You are on page 1of 106

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

Oleh : Anjar Nugroho

1. Dalam kitab-kitab klasik yang menjelaskan dan menafsirkan teks-teks ajaran


Islam tidak asing lagi bahwa kaum laki-laki digambarkan lebih superior dari
kaum perempuan. Biasanya argumen penguatan supremasi tersebut
menggunakan ayat al-Qur’an Surat an-Nisa’ 4 : 34. Penafsiran yang bercorak
demikian pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dalam situasi sosio kultural
pada waktu penafsiran itu dilakukan. Pada saat ini dimana kedudukan dan
peranan perempuan dengan laki-laki berkompetisi sama, maka tafsir-tafsir
lama perlu dibongkar khususnya dari pandangan yang missoginis, yaitu
pandangan yang membenci perempuan. Allah berfirman dalam al-Qur’an :

‫علَى بَعْضٍن وَبِمَا أَ ْن َفقُوا مِنْن‬


َ ‫ضلَ الُّ بَ ْعضَهُمْن‬
ّ ‫علَى النّسنَاءِ بِمَا َف‬
َ ‫ال ّرجَالُ قَوّامُونَن‬
َ‫حفِظنَ الُّ وَاللتِي َتخَافُونن‬
َ ‫أَمْوَالِهِمنْ فَالصنّاِلحَاتُ قَانِتَاتٌن حَافِظَاتٌن ِللْغَيْبنِ بِمَا‬
‫ُنشُوزَهُنّ فَعِظُوهُنّ وَا ْهجُرُوهُنّ فِي الْ َمضَاجِعنِ وَاضْرِبُوهُنّ َفإِنْن أَطَعْنَكُمْن فَل‬
)1 ‫علِيّا كَبِيرًا‬
َ َ‫علَيْهِنّ سَبِيل إِنّ الَّ كَان‬
َ ‫تَبْغُوا‬

2. Para mufassir memberikan penjelasan yang beraneka ragam tentang kata-


kata ‘qawwâmûn’. Al-Thabari menegaskan bahwa qawwâmûn berarti
penanggung jawab. Ini artinya bahwa laki-laki bertanggung jawab dalam
mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah
maupun kepada istrinya. Ibnu Abbas mengartikan qawwâmûn adalah laki-laki
memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan. Zamakhsyari
menekankan bahwa kata-kata qawwâmûn mempunyai arti kaum laki-laki
berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan
sebagaimana kepada rakyatnya.2)
3. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa laki-laki adalah
penanggung jawab, penguasa, pembimbing, pelindung kaum perempuan
)istri). Dengan demikian, bahwa posisi laki-laki )suami) terhadap perempuan
)istri) adalah posisi superior dan inverior. Dengan begitu laki-laki secara
otomatis menjadi pemimpin keluarga, dan istri atau perempuan harus
menerima posisi suami tersebut yaitu sebagai orang yang dipimpin.

4. Kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam pandangan beberapa ulama


tidak hanya sebatas dalam lingkup keluarga. Tetapi meliputi pula
kepemimpinan dalam masyarakat )kepemimpinan publik) dan politik.
Sehingga perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan
laki-laki dalam mengaktualisasikan potensinya sebagai pemimpin.

5. Masdar Farid Mas’udi mengakui adanya pendapat sebagian ulama yang


menyatakan bahwa perempuan tidak diperbolehkan )diberangus hak-haknya)
sebagai pemimpin. Pemberangusan Kepemimpinan perempuan, demikian
kata Masdar, ini terjadi demikian menyeluruh, mulai dari kepemimpinan dalam
kehidupan intelektual, sosial, kepemimpinan dalam keluarga sampai
kepemimpinan shalat. Hal itu dikarenakan, lanjut Masdar, tidak ada satu ayat
dan hadist pun yang tidak diragukan keshahihannya secara definitif melarang
kepemimpinan kaum perempuan, bahkan dalam ketiga sektor kehidupan tadi.
Lalu Masdar menyebut sebuah hadis yang berbunyi :

Masdar menilai, inilah hadis yang selama ini dijadikan pegangan untuk
melarang perempuan tampil sebagi pemimpin masyarakat, mulai dari lembaga
kemasyarakatan sejenis yayasan, ormas )kecuali yang berstatus underbow)
sampai dengan kepemimpinan politik, khususnya kepemimpinan negara )al-
imâmah al-uzma).3)
4. Mustafa Muhammad Imarah dalam catatan pinggirrnya terhadap kitab Jawahir
al-Bukharî, mengklaim larangan kepemimpinan perempuan itu sebagai
pendirian jumhur ulama kecuali al-Tabari dan Abu Hanîfah untuk bidang-
bidang tertentu.4)

5. Larangan kepemimpinan perempuan yang diungkapkan oleh sebagian ulama


dikarenakan laki-laki memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh perempuan.
Dimana kelebihan tersebut menentukan kapabilitas seseorang untuk menjadi
pimpinan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Abdullah Muhammad bin
Ahmad al-Ansari al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, bahwa laki-laki
memiliki kelebihan dalam akal dan pengaturan. Karena itu, demikian
dijelaskannya, mereka memiliki hak memimpin perempuan. Dikatakan pula,
bahwa laki-laki memiliki kekuatan dan kejiwaan dan naluri )tab’), dua hal yang
tidak dimiliki oleh perempuan, yang dikarenakan dalam diri laki-laki dominan
unsur panas dan kering (al-harârah wa al-yabûsah), dari sinilah kemudian
muncul kekuatan itu. Sementara watak perempuan lebih dominan unsur
basah dan dingin (al- ruthûbah wa al-burûdah), dan dari sini muncul makna
kelembutan dan kelemahan.5)

<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Kelebihan laki-laki atas perempuan juga


dituturkan oleh Zamakhsyari, seorang pemikir Mu’tazilah. Dia mengatakan,
bahwa kelebihan laki-laki adalah pada akal )al-‘aql), ketegasan )al-hazm),
tekad yang kuat )al-‘azm), kekuatan )al-quwwah), secara umum memiliki
kekuatan menulis )al-kitâbah), dan keberanian )al-furûsiyah). Karena itu
demikian lanjut Zamakhsyari, dari laki-laki lahir para Nabi, ulama, kepala
negara )imâmah kubra), imam dan jihad.6)

<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Ibnu Katsir, ulama tafsir klasik juga


berpendapat tentang kelebihan laki-laki atas perempuan yang mempengaruhi
keabsahan kepemimpinan perempuan. Dia mengatakan bahwa laki-laki
adalah pemimpin perempuan, dan laki-laki juga sebagai pembesar, hakim,
pendidik perempuan jika perempuan menyimpang. Firman Allah yang
berbunyi “Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas
sebagian yang lain” ditafsirkan oleh Ibnu Katsir sebagai petunjuk laki-laki lebih
utama dari perempuan dan lebih baik. Oleh karena itulah Nabi dikhususkan
untuk laki-laki, begitu pula kekuasaan tertinggi. Berdasarkan sabda Nabi
Muhammad SAW : “ Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan
pimpinannya kepada kaum perempuan “. Hadis ini diriwayatkan oleh Abi
Bakrah dari bapaknya.7) Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan bahwa
kelebihan laki-laki atas perempuan tersebut adalah dengan sendirinya (fi
nafsihi).

<!--[if !supportLists]-->8. <!--[endif]-->Patut dipertanyakan pendapat para ulama


yang telah menafsirkan qawwam dengan penguasaan/kepemimpinan laki-laki
atas perempuan, sehingga konsekwensinya perempuan sampai kapanpun
tidak akan pernah mendapatkan haknya untuk berkiprah dalam dunia
kepemimpinan. Memang secara bahasa qawwam dapat diartikan sebagai
musallith/penguasa. Akan tetapi, mengapa dua kata yang sama di ayat yang
lain yang tidak bicara soal hubungan suami istri - dan memang hanya ada di
dua tempat - diartikan qâim(in), yang berarti penguat atau penopang. Dua ayat
tersebut adalah :

ِ‫علَى أَ ْنفُسِ ُك ْم أَ ِو الْوَالِدَ ْين‬


َ ْ‫ن آمَنُوا كُونُوا قَوّامِينَ بِا ْلقِسْطِ شُهَدَاءَ لِّ َولَو‬
َ ‫يَا أَيّهَا الّذِي‬
‫وَالقْرَبِينَن إِنْن يَكُنْن غَنِيّا أَوْ َفقِيرًا فَالُّ أَ ْولَى بِهِمَا فَل تَتّبِعُوا الْهَوَى أَنْن تَعْ ِدلُوا‬
‫ن خَبِيرًا‬
َ ‫َوِإنْ َتلْوُوا أَوْ تُعْ ِرضُوا َفإِنّ الَّ كَانَ بِمَا تَعْ َملُو‬

9)

‫علَى‬
َ ٍ‫ن آمَنُوا كُونُوا قَوّامِينَ لِّ شُهَدَاءَ بِا ْلقِسْطِ وَل َيجْرِمَنّكُمْ شَنَآنُ قَوْم‬
َ ‫يَا أَيّهَا الّذِي‬
َ‫لّ خَبِيرٌ ِبمَا تَعْ َملُون‬
َ ‫لّ إِنّ ا‬
َ ‫قْوَى وَا ّتقُوا ا‬0َّ‫ب لِلت‬
ُ َ‫ع ِدلُوا ُه َو َأقْر‬
ْ ‫أَل تَعْ ِدلُوا ا‬
10)

<!--[if !supportLists]-->9. <!--[endif]-->Sehingga, dapat dijelaskan bahwa dalam


An-Nisa’ 4 : 34, jika qawwam diartikan dengan sama, penopang atau penguat,
maka ayat tersebut akan berarti bahwa kaum lelaki adalah
penganut/penopang kaum istri dengan bukan karena nafkah yang mereka
berikan. Dengan pengertian yang seperti ini, maka secara normatif sikap
suami terhadap istri bukanlah menguasai atau mendominasi dan cenderung
memaksa, melainkan mendukung dan mengayomi.

<!--[if !supportLists]-->10. <!--[endif]-->Mendukung pendapat di atas, Quraish


Shihab mengemukakan hak-hak yang dimiliki oleh perempuan baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara, dengan mengutip
sebuah ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam
kaitannya dengan hak-hal politik kaum perempuan. Ayat tersebut adalah ayat
71 surat Al-Taubah yang berbunyi :

‫وَالْمُؤْمِنُونَن وَالْمُؤْمِنَاتُن بَ ْعضُهُمْن أَ ْولِيَاءُ بَعْضٍن َيأْمُرُونَن بِالْمَعْرُوفِن وَيَنْ َهوْنَن عَنِن‬
ُ‫ن الزّكَاةَ وَيُطِيعُونَ الَّ وَ َرسُولَ ُه أُولَ ِئكَ سَيَ ْرحَمُهُم‬
َ ‫ن الصّلةَ وَ ُيؤْتُو‬
َ ‫الْمُنْكَرِ وَ ُيقِيمُو‬
ٌ‫لّ إِنّ الَّ عَزِي ٌز حَكِيم‬
ُ ‫ا‬

<!--[if !supportLists]-->11. <!--[endif]-->Secara umum, Quraish menjelaskan, ayat


di atas difahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama
antar laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang
dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma’rûf dan
mencegah yang munkar. Kata auliyâ’, dalam pengertian yang disampaikan
Quraish, mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan, sedangkan
pengertian yang dikandung oleh “ menyuruh mengerjakan yang ma’rûf “
mencakup segala kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberikan
nasehat )kritik) kepada penguasa.11)
<!--[if !supportLists]-->12. <!--[endif]-->Dalam kepemimpinan publik, terdapat
ruang yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam haknya menjadi
pemimpin satu dengan yang lainnya. Penulis tidak sependapat dengan para
ulama yang menyatakan bahwa dalam soal kepemimpian adalah menjadi hak
mutlak laki-laki dengan merujuk kepada surat An-Nisa’ ayat 34. Kami menilai
bahwa ayat tersebut turun dalam konteks kehidupan keluarga dan bukan
dalam konteks yang luas dari itu. Biarpun demikian, walaupun dalam konteks
keluarga pun tidak boleh terjadi dominasi laki-laki )suami) atas perempuan
)istri).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Qurtubi, Al-Jamî’ lî Ahkâm al-
Qur’an, Kairo : Dâr Al-Katib Al- Arabi, 1967

Abu Qasim Jarullah Mahmud Ibn Umar az-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al-


Khasysyaf ‘an Haqâiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqâwil fi Wujûh at-Ta’wîl ,
Beirut, Dâr al-Fikr, cet 1977.

Faiqoh, “Kepemimpinan Perempuan dalam Teks-Teks Ajaran Agama dalam


Perspektif Pemikiran Konservatif”, dalam Tim Editor PSW UII,
kumpulan makalah seminar Penguatan Peran Politik Perempuan,
Pendekatan Fiqih Perempuan, Yogyakarta : Lembaga Penelitian UII,
1998

Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Alih bahasa oleh The
Forgentten Queens of Islam, Bandung : Mizan, 1994

Ibnu al-Arabi, Ahkâm Al-Qur’an, Beirut : Dâr al-Ma’rifah, tt.


Ibnu Kasir, Tafsîr al-Qur’ân Al-Azîm, juz I,

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam


Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan, 1998

Mustafa Muhammad Imârah, Jawâhir al-Bukhârî, Surabaya : Penerbit Al-


Hidayah, tt.

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

1) An-Nisa’ (4) : 34

2) Faiqoh, “Kepemimpinan Perempuan dalam Teks-Teks Ajaran Agama dalam Perspektif Pemikiran
Konservatif”, dalam Tim Editor PSW UII, kumpulan makalah seminar Penguatan Peran Politik
Perempuan, Pendekatan Fiqih Perempuan, (Yogyakarta : Lembaga Penelitian UII, 1998), hlm. 43-44

3) Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak …. hlm. 58 - 59

4) Mustafa Muhammad Imârah, Jawâhir al-Bukhârî, (Surabaya : Penerbit Al-Hidayah, tt.) hlm. 367

5) Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Qurtubi, Al-Jamî’ lî Ahkâm al-Qur’an, (Kairo : Dâr
Al-Katib Al- Arabi, 1967), V : 169

6) Zamakhsyari, Al-Khasysyaf, (Teheran : Intisyarat Aftab, tt.), I : 523

7) Ibnu Al-Arabi, Ahkâm Al-Qur’an, (Beirut : Dâr al-Ma’rifah, tt.), I : 416

Ibnu Kasir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azîm … I : 608

9) An-Nisâ’ (4) : 135

10) Al-Mâidah ( 5) : 8
11) M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
cet. XVIII (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 272 - 273

2 Tanggapan

Ditulis dalam Islam dan Gender

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 20, 2007

Bermadzab di era modern

<!--[if gte vml 1]&gt;&lt;![endif]--><!--[if !vml]--> <!--[endif]-->

BERMADZAB DI ERA MODERN :

MENJAWAB KEMODERNAN DENGAN AL-IJTIHAD AL-‘ILM AL-‘ASHR

Oleh : Anjar Nugroho

<!--[if gte vml 1]&gt;&lt;![endif]--><!--[if !vml]-->

<!--[endif]-->

A. Pengantar

Penulisan buku ini dilatar belakangi oleh fenomena di kalangan umat Islam yang
menempatkan bermadzab dengan berijtihad pada posisi yang dikotomis.
Sekelompok orang atau ulama yang tergolong bermadzab seolah tidak
menyentuh praktik ijtihad. Sebaliknya, sekelompok orang atau ulama yang
mengklaim dirinya sebagai pendukung ijtihad, seolah tidak pernah
mempraktikkan model bermadzab )mengikuti ulama lain, taqlid atau ittiba’).
Kelompok bermadzab dianggap sebagai pengikut masa lalu yang tidak
menyentuk masalah kekinian. Sebaliknya, kelompok pendukung ijtihad dianggap
a-historis karena mengabaikan khasanah pemikiran masa lalu. Untuk itu menurut
penulis buku ini, adalah sangat penting untuk melakukan kajian kritis dalam
rangka mengadakan redifinisi untuk keduanya )bermadzab dan berijtihad)

Penulis buku ini adalah Guru Besar Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang. Meraih gelar megister dan Ph.D-nya di University of Chicago,
Amerika Serikat dalam bidang Islamic Studies dan sempat menjadi dosen tamu
di McGill University, Montreal, Canada. Dia termasuk penulis produktif, buku-
bukunya yang telah terbit antara lain : Eklektisisme Hukum Nasional; Pendidikan
(Agama) untuk membangun Etika Sosial; Melawan Globalisasi; dan buku yang
sedang dikaji ini.

Dia mengawali tulisan dalam bukunya )Bab I) dengan membahas tentang


redifinisi bermadzab. Dalam pembahasan ini dia memulainya dengan uraian
mengenai fiqih dan konsep bermadzab. Kemudian dia melanjutkan kajiannya
dengan sejarah perkembangan dan perjalanan bermadzab. Benang merah yang
dapat ditemui dalam pembahasan bab ini adalah bahwa taqlid merupakan
bentuk bermadzab yang paling rendah dari lima tingkatan bermadzab, dan
bermadzab tidak membatasi untuk melakukan ijtihad.

Pada bab berikutnya )Bab II), - setelah pembahasan redifinisi bermadzab


– Qadri menguraikan pembahasan tentang redifinisi tajdid dan ijtihad. Ijtihad dan
tajdid dalam setiap madzab, menurut buku ini, tidak pernah berhenti dalam
perjalanan sejarahnya. Tesis itu untuk membantah anggapan bahwa praktik
tajdid atau ijtihad telah berhenti dalam waktu berabad-abad. Yang terpenting
dalam bab ini adalah bagaimana mengembangkan model atau formulasi ijtihad
baru atau memperbaharui ijtihad itu.
Selanjutnya )Bab III), buku karya Prof. Qodri ini menawarkan model ijtihad
baru yang dinamainya al-Ijtihad al-‘Ilmi al-’Ashr )Modern Scientific Ijtihad). Model
ijtihad ini diperlukan untuk membangun hukum Islam yang benar-benar dapat
mewujudkan masyarakat yang modern, sejahtera )prosperius), adil dan aman
dalam kehidupan yang pluralistik di era globalisasi. Al-Ijtihad al-‘Ilmi al-’Ashr
mensyaratkan penggunaan prosedur ilmiah seperti yang terjadi di dunia
akademik pada setiap ilmu pengetahuan, seperti : history of ideas<!--[if !
supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]-->, primary sources<!--[if !supportFootnotes]--
>[2]<!--[endif]-->, historical continuity, living knowledge<!--[if !supportFootnotes]--
>[3]<!--[endif]--> dan sebagainya. Dan yang tidak kalah penting, pendekatan
yang perlu digunakan dalam al-Ijtihad al-‘Ilmi al’-Ashr adalah induktif dan empirik.

B. Redifinisi Bermadzab

Dalam buku ini, Madzab, secara bahasa diartikan pendapat )view, opinion, ra’y),
kepercayaan, ideologi )belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, paham,
aliran )school, al-ta’lim wa al-thariqah). Kemudian yang dimaksud bermadzab
adalah mengikuti madzab tertentu dalam sistem pengambilan hukum Islam/fiqih.

