Professional Documents
Culture Documents
Masdar menilai, inilah hadis yang selama ini dijadikan pegangan untuk
melarang perempuan tampil sebagi pemimpin masyarakat, mulai dari lembaga
kemasyarakatan sejenis yayasan, ormas )kecuali yang berstatus underbow)
sampai dengan kepemimpinan politik, khususnya kepemimpinan negara )al-
imâmah al-uzma).3)
4. Mustafa Muhammad Imarah dalam catatan pinggirrnya terhadap kitab Jawahir
al-Bukharî, mengklaim larangan kepemimpinan perempuan itu sebagai
pendirian jumhur ulama kecuali al-Tabari dan Abu Hanîfah untuk bidang-
bidang tertentu.4)
9)
علَى
َ ٍن آمَنُوا كُونُوا قَوّامِينَ لِّ شُهَدَاءَ بِا ْلقِسْطِ وَل َيجْرِمَنّكُمْ شَنَآنُ قَوْم
َ يَا أَيّهَا الّذِي
َلّ خَبِيرٌ ِبمَا تَعْ َملُون
َ لّ إِنّ ا
َ قْوَى وَا ّتقُوا ا0َّب لِلت
ُ َع ِدلُوا ُه َو َأقْر
ْ أَل تَعْ ِدلُوا ا
10)
وَالْمُؤْمِنُونَن وَالْمُؤْمِنَاتُن بَ ْعضُهُمْن أَ ْولِيَاءُ بَعْضٍن َيأْمُرُونَن بِالْمَعْرُوفِن وَيَنْ َهوْنَن عَنِن
ُن الزّكَاةَ وَيُطِيعُونَ الَّ وَ َرسُولَ ُه أُولَ ِئكَ سَيَ ْرحَمُهُم
َ ن الصّلةَ وَ ُيؤْتُو
َ الْمُنْكَرِ وَ ُيقِيمُو
ٌلّ إِنّ الَّ عَزِي ٌز حَكِيم
ُ ا
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Qurtubi, Al-Jamî’ lî Ahkâm al-
Qur’an, Kairo : Dâr Al-Katib Al- Arabi, 1967
Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Alih bahasa oleh The
Forgentten Queens of Islam, Bandung : Mizan, 1994
<!--[if !supportFootnotes]-->
<!--[endif]-->
1) An-Nisa’ (4) : 34
2) Faiqoh, “Kepemimpinan Perempuan dalam Teks-Teks Ajaran Agama dalam Perspektif Pemikiran
Konservatif”, dalam Tim Editor PSW UII, kumpulan makalah seminar Penguatan Peran Politik
Perempuan, Pendekatan Fiqih Perempuan, (Yogyakarta : Lembaga Penelitian UII, 1998), hlm. 43-44
4) Mustafa Muhammad Imârah, Jawâhir al-Bukhârî, (Surabaya : Penerbit Al-Hidayah, tt.) hlm. 367
5) Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Qurtubi, Al-Jamî’ lî Ahkâm al-Qur’an, (Kairo : Dâr
Al-Katib Al- Arabi, 1967), V : 169
10) Al-Mâidah ( 5) : 8
11) M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
cet. XVIII (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 272 - 273
2 Tanggapan
<!--[endif]-->
A. Pengantar
Penulisan buku ini dilatar belakangi oleh fenomena di kalangan umat Islam yang
menempatkan bermadzab dengan berijtihad pada posisi yang dikotomis.
Sekelompok orang atau ulama yang tergolong bermadzab seolah tidak
menyentuh praktik ijtihad. Sebaliknya, sekelompok orang atau ulama yang
mengklaim dirinya sebagai pendukung ijtihad, seolah tidak pernah
mempraktikkan model bermadzab )mengikuti ulama lain, taqlid atau ittiba’).
