You are on page 1of 19

PENDAHULUAN Banyak orang kesulitan menemukan pembahasan mengenai perkosaandalam literatur fiqh Islam.

Bagi fiqh, perkosaan bukan merupakan pidana atau kejahatan yang berdiri sendiri dengan konsekwensi hukum tersendiri. Konsepsi pidana fiqh [al-hudd] yang mungkin terkait dengan perkosaan adalah 'tindak kejahatan atas kehormatan' [hak al-'ardh], yang berupa perzinaan dengan ancaman hukum cambuk 100 kali atau rajam sampai mati, dan tuduhan berzina dengan tanpa bukti [al-qadzaf] yang diancam cambuk 80 kali. Tetapi perkosaan berbeda dengan perzinaan. Karena perkosaan mengandung unsur pemaksaan dan kekerasan. Pidana kekerasan tubuh [al-jinyah wa al-jirh] dalam fiqh juga tidak membicarakan mengenai tindak pemerkosaan. Dalam pembahasan fiqh, ada dua tindak pidana kekerasan terhadap anggota tubuh; yang berat yaitu pembunuhan dan yang ringan adalah yang dibawah pembunuhan. Tindak pidana ringan bisa terjadi atas berbagai anggota tubuh; telinga, mata, tangan, termasuk terhadap penis. Baik berupa pemotongan anggota tubuh, pencederaan, maupun penghilangan fungsi anggota tersebut. Anehnya, tidak ada pembahasan mengenai tindak pidana terhadap vagina [al-farj] atau tindak perusakan selaput dara perempuan (misalnya dengan pemerkosaan). Pertama kali dalam makalah ini penulis akan memberikan definisi dan perbedaan antara perzinaan dan pemerkosaan. Dilanjutkan dengan metode istinbat hukumnya. Semoga makalah ini menjadi media bagi kita semua dalam rangka menggapai ridha-Nya. Amiin.

PEMBAHASAN A. Pengertian, Perbedaan dan Dalil tentang Perzinaan dan Pemerkosaan Perzinaan atau zina secara bahasa berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Secara istilah bahwa zina merupakan perbuatan berhubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam hubungan perkawinan1[1]. Jadi pada intinya zina adalah perbuatan hubungan kelamin [coitus] yang dilakukan di luar perkawinan yang sah. Unsur utama dalam pidana perzinahan adalah perbuatan jima' di luar perkawinan.
1[1] Ali, Zainuddin. Prof.Dr, Hukum Pidana Islam, (Cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm. 37

Ayat al Quran yang mengatur perzinaan adalah Surat an-Nuur; 2 yang artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. Sedang pemerkosaan atau perkosaan, seperti yang diambil dari Wikipedia.com, merupakan suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti tangan, atau dengan benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai "penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda -- bahkan jika dangkal -- dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-fisik." Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda tahun 1998 merumuskan pemerkosaan sebagai "invasi fisik berwatak seksual yang dilakukan kepada seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan yang koersif"2[2]. Perzinahan mungkin bisa menjadi landasan awal bagi rumusan tindak perkosaan, tetapi perkosaan tidak identik dengan perzinahan. Tindak perkosaan memiliki unsur tambahan dari sekedar hubungan kelamin, yaitu pemaksaan dan kekerasan yang sering berakibat trauma yang berkepanjangan bagi si korban. Sumber-sumber primer fiqh, seperti al-Qur'an dan Hadits, dipahami tidak banyak mengungkapkan penyebutan pidana perkosaan secara langsung. Sekalipun sebenarnya ada ayat yang sudah mengarah pada pelarangan 'tindak pemaksaan' dalam persoalan seksual, sekaligus memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. "Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, padahal mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (terhadap mereka yang dipaksa) sesudah mereka dipaksa itu". 3[3].
2[2] http://www.wikipedia.com/pemerkosaan/ 3[3] QS. An-Nuur: 33

Ayat ini setidaknya mengisyaratkan kepada dua hal; pertama upaya untuk melarang segala bentuk terhadap pemaksaan korban dan eksploitasi seksual, seksual agar kedua dukungan dan bisa kembali menjadi pendampingan eksploitasi

aman dan percaya diri. Jadi dari definisi di atas sangat jelas perbedaan antara pemerkosaan dan perzinaan. Pada perzinaan tidak ada unsur pemaksaan sedang dalam pemerkosaan ada pihak yang memaksa dan yang dipaksa (korban). Akibat pemerkosaan Persoalan utama dalam hal ini adalah kenistaan yang menimpa korban perkosaan. Yang tidak tetapi yang saja juga terburuk. terjadi Karena korban pada Penderitaan terus Baik saat paska dalam terbayangi trauma kejadian kejadian yang pergaulan pemerkosaan, adalah yang relasi mengenaskan, maupun paska-kejadian. selama pemerkosaan sosial,

mengganggu

kehidupannya.

