You are on page 1of 10

KEMITRAAN AGRIBISNIS KAKAO Terdapat empat pola saluran yang terbentuk pada aktifitas perdagangan biji kakao, yaitu:

1. Petani Kakao Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Pengumpul Kecamatan Pedagang Pengumpul Kabupaten Pedagang Besar/Eksportir Pabrik Pengolahan di Luar Negeri (konsumen antara). 2. Petani Kakao Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Pengumpul Kabupaten Pedagang Besar/Eksportir Pabrik Pengolahan di Luar Negeri (konsumen antara). 3. Petani Kakao Pedagang Pengumpul Kecamatan Pedagang Pengumpul Kabupaten Pedagang Besar/Eksportir Pabrik Pengolahan di Luar Negeri (konsumen antara). 4. Petani kakao Pedagang Pengumpul Kabupaten Pedagang Besar/Eksportir Pabrik Pengolahan di Luar Negeri (konsumen antara). Keempat pola saluran pemasaran tersebut dijadikan standar dalam perhitungan efisiensi pasar atas distribusi biji kakao pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat dan saluran pemasaran yang terbentuk.

Bentuk Kerjasama Antar Pedagang Sistem transaksi pembelian kakao dari petani dilakukan dengan tunai agar petani tetap setia, mengingat ketatnya persaingan antara pedagang pengumpul dalam memperoleh biji kakao. Sedangkan sistem transaksi pembelian dari pedagang, selain tunai kadang pula dilakukan dengan sistem panjar dan sisanya dibayar tunai pada waktu penyerahan biji kakao. Pedagang pengumpul kabupaten tidak langsung menjual biji kakao yang telah dikumpulkan, namun melakukan penitipan hingga harga yang berlaku dianggap memadai. Umumnya, pedagang pengumpul kabupaten mendapat informasi harga yang berlaku dalam setiap hari yang diperoleh dari pedagang besar/eksportir melalui pesan singkat (SMS). Pertimbangan yang digunakan dalam sistim pemasaran ini terkait dengan efisiensi, yakni menyangkut biaya yang dikeluarkan dalam pemasaran serta keuntungan yang akan diterima. Olehnya itu, dalam memutuskan untuk mengirim

biji kakao ke pasar sasaran, pedagang pengumpul kabupaten tergantung dari kinerja pedagang pengumpul mitranya untuk memperoleh biji kakao dari petani. Potongan harga didasarkan atas ka-dar air, kebersihan dan keutuhan fisik biji kakao. Hal ini juga berlaku umum terhadap biji kakao yang dibeli dari pedagang pengumpul (desa/ kecamatan) yang merupakan mitranya. Pedagang pengumpul lokal selain berprofesi sebagai pedagang, juga bertindak sebagai kreditor. Petani yang membutuhkan dana dapat meminjam uang dari pedagang. Situasi semacam ini menciptakan terjalinnya hubungan patron-client antara pedagang dengan petani kakao. Peran Pedagang Kakao Dalam Pe-ningkatan Efisiensi Pasar Untuk memperoleh dan menjamin ketersediaan biji kakao yang akan diperdagangkan, pedagang pengumpul kabupaten memberikan modal pembelian kepada pedagang pengumpul tingkat desa dan kecamatan. Hal ini juga di lakukan oleh beberapa pedagang besar/eksportir yang menyuplai dananya ke daerah untuk pengadaan biji kakao. Pemberian modal tersebut didasarkan pada kepercayaan (social trust) saja tanpa agunan dan perjanjian tertulis. Untuk meningkatkan efisiensi pe-masaran, pedagang kakao menempuh cara: Pertama, memberikan pemahaman kepada petani mengenai cara penetapan harga biji kakao yang dilakukan pedagang besar. Pengetahuan petani kakao mengenai hal ini sangat diperlukan dalam membangun mutual-trust (saling percaya) antara peda-gang dan petani kakao. Hubungan saling percaya di antara keduanya akan me-ningkatkan apresiasi petani terhadap strategi yang digunakan pedagang dalam pengadaan biji kakao. Kedua, meningkatkan nilai penjualan pada tingkat saluran pemasaran berikutnya yaitu dengan melakukan pem-bersihan dan pengeringan pada biji kakao yang dibelinya dan selanjutnya disortasi. Ketiga, membebankan biaya buruh bongkar kepada pedagang besar di kabupaten atau di Kota. Dan keempat, melakukan titip - angkut untuk efisiensi agar biaya yang dikeluarkan dalam pemasaran berkurang dan keuntungan yang akan diterima menjadi lebih besar.