Sejarah timbulnya madzab bermula dari ijtihad yang dilakukan oleh seorang
imam/mujtahid yang kemudian hasil ijtihadnya itu diikuti oleh para murid-
muridnya. Lama-kelamaan melalui proses dialektis, terjadi pembakuan baik
dalam manhaj maupun corak pemikiran hukum Islam hasil ijtihad para imam, dan
dari sinilah madzab terbentuk. Pada mulanya dikenal madzab sebuah kota atau
daerah )misal madzab Hijazi dan madzab Iraqi), tapi madzab berbasis
kedaerahan ini berakhir setelah munculnya Imam Syafi’i yang mengembalikan
basis madzab dari daerah ke individu. Lalu munculah madzab berbasis
individu/imam diantaranya yang terkenal : madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali. )hal. 16-18)

Praktek bermadzab selama ini adalah dengan mengikuti pendapat-pendapat


fuqaha )ahli hukum Islam) yang telah megklaim diri mereka sebagai pengikut
salah satu imam pendiri madzab. Kalau ada kelompok umat yang menjadi
pengikut madzab Syafi’i, maka mereka harus mengikuti pendapat-pendapat
fuqaha tersebut )yang pada umumnya masa mereka sangat jauh dari imam
madzab itu sendiri) dengan merujuk kepada kitab-kitab yang telah ditulis oleh
mereka. Dan ironisnya, kitab-kitab karya imam pendiri madzabnya )dalam hal ini
imam Syafi’i) jarang atau hampir tidak pernah dijadikan rujukan secara langsung,
bahkan karya murid langsung sang imam juga jarang atau tidak pernah dijadikan
rujukan. Dengan demikian, penulis buku ini ingin mengatakan bahwa bermadzab
Syafi’i berarti identik dengan taqlid terhadap aqwal )pendapat-pendapat yang
sudah matang ) fuqaha Syafi’iyah. )hal. 21)

Kemudian setelah realitas umat dalam bermadzab seperti tergambar dia atas,
penulis buku ini mengajukan pertanyaan kritis dan mendasar : Apakah
bermadzab harus mengikuti dan tidak boleh berfikir, termasuk tidak boleh
mengetahui alasan penerapan hukum? Pertanyaan itu mendapat jawaban
langsung yang intinya bahwa bermadzab tidak musti atau harus mengikuti
pandapat madzab tanpa perlu tahu landasan normatif dan filosofis di balik
pendapat itu. Bermadzab terdiri atas beberapa tingkatan, dan yang paling rendah
adalah bermadzab taqlid yang prakteknya seperti terurai di atas. Namun,
bermadzab dalam pengertian ittiba’ )mengikuti dengan mengetahui alasan dan
dalil pengambilan hukum ) tidak selalu demikian. Bahkan masih tetap disebut
bermadzab, meskipun menjalankan ijtihad, terutama sekali atas kasus-kasus
kontemporer. Dan lebih dari itu, juga tetap masih disebut bermadzab meskipun
juga berupaya mengembangkan metodologi )manhaj) yang sangat mungkin akan
mempunyai akibat terjadi perbedaan pendapat dengan imam madzabnya. )hal.
21-22)

Bermadzab tidak musti melulu mengikuti pendapat imam madzab dari kata-
katanya )fi al-aqwal), mamun bisa dalam metodologinya )fi al-manhaj), bahkan
juga untuk mengembangkan metodologinya, bukan lagi mengikuti manhaj yang
sudah ada. Berangkat dari tesis itu, maka penulis buku ini juga menawarkan
redifinisi terhadap konsep talfiq yang konotasinya selalu pada bermadzab fi al-
aqwal. Tetapi bagaimana talfiq )eklektik) juga dapat dipraktekkan dalam wilayah
bermadzab fi al-manjah. )hal. 24-25)

Pada akhirnya dalam bab redifinisi bermadzab, buku ini menguraikan tingkatan
bermadzab yang terdiri dari lima tingkat : Pertama, taqlid kepada fuqaha
madzab. Kedua, taqlid kepada imam madzab. Ketiga, ittiba’ kepada ulama
madzab atau langsung kapada imam madzab. Keempat, bermadzab fi al-
manhaj. Dan kelima, mengembangkan metodologi imam madzab. )hal. 51-56)

C. Memaknai (Hasil) Ijtihad

Dalam reformasi bermadzab, suatu hal yang tidak kalah penting adalah
bagaimana memaknai hasil ijtihad atau proses ijtihad itu sendiri. Buku ini
memberi panduan tentang hal tersebut yang diberi nama oleh pengarang
bukunya dengan istilah “mengembalikan kepada kodrat hukum Islam )the nature
of Islamic law).” Tahap-tahap untuk mengembalikan kodrat hukum Islam
setidaknya meliputi empat hal, sebagai berikut :

Pertama, hukum Islam yang merupakan hasil karya fuqaha atau mujtahidin yag
lalu, yang selama ini selalu ditempatkan pada posisi doktrinal atau diabaikan
sama sekali, hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yaitu
sebagai hasil ijtihad ualama terdahulu. Penulis buku ini menggunakan istilah
“humanisasi hukum Islam” untuk menyebut upaya “deabsolutisasi” )untuk tidak
mengatakan “desakralisasi”)<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> atas hasil
ijtihad sehingga menjadi sesuatu yang dapat tersentuh oleh pemikiran manusia
zaman sekarang. Di sisi lain, hasil ijtihad yang selama ini dianggap sebagai
sebagai “barang mati” dapat diangkat menjadi khasanah intelektual yang sangat
berharga. )hal. 73)

Kedua, melihat hasil ijtihad itu secara kontekstual, sehingga menjadi hidup dan
mempunyai nilai.<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Hasil ijtihad jika
ditempatkan secara proporsioal – termasuk melihatnya secara kontekstual -,
akan mampu memberi inspirasi dari produk pemikir terdahulu yang telah
memberi jawaban terhadap permasalahan atau tantangan zaman pada
masanya. Oleh karena itu, usaha kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad masa
lalu , menurut penulis buku ini, perlu digairahkan, bahkan mestinya menjadi
suatu keharusan. Kajian seperti ini tidak cukup hanya membaca teks dari hasil
ijtihad tersebut, namun harus dibarengi dengan kajian sejarah dan sosial yang
melingkupi mujtahid serta kajian metodologi yang duipergunakan oleh mujtahid
di dalam menghasilkan hukum Islam itu. )hal. 74)

Ketiga, setelah kontekstualisasi maka dilakukan reaktualisasi. Untuk memulai


proyek reaktualisasi, yang harus menjadi landasannya, menurut penulis buku ini
adalah kemampuan interpretasi terhadap hasil ijtihad dan dilanjutkan dengan
reinterpretasi. Pasca itu, pada waktunya nanti, akan ada tuntutan reformasi atau
pembaharuan )tajdid) terhadap ajaran dalam tataran praktis yang merupakan
pemahaman para mujtahid terhadap wahyu. Maka di sini perlu historical
contiunity dalam mempelajari hukum Islam secara akademik. )hal. 75-76)

Keempat, perlu pendekatan interdisipliner atau multidisipliner<!--[if !


supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> dalam membaca/meneliti pemikiran hukum
Islam masa lalu. Berbagai pendekatan itu bisa meminjam dari ilmu sosial dan
humaniora, termasuk –yang paling urgen – adalah pendekatan sejarah
)historical approach), lebih khusus lagi sejarah sosial. )hal. 76)

D. Al-Ijtihad al-‘Ilmi al-’Ashr (Modern Scientific Ijtihad).

Setelah selesai mengupas tentang redifinisi bermadzab dan berijtihad


pada bab-bab terdahulu, buku ini kemudian memasuki kupasan yang menjadi
heart core dalam karya Prof. Qodri ini yaitu formulasi ijtihad modern yang dia beri
mana al-ijtihad al-‘ilmi al-’ashr )modern scientific ijtihad).

Untuk mewujudkan formulasi ijtihad modern yang mampu memberi


jawaban masa kini dan diharapkan juga untuk masa yang akan datang, penulis
buku ini menawarkan persiapan langkah-langkah yang dapat diuraikan sebagai
berikut :
Pertama, menggunakan sumber primer )primary sources) sebagai sumber
rujukan dalam bermadzab. Dalam bermadzab Syafi’i, misalnya, agar
menekankan untuk mengkaji secara intensif, serius dan kritis kitab-kitab karya
imam Syafi’i, bukan kitab-kitab karya murid-muridnya )pendukung madzab
Syafi’i). )hal. 110-111)

Kedua, Mengkaji pemikiran fiqih ulama atau keputusan hukum Islam oleh
organisasi keagamaan tidak lagi secara doktriner dan dogmatis, tetapi dengan
critical study. Hal ini berarti menempatkan fiqih sebagai sejarah pemikiran
)intellectual history atau history of ideas). Artinya, mengkaji sejarah pemikiran
ulama sekaligus latar belakang mengapa ulama tersebut menelorkan pemikiran
itu. Konteks historis atau background sosial-politik tidak bisa diabaikan dalam
membaca karya-karya pemikiran ulama terdahulu. Pada akhirnya , ketika proses
bermadzab dilakukan, tidak semata-mata menemukan produk ijtihad para
mujtahid terdahulu, tetapi yang lebih penting adalah menggali metode )manhaj)
yang digunakan oleh mujtahid itu. Inilah yang dikenal dengan istilah bermadzab
fi al-manhaj, sebagai sisi lain dari bermadzab fi al-aqwal. Memposisikan fiqih
dalam ranah sejarah pemikiran berarti pula menjadikan fiqih sebagai living
knowledge, untuk merangsang tumbuhnya inspirasi memunculkan pemikiran
fiqih baru. Beberapa syarat akademik agar pemikiran fiqih menjadi living
knoledge antara lain tidak boleh mengabaikan historical backgrounds saat
pemikitan fiqih muncul, sehingga berarti pula masuk pada wilayah hermeneutika
dan sejarah sosial hukum Islam )social history of Islamic law). Pada akhirnya,
ketika keseluruhan prasarat akademik itu terpenuhi, maka proses historical
contiunity dapat dijamin. )hal. 111-114)

Ketiga, semua hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai pengetahuan
)knowledge), baik yang didasarkan atas dasar deduktif dan verstehen maupun
yang dihasilkan secara empirik. Hanya al-Qur’an dan teks hadis yang terbatas
)khususnya yang mutawatir) saja yang tidak dapat diuji ulang )re-examined),
walaupun pemahamannya tetap dapat dikaji secara mendalam. )hal. 114-115)
Keempat, mempunyai sikap terbuka terhadap pemikiran di luar
madzabnya dan responsif terhadap berbagai perkembangan problem-problem
baru yang muncul. Syarat ketiga ini untuk menjamin tidak adanya sikap apriori
terhadap dinamika pemikiran sekaligus sikap reatif yang berlebihan saat
merespon permasalahan fiqih aktual. Harus disadari bahwa wilayah fiqih tidak
hanya meliputi ibadah mahdhah, tetapi secara luas meliputi pula wilayah-wilayah
kemanusiaan, kebudayaan bahkan peradaban. Disiplin ilmu lain )di luar ilmu fiqih
dan ushul fiqh) perlu dilibatkan dalam proses ijtihad atau setidak-tidaknya
istinbath al-ahkam. Dalam khasanah keilmuan imam Syafi’i dikenal metode
istiqra’i yang berarti pula pendekatan interdisipliner dalam mengkaji masalah-
masalah fiqih. )hal. 115-117)

Kelima, meningkatkan daya tangkap )responsif) dan cepat terhadap


permasalahan yang muncul, dimana bisabya umat ingin cepat mendapatkan
jawaban hukum agama dari para ahli hukum Islam. Untuk ini, perlu dibentuk
jaringan atau organisasi yang mampu dengan cepat mempertemukan diantara
para fuqaha untuk segera mengambil inisiatif menanggapi permasalahan yang
ada. )hal. 117-118)

Keenam, melakukan penafsiran yang aktif dan bahkan responsif. Yang dimaksud
aktif atau proaktif adalah ketika jawaban hukum Islam itu sekaligus mampu
memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan yang sedang dialami oleh
umat. )hal. 119)

Ketujuh, ajaran al-ahkam al-khamsah atau ketetapan berupa hukum wajib,


haram, sunnah, makruh dan mubah agar dapat dijadikan sebagai konsep atau
ajaran etika sosial. Selama ini banyak kritik bahwa hukum Islam selalu berkutat
pada wilayah ibadah mahdhah dan kurang menyentuh kehidupan sosial. )hal.
119-120)

Kedelapan, menjadikan ilmu fiqih sebagai bagian dari ilmu hukum secara umum.
Hal ini dimaksudkan agar sasaran akhir fiqih berupa “hukum nasional” dapat
tercapai. Alangkah sia-sianya jika fiqih hanya sebatas wacana di masjid dan
forum pengajian, tanpa ada upaya untuk memperjuangkannya menjadi hukum
positif yang berlaku di Indonesia. )hal. 120)

Kesembilan, dalam kajian fiqih lebih dititik beratkan pada pendekatan induktif
atau empirik disamping deduktif. Proses deduktif dapat terwakili saat memahami
nash al-Qur’an dan Hadis yang shahih dengan segala jenis metodenya,
termasuk qiyas. Sedangkan induktif adalah memberi peran lebih akal dalam
proses ijtihad yang bentuknya antara lain mashlahah, istihsan dan ijma’ )dimana
harus dimaknai sebagai prosedur penciptaan mashalih ‘ammah. )hal. 121)

Kesepuluh, menjadikan mashalih ‘ammah menjadi landasan utama dalam


membangun fiqih atau hukum Islam. Mashalih ‘ammah dapat dipadankan
dengan universal values pada dataran aspek yang tidak bertentangan dengan
pokok ajaran Islam. Berbicara mengenai mashlahah, berarti mengakui peran
penting akal dalam proses ijtihad. Kemashlahatan dunia, menurut al-Sulami dpat
diperoleh dengan adat kebiasaan, percobaan )tajarib) realitas yang dinilai oleh
akal dan semacamnya. )hal. 122-123)

Kesebelas, menjadikan wahyu Allah lewat nash )al-Qur’an dan hadis yang
shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam ijtihad.
Kontrol ini tidak dengan menggunakan pendekatan tekstual )scipturalist), namun
lebih menekankan pada konsep etika. )hal. 125)

E. Catatan Akhir

Buku ini mendapat sambutan yang cukup hangat dari para intlektual
Muslim terkemuka Indonesia. Sambutan-sambutan itu bisa dilihat dari komentar
mereka terhadap buku yang pertama kali diterbitkan oleh penerbit Teraju-Mizan
tahun 2003 dan telah mengalami cetak ulang pada tahun yang sama. Salam satu
yang berkomentar positif adalah Prof. KH. Ali Yafie yang mengatakan bahwa
tulisan Prof. Qodri Azizy merupakan suatu reformulasi yang sangat dibutuhkan
oleh dunia ilmiah masa kini dalam memahami dua masalah besar yang
berkembang terus menerus dalam dunia ilmu-ilmu keislaman, yakni bermadzab
dan berijtihad. Komentar positif lain disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab yang
menyatakan bahwa buku ini “sungguh memuat gagasan-gagasan segar yang
diurai secara argumentatif dan menarik”.

Tapi catatan penting yang perlu diberikan di sini adalah bahwa tulisan Prof
Qodri Azizy tidaklah sebuah tulisan yang utuh dan genuin pada masalah yang
diangkat. Reformasi bermadzab yang menjadi term sentral pada buku ini telah
banyak yang mengupas yang dalam beberapa aspek lebih sophisticated. Syekh
Yusuf al-Qaradhawi adalah satu ulama terkemuka yang telah menulis hal serupa
dalam bukunya Al-Ijtihad al-Mu’ashir baina al-Indilbat wa al-Infirat<!--[if !
supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> )telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia : Ijtihad Kontemporer : Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan).
Tawaran al-Qaradhawi tentang ijtihad intiqa’<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--
[endif]-->i dan ijtihad insya’<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]-->i senafas
dengan tawaran Prof. Qodri tentang redifinisi ijtihad dan ijtihad al-‘Ilmi al-‘asr, tapi
dalam beberapa aspek tawaran al-Qaradhawi lebih “liberal” karena al-Qaradhawi
berani untuk lepas sama sekali dari pemikiran madzab masa lampau dalam
kasus ijtihad insya’i.

Tetapi lepas dari segala kekurangan dan kelemahan yang ada dalam
karya Prof. Qodri ini, adalah bijaksana untuk mengatakan bahwa karya ini adalah
karya yang “dalam proses untuk menjadi”. Sebagaimana saran Prof. Qodri dalam
buku ini untuk umat Islam ketika berhadapan dengan karya intelektual apapun
dan dari siapapun, untuk senantiasa memposisikannya sebagai living
knowledge, yang bisa dikririsi agar dapat dikembangkan teori-teorinya. Buku ini
bukan sekumpulan doktrin yang beku, tapi karya intelektual yang terbuka untuk
dikaji ulang, khusunya bagi mereka yang concern terhadap isu-isu pembaharuan
hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA

David Hackett, Historian’s Fallacies ; Toward o Logic of Hitorical Thought, New


York : Harper Torchbook, 1970

Erdward Halled Carr, What Is History?, New York : Vintage Book, 1961

Mircea Eliade, A History of Ideas, Chicago : the University of Chicago Press,


1985

Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme : Sebuah Kaian Tentang


Pertelingkahan antara Rasionalitas dan Mistis, penterj. Agung
Prihantoro, Yogyakarta : Qalam, 2001

Sayyed Hossein Nasr, “Philosophy” dalam The Study of Midlle East, John Wiley
& Son, 1976

Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihad al-Mu’ashir baina al-Indilbat wa al-Infirat, Kairo ;


Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1994

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]--> Untuk memahami lebih dalam


tentang history of ideas, penulis buku ini menyarankan untuk melihat buku-buku antara
lain : David Hackett, Historian’s Fallacies ; Toward o Logic of Hitorical Thought (New
York : Harper Torchbook, 1970); Erdward Halled Carr, What Is History?, (New York :
Vintage Book, 1961); Mircea Eliade, A History of Ideas (Chicago : the University of
Chicago Press, 1985)

<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]--> Primary Sources ini dalam rangka


mengambil fakta (fact) dan bukti (evidence) kebenaran tentang apa yang menjadi
pendapat seseorang ketika pendapat tadi disandarkan kepadanya. Ini juga sebagai upaya
untuk memperoleh kebenaran sejarah (historical truth).

<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]--> Living Knowledge ini untuk menyebut


karya intelektual yang diposisikan sebagai sejarah pemikiran dalam kontek kajian
akademik yang dapat berperan untuk menjadi inspirasi memunculkan pemikiran baru

<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> Penulis buku ini tidak mengatakan


desakralisasi karena dia memandang bahwa nilai sakral sejauh proporsional akan tetap
ada, sebagai konsekuensi esensi hukum Islam yang mempunyai sumber utama wahyu
Allah.

<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Terhadap hasil ijtihad masa lalu


yang masih mempunyai nilai untuk masa kini, penulis buku ini menyebut dengan istilah
living tradition and knowledge hasil pinjaman dari Sayyed Hossein Nasr, “Philosophy”
dalam The Study of Midlle East, (John Wiley & Son, 1976), h. 327-445

<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Pereview lebih setuju jika tidak


disamakannya istilah interdisipliner dengan multidisipliner. interdisipliner artinya
menggunakan berbagai pendekatan dimana antara satu pendekatan dengan pendekatan
lain saling mengisi, tetapi dalam multidisipliner antara pendekatan satu dengan
pendekatan lain berjalan sendiri yang pada prakteknya bahkan bisa saling menafikan.
Lihat Richard King, Agama, Orientalisme dan Poskolonialisme : Sebuah Kaian Tentang
Pertelingkahan antara Rasionalitas dan Mistis, penterj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta :
Qalam, 2001), hlm.98-113

<!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> Yusuf al-Qaradhawi, Al-Ijtihad al-Mu’ashir


baina al-Indilbat wa al-Infirat, (Kairo ; Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1994)

<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Yang dimaksud ijtihad intiqa’i


menurut al-Qaradhawi adalah memilih salah satu pendapat dari beberapa pendapat
terkuat yang terdapat pada warisan fiqih Islam, yang penuh dengan fatwa dan keputusan
hukum.
<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]--> Ijtihad insya’i disebut juga ijtihad
kreatif yang berarti pengambilan konklusi hukum baru dari suatu persoalan, yang
persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama-ualama terdahulu.

1 Tanggapan

Ditulis dalam Hukum Islam

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 20, 2007

Kesetaraan laki-laki dan Perempuan

PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI SETARA DIHADAPAN ALLAH

)TINJAUAN ISLAM)

Oleh : Anjar Nugroho

Sebelum kedatangan Islam kedudukan perempuan di seluruh dunia


dipandang rendah. Perempuan tidak mendapat hak apa-apa dan diperlakukan
tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tapi juga
dapat diwariskan sebagaimana harta benda. Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa
bangsa Arab pada masa Jahiliyyah biasa menguburkan anak perempuan

Kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. membawa perubahan yang
cukup mendasar berkaitan dengan harkat dan kedudukan perempuan. Secara
perlahan perempuan mendapat tempat yang terhormat, sampai akhirnya
berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan terkikis dari akar budayanya
)Asghar Ali Engineer, 1997)

Secara normatif Islam memandang sama dan sederajat antara laki-laki dan
perempuan. Banyak ayat al-Qur’an yang telah menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan adalah sama-sama semartabat sebagai manusia, terutama secara
spiritual. Begitu pula, banyak hadis yang menunjukkan kesamaan harkat laki-laki
dan perempuan.

Dalam pandangan agama Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat.
“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar.” )Q.S. al-
Qamar/54 : 49). Oleh pada ulama, qadar di sini diartikan sebagai “ukuran-
ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu”, dan itulah kodrat.
Dengan demikian laki-laki dan perempuan, sebagai individu dan jenis kelamin
memiliki kodratnya masing-masing. Namun demikian, Syekh Mahmud Syaltut,
Pemimpin tertinggi al-Azhar pernah mengatkan :

“Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir apat


dikatakan Allah telah menganugerahkan kepada perempuan
sebagaimana Allah menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereke
berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemanusiaan”.

Ayat al-Qur’an yang populer dijadikan rujukan di dalam membicarkan tentang


asal usul kejadian perempuan adalah firman Allah dalam al-Qur’an surat an-
Nisa’/4 : 1, “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah
menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan
pasangannya dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak.”

Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut banyak ulama adalah Adam dan
pasangannya adalah istri beliau Hawa. umumnya para mufassirin memahami
dan meyakini bahwa yang dimaksud dengan nafs wâhidat dan zaujahâ dalam
ayat itu adalah Nabi Adam AS )laki-laki) dan Hawa )perempuan) yang dari
keduanyalah kemudian berkembang biak ummat manusia )Yunahar Ilyas, 1997).
Kontrovesi sesungguhnya bukan kepada siapa yang pertama, tapi pada
penciptaan Hawa yang dalam ayat diungkapkan dengan kalimat wa khalaqa
minhâ zaujahâ. Persoalannya adalah, apakah Hawa diciptakan dari tanah seperti
penciptaan Adam, atau diciptakan dari )bagian tubuh) Adam itu sendiri. Kata
kunci penafsiran yang kontroversial itu terletak pada kalimat minhâ. Apakah
kalimat itu menunjukkan bahwa untuk Adam diciptakan istri dari jenis yang sama
dengan dirinya, atau diciptakan dari )diri) Adam itu sendiri.

Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap


perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki.
Tanpa laki-laki perempuan tidak akan pernah ada. Bahkan tidak sedikit diantara
mereka yang mengatakan bahwa perempuan )Hawa) diciptakan dari tulang
rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya
demikian. Namun tidak sedikit ulama memahaminya sebagai metafora, bahkan
ada yang menolak keshahihan hadis tersebut )Quraish Shihab, 1999).

Riffat Hasan tidak hanya menolak dengan keras pandangan para ulama
di atas, bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tetapi juga
mempertanyakan kenapa dipastikan nafs wâhidah itu Adam dan zaujahâ itu
Hawa, istrinya. Padahal ungkap teolog muslimah yang akhir-akhir ini sangat
serius mengkaji masalah perempuan itu, kata nafs dalam bahasa Arab tidak
menunjukkan kepada laki-laki atau perempuan, tetapi bersifat netral, bisa laki-
laki bisa perempuan. Begitu juga zauj, tidak secara otomatis diartikan istri,
karena istilah itu bersifat netral, artinya pasangan yang bisa laki-laki dan bisa
perempuan. Disamping zauj dikenal juga istilah zaujah, bentuk feminin dari zauj.
Mengutip kamus Taj al-‘Arus, Riffat menyatakan bahwa hanya masyarakat hijaz
yang menggunakan istilah zauj untuk menunjukkan kepada perempuan,
sementara di daerah lain digunakan zaujah untuk menyatakan perempuan. Lalu,
tulis Riffat mempertanyakan, kenapa al-Qur’an yang secara meyakinkan tidak
hanya diperuntukkan bagi masyarakat Hijaz, menggunakan istilah zauj bukan
zaujah, seandainya yang dimaksud itu sungguh-sungguh perempuan?

