You are on page 1of 8

MAKALAH PANCASILA

WANITA : ANTARA QURAN DAN FEMINISME

Di Susun Oleh :

NAMA NIM FAKULTAS/PRODI

: MUHAMMAD DIRWAN BAHRI : 11/316746/PA/13873 : MIPA/GEOFISIKA

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2012

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Ibu R.A. Kartini dikenal sebagai pahlawan kaum perempuan dalam menuntut hakhaknya mendapatkan hak yang sama dalam bidang pendidikan. Dari situlah dengan apa yang kita kenal dengan Emansipasi Wanita. Pemikiran tentang kaum perempuan terus berkembang seiring berkembangnya pula isu-isu gender yang banyak dikenal dengan kesetaraan gender merebak di dunia. Isu atau gagasan tersebut dibawa oleh kaum feminis dengan pahamnya feminisme untuk menuntut kesetaraan hak-hak perempuan dengan laki-laki. Namun, sejalan dengan merebak serta mengakarnya isu gender ini di Negara-negara berkembang terutama, timbul kontroversi terhadap gagasan-gagasan yang dibawa. Tak ayal, paham yang mengusung perempuan sebagai kunci kemajuan pun menimbulkan masalah-masalah baru terutama di negara-negara dengan mayoritas beragama islam seperti Indonesia. Perkembangan paham-paham feminis ini tentunya menuai banyak kecaman dari kalangan muslim, tidak sedikit juga pemikiran yang berasal dari paham liberal, berimbas pada kebebasan kaum muslim diantaranya dalam berpikir. Karena dalam islam, segala persoalan dan aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan dan berbagai bidang telah diatur dalam Al-Quran. 1.2 Rumusan masalah Bagaimana sepak terjang feminisme dan gagasan para kaum feminis yang sekarang berkembang di masyarakat? Bagaimana islam memandang persoalan yang sensitif (bagi feminis), mengenai pernyetaraan laki-laki dan perempuan? Lalu, harus seperti bagaimana wanita jaman sekarang dalam bersikap terhadap dualisme pendapat tersebut? Dan bagaimana posisi wanita seharusnya?

II.

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Feminisme Munculnya feminisme tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang sejarah perjuangan kaum perempuan barat menuntut kebebasannya. Karena perempuan tidak memiliki tempat di tengah masyarakat, mereka diabaikan, tidak memiliki sesuatu pun, dan tidak boleh mengurus apapun. Sejarah barat ini dianggap tidak memihak kaum perempuan. Dalam masyarakat feodalis (di Eropa hingga abad ke-18), dominasi mitologi filsafat dan teologi gereja sarat dengan pelecehan feminitas; wanita diposisikan sebagai sesuatu yang rendah, yaitu sebagai sumber godaan dan kejahatan. Kemudian muncullah renaissance (pemberontakan dominasi gereja), yang diikuti dengan Revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang merupakan puncak pemberontakan dominasi kaum feodal yang cenderung korup dan menindas rakyat. Inilah awal proses liberalisasi dan demokratisasi kehidupan Barat, yang juga merupakan perubahan system feodal menjadi kapitalis secular. Kaum kapitalis mendorong kaum perempuan

untuk bekerja di luar rumah. Kaum perempuan berurusan dengan pabrik-pabrik, industri dan kaum laki-laki yang dianggap bertentangan dengan kepentingannya. Akhirnya, terjadi persaingan dalam memperebutkan posisi kaum laki-laki untuk memperoleh kebebasan mutlak agar terlepas dari segala macam ikatan dan nilai-nilai tradisi. Disinilah, kaum perempuan mulai menuntut persamaan secara mutlak dengan kaum laki-laki dalam hal hubungan seksual sebelum menikah. Masalah-masalah tentang pembebasan serta penyetaraan hak-hak kaum perempuan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Wacana-wacana tentang segala hal menyangkut perempuan atau wanita, permasalahan-permasalahannya, penggalian potensi-potensi perempuan dalam menyelesaikan pelik sosial dan kemsyarakatan. kemudian dibahas dalam konferensi-konferensi tingkat dunia. Dari data yang didapat, pada tahun 1985 diadakan Konferensi dunia tentang wanita di Nairobi, Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (Internasional Conference Population and Development ICPD) pada September 1994 di Kairo menghasilkan program aksi bertema, Empowerment of Women atau Pemberdayaan Perempuan yang menggagas bahwa perempuan harus mendapatkan peluang lebih besar di berbagai bidang karena perempuan berpotensial dalam memberantas kemiskinan, meningkatkan kualitas keluarga, dan mengendalikan jumlah penduduk. Hasil-hasil konferensi-konferensi tersebut lalu disempurnakan pada Konferensi Wanita Sedunia IV (Fourth World Conference on Women) di Beijing, Cina September 1995. Pada konferensi ini PBB mencanangkan program aksi meluas yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dalam peran sertanya di berbagai bidang. Pemerintahan Negara-negara di dunia mulai mengadopsi nilai kesetaraan jender dalam kebijakan-kebijakan di negaranya. Tahun 1997, isu Wanita dalam Kekuasaan dan Penentu Kebijakan menjadi tema prioritas. PBB dan lembaga internasional dibantu oleh LSM atau Non Govermental Organization (NGO) setempat, memberi tekanan-tekanan politik kepada pemerintah Negara-negara di dunia untuk secara bertahap menajalankan Kerangka Tindakan (Platform for Action) Beijing Message sebagai langkah-langkah sistematis melakukan perubahan social menuju masyarakat berkesetaraan jender. Indonesia merupakan Negara berkembang yang sedang dibombardir dengan pemikiran-pemikiran barat yang salah satunya dibawa oleh LSM-LSM. Lembagalembaga feminis seperti Kalyanamitra, Rifka Annisa, Yasanti dan LSPPA (Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak) gencar melakukan sosialisasi isu gender di wilayah Indonesia. Di Indonesia, kini isu gender sudah bukan lagi menjadi wacana tetapi sudah terformalisasikan dalam bentuk kebijakan publik. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Inpres no.9 tahun 2001 tentang Pengarus-Utamaan Gender (PUG), yang menyatakan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif gender. Perkembangan paham-paham feminis melalui isu-isu gender mulai menjalar kepada masalahmasalah ibadah yang menuai banyak kecaman dari kalangan muslim.