KEMITRAAN AGRIBISNIS JAGUNG Secara konsepsional sistem agribisnis jagung merupakan keseluruhan aktivitas yang saling berkaitan mulai dari pembuatan dan pengadaan sarana produksi pertanian hingga pemasaran hasil jagung, baik hasil usaha tani maupun hasil olahannya. Menurut Said dan Intan (2001) sistem agribisnis terdiri dari subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, subsistem produksi primer, subsistem pengolahan,subsistem pemasaran dan lembaga penunjang. Pada umumnya sistem agribisnis jagung yang dilakukan oleh petani antara lain meliputi : 1. Subsistem pembuatan, pengadaan dan penyaluran sarana produksi pertanian. Sarana produksi pertanian ini diperoleh petani dengan sistem pembelian atau dengan bantuan dalam bentuk kemitraan. 2. Subsistem produksi dalam usahatani. Kegiatan pada subsistem ini meliputi pemilihan benih jagung, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan panen. 3. Subsistem pengolahan hasil panen. Penanganan lepas panen jagung pada tingkat petani pada umumnya baru sampai pada pengeringan jagung tongkol dan pengupasan kulit jagung (klobot), hal ini karena petani belum memiliki alat teknologi dan biaya yang cukup untuk melakukan pengolahan lanjutan. Untuk tingkat pengolahan lanjutan seperti pemipilan dan pengolahan dilakukan pada tingkat pedagang atau perusahaan, sehingga nilai tambah yang besar biasanya berada pada tingkat ini. 4. Subsistem pemasaran hasil. Pola pemasaran jagung melalui jalur pemasaran yang beragam, diantaranya bagi petani yang tidak melakukan kemitraan usaha dengan perusahaan mitra biasanya pemasaran jagung dilakukan melalui pedagang pengumpul baik yang memfungsikan kelompok tani atau koperasi maupun yang tidak, ada pula yang langsung menjual produknya ke pabrik pengolahan atau langsung ke konsumen jika produk tersebut untuk langsung dikonsumsi. Bagi petani yang telah melakukan kemitraan usaha dengan perusahaan mitra pemasaran produk jagung dilakukan melalui kelompok tani atau koperasi, perusahaan mitra, pabrik pengolahan dan konsumen. 5. Kelembagaan pendukung agribisnis jagung pada umumnya adalah lembaga di tingkat petani dan lembaga di luar petani. Lembaga ditingkat petani terdiri dari kelompok tani dan koperasi, Lembaga di luar petani seperti pemerintah, lembaga keuangan, perusahaan dan lain-lain. 1. Landasan Perlunya Kemitraan Usaha pada Agribisnis Jagung Pengembangan agribisnis jagung membutuhkan dukungan permodalan dan komitmen yang kuat, sementara itu kemampuan permodalan dan manajemen petani jagung untuk melakukan kegiatan usaha agribisnis jagung masih sangat terbatas, demikian juga dukungan pemerintah semakin berkurang dengan dikuranginya subsidi terhadap sarana produksi pertanian. Hal ini membutuhkan alternatif usaha untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melaksanakan agribisnis jagung agar tidak tergantung terhadap bantuan pemerintah yang telah semakin berkurang itu. Salah satu alternatif usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan agribisnis jagung adalah dengan melakukan kemitraan usaha dengan berbagai perusahaan, baik perusahaan swasta, maupun perusahaan

