You are on page 1of 10

TUGAS JOURNAL READING

KETEPATAN TRANSFUSI DARAH PERIOPERATIF PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI KANKER : SEBUAH PENELITIAN PROSPEKTIF SINGLE-CENTRE

Disusun Oleh : WIJI HASTUTI NIM G99121049

Pembimbing : dr. Bambang N., Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FK UNS / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2012

Ketepatan Transfusi Darah Perioperatif pada Pasien yang Menjalani Operasi Kanker: Sebuah Penelitian Prospektif Single-Center
Priya Ranganathan, Sarfaraz Ahmed, Atul P Kulkarni, Jigeeshu V Divatia Department of Anaesthesiology, Critical Care and Pain, Tata Memorial Hospital, Parel, Mumbai, Maharashtra, India Year : 2012 ; Volume : 56 ; Issue : 3 ; Page : 234-237

ABSTRAK

Latar Belakang : Transfusi darah secara alogenik sering dikaitkan dengan beberapa komplikasi, terutama pada pasien kanker. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi rata-rata kejadian transfusi darah perioperatif dan kejadian overtransfusi di rumah sakit kanker tersier.

Metode : Antara bulan Maret dan Mei 2008, peneliti mempelajari semua pasien dewasa yang menjalani operasi kanker mayor elektif dengan anestesi dan dicatat selama dan setelah operasi (dalam waktu 24 jam) transfusi darah dan observasi pasca-operasi. Overtransfusi didefinisikan sebagai hemoglobin (Hb) setelah transfusi yang melebihi 10 g / dL.

Hasil: Seratus delapan puluh enam dari 1175 (16%) pasien menerima transfusi darah perioperatif. Penyebab utama untuk dilakukan transfusi intraoperatif adalah karena kehilangan darah melebihi maksimum (92, 49%). Sembilan puluh lima (51%) pasien yang ditransfusi memiliki Hb pasca transfusi lebih dari 10 g / dL. Tingkat overtransfusi tidak terlalu tinggi pada pasien yang menerima satu unit transfusi.

Kesimpulan: Rata- rata transfusi perioperatif pada pasien yang menjalani operasi kanker adalah 16%. Lebih dari setengah pasien tersebut mengalami overtransfusi. Setelah penelitian ini, titik utama dalam fasilitas perawatan pengukuran hemoglobin intraoperatif. adalah dengan

Pendahuluan

Bahaya dari transfusi darah alogenik dapat berupa penularan infeksi dan reaksi imunologi. Pada pasien kanker, ada kekhawatiran tambahan tentang efek transfusi yang berhubungan dengan immunomodulasi pada kekambuhan tumor dan kelangsungan hidup. Sebuah metaanalisis terbaru menunjukkan hubungan antara transfusi perioperatif dan kambuhnya kanker kolorektal. Penelitian terdahulu sudah menunjukkan bahwa pelaksanaan transfusi darah perioperatif dan telah diketahui rata-rata transfusi yang sesuai antara 19 dan 53%. Telah terbukti bahwa penelitian tersebut dapat membantu untuk mengidentifikasi masalah dalam pelaksanaan transfusi, mengatur dan menurunkan rata-rata transfusi yang sesuai. Akan tetapi, terdapat kelangkaan literatur yang diterbitkan di seluruh dunia mengenai prevalensi transfusi yang sesuai setelah operasi kanker. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian prospektif untuk memeriksa pelaksanaan transfusi darah perioperatif pada rumah sakit kanker tersier yang menjadi rujukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi rata-rata pelaksanaan transfusi darah perioperatif dan kejadian overtransfusi pada pasien dewasa yang menjalani operasi kanker elektif.

Metode Penelitian ini telah disetujui oleh Institutional Review Board. Peneliti mengumpulkan data dari semua pasien dewasa yang berturut-turut menjalani operasi kanker mayor elektif antara 1 Maret dan 31 Mei 2008. Persetujuan pasien sebagai penelitian hanya melibatkan penggunaan grafik anestesi, catatan pasien anonim dan catatan dari Departemen Kedokteran Transfusi.

