjara maksimal 20 tahun atau denda maksimal Rp. 1 Milyar.

c. Membentuk Pribadi Anti Korupsi Pendidikan antikorupsi adalah perpaduan pendidikan nilai dan karakter. Sebuah karakter yang dibangun di atas landasan kejujuran, integritas, dan keluhuran. Nilainilai dasar yang dapat membentuk suatu individu menjadi pribadi anti korupsi antara lain: Jujur Jujur jika diartikan secara baku adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Disiplin

Merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang dirasakan menjadi tanggung jawab. Tanggung jawab Tanggung jawab adalah sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima sesuatu yang di namakan hak. Hidup sederhana Sederhana adalah sebuah kata dengan banyak makna, tergantung bagaimana bunyi kalimat yang menyertainya. Sederhana bisa berarti apa adanya atau seadanya saja. Maka dengan menerapkan hidup sederhana orang tidak akan mencari materi secara berlebihan yang kerap kali dikesampingkan halal atau haramnya. Kerja keras Arti kerja keras adalah berusaha dengan sepenuh hati dengan sekuat tenaga untuk berupaya mendapatkan keingingan pencapaian hasil yang maksimal pada umumnya. Mandiri Mandiri dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berdiri dikaki sendiri (berdikari) dan tidak mengandalkan orang lain untuk mencapai suatu tujuan. Adil Adil sering diartikan sebagai sikap moderat, obyektif terhadap orang lain dalam memberikan hukum, sering diartikan pula dengan persamaan dan keseimbangan dalam memberikan hak orang lain, tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi. Peduli dengan sesama Peduli dengan sesama dapat diartikan dengan perbuatan yang

mengindahkan lingkungan dan tidak egois. Dengan begitu orang tidak akan melakukan suatu perbuatan semata-mata atas kepentingannya sendiri. Berani menegakkan kebenaran

Berani menegakkan kebenaran adalah suatu sikap tidak takut maupun gentar saat kebenaran itu harus ditegakkan. Kita mengetahui, korupsi bisa timbul karena dua sebab. Sebab pertama, korupsi karena kebutuhan (corruption by need). Korupsi yang timbul ketika penghasilan tidak lagi bisa menanggung kebutuhan dasar sehari-hari. Jalan keluarnya biasanya dengan mengambil sikap menyimpang. Melakukan korupsi. Sebab kedua, korupsi karena keserakahan (corruption by greed). Tidak puas dengan satu gunung emas, cari gunung emas kedua dan ketiga. Sudah punya rumah, ingin motor. Sudah ada motor, mau mobil. Mobil terbeli, ingin mobil mewah. Kedua jenis korupsi tersebut, korupsi karena kebutuhan maupun karena kerakusan, memang tak bisa ditolerir. Namun, penanganan keduanya mengharuskan cara berbeda. Korupsi karena kebutuhan timbul karena kondisi obyektif yang tidak mendukung. Karena sistem yang tidak memberikan harapan kesejahteraan. Oleh sebab itu, perbaikilah sistem. Sementara, korupsi karena kerakusan disebabkan kondisi subyektif. Kondisi internal seseorang. Adanya sifat tamak, tidak puas, dan keinginan memperkaya diri sendiri. Korupsi yang dikerjakan oleh mereka yang nuraninya sudah buta. Ingin sejahtera tanpa mau kerja keras. Karenanya, untuk memberantas korupsi jenis ini, perbaikilah orangnya. Korupsi karena tamak lebih bahaya ketimbang korupsi karena kebutuhan. Kerakusan, dusta, ketidakjujuran merupakan perilaku yang bisa terbentuk sejak kecil. Sejak masa kanak-kanak. Perilaku ini adalah kumpulan dari apa yang dialami dalam proses hidup, mulai usia dini hingga dewasa. Teori psikologi kognitif menguatkan argumen ini. Menurut psikologi kognitif, apa yang kita dengar, lihat, pikirkan, rasakan, dan alami akan mempengaruhi cara pandang dan perilaku kita. Dengan begitu pengalaman masa lalu dan juga pendidikan masa kini sangat berperan dalam membentuk karakter anti korupsi. Indonesia sebaiknya mencontoh Jepang dalam penerapan pendidikan karakter. Di Jepang, pendidikan karakter diajarkan dalam pelajaran seikatsuka atau

pendidikan tentang kehidupan sehari-hari. Siswa SD diajari tatacara menyeberang jalan, adab di dalam kereta, yang tidak saja berupa teori, tetapi guru juga mengajak mereka untuk bersama naik kereta dan mempraktikkannya. Norma dalam

masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto dan Budha, tetapi menariknya agama ini tidak diajarkan di sekolah dalam bentuk pelajaran wajib, seperti halnya di Indonesia. Nilai-nilai agama diwujudkan dalam kehidupan seharihari di sekolah. Karenanya, pendidikan moral di sekolah Jepang tidak diajarkan sebagai mata pelajaran khusus, tetapi diintegrasikan dalam semua mata pelajaran. (Murni Ramli : 2008) Budaya malu pada masyarakat pun dicontohkan oleh para pemimpin Jepang sebagai upaya mendidik warganya mewujudkan kultur antikorupsi. Para pemimpin Jepang berani mundur dari jabatannya ketika tersandung kasus korupsi. Perilaku birokrat Jepang merupakan pembelajaran yang sungguh mulia dan elegan guna mendukung terwujudnya kultur antikorupsi secara jitu.

RANGKUMAN 1. Peraturan-peraturan yang mengatur mengenai anti korupsi adalah: a. Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 b. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 c. Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 d. Pasal 209 ayat (1) ke 1 KUHP e. Pasal 209 ayat (2) ke 2 KUHP f. Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 ayat (1) a

g. Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 ayat (1) b h. Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 ayat (2) i. j. Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 418 KUHP

k. Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 l. Pasal 12 a UU No. 20 Tahun 2001

m. Pasal 12 b UU No. 20 Tahun 2001 n. Pasal 419 ke 1 KUHP o. Pasal 419 ke 2 KUHP p. Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999

RANGKUMAN 2. Jenis-jenis korupsi oleh pegawai negeri sipil yaitu: a. Korupsi yang merugikan keuangan Negara, jenisnya adalah: 1) Mencari untung dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan Negara 2) Menyalahgunakan jabatan utuk mencari keuntungan dan merugikan Negara b. Korupsi yang berhubungan dengan suap menyuap, jenisnya adalah: 1) Menyuap pegawai negeri yang kewajiban kerjanya berhubungan langsung dengan kepentingan penyuap tersebut. 2) Menyuap pegawai negeri yang kewajiban kerjanya tidak berhubungan secara langsung dengan kepentingan penyuap tersebut. 3) Memberi hadiah ke pegawai negeri karena jabatannya. 4) Pegawai negeri menerima suap. 5) Pegawai negeri menerima suap agar melakukan/tidak melakukan sesuatu. 6) Pegawai negeri menerima suap karena tindakan yang telah

dilakukannya. 7) Pegawai negeri menerima suap karena jabatan. 8) Menyuap hakim. 9) Menyuap advokat. 10) Advokat menerima suap. 11) Hakim menerima suap. 12) Hakim dan advokat menerima suap. c. Korupsi yang berhubungan dengan penyalahgunaan jabatan, jenisnya adalah: 1) Pegawai negeri menyalahgunakan penggunaan uang atau membiarkan penyalahgunaan uang. 2) Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi. 3) Pegawai negeri menghancurkan bukti. 4) Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti. 5) Pegawai negeri membantu orang lain merusak bukti.

LATIHAN 1) Sebutkan dua bentuk tindakan Pegawai Negeri Sipil yang berupa korupsi yang merugikan keuangan negara serta jelaskan perbedaan diantara keduanya! 2) Sebutkan dan jelaskan perbuatan korupsi yang sering terjadi di dalam korporasi! 3) Jelaskan lebih lanjut mengenai unsur melakukan perbuatan dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999! 4) Sebutkan 6 kemungkinan yang bisa terjadi dari unsur menyalahgunakan kewenangan! 5) Dari pertanyaan nomor 4 di atas, mengapa dalam praktiknya hampir tidak pernah dijumpai pilihan salah satu dari enam tersebut yang tepat berdasarkan fakta yang ada? 6) Jelaskan lebih lanjut mengenai unsur menerima hadiah atau janji dari pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001! 7) Sebutkan unsur-unsur dari Pasal 419 ke 2 KUHP! 8) Ada berapa jenis korupsi yang berhubungan dengan suap-menyuap? Sebutkan! 9) Jelaskan apa yang dimaksud dengan gratifikasi? 10) Sebutkan unsur-unsur korupsi pegawai negeri menyalahgunakan tanah milik negara hingga merugikan orang lain! 11) Sebutkan dan jelaskan dua penyebab timbulnya korupsi! 12) Apakah yang dimaksud dengan seikatsuka? Jelaskan! 13) Bagaimana caranya membentuk pribadi anti korupsi? 14) Menurut anda, mengapa korupsi masih banyak terjadi di Indonesia, padahal pendidikan agama telah dijadikan pelajaran wajib dari bangku sekolah dasar hingga bangku kuliah? 15) Apakah segala aturan tentang anti korupsi itu sudah efektif? Jika tidak, menurut anda bagaimana caranya agar efektif?

Glosarium

Advokat adalah ahli hukum yang berwenang bertindak sebagai penasihat atau pembela perkara dalam pengadilan.

Gratifikasi merupakan tindak pidana korupsi berupa pemberian. Gratifikasi dapat berbentuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, dan fasilitas lain.

Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Seikatsuka adalah pendidikan karakter melalui pendidikan tentang kehidupan seharihari yang diterapkan oleh Jepang.

Daftar Pustaka

Tim Komisi Pemberantasan Korupsi. 2008. Buku Panduan Kamu Buat Ngelawan Korupsi. Jakarta: Tim Komisi Pemberantasan Korupsi. Tim PKn-Pak. 2010. Penjabaran Pasal-Pasal Tertentu UU No. 31 Tahun 1999, Sebagaimana Diubah Dengan UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Pemberantasan TPK. Bogor: Tim PKn-Pak. kakbimo.wordpress.com/2011/05/23/1897/

BAB MEMBANGUN ETOS PRIBADI

11

Tujuan Instruksional Khusus : 1. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai etos pribadi dan ruang lingkupnya. 2. Memberikan gambaran mengenai perntingnya memiliki etos pribadi. 3. Memberikan penetahuan untuk membangun etos pribadi.

Menjadi pribadi beretika tentu merupakan keinginan sebahgian besar orang dan bahkan mungkin telah menganggap dirinya sebagai seseorang yang berperilaku etis. Kemudian pertanyaan terpenting adalah bagaimana mencerminkan etika tersebut dalam keseharian baik sebagai pribadi, organisasi, maupun seorang professional. Bab ini mencoba menguraikan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan melakukan pembahasan terkait etos pribadi yang diharapkan dapat dijadikan pembelajaran untuk mewujudkan pribadi beretika. A. Definisi Etos Etos berasal dari bahasa yunani ethos yakni karakter, cara hidup, kebiasaan seseorang, motivasi atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia mereka, yakni gambaran, cara bertindak ataupun gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan. Dengan kata lain etos adalah aspek evaluatif sebagai sikap mendasar terhadap diri dan dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupannya (Khasanah, 2004:8). Berdasarkan sumber www.artikata.com etos diartikan sebagai pandangan hidup yg khas memberi watak kpd kebudayaan sifat, nilai, dan adat-istiadat khas yg suatu golongan sosial dl masyarakat,

kebudayaan

kerja semangat kerja yg menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Bertens memiliki pengertian agak berbeda terhadap etos. Menurutnya etika adalah terjemahan dari ethos dalam bahasa yunani. Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah etika pun berasal dari bahasa yunani kuno. Kata yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa etos adalah suatu nilai yang mendasari sikap perilaku dan menjadi ciri khas bagi seseorang atau kelompok di mana saja mereka berada.

B. Lingkup Pembahasan Etos Pribadi 1. Nilai dan norma. a. Nilai. Nilai dapat kita artikan sebagai sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik. Nilai moral Ciri-ciri nilai moral yaitu: 1) Berkaitan dengan tanggung jawab kita. Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Nilai moral mengakibatkan seseorang bersalah atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab. 2) Berkaitan dengan hati nurani. Semua nilai minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selalu mengandung semacam undangan atau himbauan. Mewujudkan nilai moral merupakan himbauan dari hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa nilai ini menimbulkan suara dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral.

3) Mewajibkan. Berhubungan dengan ciri sebelumnya, nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kewajiban absolut yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nilai ini menyangkut pribadi manusia secara keseluruhan, sebagai totalitas. 4) Bersifat formal Nilai moral tidak membentuk suatu kawasan khusus yang terpisah dari nilai lain. Biarpun nilai moral merupakan nilai-nilai tertinggi yang harus dihayati di atas semua nilai lain tetapi itu tidak berarti bahwa nilai ini menduduki jenjang teratas dalam suatu hierarki nilai-nilai. Norma moral Kata indonesia norma kebetulan persis sama bentuknya seperti dalam bahasa asalnya, bahasa latin. Konon, dalam bahasa latin arti yang pertama adalah carpenters square: siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mencek apakah benda yang dikerjakannya (meja, bangku, kursi, dan sebagainya) sungguh-sungguh lurus. Asal-usul ini membantu kita untuk mengerti maksudnya yaitu sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu. Seperti norma-norma lain juga, norma moral pun bisa dirumuskan dalam bentuk positif atau negatif. Dalam bentuk positif normal moral tampak sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya kita harus menghormati sesama manusia, kita harus mengatakan yang benar. Dalam bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya jangan membunuh, jangan berbohong. Beberapa pertanyaan yang sering dikemukakan berhubungan dengan norma moral adalah: apakah norma moral itu absolut atau relatif, universal atau partikular, obyektif atau subyektif? Untuk mengetahui jawabannya marilah kita mulai dengan menyelidiki masalah yang biasanya disebut relativisme moral. Relativisme moral tidak tahan uji Norma-norma moral tidak pernah mengawang-awang di udara tapi tercantum dalam suatu sistem etis yang menjadi bagian suatu kebudayaan. Namun, terdapatnya banyak kebudayaan yang berbeda-beda menyebabkan berbeda pula

norma moral yang dianutnya. Sepanjang sejarah, perjumpaan dengan kebudayaan lain sudah sering mengakibatkan shock karena orang mengalami bahwa di situ berlaku nilai dan norma moral yang berbeda. Sebagai contoh, ketika orang-orang inggris pertama mendarat di daerah Hudson Bay di amerika utara mereka terkejut ketika menemukan bahwa indian-indian di sana mempunyai kebiasaan membunuh orang tua mereka yang sudah tua. Begitu juga kebiasaan suku eskimo di kutub utara yang suka membunuh orang tua atau bayi yang baru lahir. Pendapat bahwa suatu perbuatan adalah baik hanya karena menjadi kebiasaan di suatu lingkungan budaya, sulit untuk dipertahankan. Tidak bisa diterima bahwa setiap kebudayaan mempunyai kebenaran etis sendiri-sendiri, sehingga apa yang dianggap baik serta terpuji di tempat A bisa dianggap jahat serta tercela di tempat B. Relativisme moral tidak tahan uji, kalau diperiksa secara kritis. Kritik ini bisa dijalankan dengan memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi yang mustahil, seandainya relativisme moral itu benar. 1) Seandainya relativisme moral itu benar, maka tidak bisa terjadi bahwa dalam satu kebudayaan mutu etis lebih tinggi atau rendah daripada dalam kebudayaan lain. 2) Seandainya relativisme moral itu benar, maka kita hanya perlu memperhatikan kaidah-kaidah moral suatu masyarakat untuk mengukur baik tidaknya perilaku manusia dalam masyarakat itu. Kalau begitu, norma moral dalam setiap masyarakat harus dianggap sempurna. Tidak akan mungkin memperbaiki normanorma moral dalam suatu masyarakat. Padahal kita yakin bahwa kadang-kadang norma-norma moral dalam suatu kebudayaan harus direvisi. Misalnya mengubur janda hidup-hidup bersama dengan suami yang telah meninggal. 3) Seandainya relativisme moral itu benar, maka tidak mungkin terjadi kemajuan di bidang moral. Dilihat dalam perspektif sejarah, memang ada kemajuan di bidang moral (walaupun dalam beberapa hal barangkali ada juga kemunduran). Tanpa ragu-ragu kita menilai sebagai kemajuan bahwa sekarang tidak lagi dapat

ditemukan perbudakan atau pembunuhan ritual, atau contoh lain penghapusan sistem penjajahan.

Semua konsekuensi dari relativisme moral tadi tidak bisa diterima. Kalau diselidiki secara kritis, relativisme moral tidak tahan uji. Oleh karena itu, hanya tinggal kemungkinan lain bahwa norma moral adalah absolut. Obyektivitas norma moral Baik buruknya sesuatu dalam arti moral tidak tergantung selera pribadi. Tidak mungkin bahwa bagi satu orang sesuatu adalah baik untuk dilakukan, sedang bagi orang lain hal yang sama adalah buruk. 2. Konsep diri. Konsep diri (Self Concept) tidak lain dan tidak bukan adalah gagasan tentang diri kita sendiri, yakni suatu gagasan tentang bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan. Sementara itu, menurut Atwater, 1983, konsep diri didefinisikan sebagai cara pandang kita yang merupakan pusat dari kesadaran dan tingkah laku kita. Konsep diri melibatkan perasaan, nilai-nilai yang kita anut, serta keyakinankeyakinan kita. Asal usul konsep diri adalah bahwa setiap kita tidak dilahirkan dengan konsep diri. Konsep diri berasal dan berkembang dari masa kanak-kanak, terutama sebagai akibat dari hubungan kita dengan orang lain. Adapun tingkatan lingkungan yang turut andil membangun konsep diri seseorang adalah orang tua, saudara sekandung, pendidikan, rekan/teman sebaya, masyarakat, dan pengalaman. Konsep diri banyak mempengaruhi proses pengembangan diri (Self Development) dan menentukan siapa kita di kemudian hari. Hal ini terjadi karena konsep diri pada masing-masing individu terbagi menjadi 2, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Contoh konsep diri positif a. Percaya diri. Suatu keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri jika Tuhan bersama kita. b. Optimis. Selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi sesuatu.

c. Profesional. Memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan pekerjaannya; tidak terpengaruh oleh apapun dalam mengemban tugas. d. Rendah hati. Merasa masih ada langit di atas langit; tidak sombong atas kemampuannya. e. Peduli. Mengindahkan, memperhatikan, menghiraukan yang terjadi di sekitarnya. f. Kreatif. Memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan Contoh konsep diri negatif. a. Mudah marah, peka terhadap kritik, cenderung mempertahankan pendapatnya meskipun pendapatnya itu salah. b. Suka dipuji, suka dielu-elukan, jika disebut gelar, makin merasa besar dan rajin bila dipuji. c. Senantiasa mengeluh, mencela, atau meremehkan orang lain dan tidak mengakui kelebihan orang lain. d. Pesimis serta takut bersaing dengan orang lain untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi. e. Pemarah, merasa sangat tidak senang; berang; gusar. f. Egois, mementingkan diri sendiri.

g. Apriori, cepat berkesimpulan (negatif) sebelum mengetahui keadaan yang sebenarnya. h. Pesimis, bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik (khawatir kalah, rugi, celaka) mudah putus harapan. Untuk membangun konsep diri positif maka diperlukan pikiran yang positif dan potential power. Potential power adalah suatu sikap bagaimana seseorang mengeathui potensi yang dimilikinya. Caranya adalah dengan mengetahui kesukaan, karakter pribadi, dan prestasi yang dimiliki. Potensi diri dapat dikembangkan melalui pendidikan, pengalaman, membaca, dan menulis.