Lepas dari kontrovesri di atas, Amina Wadud Muhsin )1992), menyatakan


bahwa yang penting bukan bagaimana Hawa diciptakan, tetapi kenyataan bahwa
Hawa adalah pasangan Adam. Pasangan, menurut Amina, dibuat dari dua
bentuk yang saling melengkapi dari satu realitas tunggal, dengan sejumlah
perbedaan sifat, karakteristik dan fungsi, tetapi kedua bagian yang selaras ini
pas saling melengkapi sebagai kebutuhan satu keseluruhan. Setiap anggota
pasangan mensyaratkan adanya pasangan lainnya dengan logis dan keduanya
berdiri tegak hanya atas dasar hubungan ini. Dengan pengertian seperti ini
penciptaan Hawa, bagi Amina merupakan bagian rencana penciptaan Adam.
Dengan demikian keduanya sama pentingnya.

Al-Qur’an tidak membedakan perempuan dan laki-laki dalam konteks


penciptaan dan proses selanjutnya sebagai manusia. Tidak sebagaimana
pandangan sebagian pandangan kebanyakan orang selama ini )khususnya
dalam tradisi Nasrani dan Yahudi) bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki,
tapi juga untuk laki-laki. Dalam pandangan al-Qur’an, Allah menciptakan
semuanya )perempuan dan laki-laki) adalah “untuk satu tujuan” )Q.S. Al-Hijr/15 :
85) dan “tidak untuk main-main” )Q.S. Al-Anbiya’/21 : 16). Hal tersebut
merupakan salah satu tema utama al-Qur’an.

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara


laki-laki dan perempuan . Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama
untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan
denagn orang-orang yang bertaqwa )muttaqun), dan untuk mencapai derajat
muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau
kelompok etnis tertentu.

Manusia, yang diciptakan “dengan sebaik-baik bentuk” )Q.S. At-Tin/95 : 4) telah


diciptakan untuk mengabdi kepada Allah )Q.S. Adz-Dzariyat/51 : 56). Yang
selanjutnya, menurut ajaran al-Qur’an, pengabdian kepada Allah tidak bisa
dipisahkan dari pengabdian kepada umat manusia, atau, dalam istilah Islam,
orang-orang yang beriman kepada Allah harus menghormasti Haqqullah )hak-
hak Allah) dan Haqul ‘Ibad )hak-hak makhluq). Penenuhan kewajiban kepada
Tuhan dan manusia merupakan hakekat kesalehan. Laki-laki dan perempuan
sama-sama diseru oleh Allah agar berbuat kebajikan dan akan diberi pahala
yang sma untuk kesalehan mereka. Hal ini dinyatakan dengan jelas dala
sejumlah ayat al-Qur’an seperti berikut :

“ Dan Tuhan …. memperkenankan permohonan mereka : “Tidak pernah aku sia-


siakan amal setiap kamu, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagian kamu
adalah turunan dari sebaian yang lain.” )Q.S. Ali Imran/3 : 195)

“ Siapapun yang berbuat kesalehan, baik laki-laki maupun perempuan, dan


mereka beriman, mereka akan masuk ke dalam surga. Dan tidaklah
ketidakadilan sekecilpun akan ditimpakan kerpada mereka.” )Q.S. An-Nisa’/4 :
124)

“ Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah pelindung, yang


satu terhadap yang lain : mereka menyuruh kepada keadilan dan mencegah
berbuat kejahatan; mereka taat melakukan shalat, menunaikan zakat, dan taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Atas mereka, akan Allah limpahkan rahmat-Nya
karena Allah.” )Q.S. At-Taubah/9 : 71)

“Siapapun yang berbuat kesalehan, laki-laki ataupun perempuan, dan mereka


beriman, sungguh, kepada mereka akan Kami berikan suatu kehidupan baru,
kehidupan yang baik dan suci, dan Kami akan memberikan pahala yang terbaik
atas apa yang mereka kerjakan.” )Q.S. an-Nahl/16 : 97)

Ayat-ayat di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan


yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individu, baik dalam
bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh
salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan
yang sama meraih prestasi yang optimal. Namun dalam kenyataan di
masyarakat muslim, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi,
karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit
diselesaikan.
Salah satu tujuan al-Qur’an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat.
Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu al-Qur’an
tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis,
warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis
kelamin.

Al-Qur’an tidak hanya menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan benar-


benar setara dalam pandangan Allah tetapi juga bahwa mereka merupakan
“anggota-anggota” dan “pelindung” satu sama lain. Dengan kata lain, al-Qur’an
tidak menciptakan hirarki-hirarki yang menempatkan laki-laki di atas perempuan
)sebagaimana dilakukan oleh banyak ulama Nasrani). Al-Qur’an juga tidak
menempatkan laki-laki dan perempuan dalam satu hubungan yang bermusuhan.
Mereka diciptakan sebagai makhluq-makhluq yang setara dari Pencipta alam
semesta, yang Maha Adil dan Maha Pengasih, yang menginginkan mereka hidup
dalam harmoni dan kesalehan bersama-sama.

Meskipun al-Qur’an menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan,


masyarakat muslim pada umumnya tidak menganggap laki-laki dan perempuan
setara, terutama dalam konteks perkawinan. Dasar penolakan masyarakat
Muslim terhadap gagasan kesetaraan laki-laki dan perempuan berakar dalam
keyakinan bahwa perempuan lebih rendah dalam asal-usul penciptaan )karena
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok) dan dalam kesalehan )karena
membantu setan dalam menggoda Adam untuk melakukan apa yang telah
dilarang Allah), dan diciptakan terutama untuk dimanfaatkan oleh laki-laki yang
lebih tinggi dari mereka.

Superioritas laki-laki atas perempuan yang meresap dalam tradisi Islam


didasarkan kepada hadis-hadis Israilliyat )penyusupan ide-ide Israel dalam
muatan hadis) dan juga pada interpretasi-interpretasi ayat-ayat al-Qur’an.
Riwayat Isra’illiyat ialah cerita-cerita yang bersumber dari agama-agama samawi
sebelum Islam,seperti dari Yahudi dan Nasrani. Cerita-cerita ini muncul di dalam
kitab-kitab tafsir dan dalam kitab-kitab syarh Hadis. Bisa jadi cerita-cerita tesebut
dimasukkan oleh para mantan pengikut kedua agama itu yang sudah masuk
Islam, atau mungkin pula melalui upaya penyusupan secara sistematis oleh
kalangan penganut agama tersebut. Beberapa kitab tafsir mu’tabar
mengintrodusir kisah-kisah isra’iliyat, seperti Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Qurthubi,
tafsir al-Alusi dan sebagainya )Nasaruddin Umar, 1999). Seperti yang sudah
diketahui, dalam ajaran Nasrani maupun Yahudi terdapat pendangan yang
merendahkan derajat perempuan. Dengan demikian semakin banyak
mengintrodusir kisah-kisah Isra’illiyat dalam penafsiran al-Qur’an maupun Hadis,
semakin besar pula peluang terjadinya bias ketidakadilan dalam memandang
hubungan antara laki-laki dan perempuan

Contoh kisah Isra’iliyyat dalam penafsiran al-Qur’an adalah kisah asal-usul


kejadian perempuan. Dalam Kitab Perjanjian Lama diceritakan kisah-kisah yang
secara umum cenderung difahami memberikan citra negatif terhadap
perempuan, seperti menafsirkan kehadiran perempuan untuk melengkapi bagian
dari kebutuhan laki-laki )2:20). Perempuan dikesankan sebagai ciptaan kedua
)second creation) dan subordinasi dari laki-laki karena ia diciptakan dari tulang
rusuk laki-laki )2:21-22). Perempuan ditimpakan kesalahan dalam kisah jatuhnya
manusia )Adam dan Hawa) dari surga ke dunia )3:12), karenanya perempuan
harus lebih banyak menanggung resiko dalam konsep dosa warisan tersebut
)3:12) Ayat-ayat ini dijelaskan secara panjang lebar dalam Kitab Talmud, suatu
kitab yang mengulas ayat-ayat yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama.

Penggunaan kisah-kisah Isra’iliyyat di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an


maupun Hadis tidak selamanya dipandang negatif. Agama Yahudi dan agama
Nasrani yang kemudian melahirkan Kitab Taurat dan Injil, adalah berasal dari
anak cucu Nbi Ibrahim. Keberadaan kedua agama dan kedua kitab suci tersebut
diakui dalam al-Qur’an. Merujuk kepada kedua Kitab Suci tersebut dipandang
syah dan wajar oleh para mufassir. Hanya saja maslahnya alah sejauh mana
keaslian kisahikisah yang dijadikan rujukan tersebut. Kalau yang dijadikan
rujukan adalah kisah-kisah yang terdapat dalam Kitab Talmud, sebagaimana
telah diketahui, banyak terdapat cerita-cerita rakyat Babilonia.

Dengan mengintrodusir tradisi klasik masyarakat Babilonia yang sarat dengan


mitos itu, maka barang tentu akan menimbulkan pandangan yang menyudutkan
perempuan, mengingat mitos-mitos Babilonia sangat merugikan
perempuan.Tidak heran jika kitab-kitab tafsir yang mengintrodusir kisah-kisah
Isra’iliyyat ditemukan banyak penafsiran yang memojokkan perempuan.

Allah yang berbicara melalui al-Qur’an bercirikan keadilan dan dinyatakan secara
jelas dalam al-Qur’an bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat zulm )tidak jujur,
tirani, pemerasan dan perbuatan yang salah). Karenanya, al-Qur’an sebagai
firmah Allah tidak bisa dijadikan sumber ketidakadilan manusia, dan
ketidakadilan yang membuat perempuan Muslim ditundukkan dan diremehkan,
tidak bisa dianggap dari Allah.

Al-Qur’an, menurut penulis, sangat memperhatikan pembebasan manusia –baik


laki-laki mapun perempuan – dari berbagai macam penindasan dan
ketidakadilan yang pada akhirnya menghalangi manusia mengaktualisasikan visi
al-Qur’an tentang tujuan hidup manusia yang mewujud dalam pernyataan al-
Qur’an : “Kepada Allah-lah mereka akan kembali.” )Q.S. An-Najm/53 : 42)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, dengan Ahmad Suaedi dan


Amiruddin Arrani penterj. Yogyakarta : LkiS dan Pustaka Pelajar, 1994.

Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘alâ Mazâhib al-Arba’ah, Istanbul : Dâr ad-


Dakwah, t.t..

Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, Alih bahasa oleh Yaziar
Radianti, Bandung : Pustaka, cet I, 1994.
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempaun dalam Islam, Alih bahasa oleh Farid
Wajidi, Bandung, LSPPA, 1994.

Budhy Munawar-Rachman, “Islam dan Feminisme, dari Sentralisme Kepada


Kesetaraan”, dalam Mansour Faqih dkk., Membincang Feminisme, Cet. I,
Surabaya : Risalah Gusti, 1996.

Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki
dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Alih bahasa oleh
Team LSPPA,Yogyakarta : LSPPA - Yayasan Prakarsa, 1995.

Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Wanita, alih bahasa oleh Anshori Umar
Sitanggal, Semarang : CV. Asy-Syifa’, tt.

Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan : Dialog Fiqih


Pemberdayaan, Cet. 2, Bandung : Mizan, 1997.

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

2 Tanggapan

Ditulis dalam Islam dan Gender

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 16, 2007

Pemikiran Syari’ati 2
IDEOLOGISASI ISLAM: JALAN MENUJU REVOLUSI

(PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI)

Oleh: Anjar Nugroho

Ali Syari’ati dikenal sebagai pemikir yang multi-dimensi dan, karenanya juga,
multi-interpretable. Tetapi para pengamat juga dapat melihat semacam
pandangan dunia )weltanschauung) yang cukup konsisten dalam tulisan-
tulisannya. Pandangan dunia Ali Syari’ati yang paling menonjol adalah
menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi
dasar dari ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini Syari’ati dapat disebut
pemikir politik-keagamaan )politico religio thinker).<!--[if !supportFootnotes]--
>[1]<!--[endif]-->

Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Syari’ati adalah
agama – dalam hal ini, Islam – dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai
kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara
kultural mapun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang
belum dikuasai kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah
pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia
merupakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme
yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka.<!--[if !
supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]-->Atas dasar ini, maka banyak pengamat
menyebut Syari’ati sebagai “the ideologist of revolt”.<!--[if !supportFootnotes]--
>[3]<!--[endif]-->
Dalam pandangan Syari’ati, agama sebagai ideologi diartikan: “suatu
keyakinan yang dililih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang
timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat”. Ideologi
dibutuhkan, menurut Syari’ati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau
bangsa dalam mencapai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk
mengubah dan merombak status quo secara fundamental.<!--[if !
supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]-->

Menurut Ali Syari’ati, ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai
ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai
semangat kolektif suatu kelompok. Is menggambarkan kedudukan agama sebagai ideologi
dengan pernyataan:

But one comes to understand Islam in the sense of an ideology in


another way. Islam, as an ideology, is not a scientific specialization
but is the feeling one has in regard to a school of thought as a belief
ystem and not as a culture. It is the perceiving of Islam as an idea and
not as a collection of sciences. It is the understanding of Islam as a
human, historical and intellectual movement, not as a storehouse of
cientific and technical information. And, finally, it is the view of Islam
as an ideology in the minds of an intellectual and not as ancient
religious sciences in the mind of a religious scholar. )Tetapi orang
datang untuk memahami Islam dalam pengertian suatu ideologi di
dalam pandangan yang lain. Islam, sebagai suatu ideologi, bukanlah
suatu spesialisasi ilmiah tetapi adalah kepekaan seseorang yang
mempunyai hubungan dengan suatu aliran pikiran lebih sebagai
sistem kepercayaan dan bukan sebagai kultur. Ia memposisikan Islam
sebagai suatu gagasan dan bukan sebagai suatu koleksi ilmu
pengetahuan. Islam demikian mempunyai pandangan yang utuh
tentang manusia, pergerakan intelektual dan sejarah, bukan sebagai
suatu gudang informasi teknis dan ilmiah. Dan, pada akhirnya, Islam
sebagai ideologi berada dalam pikiran kaum intelektual dan bukan
sebagai ilmu pengetahuan religius masa lampau yang berada dalam
pikiran ulama.)<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]-->

Syari’ati menjelaskan tentang proses berubahan agama dari ideologi menjadi


sebuah institusi sosial. Munculnya agama sebagai ideologi, papar Syari’ati,
dimulai ketika para Nabi muncul di tengah-tengah suku-suku dan pemimpin
gerakan-gerakan historis untuk membangun dan menyadarkan masyarakat.
Ketika para nabi itu memproklamirkan semboyan-semboyah tertentu dalam
membantu massa kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian
mengelilingi nabi dan menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan
sukarela. Dari sinilah, menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi.
Namun kemudian, agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil
bentuk agama sebagai institusi sosial.<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]-->

Berangkat dari asumsi demikian, maka dapat dicari sebuah jawaban dari
pertanyaan mengapa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan cepat
dapat diterima oleh masyarakat Arab. Islam sebagai ideologi yang diusung oleh
Muhammad membawa orde sosial baru yang disandarkan kepada prinsip
keadilan dan persamaan dalam stuktur sosial masyarakat. Islam yang demikian
sangat menarik masyarakat Arab yang sudah lama muak dengan bentuk
aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani, ketidakadilan, kesewenang-
wenangan, dan monopolisme. Masyarakat kala itu, mulai menemukan
semboyan-semboyan ideologi sebagai obat penyembuhan dari penderitaan dan
kesulitan akibat sistem tirani. Islam sebagai ideologi mampu memberikan
keyakinan baru yang berbasis kepada kemauan bebas manusia untuk
melepaskan diri dari jeratan sistem sosial dan politik tiranik.

Sehingga dapat dimengerti jika kemudian Syari’ati mencoba merekonstruksi


“Islam Syi’ah” sebagai ideologi revolusioner. Syari’ati menyatakan dengan jelas,
bahwa Islam bukanlah Islam kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahîd,
bukan pula Islam dalam tradisi umum, tetapi Islam dalam kerangka Abu Zar.<!--[if
!supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> Islam lahir secara progresif dalam upaya
merespon problem-problem masyarakat dan memimpin masyarakat untuk
mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita yang berharga. Dalam hal ini, Islam
dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif, dan diposisikan
sebagai “agama pembebasan” yang concern dengan isu-isu sosial-politik seperti
penindasan, diskriminasi, ketidakadilan dan sebagainya. Semangat Islam
sebagai ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi masyarakat Islam
untuk membangun konstruksi peradaban baru yang progresif, partisipatif, tanpa
penindasan dan ketidakadilan.

Dalam konteks global Syari’ati melihat ada problem besar masa depan dunia
Islam, yaitu kolonialisme dan neo-kolonialisme oleh Barat. Hal ini telah
mengalienasi masyarakat Muslim dari kebudayaan aslinya )turâts), karena
mereka mau tidak mau harus mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang
telah “dipaksakan” oleh pihak kolonialis maupun neo-kolonialis. Senada dengan
Syari’ati, Hasan Hanafi juga melihat bahwa kolonialisme atau westernisasi
mempunyai pengaruh luas terhadap dunia Timur )Muslim), tidak hanya pada
budaya dan konsepsi tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan
peradaban. Bahkan, masih menurut Hanafi, juga merambah pada gaya
kehidupan sehari-hari: bahasa, menifestasi kehidupan umum dan seni
bangunan. Tidak hanya itu, keterbukaan ekonomi memaksa dunia Islam untuk
membuka diri terhadap kapitalisme internasional, demikian juga dengan
keterbukaan bahasa, maka konsekwensinya harus menerima kehadiran bahasa
asing.<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]-->

Syari’ati memandang saat itu kolonialisme dan westernisasi telah melanda


negara Dunia Ketiga tak terkeculai Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah
munculnya bentuk-bentuk korporasi multi-nasional, rasisme, penindasan kelas,
ketidakadilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat )Westoxication). Ia
menyatakan bahwa kolonialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh
terbesar masyarakat yang harus diberantas dalam jangka panjang. Tetapi untuk
jangka pendek, menurut Syari’ati, ada dua musuh yang harus segera
dimusnahkan: pertama, Marxisme vulgal – menjelma terutama dalam Marxisme-
Stalinisme – yang banyak digemari para intelektual dan kaum muda Iran, dan
kedua, Islam konservatif sebagaimana dipahami kaum mullah yang
menyembunyikan Islam revolusioner dalam jubah ketundukan kepada para
penguasa.<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]-->

Untuk membebaskan massa dari krisis yang membawa mereka mencapai


negara yang merdeka dan berkeadilan sosial-ekonomi, Syari’ati yakin bukan
melalui Liberalisme, Kapitalisme, ataupun Sosialisme, namun yang bisa
mengobati penyakit ini, kata Syari’ati, hanyalah Islam. Baginya, Islam merupakan
satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan negeri Muslim dari segala bentuk
tekanan dan penindasan. Hal ini sangat masuk akal jika Syari’ati menginginkan
Islam sebagai penggerak revolusi. Terlebih lagi dalam konteks Iran, Islam
)Syi’ah) justru dijadikan sebagai agama resmi negara. Dengan latar belakang
yang demikian kondusif, Syari’ati menempuh sejumlah strategi sekaligus
mengkonsolidasi masyarakat ke dalam satu paradigma: Islam adalah solusi.
Beberapa strategi tersebut mengandung muatan yang sama, yakni menyakinkan
masyarakat untuk memilih Islam sebagai jalan perubahan.<!--[if !
supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]-->

Pertama-tama Syari’ati berusaha melakukan ideologisasi Islam dengan


menunjukkan karakteristik revolusioner Islam. Ia berupaya membuktikan bahwa
Islam agama yang sangat progresif, agama yang menentang penindasan.
Syari’ati sangat antusias untuk membuktikan perlunya suatu reformasi bagi
pemahaman Islam yang benar, sehingga dibutuhkan figur-figur yang mampu
memimpin masyarakat kepada perubahan paradigma dan mental masyarakat.
Mereka itulah yang menurut Syari’ati disebut para pemikir tercerahkan
)rausanfikr). Kemudian Syari’ati menunjukkan bahwa Islam merupakan akar
budaya masyarakat Iran yang telah lama mendarah daging. Dengan demikian
masyarakat Iran harus kembali kepada warisan budaya Islam jika menginginkan
perubahan.
Untuk mengkonstruksi Islam sebagai sebuah ideologi, mula-mula Syari’ati
melakukan redifinisi tentang pemahaman ideologi itu sendiri Syari’ati
menjelaskan bahwa ideologi terdiri dari kata “ideo” yang berarti pemikiran,
gagasan, konsep, keyakinan dan lain-lain, dan kata “logi” yang berarti logika,
ilmu atau pengetahuan. Sehingga ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang
keyakinan dan cita-cita.<!--[if !supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> Menurut
pengertian ini seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau
keyakinan tertentu. Dalam kaitan ini, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan
cita-cita yang dipeluk oleh suatu kelompok tertentu, suatu kelas sosial atau suatu
bangsa.<!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]-->

