Professional Documents
Culture Documents
(Telaah Perbandingan)
Oleh: Adian Husaini, MA
1. Konsep Tuhan yang khas
Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama. Dari
konsep Tuhan inilah, kemudian dijabarkan konsepkonsep lain dalam agama, baik
konsep tentang manusia, konsep tentang kenabian, konsep tentang wahyu, konsep
tentang alam, dan sebagainya. Karena itu, setiap berbicara tentang ”agama”, maka
mau tidak mau, yang pertama kali perlu dipahami adalah konsep Tuhannya.
Sebagaimana konsep Islamic worldview yang ditandai dengan
karakteristiknya yang otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, menurut
Prof. Naquib alAttas 1 , juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan
dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam alQuran yang juga bersifat
otentik dan final. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak
sama dengan konsepsi Tuhan dalam agamaagama lain, tidak sama dengan konsep
Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani.
Sebagai contoh, dalam konsepsi Aristotle, Tuhan disebut sebagai “unmoved
mover”, yaitu penggerak yang tidak bergerak. Tuhan Aristotle adalah Tuhan filsafat,
Tuhan yang ada dalam pikiran, karena ia harus ada secara logika sebagai penggerak
alam semesta yang senantiasa berada dalam keadaan bergerak dan berubah. Karena
itu, tidak ada catatan yang menunjukkan bahwa Aristotle menyembah Tuhan yang
dikonsepsikannya. Tuhan Aristotle hanya tahu dirinya sendiri, dan tidak paham apa
yang ada di luar dirinya.. Dalam metafisika Aristotle disebutkan: “Consequently, the
first heaven must be eternal. There is therefore also something which moves it. And
since a moved mover is intermediate, there is, therefore, also an unmoved mover,
being eternal, primary, and in act… It is evident, then, from what has been said, that
there is a primary being, eternal and unmovable and separate from sensible things. It
has also been shown that this primary being can not have magnitude, but is without
parts and indivisible. For the unmoved mover moves in unlimited time, and nothing
limited has unlimited power.” 2
Contoh lain dari tradisi filsafat Yunani adalah aliran filsafat Epicureans yang
menyatakan bahwa "gods exist, since that is the common opinion of mankind, but they
have no concern for the world and what happens in it, for that would disturb their
divine happiness and tranquility." 3 Epicurus (m. 270 SM), mengajarkan bahwa "by
teaching that the gods do not interfere and that the physical world is explained by
natural causes, it frees us from the fear of the supernatural." 4
1
Syed Muhammad Naquib alAttas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1995), hal. 37.
2
(Metaphysics, Book Lambda, 1072a2026, 1073a38. Lihat, Aristotle Metaphysics (translated by
Richard Hope), (New York: Columbia University Press, 1952).
3
Dikutip dari diktat mata kuliah 'Greek Phylosophy' oleh Prof. Dr. Paul Letink, guru besar filsafat
Yunani, bahasa Yunani dan bahasa Latin, di ISTACIIUM Kuala Lumpur.
4
Lihat, Simon Price and Emily Kearns (ed), The Oxford Dictionary of Classical Myth and Religion,
(Oxford:Oxford University Press, 2004), hal. 192.
1
Konsep Tuhan dalam Islam juga berbeda dengan konsep Tuhan dalam filsafat
Barat modern. Prof. Frans Magnis Suseno, guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Ilmu
Filsafat Driyarkara, Jakarta, merangkum tantangan modernitas terhadap keimanan dan
'konsep Tuhan ' agamaagama:
"Modernitas sebagaimana menjadi kenyataan di Eropa sejak abad ke17 mulai
meragukan ketuhanan. Reformasi Protestan abad ke16 sudah menolak banyak
klaim Gereja. Dalam abad ke17 empirisisme menuntut agar segala
pengetahuan mendasarkan diri pada pengalaman inderawi. Pada akhir abad
ke18 muncul filosoffilosof materialis pertama yang mengembalikan
keanekaan bentuk kehidupan, termasuk manusia, pada materi dan menolak
alam adiduniawi. Dalam abad ke19 dasardasar ateisme filosofis dirumuskan
oleh Feurbach, Marx, Nietzsce, dan dari sudut psikologi, Freud. Pada saat
yang sama ilmuilmu pengetahuan mencapai kemajuan demi kemajuan.
Pengetahuan ilmiah dianggap harus menggantikan kepercayaan akan Tuhan.
Akhirnya, di abad ke20, filsafat untuk sebagian besar menyangkal
kemungkinan mengetahui sesuatu tentang hal ketuhanan, sedangkan dalam
masyarakat sendiri ketuhanan semakin tersingkir oleh keasyikan budaya
konsumistik. Sebagai akibat, manusia modern menjadi skeptis tentang
ketuhanan kalau ia tidak menyangkalnya sama sekali. Maka apabila seseorang,
atau sekelompok orang, tetap yakin akan adanya Tuhan, mereka mau tak mau
harus menghadapi tantangan skeptisisme modernitas itu." 5
Begitu juga, konsep Tuhan dalam Islam berbeda dengan konsep Tuhan dalam
tradisi Buddhisme, Hinduisme, atau tradisi mistik Timur dan Barat. Dalam konsep
agama Budha, misalnya, seorang Buddhis memiliki enam keyakinan yang disebut
Sadsaddha, yang terdiri dari keyakinan tentang adanya: (1) Tuhan Yang Maha Esa
(2) Tri Ratna (3) Bodhisattva, Arahat dan para Buddha, (4) Hukum Kasunyatan (5)
Kitab Suci Tri Pitaka, dan (6) Nirvana. Buddha tidak menyebut nama Tuhannya
dengan sebutan tertentu. Tentang "Tuhan Yang Maha Esa" tidak dijelaskan namaNya
secara khusus. Dalam buku Be Buddhist Be Happy, misalnya, ditulis: "Seorang umat
Buddha meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal dengan sbeutan: "Atthi
Ajatam Abhutam Akatam Asamkatam", yang artinya: Sesuatu yang tidak dilahirkan,
tidak dijelmakan, tidak diciptakan, Yang Mutlak. Tuhan Yang Maha Esa di dalam
agama Buddha adalah Anatman (Tanpa Aku), suatu yang tidak berpribadi, suatu yang
tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Hal ini diungkapkan dalam Kitab
Suci Udana VIII ayat 3. Seorang Buddhis meyakini Tuhan Yang Maha Esa sebagai
yang mendasari kehidupan dan alam semesta, dan juga sebagai tujuan atau cita
citanya yang tertinggi atau tujuan hidup akhirnya, yakni yang akan dipahami
sepenuhnya bila telah tercapai Nirvana." 6
Agama Hindu, pun memiliki konsep ketuhanan yang khas, yang berbeda
dengan konsepkonsep agama lain. Tentang Hindu, Alain Danielou, menulis dalam
bukunya, Gods of India: Hindu Polytheism, (New York: Inner Traditions
International, 1985): "Hinduism, or rather the "eternal religion" (sanata dharma), as
it calls irself, recognizes for each age and each country a new form of revelation and
5
Lihat, Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal. 4445.