2. Percaya diri. Percaya diri adalah keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri jika Tuhan bersama kita. Keyakinan bahwa Tuhan bersama kita sangat penting sebab jika kita tidak mengikutkan Tuhan ketika kita yakin mampu melakukan sesuatu, maka ujungnya kita termasuk orang yang takabur/ujub/sombong karena menyepelekan kekuasaan Tuhan. a. Ciri orang yang percaya diri. 1) Citra diri positif. 2) Berpusat pada potensi. 3) Positive Thinking. 4) Egaliter; sikap percaya bahwa semua orang sederajat. 5) Yakin aktivitasnya urgent. 6) Berani berbuat spektakuler. 7) Tidak takut gagal. 8) Yakin akan sukses. Kita jangan pernah merasa takut gagal karena jika kita merasa takut akan kegagalan niscaya kegagalan itu akan benar-benar mendekati kita. Kita bisa melihat contoh orang-orang berikut ini yang tidak takut akan kegagalan dan terus berusaha. Thomas A. Edison gagal 10.000 kali untuk menemukan lampu dan 50.000 kali untuk menemukan aki (accumulator) Kolonel Sanders ditolak 1.000 toko namun perusahaan KFC miliknya sekarang menjadi salah satu restoran fast food terkenal di dunia. Henry Ford bangkrut 5 kali sebelum menjadi salah satu perusahaan otomotif terbesar b. Tips agar percaya diri. Agar dapat percaya diri maka berpikirlah positif, kenali potensi diri, dan segera dalam mengambil tindakan. Dalam bahasa berbeda percaya diri dirumuskan sebagai berikut. SC = PT + PP x A Langkah praktis untuk meningkatkan percaya diri.

1) Prakarsai pembicaraan 2) Biasakan bicara terus terang 3) Memelihara kontak mata 4) Berjalan lebih cepat 5) Berpenampilan rapi 6) Cari kemenangan-kemenangan kecil 7) Beri diri sendiri hadiah 8) Biasakan duduk dikursi terdepan 9) Simpan prestasi masa lalu 10) Bergaullah dengan orang yang percaya diri 11) Biasakan berbahasa positif 3. Kejujuran. Jujur adalah lawan kata dari bohong atau dusta. Jujur adalah kesesuaian antara berita yang disampaikan dan fakta, antara fenomena dan yang diberitakan, serta antara bentuk dan substansi. Jujur merupakan sikap pribadi. Jujur diekspresikan dengan kata-kata atau sikap yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Tidak ditutupi atau bahkan tidak menipu. Jujur adalah energy positif. Menyatakan sesuatu dengan langsung, spontan, lugas, apa adanya akan menghemat waktu dan energy sehingga terjadilah efisiensi. Berlaku jujur dalam kehidupan adalah tuntunan kebutuhan yang selalu dijunjung di masyarakat apapun, karena itu tidak ada kehidupan yang bahagia, aman, tentram, dan selamat, tanpa kejujuran. Dengan demikian, setiap generasi harus menjadikan jujur sebagai bagian dari kepribadian yang abadi. a. Manfaat berperilaku jujur. Secara logika jujur itu bermanfaat bagi kehidupan manusia, bukan hanya dalam hubungannya dengan sang pencipta tetapi juga dalam hubungan dengan sesame manusia dan alam semesta. Apapun manfaat utama berlaku jujur dalam kehidupan adalah sebagai berikut : 1) Melaksanakan ajaran yang mulia dari agama dan budaya luhur yang dianut oleh bangsa manapun.

2) Akan dihormati oleh sesame manusia, karena semua orang menghargai kejujuran yang sejati. 3) Akan tampil percaya diri dalam semua kegiatan hidup, karena merasa aman, optimis, dan percaya diri. Apapun yang dikerjakan dalam hidup ini, pada hakekatnya selalu menuntuk rasa percaya diri, yang tangguh dan kokoh. Inilah modal dasar yang mesti dimiliki dalam meneliti sebuah karir. Orang-orang bijak mengatakan bahwa keraguan adalah seperdua (setengah) langkah menuju

kegagalan. Bukankah banyak kegagalan di atas dunia ini hanya karena tidak percaya diri. Jangankan berhasil, melangkah pun tidak berani, kalau kita kehilangan rasa percaya diri disinilah ketika dampak positif dari kejujuran. 4) Suatu generasi akan lebih berani melawan sesuatu yang tidak benar, karena merasa tidak bersalah atau benar, dengan hatinya yang bersih. b. Faktor pendorong seseorang berbohong. 1) Adanya kekurangan. Kekurangan dalam diri seseorang baik secara fisik maupun materi bisa membawa seseorang itu melakukan kebohongan, karena dengan berbohong dia merasa semua yang kurang pada dirinya bisa tertutupi dan dirinya bisa diterima dilingkungan sekitarnya. Padahal ini dapat menjadi malapetaka jika kebohongannya itu ketahuan, lebih baik menjadi diri kita apa adanya. 2) Ikut-ikutan. Terkadang seseorang bohong dengan terpaksa untuk menutupi suatu masalah yang bersumber dari orang lain. 3) Demi kebaikan. Seseorang ada pula yang berbohong demi kebaikan, misalnya seseorang berbohong agar tidak menyakiti perasaan orang lain, atau seseorang berbohong untuk menjaga suatu rahasia yang dapat mengakibatkan masalah yang sangat fatal jika diketahui oleh orang lain. 4) Menutupi rahasia. Seringkali seseorang memiliki rahasia yang tidak boleh diketahui oleh orang lain, Hal inimembawa orang tersebut untuk berbohong agar rahasianya tidak diketahui.

4. Pribadi Berintergritas. Integritas memiliki pengertian mempertahankan tingkat kejujuran dan etika yang tinggi dalam perkataan dan tindakan seharihari. Orangorang yang kompeten, secara teliti dan handal berperilaku dengan cara yang etis dan dapat dipercaya dalam hubungan mereka dengan manajemen rekan kerja, bawahan langsung, dan pihak luar. Mereka memberlakukan orang lain secara adil. a. Peran integritas. 1) Integritas sebagai Keterampilan. Integritas harus dilatih terus menerus, bukan sesuatu yang ada dalam kepribadian seseorang. Integritas diajarkan dan dipelajari sepanjang hidup.

2) Integritas sebagai Pedoman. Integrity merupakan bench mark, rujukan atau tujuan yang digunakan dalam membuat keputusan yang berdasarkan pada kebenaran dan kejujuran. 3) Integritas sebagai Bangunan yang Kokoh. Integritas harus dibangun dan dilestarikan sepanjang hidup. Integrity merupakan suatu bangunan di dalam hati seseorang, dimulai ketika orang itu masih muda. Integritas harus dipelihara terus menerus , jika tidak maka bangunan yang sudah dibuat selama hidup dapat runtuh dalam waktu singkat. 4) Integritas sebagai Benih. Ditanam sejak kecil, disirami dan akan berbunga di saat dewasa. Semakin rajin dirawat, akan lebih cepat tumbuh dan berbunga. Jika tanaman kita mati, harus segera menanam yang baru dan disirami tiap hari. Perlu diingat bahwa tanaman tidak bisa langsung berbunga, perlu waktu untuk kembali seperti semula. b. Ciri-ciri integritas. 1) Integritas berasal dari sikap yang tidak mementingkan diri sendiri. 2) Integritas dibangun di atas dasar disiplin. 3) Integritas adalah kekuatan moral yang terbukti tetap benar di tengah api godaan. 4) Integritas adalah kemampuan untuk bersabar ketika hidup ini tidak berjalan mulus. 5) Integritas adalah ketahanan uji yang memerlukan perilaku yang dapat diduga.