Kelompok bermadzab dianggap sebagai pengikut masa lalu yang tidak
menyentuk masalah kekinian. Sebaliknya, kelompok pendukung ijtihad dianggap
a-historis karena mengabaikan khasanah pemikiran masa lalu. Untuk itu menurut
penulis buku ini, adalah sangat penting untuk melakukan kajian kritis dalam
rangka mengadakan redifinisi untuk keduanya )bermadzab dan berijtihad)
Penulis buku ini adalah Guru Besar Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang. Meraih gelar megister dan Ph.D-nya di University of Chicago,
Amerika Serikat dalam bidang Islamic Studies dan sempat menjadi dosen tamu
di McGill University, Montreal, Canada. Dia termasuk penulis produktif, buku-
bukunya yang telah terbit antara lain : Eklektisisme Hukum Nasional; Pendidikan
(Agama) untuk membangun Etika Sosial; Melawan Globalisasi; dan buku yang
sedang dikaji ini.
B. Redifinisi Bermadzab
Dalam buku ini, Madzab, secara bahasa diartikan pendapat )view, opinion, ra’y),
kepercayaan, ideologi )belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, paham,
aliran )school, al-ta’lim wa al-thariqah). Kemudian yang dimaksud bermadzab
adalah mengikuti madzab tertentu dalam sistem pengambilan hukum Islam/fiqih.
Sejarah timbulnya madzab bermula dari ijtihad yang dilakukan oleh seorang
imam/mujtahid yang kemudian hasil ijtihadnya itu diikuti oleh para murid-
muridnya. Lama-kelamaan melalui proses dialektis, terjadi pembakuan baik
dalam manhaj maupun corak pemikiran hukum Islam hasil ijtihad para imam, dan
dari sinilah madzab terbentuk. Pada mulanya dikenal madzab sebuah kota atau
daerah )misal madzab Hijazi dan madzab Iraqi), tapi madzab berbasis
kedaerahan ini berakhir setelah munculnya Imam Syafi’i yang mengembalikan
basis madzab dari daerah ke individu. Lalu munculah madzab berbasis
individu/imam diantaranya yang terkenal : madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali. )hal. 16-18)
Kemudian setelah realitas umat dalam bermadzab seperti tergambar dia atas,
penulis buku ini mengajukan pertanyaan kritis dan mendasar : Apakah
bermadzab harus mengikuti dan tidak boleh berfikir, termasuk tidak boleh
mengetahui alasan penerapan hukum? Pertanyaan itu mendapat jawaban
langsung yang intinya bahwa bermadzab tidak musti atau harus mengikuti
pandapat madzab tanpa perlu tahu landasan normatif dan filosofis di balik
pendapat itu. Bermadzab terdiri atas beberapa tingkatan, dan yang paling rendah
adalah bermadzab taqlid yang prakteknya seperti terurai di atas. Namun,
bermadzab dalam pengertian ittiba’ )mengikuti dengan mengetahui alasan dan
dalil pengambilan hukum ) tidak selalu demikian. Bahkan masih tetap disebut
bermadzab, meskipun menjalankan ijtihad, terutama sekali atas kasus-kasus
kontemporer. Dan lebih dari itu, juga tetap masih disebut bermadzab meskipun
juga berupaya mengembangkan metodologi )manhaj) yang sangat mungkin akan
mempunyai akibat terjadi perbedaan pendapat dengan imam madzabnya. )hal.