6
Lihat, Jo Priastana, Be Buddhist Be Happy, (Jakarta: Yasodhara Puteri Jakarta, 2005), hal. 2829.
2
for each man, according to his stage of development, a different path of realization, a
different of worship, a different morality, different rituals, different gods." 7
Kaum Hindu Bali menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai "Ida Sang Hyang
Widhi Wasa", atau "Brahman". Sebuah buku menulis: “Agama Hindu berkembang
pertama kali di lembah sungai suci Sindhu di Bharatawarsa (India). Di lembah sungai
suci Sindhu inilah para maharsi menerima wahyu Brahman, San Hyang Widhi Yasa,
dan kemudian diabadikan dalam bentuk pusaka suci Weda… Di antara sekian banyak
gelar Sang Hyang Widhi, ada tiga yang paling terkenal yaitu Brahma, Wisnu, dan
Siwa yang terkenal dengan sebutan Trimurti.” 8
Tentang “nama Tuhan”
Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath
Thahawi (239321H), dan disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam
Syaibani, menyatakan: "Naquulu fii tawqiidillaahi mu'taqidiina – bitawfiqillaahi:
Innallaaha waahidun laa syariikalahu." Dalam Kitab Aqidatul Awam – yang biasa
dimadrasahmadrasah Ibtidaiyah ditulis bait pertama kitab ini: "Abda'u bismillaahi
waarrahmaani—wa birrahiimi daa'imil ihsaani." Ayat pertama dalam alQuran juga
berbunyi "Bismillahirrahmaanirrahiimi", dengan nama Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang.
Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' ( ﺍﷲ ) dibaca
dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi
harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaanbacaan
ayatayat dalam alQuran. 9 Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad
– yang sampai pada Rasulullah saw – maka kaum Muslimin tidak menghadapi
masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat
tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah. Dengan
demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena
menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada
Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut
nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT – melalui
alQuran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang
Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifatsifat tertentu. Sifatsifat Allah dan nama
namaNya pun sudah dijelaskan dalam alQuran, sehingga tidak memberikan
7
Alain Danielou, Gods of India: Hindu Polytheism, (New York: Inner Traditions International, 1985),
hal. x.
8
Lihat, IB Suparta Ardhana, Sejarah Perkembangan Agama Hindu, (Denpasar: Paramita, 2002), hal.
14.
9
Salah satu syarat qiraah yang sahih dalam alQuran adalah bahwa bacaan itu harus ditetapkan
berdasarkan sanad yang mutawatir atau shahih, bukan berdasarkan spekulasi akal. Qiraat ditetapkan
berdasarkan sanadsanadnya sampai kepada Rasulullah saw. Karena itu, ketika bertemu dengan huruf
Alif Lam Lam ha (Allah), orang Islam pasti akan membaca dengan "Alloh", bukan "Allah". Ketika
bertemu dengan huruf Alif Lam Mim, maka akan dibaca dengan "Alim Lam Mim" dengan panjang
pendek tertentu. Tentang ilmul Qiraat bisa dilihat dalam berbagai Kitab Ulumul Qur'an. Ali As
Shabuni, misalnya, menulis bahwa qiraat "tsabitatun bi asanidiha ila Rasulillahi shallallahu 'alaihi wa
sallam". (Lihat, Muhammad Ali asShabuni, atTibyan fi Ulumil Quran, (Beirut: Darul Irsyad, 1970),
hal. 249). Tradisi Islam dalam qiraat berdasarkan sanad ini sangat menarik jika dibandingkan dengan
tradisi YahudiKristen yang tidak mengenal 'sanad' sehingga mereka kehilangan jejak untuk
menentukan bagaimana membaca satu manuskrip, termasuk dalam mengucapkan nama Tuhannya.
3
kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam
adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan
tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS 112). Ibn Katsir dalam Tafsirnya
menulis bahwa ‘Allah’ adalah ‘alismu ala’dhamu’. Allah juga merupakan nama
yang khusus dan tidak ada sesuatu pun yang memiliki nama itu selain Allah Rabbul
‘Alamin. Bahkan, sejumlah ulama seperti Imam Syafii, alKhithabi, Imam Haramain,
Imam Ghazali, dan sebagainya menyatakan, bahwa lafaz Allah adalah isim jamid, dan
tidak memiliki akar kata. Menurut para ulama ini, kata Allah bukan ‘musytaq’
(turunan dari kata asal). 10
Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La ilaha illallah, Muhammadur
Rasulullah" Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah".