2.2 Gagasan feministik seputar gender Pemikiran-pemikiran ala liberal yang dibawa lewat paham feminis ini memberikan efek yang sangat besar. Gagasan-gagasan yang diusung kaum feminis ini diyakini dapat menyelesaikan persoalan-persoalan perempuan dalam menghadapi arus perkembangan jaman. Apa saja gagasan-gagasan tersebut? Berikut uraiannya: 1. Laki-laki dan perempuan sama. Inilah yang para feminis maksud dengan kesetaraan gender. Dalam terminologi feminis, gender didefinisikan sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) dengan kata lain sering disebut jenis kelamin sosial. Dalam persepsi mereka, sifat paten (kodrat) laki-laki dan perempuan merupakan produk budaya yang dapat dipertukarkan dan bersifat tidak permanent alias dapat berubah sesuai dengan perubahan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut. Feminis menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis, seperti contohnya mereka tidak menerima sifat keperempuanan (lembut, keibuan, emosional) mengharuskan mereka menjalani fungsi keibuan dan kerumahtanggaan. Pada intinya mereka tidak menerima bahwa manusia lahir dengan kodrat maskulinitas dan feminitas. 2. Ketidaksetaraan gender merugikan perempuan. Dalam perspektif mereka ketidaksetaraan inilah yang menjadi penyebab munculnya berbagai ketidakadilan dalam berbagsi bidang terhadap perempuan. Seperti, pelabelan negatif, maraknya tindak kasus kekerasan, dll. 3. Liberalisasi perempuan akan memajukan perempuan. Pembebasan perempuan diyakini sebagai pintu gerbang untuk mencapai kemajuan oleh kaum feminis karena ini berarti kesempatan bagi mereka untuk mengejar keinginannya tanpa batasan cultural dan struktural yang dapat menghambatnya. 4. Menolak institusi keluarga dan system patriarchal yang merupakan symbol dominasi kaum laki-laki atas perempuan. Ini merupakan buah pemikiran kaum feminis radikal yang berupaya untuk mengubah struktur pembagian tugas kehidupan sebagaimana kebebasannya dalam menentukan. Dengan kata lain, halal hukumnya menolak kodrat manusiawi mereka. Contohnya, laki-laki dan perempuan dapat bertukar peran, apakah itu sebagai ayah atau ibu atau keduanya tanpa ada batasan. 2.3 Wanita dalam Islam: Spiritual, Ekonomi dan Sosial Ketika mendiskusikan segala topik yang berhubungan dengan Islam, adalah tidak bisa dihindarkan untuk selalu merujuk kepada sumber utama ajaran Islam,yaitu Al-Quran. Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang kedudukan wanita dalam Islam, bahkan salah satu surat dari Al-Quran disebut surat an-Nisa (Wanita). Konsep yang paling familiar tentang kedudukan wanita dalam Islam yang sering disebut al-Quran adalah konsep women equality.