seksual dengan pasangannya. Tidak sedikit dari korban-korban pemerkosaan yang mengalami kesulitan untuk bergaul dan melakukan interaksi sosial dengan baik. Di antara mereka, banyak yang terganggu hubungan seksualnya dengan suaminya. Tidak sebatas tidak bisa menikmati hubungan seks (frigiditas dan anorgasmus), tetapi mungkin sampai sama sekali tidak bisa melakukan hubungan intim (dyspareunia). Bagi anak gadis yang di bawah umur, incest dan perkosaan berakibat lebih buruk lagi. Yang paling umum adalah kegelisahan yang berlebihan, ketakutan, mimpi buruk, gangguan mental, perilaku sosial dan seksual yang menyimpang. B. Pemerkosaan Menurut Hukum Islam Hukum Islam untuk kasus pemerkosaan ada dua: 1. Pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata. Orang yang melakukan tindak pemerkosaan semacam ini dihukum sebagaimana hukuman orang yang berzina. Jika dia sudah menikah maka hukumannya berupa dirajam, dan jika belum menikah maka dia dihukum cambuk 100 kali serta diasingkan selama satu tahun. Sebagian ulama mewajibkan kepada pemerkosa untuk memberikan mahar bagi wanita korban pemerkosaan.

Imam Malik mengatakan, Menurut pendapat kami, tentang orang yang memperkosa wanita, baik masih gadis maupun sudah menikah, jika wanita tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak) maka pemerkosa wajib memberikan mahar kepada sang wanita. Sementara, jika wanita tersebut adalah budak maka dia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak wanita tersebut. Adapun hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan wanita yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman sama sekali. (Al Muwaththa, 2:734). Imam Sulaiman Al-Baji Al-Maliki mengatakan, Wanita yang diperkosa, jika dia wanita merdeka (bukan budak), berhak mendapatkan mahar yang sewajarnya dari laki-laki yang memperkosanya. Sementara, pemerkosa dijatuhi hukuman had (rajam atau cambuk). Ini adalah pendapat Imam Syafii, Imam Al-Laits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, Dia berhak mendapatkan hukuman had, namun tidak wajib membayar mahar. Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, Dalil pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua kewajiban untuk pemerkosa, adalah bahwa untuk hukuman had ini terkait dengan hak Allah, sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk . (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa, 5:268).

2.

Pemerkosaan dengan menggunakan senjata. Orang yang memerkosa dengan menggunakan senjata untuk mengancam, dihukumi sebagaimana perampok. Sementara, hukuman bagi perampok telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.

(QS. a. Dibunuh. b. Disalib. c. d.

Al-Maidah:

33)

Dari ayat di atas, ada empat pilihan hukuman untuk perampok:

Dipotong kaki dan tangannya dengan bersilang. Misalnya: dipotong tangan kiri dan kaki kanan. Diasingkan atau dibuang; saat ini bisa diganti dengan penjara. Pengadilan boleh memilih salah satu di antara empat pilihan hukuman di atas, yang dia anggap paling sesuai untuk pelaku dan bisa membuat efek jera bagi masyarakat, sehingga bisa terwujud keamanan dan ketenteraman di masyarakat. Harus ada bukti atau pengakuan pelaku Ibnu Abdil Bar mengatakan, Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan tindak pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had, jika terdapat bukti yang jelas, yang mengharuskan ditegakkannya hukuman had, atau pelaku mengakui perbuatannya. Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di atas maka dia berhak mendapat hukuman (selain hukuman had). Adapun terkait wanita korban, tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar diperkosa dan dipaksa oleh pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan tolongnya. (AlIstidzkar, 7:146) Syeikh Muhammad Shalih Munajid memberikan penjelasan untuk keterangan Ibnu Abdil Bar di atas, Jika tidak terdapat bukti yang menyebabkan dia berhak mendapat hukuman had, baik karena dia tidak mengakui atau tidak ada empat orang saksi, maka (diberlakukan) pengadilan tazir (selain hukuman had), yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut darinya. (Disarikan dari Fatawa Al-Islam, Tanya-Jawab, diasuh oleh Syekh Muhammad Shaleh Munajid, fatwa no. 72338)4[4]. Tindak perkosaan pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw, seperti yang terungkap dalam sebuah teks hadits yang diriwayatkan Imam Turmudzi dan Abu Dawud, dari sahabat Wail bin Hujr ra (lihat Ibn al-Atsir, Jmi' al-Ushl, IV/270, no. hadits: 1823). "Suatu hari, ada seorang perempuan pada masa Nabi Saw yang keluar rumah hendak melakukan shalat di masjid. Di tengah jalan, ia dijumpai seorang laki-laki yang menggodanya, dan memaksanya (dibawa ke suatu tempat) untuk berhubungan intim. Si perempuan menjerit, dan ketika selesai memperkosa, si laki-laki lari. Kemudian lewat beberapa
4[4] http://konsultasisyariah.com/hukum-kasus-pemerkosaan