Syahadat Islam ini juga bersifat final dan tidak mengalami perubahan sejak zaman
Rasulullah saw sampai Hari Kiamat. Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar
belakang budaya dan bahasa yang berbeda – juga menyebut dan mengucapkan nama
Allah dengan cara yang sama. 11 Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami
perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen Armstrong menulis
dalam bukunya:
"alQuran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya
sebagai zhanna, yaitu mendugaduga tentang sesuatu yang tak mungkin
diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi
dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak
mengherankan jika umat Muslim memandang ajaranajaran itu sebagai
penghujatan." 12
Nama Tuhan dalam tradisi YahudiKristen
Berbeda dengan tradisi Islam, dalam tradisi Yahudi dan Kristen, nama Tuhan
masih merupakan perdebatan yang berkelanjutan. Kaum Yahudi, hingga kini, masih
belum menemukan dan berspekulasi tentang nama Tuhan mereka. Dalam konsep
Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum
Yahudi modern hanya mendugaduga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh.
The Concise Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan 'Yahweh' sebagai
"The God of Judaism as the‘ tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By
orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated , least of all in the
Jewish liturgy." (Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World
Religions, (Oxford University Press, 2000).
Dr. D. L. Baker, menulis, bahwa:
"Kata nama yang paling penting dalam PL ialah יהוה (yhwh), nama Allah
Israel, yang ditemukan kurang lebih 6823 kali dalam PL. Nama tsb mungkin
10
Lihat, Ibn Katsir, Tafsir alQuran al‘Adhim, (Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1994), 1:40. Salah
satu bukti bahwa lafaz Allah tidak ”musytaq” adalah jika ditambahkan huruf nida (huruf panggilan,
seperti huruf ”ya nida’” maka tidak berubah menjadi ”Yaa ilah”, tetapi tetap ”Yaa Allah”. Sedangkan
jika huruf nida ditambahkan pada kata ”alRahman”, misalnya, maka akan berubah menjadi ”Yaa
Rahman” (perangkat ta’rifnya hilang).
11
Bandingkan konsep dan teks syahadat Islam ini dengan syahadat Kristen, seperti dibahas pada bagian
berikutnya dari makalah ini.
12
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), (Bandung: Mizan, 2001), hal. 199200.
4
dulu diucapkan “Yahweh”, tetapi menurut tradisi Yahudi , nama yang
Mahasuci itu tidak boleh diucapkan untuk menghindari kemungkinan
pelanggaran perintah ketiga (“Jangan menyebut nama , יהוה Allahmu ,dengan
sembarangan…” (Kel, 20:7). Oleh sebab itu ,setiap kali terdapat kata יהוה
dalam Alkitab, orang Yahudi membacanya dengan kata ) אדני adonay (
‘Tuhan ) ” . ’ 13
Harold Bloom, dalam buku terkenalnya, Jesus and Yahweh, juga menulis,
bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui bagaimana
mengucapkannya:
“The fourletter YHWH is God’s proper name in the Hebrew Bible, where it
appears some six thousand times. How the name was pronounced we never
will know.” 14
ﺍﻣﺎ . ﺷﻲء ﻛﻞ ﻋﻠﻰ ﻗﺪﻳﺮﺍ ﺍﻟﻬﺎ ﻭﻳﻌﻘﻮﺏ ﻭﺍﺳﺤﻖ ﻻﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻇﻬﺮﺕ ﻗﺪ . ﺍﻟﺮﺏ ﻫﻮ ﺃﻧﺎ : ﻟﻤﻮﺳﻰ ﺍﻟﺮﺏ ﻭﻗﺎﻝ
. ﻟﻬﻢ ﺃﻋﻠﻨﻪ ﻓﻠﻢ ( ﺍﻟﺮﺏ ﺃﻱ ) ﻳﻬﻮﻩ ﺍﺳﻤﻲ
Dalam bukunya, The History of Allah, tokoh Kristen Ortodoks Syria,
Bambang Noorsena menulis bab berjudul “Bolehkah Nama YHWH (TUHAN)
Diterjemahkan dalam Bahasabahasa Lain?”. Ia menulis:
“Sejak Kitab Suci Perjanjian Baru ditulis oleh para rasul Kristus, tetagram
(keempat huruf suci YHWH, Yahwe) diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani,
Kyrios (TUHAN). Cara ini mengikuti kebiasaan Yahudi, yang juga diikuti
oleh Yesus dan para RasulNya yang biasanya melafalkan Yahwe dengan
Adonai (TUHAN) atau ha Shem (Nama segala nama).” 16
Karena tidak memiliki tradisi sanad dan adanya problem otentisitas Kitab
Sucinya, maka kaum Yahudi tidak tahu dengan pasti bagaimana cara melafazkan
nama Tuhannya yang semuanya tertulis dalam empat huruf mati 'YHWH'. Tentang
problem otentisitas Kitab Suci Yahudi – yang juga dijadikan oleh kaum Kristen
sebagai Perjanjian Lamanya – Th. C. Vriezen menulis:
13
Dr. D.L. Baker et.al , Pengantar Bahasa Ibrani ,Jakarta: BPK, 2004), hal. 52.
.
14
Lihat, Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Riverhead Books, 2005), hal. 127.
15
Lihat, Kitab alHayat (Holy Bible) New International Version, Arabic/English Bible, 1999, terbitan
International Bible Society.
16
Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogyakarta: Andi, 205), hal. 23.