Seorang anaesthesiologis mengisi formulir untuk setiap pasien, termasuk rincian kondisi pra-operasi dan investigasi, kehilangan darah intra-operatif dan terapi cairan, darah dan produk darah ditransfusikan (jika ada) dan setiap kejadian intraoperatif diinvestigasi. Kehilangan darah intra-operatif dihitung dengan mengukur volume darah dalam botol suction, dengan menimbang pel dan potongan kasa yang digunakan selama operasi dan dengan estimasi visual loss di tempat kejadian. Pada saat penelitian ini, penelitian yang dilakukan adalah untuk transfusi pasien yang kehilangan darah melebihi kehilangan darah maksimum yang diijinkan (MABL) {[MABL = ( Hb pra-operasi Hb target ) / rata-rata Hb] * volume darah}. Untuk menghindari beberapa pengaruh terhadap keputusan untuk transfusi, bentuk tersebut tidak termasuk daftar indikasi diterima tidaknya untuk transfusi. Namun, anaesthesiologis dianjurkan atau untuk

mendokumentasikan alasan mereka melakukan transfusi pada pasien. Pada pasien yang mengalami perdarahan intraoperatif masif (didefinisikan sebagai hilangnya lebih dari 80% volume sirkulasi darah), perkiraan kehilangan darah dan penggantinya kemungkinan tidak akurat - pasien tersebut dikeluarkan pada analisis selanjutnya. Semua pasien ditindaklanjuti selama 24 jam setelah operasi untuk mengidentifikasi transfusi pada periode post-operasi. Catatancatatan itu diperiksa ulang setiap hari dengan database elektronik dari Departemen Kedokteran Transfusi untuk mengetahui transfusi yang mungkin tidak sengaja terlewati. Data kasus dan catatan medis elektronik dari semua pasien pada database diperiksa setelah operasi untuk mengumpulkan hasil dari penyelidikan tersebut. Dimana alasan untuk transfusi tidak didokumentasikan, grafik anestesi dan penyelidikan pasien dikaji untuk mengidentifikasi alasan yang mungkin.. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS 18.0 (SPSS, USA). Transfusi darah perioperatif didefinisikan sebagai transfusi sel darah merah (PRC atau whole blood) selama atau dalam waktu 24 jam setelah operasi. Seorang pasien dianggap overtransfusi jika Hb post-transfusi lebih dari 10 g / dL. Cut-off tersebut didasarkan pada pedoman ASA, yang menunjukkan bahwa pasien

dengan Hb lebih dari 10% g hampir tidak pernah membutuhkan transfusi. Untuk mendukung analisis, dua anaesthesiologis senior mengklasifikasikan tindakan

bedah ke dalam tiga kategori operasi berdasarkan kemungkinan mereka membutuhkan transfusi - rendah (misalnya, payudara, diseksi leher radikal modifikasi, parotidectomy), sedang (misalnya, kolektomi, pancreatectomy, oesophagectomy ) dan tinggi (misalnya, reseksi tulang pelvic mayor, reseksi hepar, prostatektomi terbuka). Data dinyatakan dalam persentase untuk variabel kategorikal dan rata-rata (dengan standar deviasi) atau median (dengan rentang antarkuartil, IQR) untuk variabel kontinyu. P-value kurang dari 0,05 dianggap signifikan untuk semua perbandingan dan tidak perlu penyesuaian dibuat untuk perbandingan yang multipel.

Hasil

Selama penelitian, 1195 pasien menjalani prosedur bedah elektif. Karakteristik demografi pasien ditunjukkan pada [Tabel 1]. Rata-rata kehilangan darah intra-operatif adalah 250 ml. (IQR: 100, 562). Rata-rata kehilangan darah intra-operasi darah adalah 150 mL, 500 mL dan 512 mL dalam operasi

diklasifikasikan menjadi rendah, sedang dan tinggi yang kemungkinan membutuhkan transfusi. Enam prosedur yang terlibat dalam kehilangan darah masif, tetapi ada data yang tidak lengkap dan tindak lanjut pada 14 kasus, karena itu 1.175 pasien dilibatkan dalam analisis akhir. Dari jumlah tersebut, 186 pasien (16%) memiliki setidaknya satu unit darah atau produk darah yang ditransfusi. Satu dan dua unit transfusi menyumbang 40% untuk setiap transfusi total, dengan tersisa tiga atau lebih unit. Alasan paling umum untuk transfusi adalah kehilangan darah melebihi MABL (49%), Hb intraoperatif kurang dari 8 g / dL (14%), ketidakstabilan hemodinamik (5%) dan antisipasi kehilangan darah lebih lanjut (5%). Namun, pada 20% (38) pasien yang ditransfusi, tidak ada dokumentasi mengenai alasan transfusi dan pada catatan pemeriksaan pasien tidak ditemukan adanya indikasi tertentu untuk transfusi. Sembilan puluh lima dari 186 pasien (51%) memiliki Hb post-transfusi lebih dari 10 g / dL dan dianggap overtransfusi. Rata-rata overtransfusi tertinggi pada pasien yang menerima 2 unit darah [Tabel 2]. Di antara 38 pasien yang menerima transfusi untuk alasan yang tidak