orang Muhajirin, ia mengarahkan: "Lelaki itu telah memperkosa saya". Mereka mengejar dan menangkap laki-laki tersebut yang diduga telah memperkosanya. Ketika dihadapkan kepada perempuan tersebut, ia berkata: "Ya, ini orangnya". Mereka dihadapkan kepada Rasulullah Saw. Ketika hendak dihukum, si laki-laki berkata: "Ya Rasul, saya yang melakukannya". Rasul berkata kepada perempuan: "Pergilah, Allah telah mengampuni kamu". Lalu kepada laki-laki tersebut Nabi menyatakan suatu perkataan baik (apresiatif terhadap pengakuannya) dan memerintahkan: "Rajamlah". Kemudian berkata: "Sesungguhnya ia telah bertaubat, yang kalau saja taubat itu dilakukan seluruh pendudukan Madinah, niscaya akan diterima" Pemerkosa memang dihukum pada masa Nabi Saw, dan korban perkosaan dilepaskan dengan harapan akan memperoleh ampunan dari Allah Swt. Pada saat itu, hukuman pemerkosaan -yang dilakukan dengan cara paksa dan kekerasan-, sama persis dengan hukuman perzinahan, yang tidak dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan. Karena itu, mayoritas ulama hadits dan ulama fiqh menempatkan tindak tindak korban perkosaan perkosaan harus sama hanya persis pelaku Tetapi dengan tindak yang perzinahan. menerima terhadap Hanya perbedaanya, sementara tersebut dalam tindak perzinahan kedua pelaku harus menerima hukuman, sementara dalam pemerkosa hukuman, kedua kasus dilepas. ancaman hukuman

adalah sama. KESIMPULAN DAN PENUTUP KESIMPULAN Dari pemaparan tentang pemerkosaan di atas dapat disimpulkan bahwa perkosaan berbeda dengan perzinaan. Pada perzinaan, pihak yang terlibat melakukan dengan sukarela, sehingga antara keduanya dapat dijatuhi hukuman rajam atau cambuk.

Pada pemerkosaan, pelaku pemerkosa dapat dijatuhi hukuman cambuk, rajam atau penjara5[5]. Sedang bagi korban, tidak dihukum, bahkan menurut beberapa ulama korban pemerkosaan harus diberi sejumlah mahar. PENUTUP Demikian makalah ini kami sampaikan, penulis meminta maaf ika terdapat kata-kata yang tidak berkenan di hati. Semoga makalah ini dapat menjadi media bagi kita dalam rangka talabul ilm. Amiin.
5[5] Penjara di sini sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285 yang berbunyi: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang istrinya untuk bersetubuh dengan dia diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

BAB I PENDAHULUAN 1. A. Latar Belakang

Negara Indonesia akhir-akhir ini banyak diwarnai dengan munculnya kehebohan mengenai video-video mesum yang beredar dari berbagai kalangan baik dari pejabat, artis, pegawai negeri sipil PNS dan paling parah yang mengakibatkan kita miris dengan keadaan bangsa ini ialah hal tersebut sudah terjadi dikalangan lingkungan pelajar mulai mahasiswa, hingga siswa atau siswi SMA sederajat dan SMP sederajat. Sungguh dapat dikatakan bangsa kita sedang mengalami apa yang dinamakan degradasi moral. Contoh konkritnya ialah Pada tahun 2002, pernah dipublikasikan hasil survei Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH) terhadap mahasiswa Jogjakarta. Penelitian itu dilakukan selama tiga tahun, mulai Juli 1999 hingga Juli 2002, dengan melibatkan sekitar 1.660 responden yang berasal dari 16 perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di Jogjakarta. Dari 1.660 responden itu, 97,05 persen mengaku sudah hilang keperawanannya saat kuliah, karena pernah melakukan seks berpasangan atau berzina. Ditinjau dari tempatmereka melakukan seks bebas, sebanyak 63 persen melakukan seks bebas di tempat kos priapasangannya. Sebanyak 14 persen dilakukan di tempat kos putri atau rumahkontrakannya. Selanjutnya 21 persen di hotel kelas melati yang tersebar di Jogjakarta dan2 persen lagi di tempat wisata yang terbuka. Data di atas menujukkan bahwa tempat kos-kosan telah menjadi sarang kumpul kebo (seks bebas). Kemudian ditemukannya penelitian di Kab. Ponorogo bahwa 80% remaja putri melakukan hubungan seksual pranikah sedangkan pada remaja pria, data angka presentasenya sedikit lebih besar lagi, data ini hasil survey acak selama kurun waktu 6 bulan yang dilakukan oleh Kantor pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Kabupaten Ponorogo pada tanggal 17 Desember 2010.[1] Dulunya bangsa kita terkenal dengan keramahannya kesantunannya serta menjaga adat ketimuran yang menghargai kesusilaan. Nampaknya sekarang hal tersebut sudah tidak berlaku