milik pemerintah (BUMN/BUMD). Kemitraan usaha ini dimaksudkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi petani jagung seperti pemodalan, manajemen dan pemasaran hasil, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani disamping itu juga dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan mitra. Pada dasarnya kemitraan usaha dalam bidang pertanian telah dilakukan petani Indonesia sejak lama yang masih bersifat tradisional dan non formal, terutama di daerah-daerah perkebunan. Petani penggarap maupun pemilik di daerah perkebunan rakyat umumnya telah melakukan kemitraan dengan pedagang, system yang dilakukan biasanya dengan system kontrak. System kemitraan ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan tidak hanya pada tanaman perkebunan, tetapi juga pada tanaman semusim. Kemitraan usaha ini baru diformalkan sejak dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil pada tanggal 26 Desember 1995, kemudian disosialisasikan sejak tanggal 15 Mei 1996, pada saat itu pemerintah mencanangkan Gerakan Kemitraan Nasional (GKN). Pencanangan tersebut menggambarkan adanya perhatian dari pemerintah terhadap pengusaha kecil, jangan sampai usahanya terdesak oleh pengusaha yang lebih besar, sehingga lambat laun pengusaha kecil usahanya menjadi terhenti. Hal tersebut merupakan himbauan bagi pengusaha yang lebih besar untuk turut serta membantu mengembangkan perusahaan kecil, sehingga mereka bisa bertahan dan meningkatkan usahanya (Satiakusumah, 2002). Berdasarkan pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dalam bidang pertanian berdasarkan pasal 1 keputusan menteri pertanian Republik Indonesia nomor : 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang dimaksud dengan kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra dibidang usaha pertanian. Sedangkan pada pasal 2 keputusan ini menyatakan bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian ini adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan, meningkatkan kualitas kelompok mitra, peningkatan usaha, dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri. Pasal 3 pada keputusan ini menyatakan bahwa kemitraan usaha pertanian berdasarkan asas persamaan kedudukan, keselarasan dan peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan sinergi kemitraan. 2. Beberapa Manfaat Kemitraan Usaha pada Agribisnis Jagung Beberapa manfaat yang dapat diambil oleh petani jagung pada kemitraan usaha pertanian dengan perusahaan mitra dengan pola inti plasma antara lain adalah tersedianya fasilitas modal usaha yang murah (tanpa diperhitungkan bunga) yang selama ini tidak mudah diperoleh, terjaminya pemasaran hasil baik dari volume maupun harga yang memadai, pendapatan petani meningkat. Pada kemitraan pola inti plasma antara PT. BISI dengan kelompok tani pada tahun 1997 pendapatan

petani dapat meningkat antara 14,9 persen hingga 72,9 persen, sedangkan manfaat lainnya adalah semakin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dan kelompok tani dalam penerapan teknologi dan kelembagaan karena mendapat bimbingan dan pembinaan yang lebih intensif dari perusahaan inti. Bagi perusahaan mitra, kemitraan usaha memberikan manfaat berupa terjaminnya pasokan bahan baku jagung untuk industri pakan ternak pada tingkat harga yang wajar dalam arti masih memberikan keuntungan dan mendorong kegairahan usaha berkelanjutan bagi petani dan pihak perusahaan masih mampu melakukan efisiensi dalam proses industri pakan ternak, sehingga pada gilirannya harga pakan yang dijual tidak memberatkan bagi peternak (Hafsah, 1999). Menurut Hasanawi Mt. (2003), pendapatan petani jagung di Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat yang melakukan kemitraan usaha pertanian dengan PT. Dharma Niaga meningkat rata-rata sebesar 35,71 persen dibandingkan dengan sebelum melakukan kemitraan usaha pertanian tersebut, pola kemitraan usaha pertanian yang dilakukan adalah pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) yang disertai dengan pembinaan. Peningkatan ini antara lain dikarenakan produktivitas lahan petani meningkat karena penggunaan input produksi yang lebih baik. 3. Kendala dan Alternatif Model Kemitraan pada Agribisnis Jagung Kendala yang sering terjadi dalam pelaksanaan kemitraan usaha dalam bidang pertanian khususnya dalam agribisnis jagung yang dapat menimbulkan kerugian pada pihak petani adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dan masih rendahnya tingkat pendapatan petani jagung, serta kurangnya komitmen dalam pelaksanaan mekanisme kemitraan usaha tersebut baik oleh petani maupun oleh perusahaan mitra. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dalam pelaksanaan kemitraan usaha diperlukan peningkatan dalam pembinaan dan kontrol. Fungsi pembinaan dan kotrol ini dapat dilakukan oleh pihak pemerintah maupun perusahaan mitra atau lembaga lain yang terlibat dalam kemitraan usaha tersebut. Dalam kemitraan usaha pada bidang pertanian telah banyak diterapkan berbagai model hubungan kemitraan, dari yang tradisional hingga modern dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Model kemitraan usaha alternatif yang dapat diterapkan dalam agribisnis jagung dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan petani jagung dan juga meningkatkan keuntungan bagi perusahaan mitra adalah sebagai berikut: (1) Model kemitraan usaha dengan melibatkan satu perusahaan mitra. Pada model ini biasanya perusahaan mitra bertindak sebagai off farm business (sector hulu) dan sekaligus juga sebagai out farm business (sector hilir), sedangkan kelompok mitra sebagi on farm business (sector produksi/usahatani). (2) Model kemitraan usaha dengan melibatkan lebih dari satu perusahaan mitra. Pada model ini biasanya ada perusahaan mitra yang bertindak sebagai off farm business (sector hulu) dan yang lainnya bertindak sebagai out farm business (sector hilir), sedangkan kelompok mitra sebagi on farm business (sector produksi/usahatani).