6) Integritas adalah kekuatan yang tetap teguh sekalipun tidak ada yang melihat. 7) Integritas adalah menepati janji-janji, bahkan ketika merugikan Anda. 8) Integritas, tetap setia pada komitmen, bahkan ketika itu tidak nyaman. 9) Integritas, tetap teguh pada nilai-nilai tertentu meskipun dirasakan lebih popular untuk mencampakkannya. 10) Integritas, hidup dengan keyakinan, ketimbang dengan apa yang disukai. 11) Integritas adalah pondasi dari kehidupan. Jika baik, maka kehidupan baik, begitupun sebalikna. 12) Integritas dibentuk melalui kebiasaan. 5. Komunikasi. Menurut www.wikipedia.com komunikasi adalah suatu proses dalam mana seseorang atau beberapa dan lain". orang, kelompok, organisasi, terhubung dilakukan

dan masyarakat menciptakan, dengan lingkungan dan orang

menggunakan informasi agar Pada umumnya, komunikasi

secara lisanatau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal. Fungsi komunikasi adalah sebagai alat kendali, pengawasan, motivasi, pengungkapan emosional, dan informasi. Untuk melaksanakan komunikasi dengan efektif dalam organisasi maka: a. Manajer harus menyadari pentingnya komunikasi. b. Manajer harus memadankan antara tindakan dan ucapan. c. Harus ada komitmen pada komunikasi dua arah. d. Penekanan pada komunikasi tatap muka. e. Tanggung jawab bersama untuk komunikasi karyawan. f. Menangani komunikasi buruk.

g. Pesan dibentuk sesuai audiens. h. Perlakuan komunikasi sebagai proses berkelanjutan. 6. Kepemimpinan. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi

orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. a. Teori kepemimpinan. 1) Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory ). Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan The Greatma Theory. Dalam perkembanganya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat sifat itu antara lain : sifat fisik, mental, dan kepribadian. 2) Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi. Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecendrungan kearah 2 hal. Pertama yang disebut dengan Konsiderasi yaitu kecendrungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh: membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia berkonsultasi dengan bawahan. Kedua disebut Struktur Inisiasi yaitu Kecendrungan seorang pemimpin yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh: bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil yang akan dicapai. Jadi, berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi pula. 3) Teori Kewibawaan Pemimpin. Kewibawaan merupakan faktor penting dalam kehidupan kepemimpinan, sebab

dengan faktor itu seorang pemimpin akan dapat mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan maupun kelompok sehingga orang tersebut bersedia untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh pemimpin. 4) Teori Kepemimpinan Situasi. Seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan. 5) Teori Kelompok. Agar tujuan kelompok (organisasi) dapat tercapai, harus ada pertukaran yang positif antara pemimpin dengan pengikutnya. Dari adanya berbagai teori kepemimpinan di atas, dapat diketahui bahwa teori kepemimpinan tertentu akan sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan (Leadership Style), yakni pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan sikapnya. b. Gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin bersikap, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain dalam mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu.Gaya tersebut bisa berbeda beda atas dasar motivasi , kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu. Berdasarkan sumber emperorderva.wordpress.com menyebutkan gaya

kepemimpinan yang disebutkan Blanchard sebagai berikut: 1) Directing. Gaya tepat apabila kita dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf kita belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut. Atau apabila anda berada di bawah tekanan waktu penyelesaian. Dalam proses pengambilan keputusan, pemimpin memberikan aturan aturan dan proses yang detil kepada bawahan. Pelaksanaan di lapangan harus menyesuaikan dengan detil yang sudah dikerjakan. 2) Coaching. Pemimpin tidak hanya memberikan detil proses dan aturan kepada bawahan tapi

juga menjelaskan mengapa sebuah keputusan itu diambil, mendukung proses perkembangannya, dan juga menerima barbagai masukan dari bawahan. Gaya yang tepat apabila staf kita telah lebih termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengerti tentang tugasnya, dengan meluangkan waktu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka. 3) Supporting. Sebuah gaya dimana pemimpin memfasiliasi dan membantu upaya bawahannya dalam melakukan tugas. Dalam hal ini, pemimpin tidak memberikan arahan secara detail, tetapi tanggung jawab dan proses pengambilan keputusan dibagi bersama dengan bawahan. Gaya ini akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan pemimpin. 4) Delegating. Sebuah gaya dimana seorang pemimpin mendelegasikan seluruh wewenang dan tanggung jawabnya kepada bawahan. Gaya Delegating akan berjalan baik apabila staf kita sepenuhnya telah paham dan efisien dalm pekerjaan, sehingga kita dapat melepas mereka menjalankan tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan inisiatifnya sendiri. c. Kepemimpinan sejati. Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau tranformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarga, bagi lingkungan pekerjaan, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. Sering kali seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh mereka

yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dam maximizer. Pelajaran mengenai kerendahan hati dan kepemimpinan sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis menjadi negara yang demokratis dan merdeka.Selama penderitaan 27 tahun penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan perubahan dalam diri Beliau. Sehingga Beliau menjadi manusia yang rendah hati dan mau memaafkan mereka yang telah membuatnya menderita selam bertahun tahun. Seperti yang dikatakan oleh penulis buku terkenal, Kenneth Blanchard, bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati. 7. Manajemenwaktu. Manajemen waktu merupakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan produktivitas waktu. Waktu menjadi salah satu sumber daya untuk bekerja. Sumber daya tersebut harus dikelola secara efektif dan efisien. Efektifitas terlihat dari tercapainya tujuan menggunakan waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Efisien tidak lain mengandung dua makna, yaitu: makna pengurangan waktu yang ditentukan, dan makna investasi pada saat menggunakan waktu yang ada. Manajemen waktu bertujuan kepada produktifitas yang berarti perbandingan antara rasio output dengan input. Merencanakan terlebih dahulu penggunaan waktu bukanlah suatu pemborosan melainkan memberikan pedoman dan arah bahkan pengawasan terhadap waktu.Setelah pengorganisasian terjadi,maka penggerakan pun dilakukan, yang mencakup pelaksanaan sendiri dan pemberian motivasi kepada

pemegang delegasi. Satu hal yang penting ialah komitmen kuat untuk konsisten pada rencana dan mengeliminasi gangguan-gangguan. Akhirnya setelah selesai tuntas pekerjaan, dilakukanlah pengawasan berdasarkan rencana, yang tidak lupa memberikan reward terhadap keberhasilan. Dalam situasi dimana waktu yang telah direncanakan belum habis, sedangkan pekerjaan telah tuntas sebaiknya dipergunakan untuk menambah kuantitas, merencanakan pekerjaan selanjutnya, dan atau investasi waktu. Pendek kata, kualitas manajemen waktu berpedoman kepada empat indikator, yaitu: tetap merencanakan, tetap mengorganisasikan, tetap menggerakkan, dan tetap

melakukan pengawasan. Empat prinsip tersebut applikabel dalam semua pekerjaan. Variasi terjadi di dalam kerumitan dan kecepatan setiap tahap dilakukan. Perencanaan jangka panjang jelas lebih rumit dan relatif lama dari pada perencanaan jangka pendek, bahkan karena begitu pendeknya dimungkinkan perencanaan begitu singkat yang berlangsung dalam hitungan detik. Rintangan terbesar untuk sukses bagi kebanyakan orang kelihatannya adalah penundaan. Oleh karenanya, komponen terpenting dari manajemen waktu (time management) pun adalah menghindari penundaan. . Untuk dapat melakukan mannajemen waktu dengan baik maka pertama kita harus mengetahui terlebih dahulu misi hidup. Kemudian menentukan peran dan visi peran. Membuat rencana pekanan dan akhirnya membuat rencana harian. Waktu memiliki sifat yang sangat singkat dan tidak dapat digantikan karena itu penting untuk melakukan manajemen waktu. Melaksanankan manajemen waktu akan membuat hidup menjadi manatap dan bersemangat. Kehidupan menjadi seimbang dan selaras serta dapat mencapai cita-cita atau tujuan yang diharapkan. Dalam menjalani kehidupan kita harus berhati-hati terhadap jebakan waktu yang dikenal dengan 3F, 3M, dan 3S. Mereka adalah fun, food, film, mouth, music, money, sand, sport and sex. 8. Manajemen konflik. Konflik adalah suatu proses yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa suatu pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang diperhatikan pihak pertama. Menurut Killman dan

Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang

mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4). Sementara itu manajemen konflik adalah penggunaan teknik pemecahan masalah dan

perangsangan untuk mencapai konflik yang diinginkan. a. Pandangan tentang konflik. 1) Pandangan tradisional; keyakinan bahwa semua konflik merugikan dan harus dihindari, 2) Pandangan hubungan manusia; keyakinan bahwa konflik merupakan wajar dan tidak terelakkan dalam setiap kelompok, 3) Pandangan interaksionalis; keyakinan bahwa konflik bukan hanya suatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak perlu untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja efektif. b. Bentuk konflik. 1) Konflik fungsional; konflik yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok, 2) Konflik disfungsional; konflik yang merintangi kinerja kelompok. c. Tahapan perkembangan konflik. 1) Konflik masih tersembunyi (laten) Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang tidak mengganggu dirinya. 2) Konflik yang mendahului (antecedent condition) Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dsb. 3) Konflik yang dapat diamati (perceived conflict) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict) Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan. 4) Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior) hasil

Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melelui perilaku. 5) Penyelesaian atau tekanan konflik Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan. 6) Akibat penyelesaian konflik 7) Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. (wijono, 1993, 3841). d. Pengelolaan konflik. Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan: 1) Disiplin 2) Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan 3) Komunikasi 4) Mendengarkan secara aktif 5) Toleransi e. Aspek positif dalam konflik. 1) Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka. 2) Memberikan saluran baru untuk komunikasi. 3) Menumbuhkan semangat baru pada staf. 4) Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi. 5) Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi

C. Urgensi Memiliki Etos Pribadi Membicarakan etos tentu tidak lepas dari membicarakan etika karena etos bisa kita artikan juga sebagai etika yang sudah mendarah daging, artinya sudah menancap kuat dalam hati dan pikiran kita. Etika adalah refleksi ilmiah tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma atau dari sudut baik dan buruk. Segi normatif itu merupakan sudut pandang yang khas bagi etika, dibandingkan dengan

ilmu-ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia. Pentingnya memiliki etos pribadi dapat digambarkan melalui bagaimana masalah etika dalam kehidupan sehari-hari. Dimana ternyata cukupnya keilmuan seseorang tenatang etika ternyata terkadang tidak membuat seseorang menjadi beretika. Etika disebut juga sebagai filsafat praktis karena ia membahas tentang apa itu moral? dan apa yang harus dilakukan manusia berkaitan dengan moral tersebut?. Tapi perlu diakui, etika sebagai filsafat praktis mempunyai batasnya juga. Mahasiswa yang memperoleh nilai gemilang untuk mata kuliah etika, belum tentu dalam perilakunya akan menempuh tindakan-tindakan yang paling etis. Malah bisa saja terjadi, nilai yang bagus itu hanya sekedar menyontek, jadi hasil perbuatan yang tidak etis! Atau pengusaha yang mempunyai pengetahuan luas dan mendalam tentang etika bisnis dan telah membaca seluruh literatur tentang topik itu, belu tentu dalam usahanya selalu akan mengambil keputusan etis yang paling tepat. Sudah sejak awal sejarah etika terdapat pandangan bahwa pengetahuan benar tentang bidang etis secara otomatis akan disusul oleh perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari socrates yang disebut intelektualisme etis. Menurut socrates, orang yang mempunyai pengetahuan tentang yang baik pasti akan melakukannya juga, sedangkan orang yang berbuat jahat melakukannya karena ketidaktahuan tentang apa yang baik. Kalau dikemukakan secara radikal ajaran ini sulit dipertahankan. Bila orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, dengan itu belum terjamin perilaku etis yang baik. Di sisi lain, dari pengalaman kita sendiri kita semua mengenal orang-orang yang hampir tidak mendapatkan pendidikan di sekolah, tetapi selalu hidup etis dengan cara yang mengagumkan. Di sisi lain pendapat Socrates tersebut mengandung unsur kebenaran. Pengetahuan tentang etika merupakan suatu unsur penting supaya orang dapat mencapai kematangan etis. Perasaan spontan saja tidak cukup, haruslah ada pengertian juga. Hal ini lebih mendesak lagi, karena masalah-masalah etis jauh lebih banyak dan lebih kompleks dari pada zaman sebelumnya. Untuk memperoleh suatu sikap etis yang tepat, studi tentang etika dapat memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk menjamin perilaku etis yang tepat.

Mengapa penting bagi seseorang untuk memiliki etos pribadi, tentunya pernyataan ini dapat juga dibahasakan menjadi mengapa seseorang perlu mempelajari etika. Bagian ini akan menguraikan argumen pendukung tentang perlunya etos pribadi bagi setiap individu sebagai berikut: 1. Menjadikan individu mahir mengenali dan memahami problem maupun isu moral dalam profesi. Etos pribadi akan mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang terampil dalam memahami menjelaskan, dan kritis dalam mengkaji argumen-argumen yang berlawanan dengan isu moral. Mampu membentuk sudut pandang yang konsisten dan komprehensif berdasarkan pertimbangan atas fakta-fakta yang relevan. Berimajinasi tentang berbagai respons alternatif terhadap isu-isu yang bersangkutan dan pemecahan kreatif atas kesulitan-kesulitan praktis. 2. Peka terhadap kesulitan dan kepelikan sesungguhnya kesediaan mengalami dan mentoleransi ketidakpastian dalam membuat penilaian atas keputusan moral seseorang terhadap orang lain. 3. Meningkatkan ketepatan dalam menggunakan bahasa etika yang lazim, yang diperlukan untuk mengungkapkan dan membela dengan cukup baik pandangan moral seseorang terhadap orang lain. 4. Meningkatkan penghargaan baik terhadap kemungkinan penggunaan dialog rasional dalam memecahkan konflik-konflik moral maupun perlunya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan perspektif di kalangan orang orang yang secara moral cukup baik. 5. Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan moral yang timbul karena aktifitas profesional 6. Memperkuat otonomi moral. Otonomi moral meliputi independen dan kepedulian moral. Independen dalam hal mengatur diri sendiri dan adanya kemempuan berpikir dan kebiasaan berpikir secara rasional tentang isu-isu moral atas landasan kepedulian moral.

D. Faktor Pendorong Perilaku Tidak Etis 1. Perilaku tidak etis. Perilaku tidak etis adalah perkataan dan tindakan seseorang yang tidak

sesuai dengan prinsip moral yang baik. Perilaku tidak etis seringkali berwujud tindakan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari orang lain tanpa sepengetahuan orang tersebut. Kusmanadji menyatakan dalam bukunya bahwa banyak faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat tidak etis. Untuk menjaga integritas pribadi, faktor-faktor ini perlu senantiasa disadari dan diwaspadai. Berikut ini adalah lima faktor yang sering dianggap sebagai pendorong perilaku tidak etis menurut Kusmanadji: a. Ketakutan, misalnya karena takut dimarahi oleh atasan karena terlambat masuk kantor, seorang pegawai berbohong dalam memberikan alasan keterlambatannya; seorang bawahan harus melakukan hal-hal yang tidak etis karena takut dikenai sanksi. b. Tekanan, misalnya karena ditekan oleh atasannya oleh atasannya untuk mencapai hasil atau kinerja tertentu, seorang pegawai atau manajer memalsukan data kinerjanya. c. Ambisi, mendorong seseorang untuk melanggar hukum dan etika. Misalnya, karena ambisi kekuasaan maka seseorang tidak segan-segan melakukan skandal politik seperti politik uang; karena ambisi jabatan, seorang pegawai menjelek-jelekkan rekan pegawai lainnya di hadapan atasannya agar atasannya lebih memilih dirinya daripada rekannya. d. Balas dendam, misalnya karena dinilai melakukan kesalahan oleh atasannya, seorang pegawai berusaha mempermalukan atasannya tersebut di hadapan orang lain. e. Masa bodoh, yaitu kecendurungan untuk mengabaikan akibat-akibat dari tindakan Contoh perilaku tidak etis: a. Penjualan produk keluar negeri yang sudah terbukti merusak kesehatan dan tidak diperbolehkan di dalam negeri. b. Perusahan makanan bayi yang memaksakan suatu formula bagi bayi di banyak negara miskin sementara air susu ibu akan lebih sehat bagi bayi. c. Mengambil barang-barang kantor untuk dibawa pulang,

d. Berbohong dengan alasan sakit untuk menutupi pekerjaan yang tidak beres, e. Perusahaan membayar upah pekerja yang rendah di beberapa Negara berkembang untuk membuat barang yang bernilai tinggi. f. Penipuan produk yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan.

g. Penjualan produk yang sudah kadaluwarsa. Di antara faktor-faktor yang mengakibatkan munculnya masalah-masalah etis yang tidak pernah terduga sebelumnya di zaman sekarang adalah perkembanan pesat dan menakjubkan di bidang ilmu dan teknologi yang mempunyai kedudukan penting. a. Ambivalensi kemajuan ilmiah Kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya di samping banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Yang dibawa oleh ilmu dan teknologi modern bukan saja kemajuan melainkan juga kemunduran bahkan kehancuran, jika manusia tidak segera membatasi diri. b. Masalah bebas nilai Ilmu dan moral tidak merupakan dua kawasan yang sama sekali asing satu dengan yang lain tapi ada titik temu di antaranya. Pada saat-saat tertentu dalam perkembangannya ilmu dan teknologi bertemu dengan moral. c. Teknologi yang tidak terkendali Ilmu dan teknologi digalakkan dengan cara mengagumkan, tapi sedikit sekali perhatian diberikan kepada studi mengenai masalah-masalah etisnya. d. Tanda-tanda yang menimbulkan harapan Bukan saja sedikit perhatian utnuk etika dalam masyarakat, melainkan juga perhatian itu hampir selalu terlambat datang. Pemikiran etis hanya menyusul perkembangan ilmiah-teknologis. Baru sesudah problem-problem etis timbul, etika sebagai ilmu mulai diikutsertakan. Refleksi etis tentang persenjataan nuklir baru dimulai setelah bom atom pertama di hirosima dan nagasaki diledakkan. Namun demikian, di banyak negara modern sekarang, sudah menjadi kebiasaan luas bahwa rumah sakit-rumah sakit dan proyek-proyek penelitian biomedis mempunyai komisi etika yang mendampingi dan mengawasi rumah sakit atau proyek penelitian itu dari sudut etis. Komisi etika seperti itu bisa menjadi semacam hati nurani agar rumah

sakit memberi pelayanan yang sungguh-sungguh manusiawi. 2. Rasionalisasi Perilaku Tidak Etis Banyak cara yang ditempuh oleh seseorang untuk membenarkan

perbuatannya yang dianggap salah oleh masyarakat. Orang yang memiliki etos pribadi seharusnya tidak menggunakan cara-cara ini untuk menutupi atau membenarkan perilakunya yang tidak etis. Berikut adalah cara-cara pembenaran atau rasionalisasi yang dimaksud yang biasanya kita jumpai. Setiap orang melakukannya (everybody does it) Seseorang berperilaku tidak etis karena perilaku yang sama dilakukan oleh orang lain. Argumen bahwa menyontek, melanggar rambu lalu lintas, memalsukan informasi laba agar pajak rendah, atau menjual produk cacat tersembunyi, menjual barang dinas untuk kepentingan pribadi adalah perilaku yang dapat diterima lazimnya didasarkan pada rasionalisasi bahwa orang lain melakukannya dan karena itu dapat diterima. Jika suatu tindakan sah atau dibenarkan menurut hukum (legal), maka tindakan itu etis (if its legal, its ethical) Menggunakan argumen bahwa semua perilaku yang legal adalah etis sangat mendasarkan pada kesempurnaan hukum. Berdasarkan falsafah ini, seseorang tidak berkewajiban untuk, misalnya, mengembalikan barang yang ditemukan kecuali orang lain atau pemiliknya dapat membuktikan bahwa itu miliknya. Seperti telah dikemukakan pada bab 8, slogan tersebut harus diubah menjadi, Jika suatu tindakan tidak etis, kemungkinan tindakan tersebut juga tidak legal. Kemungkinan pengungkapan dan konsekuensi (likelihood of discovery and consequences) Argumen ini mendasarkan pada evaluasi kemungkinan orang lain akan menemukan atau mengungkap perilaku. Lazimnya, seseorang juga menilai besarnya hukuman atau penalti (konsekuensi) jika terdapat pengungkapan tersebut. Sebagai contoh, perlukah mengembalikan uang pembayaran gaji yang ternyata berlebih karena secara tak sengaja petugas salah menghitung? Jika si penerima gaji yakin bahwa petugas pembayar akan mengetahui dan akan menuntut pengembalian dan dapat mempermalukan dirinya, maka si penerima akan mengembalikan kelebihan

seketika, tetapi jika tidak, si penerima akan menunggu untuk melihat apakah petugas gaji akan dapat menemukan kesalahannya.