Ideologys includes both a belief and the knowing of it. It is to have a


special attitude and consciousness which a person has in relation to
himself, his class position, social base, national situation, world and
historic destiny as well as the destiny of one’s own society which one
is dependent upon… Therefore, ideology is a belief system that
interprets the social, rational and class orientation of a human being
as well as one’s system of values, social order, form of living, ideal
individual, social situation and human life in all its various
dimensions. It answers the questions: What are you like? What do
you do? What must you do? What must be?
)Ideologi meliputi suatu kepercayaan dan pengetahuan tentangnya.
Ideologi diperlukan agar seseorang mempunyai kesadaran dan sikap
khusus dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, posisi kelasnya,
dasar sosial, situasi nasional, dunia dan tujuan sejarah seperti
halnya tujuan masyarakat sebagai tempat bergantung… Oleh karena
itu, ideologi adalah suatu sistem kepercayaan yang
menginterpretasikan kondisi sosial, rasionalitas dan orientasi kelas
seseorang seperti halnya sistem nilai, orde sosial, format individu
ideal, hidup manusia dan situasi sosial dalam berbagai dimensinya .
Ideologi menjawab pertanyaan: Apa yang kamu sukai? Apa yang
kamu lakukan? Apa yang kamu harus lakukan? Harus menjadi
apa?)<!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--[endif]-->

Syari’ati berusaha untuk membedakan antara ideologi, ilmu dan filsafat. Ilmu
menurutnya merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang kongkret. Ia
merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip,
kualitas dan karakteristik di dalam kehidupan manusia, alam dan benda-benda
lainnya. Demikian halnya dengan ilmu, dapat didefinisikan sebagai pencarian ke
arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum, belum diketahui dan tidak
terjangkau ilmu. Ia mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran
dan substansi, fenomena dan konsep-konsep yang ada dalam alam pikiran
manusia.<!--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]--> Tentu saja pemahaman
Syari’ati tentang ideologi, ilmu dan filsafat berbeda dengan pandangan para
penganut aliran postmodernisme dewasa ini. Jürgen Habermas, misalnya, ia
menyatakan bahwa antara ideologi, ilmu, dan filsafat )bahasa Habermas:
Knowledge, pengetahuan) mempunyai landasan yang sama dalam
pengembanganya, yaitu kepentingan )keberpihakan). Walaupun Habermas
berbeda dengan Marx yang mengatakan bahwa kepentingan itu adalah pasti
kepentingan kelompok atas, Habermas lebih melihat kepentingan itu muncul dari
siapa saja )manusia kelompok manapun) yang terlibat dalam pengembangkan
sebuah ilmu, filsafat atau ideologi.<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]-->

Di sisi yang berbeda, ideologi menuntut seorang cendekiawan untuk


memihak. Bagi seorang ideolog, ideologinya adalah suatu kepentingan yang
mutlak. Setiap ideologi memulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status quo,
kritis terhadap masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomi, politik dan
moral yang cenderung melawan perubahan-perubahan yang diinginkan. Berbeda
dengan filsafat maupun ilmu yang sama sekali tidak mempunyai komitmen
seperti itu, ia hanya menggambarkan realitas seperti apa adanya dengan tidak
membedakan apakah ia menolak atau menerima realitas tersebut.<!--[if !
supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]--> Inilah perbedaan yang menyolok antara
ilmu, filsafat dan ideologi. Dengan kata lain, agar ideologi mampu memposisikan
dirinya menjadi landasan perjuangan, maka keberpihakannya harus jelas. Pada
wilayah politik, ia harus mengabdi sehingga mampu memberikan doktrin-doktrin
politik. Pada kekuasaan politik ia harus bisa menyerang. Inilah sebenarnya, kata
Syari’ati, makna sesungguhnya dari ideologi, yang berarti bukan konsep,
landasan berfikir, filsafat, apalagi ilmu. Ideologi adalah kata lain dari
keberpihakan politik, tegas Syari’ati.

Lebih lanjut Syari’ati mengatakan, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah
melahirkan revolusi dalam sejarah walaupun keduanya selalu menunjukkan
perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi-ideologi, tegas
Syari’ati, yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan
mengoganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan
pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia.
Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggungjawab,
keterlibatan dan komitmen.<!--[if !supportFootnotes]-->[17]<!--[endif]--> Ideologi,
lanjut Syari’ati, menuntut agar kaum intelektual bersikap setia )commited).
Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak,
arena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan, tanggungjawab dan
keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan, revolusi, pemberontakan
hanya dapat digerakkan oleh ideologi.<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->

Setelah mengkonstruksi gagasannya tentang ideologi, Syari’ati


menegaskan tentang urgensi perubahan yang hanya dapat digerakkan oleh
masyarakat yang mempunyai ideologi kokoh. Dalam kondisi keterpurukan untuk
konteks Iran, Syari’ati berfikir bahwa Islam harus mampu menjadi penggerak
kesadaran masyarakat. Islam perlu lebih dipahami sebagai sebuah pandangan
dunia komprehensif, sebuah rencana untuk merealisasikan potensi manusia
sepenuhnya, baik secara perseorangan maupun kolektif, untuk tujuan makhluq
secara keseluruhan.<!--[if !supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]--> Di sinilah
letaknya bahwa Islam berfungsi sebagai ideologi pembebasan:
Ia )Islam) akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan
melawan kekuasaan tiranik. Ia tidak akan pernah berbaiat )sepakat)
dengan kekejaman. Ia akan merancang kontinuitas sejarah
berkesinambungan. Ia akan menegaskan perjuangan tak kenal henti
antara pewaris Adam dan pewaris setan. Asy-syûra mengingatkan
kembali akan ajaran ihwal kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah
Islam kriminal dalam jubah “tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah
Islam yang tersembunyi dalam jubah merah kesyahidan.<!--[if !
supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]-->

Syari’ati berupaya menegaskan perbedaan Islam dengan pemahaman


umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang
tidak ideologis, agama seperti dikemukakan Durkheim sebagai “suatu kumpulan
keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru
terhadap modus-modus, agama-agama, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-
konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantab selama generasi
demi generasi. Ia tidak harus merupakan menifestasi dari semangat ideal
kemanusiaan yang sejati”.<!--[if !supportFootnotes]-->[21]<!--[endif]--> Jika Islam
dirubah bentuknya dari “madzab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan
kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan
Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan,
komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak
memberi kontribusi apa pun kepada masyarakat.<!--[if !supportFootnotes]--
>[22]<!--[endif]-->

Untuk mencapai tujuan menggerakkan masyarakat melalui ideologisasi


Islam, Syari’ati menempuh beberapa langkah strategis. Syari’ati berupaya untuk
melakukan redifinisi Islam dengan menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara
detail, berkenaan dengan cara memahami Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu
yang berhubungan dengan ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan
mental kognitif masyarakat, serta metode atau usulan-usulan praktis untuk
mengubah status quo yang tidak memuaskan kehendak masyarakat.<!--[if !
supportFootnotes]-->[23]<!--[endif]-->

Pada tahap pertama, Syari’ati meletakkan pandangan dunia tauhîd


sebagai pandangan dasar. Pendangan ini menyatakan secara langsung bahwa
kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar, memiliki
kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian berbeda dengan
pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam kategori yang berpasangan:
dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti; rohani dan jasmani.<!--
[if !supportFootnotes]-->[24]<!--[endif]--> Karena itu diskriminasi manusia atas
dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya tidak bisa dibiarkan,
karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Ketuhanan.

Pada tahap kedua, adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan


mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial
dan mental. Bagi Syari’ati, Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami
dengan mempelajari al-Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari
sejarah Islam sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan
misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.<!--[if !supportFootnotes]-->[25]<!--
[endif]-->

Dengan berpijak pada al-Qur’an, Syari’ati melihat keseluruhan sejarah


sebagai sebuah konflik kekuatan-kekuatan, sementara itu manusia sendiri
menjadi medan perang antara asal jasmaniahnya yang rendah dan semangat
Ketuhanannya. Dialektika sejarah seperti ini sangat mudah diidentifikasi
meminjam konsep dialektika sejarah Marxis, meskipun tidak secara
keseluruhan.<!--[if !supportFootnotes]-->[26]<!--[endif]--> Meskipun demikian,
Syari’ati mengklaim bahwa analisisnya mengenai dialektika Qabil dan Habil
sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran
orisinil dalam konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat
dalam al-Qur’an.
Pada tahap berikutnya, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan
menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo. Caranya ialah
melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan, langkah-
langkah praktis berdasarkan kondisi masyarakat, serta upaya menciptakan
perubahan dan kemajuan dalam aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus
mengejawantah sebagai suatu amanat yang sedang dihidupkan kembali untuk
membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar bangun dan
menegaskan hak-hak serta identitasnya.

Keseluruhan langkah yang dikonstruksi Syari’ati pada intinya akan


mengerucut pada satu tujuan, yaitu pembaharuan Islam )protestanism).

To emancipate and guide the people, to give birth to a new love, faith,
and dynamism, and to shed light on people’s hearts and minds and
make them aware of various elements of ignorance, superstition,
cruelty and degeneration in contemporary Islamic societies, an
enlightened person should start with “religion.” By that I mean our
peculiar religious culture and not the one predominant today. He
should begin by an Islamic Protestantism similar to that of Christianity
in the Middle Ages, destroying all the degenerating factors which, in
the name of Islam, have stymied and stupefied the process of thinking
and the fate of the society, and giving birth to new thoughts and new
movements. Unlike Christian Protestantism, which was empty-handed
and had to justify its liberationist presentation of Jesus, Islamic
Protestantism has various sources and elements to draw from.
)Untuk membebaskan dan membimbing rakyat, untuk menciptakan
cinta dan keyakinan baru, kedinamisan, dan memberi kesadaran baru
ke dalam hati dan pikiran rakyat, serta mengingatkan mereka akan
berbagai bahaya yang muncul akibat unsur kebodohan, ketahayulan,
kejahatan dan kebobrokan di dalam masyarakat-masyarakat Islam
kini, orang tercerahkan harus mulai dengan “agama” – maksud saya
kebudayaan agama dan bukan salah satu budaya yang dominan
sekarang ini. Ini harus dimulai dengan semacam Protestantisme Islam
)pembaharuan Islam) yang mirip dengan Protestantisme Kristen
)pembaharuan Kristen) pada Abad Pertengahan, yang
menghancurkan seluruh faktor perusak yang, dengan
mengatasnamakan Islam, telah menghalangi dan membius proses
pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan baru. Tidak seperti
Protestantisme Kristen, yang tak punya apa-apa dan harus
membenarkan kehadiran Yesus sebagai pembebas, maka
Protestanisme Islam mempunyai banyak sumber daya dan unsur
yang dapat digunakannya.<!--[if !supportFootnotes]-->[27]<!--[endif]-->

Gerakan Protestanisme Islam, menurut Syari’ati akan mengeluarkan energi yang


sangat besar dan memungkinkan seorang Muslim yang tercerahkan untuk:
pertama, penyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat Islam dan
mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan dan
gerakan. Kedua, mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi
kesadaran akan tanggung jawab sosial. Ketiga, menjembatani kesenjangan yang
semakin lebar antara “pulau yang dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan
“pantai rakyat kebanyakan” dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan
pemahaman di antara mereka, dan dengan demikian menempatkan agama –
yang datang untuk membangkitkan dan melahirkan gerakan – untuk kepentingan
rakyat. Keempat, mencegah agar senjata agama tidak jatuh kepada mereka
yang tidak patut memilikinya dan yang tujuannya adalah memanfaatkan agama
untuk tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu memperoleh energi yang
diperlukan untuk menggerakkan rakyat.

Kelima, mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang – dengan


kembali kepada agama yang hidup, dinamis, kuat dan adil – melumpuhkan agen-
agen reaksioner dalam masyarakat, sekaligus menyelamatkan rakyat dari unsur-
unsur yang digunakan untuk membius mereka. Keenam, menghilangkan
semangat peniruan dan kepatuhan yang merupakan ciri agama biasa, dan
menggantinya dengan semangat pemikiran bebas )ijtihâd) yang kritis,
revolusioner, dan agresif. Semua ini dapat dicapai melalui gerakan pembaharuan
agama yang akan menyaring dan menyuling cadangan energi yang sangat besar
di dalam masyarakat, dan akan mencerahkan zaman itu serta membangunkan
generasi masa kini. Karena alasan-alasan itulah, Syari’ati berharap, agar orang
yang tercerahkan dapat berhasil mencapai kesadaran diri yang progresif.<!--[if !
supportFootnotes]-->[28]<!--[endif]-->

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]--> Azra, “Akar-Akar Ideologis…”, hlm. 70

<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]--> Nikki R Keddie, Root of Revolution: An


Interpretative History of Modern Iran (New Haven: Yale University Press, 1981), hlm.
217.

<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]--> Azra, “Akar-Akar Ideologis…“, hlm. 70

<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> Lihat Ali Syari’ati, “Islamology”, dalam


http://www.shariati.com, diakses tanggal 11 Maret 2006

<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Ibid.

<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, Islam Madzab Pemikiran dan


Aksi (Bandung: Mizan, 1982), hlm. 154-155

<!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> Lihat Ali Syari’ati, “And Once Again Abu-


Dhar”, dalam
http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/once_again_abu_dhar7.php,
diakses tanggal 11 Maret 2006
<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Lihat Hasan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm
al-Istighrâb (Kairo: Dâr al-Fanniyah, 1991), hlm. 17

<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]--> Lihat Azra, “Akar-Akar Ideologis…“, hlm.


71; bandingkan dengan Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat:
Bongkar Wacana Atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme dan
Globalisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 197. Hasan Hanafi mengemukakan
hal yang senada dengan Syari’ati bahwa sesungguhnya tantangan terbesar bagi
kelompok-kelompok umat sekarang adalah bagaimana mempertahankan identitas tanpa
harus terjatuh dalam bahaya isolasi diri, dan bahaya menolak andil orang lain; serta
bagaimana menghadapi bahaya pembebekan buta (taqlîd). Lihat Hanafi, Muqaddimah…,
hlm. 21

<!--[if !supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]--> Lihat Supriyadi, Sosialisme Islam…, hlm.


150

<!--[if !supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> Bandingkan apa yang telah didefinisikan


oleh Syari’ati tentang ideologi dengan definisi yang diberikan oleh John B. Thompson
yang menyatakan bahwa ideologi adalah “sistem berfikir”, “sistem kepercayaan”,
“praktik-praktik simbolik” yang berhubungan dengan tindakan sosial politik. Lihat John
B. Thompson, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia, terj. Haqqul
Yakin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 17

<!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]--> Lihat Ali Syari’ati, “Man and Islam”,


dalam http://www.shariati.com, diakses tanggal 11 Maret 2006

<!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--[endif]--> Syari’ati, “Islamology”.

<!--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]--> Lihat Syari’ati, “Man and Islam”.


<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]--> Menurut analisa Habermas, ada tiga
macam ilmu yang didorong seakan-akan dari dalam oleh tiga kepentingan dasar manusia:
ilmu-ilmu empiris-analitis didorong oleh kepentingan teknis, kepentingan untuk
memanfaatkan apa yang diketahui, ilmu-ilmu historis-hermeneutis diarahkan oleh
kepentingan “praksis” (dalam arti Aristoteles), kepentingan untuk memahami makna.
Ilmu-ilmu kritis (filsafat, psikoanalisa) didorong oleh kepentingan mansipatoris,
kepentingan untuk membebaskan. Lihat Franz Magnis-Suseno, “75 Tahun Jürgen
Hambermas”, dalam Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 6

<!--[if !supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,


terj. Amien Rais (Jakarta: Srigunting, 2001), cet. II, hlm. 161

<!--[if !supportFootnotes]-->[17]<!--[endif]--> Ibid., hlm. 163

<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual:


Suatu Wawasan Islam (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 81

<!--[if !supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]--> Prasetyo, Sosiologi Islam…, hlm. 153

<!--[if !supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, Islam Madzab Pemikiran


dan Aksi, terj. Nasrullah dan Afif Muhammad (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 47

<!--[if !supportFootnotes]-->[21]<!--[endif]--> Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual…,


hlm. 81

<!--[if !supportFootnotes]-->[22]<!--[endif]--> Syari’ati, “Islamology”.

<!--[if !supportFootnotes]-->[23]<!--[endif]--> Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,


hlm. 160

<!--[if !supportFootnotes]-->[24]<!--[endif]--> Syari’ati, On Sociology of Islam, hlm. 82

<!--[if !supportFootnotes]-->[25]<!--[endif]--> Ibid., hlm. 83


<!--[if !supportFootnotes]-->[26]<!--[endif]--> Menurut Marx, yang menentukan
perubahan dan perkembangan masyarakat adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial
atau terjadinya kontradiksi dalam masyarakat, dan kelas-kelas sosial merupakan aktor
sejarah utama. Jadi yang menentukan jalannya sejarah bukan individu-individu tertentu,
melainkan kelas-kelas sosial yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya.
Lihat Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 125

<!--[if !supportFootnotes]-->[27]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, “Where shall we begin?”.

<!--[if !supportFootnotes]-->[28]<!--[endif]--> Ibid.

No Comments yet...

Ditulis dalam Pemikiran Islam

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 16, 2007

Pemikiran Syari’ati 1
ISLAM AGAMA PEMBEBASAN: PANDANGAN ALI SYARI’ATI

Oleh: Anjar Nugroho

Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman


maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam
yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan
politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur
bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk
menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum
tertindas )mustad’afîn<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]-->). Islam yang demikian
itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat
sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik
dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.

Dalam konteks situasi politik saat Syari’ati hidup, wacana Islam mainstreem
itulah yang digunakan oleh sebagian besar ulama untuk mendukung kekuasaan rezim
Syah. Ketika rezim Syah menindas rakyatnya, para ulama rezimis tersebut tidak mampu
berbuat apa-apa untuk kepentingan rakyat. Justru ulama itu dipaksa untuk terus-
menerus memberikan justifikasi keagamaan atas kebijakan-kebijakan Syah. Syari’ati
menganalogkan Islam yang demikian itu sebagai Islam gaya penguasa )Islamnya
Usman, Khalîfah ketiga Islam). Sementara Islam otentik, sebagaimana yang dinyatakan
Syari’ati, adalah Islamnya Abu Zar, sahabat Nabi sang pencetus pemikiran sosialistik
Islam:

Abu Dhar was watching these shameful scenes and because he could no longer
bear it, could no longer remain silent, he rebelled, a manly and wonderful rebellion;
an prising which caused rebellion in all the Islamic lands against ‘Uthman; an
uprising from which the waves of enthusiasm can still be felt until the present day
in the situations of human societies. Abu Dhar was trying to develop the economic
and political unity of Islam and the regime of ‘Uthman was reviving aristocracy.
Abu Dhar believed Islam to be the refuge of the helpless, the oppressed and the
humiliated people and ‘Uthman, the tool of capitalism, was the bastion to preserve
the interests of the usurers, the wealthy and the aristocrats. )Abu Zar menyaksikan
peristiwa yang memalukan ini dan karena tidak bisa lagi menerima hal itu itu,
maka dia tidak lagi bisa diam, ia pun melawan, suatu perlawanan yang sangat
bagus dan jantan; suatu perlawanan yang menyebabkan timbulnya perlawanan di
semua wilayah Islam melawan kekuasaan Usman; suatu perlawanan dari
gelombang gairah Islam yang tetap dirasakan sampai zaman sekarang di dalam
sejarah umat manusia. Abu Zar sedang berusaha untuk membangun kesatuan
ekonomi dan politik Islam dan rejim Usman sedang menghidupkan kembali
aristocracy. Abu Zar percaya Islam sebagai tempat perlindungan orang yang
membutuhkan pertolongan, si tertindas dan orang-orang yang terhina dan ‘Usman
menjadikan Islam sebagai alat kapitalisme yang berarti pula benteng untuk
memelihara para lintah darat, orang-orang kaya dan kaum ningrat.)<!--[if !
supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]-->

Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan


aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang
Khaliq )Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi
dan pembebasan:

Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam.
Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam
keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa,
aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan )progress) dan
kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum
mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab
pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi )taqiyeh)
keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan
untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah,
dogmatis, dan imitasi tidak kritis )taqlîd) kepada ulama.<!--[if !
supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]-->
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:

Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam.
Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar
atau Islam Marwan )bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam,
walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya.
Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan
lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih
lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus
mempunyai kepedulian )concern) kepada kaum miskin dan tertindas.
Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari
sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman
berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan.<!--[if !
supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]-->

Islam pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein;


kesyahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk
memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah Islam Syi’ah
awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan
kepapaannya, dan Imam Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol
perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah
revolusioner ini kemudian mengalami “penjinakan” di tangan kelas atas – penguasa
politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas “Islam” versi penguasa. Ulama, tuduh
Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis, telah menyunat Islam dan
melembagakannya sebagai “pemenang” )pacifier) bagi massa tertindas, sebagai dogma
kaku dan teks skriptural yang mati. Ulama bergerak seolah-olah di dalam kevakuman,
terpisah dari realitas sosial.<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]-->

Kenyataan ini, menurut Syari’ati, misalnya, terlihat pada masa Safawi, dimana
dinasti penguasa memasyarakatkan Syi’isme versi mereka sendiri yang sangat berbeda
dengan Syi’ah Imam Ali dan Imam Husein. Syari’ati, menyebut jenis Syi’ah penguasa
sebagai “Syi’ah Hitam )Black Shi’ism)”, dan Syi’ah Imam Ali sebagai “Syi’ah Merah )Red
Shi’ism)”, yakni Syi’ah kesyahidah )Shi’ism of martyrdom).

