You are on page 1of 3

Sudut Pandang : Orang Ketiga Tak Serba

Tahu

Langkah – langkah tegap terburu – buru melintas di

depanku seakan – akan ia sedang mengejar sesuatu. Aku

mengamati sosok tampan yang menarik perhatianku dan beberapa

orang gadis yang sedang duduk di beranda rumahku saat itu. Pria

tampan ini adalah mantan teman sekelasku sewaktu kami masih

bersama – sama menempati kelasyang sama di kelas X. Tapi

sekarang sejak dua tahun yang lalu, kami tak pernah lagi duduk

sekelas. Karena kami mengambil program jurusan yang berbeda.

Aku tetap mengamati sosok itu lekat – lekat. Sejak

kami kelas X, dia memang sudah bertengger dalam deretan pria

yang berpredikat tampan seantero sekolah kami. Gayanya yang

khas dan sikap tak pedulinya itu membuatnya semakin dipuja.

Tapi semakin lama aku memperhatikan pria itu,

maka semakin tumbuh suatu perasaan aneh juga. Wajahnya yang

tampan memancarkan pesona yang pasti akan memikat setiap

wanita yang meliriknya. Tapi justru yang paling mengenaskan pada

pria ini ada seleranya. Bagaimana mungkin laki – laki tampan

dengan tubuh besar tinggi dan tegap ini bisa jatuh hati kepada

seorang gadis yang jika ia berada di dekatnya hanya akan

membekukan suasana saja. Gadis ini sama sekali tak bisa

mencairkan suasana antara mereka. Kadang kala mereka terlihat

sedang duduk bersama di bawah rerindangan pohon beringin

dengan jarak sekitar satu meter, tanpa kata, apalagi canda dan
gelak tawa.

Terkadang aku sangat heran dengan mereka. Pria

tampan jatuh hati dengan gadis kaku. Alhasil, mereka tak bisa

menemukan arti dari hubungan yang telah mereka bangun sejak

awal masuk SMA itu. Cinta mereka aneh. Terjadi suatu anomali

pada perasaan yang mereka koarkan selama ini, menurutku. Dan

aku menamai hubungan mereka ini sebagai sebuah anomali cinta.

Ibarat unsur intrinsik dalam sebuah novel, terutama

pada bagian sudut pandangnya, maka aku hanya bertindak sebagai

orang ketiga tak serba tahu. Aku hanya menjadi pengamat bagi

hubungan yang mereka jalani dari kejauhan. Memperhatikan setiap

gerak – gerik mereka sambil mendengar hembusan berita – berita

terbaru mengenai perkembangan hubungan mereka itu.

Hari ini, aku melihat sang Gadis Kaku yang

bernama Anti itu sedang menyapu di depan kelasnya. Aku

meliriknya. Sambil menutup hidung untuk menghindari debu

masuk ke dalam saluran pernapasannya, Anti terus menyapu

menantang angin yang membawa pasir dan debu – debu itu

kembali ke dalam kelas. Kemudian sang Pria yang tak lain

pacarnya itu pun berdiri di depannya. Tapi Anti tak tampak ingin

menghentikan dorongannya pada gagang sapu meski ia

mengetahui sendiri bahwa pria tampan itu berada di depannya.

“Ada anginya ni, Nti. Jangan disapu. Kan susah,”

seru sang Pria yang namanya selalu kuingat di dalam hatiku, Nori.

Tak kudengar Anti menanggapi nasihat pacarnya itu dia hanya

membalas dengan sebuah senyuman yang juga dibalas dengan


senyuman oleh Nori.

Sejauh mataku memandang dan otakku

menganalisa, sapaan – sapaan kecil seperti inilah yang selalu

membuat keduanya tersipu – sipu. Entah mengapa, meski mereka

tak sering bersama dalam kata tapi perasaan yang mereka rasakan

satu sama lain benar – benar seperti terumbu karang di tengah laut

yang tak pernah rapuh. Anomali cinta terjadi lagi.

Bagi mereka, cinta tak harus selalu dihabiskan

dengan kata atau kontak fisik saja. Tapi lebih dari itu, cinta bisa

dinikmati dengan hal – hal sederhana. Hal – hal yang lebih

berkesan daripada keduanya. Anomali cinta, bisakah aku

merasakannya juga? Laksana yang sedang dinikmati oleh gadis

kaku dan pria tampan itu.

You might also like