E. Cara Membangun Etos Pribadi Membangun etos pribadi merupakan sebuah upaya untuk menjadikan diri kita bertindak secara etis. Untuk dapat bertindak secara etis maka individu harus mempertimbangkan konsekuensi tindakan yang dilakukan. Menjadi seseorang yang memiliki etos pribadi atau menjadi pribadi yang beretika merupakan suatu kondisi yang dangat dipengaruhi oleh individu sendiri. Bagaimana cara membangun etos pribadi maka jawabannya adalah dengan menciptakan citra diri sebagai seseorang yang beretika dan memiliki rencana agar selalu dicitrakan seperti itu. 1. Lima prinsip berperilaku etis. Norman Vincent Pale dan Kenneth H. Blanchard mengemukakan lima prinsip untuk berperilaku etis yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan agar menjadi pribadi beretika. Kelima prinsip tersebut dijabarkan sebagai berikut: a. Tujuan (purpose). misi kita sebagai individu yang dinyatakan secara jelas, sederhana, dan didasarkan pada nilai-nilai, harapan, dan visi kita. Tujuan ini sangat penting karena membantu kita dalam menentukan perilaku mana yang dapat diterima dan mana yang tidak dapat diterima. Tujuan ini dapat kita tetapkan dengan menyatakan bahwa kita ingin menjadi seseorang yang sehat secara etis. b. Perspektif (perspective). Meluangkan waktu untuk merenung dan berpikir bagaimana dan kemana akan melangkah dan mencapai tujuan. c. Kesabaran (patience). Merupakan hal yang dibutuhkan untuk memperoleh keyakinan bahwa berpegang teguh pada nilai-nilai etika akan membawa kita dalam kesuksesan jangka panjang. Untuk ini kita perlu mempertahankan keseimbangan antara mencapai hasil dan cara kita mencapai hasil tersebut (tidak menghalalkan segala cara dalam mencapai sesuatu). d. Keteguhan (persistence).

Keteguhan memerlukan adanya komitmen untuk hidup berdasarkan prinsipprinsip etika yang tidak luntur karena berjalannya waktu. Kita harus tetap teguh mempertahankan prinsip-prinsip etika yang kita yakini, meskipun untuk itu kita merasakan adanya ketidaknyamanan. e. Kebanggaan (pride). Kebanggaan akan kita peroleh ketika kesabaran dan keteguhan berhasil untuk dipertahankan. Perolehan kebanggan dengan cara ini akan membuat kita menjadi pribadi yang lebih kokoh sehingga tidak mudah tergoda untuk berperilaku tidka etis. 2. Unsur etos pribadi. Untuk membangun etos pribadi maka tidak cukup hanya dnegan mengetahui lima prinsip diatas. Menjadi pribadi yang beretika maka kita perlu mengetahui apa saja unsur etos pribadi tersebut. Terdapat tiga poin yang menjadi unsur etos pribadi yang akan diuraikan pada bagian ini. a. Komitmen etis. Memiliki pendirian dan kemauan yang kuat untuk bertindak secara etis. Menurut Cambridge Advanced Learners Dictionary, seseorang disebut berkomitmen when you are willing to give your time and energy to something that you believe in, or a promise or firm decision to do something, ketika bersedia memberikan waktu dan energi untuk sesuatu yang kita yakini, atau sebuah janji, atau sebuah keputusan bulat untuk melakukan sesuatu. Semua orang mempunyai keterbatasan waktu dan energi, tetapi dengan komitmen yang baik, waktu dapat dibuat dan energi dapat dikumpulkan. Komitmen ada janji yang harus ditepati. Komitmen juga akan terkait dengan makna kehadiran kita dalam sebuah komunitas. Orang yang berkomitmen seringkali menjadi sumber energi bagi yang lain. ketiadaan orang seperti ini merupakan sebuah kehilangan besar. Jadi kalau kita tidak hadir dalam sebuah pertemuan, dan kawankawan kita merasa tidak terkena dampaknya, bisa jadi kehadiran kita tidak menggenapkan atau mengganjilkan. Alias tidak bermakna. Apakah yang selama ini kita anggap komitmen itu, ternyata niat baik saja, atau keinginan saja yang jika memungkinkan dilaksanakan, atau betul-betul janji yang jika diingkari adalah sebuah hutang yang belum terbayar? Hidup berkualitas tidak bisa

hanya mengandalkan niat baik atau keinginan. Komitmen yang dilaksanakan adalah salah satu penentunya. b. Kesadaran etis. Suatu kemampuan untuk mempersepsikan (memahami) isu-isu etis dan implikasi-implikasi etis dari suatu situasi. c. Kompetensi etis. Untuk memilih yang benar kita harus memiliki kemampuan untuk melakukan penalaran moral yang sehat dan mengembangkan strategi-strategi praktis penyelesaian masalah. Ini berarti bahwa kita harus menanggalkan konsepsi kita yang keliru mengenai etika, misalnya konsepsi bahwa jika memenuhi aturan hukum berarti etis. Selama ini kompetensi dimaknai sebgai kemampuan untuk menguasai jenis kemampuan, yaitu pengetahuan, keterampilan teknis, dan sikap perilaku.

Kompetensi haruslah dimaknai kembali sebagai pengembangan integritas pribadi yang dilandasi iman yang kuat sebagai fondasinya(SQ), baru kemudian dapat membangun hubungan yang tulus/ikhlas dengan sesama (EQ), dan akhirnya barulah penguasaan IPTEK melalui IQ bisa bermanfaat untuk membangun bisnis yang etis dalam rangka mencapai tujuan kemakmuran bersama bagi para stakeholders, tidak hanya untuk kepentingan ego pribadi. Dengan mengutip R.Pahlan (Competency Management: A Practicioners Guide, terjemahan, 2007), dapat menggali lima istilah dalam definisi kompetensi sebagai berikut. 1) Karakter Dasar diartikan sebagai kepribadian seseorang yang cukup dalam dan berlangsung lama. Dalam definisi ini, karakter dasar mengarah pada motif, karakteristik pribadi, konsep diri dan nilai-nilai seseorang. 2) Kriteria Referensi berarti bahwa komptensi dapat diukur berdasarkan standar atau kriteria tertentu. Dapat diukur faktor-faktor pembentuk terjadinya kinerja karyawan yang beragam (unggul, biasa, dan rendah). Dari faktor-faktor tersebut kemudian dapat diprediksi kinerja seseorang. Misalnya angka penjualan yang dilakukan seorang wiraniaga per satuan waktu. 3) Hubungan Kausal mengindikasikan bahwa keberadaan suatu kompetensi dan

pendemonstrasiannya memprediksi atau menyebabkan suatu kinerja unggul. Kompetensi-kompetensi seperti motif, sifat dan konsep diri dapat

memprediksikan ketrampilan dan tindakan. Kemudian ketrampilan dan tindakan memprediksi hasil kinerja pekerjaan. Jadi disitu ada maksud atau motif yang mengakibatkan sebuah tindakan atau perilaku yang membuahkan hasil. Contohnya, kompetensi pengetahuan selalu digerakkan oleh kompetensi motif, karakteristik pribadi, atau konsep diri. Model kausal ini dapat diperjelas lagi melalui contoh berikut; kalau organisasi tidak mengakuisisi atau

mengembangkan kompetensi inisiatif bagi para karyawannya, maka dapat diduga pekerjaan yang harus disupervisinya akan dikerjakan ulang dan biaya untuk memastikan kualitas pelayanan akan meningkat 4) Kinerja Unggul mengindikasikan tingkat pencapaian,misalnya dari sepuluh persen tertinggi dalam suatu situasi kerja. 5) Kinerja Efektif adalah batas minimum tingkat hasil kerja yang dapat diterima. Ini biasanya merupakan garis batas dimana karyawan yang hasil kerjanya di bawah garis ini dianggap tidak kompeten untuk melakukan pekerjaan tersebut. 3. Pemeriksaan 3K. Ketika kita sedang membangun diri menjadi individu yang memiliki etos pribadi maka perlu untuk memperhatikan apakah kita telah bertindak secara etis atau tidak. Memeriksa apakah suatu tindakan kita etis atau tidak dapat dilakukan dengan sebuah pemeriksaan etika yang lebih dikenal dengan sebutan pengecekan tga K. sebagai seorang pribadi, siapapun kita maka kita harus menyadari dengan apa yang kita lakukan, konsekuensi, dan komplikasinya. Maka dari itu dikenallah istilah pengecekan tiga K yang meliputi kepatuha, kontribusi, dan konsekuensi. a. Kepatuhan. Berarti hidup dan berperilaku sesuai dengan aturan hukum, kode etik, aturan organisasi, prinsip-prinsip moral, harapan masyarakat, dan konsep umum lain seperti kejujuran dan keadilan. Kita harus menyadari bahwa untuk posisi dan peran tertentu yang kita jalani, kita bertanggung jawab tidak hanya untuk perbuatan kita sendiri, tetapi juga perbuatan orang lain. Jika kita adalah seorang atasan, misalnya, kita harus memperlakukan bawahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan tetap berpegang pada kejujuran dan memperhatikan rasa keadilan.