diketahui, 24 (63%) yang overtransfusi. Empat puluh sembilan pasien dilakukan pemeriksaan Hb intraoperatif, dan 39 pasien yang menerima transfusi.

Tabel 1. Karakteristik demografi pasien Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 593 (49,6%) 602 (50,4 %)

Umur (dalam tahun) Rata-rata ( SD) 48,6 (13,4)

Berat (dalam kg) Rata-rata ( SD) 56,6 (10,8)

Status ASA I II III 64% 34,6% 1,4%

Hb (g %) Rata-rata ( SD) <8 8,1-10 >10,1 12 (1,7) 9 (0,8) 165 (13,4) 1021 (85,8)

Kemungkinan membutuhkan transfusi (%) Rendah Sedang Tinggi 799 (67) 348 (29) 48 (4)

Tabel 2. Jumlah darah yang ditransfusi dan ketepatannya Unit yang ditransfusi 1 2 3/ lebih Total Total yang ditransfusi 74 75 37 186 Ketepatan 41 (55) 28 (37) 22 (60) 91 (49) Overtransfusi 33 (46) 47 (63) 15 (40) 95 (51)

Diskusi Dampak dari transfusi darah alogenik jangka panjang pada pasien yang menjalani operasi kanker masih belum jelas. Sedangkan hasil metaanalisis mengarahkan pada "hubungan moderat" antara transfusi darah alogenik dan kekambuhan dini pada pasien dengan kanker kolorektal,tetapi hubungan sebab akibat belum diketahui. Penelitian lebih lanjut tentang masalah tersebut dan jenisjenis operasi kanker masih diperlukan. Namun, bahaya lain dari transfusi darah, seperti reaksi transfusi, penularan infeksi dan risiko mistransfusi, lebih baik ditindaklanjuti dan itu adalah fakta yang diterima bahwa transfusi darah harus dibatasi pada situasi yang perlu. Sebuah metaanalisis terbaru juga menegaskan bahwa strategi restriktif alogenik transfuse dapat mengurangi tingkat infeksi perioperatif tanpa peningkatan tingkat komplikasi seperti pada jantung atau kematian. Selain itu, darah menjadi sumber daya yang berharga dan langka, sehingga setiap upaya harus dilakukan untuk transfusi darah dan produk darah hanya bila penting. Dalam penelitian ini, penghitungan transfusi memiliki peran penting dalam mengidentifikasi dan memperbaiki kejadian transfusi yang tidak perlu. Dalam penelitian prospektif mengenai transfusi darah perioperative selama operasi kanker elektif, secara keseluruhan rata-rata transfusi sel darah merah adalah 16%. Lebih dari setengah dari transfusi mengakibatkan Hb post-transfusi lebih dari 10 g / dL, dan dapat dianggap overtransfusi, baik dalam hal keputusan untuk transfusi atau dalam hal volume darah yang ditransfusikan. Penghitungan sebelumnya pada pasien bedah telah menemukan tingkat transfusi darah