5
“Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan
sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah
bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau
diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turuntemurun
itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumbersumber
kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada
kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara
bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk
menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan
bagian mana yang merupakan sisipan.” 17
Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi
Kristen tentang nama Tuhan yang beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya
setempat. Di Timur Tengah, kaum Kristen menyebut "Alloh" sama dengan orang
Islam; di Indonesia melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah"; dan di Barat kaum
Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord". Bambang Noorsena
menulis tentang hal ini:
“Kata Allah, meskipun di lingkungan Kristen Arab tidak dipahami sebagai
”nama diri” (berbeda dengan pandangan sebagian umat Islam), sebutan ini
begitu sentral kedudukannya dalam bahasa Arab. Satusatunya perkecualian
adalah tradisi Arab Samaria yang tanpa raguragu menerjemahkan YHWH
dengan Allah. Sementara itu dalam bahasa Aram, seperti juga tradisi Yahudi
yang biasanya membaca YHWH menjadi ha syem, melafalkannya dengan de
Syama (The Name, ”Sang Nama”). Dalam sebuah sumber berbahasa Aram
dikenal ungkapan: Lait alaha ella de Syama. Artinya: ”Tidak ada ilah kecuali
Sang Nama”. Maksudnya, ”Tidak ada ilah kecuali TUHAN.” Ungkapan ini
mirip dengan syahadat pertama dalam Islam: La ilaha illallah (Tidak ada ilah
selain Allah).” 18
Jadi, karena dalam tradisi Kristen, Allah bukan merupakan nama diri (proper
name), maka mereka diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan berbagai
panggilan. Dalam buku kecil yang berjudul Wasapadalah terhadap Sekte Baru, Sekte
Pengagung Yahweh, (2003:4041), Pdt. A.H. Parhusip, menulis tentang masalah ini:
”Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah
kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau
panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil:
Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos
atau God atau Lowalangi atau Tetemanis...! Silakan! Mau memanggil
bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang
menciptakan langit dan bumi... Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang
Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di
dalam hati kita masingmasing. Lihat Roma 2:1415.”
6
melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah.
Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH).
Kelompok ini mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi
bumi. Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.'' Kelompok ini
juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada
halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini mengganti
kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata
"Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua
Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya
"Jaringan Gerejagereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel
sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini
menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." 19
Tentang kontroversi nama Tuhan dan penggunaan kata ”Allah” dalam Bibel
edisi bahasa Indonesia, Lembaga Alkitab Indonesia sebagai lembaga resmi
penerjemah Bibel edisi bahasa Indonesia – membuat penjelasan:
”el, elohim, aloah adalah nama pencipta alam semesta dalam bahasa Ibrani,
bahasa asli Alkitab Perjanjian Lama. Dalam bahasa Arab, allah (bentuk
ringkas dari al ilah) merupakan istilah yang seasal (cognate) dengan kata
Ibrani el, elohim, aloah. Jauh sebelum kehadiran agama Islam, orang Arab
yang beragama Kristen sudah menggunakan (baca: menyebut) allah ketika
mereka berdoa kepada el, elohim, aloah. Bahkan tulisantulisan kristiani dalam
bahasa Arab pada masa itu sudah menggunakan allah sebagai padankata untuk
el, elohim, aloah.... Dari dahulu sampai sekarang, orang Kristen di Mesir,
Libanon, Iraq, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan berbagai negara di
Afrika yang dipengaruhi oleh bahasa Arab, terua menggunakan (baca:
menyebut) kata allah – jika ditulis biasanya menggunakan hruf kapitak
”Allah” untuk menyebut Pencipta Alam Semesta dan Bapa Tuhan kita Yesus
Kristus, baik dalam ibadah maupun dalam tulisantulisan. Dalam terjemahan
terjemahan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, kata ”Allah” sudah
digunakan terus menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa Melayu
yang pertama (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692), begitu juga dalam
Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan Hillebrandus Cornelius Klinkert,
1879 sampai saat ini.”
19
Tentang kontroversi penggunaan ”nama Allah” dalam Kristen lihat I.J. Setyabudi, Kontroversi
Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR
Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke3),
dan Pdt. A.H. Parhusip, Wasapadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh, (2003).
20
Beberapa terjemahan alQuran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God.
Misalnya, Abdullah Yusuf Ali – dalam The Holy Qur'an menerjemahkan "Bismillah" dengan "In the
name of God". Begitu juga, "Alhamdulillah" diterjemahkan dengan "Praise be to God", dan "Qul
Huwallahu ahad" diterjemahkan dengan "Say: He is God, the One and Only", juga ayat " Innaniy
Anallahu La ilaha illa Ana fa'budniy wa aqimish shalata li dzikriy" juga diterjemahkan "Verily, I am
God: there is no god but I; so serve thou Me (only) and establish regular prayer for celebrating My
praise." (QS 20:14). Jika dalam alQuran, Tuhan sudah memperkenalkan diri sebagai Allah, seperti
dalam surat 20:14, maka dalam cerita tentang Moses di Gurun Sinai, Max L. Margolis dan Alexander
7
di Indonesia, Nurcholish Madjid tercatat yang aktif mensosialisasikan bolehnya
menerjemahkan kata Allah ke dalam sebutan lain. Menurut Nurcholish Madjid:
”Karena itu sebenarnya, di Indonesia kata Allah itu bisa diterjemahkan menjadi kata
Tuhan... Jadi tiada Tuhan dalam t kecil (tuhan), kecuali Tuhan, itu bisa.” 21
Yang bisa disimpulkan dari pembahasan singkat tentang nama Tuhan dalam
tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen, ialah bahwa ”Allah” memang merupakan nama
Tuhan yang sudah digunakan oleh kaumkaum sebelum Islam, di kawasan Arab.
Nama inilah yang dipilih oleh Allah untuk memperkenalkan diriNya kepada
manusia, melalui utusanNya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw. Meskipun
nama ”Allah” sudah digunakan oleh kaum Kristen maupun musyrik Arab, tetapi al
Quran tetap menggunakan nama ini. Hanya saja, nama Allah yang digunakan oleh al
Quran sudah dibersihkan konsepnya dari unsurunsur syirik, seperti dipahami oleh
kaum Kristen dan musyrik Arab. Karena itu, bisa dipahami, untuk mengenal Allah
secara murni (tauhid), maka tidak bisa tidak harus mengakui kenabian Muhammad
saw. Sebab, Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah terakhir, yang bertugas
menjelaskan siapa Allah, nama dan sifatsaifatNya, dan cara untuk beribadah kepada
Nya.