lagi, hal ini diperparah tindakan dari pemerintah baik yang berupa sanksi dan berupa pencegahan seakan-akan berjalan ditempat tidak menghasilkan suatu yang signifikan. Mengenai hukum positif Indonesia tidak tegas mengenai aturan hal tersebut sehingga banyak sekali orang yang melakukan perzinahan, di dalama hukum nasional kita peraturan mengenai perzinahan merupakan tindak pidana perkosaan pencabulan dan merupakan delik aduan. Sehingga kumpul kebo di negara kita ini seakan-akan dihalalkan dan banyak dilakukan oleh masyarakat. Sungguh ironis melihat perbuatan itu terjadi sehingga moral generasi bangsa kita semakin terjerumus dalam hal-hal yang sesat yang tidak memandang agama sebagai pegangan dan pedoman hidup. Hukum Islam yang bertujuan untuk kebahagian hidup manusia di dunia dan akhirat serta kemaslahatan hidup umat manusia baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial[2] mengatur dengan jelas dan terang masalah perzinahan. Dimana dalam hukum Islam perbuatan zina merupakan perbuatan yang keji sehingga harsu di hukum dengan berat karena merusak sistem kemasyarakatan dan mengancam keselamatannya. Zina merupakan pelanggaran atas sistem kekeluargaan , sedangkan keluarga merupakan dasar untuk berdirinya masyarakat. Membolehkan zina berarti membiarkan kekejian dan hal ini dapat meruntuhkan masyarakat.[3] Oleh karena itu sebenarnya hukum positif belum mampu menjawab dan menyelesaikan permasalahan bangsa khususnya bidang tindak pidana perzinahan sehingga ketentuan yang tertuang dalam aturan KUHP perlu direvisi dengan memasukkan nilai-nilai yang ada di budaya masyarakat adat-istiadat serta agama yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, penulis tertarik mengkaji mengenai bagaimana analisis yuridis tindak pidana perbuatan zina (perzinahan) dalam perspektif hukum Islam 1. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang di kemukakan di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut : Bagaimana analisis yuridis tindak pidana perbuatan zina (perzinahan) dalam perspektif hukum Islam ? BAB II PEMBAHASAN

DAFTAR PUSTAKA Al Quran Al Karim Ali, Zainuddin. Prof.Dr, Hukum Pidana Islam, (Cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007) 1. 1. Pengertian dan Pandangan Zina dalam Hukum positif dan Hukum Islam

Pengertian zina dalam hukum pidana Islam tidak seperti pandangan yang dikemuakan oleh sistem hukum yang lain salah satunya ialah sistem hukum barat atau hukum positif negara Indonesia yang menyebut zina sebagai perbuatan berhubungan antara laki-laki dan perempuan layaknya suami isteri, dimana salah satunya atau kedua-duanya sudah menikah. Pengertian tersebut jelas berbeda dengan pengertian menurut hukum Islam.[4] Menurut pandangan hukum Islam, zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan zina, yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin Pria) kedalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasara syahwat[5]. Zina menurut hukum Islam tidak terbatas pada orang yang sudah menikah saja, tetapi berlaku bagi siapa saja yang berhubungan badan sementara mereka bukan suami istri, baik sudah menikah atau belum menikah. Siapa pun yang terbukti secara meyakinkan telah melakukan perzinahan, maka ia terkena had[6] zina. Hanya saja, ada perbedaan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap orang yang telah atau pernah menikah dengan orang yang belum pernah menikah. Berbeda dengan hukum positif yang hanya menjatuhkan hukuman bagi pezina yang sudah kawin, kemudian bagi yang belum kawin atau atas dasar suka sama suka atau lazimnya dikalangan masyarkat menyebut dengan kumpul kebo tidak diberi hukuman. Dalam hukum Islam perbuatan zina sangatlah berat hukumannya dan merupakan perbuatan yang keji atau buruk yang harus dihindari. 1. 2. Dasar Hukum Zina dalam hukum Islam