b. Kontribusi. Kontribusi berkaitan dengan apa yang kita berikan atau sumbangkan kepada orang lain atau masyarakat. Bagi organisasi bisnis, misalnya, kontribusi meliputi memberikan penghargaan untuk kemitraan pelanggan, menyediakan lapangan kerja, membantu memperbaiki individu dan masyarakat memenuhi kebutuhaanya, dan para pegawai serta masyarakat secara

kualitas

kehidupan

keseluruhan. Sebagai individu atau anggota suatu organisasi, kita harus senantiasa menyadari peran kita dan berusaha agar selalu mencapai kinerja terbaik dalam rangka memberikan sumbangan bagi pencapaian tujuan organisasi dan kebaikan orang lain. c. Konsekuensi. Konsekuensi berkaitan dengan pengaruh atau akibat dari keputusan dan perbuatan kita. Akibat ini bisa positif atau negatif, baik diniatkan maupun tidak diniatkan. Ini berarti bahwa kita harus selalu memperhitungkan akibat-akibat perbuatan kita bagi diri sendiri dan orang lain dan berusaha untuk memilih alternatif yang paling baik akibatnya bagi pihak-pihak terkait. Kita harus senantiasa berusaha agar setiap keputusan dan tindakan kita tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri tetapi bermanfaat juga bagi sebanyak mungkin orang lain, apalagi orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan kita. Mengacu pada tiga K maka kita dapat melakukan hal-hal berikut ini sebelum mengambil tindakan. Kepatuhan: Patuhi, tetapi jangan bergantung semata-mata pada ketentuan hukum. Patuhi kaidah-kaidah moral. Hormati kebiasaan orang lain, tetapi tidak dengan mengorbankan prinsip etika Anda sendiri.

Kontribusi dan konsekuensi:

Pertimbangkan kesejahteraan orang lain, termasuk pihak-pihak yang tidak berpartisipasi. Berpikirlah sebagai seorang anggota organisasi atau komunitas, bukan sebagai individu yang terisolasi. Pikirkan diri sendiri (dan organisasi atau komunitas Anda) sebagai bagian dari masyarakat. Berpikirlah secara objektif.

Ajukan pertanyaan, Jenis orang seperti apakah yang melakukan perbuatan semacam ini?

RANGKUMAN 1) Etos adalah suatu nilai yang mendasari sikap perilaku dan menjadi ciri khas bagi seseorang atau kelompok di mana saja mereka berada. Secara lebih sederhana etos dimaknai sebagai etika yang telah mendarah daging. 2) Pembahasan etos pribadi meliputi nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu pembahsan juga meliputi masalah konsep diri, percaya diri, jujur, pribadi berintegrita, komunikasi, kepemimpinan, manajemen waktu, dan manajemen konflik. 3) Etos pribadi akan mengantarkan seseorang menjadi pribadi beretika. Penting untuk memiliki etos pribadi karena dengan etos pribadi akan menjadi individu memiliki pemahaman yang lebi luas dalam menjalani kehidupan. Individu tersebut akan menjadi pribadi yang lebih memahami isu moral yang terjadi, mampu menangani masalah dengan bahasa yang etis dan memandangnya dengan sudut pandang yang tepat. Etos pribadi akan membuat seseorang mampu mempertahankan otonomi moralnya (bertindak secara independen dan teratur). 4) Untuk membangun pribadi beretika maka perlu adanya bekal pengetahuan mengenai prinsip berperilaku etis dan unsur etos pribadi. Pemeriksaan tiga K bermanfaat untuk mengeatahui apakh suatu tindakan dilakukan dengan etis.

LATIHAN

1) Jelaskan apakah yang dimaksud dengan kepemimpinan sejati? 2) Jelaskan unsur-unsur etos pribadi? 3) Jelaskan tentang pemeriksaan 3K? 4) Apa yang dimaksud dengan amoral? 5) Jika kita membandingkan etika dan etiket, apakah persamaan dan perbedaannya? 6) Jika kita membandingkan nilai moral dengan nilai-nilai lain, apa yang menjadi ciri khasnya? 7) Apa maksudnya, jika dikatakan bahwa kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi bersifat ambivalen? Bagaimana ambivalensi ini tampak?

BAB ATURAN KEPEGAWAIAN DAN KODE ETIK PROFESIPNS DI KEMENTERIAN KEUANGAN

_____________________________________________________
Tujuan Instruksional Khusus: 1. Memahami pengertian profesi dan kode etik 2. Memahami Pokok-Pokok Kepegawaian dan Disiplin PNS 3. Memahami Nilai-Nilai Kementerian Keuangan 4. Memahami Kode Etik Unit Eselon I Kementerian Keuangan

12 9

Dalam bab ini akan dipelajari tentang berbagai aturan kepegawaian dan kode etik yang berlaku di Kementerian Keuangan. Aturan kepegawaian dan kode etik di sebuah instansi bersifat dinamis karena disesuaikan dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu dalam bab ini pembahasan tentang berbagai aturan tersebut diletakkan pada lampiran mengingat perubahannya yang cepat disesuaikan dengan perubahan zaman. Namun pada bab ini akan dibahas sedikit tentang

profesionalisme mengingat pegawai negeri juga adalah profesi yang terikat pada nilai-nilai profesional. A. Profesi dan Ciri-Cirinya Tidak ada definisi tunggal yang mencakup berbagai penggunaan kata profesi. Namun demikian, dari berbagai pandangan dan kenyataan yang dapat kita jumpai, kita dapat mengatakan bahwa suatu profesi merupakan suatu kombinasi dari sejumlah karakteristik yang membentuk struktur profesi, tanggung jawab, dan hakhak yang disatupadukan oleh seperangkat nilai, yakni yang menentukan bagaimana keputusan diambil dan bagaimana tindakan ditempuh.

Ada lima karakteristik yang umumnya dapat dijumpai pada setiap profesi, yaitu; Bidang pengetahuan khusus yang diajarkan secara formal dan bersetifikat / berijasah (pendidikan formal dan profesional). Komitmen terhadap tujuan sosial (kebaikan) yang menjadi alasan bagi keberadaan profesi (pengabdian kepada masyarakat). Kapasitas untuk mengatur diri sendiri, sering kali dengan sanksi hukum bagi mereka yang melanggar norma-norma perilaku yang disepakati. Ijin dari pihak berwenang (pemerintah dan asosiasi) untuk berparaktik sebagai profesional. Kedudukan dan prestise yang relatif lebih tinggi di masyarakat.

Bidang Pengetahuan khusus dan pendidikan formal / profesional Fondasi suatu profesi adalah bidang pengetahuan khusus yang sangat penting bagi masyarakat. Ini pula yang mendasari keberadaan suatu profesi: suatu profesi ada untuk melayani masyarakat. Ini berarti jasa yang disediakan kepada masyarakat adalah sangat penting, sehingga diperlukan tingkat keahlian yang tinggi, dan karenanya memerlukan pendidikan dan pelatihan yang ekstensif. Untuk menjadi profesional, atau anggota suatu profesi, seoarang harus belajar lama (dan keras), menyelesaikan pelajaran (mata kuliah) keahlian di bidang yang besangkutan dalam suatu jumlah jam minimum tertentu, lulus ujianyang panjang dan sulit, memiliki acuan karakter, dan memperoleh pengalaman profesional dalam jangka waktu yang cukup. Lebih dari itu, para profesional umumnya diharuskan oleh profesinya untuk memenuhi persyaratan pendidikan berkelanjutan dalam rangka mempertahankan status profesionalnya.

Komitmen terhadap tujuan sosial (pengabdian kepada masyarakat Seorang profesional tidak menuntut keistimewaan profesional agar dapat memaksimalkan keberuntungannya, dan lebih dari itu, tanggung jawab profesionalnya yang utama bukan kepada diri sendiri, majikan atau klein, melainkan kepada masyarakat. Seorang profesional memiliki komitmen

terhadap pandangan hidup yang secara intelektual kompleks dan menuntut pemuktahiran terus menerus atas pengetahuan dan keahlian. Pelayanan publik, baik langsung maupun tak langsung adalah tanggung jawabanya. Tanggung jawab ini adalah sedemikian tingginya sehingga seoarang profesional harus bersedia mengorbankan kepentingan dirinya untuk memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat.

Sistem pengaturan diri Untuk memberikan jasa dengan kualitas tinggi, suatu profesi mengorganisasikan diri dalam suatu wadah asosiasi yang selanjutnya menentukan tidak hanya standar teknis tetapi juga standar etika (kode etik atau kode perilaku) sebagai sarana untuk mengatur perilaku anggotanya (para profesional) baik didalam maupun diluar tugas-tugas profesional. Para anggota profesi yang melakukan kebohongan. Kecurangan atau berperilaku yang melanggar praktik-praktik standar yang ditetapkan akan didisiplinkan oleh profesi itu sendiri.