2. Perkembangan Konsep Ketuhanan dalam Kristen
Untuk lebih memahami "otentisitas dan finalitas" konsep Tuhan dalam Islam,
ada baiknya kita telaah problema konsep Tuhan dalam Kristen. Dr. C. Groenen ofm,
seorang teolog Belanda, mencatat, bahwa “seluruh permasalahan kristologi di dunia
Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem”.
Setelah membahas perkembangan pemikiran tentang Yesus Kristus (Kristologi) dari
para pemikir dan teolog Kristen yang berpengaruh, ia sampai pada kesimpulan, bahwa
kekacauan para pemikir Kristen di dunia Barat hanya mencerminkan kesimpangsiuran
kultural di Barat. “Kesimpang siuran itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia
Barat,” tulis Groenen. 21
Setelah membahas puluhan konsep para teolog besar di era Barat modern,
Groenen memang akhirnya “menyerah”, lalu sampai pada kesimpulan bahwa konsep
Kristen tentang Yesus memang “misterius” dan tidak dapat dijangkau oleh akal
manusia. Sebab itu, jangan dipikirkan. Kata dia: “iman tidak tergantung pada
pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus, relevansi dan kebenaran abadi
Nya, akhirnya hanya tercapai dengan hati yang beriman dan berkasih. Yesus Kristus,
Marx mencatat: “In Sinai, to Moses God made Himself known by a new name. I am that I am, the One
whom no definition can exhaust, who is always with His people, a Helper evereaday, a Savior.” (Max
L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 15.). Kasus yang sama –
penerjemahan nama Allah menjadi God – juga bisa dilihat dalam Terjemah alQuran bahasa Inggris
yang dilakukan oleh J.M. Rodwell (terbitan J.M. Dent Orion Publishing Group, London, 2002. Terbit
pertama oleh Everyman tahun 1909). Kaum Kristen kadang salah menjelaskan tentang nama 'Allah' ini.
Misalnya, Kamus Teologi yang ditulis Henk ten Napel, menjelaskan 'Allah' sebagai kata yang berasal
dari bahasa Arab yang didefinisikan sebagai "Keberadaan Tertinggi dalam agama Islam".
21
Lihat pengantar Prof. Dr. Nurcholish Madjid untuk buku Islam Mazhab HMI, karya Drs. Azhari
Akmal Tarigan M.Ag, (Ciputat: Kultura, 2007), hal. xx.
21
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat
Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hal. 286.
8
Kebenaran, selalu lebih besar dari otak manusia, meski otak itu sangat cerdas dan
tajam sekali pun.” 22
Sepanjang sejarah peradaan Barat, terjadi banyak problema serius dalam
perdebatan teologis. Di zaman pertengahan, rasio harus disubordinasikan kepada
kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di zaman pertengahan tidak digunakan untuk
mengkritisi atau menentang doktrindoktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan
untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Sejumlah ilmuwan seperti
Saint Anselm, Abelard, dan Thomas Aquinas mencoba memadukan antara akal
(reason) dan teks Bible (revelation). Sikap para ilmuwan dan pemikir abad
pertengahan digambarkan:
“They did not reject Christian beliefs that were beyond the grasp of human reason
and therefore could not be deduced by rational argument. Instead, they held thst
such truths rested entirely on revelation and were to be accepted on faith. To
medieval thinkers, reason did not have an independent existence but ultimately
had to acknowledge a suprarational, superhuman standard of truth. They wanted
rational thought to be directed by Christian ends and guided by scriptural and
ecclesiastical authority.” 23
Problema yang kemudian muncul ialah, ketika para ilmuwan dan pemikir
diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua pemikirannya kepada teks Bible
dan otoritas Gereja, justru pada kedua hal itulah terletak problema itu sendiri.
Disamping menghadapi problema otentisitas, Bible juga memuat halhal yang
bertentangan dengan akal dan perkembangan ilmu pengetahuan. Sejumlah ilmuwan
mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengatahuan, seperti Gelileo
Galilei (15461642) dan Nicolaus Copernicus (14731543). Bahkan Giordano Bruno
(15481600), pengagum Nicolaus Copernicus, dibakar hiduphidup. 24
Jika para ilmuwan dipaksa tunduk kepada doktrin teologis yang mereka
sendiri sulit memahaminya, tentu muncul benturan pemikiran. Padahal, konsepsi
teologis Kristen – terutama fakta dan posisi ketuhanan Yesus telah menjadi ajang
perdebatan ramai di kalangan Kristen, sepanjang sejarahnya. Kelompokkelompok
yang tidak menyetujui doktrin resmi Gereja dicap sebagai heretics dan banyak
diantaranya yang diburu dan dibasmi. Contohnya, adalah satu kelompok yang
bernama Cathary yang hidup di Selatan Perancis. Kelompok Cathary adalah penganut
Catharism, satu kelompok heresy radikal di Zaman Pertengahan. Cathary percaya
bahwa karena daging adalah jahat, maka Kristus tidak mungkin menjelma dalam
tubuh manusia. Karena itu, Kristus tidaklah disalib dan dibangkitkan. Dalam ajaran
Cathary, Yesus bukanlah Tuhan, tapi Malaikat. Untuk memperhambakan manusia,
tuhan yang jahat menciptakan gereja, yang mempertontonkan “sihirnya” dengan
mengejar kekuasaan dan kekayaan. Ketika kaum ini tidak dapat disadarkan dengan
22
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi…, hal. 285.