Shi’ites take their slogans from the embodiment of the tribulations and hopes
of the masses of the oppressed. Aware of the rulers, and in rebellion against
them, they cry out: “Seek the leadership of Ali and flee from the leadership of
cruelty. Choose Imamate, and stamp ‘cancelled,’ ‘disbelief’ and
‘dispossession’ upon the forehead of the Caliphate.Choose justice, and
overthrow the system of paradox and discrimination in ownership. Choose the
principle of being ready to protest against the existing conditions, where the
ruling government, religious leaders and aristocracy try to show that
everything is in accordance with the Will of God, the Divine Law and the
satisfaction of God and his creatures. Such things, to the ruling government,
included their conquests, their plundering of mosques, associations, schools,
gifts, trusts, and charities and the observance of religious ceremonies and
practices…. And this is the last revolutionary wave of Alavite Shi’ism, Red
Shi’ism, which continued for seven hundred years to be the flame of the spirit
of revolution, the search for freedom, and justice, always inclining towards the
common people and fighting relentlessly against oppression, ignorance and
poverty. A century later came the Safavids, and Shi’ism left the great mosque
of the common people to become a next-door neighbor to the Palace of ‘Ali
Qapu in the Royal Mosque.
Red Shi’ism changes to Black Shi’ism!
The Religion of Martyrdom changes to The Religion of Mourning. )Syi’ah
mengambil semboyan mereka )Imam Ali, Hasan, Husein, dan Zaenab) dari
perwujudan harapan kesengsaraan rakyat jelata, orang-orang tertindas.
Sadar akan hadirnya para penguasa )zalim), dan selalu memberontak
melawan mereka. Mereka menangis histeris dan beriak : “Lihatlah itu
kepemimpinan Ali yang lari dari kepemimpinan yang kejam. Pilihlah imâmah
)kepemimpinan), pilihlah keadilan, dan robohkan sistem paradok dan
diskriminasi di dalam kepemilikan. Pilihkah prinsip untuk selalu siap
memprotes atas kondisi sosial politik yang ada, di saat para penguasa, para
ulama dan bangsawan mencoba untuk menunjukkan segala hal itu sebagai
kehendak Tuhan, Hukum Tuhan. Kehendak itu mewujud dalam menaklukkan
mereka, merampas masjid mereka, perkumpulan, hadiah, kepercayaan,
derma dan ketaatan dalam menjalankan upacara keagamaan… Dan ini
adalah gelombang Syi’ah revolusioner, yakni Syi’ah Merah, yang selama tujuh
ratus tahun menyalakan ruh revolusi, mencari kebebasan dan keadilan,
berpihak kepada rakyat dan berani melawan berbagai tekanan, kemiskinan
dan kebodohan. Satu abad kemudian datanglah Dinasti Safawi, dan Syi’ah
telah )dipaksa) meninggalkan masjid besar milik bersama rakyat untuk
menjadi penghuni masjid istana raja. Syi’ah Merah berubah menjadi Syi’ah
Hitam! Agama Kesyahidan berubah menjadi agama berkabung.) <!--[if !
supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]-->

Menurut pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi,


Syi’isme )Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang menentang
seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti Dinasti Ummayah,
Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-
rezim ini menciptakan Islam Sunni versi mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah
Merah, seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum
yang tertindas dan pencari keadilan.

Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang
ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang
menjadikan tradisi menjadi penjara. Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama,
tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama
mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah,
bahwa di satu sisi, para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir
telah mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara di
sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan
generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata Syari’ati, “Islam sejati
tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah”.<!--[if !
supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]-->

Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah jenis
khusus Islam revolusioner.<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Tetapi entah
mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap
doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya
sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana
orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan
aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat
disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan
dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.

Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan


dengan gagasan tentang teologi pembebasan )theology of liberation) yang banyak
diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar
pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama,
yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan )ulama, gereja) yang
posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril
umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan
tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk
melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan
teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi
agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga
doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada
kepentingan rakyat.

Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan


adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang
sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan
atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-
an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit
keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat
yang berbasis keagamaan.<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]-->

Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan


menyertakan di dalamnya suatu doktri keagamaan yang benar-benar masuk akal,
Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap
perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah
membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan.
Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras
terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan
menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-
musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan
terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap
teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama
agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari
filsafat Yunani Platonis.<!--[if !supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]-->

Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh
kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam
pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan
berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran
Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama
sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem
despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.

Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam
adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan
eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah.
Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya
yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam )Islamic society),
meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa
kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada
Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat
begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah
negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa
bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm )penindasan).<!--[if !supportFootnotes]--
>[11]<!--[endif]-->

Sayangnya, sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang


bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo. Islam
sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong kemapanan yang
sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang kaidah-kaidah ritual dan
menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at,
dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial
dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas
)mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn )orang yang kuat
dan sombong).

Seperti yang telah disebut di muka, Syari’ati “menuduh” ulama sebagai sumber
utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama,
Islam telah menjadi agama “orang mati” yang tidak berdaya melawan “orang-orang yang
serakah”. Dalam konteks Iran, ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan
revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara )din-i dewlati), yang
paling tinggi menekankan sikap kedermawanan )philanthropism), paternalisme,
pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain,
demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan
kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta. Karena ulama Syi’ah memperoleh
pemasuka dari Khams )sedekah) dari sahm-i Imâm )bagian dari zakat), mereka tak
terhindarkan lagi terkait kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar.
Sebagai respon terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen
dibandingkan dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar
pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.<!--[if !supportFootnotes]--
>[12]<!--[endif]-->

Syari’ati lebih jauh menilai, hubungan khusus ulama semacam itu telah
menjadikan mereka sebagai instrumen kelas-kelas berharta. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam dibiayai kaum berharta untuk mencegah ulama berbicara tentang
perlunya menyelamatkan kaum miskin. Sebaliknya, dengan menggunakan doktrin fikih
tentang ekonomi, ulama berusaha mengabsahkan ekploitasi, yang menurutnya bahkan
lebih ekploitatif dibandingkan dengan kapitalisme Amerika. Pada akhirnya, Islam telah
menjadi khordeh-i burzhuazi )burjuasi kecil). Dan, kaum mullah telah melakukan
perkawinan yang tidak suci )unholy marriage) dengan pedagang bazâr. Dalam
perkawinan ini, mullah menciptakan agama bagi pedagang, sementara pedagang
membuat dunia lebih menyenangkan bagi mullah.<!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--
[endif]-->

Tentu saja kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama
membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama
terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan
sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan
tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti
Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.<!--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]--> Dan
Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh
Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih
banyak ulama sumber panutan )marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan
Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka
mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan
Syari’ati.<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]-->

Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund,<!--[if !


supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]--> Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal.
Menurutnya, ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang
massa untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya
sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr )dihukum mati oleh pemerintah Republik
Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti al-Afghani
sebagai idolanya.<!--[if !supportFootnotes]-->[17]<!--[endif]--> Khomaeni tentu saja
cocok dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah
menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada
nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai
pemimpin besar.

Walaupun Ali Syari’ati tampak sebangun dengan Imam Khomeini dalam melihat
realitas politik Iran dan bagaimana faham Syi’ah berhadap-hadapan dengan faham
resmi yang dibanguh rezim, akan tetapi ada satu hal yang membedakan antara
keduanya, yaitu pada persoalan siapa yang akan menjadi lokomotif pembaharu atau
revolusi. Khomeini cenderung mengedepankan peran ulama formal )para mullah)
sedangkan Syari’ati pada kekuatan kelompok rausanfikr. Kelompok rausanfikr adalah
sekelompok orang yang melakukan pembaharuan di kalangan umat dengan menjadikan
faham Islam sebagai basis epistemologi dan aksiologisnya. Islam yang demikian itu,
kata Syari’ati, adalah “Islam protestan” yang bisa menjadi kekuatan sosio-kultural untuk
menghilangkan abad kegelapan dunia Islam dan menciptakan suatu abad
renaisance.<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->
Pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam secara konsisten berada dalam
aras Islam progresif dan revolusioner. Corak Islam yang demikian itu berangkat dari
faham bahwa dalam ajaran Islam, Tuhan telah menugaskan kepada manusia sebagai
khalîfah-Nya di muka bumi. Khalîfah dalam hal ini adalah pemangku tugas pembaharu
dan selalu memimpin dunia dengan keadilan dan kearifannya. Jika ditemukan dalam
penggalan sejarah manusia-manusia serakah yang aksinya menindas dan memperkosa
hak-hak manusia lain, maka menjadi tugas khalîfah untuk menyingkirkan jenis manusia
itu dari muka bumi. Khalîfah haruslah dalam posisi pro-aktif memperjuangkan prinsip-
prinsip keadilan, bukan manusia pasrah yang selalu menerima nasib secara taken for
granted. Demikianlah yang dapat dikategorikan sebagai ajaran Islam progresif
sebagaimana yang digagas oleh Ali Syari’ati.

Kata kunci progresifitas Islam adalah peran aktif dalam sejarah kemanusiaan.
Islam bukan agama pasrah yang hanya berfikir tentang kehidupan akherat dan tidak
melibatkan diri dalam dinamika sejarah sosial-politik manusia. Bentuk ajaran agama
yang demikian ini yang telah melahirkan banyak kritik dari Karl Marx, sang revolusioner
yang telah dituduh anti agama. Agama pasrah ini adalah agama candu yang akan
melanggengkan segala bentuk kesewenang-wenangan dan penindasan. Dalam posisi
ini, kata Marx, mereka yang tertindas akan dihibur oleh ajaran yang mengatakan bahwa
penderitaan itu adalah taqdir Tuhan dan pahala mereka adalah surga.<!--[if !
supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]--> Dan Syari’ati sangat setuju dengan pandangan
Marx itu, khususnya dalam aspek bagaimana bentuk-bentuk penindasan itu tidak
dilanggengkan oleh ajaran agama. Jika ini yang terjadi, maka Syari’ati pun akan senada
dengan Marx, bahwa agama adalah candu )opium).

Bagi Syari’ati, Islam harus diekspresikan dalam tindakan. Hal ini dimulai dari
menghidupkan kembali realitas abadi yang dipelajari kaum Syi’ah untuk memahami
hakekat kehidupan. Teladan Imam Husein di padang Karbala harus menjadi inspirasi
bagi semua umat yang tertindas dan terasingkan di dunia ini. Jika kaum Syi’ah
mengikuti teladan Imam Husein dan memimpin semua bangsa di Dunia Ketiga dalam
kampanye melawan tirani, mereka dapat mendorong Imam yang selama ini gha’ib dapat
hadir kembali.<!--[if !supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]-->

Syi’ah, kata Syari’ati, harus dihidupkan kembali. Seperti telah dikemukakan di


muka, Syi’ah Ali dan Husein yang asli telah dihapus oleh apa yang Syari’ati sebut
“Syi’ah Safavi”. Suatu keimanan yang aktif dan dinamis telah dirubah menjadi masalah
pribadi yang pasif, padahal menghilangnya Imam Gha’ib berarti bahwa misi Nabi dan
para Imam sebenarnya dilanjutkan oleh umat. Karena itu, masa kegha’iban adalah masa
demokrasi. Orang awam tidak boleh lagi menghamba kepada para mujtahîd dan
dipaksa meniru )taqlîd) perilaku keagamaan mereka, seperti yang dikehendaki oleh
Syi’ah Safavi.Setiap Muslim harus tunduk kepada Tuhan semata, demikian penegasan
Syari’ati, dan mempertanggungjawabkan kehidupannya sendiri. Selain ini adalah
musyrik dan menyimpang dari Islam, mengubah ketaatan kepada Tuhan menjadi
ketaatan tanpa jiwa kepada peraturan-peraturan. Rakyat harus memilih pemimpin
mereka sendiri; mereka harus dimintai pendapatnya, sesuai dengan ajaran syûra.
Kekuasaan ulama harus diakhiri, dan sebagai gantinya, kata Syari’ati, “kaum intelektual
tercerahkan” )rausanfikr) menjadi pemimpin umat yang baru.<!--[if !supportFootnotes]--
>[21]<!--[endif]--> Untuk pernyataan yang terakhir inilah, Syari’ati berbeda pandangan
secara mendasar dengan Imam Khomeini dimana Khomeini lebih menekankan
kepemimpinan ideal ada di tangan ulama.

Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya.
Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata “politik” berasal
dari bahasa Yunani “polis” )kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi
padanan kata Islamnya adalah “siyasah”, yang secara harfiyah berarti “menjinakkan
seokor kuda liar,”, suatu proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk
memunculkan kesempurnaan yang inheren.<!--[if !supportFootnotes]-->[22]<!--[endif]-->

<!--[if !supportFootnotes]-->

<!--[endif]-->

<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]--> Dalam istilah al-Qur’an, istid’âf


bukan berarti “kelemahan atau keputusasaan”. Itu merupakan kata jadian yang sama
dengan istibdâd (despotisme), isti’mâr (kolonialisme), istismâr (eksploitasi), dan
seterusnya. Dalam kenyatannya, yang terakhir itu merupakan bentuk-bentuk istid’âf
(penindasan) yang telah terjadi di berbagai masa sejarah. Setiap kali rakyat dibiarkan
lemah secara ekonomis (eksploitasi), politis (despotisme), nasionalis (kolonialisme), dan
kultural (pelumpuhan), entah di dalam satu bidang ini atau gabungan beberapa
diantaranya, maka terjadilah istid’âf dan korban-korbannya dinamakan mustad’afîn (yang
tertindas). Lihat Ali Syari’ati, What Is To Be Done: The Enlightened and Thinkers and
Islamic Renaisance, terj. Farhang Rajaee (Houston: IRIS, 1986), hlm. 1-2

<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, “And Once Again


Abu-Dhar”, dalam
http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/once_again_abu_dhar7.php,
diakses tanggal 22 Pebruari 2006

<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]--> Dikutip dari Azyumardi Azra,


“Akar-Akar Ideologis Revolusi Iran: Filsafat Pergerakan Ali Syari’ati”, dalam Azyumardi
Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-
Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.77

<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> Dikutip dari Muhammad Nafis,


“Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh
Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati
dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999), hlm. 61

<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Lihat Azra, “Akar-Akar


Ideologis…”, hlm.77-78

<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Ali Syari’ati, “Red Shi’ism (the


religion of martyrdom) vs. Black Shi’ism (the religion of mourning)”, dalam
http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/red_black_shiism.php, diakses
tanggal 20 Pebruari 2006

<!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> Syari’ati, What Is to Be Done,


hlm. 21
<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Robert D. Lee, “Ali Shari’ati”,
dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj.
Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 140

<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]--> Michael Lowy, Teologi


Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 27

<!--[if !supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]--> Wahono Nitiprawiro, Teologi


Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: LkiS, 2000),
hlm. 23-25

<!--[if !supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> Asghar Ali Engineer, Islam dan


Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III,
hlm. 7

<!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]--> Lihat Azra, “Akar-Akar


Ideologis…”, hlm. 79

<!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--[endif]--> Ibid., hlm. 80

<!--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]--> Abdulaziz Sachedina, “Ali


Syari’ati: Ideologue of the Iranian Revolution”, dalam John L. Esposito (ed.), Voices of
Resurgent Islam (New York, Oxford: Oxford University Press, 1983), hlm. 207;
bandingkan dengan Shahrough Akhavi, “Shari’ati’s Social Thought”, dalam Nikki R.
Keddie (ed.), Religion and Politics in Iran (New Haven: Yale University Press, 1983),
hlm. 45

<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]--> Lihat Ali Rahnema, “Ali


Syari’ati: Guru, Penceramah, Pemberontak”, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis
Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 234.
<!--[if !supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]--> Akhund adalah sebuah istilah
pejoratif untuk menyebut ulama yang berpengetahuan dangkal.

<!--[if !supportFootnotes]-->[17]<!--[endif]--> Lihat Azra, “Akar-Akar


Ideologis…,” hlm. 82

<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]--> Lihat Mungol Buyat, “Islam in


Pahlevi and Post-Pahlevi Iran; A Cultural Revolution?”, dalam John L. Esposito (ed.),
Islam and Development (New York: Syracuse University Press, 1980), hlm. 161

<!--[if !supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]--> Lihat Ian Adams, Ideologi


Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, terj. Ali Noerzaman
(Yogyakarta: CV. Qalam, 2004), hlm. 243

<!--[if !supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]--> Lihat Karen Armstrong, The


Battle For God (New York: Alfred A. Knopf, 2000), hlm. 401-402

<!--[if !supportFootnotes]-->[21]<!--[endif]--> Lihat Akhavi, “Shari’ati’s Social


Thought”, hlm. 132

<!--[if !supportFootnotes]-->[22]<!--[endif]--> Lihat Michael J. Fischer, Iran:


From Religious Dispute to Revolution (Cambridge, Mass, London: Cambridge University
Press, 1990), hlm. 154-155

2 Tanggapan

Ditulis dalam Pemikiran Islam

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 14, 2007

Dakwah Kultural
DAKWAH BERBASIS BUDAYA LOKAL : DAKWAH ALTERNATIF UNTUK
MEMBUMIKAN AJARAN ISLAM*)

Oleh : Anjar Nugroho

Sebagai sebuah kenyatan sejarah, begitu kata Kuntowijioyo, agama dan


kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan
simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan.
Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di
dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama
memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama
adalah sesuatu yang final, universal, abadi )parennial) dan tidak mengenal
perubahan )absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan
temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama
pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan
mendapat tempat.

Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi
atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan
Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga
kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang
simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah
)mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik
)fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau
dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan
Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah,
masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan
tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.

Interaksi Islam dengan budaya lokal

Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara


begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol
Islami )misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan
)untuk memahami nilai-nilai Islam).

Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya


menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih
toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang
masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala
Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang
ada di Timur Tengah )Arab), tempat lahirnya agama Islam.

Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam


kita dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam
kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih
ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka
dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak
dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita
rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa
tetapi isinya Islam.

Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa


bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas
menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat
ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad
Sobary )1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak
ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan
memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal
dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu
cenderung sufistik sifatnya.

Akan tetapi Kaitannya dengan ketegangan kreatif antara dakwah Islam


dengan budaya lokal, Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara
Muhammadiyah mengingatkan para pelaku dakwah sekarang ini )muballigh/da’i)
untuk pandai memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang hanya
sekadar budaya lokal. Metode dakwah al-Qur’an yang sangat menekankan “hik-
mah dan mau’idzah hasanah” adalah tegas-tegas menekankan pentingnya
“dialog intelektual”, “dialog budaya”, “dialog sosial” yang sejuk dan ramah
terhadap kultur dan struktur budaya setempat. Hal demkian menuntut
‘kesabaran’ yang prima serta membutuhkan waktu yang cukup lama, karena
dakwah ujung-ujungnya adalah merubah kebiasaan cara berfikir )habits of mind)
masyarakat.

Lalu akhir-akhir ini kita melihat, misalnya, teman-teman yang mempunyai


orientasi keagamaan Syiah juga menggunakan sumber daya budaya. Penulis
tidak tahu apakah Haddad Alwi itu mengikuti paham Syiah atau tidak, tapi kalau
saya lihat lagu-lagunya )misalnya lagu ana madinatul ‘ilm, wa-aliyyu babuha)
sungguh luar biasa. Itu merupakan representasi dakwah Syiah yang memakai
instrumen budaya dan hasilnya sangat efektif.

Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar
belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita
memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya.
Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu
mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam
budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai
hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan
Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah
yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.

Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya


menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna
subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya.
Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –
fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam
memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha
merumuskan hukum-hukum )nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala
)ideografik).

Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol


budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna
yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna )esensi),
simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.

Simbol Budaya dan Nilai Agama

Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten


maupun tahlilan. Semua pada level penampakannya )appearence) adalah
simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat
mengungkapkan makna ’subyektif’ )kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat
religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut
sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi
transeden dan imanen.

Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya
abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition
yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam
tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan
itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan
kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan
bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo
merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal
demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati
agamanya.

Hanya saja yanag perlu dikoreksi adalah bahwa simbol-simbol


)pengungkapan) tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut
logika berpikir, kata benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan
untuk kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan
menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu.

Dengan kata lain, yang bisa dibenarkan atau disalahkan adalah


pernyataan yang menyertai )kata benda tadi). Pendek kata, nyadran yang
bagaimana? Ruwahan yang bagaimana? Sebab ritus-ritus tersebut, sebagai
suatu simbol )pengungkapan) dapat direkayasa oleh pernyataan-pernyataan
yang menyertainya. Nah, kita dapat menilainya )benar atau salah) dari
pernyataan itu, bukan simbolnya. Memang itu tugas besar bagi pemikir maupun
tokoh-tokoh Islam kita sekarang. Orang zaman dahulu menciptakan simbol agar
perasaan kita tajam. Namun apa yang terjadi sekarang? Karena pengaruh
pemikiran Barat )baca: positivisme) kita menangkap semua itu dengan visi dan
paradigma positivisme. Sehingga makna yang tersembul dalam ritus-ritus itu
dipahami dengan kacamata fiqih ansich. Artinya, simbol-simbol budaya yang
hanya menjelaskan gejala, sering dihakimi supaya dapat menentukan hukum-
hukum halal haram. Jadi sedikit banyak jelas kurang tumbuh.

Namun justru dari sinilah ummat ditantang untuk terus meningkatkan daya
furqani. Dan runcingnya daya furqani itu hanya dapat dicapai oleh –seperti
diungkap Damarjati Supadjar– orang yang mampu pubadiri atau megat-ruh.
<!--[if gte vml 1]&gt; &lt;![endif]--><!--[if !
vml]--><!--[endif]-->

1 Tanggapan

Ditulis dalam Islam dan Budaya

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 14, 2007

Islam Liberal di Muhammadiyah

“ISLAM LIBERAL” DI MUHAMMADIYAH ?

Oleh : Anjar Nugroho

Ungkapan “Islam Liberal” mungkin terdengar kontradiksi dalam


peristilahan )contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat
mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan
Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam
tulisannya, “Mahomet, or Fanatism“. Islam juga disamakan dengan kezaliman,
seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai “Kezaliman Timur”, atau definisi yang
diberikan Francis Bacon “Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki
nilai-nilai sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni;
sebagaimana terjadi di Turki.”