21-22)
Bermadzab tidak musti melulu mengikuti pendapat imam madzab dari kata-
katanya )fi al-aqwal), mamun bisa dalam metodologinya )fi al-manhaj), bahkan
juga untuk mengembangkan metodologinya, bukan lagi mengikuti manhaj yang
sudah ada. Berangkat dari tesis itu, maka penulis buku ini juga menawarkan
redifinisi terhadap konsep talfiq yang konotasinya selalu pada bermadzab fi al-
aqwal. Tetapi bagaimana talfiq )eklektik) juga dapat dipraktekkan dalam wilayah
bermadzab fi al-manjah. )hal. 24-25)
Pada akhirnya dalam bab redifinisi bermadzab, buku ini menguraikan tingkatan
bermadzab yang terdiri dari lima tingkat : Pertama, taqlid kepada fuqaha
madzab. Kedua, taqlid kepada imam madzab. Ketiga, ittiba’ kepada ulama
madzab atau langsung kapada imam madzab. Keempat, bermadzab fi al-
manhaj. Dan kelima, mengembangkan metodologi imam madzab. )hal. 51-56)
Dalam reformasi bermadzab, suatu hal yang tidak kalah penting adalah
bagaimana memaknai hasil ijtihad atau proses ijtihad itu sendiri. Buku ini
memberi panduan tentang hal tersebut yang diberi nama oleh pengarang
bukunya dengan istilah “mengembalikan kepada kodrat hukum Islam )the nature
of Islamic law).” Tahap-tahap untuk mengembalikan kodrat hukum Islam
setidaknya meliputi empat hal, sebagai berikut :
Pertama, hukum Islam yang merupakan hasil karya fuqaha atau mujtahidin yag
lalu, yang selama ini selalu ditempatkan pada posisi doktrinal atau diabaikan
sama sekali, hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yaitu
sebagai hasil ijtihad ualama terdahulu. Penulis buku ini menggunakan istilah
“humanisasi hukum Islam” untuk menyebut upaya “deabsolutisasi” )untuk tidak
mengatakan “desakralisasi”)<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]--> atas hasil
ijtihad sehingga menjadi sesuatu yang dapat tersentuh oleh pemikiran manusia
zaman sekarang. Di sisi lain, hasil ijtihad yang selama ini dianggap sebagai
sebagai “barang mati” dapat diangkat menjadi khasanah intelektual yang sangat
berharga. )hal. 73)
Kedua, melihat hasil ijtihad itu secara kontekstual, sehingga menjadi hidup dan
mempunyai nilai.<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Hasil ijtihad jika
ditempatkan secara proporsioal – termasuk melihatnya secara kontekstual -,
akan mampu memberi inspirasi dari produk pemikir terdahulu yang telah
memberi jawaban terhadap permasalahan atau tantangan zaman pada
masanya. Oleh karena itu, usaha kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad masa
lalu , menurut penulis buku ini, perlu digairahkan, bahkan mestinya menjadi
suatu keharusan. Kajian seperti ini tidak cukup hanya membaca teks dari hasil
ijtihad tersebut, namun harus dibarengi dengan kajian sejarah dan sosial yang
melingkupi mujtahid serta kajian metodologi yang duipergunakan oleh mujtahid
di dalam menghasilkan hukum Islam itu. )hal. 74)
Kedua, Mengkaji pemikiran fiqih ulama atau keputusan hukum Islam oleh
organisasi keagamaan tidak lagi secara doktriner dan dogmatis, tetapi dengan
critical study. Hal ini berarti menempatkan fiqih sebagai sejarah pemikiran
)intellectual history atau history of ideas). Artinya, mengkaji sejarah pemikiran
ulama sekaligus latar belakang mengapa ulama tersebut menelorkan pemikiran
itu. Konteks historis atau background sosial-politik tidak bisa diabaikan dalam
membaca karya-karya pemikiran ulama terdahulu. Pada akhirnya , ketika proses
bermadzab dilakukan, tidak semata-mata menemukan produk ijtihad para
mujtahid terdahulu, tetapi yang lebih penting adalah menggali metode )manhaj)
yang digunakan oleh mujtahid itu. Inilah yang dikenal dengan istilah bermadzab
fi al-manhaj, sebagai sisi lain dari bermadzab fi al-aqwal. Memposisikan fiqih
dalam ranah sejarah pemikiran berarti pula menjadikan fiqih sebagai living