23
Marvin Perry, Western Civilization: A Brief History, (NewYork: Houghton Mifflin Company,
1997), hal. 185186.
24
E.A. Livingstone, Oxford Concise Dictionary of Christian Church, (Oxford: Oxford University
Press, 1996).
9
persuasif, Paus Innocent III menyerukan kepada rajaraja untuk memusnahkan mereka
dengan senjata, sehingga ribuan orang dibantai. 25
Doktrin teologi Kristen mengalami proses 'perkembangan sejarah yang
panjang'. Doktrin ini tidak selesai dan tersusun di masa Yesus, tetapi beratus tahun
sesudahnya, melalui Konsilikonsili Gereja. Dalam Konsili tahun 325 di Nicea, Kaisar
Konstantin menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja. Konsili menjadikan Roma
sebagai pusat resmi Christian orthodoxy. Kepercayaan yang berbeda dengan yang
resmi dipandang sebagai heresy. Dalam Konsili ini, aspekaspek Ketuhanan Yesus
diputuskan melalui voting. Buku The Messianic Legacy, mencatat, bahwa Kristen
memang berhutang pada Konstantine, yang cerita tentang ‘konversinya’ ke Kristen
masih diperdebatkan. Disebutkan dalam buku ini, ia tetaplah penganut paganisme.
Tuhannya adalah Sol Invictus, dewa matahari kaum pagan. Paganisme juga menjadi
agama resmi Romawi ketika itu. Buku ini menyebut pengaruh paganisme Constantine
terhadap Kristen. Tahun 321 M, keluar Edict yang menetapkan hari Minggu sebagai
hari istirahat. Padahal, sebelumnya, Kristen tetap menghormati hari Sabtu. Sampai
abad ke4, hari kelahiran Yesus diperingati pada 6 Januari. Tapi, pada tradisi
persembahan Sol Invictus, hari terpenting adalah 25 Desember. 26
The Interpreter’s Dictionary of the Bible menjelaskan, bahwa istilah ‘trinitas’
(Latin: trinitas, Inggris: trinity) merujuk pada pengertian: “the coexistence of Father,
Son, and Holy Spirit in the Unity of the Godhead”. Istilah ini bukan merupakan istilah
Biblical. Tapi, mewakili kristalisasi dari ajaran Perjanjian Baru. Dalam Matius 3:17
disebutkan: "Maka suatu suara dari langit mengatakan, "Inilah anakku yang kukasihi.
Kepadanya Aku berkenan." Juga, Lukas 4:41 menyebutkan bahwa Yesus itu adalah
Anak Allah." Konsep Trinitas memang tidak mungkin dipahami dengan akal. Tokoh
pemikir Kristen abad ke13, Thomas Aquinas mengungkapkan dengan katakata: “…
deum esse trinum et unum est solum creditum, et nullo modo potest demonstrative
probari” (That God is three and one is only known by belief, and it is in no way
possible for this to be demonstratively proven by reason). 27
Sejak Konsili Nicea, problem serius dan kontroversial memang masalah
‘ketuhanan Yesus’. 28 Bagaimana menjelaskan kepada akal yang sehat, bahwa Yesus
adalah ‘Tuhan’ dan sekaligus ‘manusia’. Apa yang disebut kaum Katolik sebagai
25
Marvin Perry, Western Civilization, hal. 175; The Encyclopedia Britannica, (London: The
Encyclopaedia Britannica Company Ltd., 1926).
26
Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, The Messianic Legacy, (New York: Dell
Publishing, 1986), hal. 3642. Masalah konversi Konstantine memang masih menjadi perdebatan. Buku
Who's Who in Christianity (ed. by. Lavinia CohnSherbok), (London: Routledge, 1998), menulis
tentang Konstantin: "The authenticity of his conversion is much debated, but in any event, he was
greatly involved in Church affairs and he established the precedent that secular monarch sholud be the
arbiter in ecclesiastical dispute."
27
The Interpreter’s Dictionary of the Bible, (Nashville: Abingdon Press, 1989; Douglas C. Hall, The
Trinity, (Leiden: EJ Brill, 1992), hal. 6768.
28
Selain masalah Ketuhanan Yesus, masalah posisi dan hakekat Roh Kudus juga menjadi perdebatan
sengit sepanjang sejarah Kristen. Buku Iman Katolik (KWI, 1996), hal. 319 mencatat: "Konsili
Konstantinopel I (381) menambahkan pada syahadat Konsili Nicea (325) katakata ini: (dan akan Roh
Kudus), Tuhan yang menghidupkan, yang berasal dari Bapa, yang serta Bapa dan Putra disembah dan
dimuliakan, yang bersabda degan perantaraan para nabi". Di kemudian hari, di Barat (dalam Bahasa
Latin), masih ditambahkan satu kata lagi: "berasal dari Bapa dan Putra". Tambahan ini menimbulkan
banyak kesulitan dan pertikaian antara Gereja Barat dan Gereja Timur (Ortodoks). Soal ini rumit sekali
dan tidak dari semula disadari arti dan akibatnya."
10
‘Syahadat Nicea’, secara eksplisit mengutuk pemikiran Arius, seorang imam
Alexandria yang lahir tahun 280. Arius – didukung sejumlah Uskup – menyebarkan
pemahaman bahwa Yesus bukanlah Tuhan yang tunggal, esa, transenden, dan tak
tercapai oleh manusia. Yesus adalah ‘Firman Allah’ yang secara metafor boleh
disebut ‘Anak Allah’ bukanlah Tuhan, tetapi makhluk, ciptaan, dan tidak kekal abadi.