Tema-tema di atas berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat


tentang Islam yang diidentifikasikan sebagai imaginasi-imaginasi terorisme, dan
gambaran teokrasi yang menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan
kebangkitan radikalisme Islam dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara menambah
kesan adanya perang dingin yang terlihat. Apalagi pasca tragedi WTC yang
dalang dan pelakunya diduga oleh Barat adalah kelompok radikal Islam )baca :
al-Qaeda). Juga dalam dunia akademik, umat Islam dianggap mencurahkan
perhatian kepada pemahaman keagamaan yang radikal. Hal itu terlihat pada
karya-karya akademik dengan judul yang meresahkan, seperti; Islam Radikal
)Radical Islam), Islam Militan )Militant Islam), dan Jihad )Sacred Rage).

Memang sebagian Muslim sepakat dengan para orientalis Barat bahwa


Islam belum diberi kesempatan untuk berubah. Itulah yang menyebabkan umat
Islam dihadapkan pada sebuah tantangan untuk memberikan tafsir kontekstual
terhadap berbagai persoalan. Namun, wacana tafsir kontekstual itu masih
menjadi perdebatan yang seru dikalangan umat Islam. Seorang Muslim Pakistan,
misalnya, pernah menulis: “Orang yang berpikir tentang reformasi atau
modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang
reformasi atau modernisasi Islam itu pasti akan gagal … Mengapa Islam harus
dimodernkan? Bukankah kemodernan Islam telah selesai, murni sempurna,
universal, serta berlaku setiap waktu?”

Islam Liberal memang tampak sangat kontroversial. Karena membahas


mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia
Islam dewasa ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan
dipengaruhi cara pandang orientalisme. Dengan demikian mudah mendatangkan
kecurigaan, jenis pemikiran ini bisa berakibat buruk terhadap kelangsungan
otentisitas ajaran Islam.

Sebenarnya tradisi–yang disebut sebagai Islam Liberal ini sangat


menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan
menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya
Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai
sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut “Liberal” yaitu: )1).
melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; )2).
mendukung gagasan demokrasi; )3). membela hak-hak perempuan; )4)
membela hak-hak non-Muslim; )5) membela kebebasan berpikir; )6) membela
gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu
dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.

Istilah Islam Liberal yang digunakan Charles kurzman jauh dari makna penyimpangan
secara radikal terhadap otentisitas ajaran Islam. Ia menggunakan secara “netral” – hanya
– sebagai instrumen untuk menunjukkan ada sekelompok intelektual Muslim yang
berusaha mengembangkan gagasan ke-Islaman yang bersifat toleran, terbuka dan
berkemajuan dalam menghadapi persoalan-persoalan global seperti demokrasi,
pluralisme, kesetaraan gender, dan modernisasi.

Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok


gagasan Islam Liberal, yang pada akhirnya nanti dikritik secara keras oleh kaum
konservatif Islam, khususnya dalam pandangan-pandangan mereka perihal:
Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan
akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga,
pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu
sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan
argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan;
dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan
non-Muslim.

Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang


jauh sampai di masa keemasan Islam )the golden age of Islam). Teologi rasional
Islam yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-
Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu
menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja
sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf
besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang
luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb )The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih
dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.
Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru
ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke
belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua
sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal–yang pada masanya sudah tidak ada
lagi–dan pemerintahan “sekular” yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn
Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem
hukum, yaitu syari’ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan
Mamluk (political expediency, natural equity).

Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap


keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-
ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu “jalan tengah”, yaitu suatu
sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara
intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma’ (konsensus) hanya ada dan terjadi
pada masa sahabat–oleh karena kesetiaan mereka kepada apa yang dikatakannya dan
diperbuatnya, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran
ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas
masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan
liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis.

Lalu, apakah wacana Islam Liberal bisa dikembangkan di Muhammadiyah? Dalam


pandangan penulis, wacana yang ditawarkan Islam Liberal dapat ditarik signifikansinya
dalam mengembangkan tradisi pemikiran yang produktif, kritis, dan konstruktif di
kalangan Muhamadiyah. Harus jujur diakui, meski telah memproklamirkan sebagai
gerakan modernis-substansialis di Indonesia, tetapi masih tampak kegagapan dan
kegamangan Muhammadiyah dalam mengaitkan doktrin agama dengan persoalan publik.
Seperti tampak secara jelas (sering) keterlambatannya dalam merespon persoalan-
persoalan politik, sosial, dan budaya yang berkembang begitu cepat. Bahkan ada
kecenderungan Angkatan Muda Muhammadiyah tengah mengembangkan wacana
intelaktual “formalisme Islam” (Muthohharun Jinnan, Kompas 29 Juni 2001), yang
tampak seperti gerakan “back to salaf”, dan gerakan jilbabisasi yang marak di kampus-
kampus Muhammadiyah.
Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang
cenderung memperluas demografi dan keanggotaan (Kuntowijoyo,1998). Aktivisme
tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan
apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua peran
Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented dan
tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan
perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtif-
probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari
pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT)
terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik
di kalangan para anggota Majlis Tarjih (Azhar, 2000)

Karena itu, Islam Liberal patut dipertimbangkan sebagai acuan paradigma dalam
mengembangkan pemikiran keislaman secara utuh dan mendalam di Muhammadiyah.
Wallahu a’lam

4 Tanggapan

Ditulis dalam Pemikiran Muhammadiyah

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 14, 2007

Islam dan Kebudayaan Lokal

GAGASAN PRIBUMISASI ISLAM :


MERETAS KETEGANGAN ISLAM DENGAN KEBUDAYAAN LOKAL

Oleh : Anjar Nugroho

ABSTRAK

Tulisan ini mengkaji dialektika antara agama dan kebudayaan. Agama


memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan
terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau
budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau
adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang
bersifat absolut. Untuk itu perlu adanya gagasan pribumisasi Islam, karena pribumisasi
Islam itu menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud
dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari
agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara
agama dan budaya.

Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut
dapat dilihat dalam perspektif sejarah agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu,
termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman
budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan
mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya.

Pendahuluan

Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling


mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang
melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan
simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol,
dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu
dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak
mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan
temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi,
tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat<!--[if !
supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]-->.

Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama
memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi
simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi
bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan
Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan
dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol agama<!--
[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]-->.

Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem
nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan.
Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat
sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan
struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.
Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam
masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan
filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).

Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara


pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan
kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama
memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak
tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji
memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu
mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan
kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal
dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam
menyikapi orang yang meninggal <!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]-->.
Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan
tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan
memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni
tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya
lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran
Ilahiyat yang bersifat absolut.

Epistemologi Pribumisasi Islam

Gagasan pribumisasi Islam, secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh


Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an. Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar
bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke
dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-
masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan
praktik keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses
mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar
budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya
perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu
tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari
polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak
terhindarkan<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]-->.

Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan,
melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya
yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini
memisahkan antara agama dan budaya.

Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang


sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari
‘Islam Otentik’ atau ‘Islam Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam
setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi
keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah
yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal,
melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai
Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas
yang terus berlanjut<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]-->.

Sebagai contoh dapat dilihat dari praktek ritual dalam budaya populer di
Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan
antara Islam dan budaya lokal yang cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat,
sebagai salah satunya, dimaksudkan agar manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia.
Sehingga berangkan dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran,
perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan
hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia
sebagai makhluq yang mulia<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]-->.

‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan tiga hal.
Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai
ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan
wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan
mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘Islam
Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman
terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai
pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ memiliki
karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab
problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan
etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial
masyarakat yang selalu berubah.

Dalam konteks inilah, ‘Islam Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme,


otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal
tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih
berideologi kultural yang tersebar (spread cultural ideology)<!--[if !supportFootnotes]--
>[7]<!--[endif]-->, yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi
kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga
dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh
paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya
perdamaian.

Otentisitas Islam Pribumi

Cuma permasalahanya apakah Islam pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam


perspektif doktrin Islam. Mengabsahan ini penting menyangkut sosialisasi dan
internalisasi Islam pribumi sebagai wacana pembebasan umat di kalangan umat Islam
sendiri. Kelompok puritan Islam telah menuduh Islam pribumi sebagai sebagai
pengejawantahan dari praktek bid’ah yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih
lanjut kelompok ini berkeyakinan ahli bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah
Islam Jawa telah direkam bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam
memberangus praktek sufime yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.

Ambillah contoh misalnya tentang konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang
raja dari Demak. Seperti diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang
mempunyai kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering
menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris resmi
Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia meremehkan
hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah penguasa kerajaan
Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk memadamkan pengaruh mistik,
sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu menyebabkan orang menjadi
individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.

Demikianlah, akhirnya Demak menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara


membakar hidup-hidup (meskipun pada akhirnya konon dia tidak mati) yang
melambangkan disirnakannya sufisme dan mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at
demi ketertiban negara. Walaupun Kuntowijoyo<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--
[endif]--> menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama
antara keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang
yang dicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktor
kekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yang diusung ke
dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quo kekuasaan, maka
ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itu membahayakan
kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangan sosial, maka ajaran
tersebut diberangus secepatnya.

Klaim-klaim yang dilontarkan kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter


discourse untuk sebuah agenda dialog terbuka yang membuka peluang adanya new
paradigm masing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan
mempunyai pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yang
komprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampai kapanpun,
akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam pandangan Mark
R. Woodward<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]--> tidak akan mungkin terjadi.
Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watak al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang
lainnya, untuk berbicara secara komprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika,
ritual, dan aspek-aspek keagamaan lainnya.

Sistem-sistem doktrinal, begitu kata Mark R. Woodward selanjutnya, yang


komprehensif hanya bisa muncul melalui penafsiran. Teologi dan hukum Islam
didasarkan pada penafsiran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah
dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafat dan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at
semikanonik <!--[if !supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]-->.

Hadis dan syari’at termasuk aspek doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
Fazlur Rahman,<!--[if !supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> mendefinisikan hadis
sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya memberikan
informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau apa yang disetujui dan tidak
disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat menunukkan bahwa hadis berisi banyak
informasi mengenai praktek-sosial keagamaan komunitas Muslim awal, berapa
diantaranya dapat dilacak langsung ke Nabi<!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]--
>. Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip
al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk
praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk pernyataan-pernyataan
dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi inpvasi dan interpretasi
keagamaan.

Selain itu, hadis dikembangkan untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang
luas. Penting kaitannya dengan hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang
berbeda dengan mayoritas Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953)
bahwa salah satu dari tujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan
kedudukan-kedudukan teologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak
mengakui, proses “pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas
tanpa terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu,
sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dan temuan-
temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam kumpulan
semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an, merupakan inti Islam
“ortodok”.<!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--[endif]-->

Kemunculan literatur hadis memberikan contoh jernih peran penafsiran dan


simbolisasi dalam evolusi tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang
melaluinya prinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkan
tradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun dan
menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untuk
skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad). Hadis
menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama pemujaan (devotional
religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran penafsiran.

Sama halnya dengan peran penafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher<!--


[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]--> melihat bahwa perkembangan hukum
didorong sebagian besar oleh penaklukan Arab tas kawasan Byzantium dan Persia, dan
syari’at menggunakan yurisprudensi Romawi. Hukum Islam didasarkan pada empat
prinsip fundamental : (1) al-Qur’an, (2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4),
analogi (qiyas) (Rahman, 1979 : 68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip
fundamental dari al-Qur’an atau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk
semua segi tingkah laku keagamaan dan sosial.

Karakter syari’at bersama dengan penggunaan konsensus dan analogi sebagai


prinsip-prinsip penafsiran memunculkan perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh
terlepas dari tema sentral al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema
yang membebaskan “dari beban yang menyusahkan”.<!--[if !supportFootnotes]--
>[15]<!--[endif]--> Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan
diperhitungkan dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus
roh Jawa (javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungan dengan
keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwa bentuk
asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorong berkembangnya
sufisme.

Penjelasan panjang tersebut untuk menjawab klaim kelompok puritan bahwa


kelompok mereka yang paling otentik dalam mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari.
Otentisitas memang menjadi salah satu kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran
agama. Tetapi seringkali diabaikan di sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang
mempengaruhi pemikiran dan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis
dari ajaran agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama,
seolah-olah agama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis,
padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama sarat dengan
penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana ada dialektika dengan
struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di sini Islam Pribumi menemukan
keabsahannya.

Dakwah dan Tradisi Lokal

Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsi kebudayaan
lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah,
termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang
memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan
wilayah itu secara agama.

Kalangan ulama Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara


keIslaman dan keindonesiaan, sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai
dengan nilai Islam, karena Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau
idiologi apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat,
tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan
akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam ke dalam
struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti kebudayaan itu sendiri.

Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau
budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul
sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit
membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi
Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua
illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab
pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk
mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke
Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan
tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.<!--[if !
supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]-->

Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu
elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya
bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai
Islam).

Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya


menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran
terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk
“membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan
demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah
(Arab), tempat lahirnya agama Islam.

Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu,
memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat
yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di
Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan
Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam
racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang
dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.

Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa


bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas
menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang
gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32)
dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek
esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati.
Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi.
Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.<!--[if !supportFootnotes]-->[17]<!--
[endif]-->

Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut
dapat dilihat dalam perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu,
termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman
budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan
mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya.
Salah satu contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi
dengan ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh
Islam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan yang
lainnya.
Dialektika antara agama dan budaya lokal juga terjadi seperti dalam
penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau di Cirebon), dan hari raya atau lebaran
ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam
perspektif sejarah Islam Indonesia, upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan
para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara
penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam upacara sekaten.
Substansinya adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari
syahadatain) sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya Jawa

Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar
belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita
memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->
sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:
Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga,
bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi
dalam budaya.

Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan


antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya–
melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan
ekonomi, yakni modus produksi.

Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan


verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-
perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya,
bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan
hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui
usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala
(ideografik). <!--[if !supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]-->
Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya
yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini
lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal
makna masih sama.

Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun


tahlilan. Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol
pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna
’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari
pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak
diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.

Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika
ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya
merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya,
high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah
bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu
muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam.
Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak
dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati
agamanya.

CATATAN AKHIR

1 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001, hal. 196

2 Ibid., hal. 195

3 Lihat Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran


Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003
4 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta :
Desantara, 2001), hal. 111

5 Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam
Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14
tahun 2003, hal. 9-10

6 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991), hal.
235

7 Khamami Zada dkk., Islam Pribumi … hal. 12

8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam … hal. 232-233

9 Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,


(Yogyakarta : LKIS, 1999) hal. 90

10 Ibid., hl. 91

11 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979), hal. 54

12 Lihat Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton


University Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of
Chicago Press, 1979), hal. 43-64

13 Mark R. Woodward, Islam Jawa … hal. 91

14 Goldziher, Introduction to Islamic … hal. 45

15 Ibid., hal 55

16 Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”,
dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
17 Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli
2002

18 Kuntowijoyo, Paradigma Islam… hal 45

19 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid … hal. 110-111

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara,


2001)

Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam
Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002

Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)

Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University


Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of
Chicago Press, 1979)

Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin
24 Pebruari 2003

Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam
Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi
No. 14 tahun 2003

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991)

Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta :


LKIS, 1999)
Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli
2002

1 Tanggapan
Ditulis dalam Islam dan Budaya

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 11, 2007

Pandangan terhadap kaum homoseksual dan lesbian

“SIKAP KOMPREHENSIF ISLAM TERHADAP PERILAKU DAN ORGANISASI


KAUM GAY (HOMOSEKSUAL) DAN LESBIAN”

Oleh: Anjar Nugroho

1. Pendahuluan

Pada hari Ahad, tanggal 5 November 2006 berlangsung peristiwa yang menyentak
masyarakat Banyumas dan sekitarnya, yakni pendeklarasian perkumpulan kaum
homoseksual Banyumas yang diberi nama “Arus Pelangi”. Reaksi pun diberikan oleh
pelbagai organisasi Islam maupaun para tokoh Islam Banyumas. Mereka mengecam
peristiwa itu, dan nenolak dengan tegas keberadaan Arus Pelangi di wilayah Banyumas.
Dasar kecaman dan penolakan mereka terhadap Arus Pelangi adalah ketentuan normatif
al-Qur’an dan al-Hadis yang memang secara tersurat memuat larangan yang sangat tegas
terhadap perilaku homoseksual, bahkan al-hadis memberikan bentuk hukuman yang
cukup berat yakni hukuman mati terhadap orang yang berperilaku seks menyimpang
tersebut.

Larangan berperilaku seks menyimpang seperi homoseksual maupun lesbian adalah


ketentuan qath’i (tegas) dan muhkamat (jelas ketetapan hukumnya), sehingga tidak perlu
lagi ada penjelasan panjang lebar untuk masalah ini. Tetapi jika dilihat dari aspek sebab
musabab munculnya perilaku homoseksual/lesbian yang sangat kompleks, adalah tidak
bijaksana jika umat Islam hanya bisa mengecam para pelakunya tanpa bisa memberi
solusi berdasarkan sifat Islam yang rahmatan lil’alamin. Kaum Homo/lesbi adalah
bagian dari umat yang perlu mendapat perhatian dan pendampingan agar mereka dapat
membebaskan diri dari perilaku menyimpang itu, bukan malah menjauhi mereka bersama
persoalannya.

Untuk mencapai maksud itu, Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah
Kabupaten Banyumas telah mengadakan Diskusi Terbatas (Mujadalah) Tarjih dan Tajdid
yang khusus membahas masalah homoseksual bersama pakar medis dan psikologi. Pakar
medis dan psikologi ini dihadirkan agar pembahasannya bisa lebih komprehensif
(lengkap) dan solotif (menuntaskan masalah). Model mujadalah/kajian seperti ini (lintas
disiplin ilmu) akan terus ditradisikan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid agar persoalan-
persoalan umat yang direspon dapat dicarikan jalan keluar dengan sebaik-baiknya.

2. Sebab-Sebab Munculnya Homoseksual/Lesbian

Sebagaimana telah dirumuskan oleh para pakar, bahwa homoseksual (untuk sesama
perempuan disebut lesbian) adalah rasa tertarik secara perasaan (rasa kasih sayang,
hubungan emosional) dan atau secara erotik, baik secara lebih menonjol (predominan)
atau semata-mata (eksklusif), terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan
atau tanpa hubungan fisik (jasmaniah). Dari sudut pandang psiko-medis, homoseksual
saat ini tidak lagi dikategorikan sebagai suatu gangguan atau penyakit jiwa ataupun
sebagai suatu penyimpangan (deviasi) seksual. Karena homoseksualitas merupakan suatu
fenomena manifestasi seksual manusia, seperti juga heteroseksualitas (hubungan seks
antar jenis kelamin berbeda) atau biseksualitas (hubungan seks dengan sesama dan antar
jenis kemain berbeda).

Sudut pandang psiko-medis itu tentu berlawanan dengan sudut pandang agama yang
lebih melihat dari sisi moral dan fitrah kemanusiaan. Melakukan hubungan seks dengan
sejenis adalah perilaku yang tidak sesuai dengan fitrah manusia yang diciptakan Allah
berpasang-pasangan, dan pasangan itu adalah laki-laki dan perempuan, sebagaimana
Allah juga menggambarkan sepasang fenomena alam yaitu siang dan malam. Mungkin
yang dimaksud bukan penyimpangan seksual atau gangguan jiwa dalam sudut pandang
psiko-medis terhadap perilaku homoseksual/lesbian, adalah karena para pelaku
homoseksual/lesbian tidak merasa ada penyimpangan dan mereka menjalaninya dengan
wajar-wajar saja. Mereka adalah yang sudah merasa cocok dengan orientasi seksual
seperti itu yang dalam istilah psiko-medisnya dinamakan ego sintonik. Tetapi juga tidak
bisa dipungkiri bahwa sebagian yang melakukan praktik homoseksual/lesbian merasa
bahwa perbuatan tersebut menyimpang dan mereka pun berusaha untuk
meninggalkannya, yang disebut dengan ego distonik.

Dilihat dari jenis-jenis homoseksual/lesbian berdasarkan penyebabnya ada tiga; yaitu,


yang pertama, biogenik yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kelainan di otak atau
kelainan genetik. Jenis ini yang paling sulit untuk disembuhkan karena sudah melekat
dengan eksistensi hidupnya. Mereka sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk
menyukai orang lain yang sejenis, sehingga benar-benar ini di luar kontrol dan keinginan
sadar mereka. Kedua, psikogenetik yaitu homoseksual/lesbian yang disebabkan oleh
kesalahan dalam pola asuh atau mereka mengalami pengalaman dalam hidupnya yang
mempengaruhi orientasi seksualnya di kemudian hari. Kesalahan pola asuh yang
dimaksud adalah ketidak tegasan dalam mengorientasikan sejak dini kecenderungan
perilaku berdasarkan jenis kelamin. Dalam hal ini misalnya anak laki-laki tetapi
diberlakukan seperti anak perempuan dan begitu pula sebaliknya. Pengalaman yang dapat
membentuk perilaku homo/lesbi diantaranya adalah pengalaman pernah disodomi atau
waktu kecil orang itu melakukan coba-coba melakukan hubungan seks dengan temannya
yang sejenis. Pengalaman-pengalaman seperti ini berpengaruh cukup besar terhadap
orientasi seksual orang itu di kemudian hari. Ketiga, sosiogenetik yaitu orientasi seksual
yang dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. Kaum Nabi Luth yang homo adalah contoh
dalam sejarah umat manusia bagaimana faktor sosial-budaya homosexual oriented
mempengaruhi orang yang ada dalam lingkungan tersebut untuk berperilaku yang sama.