knowledge, untuk merangsang tumbuhnya inspirasi memunculkan pemikiran
fiqih baru. Beberapa syarat akademik agar pemikiran fiqih menjadi living
knoledge antara lain tidak boleh mengabaikan historical backgrounds saat
pemikitan fiqih muncul, sehingga berarti pula masuk pada wilayah hermeneutika
dan sejarah sosial hukum Islam )social history of Islamic law). Pada akhirnya,
ketika keseluruhan prasarat akademik itu terpenuhi, maka proses historical
contiunity dapat dijamin. )hal. 111-114)
Ketiga, semua hasil karya ulama masa lalu diposisikan sebagai pengetahuan
)knowledge), baik yang didasarkan atas dasar deduktif dan verstehen maupun
yang dihasilkan secara empirik. Hanya al-Qur’an dan teks hadis yang terbatas
)khususnya yang mutawatir) saja yang tidak dapat diuji ulang )re-examined),
walaupun pemahamannya tetap dapat dikaji secara mendalam. )hal. 114-115)
Keempat, mempunyai sikap terbuka terhadap pemikiran di luar
madzabnya dan responsif terhadap berbagai perkembangan problem-problem
baru yang muncul. Syarat ketiga ini untuk menjamin tidak adanya sikap apriori
terhadap dinamika pemikiran sekaligus sikap reatif yang berlebihan saat
merespon permasalahan fiqih aktual. Harus disadari bahwa wilayah fiqih tidak
hanya meliputi ibadah mahdhah, tetapi secara luas meliputi pula wilayah-wilayah
kemanusiaan, kebudayaan bahkan peradaban. Disiplin ilmu lain )di luar ilmu fiqih
dan ushul fiqh) perlu dilibatkan dalam proses ijtihad atau setidak-tidaknya
istinbath al-ahkam. Dalam khasanah keilmuan imam Syafi’i dikenal metode
istiqra’i yang berarti pula pendekatan interdisipliner dalam mengkaji masalah-
masalah fiqih. )hal. 115-117)
Keenam, melakukan penafsiran yang aktif dan bahkan responsif. Yang dimaksud
aktif atau proaktif adalah ketika jawaban hukum Islam itu sekaligus mampu
memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan yang sedang dialami oleh
umat. )hal. 119)
Kedelapan, menjadikan ilmu fiqih sebagai bagian dari ilmu hukum secara umum.
Hal ini dimaksudkan agar sasaran akhir fiqih berupa “hukum nasional” dapat
tercapai. Alangkah sia-sianya jika fiqih hanya sebatas wacana di masjid dan
forum pengajian, tanpa ada upaya untuk memperjuangkannya menjadi hukum
positif yang berlaku di Indonesia. )hal. 120)
Kesembilan, dalam kajian fiqih lebih dititik beratkan pada pendekatan induktif
atau empirik disamping deduktif. Proses deduktif dapat terwakili saat memahami
nash al-Qur’an dan Hadis yang shahih dengan segala jenis metodenya,
termasuk qiyas. Sedangkan induktif adalah memberi peran lebih akal dalam
proses ijtihad yang bentuknya antara lain mashlahah, istihsan dan ijma’ )dimana
harus dimaknai sebagai prosedur penciptaan mashalih ‘ammah. )hal. 121)
Kesebelas, menjadikan wahyu Allah lewat nash )al-Qur’an dan hadis yang
shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam ijtihad.
Kontrol ini tidak dengan menggunakan pendekatan tekstual )scipturalist), namun
lebih menekankan pada konsep etika. )hal. 125)
E. Catatan Akhir
Buku ini mendapat sambutan yang cukup hangat dari para intlektual
Muslim terkemuka Indonesia. Sambutan-sambutan itu bisa dilihat dari komentar
mereka terhadap buku yang pertama kali diterbitkan oleh penerbit Teraju-Mizan
tahun 2003 dan telah mengalami cetak ulang pada tahun yang sama. Salam satu
yang berkomentar positif adalah Prof. KH. Ali Yafie yang mengatakan bahwa
tulisan Prof. Qodri Azizy merupakan suatu reformulasi yang sangat dibutuhkan
oleh dunia ilmiah masa kini dalam memahami dua masalah besar yang
berkembang terus menerus dalam dunia ilmu-ilmu keislaman, yakni bermadzab
dan berijtihad. Komentar positif lain disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab yang
menyatakan bahwa buku ini “sungguh memuat gagasan-gagasan segar yang
diurai secara argumentatif dan menarik”.