Equality, responsibility dan accountability antara wanita dan laki-laki adalah tema dalam AlQuran yang sering ditekankan. Term persamaan antara laki-laki dan wanita dimata Tuhan tidak hanya terbatas pada hal-hal spiritual atau isu-isu religius semata, lebih jauh Al-Quran berbicara tentang persamaan hak antara laki-laki dan wanita dalam segala aspek kehidupan. Menurut Al-Quran, wanita dan laki-laki mempunyai spiritual human-nature yang sama. Al-Quran menyebutkan bahwa kedua jenis kelamin, laki-laki dan wanita, masingmasing berdiri sendiri dan independen. Al-Quran sama sekali tidak pernah menyebutkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, bahkan isu tentang jenis kelamin mana yang lebih dahulu diciptakan, Al-Quran tidak memberikan spesifikasi yang jelas. Allah berfirman: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan zawj; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain [264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (QS 4:1). Muhammad Asad (1980) dalam The Message of the Quran menulis bahwa kata Arab zawj (mate) dalam ayat diatas secara gramatik bahasa adalah netral dan bisa dipakai untuk menyebut laki-laki atau wanita. Karenanya, Al-Quran tidak menyebut dengan jelas apakah Adam diciptakan terlebih dahulu kemudian Hawa dan juga tidak menyebut kalau Hawa (wanita) adalah subordinasi dari Adam (laki-laki). Fakta bahwa al-Quran tidak secara spesifik menyebut jenis kelamin mana yang diciptakan lebih dahulu adalah bukti tidak adanya bias jender dalam penciptaan manusia dalam Islam. Lebih jauh Al-Quran menyebut bahwa fungsi utama penciptaan manusia (laki-laki dan wanita) adalah bahwa keduanya dipercaya sebagai khalifah di muka bumi. Dalam hal kewajiban moral-spiritual beribadah kepada Sang pencipta, Al-Quran menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Dalam lebih dari satu ayat, Al-Quran menyebut bahwa siapa pun yang berbuat baik, laki-laki atau wanita, Tuhan akan memberikan pahala yang setimpal (QS: 3:195 dan 16:97). Untuk hak-hak yang bersifat ekonomis, Al-Quran mengenal adanya hak penuh bagi wanita sebelum dan sesudah menikah. Jika sebelum menikah seorang wanita memiliki kekayaan pribadi, maka begitupun setelah dia menikah. Dia mempunyai hak kontrol penuh terhadap kekayaannya. Berkenaan dengan hak ekonomis bagi wanita, Badawi (1995) menyebutkan bahwa di Eropa, sampai akhir abad 19, wanita tidak mempunyai hak penuh untuk memiliki kekayaan. Ketika seorang wanita menikah, secara otomatis harta seorang wanita menjadi milik sang suami atau kalau si isteri mau mempergunakan harta yang sebenarnya milik dia ketika belum menikah, harus mempunyai ijin dari sang suami. Badawi menunjuk kasus hukum positif Inggris sebagai contoh. Di Inggris, hukum positif tentang wanita mempunyai hak kepemilikan baru diundangkan pada sekitar tahun 1860-an yang terkenal dengan undang-undang Married Women Property Act. Padahal Islam telah mengundangkan hukum positif hak pemilikan wanita 1300 tahun lebih awal ( Lihat QS 4:7dan 4:32).

Mendiskusikan posisi wanita di bidang sosial, adalah penting untuk melihat bagaimana peranan wanita sebagai anak, isteri dan ibu dalam Islam. Ketika tradisi penguburan hidup-hidup bayi wanita menjamur dalam tradisi jahiliyah Arab, Islam dengan tegas melarangnya dan bahkan menganggap tradisi itu sebagai tradisi barbar yang tidak bermoral. Lebih jauh, sebagai ibu, wanita mempunyai posisi yang sangat terhormat dalam Islam. Al-Quran memerintahkan setiap anak yang beragama Islam untuk mempunyai respektifitas yang tinggi terhadap orang tua, terutama ibu (QS 31:14). Kegagalan untuk hormat pada orang tua termasuk pelanggaran yang berimplikasi dosa besar. Kedudukan wanita sebagai isteri pun sangat dihargai dalam Islam. Al-Quran dengan jelas menekankan bahwa pernikahan dalam Islam adalah love-sharing antara dua insan yang berbeda jenis dalam masyarakat dengan tujuan mempertahankan keturunan dan menciptakan spiritual-harmony (QS 30:21). Pemaparan keadaan wanita dalam Islam diatas dengan jelas mengindikasikan bahwa posisi wanita diangkat martabatnya ketika Islam datang. Kedatangan Islam bahkan bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan pelecehan harkat wanita. Fazlur Rahman (1982) menulis tak ada bukti sama sekali bahwa wanita dalam Islam dipandang sebagai lebih rendah dari laki-laki. 2.4 Perlunya Reinterpretasi Al-Quran Meskipun dengan jelas Al-Quran telah memposisikan wanita dalam martabat yang terhormat, ada beberapa ayat yang dipandang sebagai adanya superioritas laki-laki atas wanita. Allah berfirman: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(QS 2:228). Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (QS 4:34). Mengomentari dua ayat di atas yang terkadang menjadi sumber miskonsepsi tentang wanita dalam Islam, tokoh feminist Muslim seperti Fatima Mernissi (1992) dan Amina Wadud (1999) menyarankan bahwa ayat-ayat Al-Quran di atas perlu reinterpretasi. Karena Al-Quran diturunkan dengan latar belakang sosio-historis Arab, maka kata Rahman (1982) kita harus sadar bahwa al-Quran adalah respon Ilahi terhadap kultur Arab, karenanya yang harus kita cari dari ayat-ayat Al-Quran adalah semangat ideal moral yang lebih luas yang bisa diterapkan disegala masa dan tempat. Berkenaan dengan posisi wanita, yang harus kita cari adalah semangat egaliter yang sering ditekankan Al-Quran.