3. Homoseksual dalam Tinjauan al-Qur’an dan al-Hadis

Perilaku homoseksual disebut diantaranya dalam Q.S. al-A’raf/7 : 30-34; dan Q.S.
Hud/11 : 77-82, satu rangkaian dengan kisah Nabi Luth dan umatnya. Umat Nabi Luth
adalah sekelompok manusia yang mempraktikan homoseksual dalam kehidupan sehari-
hari. Dari fenomena itu, lantas Allah mengutus Nabi Luth untuk memberi peringatan
kepada umatnya atas perilaku mereka yang terkutuk tersebut, walaupun pada akhirrnya
umat Nabi Luth diadzab oleh Allah karena keengganan mereka menerima peringatan
Nabi Luth. Kisah itu (Q.S. al-A’raf/7 : 30-34) tertuang sebagai berikut:

َ‫ن الْعَالَمِي ن‬
َ ِ‫ن َأحَدٍ م‬
ْ ِ‫س َبقَكُمْ ِبهَا م‬
َ ‫شةَ مَا‬
َ ِ‫ن ا ْلفَاح‬
َ ‫ل ِلقَوْمِ هِ أَ َتأْتُو‬
َ ‫َولُوطًا إِ ْذ قَا‬
)( ‫ن‬
َ ‫ن ال ّرجَالَ شَهْ َوةً مِ نْ دُو نِ النّ سَاءِ َبلْ أَنُْت مْ قَ ْو مٌ مُ سْ ِرفُو‬
َ ‫() إِنّكُ ْم لَ َتأْتُو‬
ٌ‫ن قَرْيَتِكُ ْم إِنّهُ ْم أُنَا س‬
ْ ِ‫ن قَالُوا َأخْ ِرجُوهُ مْ م‬
ْ َ‫ن جَوَا بَ قَوْ ِم ِه إِل أ‬
َ ‫وَمَا كَا‬
‫ن () َوأَ ْمطَرْنَا‬
َ ‫ن الْغَابِرِي‬
َ ‫ن () َفأَ ْنجَيْنَا هُ َوأَ ْهلَ هُ إِل امْ َرأَتَ هُ كَانَ تْ ِم‬
َ ‫يَ َتطَهّرُو‬
)(َ‫ن عَاقِبَةُ الْ ُمجْرِمِين‬
َ ‫علَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَا‬
َ

Kemudian dalam Q.S. Hud/11 : 77-82, tertulis:


‫ل هَذَا يَوْ مٌ‬
‫سلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِ ْم َوضَا قَ بِهِ مْ ذَرْعًا َوقَا َ‬
‫َولَمّا جَاءَ تْ ُر ُ‬
‫ن ال سّيّئَاتِ‬
‫ن قَ ْبلُ كَانُوا يَعْ َملُو َ‬
‫ب () َوجَاءَ هُ قَوْ ُم هُ يُهْرَعُو نَ ِإلَ ْي هِ وَمِ ْ‬
‫عَ صِي ٌ‬
‫قَالَ يَا قَوْ ِم هَؤُلءِ بَنَاتِي هُنّ أَطْهَ ُر لَكُ ْم فَا ّتقُوا اللّ هَ وَل ُتخْزُونِي فِي‬
‫علِمْ تَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِ كَ مِ نْ‬
‫جلٌ َرشِي ٌد () قَالُوا َلقَدْ َ‬
‫ضَ ْيفِي َألَيْ سَ مِنْ ُك مْ َر ُ‬
‫ك لَتَ ْعلَ مُ مَا نُرِي ُد () قَالَ لَ ْو أَنّ لِي بِكُ ْم قُوّ ًة أَ ْو آوِي ِإلَى رُ ْك نٍ‬
‫حَقّ َوإِنّ َ‬
‫ك َفأَ سْرِ ِبأَ ْهلِ كَ ِبقِطْ عٍ‬
‫صلُوا ِإلَيْ َ‬
‫سلُ َربّ كَ لَ نْ يَ ِ‬
‫ط إِنّا ُر ُ‬
‫شَدِي ٍد () قَالُوا يَا لُو ُ‬
‫ن اللّ ْيلِ وَل َيلْ َتفِ تْ مِنْكُ مْ َأحَ ٌد إِل امْ َرأَتَ كَ إِّن هُ مُ صِيبُهَا مَا أَ صَابَهُ ْم إِنّ‬
‫ِم َ‬
‫ح َألَيْ سَ ال صّبْحُ ِبقَرِي بٍ () َفلَمّا جَاءَ أَمْرُنَا جَ َعلْنَا عَالِيَهَا‬
‫َموْعِدَهُ ُم ال صّبْ ُ‬
‫سجّيلٍ مَ ْنضُود ()ٍ‬
‫حجَارَةً ِمنْ ِ‬
‫علَيْهَا ِ‬
‫سَافِلَهَا َوأَمْطَرْنَا َ‬

‫‪Apa yang dilakukan oleh umat Nabi Luth itu, dalam perspektif Islam yang hanif,‬‬
‫‪bertentangan dengan fitrah kemanusiaan yang menyatakan bahwa masing-masing‬‬
‫‪manusia akan mendapatkan jodoh (pasangan)nya yang berbeda jenis. Ayat-ayat berikut‬‬
‫‪ini menyatakan ketentuan Allah (Sunnatullah) itu bahwa manusia diciptakan-Nya‬‬
‫‪bersama pasangannya:‬‬

‫‪Q.S. an-Nisa’/4 : 1:‬‬

‫جهَا َوبَثّ ِمنْ ُهمَا رِجَال كَثِيرًا‬


‫ق ِمنْهَا زَ ْو َ‬
‫حدَ ٍة َوخَلَ َ‬
‫ن نَفْسٍ وَا ِ‬
‫خلَ َقكُ ْم مِ ْ‬
‫س اتّقُوا َربّكُمُ اّلذِي َ‬
‫يَا َأّيهَا النّا ُ‬
‫ن عََل ْيكُمْ َرقِيبًا‬
‫ن بِهِ وَالرْحَامَ إِنّ اللّهَ كَا َ‬
‫َونِسَاءً وَاتّقُوا اللّهَ اّلذِي تَسَاءَلُو َ‬

‫‪Kemudian dalam Q.S. ar-Rum/30 : 21:‬‬

‫خلَ قَ لَكُ مْ مِ نْ أَ ْنفُ سِكُ ْم أَزْوَاجًا لِتَ سْ ُكنُوا ِإلَيْهَا َوجَ َعلَ بَيْنَكُ مْ‬
‫ن َ‬
‫ن آيَاتِ ِه أَ ْ‬
‫َومِ ْ‬
‫ت ِلقَوْمٍ يَ َتفَكّرُونَ‬
‫ن فِي َذِلكَ ليَا ٍ‬
‫َموَدّةً وَ َرحْمَ ًة إِ ّ‬
Juga dalam Q.S. Fathir/35 : 11 :

ْ‫طفَ ٍة ثُمّ جَ َعلَكُ مْ أَزْوَاجًا وَمَا َتحْ ِملُ ِم ن‬


ْ ‫خَلقَكُ مْ ِم نْ تُرَا بٍ ثُمّ مِ نْ ُن‬
َ ‫وَاللّ ُه‬
‫أُنْثَى وَل َتضَ ُع إِل بِ ِعلْمِ ِه وَمَا يُعَمّرُ مِ نْ مُعَمّرٍ وَل يُ ْنقَ صُ ِم نْ عُمُ ِر ِه إِل‬
ٌ‫علَى اللّهِ َيسِير‬
َ َ‫فِي كِتَابٍ إِنّ َذِلك‬

Pasangan (zauj, azwaj) yang dimaksud adalah lawan jenis, dalam arti laki-laki
pasangannya adalah perempuan, begitu pula sebaliknya. Ketentuan ini dinyatakan Allah
dalam Q.S. an-Najm/53 : 45 :

‫َوأَ ّنهُ خََلقَ الزّوْجَ ْينِ الذّ َكرَ وَالنْثَى‬

Juga dinyataka-Nya dalam Q.S. al-Hujarat/49 : 13 :

ِ‫ع ْندَ اللّ ه‬


ِ ْ‫شعُوبًا َو َقبَائِلَ ِل َتعَا َرفُوا إِنّ َأكْ َر َمكُ م‬
ُ ‫جعَ ْلنَاكُ ْم‬
َ َ‫يَا َأيّهَا النّا سُ إِنّا خَلَ ْقنَا ُك ْم مِ نْ َذكَرٍ وَُأنْثَى و‬
ٌ‫خبِير‬
َ ٌ‫َأ ْتقَاكُمْ إِنّ اللّ َه عَلِيم‬

Dzakar dan untsa menunjuk pada pengertian manusia yang berjenis kelamin laki-
laki (dzakar) dan perempuan (untsa), sehingga jelas bahwa pasangan (zauj) yang
dimaksud al-Qur’an adalah manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Sehingga orang yang mempasangkan dirinya dengan sesama jenis,
baik laki-laki dengan laki-laki (homoseksual) maupun perempuan dengan
perempuan (lesbian), maka tindakan tersebut bertentangan dengan fitrah
kemanusiaan. Kemudian secara jelas fitrah ini yang sejalan dengan sunnatullah
akan tetap berlangsung dan tidak akan terjadi perubahan sampai hari kiamat. Hal
ini dinyatakan Allah dalam Q.S. al-Fathir/35 : 43 :
َ‫سسنّة‬
ُ ‫ُونس إِل‬
َ ‫ل َينْظُر‬
ْ َ‫ِهس َفه‬
ِ ‫السسّيئُ إِل بِأَ ْهل‬
ّ ُ‫ِيقس ا ْل َمكْر‬
ُ ‫السسيّئِ وَل يَح‬
ّ َ‫ْضس َو َمكْر‬
ِ ‫اسسِت ْكبَارًا فِي الر‬
ْ
‫سنّةِ اللّ ِه تَحْوِيل‬
ُ ‫جدَ ِل‬
ِ َ‫ن ت‬
ْ َ‫سنّةِ اللّ ِه َتبْدِيل وَل‬
ُ ِ‫جدَ ل‬
ِ َ‫ن ت‬
ْ َ‫الوّلِينَ فَل‬

Islam secara tegas menyatakan bahwa perilaku homoseksual maupun lesbian adalah
bentuk perilaku seksual menyimpang bahkan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.
Hubungan seks dalam Islam tidak hanya sekadar untuk memuaskan hawa nafsu
(prokreasi), akan tetapi memiliki tujuan penting menyangkut kelangsungan kehidupan,
yaitu melanjutkan keturunan (reproduksi). Hubungan seks sejenis tidak mungkin akan
menghasilkan keturunan, sehingga hal ini tidak sejalan dengan tujuan hubungan seks
dalam Islam.

Karena penyimpangan itu, maka dalam Hadis Nabi terdapat beberapa Hadis yang
mengutuk dan memberi hukuman dengan tegas bagi orang yang melakukan
homoseksual/lesbian. Seperti dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan
Ibn Majah, melalaui Ibn Abbas Rasulullah bersabda:

‫من وجد تموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفعل والمفعول به‬

Juga dalam Hadis riwayat Abu Daud yang bersumber dari Sa’id Ibn Jubair dan Mujahid
dari Ibn Abbas tentang kasus seorang anak perawan yang kedapatan melakukan praktek
lesbian (‫)اللوطية‬, maka ia harus dihukum rajam.

4. Solusi Islam atas Kaum Homoseksual

Walaupun Islam secara tegas menyatakan bahwa perilaku homoseksual/lesbian


adalah terkutuk, akan tetapi adalah sangat tidak bijak jika para pelaku homo dan
lesbi tersebut tidak mendapat penanganan (pendampingan, advokasi) yang
memadai, yang memungkinkan mereka dapat meninggalkan perbuatannya itu.
Islam telah memproklamirkan diri sebagai rahmat bagi seluruh alam, sehingga
adalah wajar jika Islam tidak hanya tampil sebagai penghukum bagi orang yang
bersalah, tetapi yang lebih penting dari itu adalah bagaimana Islam mampu
memberi solusi atas berbagai persoalan yang dialami oleh umat, termasuk
persoalan homoseksual/lesbian

Sebagaimana telah disebut di muka, bahwa penyebab timbulnya homoseksual


beraneka macam. Ada karena faktor kelainan otak dan genetik maupun karena
faktor psikologi dan faktor lingkungan (kultural). Masing-masing penyebab itu
membutuhkan penanganan yang spesifik (khusus), sehingga pelaku secara
bertahap dapat disembuhkan dan kembali dapat menjalani kehidupan seksual
yang “normal”.

Dalam tradisi Islam dinyatakan bahwa setiap kesulitan (persoalan) pasti ada
kemudahan (jalan keluar) (‫سرًا‬
ْ ُ‫) َفإِنّ مَعَ ا ْل ُعسْ ِر ي‬, setiap aturan (hukum) selalu diikuti
dengan jalan keluar (‫و ِم ْنهَاجًا‬
َ ً‫عة‬
َ ْ‫جعَ ْلنَا ِم ْنكُمْم شِر‬
َ ‫ل‬
ّ ُ‫)َ ِلك‬, dan di setiap penyakit pasti
ada obatnya.

Seperti sudah dinyatakan di atas, bahwa memberi hukuman semata bagi pelaku
homo/lesbi tidak akan menyelesaikan masalah. Justru hal ini akan memunculkan
persoalan baru yaitu perasaan bersalah dan takut yang berlebih dari para pelaku
homo lesbi yang berakibat mereka terperosok dalam depresi mental yang akut
atau malah justru para pelaku homo/lesbi akan semakin mengokohkan
perilakunya dengan membentuk kelompok atau perkumpulan sebagai sarana
“curhat” bagi sesama orang-orang yang dicap “durhaka” terhadap agama. Untuk
mereka yang sudah membentuk dan melibatkan diri secara aktif dalam
perkumpulan/organisasi kaum homo/lesbi hanya akan mempersulit penanganan
terhadap mereka, karena mereka semakin menikmati (enjoy) dengan perbuatan
mereka.

Menangani secara khusus terhadap kasus homoseksual/lesbian adalah bagian dari


dakwah Islam yang harus dijalankan karena ini adalah perintah ajaran Islam.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. an-Nahl/16: 125 :

‫ح ْكمَةِ وَا ْلمَوْعِظَةِ الْحَسَمنَةِ وَجَادِ ْلهُمْم بِالّتِي هِيَم َأحْسَمنُ إِنّ َربّكَم هُوَ أَعْلَمُم بِمَنْم ضَلّ عَنْم‬
ِ ْ‫ادْعُم إِلَى سَمبِيلِ َربّكَم بِال‬
َ‫سبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَ ُم بِا ْل ُم ْه َتدِين‬
َ

Kaum homoseksual/lesbian dalam kapasitasnya sebagai obyek dakwah harus

ditangani secara penuh hikmah (ِ‫ح ْكمَة‬


ِ ‫بِا ْل‬ ) dan senantiasa diberi nasehat-nasehat
yang baik (ِ‫سنَة‬
َ َ‫ )وَا ْلمَوْعِظَةِ ا ْلح‬agar bisa kembali ke jalan Tuhan (َ‫سبِيلِ َرّبك‬
َ ‫)إِلَى‬.

Berdasarkan faktor penyebab munculnya homoseksual/lesbian, penanganan


terhadap mereka dibedakan dari yang karena faktor genetik, psikologis maupun
kultural. Bagi kaum homo/lesbi yang disebabkan oleh faktor genetik, perlu ada
usaha-usaha medis berupa terapi hormon yang kontinyu dan sistematis. Walaupun
upaya ini disebut kurang efektif, akan tetapi usaha itu tetap perlu sebagaimana
tertulis dalam qaidah ushul fiqh bahwa bahaya (penyakit) itu harus dihilangkan
(diobati) (‫)الظرر يزال‬.

Homoseksual karena faktor psikologis maupun kultural dapat disembuhkan


dengan terus-menerus melakukan pendampingan (advokasi) terhadap mereka.
Perlu ditumbuhkan dalam diri mereka perasaan bahwa mereka dalam kondisi sakit
(kesadaran sakit) sehingga kemudian muncul dalam diri mereka motivasi sembuh
yang kuat. Selanjutnya mereka perlu didampingi oleh psikolog maupun
rohaniawan untuk memantau dan terus memberi motivasi sembuh. Mereka, kaum
homo/lesbi itu, kalau perlu dikarantina secara khusus untuk menghindari kontak
sesama mereka yang akan berakibat pada munculnya kembali keinginan untuk
melakukan homoseksual/lesbian.

Keinginan para pelaku homo/lesbi untuk melampiaskan nafsunya perlu disalurkan


ke dalam kegiatan-kegiatan positif semacam kajian Islam atau diskusi maupun
kegiatan-kegiatan olahraga dan kegiatan lain yang positif. Tentu saja aktivitas ini
mendapat kontrol yang sitemik dan terpogram dalam satu paket dengan
penanganan komprehensif terhadap kaum homo/lesbi.

Sangat diharapkan peranan organisasi-organisasi Islam dalam penanganan terapi


psikoreligius semacam ini. Khusus untuk Muhammadiyah, dapat dibentuk tim
khusus yang melibatkan berbagai majlis dan lembaga terkait yang berada dalam
struktur Muhammadiyah untuk menangai secara serius kaum
homoseksual/lesbian. Data-data tentang mereka dapat dilacak di berbagai LSM
atau lembaga konseling yang selama ini concern terhadap eksistensi mereka.

5. Kesimpulan dan Saran

Hasil diskusi (mujadalah) terbatas Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah
Muhammadiyah Kab. Banyumas tentang perilaku homoseksual/lesbian ini pada akhirnya
dapat disimpulkan dalam beberapa hal sebagai berikut:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Perilaku homoseksual/lesbian


bertentangan dengan norma agama dan pelanggaran terhadap fitrah
kemanusiaan. Pelakunya dinyatakan sebagai orang yang menyimpang dari
kewajaran dan perlu mendapat penanganan secara serius agar tidak
menimbulkan penyakit sosial yang meresahkan.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Upaya-upaya Islami dengan hanya


mengecam atau menghukum atas tindakan kaum homo/lesbi adalah kurang
bijaksana, yang malah justru akan menjauhkan mereka dari seruan agama.
Semakin banyak yang mengecam mereka, hanya akan membuat solidaritas
diantara mereka semakin kuat, dan akan semakin sulit mereka untuk dapat
disembuhkan.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Islam melalui organisasasi-organisasi


Islam harus menampilkan diri sebagai pihak yang senantiasa selalu mencari
jalan keluar dari setiap persoalan umat, termasuk dalam hal ini adalah perilaku
homoseksual/lesbian. Upaya yang paling bijak dan solutif dalam menangani
masalah ini adalah dengan melakukan pendampingan psikoreligius secara
serius dan sistematis terhadap mereka.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Perlu dibentuk pusat-pusat rehabilitasi


kaum homoseksual/lesbian seperti pusat-pusat rehabilitasi narkoba yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam bekerja sama dengan pemerintah
dan pihak-pihak lain yang terkait. Mengapa ini dilakukan oleh organisasi-
organisasi Islam? Hal ini karena perilaku homoseksual/lesbian tidak
dinyatakan sebagai penyimpangan dalam sudut pandang medis, sehingga
jangan mengaharap pemerintah akan tampil sebagai pelopor dalam
merehabilitasi mereka.

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Sebisa mungkin dilakukan pencegahan


terhadap upaya-upaya kaum homoseksual/lesbian membentuk
kelompok/organisasi, karena hal ini membuat solidaritas mereka semakin kuat
dan mereka tampil semakin eksklusif sehingga lebih sulit untuk mendekati
dan menawarkan penyembuhan terhadap mereka.
28 Tanggapan

Ditulis dalam Hukum Islam

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 6, 2007

Teori Islam tentang Negara

TEORI ISLAM TENTANG DAULAH (NEGARA) :

PERSPEKTIF KOSERVATIF-TRADISIONAL DAN LIBERAL-


SEKULER

Oleh : Anjar Nugroho

I. PERPSEKTIF KONSERVATIF-TRADISIONAL

a. Pengertian Daulah

Kata daulah dalam Ensiklopedi Islam Islam berasal kata dasar dari dala-yadulu –daulah,
yang artinya bergilir, beredar, dan berputar. Secara istilah arti teoritisnya adalah
kelompok sosial yang mentap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu
pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka. Daulah dapat
diartikan negara, pemerintah, kerajaan atau dinasti.

Dalam Al Qur;an terdapat dua ayat yang menggunakan kata ini, keduanya dengan
arti bergilir dan beredar, yaitu dalam surah Ali Imran (3) ayat 140 yang artinya :”… Dan
masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan diantara kamu …” dan surat al-
Hasyr/59 : 7 : “… Dan supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang
kaya …”. Jimly Asshiddiqie, ahli hukum Indonesia, berpendapat bahwa dalam ayat
pertama terkandung muatan yang berkonotasi politik dan ayat terakhir muatannya lebih
berkonotasi ekonomi.

Kata daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada masa pra-Islam, karena tidak
ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Adapun istilah kesukuan “al-
banti” terus digunakan dalam Islam. Pada masa Abbasiyah kata daulah diartikan dengan
kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti.

Kata daulah juga bisa diberikan kepada penduduk dan anggota daulah. Pada akhir abad
ke-10 H, al-Husein, anak dari Wazir al-Qasim (al-Qasim bin al-Dajl) mendapat gelar wali
al-daulah (pelindung negara). Pada tahun 330 M/42 H, dari keluarga Hamdani (Bani
Hamdani yang ada di Jazirah), Hasan bin Hamdan dan Ali bin Hamdan, keduanya
penguasa di Mosul dan Suriah, diberi gelar Saif al-Daulah (pedang negara). Pemberian
gelar ini menunjukkan bahwa khalifah memberikan gelar penghormatan kepada
pendukungnya. Gelar daulah ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Bani Buwaihi (945
H/1086 M) di Spanyol, Gaznawi (Dinasti Turki yang menguasai Asia Tengah dan
beberapa wilayah di Asia Selatan dengan pusat pemerintahan di Gazna tahun 1008-1186
M), dan juga digunakan oleh Malik Tawaif (1011-1086) di Spanypl. Fatimiah (Dinasti
Syiah di Arrika Utara tahun 297-567 H/909-1171 M) kadang-kadang juga memberikan
gelar daulah kepada pejabat istana mereka.