Tapi catatan penting yang perlu diberikan di sini adalah bahwa tulisan Prof
Qodri Azizy tidaklah sebuah tulisan yang utuh dan genuin pada masalah yang
diangkat. Reformasi bermadzab yang menjadi term sentral pada buku ini telah
banyak yang mengupas yang dalam beberapa aspek lebih sophisticated. Syekh
Yusuf al-Qaradhawi adalah satu ulama terkemuka yang telah menulis hal serupa
dalam bukunya Al-Ijtihad al-Mu’ashir baina al-Indilbat wa al-Infirat<!--[if !
supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]--> )telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia : Ijtihad Kontemporer : Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan).
Tawaran al-Qaradhawi tentang ijtihad intiqa’<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--
[endif]-->i dan ijtihad insya’<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]-->i senafas
dengan tawaran Prof. Qodri tentang redifinisi ijtihad dan ijtihad al-‘Ilmi al-‘asr, tapi
dalam beberapa aspek tawaran al-Qaradhawi lebih “liberal” karena al-Qaradhawi
berani untuk lepas sama sekali dari pemikiran madzab masa lampau dalam
kasus ijtihad insya’i.
Tetapi lepas dari segala kekurangan dan kelemahan yang ada dalam
karya Prof. Qodri ini, adalah bijaksana untuk mengatakan bahwa karya ini adalah
karya yang “dalam proses untuk menjadi”. Sebagaimana saran Prof. Qodri dalam
buku ini untuk umat Islam ketika berhadapan dengan karya intelektual apapun
dan dari siapapun, untuk senantiasa memposisikannya sebagai living
knowledge, yang bisa dikririsi agar dapat dikembangkan teori-teorinya. Buku ini
bukan sekumpulan doktrin yang beku, tapi karya intelektual yang terbuka untuk
dikaji ulang, khusunya bagi mereka yang concern terhadap isu-isu pembaharuan
hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Erdward Halled Carr, What Is History?, New York : Vintage Book, 1961
Sayyed Hossein Nasr, “Philosophy” dalam The Study of Midlle East, John Wiley
& Son, 1976
<!--[if !supportFootnotes]-->
<!--[endif]-->
1 Tanggapan
)TINJAUAN ISLAM)
Kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. membawa perubahan yang
cukup mendasar berkaitan dengan harkat dan kedudukan perempuan. Secara
perlahan perempuan mendapat tempat yang terhormat, sampai akhirnya
berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan terkikis dari akar budayanya
)Asghar Ali Engineer, 1997)
Secara normatif Islam memandang sama dan sederajat antara laki-laki dan
perempuan. Banyak ayat al-Qur’an yang telah menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan adalah sama-sama semartabat sebagai manusia, terutama secara
spiritual. Begitu pula, banyak hadis yang menunjukkan kesamaan harkat laki-laki
dan perempuan.
Dalam pandangan agama Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat.
“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar.” )Q.S. al-
Qamar/54 : 49). Oleh pada ulama, qadar di sini diartikan sebagai “ukuran-
ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu”, dan itulah kodrat.