29
‘Syahadat Nicea’ menyatakan: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang
Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada
satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah,
yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar
dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui
dia segala sesuatu menjadi ada…” 30
Soal ‘Syahadat Katolik’ memang menjadi perbincangan dan kontroversi hebat
dalam sejarah Kristen. Konsili Efesus, tahun 431, melarang perubahan apa pun pada
‘Syahadat Nicea’, dengan ancaman kutukan Gereja (anathema). Namun, Konsili
Kalsedon, tahun 451, mengubah ‘Syahadat Nicea’. Kutukan terhadap Arius
dihapuskan. Naskah syahadat Konsili Kalsedon berasal dari konsili lokal di
Konstantinopel tahun 381. Sebab, naskah edisi tahun 325 dianggap sudah tidak
memadai untuk berhadapan dengan situasi baru. Kalangan teolog Kristen ada yang
menyebut bahwa naskah tahun 381 adalah penyempurnaan naskah tahun 325, tanpa
mengorbankan disiplin teologisnya. Naskah syahadat itu di kalangan sarjana disebut
“Syahadat dari Nieca dan Konstantinopel” disingkat NC. Naskah syahadat NC ini
hingga sekarang masih menjadi naskah syahadat penting dari kebanyakan Gereja
29
Dalam buku Sejarah Gereja (Jakarta: BPK, 1987), karya H. Berkhof dan IH Enklaar, ditulis bahwa
Arius menyatakan: "Tak mungkin Yesus dapat disebut "setengah Allah!" Apabila kita percaya kepada
satu Allah saja, tentulah Yesus Allah juga atau Ia bukan Allah, melainkan makhluk saja." Arius
mengajarkan bahwa Anak atau Logos, adalah makhluk Tuhan yang sulung dan yang tertinggi
derajatnya. Rumusan dalam Konsili Nicea yang diprakarsai oleh Kaisar dan panasehatnya adalah
rumus kompromi, dan masih terus menimbulkan perdebatan. Ditulis dalam buku ini: "Pertikaian
theologia yang hebat dan lama ini baru berakhir sesudah Theodosius Agung, yang antiArian, naik
kaisar pada tahun 379. Konsili oikumenis yang kedua, yang diadakan di Constantinopel pada tahun
381, memutuskan bahwa Anak itu homousios dengan Bapa. Dengan demikian keputusan Nicea
ditetapkan, tetapi dengan pengertian yang lebih terang dan dalam. Konsili Constantinopel mengakui
pula, bahwa Roh Kudus juga sezat dengan Bapa, menurut ajaran Athanasius." (hal. 5355).
30
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi…, hal. 126127. Teks ‘Syahadat Nicea’ dikutip dari buku
Konsilikonsili Gereja karya Norman P. Tanner, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 3637. Bandingkan
teks ini dengan buku “Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik: “Kami percaya akan satu Allah, Bapa
yang Mahakuasa, Pencipta halhal yang kelihatan dan tak kelihatan, Dan akan satu Tuhan Yesus
Kristus, Sang Sabda dari Allah, Terang dari Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang
pertama lahir dari semua ciptaan, Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala abad ... “ (Alex I. Suwandi PR,
Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 910. Dalam Protestan, juga
dikenal konsep Syahadat Nicea, yang disebut sebagai 'Sahadat rasuli', 'pengakuan iman rasuli', atau
'dua belas pengakuan iman'.
.( 1 ) Aku percaya kepada Allah Bapa, yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi.(2) Dan kepada Yesus
Kristus, AnakNya yang tunggal, Tuhan kita, (3) yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak
dara Maria, (4) yang menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan
dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut (5) pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang
mati, (6) naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah, Bapa yang Mahakuasa, (7) dan akan datang dari
sana untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati, (8) Aku percaya kepada Roh Kudus; (9)
gereja yang kudus dan am; persekutuan orang kudus; (versi Katolik: Gereja Katolik yang kudus,
persekutuan para kudus) (10) pengampunan dosa; (11) kebangkitan daging; (12) dan hidup yang kekal .
(Dr. Harun Hadiwijono ,Inilah Sahadatku ) , Jakarta: BPK , 2001), hal. 11 .
11
Kristiani. Namun, pada Konsili Toledo III di Spanyol tahun 589, Gereja Barat
melakukan tambahan frasa “dan Putra” (Filioque), pada penggal kalimat “dan akan
Roh Kudus … yang berasal dari Bapa”. Penambahan itu dimaksudkan untuk
menekankan keilahian dan kesetaraan antara Putra dengan Bapa. Paus, yang mulanya
menolak penambahan itu, akhirnya menerima dan mendukungnya. Namun, Gereja
Timur menolak, karena melanggar Konsili Efesus. Penambahan ini kemudian menjadi
penyebab utama terjadinya skisma – perpecahan – antara dua Gereja (Barat dan
Timur) pada abad ke11. Konsili Vatikan II juga membuat perubahan kecil pada
Syahadat NC, dengan mengganti kata pembuka “Aku percaya” menjadi “Kami
percaya”. 31
Perkembangan dan problema konsep Ketuhanan dalam tradisi Kristen itu
menunjukkan adanya perbedaan yang fundamental dengan konsep Tuhan dalam Islam
yang bersifat final. Huston Smith menyebutkan, "Christianity is basically a historical
religion… it is founded not in abstract principles, but in concrete events, actual
historical happenings. 32
Dalam perspektif Kristen, Frans Magnis Suseno memberikan penjelasan
tentang 'perkembangan konsep Tuhan' agamaagama Abrahamistik. Mengutip
Bernard Lang, dalam bukunya, "The Hebrew God: Portrait of an Ancient Deity"
(London: Yale University Press, 2002), Frans Magnis Suseno mencatat bahwa iman
akan Yahwe berkembang dalam proses komunikasi erat dengan budayabudaya
sekelilingnya." Frans Magnis menulis:
"Yahweh mengadakan perjanjian dengan bangsanya, menyertainya selama 40
tahun dalam pengembaraannya di padang gurun dan akhirnya mengantarnya
ke dalam tanah yang dijanjikan kepadanya. Yahweh kemudian
memperhatikan, membimbing serta bertanggung jawab atas bangsa itu secara
personal. Yahweh semula belum Allah satusatunya. Tetapi dewadewi lain
tidak berarti disbanding denganNya. Yahweh, itulah yang baru, tidak lagi
terikat pada tempat tertentu. Ia adalah Tuhan atas segala bangsa dan atas
sejarah. Ia mempunyai sebuah rencana keselamatan dan akan
melaksanakannya…Dari kepercayaan bahwa hanya Yahwehlah Tuhan Israel,
umat Yahudi mulai percaya bahwa Allah hanyalah satu, Yahweh. Penghayatan
Yang Ilahi sebagai Allah Yang Esa kemudian mendasari dua agama monoteis
besar yang menyempal dari rumpun Yahudi, agama Kristiani dan agama
Islam." 33
3. Konsep Tuhan dalam 'Pluralisme Agama'
Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah
jalan yang samasama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham
ini, semua agama adalah jalan yang berbedabeda menuju Tuhan yang sama. Tuhan –
siapa pun namaNya – tidak menjadi masalah. Tokoh Pluralis Agama, Prof. John
Hick, lebih suka menyebutnya "The Eternal One". Tuhan inilah yang menjadi tujuan
dari semua agama. Seorang tokoh Yahudi, Claude Goldsmid Montefiore, dalam The
31
Norman P. Tanner, Konsilikonsili Gereja, hal. 3541
32
Huston Smith, The World’s Religion, (New York: Harper CollinsPubliser, 1991), hal. 317.