Al-Kindi, filosof pertama Islam keturunan Arab (185-256 H/810-869 M),mengartikan


daulah dengan al-mulk (kerajaan). Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi, seorang
dokter pada masa Islam klasik (251-313 H/865-925 M), mengartikan daulah dengan
suksesi.

b. Dasar Hukum Terbentuknya Daulah

Para pakar politik Islam klasik menjadikan dasar hukum pembentukan daulah
dalam arti pemerintahan dalam firman-Nya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu)
apabila menerapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah Hama Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. al-Nisa’:58) dan “Hai
Orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di
antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar berian kepada allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(Q.S. al-Nisa : 59)

Para pakar politik Islam klasik (konservatif-trdisional) menjadikan kedua ayat ini sebagai
landasan terbentuknya daulah, karena kedua ayat itu mengandung unsur-unsur yang dapat
mewujudkan atau merealisasikan sasarn atau tujuan yang diinginkan terbentuknya suatu
daulah. Munawir Sjadzali, ahli fiqih siyasi Indonesia, berpendapat bahwa kedua ayat itu
mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara. Ia berpendapat bahwa ayat di atas menjelaskan bagaimana proses hubungan
yang komunikatif dan harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin dalam rangka
mencapai tujuan yang saling memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Rais (pemimpin),
sebagai pemegang amanah, dan mar’us (yang dipimpin) merupakan komponen yang
harus ada dalam pemerintahan suatu daulah. Pemimpin dan perangkatnya yang ada dalam
suatu daulah merupakan motor penggerak dan pelaksana jalannya roda pemerintahan.
Adapun mar’us harus mematuhi dan melaksanakan sistem dan aturan yang telah
digariskan atau diprogramkan oleh rais. Ayat pertama ditujukan kepada pengausa, agar
bertindak adil. Ayat kedua ditujukan kepada warga sipil, agar mematuhi Allah,
Rasulullah, dan ulil amri (penguasa).

Keharusan adanya pemimpin berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW :”Jika tiga
orang bepergian, hendaklan mereka menjadikan salah seorang diantara mereka sebagai
pemimpin” (HR. Abu Daud)

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa kemashlahatan dan keadilan tidak bias ditegakkan
tanpa adanya penguasa yang berwenang menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan
Sunah Rasulullah SAW. Hukum tidak bisa berjalan dengan baik tanpa didukung rakyat
yang memenuhi hukum. Harus ada kerjasama antara penguasa dan rakyat.Kemashlahatan
bisa berjalan dengan baik apabila telah terbentuk daulah.

c. Rukun Daulah

Menurut Imam al-Mawardi, rukun daulah adalah adanya rakyat, wilayah dan
pemerintahan. 1) Rakyat merupakan salah satu yang esensial begi terwujudnya daulah.
Rakyat merupakan gabungan individu yang berdomisili di wilayah daulah.Tidak semua
yang menetap di wilayah daulah dianggap sebagai warga. Daulah Islam membedakan
antara orang Islam dengan kaum Dzimmi (kaum non Muslim yang menetap dan mendapat
perlindungan di darul Islam). Kaum dzimmi yang bermukim di daerah Muslim diharuskan
membayar jizyah (pajak yang dipungut dari rakyat nonmuslim dalam negara Islam), yang
dengannya mereka terjamin memperoleh perlindungan dari negara (Q.S. 9:29). Pajak
tersebut juga merupakan pembenaran perlindungan perlindungan nyawa dan harta
mereka. Setelah itu baik daulah Islam maupun masyarakat Muslim tidak berhak
melanggar harta, kehormatan maupun kemerdekaan mereka. Mereka mendapatkan
perlindungan dalam kemashlahatan umum, seperti perdagangan dan industri.

Kaum Dzimmi terikat dengan hukum pidana yang sama dengan warga muslim. Demikian
juga dengan hukum perdata, harta kekayaan apapun bentuknya dan alat perdagangannya
yang dilarang bagi muslim juga terlarang bagi kaum dzimmi. Misalnya, riba terlarang
bagi kaum muslim juga bagi kaum dzimmi. Dalam hukum keluarga (perkawinan,
perceraian, danm warisan)mereka diperbolehkan memberlakukan hukum agama mereka,
seperti pernikahan tanpa saksi, tanpa penetapan mahar, dan sebagainya. Mereka juga
diberi kebebasan dalam mengadakan upacara keagamaan sesuai dengan agama mereka.

Menurut Imam al-Mawardi, penguasa boleh menugaskan kaum dzimmi dalam lembaga
eksekutif. Mereka tidak wajib berperang apabila peperangan itu dimaksudka untuk
membela Islam. Adapun warga Muslim yang telah memenuhi kriteria tertentu, misalnya
baligh, berakal, dan merdeka, mempunyai hak politik, hak memilih dan dipilih, dan wajib
ikut berperang membela Islam dalam peperangan.
2)Wilayah. Yang dimaksud wilayah di sini mencakup wilayah darat, laut, dan udara.
Untuk mewujudkan daulah, sekelompok orang harus menetap pada suartu wilayah
tertentu. Suku-suku yang sellau berpindah tempat tidak mempunyai wilayah sendiri, tidak
dianggap sebagai daulah. Sistem Islam membedakan antara darul Islam (daerah yang
berada di wilayah kekuasaan Islam) dan darul harbi (wilayah yang berada dalam
kekuasaan kaum kafir).

Di Samping itu terdapat darul Ahad (darul aman), yaitu suatu wilayah yang ditaklukkan
oleh kaum muslimin tetapi tidak dikuasai secara teritorial. Penaklukan wilayah ini
dilakukan secara damai dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam. Hanya saja antara
darul Islam dan mereka tidak diikat dalah suatu perjanjian damai.

3)Pemerintahan. Pemerintah merupakan unsur utama dalam pembentukan daulah. Ia


berkuasa menjalankan urusan daulah, mengurus organisasinya dan menangani urusan
rakyatnya. Dalama perkembangan sejarah Islam, para ahli politik Islam sepakat
menyatakan bahwa Rasulullah SAW telah emndirikan daulah Islam pertama Madinah di
tahun pertama hijriyah (622 M). Dengan terbentuknya komunitas muslim di Madinah,
maka Rasulullah sekaligus sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara. Pengukuhan
kekuasaan dinyatakan dalah konstitusi tertulis yang dikenal sebagai Piagam Madinah.
Dengan piagam ini Rasul mempunyai kekuasaan untuk menyatakan perang atau damai,
menyelesaikan konflik antar warga masyarakat, dan menentukan kebijakan menyangkut
masalah ekonomi, politik dan lain-lain.

Setelah Nabi Muhammad wafat, kekuasaan dan bentuk daulah mengalami


perkembangan. Julukan kepada kepala daulah mengalami perubahan, seperti dari khalifah
menjadi sulthan dan amir.

d. Syarat Daulah

Menurut Mahmud Hilmi, Guru Besar filsafat dan politik Islam di Universitas al-Azhar
(Mesir) dalam bukunya Nizam al-Hukm al-Islami, menyatakan syarat daulah adalah ; 1)
mempunyai pengairan yang memadai, 2) tersedia barang-barang kebutuhan pokok, 3)
tempatnya strategis dan udaranya bagus, 4) dekat dari daerah pemukiman, dan 5)
wilayahnya terpelihara dari gangguan musuh dan pengacau hingga rakyat merasa
terlindungi.

Selanjutnya ia menyatakan, apabila daulah telah berdiri, maka harus dipenuhi beberapa
faktior berikut : 1) pemerintah harus menyediakan air bersih dan memberi kemudahan
kepada rakyat untuk memperolehnya, 2) mendirikan tempat shalat di dekat pemukiman,
3) mendirikan pasar yang memungkinkan penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, 4)
membentengi daerah agar aman dari serbuan musuh, 5) mendatangkan para ilmuwan dan
para ahli yang sesuai dengan kebutuhan penduduk sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri.

e. Fungsi Daulah

Menurut Abu Ya’la Muhammad bin Husain al-Farra’ al-Hanbali (338-458 H; ahli fiqih
madzab Hanbali) dan Imam al-Mawardi, menyatakan ada beberapa fungsi daulah,
diantaranya sebagai berikut :

1. Memberi perlindungan dan keamanan, serta mempertahankan diri dari serangan


musuh.
2. Tugas yudikatif mencakup penegakkan hukum dan keadilan, sehingga orang
dhalim tidak bertindak sewenang-wenang dan orang yang teraniaya tidak
bertambah lemah, dan menegakkan hudud, agar larangan Allah SWT dapat
dilindungi dari pelanggaran sehingga hak dan kemashlahatan rakyat terpelihara.
3. Tugas keuangan, di antaranya menarik pajak dan sedekah yang diwajibkan syara’,
sehinga menurut nash maupun ijtihad dengan tidak memaksa.

II. PERSPEKTIF LIBERAL-SEKULARISTIK (ALI ABD AL-RAZIQ)

Untuk kepentingan diskusi ini, dieksplorasi sedikit pemikiran intelektual muslim yang
dikenal sebagai eksponen perspektif sekularistik tentang negara/kekuasaan. Dalam hal ini
adalah Ali Abd. Raziq, intelektual dan aktifis politik Muslim yang dikenal sebagai
eksponen pemikiran pemisah agama dan negara. Tokoh yang pernah diangkat sebagai
hakim syari’ah di Mesir (1915) ini menulis Al-Islam wa Ushulul al-Hukm: Bahtsun fi
al Khilafati wa al-Hukumati fi al-Islam- Islam dan sumber-sumber kekuasaan politik;
Kajian tentang Khilafah dan kekuasaan dalam Islam, diterbitkan pertama kali pada tahun
1925, yang berarti hanya berselang dua tahun setelah revolusi Kemalis yang menghapus
sistem khilafah Turki pada akhir 1923.

Dalam membangun tesis pemisahan antara agama dan politik, itu Raziq dalam hal
tertentu tampak dipengaruhi oleh pemikiran ibn Khaldun yang dikenal sebagai Bapak
Sosiologi dalam Islam maupun Barat modern. Raziq mengikuti Khaldun dalam pencarian
sumber kekuasaan dari sebab-sebab alamiyah dan bukan dari sebab-sebab ilahiyah. Oleh
karena itu Raziq, seperti juga Khaldun memberi penyediaan pintu masuk untuk menerima
kekuasaan raja atau kekuasaan secular dan bukan khilfah (kekuasaan atau rezim yang
memperoleh keabsahan ilahiah).

Kendati demikian harus dicatat bahwa Raziq jauh lebih berani melangkah, dalam
membangun tesis tentang kekuasaan. Menurut aktifis Hisb al-Ummah- organisasi yang
sesungguhnya tergolong radikal di Mesir, kekuasaan harus lepas dari khilafat dengan
mencari justifikasi kepada rakyat. Dalam kontek inilah Raziq menolak tesis Khldun yang
meminta penguasa non-khilafat tetap membangun moralitas ilahiyah. Pandangan seperti
ini menurut Raziq hanya menyebabkan bercapur aduknya justifkasi ilahiyah dengan
justifikasi rakyat.

Pada tingkat asumsi yang dibangun, Razik memang berbeda dengan Khaldun. Bagi Raziq
sumber legitimasi kekuasaan tidak bisa dicampur aduk antara legitimasi rakyat
(ascending of power) dengan yang datang dari Tuhan (descending of power). Tidak
seperti Raziq, ibn Khaldun memandang bahwa khilafah adalah rejim Qur’ani, sebuah
rezim politik yang mengurus kebutuhan manusia dunia dan akhirat, dijustifikasi
berdasarkan kalam ilahi. Walaupun menurut Khaldun rezim Qur’ani tersebut hendaknya
tidak menghapus atau menekan semua keinginan alami manusia dan institusi sosial,
karena ia merupakan basis sebuah rezim apapun, rezim politik maupun Qur’ani. Lebih
jauh dikatakan pula bahwa jika raja bertindak dengan ikhlas melayani kepentingan publik
atas nama Tuhan, dan mengajak mereka perlu dikecam dalam diri pengusaha profan
semacam ini.
Berakar dari asumsi atau pengandaian bahwa kekuasaan harus dicari sebab-sebab
alamiyah, Raziq membangun klaim hubungan agama dan politik melalui perspektif
sekularistik. Klaim tentang khilafat dan kekuasaan dalam Islam itu ia mulai dengan
mengajukan pertanyaan besar: (1) Apakah kekhalifahan memang diperlukan ? (2) Apakah
memang ada sistem pemerintahan yang Islami ? (3) Dari manakah sumber legitimasi
kekuasaan, dari atas (Tuhan) atau dari bawah (rakyat) ?

Pertanyaan ini muncul di tengah seting sosial saat itu yang ditandai dengan lemahnya
kekahlifahan dalam Islam, tetuama di kawasan Eropa Timur, yang kemudian memicu
ketegangan di kalangan aktifis politik Islam. Ketegangan atau konflik itu di Turki
berujung dengan pembubaran kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah) pada tahun 1923/1924
oleh pemerintah Turki di bawah kepemimpinan Kemal Ataturk. Pembubaran itu
dilakukan dengan alasan lembaga spiritual saat itu, khususnya lembaga keulamaan,
dinilai hanya mengabdi kepda kepentingan sultan/khalifah, menjustifikasi penguasa,
dalam hal ini khalifah, tanpa memperhatikan berbagai kelemahan yang dimilikinya.

Kekecewaan masyarakat terhadap sultan atau khalifah saat itu muncul di tengah
kekalahan mereka dari musuh yang antara lain berhasil menduduki Islamabad. Sultan
dipaksa untuk menerima perjanjian damai yang memalukan. Perjanjian itu merampas
kemerdekaan dan memecah belah wilyahnya. Umat Islam, terutama dipelopori Kemal
saat itu menolak penghinaan ini dan memerangi Sultan dengan kekuatan senjata,
sehingga menarik simpati seluruh dunia Islam. Rasyid Rida, editor majalah Al-Manar pun
pada saat itu berada dalam barisan penentang para Sultan yang dinilainya telah
mengedepankan kepentingannya sendiri daripada menjaga keutuhan dan khormatan
wilyah negerinya.

Di tengah melemahnya sistem khilafah antara lain karena disebabkan mengemukannya


kepentingan pribadi penguasa seperti itulah Raziq lalu membangun argumentasinya
tentang kekuasaan. Menurutnya masyarakat memang memerlukan kekuasaan politik,
namun tidak harus dalam bentuk tertentu. Bahkan umat pun tidak harus dipersatukan
secara politik. Tesis utama Raziq dapat dikemukakan sebagai berikut :
<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<!--[endif]-->

(1) Bahwa Nabi tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat
spiritual. (2) Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang
definitive. Karena itu umat Islam bebas memilih bentuk pemerintahan apapun
yang mereka rasakah cocok (3) Bahwa tipe-tipe pemerintah yang dibentuk
setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem itu
semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan
istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius. (4) Bahwa sistem ini telah
menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam, karena ia
digunakan untuk melegitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.

Pikirannya yang menyimpang dari mainstream intelektual Muslim di Mesir saat itu,
menyebabkan dia harus menanggung resiko di pecat dari jabatannya sebagai hakim
syariah oleh Majelis Ulama Tertinggi Mesir, dan Al-Azhar menanggalkan gelar alim dari
Raziq. Namun dalam mempertahankan argumennya, Raziq ketika diwawancarai
wartawan Bourse Egiptienne sesaat setelah Dewan Ulama Pusat Mesir melancarkan
kecaman terhadap dirinya, ia menyatakan gagasan utama dalam buku saya, yang telah
membuat saya banyak dikecam, adalah bahwa Islam tidak menetapkan bentuk Rezim
atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut persyaratan yang dibuat oleh
sistem itu sendiri. Islam justru memberi kita kebebasan untuk membentuk negara sesuai
dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di sekeliling kita, dengan
mempertimbangkan sosial dan tuntutan jaman.

Pemikiran Raziq jelas merupakan kritik, di satu pihak terhadap pemikiran differensionis
Ibn Khaldun di satu pihak, dan terutama adalah kritik kepada para pemikir Islam
perspektif organik. Raziq tidak sependapat dengan pemikiran organik yang dianut oleh
mayoritas Muslim saat itu. Dalam tipologi kekuasan organik, penguasa atas nama negara
memberikan dukungan dan akomodasi terhadap negara. Simbol-simbol agama akan
dikenakan dalam acara-acara resmi maupun tidak resmi dan bahkan dalam sistem negara
teokratik, penggunaan symbol-simbol agama itu dilakukan secara institusional dan
formalistik. Dalam kajian Islam, diskusi hubungan agama dan kekuasaan atau politik
organis, memunculkan klaim tidak ada pemisahan antara agama dan politik, sehingga
kekuasan bukan sekedar representasi, tetapi adalah presentasi dari agama. Di sinilah
Raziq berbeda paham dengan para penganut Islam formalistik seperti Sayyid Qutb, Rida
maupun Al-Maududi.

Menurut Raziq, persyaratan yang dibangun untuk menjustifikasi penyatuan agama dan
politik dalam Islam didasarkan kepada teradisi pemikiran skripturalistik, idealistik dan
formalistik dalam memahami teks doktrinal agama (Woodward, 1998 : 283-311). Dalam
pemikiran skpritualistik pemahaman agama dilakukan secara tekstual. Pemikir seperti
Sayyid Qutb, misalnya mengartikan secara harfiah ayat Al-qur’an : “Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir”. (QS. 5:44,45,47)

Ayat ini dfahami sebagai perintah menjalankan pemerintahan illahi dalam lembaga
formal sehingga lalu memunculkan konsep negara teokratis, dengan simbol-simbol
kekuasaan bersumber dari Islam. Dengan demikian dalam memahami kekuasaan,
penganut perpsektif skripturalis cenderung berangkat dari asumsi descending of power,
dalam hal ini legitimasi penguasa berasal dari Tuhan, dan dengan demikian penguasa
tidak lain adalah representasi dari kekuasaanNya yang dari sini lalu muncul pemerintahan
teokratis.

Pemikiran skripturalistik sering menampilkan kecenderungan bertindak secara idealistik


dengan melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-
nilai Islam ideal. Tokoh seperti Al-Farabi dan filosof Ikhwan al-Shafa, misalnya
mengajukan negara ideal yang disebut al-madinah al-fadilah (negara utama). Karena
konsepsi ini bercorak filosof, maka cenderung a-historis. Mengenai sikapnya terhadap
penyelenggaraan politik pemerintahan, maka kaum idealis cenderung tidak realis dalam
menghadapi format politik dan kenegaraan yang ada. Pandangan idealis ini kemudian
lebih cenderung berorientasi formalistik, sebuah pemikiran yang lebih mengedepankan
bentuk (body) dari pada isi (mind). Mereka tidak terusik dengan kenyataan bahwa bisa
saja kekuasaan mengendalikan body, meski tidak otomatis dapat mengendalikan mind.
Dalam hal politik penyelenggaraan pemerintahan, negara dipandang sebagai simbol
agama, sehingga perlu politik yang Islami, antara lain dengan membentuk negara Islam
atau Partai Islam.

Sikap idealis dan tidak realistik, di tambah dengan kecenderungan untuk melakukan
formalisme ajaran tersebut memicu ketidak sabaran sejumlah pegerakan kebangkitan
Islam seperti kelompok Al-Jamaah al-Islamiyah maupun gerakan Jihad untuk merespon
pemerintahan Mesir yang cenderung secular secara radikal, berbeda dengan strategi yang
diterapkan Iskhwanul Muslimin yang cenderung lebih moderat.

Dalam membangun tesis pemisah agama dan politik Raziq, menghidarkan diri dari
pemikiran skriptualistik, idealistik maupun formalistik. Raziq menegaskan bahwa tidak
ada rujukan yang dapat dipakai di dalam al-Qur’an maupun Hadits untuk membuktikan
adanya persyaratan menggerakan sistem kekhalifahan. Peraturan tentang kekuasaan
politik, politheisme, perbudakaan atau tentang apapun tidak lantas menjadi wajib hanya
karena dibahas dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an yang sangat terkenal, “patuhlah
kepada Allah, Rasul dan ulil amri, “ tidak dengan serta merta merujuk kepada penguasa
politik baru manapun.

Dengan mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, Raziq menyatakan
bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau “ulama’ Oleh karena
itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah.
Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun pemimpin politik. Ia menyatakan :

Muhammad hanyalah seorang utusan (Allah). Ia betul-betul mengabdikan dirinya


bagi dakwah agama tanpa kecenderungan yang menyangkut kedaulatan yang
sementara sifatnya, karena ia tidak menyerukan bagi sesuatu yang berkaitan
dengan pemerintahan…. Nabi tidak memiliki kerajaan ataupun pemerintahan
yang sifatnya temporal. Ia tidak mendirikan kerajaan dalam pengeritan politik
atau apa pun yang sinomim dengannya;…. Ia hanyalah seorang Nabi, seperti
Nabi-nabi yang lain yang mendahuluinya. Ia bukanlah raja atau pun pembangun
negara, Ia juga tidak menyerukan bagi dibangunnya imperium temporal (al-Raziq,
2001 : 133).

REFERENSI:

Dahlan, Abdul Azis dkk., (ed)., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van
Hoevee, cet. IV, 2000

Al-Raziq, Ali Abd., 1966, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Beirut : Maktabah al-hayah.

‘Imara, Muhammad, 1972, al-Islam wa Ushul al hukm li ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Beirut : Dar
al-Fikr.

Effendy, Bachtiar, 1998, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina

Al-Maududi, Abu al-A’la, Khalifah dan Kerajaan, Evaluasi atas Sejarah Pemerintahan,
Bandung : Mizan, 1984

Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibn Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah,
Beirut : Dar al-Fikr, 1966

You might also like