Dengan demikian laki-laki dan perempuan, sebagai individu dan jenis kelamin
memiliki kodratnya masing-masing. Namun demikian, Syekh Mahmud Syaltut,
Pemimpin tertinggi al-Azhar pernah mengatkan :
Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut banyak ulama adalah Adam dan
pasangannya adalah istri beliau Hawa. umumnya para mufassirin memahami
dan meyakini bahwa yang dimaksud dengan nafs wâhidat dan zaujahâ dalam
ayat itu adalah Nabi Adam AS )laki-laki) dan Hawa )perempuan) yang dari
keduanyalah kemudian berkembang biak ummat manusia )Yunahar Ilyas, 1997).
Kontrovesi sesungguhnya bukan kepada siapa yang pertama, tapi pada
penciptaan Hawa yang dalam ayat diungkapkan dengan kalimat wa khalaqa
minhâ zaujahâ. Persoalannya adalah, apakah Hawa diciptakan dari tanah seperti
penciptaan Adam, atau diciptakan dari )bagian tubuh) Adam itu sendiri. Kata
kunci penafsiran yang kontroversial itu terletak pada kalimat minhâ. Apakah
kalimat itu menunjukkan bahwa untuk Adam diciptakan istri dari jenis yang sama
dengan dirinya, atau diciptakan dari )diri) Adam itu sendiri.
Riffat Hasan tidak hanya menolak dengan keras pandangan para ulama
di atas, bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tetapi juga
mempertanyakan kenapa dipastikan nafs wâhidah itu Adam dan zaujahâ itu
Hawa, istrinya. Padahal ungkap teolog muslimah yang akhir-akhir ini sangat
serius mengkaji masalah perempuan itu, kata nafs dalam bahasa Arab tidak
menunjukkan kepada laki-laki atau perempuan, tetapi bersifat netral, bisa laki-
laki bisa perempuan. Begitu juga zauj, tidak secara otomatis diartikan istri,
karena istilah itu bersifat netral, artinya pasangan yang bisa laki-laki dan bisa
perempuan. Disamping zauj dikenal juga istilah zaujah, bentuk feminin dari zauj.
Mengutip kamus Taj al-‘Arus, Riffat menyatakan bahwa hanya masyarakat hijaz
yang menggunakan istilah zauj untuk menunjukkan kepada perempuan,
sementara di daerah lain digunakan zaujah untuk menyatakan perempuan. Lalu,
tulis Riffat mempertanyakan, kenapa al-Qur’an yang secara meyakinkan tidak
hanya diperuntukkan bagi masyarakat Hijaz, menggunakan istilah zauj bukan
zaujah, seandainya yang dimaksud itu sungguh-sungguh perempuan?
Allah yang berbicara melalui al-Qur’an bercirikan keadilan dan dinyatakan secara
jelas dalam al-Qur’an bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat zulm )tidak jujur,
tirani, pemerasan dan perbuatan yang salah). Karenanya, al-Qur’an sebagai
firmah Allah tidak bisa dijadikan sumber ketidakadilan manusia, dan
ketidakadilan yang membuat perempuan Muslim ditundukkan dan diremehkan,
tidak bisa dianggap dari Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, Alih bahasa oleh Yaziar
Radianti, Bandung : Pustaka, cet I, 1994.
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempaun dalam Islam, Alih bahasa oleh Farid
Wajidi, Bandung, LSPPA, 1994.
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-Laki
dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Alih bahasa oleh
Team LSPPA,Yogyakarta : LSPPA - Yayasan Prakarsa, 1995.
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Wanita, alih bahasa oleh Anshori Umar
Sitanggal, Semarang : CV. Asy-Syifa’, tt.