Pengawasan dan/atau perijinan oleh pemerintaj dan asosiasi profesi Karena jasanya sangat penting bagi masyarakat, biasanya pemerintah berkepentingan untuk melakuakan pengaturan tertentu, khususnya dalam hal pengawasan, antara lain melalui mekanisme perjanjian dan pemantauan. Pihak profesi sendiri juga memberlakukan aturan masuk yang ketat, antara lain melalui mekanisme pendidikan dan ujian profesi atau sertifikat.

Status dan prestise yang relatif lebih tinggi di masyarakat Selain keempat karakateristik pokok di atas, ada satu lagi karakteristik yang biasanya menandai suatu profesi. Karakteristik ini saebenarnya merupakan akibat dari empat karakteristik sebelumnya, yaitu sebutan profesional dan status prestise di atas rata-rata di dalam masyarakat. Mereka yang menekuni pekerjaan yang memenuhi kriteria sebagai profesi memperoleh atau dan

menyandang sebuatan profesional. Sebagai imbalan dari pencapaian

pemeliharaan atas jasa yang tinggi, dan karenta masyarakat rela memberikan bayaran yang tinggi, kepada para profesional. Oleh sebab itu, mereka yang tetap menjadi anggota profesi berada dalam posisi menguntungkan untuk

memperoleh banyak manfaat, pengakuan dan penghasilan tinggi, sehingga memungkinkan mereka untuk hidup sepenuhnya dari pekerjaan atau profesinya itu. Harga diri yang tinggi karena menjadi anggota suatu kelompok elite (profesi) ini menyebabkan status profesional sangat diharapkan. Mengacu kepada karakteristik umum di atas, dengan demikian profesi adalah pekerja, tetapi tidak seperti pekerjaan pada umumnya. Mereka yang menjalani profesi (para profesional), tidak seperti orang-orang lain yang menjalani pekerjaan pada umumnya. Profesional menghadapai tuntutan yang sangat tinggi baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Tuntutan ini menyangkut tidak saja keahlian, tetapi juga komitmen moral. Seorang profesional memiliki komitmen terhadap pandangan hidup yang secara intelektual kompleks dan menuntut pemuktahiran terus menerus atas pengetahuan dan keahlian. Lebih dari itu, perilakunya selalu diawasi atas dasar tolak ukur etika. Para prefosional membuat pertimbangan-pertimbangan sulit yang membutuhkan kesatupaduan antara kompetensi teknis dan kompetensi etis. Mereka menghadapi dilema moral secara rutin, dan mereka memegang teguh standar yang tinggi terhadap kode etik profesi. Berdasarkan unsur-unsur pokok di atas, suatu profesi dapat diibaratkan sebagai sebuah bangunan dengan tiga komponen utama : fondasi, kerangka (pilar dan dinding), dan atap seperti gambar 1. Fondasi mendasari setiap profesi haruslah fondasi yang kokoh, berupa bidang pengetahuan yang diakui dan sangat penting atau esensial bagi kemakmuran masyarakat. Inilah yang menyebabkan jasa para profesional sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan diperlukannya proses pendidikan yang ekstensif. Kerangka yang berdiri di atas fondasi suatu bangunan juga memilki kesamaan dengan sebuah profesi. Kerangka ini meliputi tiga unsur yaitu : (1) Proses pendidikan untuk memperoleh dan memelihara pengetahuan dan keahlian profesional; (2) Proses ujian dan sertifikasi untuk memastikan apakah para praktisi memiliki pemahaman yang mantap terhadap pokok masalah, dan (3) Rasa tanggung jawab (pengabdian) terhadap masyarakat dalam kaitanya dengan pemanfaatan pengetahuan ini

Agar menjadi sebuah bangunan yang utuh sehingga dapat digunakan sebagai tempat bernaung dan

mengorganisasikan diri, fondasi dan kerangka memerlukan atap. Bagi

profesi, atap ini meliputi 1. Asosiasi profesi 2. Kode etik profesi) 3. Standar teknis perilaku), dan 1. Proses pendidikan 2. Proses ujian dan lisensi/ sertifikasi 3. Tanggung jawab terhadap masyarakat (3) standar teknis (2) kode etik (standar atau aturan etika / unsur- unsur : (1) asosiasi profesional (organisasi

Bidang pengetahuan yang diakui dan sangat Penting bagi kesejahteraan / kemakmuaran masyarakat Asosiasi dipelukan sebagai wadah untuk mengorganisasikan dan mengatur diri. Standar etika dan standar teknis diperlukan sebagai panduan bagi para profesional dalam perilaku dan menjalankan tugas-tugas profesional agar mereka dapat secara konsisten memberikan jasa bersatandar kualitas tinggi. Masyakat kita menaruh harapan yang berbeda terhadap para profesional dibandingkan dengan terhadap mereka yang tidak dikatagorikan sebagai profesional. Ciri-ciri suatu profesi sebagaimana diuraikan di muka secara tegas memberikan

penjelasan mengenai hal ini. Dengan perkataan lain, harapan masyarakat terhadap suatu profesi adalah sangat tinggi dan menentukan wujud profesi tersebut. Dalam kenyataannya, para profesional bekerja dengan sesuatu yang sangat bernilai. Bagi suatu profesi, kepercayaan menyangkut kompensi dan tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan adalah sangat penting. Pada akhirnya, pengakuan masyarakat terhadap suatu profesi akan mementukan hak-hak yang dapat dimiliki dan dinikmati oleh profesi tersebut : (1) berpraktek, seringkali dengan suatu monopoli atau jasa yang ditawarkan; (2) mengatur keanggotaan pada profesi; (3) menerima penghasilan yang relatif tinggi; dan (4) mengatur diri sendiri atau melakukan penilaian sendiri (antarsejawat, bukan oleh pejabat pemerintah). Jika suatu profesi kehilangan kredibilitas di mata publik, akibatnya sangat serius, bukan hanya bagi para profesional yang terkait langsung, tetapi bagi profesi secara keseluruhan.

B. Sumber-sumber Panduan Etika Salah satu ciri yang membedakan profesi dari pekerjaan lainnya adalah komitmen moral yang tinggi. Dalam kaitan ini, para profesional memerlukan nilai-nilai atau prinsip-prinsip etika yang dapat digunakan sebagai pemandu perilakunya ketika menjalankan tugas profesional dan di luar penugasan profesional (dalam kehidupan pribadi). Prinsip-prinsip ini dapat diperoleh dari banyak sumber, dan dua di antaranya adalah sumber penting : (1) Kode etik, dan (2) hukum dan jurisprudensi. Sumber panduan etika yang dapat dikatakan pasti tersedia adalah kode etik atau aturan perilaku yang ditetapkan oleh asosiasi profesi dan kode etik ini menduduki peringkat yang penting. Kode etik lainnya bisa juga ada yang relevan seperti kode etik asosiasi perdagangan, badan badan pemerintah atau kelompok kelompok kepentingan tertentu seperti para ahli lingkungan. Para profesional dapat juga mengacu pada kasus-kasus hukum dan pertimbangan/pendapat pengacara dalam menginterprestasikan kewajiban hukum dan pertahanan diri. Akan tetapi kehati-hatian perlu dilakukan dalam menerpakan standar-standar hukum pada masalsah-masalah etika karena tiga hal. Pertama, hukum umumnya ketinggalan dari apa yang oleh masyakat dianggap etis. Kedua,

apa yang sesuai dengan hukum (legal)tidak selalu etis. Ketiga ,kemungkinan tidak banyak keputusan yang relevan dan sesuai dengan kasus yang sedang dihadapi, sehingga dapat digunakan sebagai acuan.

C. Aturan Kepegawaian bagi PNS Sebagai sebuah profesi, maka PNS terikat oleh aturan-aturan di dalam profesinya yang disebut sebagai aturan kepegawaian. Aturan kepegawaian dalam profesi PNS selalu berkembang sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan. Namun hal pertama yang perlu dipelajari dalam aturan kepegawaan PNS adalah mempelajari Pokok-Pokok Kepegawaian dan aturan tentang disiplin PNS. Aturan tentang pokok-pokok kepegawaian PNS terdapat pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (ada pada lampiran). Sedang aturan tentang disiplin PNS terakhir diubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 (terlampir).

D. Kode Etik Eselon I pada Kementerian Keuangan Sebagai sebuah kementerian yang mempelopori reformasi birokrasi di Indonesia, maka Kementerian Keuangan telah menyusun Nilai-Nilai Kementerian Keuangan (terlampir) yang menjadi acuan perilaku bagi seluruh unit eselon 1 dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Pada setiap unit eselon 1 juga sudah disusun Kode Etik yang khas untuk setiap unit eselon I (terlampir). Kode Etik ini berfungsi untuk mengatur perilaku PNS agar sesuai dengan norma-norma etis yang telah ditetapkan dengan sanksi yang jelas, sehingga tercipta PNS yang profesional sesuai dengan tuntutan masyarakat.

SOAL-SOAL 6. Apa sesungguhnya profesi itu? 7. Apa ciri-ciri yang membedakan seorang profesional dengan orang yang menekuni pekerjaan biasa? 8. Apa saja yang merupakan sumber nilai-nilai etis bagi profesional? 9. Jelaskan tentang hal-hal yang utama yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian! 10. Apa saja Nilai-Nilai Kementerian Keuangan? Jelaskan! 11. Pelajaran apa yang dapat Anda ambil dari Kode Etik pada setiap Eselon 1 Kementerian Keuangan?

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Kusmanadji. 2004.Etika, Profesi Akuntansi, Bisnis, dan Pelayanan Publik. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Sarimah,Ucok.2008.Etika Profesi Pegawai Negeri Sipil Departemen Keuangan Republik Indonesia.Tangerang: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. http://etikaprofesidanprotokoler.blogspot.com

You might also like