Dalam kata-kata Wadud (1999) untuk mengetahui secara komprehensif bagaimana Al-Quran berbicara tentang wanita, kaum Muslimin harus berani meinginterpretasi seluruh ayat Al-Quran yang berbicara tentang wanita dan menganalisanya dengan kritis dengan memperhatikan its context, in the light of overriding Quranic principles and within the context of the Quranic weltanschauung. Artinya Muslim dituntut untuk tidak hanya memahami ayat-ayat Al-Quran tentang wanita secara tekstual dan literal tapi juga harus memperhatikan konteks dimana dan kapan ayat Quran turun. Akhirnya, kalau secara prinsip Al-Quran mempromosikan peningkatan status wanita dalam Islam dalam ayat-ayatnya dan wanita Muslim menikmati status itu di awal periode kedatangan Islam, mengapa stereotype dan image bahwa wanita dalam Islam adalah terbelakang, tertindas dan menjadi makhluk kelas dua muncul di abad Modern ini? Sulit menjawabnya memang, tapi nampaknya penting untuk dicatat bahwa disamping kita perlu mengkaji ulang dan reinterpretasi ayat-ayat Quran untuk menjawab tantangan modernitas, adalah bijak kalau kita memperhatikan pernyataan Ranna Kabbani (1989) dalam bukunya Letter to Christendom yang mencatat: in Islamic society, as in the West, the oppression of women is usually more the result of poverty and lack of education and other opportunities, than of religion. Mungkin Kabbani benar bahwa kalaupun ada kecenderungan memposisikan wanita sebagai kaum kelas dua dalam masyarakat Islam, sebagaimana terjadi di Barat, bukan disebabkan oleh faktor agama tapi lebih karena faktor kemiskinan, kurang pendidikan dan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada wanita untuk berkarya. III. PENUTUP

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Feminisme adalah suatu bentuk pengakuan atas posisi perempuan di masyarakat yang disejajarkan dengan kaum pria dengan tidak hanya melihat perbedaan jenis kelamin saja. Feminisme juga tidak hanya di barat saja, tetapi juga sudah merambah masuk ke dunia Islam. Dan dalam Islam sendiri dikatakan bahwa Islam memandang laki-laki dan perempuan secara setara juga, dan bahwa Allah secara umum memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori-teori feminis mempunyai kapasitas universal, yaitu pandangan tentang keegaliteran dan persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki.Prinsip-prinsip dasarnya adalah adanya persamaan hak laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan dan dalam kehidupan bermasyarakat, otomatis menyebabkan kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan perempuan.Dalam tataran fundamental yang bersifat aplikatif dan kontekstual, bahkan mulai muncul perbedaan-perbedaan visi karena perbedaan latar belakang, budaya, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Pada tataran ini semua aturan dirumuskan, seberapa besar porsi perempuan dan laki-laki dalam norma-norma sosial. Masalahnya terletak pada nilai-nilai instrumental, operasional, dan penjabaran yang bersifat kontekstual. Kekacauan pemikiran itu diakibatkan oleh pemahaman yang sepihak, yaitu pemahaman dari sudut laki-laki. Dengan demikian, seks dan gender merupakan pokok pikiran para feminis yang pada dasarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan diwakili oleh dua konsep, yaitu jenis kelamin dan gender.

IV.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hasan Al-Ghaffar, Abdurrasul, 1984, Al-Marah Al-Muashirah, terjemahan: Bahruddin Fanani, 1995, Wanita Islam dan Gaya HidupModern, Pustaka Hidayah, Bandung. Ratna Megawangi, 1996, Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini danMendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman, Makalah dalamSeminar Nasional Pengembangan Pemikiran Keislaman dalamMuhammadiyah, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dan LPPI UMY, 23 Juni, 1996. http://www.babinrohis-nakertrans.org/artikel_islam/kedudukan-wanita-dalam-islam http://id.wikipedia.org/wiki/feminisme HTTP://www.scribd.com/doc/77531233/Feminisme-Dalam-Islam

You might also like