33
Lihat, Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, hal. 3738.
12
Jewish Quarterly Review, tahun 1895, menulis: "Many pathways may all lead
Godward, and the world is richer for that the paths are not new." 35
Bagi kaum Pluralis – seperti disebutkan dalam makalah Pengantar Kuliah
Umum – siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena mereka memandang,
agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu,
tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan
sebagainya. Mereka juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah
menuju Tuhan yang satu, siapa pun namaNya. Nurcholish Madjid, misalnya,
menyatakan, bahwa:
"... setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan
yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jarijari itu adalah
jalan dari berbagai Agama." 36
Jalaluddin Rakhmat juga menulis:
“Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani,
Yahudi, kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk
menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama. Kita tidak boleh
mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara
apa pun, termasuk dengan fatwa.” 37
35
John Hick, God Has Many Names, (Pennsylvania: The Westminter Press, 1982), hal. 4045.
36
Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix.,
37
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi,
2006), hal. 34.
38
AlQuran memang menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya tentang siapa yang menciptakan
langit dan bumi, maka mereka akan menyebut "Allah". (Lihat QS 29:61, 43:87). Karen Armstrong
menyebut, ketika Islam datang, 'Allah' dianggap sebagai 'Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno'.
(Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, hal. 190).
13
"Katakan, hai orangorang kafir!
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS 109).
39
Pendapat semacam ini, misalnya, dikemukakan oleh Prof. Abdul Aziz Sachedina, yang menulis:
“Rashid Rida does not stipulate belief in the prophethood of Muhammad for the Jews and Christians
desiring to be saved, and hence implicitly maintains the salvific validity of both the Jewish and
Christian revelation.” Lihat Abdul Aziz Sachedina, “Is Islamic Revelation an Abrogation of Judaeo
Christian Revelation? Islamic Selfidentification in the Classical and Modern Age, dalam Hans Kung
and Jurgen Moltman, Islam: A Challenge for Christianity, (London: SCM Press, 1994), hal. 99.
40
Lihat, M. Rasyid Ridha, Tafsir AlManar, (Beirut: Darul Fikr , 1354 H), Jld. IV, hal. 318.
14
untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, (5) tidak menjual ayatayat
Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. 41
Terakhir, argumentasi kaum Pluralis Agama bahwa "semua agama adalah
jalan yang samasama sah menuju Tuhan yang sama" – jelasjelas juga pendapat yang
bathil. Jika semua jalan adalah benar, maka tidak perlu Allah memerintahkan kaum
Muslim untuk berdoa "Ihdinash shirathal mustaqim!" (Tunjukkanlah kami jalan yang
lurus!). Jelas, dalam surat alFatihah disebutkan, ada jalan yang lurus dan ada jalan
yang tidak lurus, yaitu jalannya orangorang yang dimurkai Allah dan jalannya orang
orang yang tersesat. Jadi, tidak semua jalan adalah lurus dan benar. Ada jalan yang
bengkok dan jalan yang sesat. 42
Lagi pula, jumlah agama di dunia ini begitu banyak, ribuan jumlahnya. Agama
yang manakah yang dimaksud oleh kaum Pluralis itu sebagai agama yang benar?
Apakah kaum Muslim yang beriman kepada Allah dan RasulNya bisa membenarkan
semua agama benar termasuk agama Gatholoco dan Darmogandhul yang jelasjelas
melakukan pelecahan terhadap Allah dan Nabi Muhammad saw? Perkataan "semua
agama benar" atau "semuanya benar" juga tidak secara konsisten diikuti oleh
penganjur paham Pluralisme Agama, karena pada saat yang sama, mereka juga
merasa benar sendiri, dan menyalahkan para pemeluk agama yang meyakini
kebenaran agamanya masingmasing. Wallahu a'lam. (Depok, 1 Maret 2008).
41
Ibid, hal. 317.
42
Dalam Sunan Tirmidzi bab Tafsir alQuran 'an Rasulillah hadits No. 2878 dan Musnad Imam
Ahmad hadits No 18572 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "almaghdhub" adalah "alyahuud"
dan "aldhallin" adalah "alnashara".
15