Dalam dasar hukum mengenai perzinahan di dalam hukum Islam juga terjadi perbedaan dengan hukum postif. Dimana didalam hukum positif perbuatan zina (perzinaan) diatur di dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tepatnya mengenai Bab kejahatan terhadap kesusilaan. Pada pasal 284 KUHP[7] ayat (1) Diancam pidana penjara paling lama Sembilan bulan : 1. a. seorang pria telah nikah yang melakukan zina, padahal diketahui, bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) http://www.wikipedia.com/pemerkosaan/, akses pada 11 Oktober 2011 http://konsultasisyariah.com/hukum-kasus-pemerkosaan, akses pada 11 Oktober 2011

b. seorang wanita telah nikah yang melakukan zina 1. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui bahwa yang turut bersalah telah nikah dan pasal 27 BW berlaku baginya. b. seorang wanita tidak nikah yang turut serta melakukan perbuatan itu padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah nikah dan pasal 27 BW berlaku baginya. Pada ayat (2) : tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga. Dari rumusan ketentuan Pasal 284 KUHP tersebut maka unsur-unsur perzinahan adalah sebagai berikut : adanya persyaratan telah kawin; adanya pengaduan dari suami atau isteri yang tercemar; dan si turut serta harus mengetahui bahwa pasangannya terikat perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 284 KUHP, apabila laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya belum menikah dan melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah maka tidak dapat dikategorikan sebagai perzinahan dan tidak dapat dijerat oleh hukum. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 284 KUHP, baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan peluang kepada persetubuhan di luar nikah antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat pernikahan dengan orang lain[8]. Berbeda pengaturan dengan yang ada di dalam hukum Islam. Di dalam hukum Islam sumber hukum Islam ialah AlQuran, As Sunnah/Al Hadist dan Al Rayu. Dalam AlQuran diantaranya diatur di dalam surat An-Nuur ayat 2, An-Nisaa ayat 15, Al-Israa ayat 32, dan An-Nuur ayat 30-31. Garis hukum yang termuat didalam surat-surat tersebut ialah sebagai berikut[9] : 1) Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina hukuman dari tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali cambukan 2) Pelaksanaan hukuman cambuk bagi pezina dalam poin 1 diatas, tidak boleh ada belas kasihan kepada keduanya yang mencegah kamu untuk menjalankan hukum Allah jika kamu beriman kepada allah dan hari akhirat.

3) Pelaksanaan hukuman kepada pezina harus disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman. 4) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji dalam bentuk zina harus disaksikan oleh 4 orang saksi. 5) Janganlah kamu mendekati zina karena zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suaru pekerjaan yang buruk. 6) Wanita yang beriman harus menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.

Dasar hukum tentang perbuatan zina di dalam hadis cukup banyak diantaranya ialah hadis riwayat (HR) Abu Hurairah ra, Sayyidina Umar bin Khattab ra. Ibnu Abbas, Zaid bin Khalid ra, Abdullah bin Umar ra, Ubadah bin ash-Shamit ra. Garis hukum yang termuat didalam hadisthadist tersebut ialah sebagai berikut[10] : 1) Rasullah SAW telah menentukan bahwa anak Adam cenderung terhadap perbuatan zina. Kemaluanlah yang menentukan dalam berbuat zina atau tidak. 2) Seorang pezina tidak akan berzina jika ketika itu dia berada dalam keimanan.

3) Sesungguhnya Allah mengutus Rasullaah SAW mengatur tentang hukuman rajam. Kemudan Rasul melakukannya dan diikuti oleh para sahabat. 4) Hukuman rajam yang terdapat dalam Alquran harus dilaksanakan oleh manusia kepada pezina yang pernah kawin, baik laki-laki maupun perempuan bila terbukti bukti yang nyata dan atau dia telah hamil atau pengakuannya sendiri. 5) Rasulullah SAW menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun kepada pemuda yang melakukan zina dengan istri orang, sedang istri orang tersebut dihukum rajam. Dasar hukum antara hukum positif dan hukum Islam jelas berbeda, dimana dalam hukum postif memberikan peluang terjadinya perzinahan dengan sanksi yang tidak tegas dan hanya diberikan pada yang sudah nikah sementara yang belum tidak dikenai sanksi. Dalam hukum Islam jelas

diatur dengan baik dari Alquran dan Hadis Rasulullah SAW untuk menjauhi zina karena merupakann perbuatan yang buruk dan keji sehingga sanksinya berat sekali dalam hukum Islam berupa rajam dan cambuk 100 kali serta diasingkan. 1. 3. Pembuktian Tindak Pidana perbuatan Zina (Perzinahan) dalam hukum Islam