KEMITRAAN AGRIBISNIS KEDELAI Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) adalah suatu program kemitraan terpadu yang melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Tujuan PKT antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien. Dalam melakukan hubungan kemitraan, perusahaan inti (Industri Pengolahan atau Eksportir) dan petani plasma/usaha kecil mempunyai kedudukan hukum yang setara. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi. Proyek Kemitraan Terpadu ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang usaha melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha kecil, (2) Pengusaha Besar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi KKPA. Masingmasing pihak memiliki peranan di dalam PKT yang sesuai dengan bidang usahanya. Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil dengan Pengusaha Pengolahan atau eksportir dalam PKT, dibuat seperti halnya hubungan antara Plasma dengan Inti di dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Petani/usaha kecil merupakan plasma dan Perusahaan Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian menjadi terpadu dengan keikut sertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman bagi pembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini kemudian dikenal sebagai PKT yang disiapkan dengan mendasarkan pada adanya saling berkepentingan diantara semua pihak yang bermitra. 1. Petani Plasma Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a) Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman dan perkebunan atau usaha kecil lain, (b) Petani /usaha kecil yang telah memiliki usaha tetapi dalam keadaan yang perlu ditingkatkan dalam untuk itu memerlukan bantuan modal. Untuk kelompok (a), kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan penanaman atau penyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok (b), kegiatan dimulai dari telah adanya kebun atau usaha yang berjalan, dalam batas masih bisa ditingkatkan produktivitasnya dengan perbaikan pada aspek usaha. Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang dimiliki oleh masing-masing petani/usaha kecil. Pada setiap kelompok tani/kelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan Sekretaris merangkap Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok adalah mengadakan koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh para petani anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi dan instansi lainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua kelompok wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok. 2. Koperasi Para petani/usaha kecil plasma sebagai peserta suatu PKT, sebaiknya menjadi anggota suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan

kegiatan-kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas KKPA hanya bisa diperoleh melalui keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakan KKPA harus sudah berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukup baik untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman KKPA para anggotanya. Jika menggunakan skim Kredit Usaha Kecil (KUK), kehadiran koperasi primer tidak merupakan keharusan 3. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama sebagai inti dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan dan fasilitas pengolahan untuk bisa menlakukan ekspor, serta bersedia membeli seluruh produksi dari plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlu memberikan bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk keperluan petani plasma/usaha kecil. Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan pembinaan teknis usaha, PKT tetap akan bisa dikembangkan dengan sekurang-kurangnya pihak Inti memiliki fasilitas pengolahan untuk diekspor, hal ini penting untuk memastikan adanya pemasaran bagi produksi petani atau plasma. Meskipun demikian petani plasma/usaha kecil dimungkinkan untuk mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual kepada Perusahaan Inti. Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan pembibingan harus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan bantuan tenaga pihak Dinas Perkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan oleh Koperasi. Apabila koperasi menggunakan tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), perlu mendapatkan persetujuan Dinas Perkebunan setempat dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan. Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga-tenaga teknis yang memiliki keterampilan dibidang perkebunan/usaha untuk membimbing petani/usaha kecil dengan dibiayai sendiri oleh Koperasi. Tenaga-tenaga ini bisa diberi honorarium oleh Koperasi yang bisa kemudian dibebankan kepada petani, dari hasil penjualan secara proposional menurut besarnya produksi. Sehingga makin tinggi produksi kebun petani/usaha kecil, akan semakin besar pula honor yang diterimanya. 4. Bank Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir sebagai inti, dapat kemudian melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal kerja pembangunan atau perbaikan kebun. Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek budidaya/produksi yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak bank di dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga dapat menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akan digunakan untuk pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya pendapatan bersih petani yang paling besar. Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional lapangan,

dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk ini, bank agar membuat perjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani/Kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank. POLA KERJASAMA Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi dengan perusahaan mitra, dapat dibuat menurut dua pola yaitu : a. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasama langsung kepada Perusahaan Perkebunan/Pengolahan Eksportir.

Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaan harus bisa diberikan oleh Perusahaan Mitra. b. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi (mewakili anggotanya) dengan perusahaan perkebunan/pengolahan/eksportir.

Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent. Masalah pembinaan teknis budidaya tanaman/pengelolaan usaha, apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra, akan menjadi tanggung jawab koperasi.

PENYIAPAN PROYEK KEMITRAAN TERPADU Untuk melihat bahwa PKT ini dikembangkan dengan sebaiknya dan dalam proses kegiatannya nanti memperoleh kelancaran dan keberhasilan, minimal dapat dilihat dari bagaimana PKT ini disiapkan. Kalau PKT ini akan mempergunakan KKPA untuk modal usaha plasma, perintisannya dimulai dari : Adanya petani/pengusaha kecil yang telah menjadi anggota koperasi dan lahan pemilikannya akan dijadikan kebun/tempat usaha atau lahan kebun/usahanya sudah ada tetapi akan ditingkatkan produktivitasnya. Petani/usaha kecil tersebut harus menghimpun diri dalam kelompok dengan anggota sekitar 25 petani/kelompok usaha. Berdasarkan persetujuan bersama, yang didapatkan melalui pertemuan anggota kelompok, mereka bersedia atau berkeinginan untuk bekerja sama dengan perusahaan perkebunan/pengolahan/eksportir dan bersedia mengajukan permohonan kredit (KKPA) untuk keperluan peningkatan usaha; Adanya perusahaan perkebunan/pengolahan dan eksportir, yang bersedia menjadi mitra petani/usaha kecil, dan dapat membantu memberikan pembinaan teknik budidaya/produksi serta proses pemasarannya; Dipertemukannya kelompok tani/usaha kecil dan pengusaha perkebunan/pengolahan dan eksportir tersebut, untuk memperoleh kesepakatan di antara keduanya untuk bermitra. Prakarsa bisa dimulai dari salah satu pihak untuk mengadakan pendekatan, atau ada pihak yang akan membantu sebagai mediator, peran konsultan bisa dimanfaatkan untuk mengadakan identifikasi dan menghubungkan pihak kelompok tani/usaha kecil yang potensial dengan perusahaan yang dipilih memiliki kemampuan tinggi memberikan fasilitas yang diperlukan oleh pihak petani/usaha kecil; Diperoleh dukungan untuk kemitraan yang melibatkan para anggotanya oleh pihak koperasi. Koperasi harus memiliki kemampuan di dalam mengorganisasikan dan mengelola administrasi yang berkaitan dengan PKT ini. Apabila keterampilan koperasi kurang, untuk peningkatannya dapat diharapkan nantinya mendapat pembinaan dari perusahaan mitra. Koperasi kemudian mengadakan langkah-langkah yang berkaitan dengan formalitas PKT sesuai fungsinya. Dalam kaitannya dengan penggunaan KKPA, Koperasi harus mendapatkan persetujuan dari para anggotanya, apakah akan beritndak sebagai badan pelaksana (executing agent) atau badan penyalur (channeling agent); Diperolehnya rekomendasi tentang pengembangan PKT ini oleh pihak instansi pemerintah setempat yang berkaitan (Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Kantor Badan Pertanahan, dan Pemda); Lahan yang akan digunakan untuk perkebunan/usaha dalam PKT ini, harus jelas statusnya kepemilikannya bahwa sudah/atau akan bisa diberikan sertifikat dan buka merupakan lahan yang masih belum jelas statusnya yang benar ditanami/tempat usaha. Untuk itu perlu adanya kejelasan dari pihak Kantor Badan Pertanahan dan pihak Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

HUBUNGAN KEMITRAAN PADA TIAP SUBSISTEM AGRIBISNIS

NAMA : ANGELINE LOISYE WENNYS NIM : G11112259 PRODI : AGROTEKNOLOGI

You might also like