perioperatif antara 16,7 dan 34%. Insiden overtransfusi dalam penelitian ini bervariasi antara 19 dan 53%. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh perbedaan dalam populasi pasien, jenis operasi yang dilakukan dan kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan overtransfusi. Indikasi yang paling umum untuk transfusi perioperatif pada penelitian ini adalah kehilangan darah melebihi MABL dan Hb intraoperative yang rendah. Penelitian-penelitian lain telah menemukan Hb rendah, kehilangan darah dan hipovolemia menjadi indikator untuk transfusi perioperatif. Dua puluh persen dari transfusi dalam penelitian ini tidak memiliki indikasi untuk transfusi. Kelompok pasien tersebut memiliki tingkat tertinggi untuk mengalami overtransfusi (63%). Spencer menemukan bahwa kewajiban mendokumentasikan alasan transfusi mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam kejadian transfusi yang tidak perlu Penggunaan satu unit transfusi sebelumnya dianggap sebagai indeks ketidaktepatan pelaksanaan transfusi. Namun, kini diterima bahwa transfusi harus terbatas pada jumlah terkecil darah yang dibutuhkan untuk menaikkan kondisi pasien di atas ambang transfusi dan transfusi unit tunggal darah justru meningkat ketika kualitas program perbaikan diperhatikan. Dalam penelitian ini, proporsi kejadian overtransfusi pada penggunaan satu unit transfusi tidak lebih tinggi dibandingan dengan penggunaan banyak transfusi. Namun, tingkat kejadian overtransfusi tertinggi terjadi pada penggunaan dua unit transfusi, hal tersebut menunjukkan bahwa transfusi satu unit mungkin sudah cukup pada pasien tersebut. Unit kedua mungkin diberikan pada beberapa pasien karena kepercayaan di antara beberapa anaesthesiologis bahwa transfusi satu unit itu tidak adekuat. Hal yang menarik juga ditemukan pada pasien yang ditransfusi untuk alasan yang tidak jelas, biasanya digunakan satu unit transfusi, dan sebagian besar mengakibatkan overtransfusi. Telah disarankan bahwa penggunaan teknik

perawatan dengan pemeriksaan Hb intraoperatif dapat menurunkan angka kejadian transfusi yang tidak perlu. Dalam penelitian ini, 49 kasus telah dilakukan pemeriksaan Hb intraoperative dan 39 dari jumlah tersebut mendapat transfusi, akan tetapi angka-angka tersebut terlalu kecil untuk menunjukkan analisis bermakna.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Nilai Hb pra-operasi yang digunakan untuk penghitungan MABL tidak selalu digunakan. Hal tersebut dikarenakan peneliti ingin penelitian ini dapat mencerminkan kejadian klinis yang sebenarnya dan tidak ada intervensi tambahan. Kedua, peneliti hanya memasukkan transfusi sel darah merah dalam penelitian ini. Sedangkan, transfusi yang tidak tepat dari produk darah lainnya seperti fresh frozen plasma dan trombosit juga merupakan masalah yang serius. Namun, kurang dari 1% dari pasien dalam penelitian ini yang menerima fresh frozen plasma dan / atau transfusi trombosit - angka-angka ini tidak memadai untuk dilakukan analisis. Ini mungkin bisa menjadi subyek dari penelitian di kemudian hari. Selain itu, peneliti tidak membedakan antara PRC dan transfusi whole blood. Keakuratan penghitungan transfusi, terutama yang retrospektif

dipertanyakan dalam penelitian ini. Namun, tampak bahwa penghitungan pelaksanaan transfusi dan pedoman transfusi memiliki peran dalam

mengidentifikasi dan mengurangi tingkat kejadian transfusi yang tidak perlu. Spencer mempelajari pasien yang menjalani operasi replacement sendi elektif dan menemukan bahwa penegakan algoritma transfusi lokal mengurangi angka kejadian transfusi sebanyak setengah dari angka keseluruhan, tanpa hasil yang buruk dan dengan efek yang berkelanjutan. Demikian pula, Mallett menemukan penurunan angka kejadian transfusi sebesar 43% setelah penerapan pelaksanaan penggunaan pedoman transfusi. Tampaknya logis bahwa langkah pertama untuk meningkatkan kualitas individu perawatan pasien adalah pertama dengan mengidentifikasi masalah, dan penghitungan seperti penelitian ini wajib dilakukan. Setelah dilakukan penghitungan/rekapitulasi data, langkah-langkah tertentu kemudian diambil untuk meningkatkan pelaksaan transfusi perioperatif di rumah sakit tersebut. Fasilitas untuk estimasi Hb (HemoCue ) telah diperkenalkan. Peneliti mengusulkan untuk meningkatkan kesadaran tentang penggunaan pedoman transfusi antara staf bagian dan pengulangan penghitungan pada tahap berikutnya untuk menilai dampak dari intervensi.

Kesimpulan

Rata-rata transfusi perioperatif pada pasien yang menjalani operasi kanker adalah 16%. Lebih dari setengahnya mengakibatkan kejadian overtransfusi. Kejadian overtransfusi pada pasien yang menerima satu unit transfuse tidak lebih tinggi. Dampak dari penelitian ini pada pelaksanaan transfusi perioperatif di rumah sakit masih harus dinilai.

You might also like