Zina dalam hukum Islam merupakan kejahatan yang serius dengan ancaman hukum yang serius pula. Oleh karenanya, pembuktian zina harus dapat menghasilkan titik terang yang meyakinkan hakim untuk dasar dapat melaksanakannya had zina. Apabila hakim ragu-ragu, maka had tidak bisa dilakukan[11]. Ada tiga macam cara pembuktian zina yaitu : 1. Pembuktian dengan saksi Para Ulama telah sepakat bahwa tindak pidana zina tidak bisa dibuktikan kecuali dengan empat orang saksi. Karena apabila kurang kesaksiannya tidak bisa diterima. Hal tersebut sesuai dengan dsar hukum yang ada di Alquran dan Hadis Rasulullah SAW. Saksi haruslah memeliki syaratsyarat yang harus dipenuhi baik syarat-syarat umum atau syarat-syarat khusus untuk tindak pidana zina yakni[12] : 1) Syarat-syarat umum terdiri dari: Baliq (dewasa), Berakal, Kuat ingatan, Dapat berbicara, Dapat melihat, Adil, Islam , Tidak ada penghalang persaksian. 2) Syarat-syarat Khusus untuk tindak pidana Zina terdiri dari : Laki-laki, Harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Peristiwa Zina belum kadaluwarsa, Persaksian harus dalam satu majelis, Bilangan saksi harus empat orang, Persaksian harus meyakinkan, diterima, dan dianggap sah oleh hakim. 1. Pembuktian dengan pengakuan Pengakuan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk tindak pidana pebuatan zina dengan syaratsyarat sebagai berikut[13] : 1. Pengakuan harus dinyatakan empat kali atau berulang-ulang 2. Pengakuan harus terperinci dan menjelaskan tentang hakikat perbuatan, sehingga dapat menghilangkan syubhat (ketidakjelasan) dalam perbuatan zina.

3. Pengakuan harus sah atau benar, yang dinyatakan oleh orang yang berakal dan mempunyai kebebasan. 4. Pengakuan dinyatakan dalam siding pengadilan atau luar siding pengadilan. Dalam pembuktian zina dalam pengakuan ini apabila pembuat pengakuan menarik pengakuannya atau lari ketika akan dilaksanakan hukuman, maka tidak dijatuhi hukuman.
1. Pembuktian dengan Qarimah

Qarimah adalah tanda yang dianggap sebagai alat bukti dalam perbuatan zina yakni timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atau tidak diketahui suaminya. Apabila terdapat syubhat dalam terjadinya zina maka tidak dijatuhi hukuman kepadanya. misal : hamilnya wanita karena perkosaan atau mengaku dipaksa atau selama ia tidak mengaku berbuat zina maka tidak dijatuhi hukuman. Dalam hukum Islam, penerapannya tidak sembarangan untuk dilakukan. Dalam tindak pidana perbuatan zina untuk membuktikannya cukup sulit karena juga harus memenuhi syarat-syarat. Artinya hukum Islam menjaga hak-hak individu apabila individu tersebut benar-benar tidak melakukan zina melainkan diperkosa atau difitnah oleh orang lain. Hukum Islam menegaskan bahwasanya dalam menentukan seseorang melakukan perbuatan zina harus dibuktikan terlebih dahulu melalui keterangan saksi, pengakuan dan adanya tanda atau kehamilan dalam rahim seorang wanita. 1. 4. Macam-macam Sanksi/Hukuman perbuatan Zina (Perzinahan) dalam Hukum Islam Dari sumber hukum Islam aquran dan hadis hukuman zia itu ada dua macam, terganutng kepada keadaan pelakunya pakah ia belum berkeluarga (ghair muhshan) atau sudah berkeluarga (muhshan). Dibawah ini akan dijelaskan mengenai kedua macam sanksi/hukuman yaitu[14] : 1. Hukuman untuk Zina Ghair Muhshan ada dua macam yaitu hukuman dera (cambuk) seratus kali dan hukuman pengasingan.

Hukuman dera atau cambuk dilakukan pada jejaka atau gadis yang melakukan perbuatan zina yang jelas diatur dalam Alquran surat An-Nuur ayat 2[15] : perempuan yang berzina dan laki-lak yang berzina makaderalah tiap-tiap seorang dari keduanyaseratus kali, dan janganlah belas kasihan keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama

Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari Akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Hukuman dera (cambuk) menurut hukum Islam ialah merupakan kehendak Allah atau masyarakat, sehingga pemerintah atau individu tidak berhak memberikan pengampunan.

Hukuman pengasingan ini didasarakan pada hadis Ubadah Ibn Ash-Shami ia berkata : Rasulullah SAW telah bersabda: ambillah dari diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan ke luar bagi mereka (pezina) . Jejaka dengan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam.

1. Hukuman untuk Zina Muhshan Zina muhshan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga, hukumannya berupa dera seratus kali dan rajam. Hukuman dera seratus kali didasarkan pada surat An-Nuur ayat 2. Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau sejenisnya. Hukuman rajam merupakan hukuman yang telah diakui dan diterima oleh hamper semua fuqaha[16] 1. 5. Pelaksanaan Hukuman perbuatan Zina dalam hukum Islam

Apabila tindak pidana zina sudah bisa dibuktikan dan tidak ada syubhat maka hakim harus memutuskannya dengan menjatuhkan hukuman had, yaitu rajam bagi muhshan dan dera (cambuk) seratus kali ditambah pengasingan selama satu tahun bagi pezina ghair muhshan. Dalam pelaksanaan hukuman terdapat pertanyaan siapakah yang melaksanakan hukuman caranya hukum rajam dan dera bagaimana. Dalam hukum Islam menurut para fuqaha sepakat bahwa pelaksanaan hukuman harus dilakukan oleh imam atau wakilnya (pejabat yang ditunjuk). Dalam jaman Rasulullah SAW selalu memerintahkan kepada para sahabat untuk melaksanakan hukuman. Pelaksanaan hukuman rajam dengan cara pezina baik laki-laki atau perempuan dipendam kedalam tanah sampai bagian dada kemudian dilempari batu sampai mati, lemparan pertama dilakukan oleh saksi yang memberikan kesaksian setalah itu diteruskan oleh imam dan pejabat kemudian masyarakat. Hukuman ini bebas dilakukan kapanpun baik siang atau malam baik panas atau dingin namun bagi wanita hamil ditunda hingga melahirkan[17].

Hukuman dera (cambuk) dilaksanakan dengan menggunakan cambuk seratus kali dan dilakukan oleh algojo seperti di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan dihadiri oleh masyarakat, dimana dilakukan dalam keadaan berdiri kemudian dicambuk tanpa belas kasihan sampai seratus kali. 1. 6. Tujuan dan hikmahnya Hukum Islam terhadap perbuatan Zina

Hukuman terhadap pelaku zina demikian berat, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan akibat perbuatan zina, baik terhadap diri, maupun keluarga, dan masyarakat begitu besar yang antara lain sebagai berikut[18] : 1) Penyakit kelamin seperti virus HIV/AIDS penyakit gonorcho atau syphilis, merupakan jenis penyakit yang mencemaskan. Penyakit tersebut berjangkit melalui hubungan kelamin dan HIV/AIDS belum ditemukan obatnya. 2) Perbuatan zina, menjadikan seseorang enggan melakukan pernikahan sehingga dampal negatif akibat keengganan seseorang untuk menikah cukup kompleks, baik terhadap mental maupun fisik seseorang 3) Keharmonisan hubugan keluarga sebagai suami istri berkurang atau rusak karena ada yang berzina. 4) Di negara manapun yang menghormati nilai-nilai kesusilaan, masyarakatnya akan mencela dan memberikan sanksi moral berupa cemoohan, pergunjingan dan dikucilkan serta diasingkan termasuk di Indonesia. Perbuatan zina dalam hukum Islam jelas perbuatan yang buruk dan keji sehingga sanksi dan hukumannya berat. Namun hukum Islam sebenarnya mengajarkan kita bagaimana sebagai manusia untuk menjaga fitrahnya bahwa manusia itu makhluk yang sempurna dan mempunyai akal sehingga masalah moral dan kesusilaan haruslah dijaga dengan baik. Negara Indonesia seharusnya sudah harus memulai mengatur dengan tegas permasalah perzinahan dan mengambil nilai-nilai yag terkandung di dalam hukum Islam. Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang baru sebenarnya sudah memuat mengenai perzinahan dalam pasal 485 yang mengatur bahwa tidak hanya yang sudah berkeluarga yang dikenai sanksi melainkan yang belum ada ikatan pernikahan dikenai sanksi jika terbukti

melakukan perbuatan zina. Kemudian dalam pasal 487 mengatur mengenai hidup besama atau lazimnya orang awam menyebut kumpul kebo dikenai sanksi. BAB III PENUTUP 1. A. Kesimpulan

Zina menurut hukum Islam tidak terbatas pada orang yang sudah menikah saja, tetapi berlaku bagi siapa saja yang berhubungan badan sementara mereka bukan suami istri, baik sudah menikah atau belum menikah. Siapa pun yang terbukti secara meyakinkan melalui pembuktian dengan saksi, pembuktian atas pengakuan pelaku zina dan pembuktian Qarimah atau tanda kehamilan telah melakukan perzinahan dikenai hukuman cambuk seratus kali dan pengasingan bagi yang belum berkeluarga, yang sudah berkeluarga dikenai hukuman rajam. Di dalam hukum Islam dasar hukumnya ialah AlQuran, As Sunnah/Al Hadist dan Al Rayu. 1. B. Saran

Seharusnya pemerintah dan dewan perwakilan rakyat memandang perzinahan merupakan masalah yang berat dan harus dikenai sanksi yang keras karena demi menciptakan generasi bangsa yang baik dan melanjutkan peradaban negara Indonesia yang menjaga norma kesusilaan, adat-istiadat dan bangsa yang beradab berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sesuai dialam falsafah bangsa kita Pancasila. Sehingga sudah sepatutnya dan selayaknya RUU KUHP yang baru disahkan. DAFTAR PUSTAKA Abdul Rahman Budiono, 2005. Pengantar Ilmu hukum. Bayumedia Publishing. Malang. Ahmad Wardi Muslich. 2005. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. Asadulloh Al Faruk. 2009. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Ghalia Indonsia. Bogor A.Ridwan Halim, 2007. Pengantar Hukum Indonesia dalam Tanya jawab jilid 1. Ghalia Indonesia. Bogor selatan.

C.S.T Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Dudu Duswara Machmudin, 2000. Pengantar Ilmu Hukum sebuah sketsa. PT. Refika Adiatama. Bandung. Hartono hadisoeprapto. 2011. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Liberty. Yogyakarta. Moeljatno. 2007. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta. Moh. Daud Ali. 2000. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Satjipto Rahardjo, 1986. Ilmu Hukum, Alumni. Bandung. Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Zainuddin Ali. 2007. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. Yuda Bakti Ardiwisastra. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni. Bandung. Makalah Lidya Suryani Widayati. 2009. Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi Masalah Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta. Jurnal Hukum No. 3 VOL. 16 JULI 2009: 311 336. Makalah SUSIATININGSIH, SUSIATININGSIH (2006) Tindak Pidana Perzinaan Menurut Pasal 284 KUHP (Analisa Yuridis Normatif Berdasarkan Hukum Pidana Islam). Undergraduate thesis, University of Muhammadiyah Malang. ___________2005. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. http://kesehatan.kompasiana.com/seksologi/2010/12/22/80-gadis-tak-lagi-perawan (online) diakses tanggal 11 Oktober 2012. http///www.wikipedia.com (online) diakses tanggal 11 Oktober 2012.

[1] http://kesehatan.kompasiana.com/seksologi/2010/12/22/80-gadis-tak-lagi-perawan/ (online) diakses tanggal 11 Oktober. [2] Moh. Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2000. Hlm 54 [3] Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika. 2005, hlm 4. [4] Asadulloh al Faruk. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam. Ghalia Indonesia. Bogor. 2009. Hlm 24. [5] H.Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2007 hlm 37. [6] Had ialah bentuk jamaknya dari hudud yakni peraturan Allah yang bersifat membatasi par excellence : yaitu hukuman mati, baik dengan lemparan batu atau rajam bagi pezina. Hadd adalah suatu hak atau tuntutan dari allah (haqq Allah), sehingga tidak ada kemungkinan pemaafan atau penyelesain yang ramah tamah. Joseph Schacht. Pengantar hukum Islam. Nuansa. Bandung. 2010. Hlm249-250. [7] Moelyatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta. Pt Bumi AKsara. 2007. Pasal 284 ayat 1 dan 2. [8] Lidya Suryani Widayati. Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi Masalah Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta. Jurnal Hukum No. 3 VOL. 16 JULI 2009: 311 336. [9] Op. cit, H.Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Hlm 39-40. [10] Ibid, H.Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Hlm 46-48. [11] Op. cit, Asadulloh al Faruk. Hukum pidana dalam sistem hukum Islam. Hlm 27. [12] Op. cit. Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. hlm 43-48. [13] Ibid, Ahmad Wardi Muslich. Hlm 53-54.

[14] Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika. 2005, hlm 29-40 [15] Alquran surat An-Nuur ayat 2 [16] Op. cit. Ahmad Wardi Muslich. hlm 33 [17] Ibid, Ahmad Wardi Muslich. hlm 57-58 [18] Op. cit, H.Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Hlm 51-52

You might also like