<!--[if !supportFootnotes]-->
<!--[endif]-->
2 Tanggapan
Pemikiran Syari’ati 2
IDEOLOGISASI ISLAM: JALAN MENUJU REVOLUSI
Ali Syari’ati dikenal sebagai pemikir yang multi-dimensi dan, karenanya juga,
multi-interpretable. Tetapi para pengamat juga dapat melihat semacam
pandangan dunia )weltanschauung) yang cukup konsisten dalam tulisan-
tulisannya. Pandangan dunia Ali Syari’ati yang paling menonjol adalah
menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi
dasar dari ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini Syari’ati dapat disebut
pemikir politik-keagamaan )politico religio thinker).<!--[if !supportFootnotes]--
>[1]<!--[endif]-->
Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Syari’ati adalah
agama – dalam hal ini, Islam – dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai
kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara
kultural mapun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang
belum dikuasai kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah
pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia
merupakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme
yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka.<!--[if !
supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]-->Atas dasar ini, maka banyak pengamat
menyebut Syari’ati sebagai “the ideologist of revolt”.<!--[if !supportFootnotes]--
>[3]<!--[endif]-->
Dalam pandangan Syari’ati, agama sebagai ideologi diartikan: “suatu
keyakinan yang dililih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang
timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat”. Ideologi
dibutuhkan, menurut Syari’ati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau
bangsa dalam mencapai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk
mengubah dan merombak status quo secara fundamental.<!--[if !
supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]-->
Menurut Ali Syari’ati, ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai
ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai
semangat kolektif suatu kelompok. Is menggambarkan kedudukan agama sebagai ideologi
dengan pernyataan:
Berangkat dari asumsi demikian, maka dapat dicari sebuah jawaban dari
pertanyaan mengapa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan cepat
dapat diterima oleh masyarakat Arab. Islam sebagai ideologi yang diusung oleh
Muhammad membawa orde sosial baru yang disandarkan kepada prinsip
keadilan dan persamaan dalam stuktur sosial masyarakat. Islam yang demikian
sangat menarik masyarakat Arab yang sudah lama muak dengan bentuk
aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani, ketidakadilan, kesewenang-
wenangan, dan monopolisme. Masyarakat kala itu, mulai menemukan
semboyan-semboyan ideologi sebagai obat penyembuhan dari penderitaan dan
kesulitan akibat sistem tirani. Islam sebagai ideologi mampu memberikan
keyakinan baru yang berbasis kepada kemauan bebas manusia untuk
melepaskan diri dari jeratan sistem sosial dan politik tiranik.
Dalam konteks global Syari’ati melihat ada problem besar masa depan dunia
Islam, yaitu kolonialisme dan neo-kolonialisme oleh Barat. Hal ini telah
mengalienasi masyarakat Muslim dari kebudayaan aslinya )turâts), karena
mereka mau tidak mau harus mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang
telah “dipaksakan” oleh pihak kolonialis maupun neo-kolonialis. Senada dengan
Syari’ati, Hasan Hanafi juga melihat bahwa kolonialisme atau westernisasi
mempunyai pengaruh luas terhadap dunia Timur )Muslim), tidak hanya pada
budaya dan konsepsi tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan
peradaban. Bahkan, masih menurut Hanafi, juga merambah pada gaya
kehidupan sehari-hari: bahasa, menifestasi kehidupan umum dan seni
bangunan. Tidak hanya itu, keterbukaan ekonomi memaksa dunia Islam untuk
membuka diri terhadap kapitalisme internasional, demikian juga dengan
keterbukaan bahasa, maka konsekwensinya harus menerima kehadiran bahasa
asing.<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]-->
Syari’ati berusaha untuk membedakan antara ideologi, ilmu dan filsafat. Ilmu
menurutnya merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang kongkret. Ia
merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip,
kualitas dan karakteristik di dalam kehidupan manusia, alam dan benda-benda
lainnya. Demikian halnya dengan ilmu, dapat didefinisikan sebagai pencarian ke
arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum, belum diketahui dan tidak
terjangkau ilmu. Ia mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran
dan substansi, fenomena dan konsep-konsep yang ada dalam alam pikiran
manusia.<!--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]--> Tentu saja pemahaman
Syari’ati tentang ideologi, ilmu dan filsafat berbeda dengan pandangan para
penganut aliran postmodernisme dewasa ini. Jürgen Habermas, misalnya, ia
menyatakan bahwa antara ideologi, ilmu, dan filsafat )bahasa Habermas:
Knowledge, pengetahuan) mempunyai landasan yang sama dalam
pengembanganya, yaitu kepentingan )keberpihakan). Walaupun Habermas
berbeda dengan Marx yang mengatakan bahwa kepentingan itu adalah pasti
kepentingan kelompok atas, Habermas lebih melihat kepentingan itu muncul dari
siapa saja )manusia kelompok manapun) yang terlibat dalam pengembangkan
sebuah ilmu, filsafat atau ideologi.<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]-->
Lebih lanjut Syari’ati mengatakan, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah
melahirkan revolusi dalam sejarah walaupun keduanya selalu menunjukkan
perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi-ideologi, tegas
Syari’ati, yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan
mengoganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan
pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia.
Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggungjawab,
keterlibatan dan komitmen.<!--[if !supportFootnotes]-->[17]<!--[endif]--> Ideologi,
lanjut Syari’ati, menuntut agar kaum intelektual bersikap setia )commited).
Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak,
arena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan, tanggungjawab dan
keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan, revolusi, pemberontakan
hanya dapat digerakkan oleh ideologi.<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->
To emancipate and guide the people, to give birth to a new love, faith,
and dynamism, and to shed light on people’s hearts and minds and
make them aware of various elements of ignorance, superstition,
cruelty and degeneration in contemporary Islamic societies, an
enlightened person should start with “religion.” By that I mean our
peculiar religious culture and not the one predominant today. He
should begin by an Islamic Protestantism similar to that of Christianity
in the Middle Ages, destroying all the degenerating factors which, in
the name of Islam, have stymied and stupefied the process of thinking
and the fate of the society, and giving birth to new thoughts and new
movements. Unlike Christian Protestantism, which was empty-handed
and had to justify its liberationist presentation of Jesus, Islamic
Protestantism has various sources and elements to draw from.
)Untuk membebaskan dan membimbing rakyat, untuk menciptakan
cinta dan keyakinan baru, kedinamisan, dan memberi kesadaran baru
ke dalam hati dan pikiran rakyat, serta mengingatkan mereka akan
berbagai bahaya yang muncul akibat unsur kebodohan, ketahayulan,
kejahatan dan kebobrokan di dalam masyarakat-masyarakat Islam
kini, orang tercerahkan harus mulai dengan “agama” – maksud saya
kebudayaan agama dan bukan salah satu budaya yang dominan
sekarang ini. Ini harus dimulai dengan semacam Protestantisme Islam
)pembaharuan Islam) yang mirip dengan Protestantisme Kristen
)pembaharuan Kristen) pada Abad Pertengahan, yang
menghancurkan seluruh faktor perusak yang, dengan
mengatasnamakan Islam, telah menghalangi dan membius proses
pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan baru. Tidak seperti
Protestantisme Kristen, yang tak punya apa-apa dan harus
membenarkan kehadiran Yesus sebagai pembebas, maka
Protestanisme Islam mempunyai banyak sumber daya dan unsur
yang dapat digunakannya.<!--[if !supportFootnotes]-->[27]<!--[endif]-->
<!--[if !supportFootnotes]-->
<!--[endif]-->
No Comments yet...
Pemikiran Syari’ati 1
ISLAM AGAMA PEMBEBASAN: PANDANGAN ALI SYARI’ATI
Dalam konteks situasi politik saat Syari’ati hidup, wacana Islam mainstreem
itulah yang digunakan oleh sebagian besar ulama untuk mendukung kekuasaan rezim
Syah. Ketika rezim Syah menindas rakyatnya, para ulama rezimis tersebut tidak mampu
berbuat apa-apa untuk kepentingan rakyat. Justru ulama itu dipaksa untuk terus-
menerus memberikan justifikasi keagamaan atas kebijakan-kebijakan Syah. Syari’ati
menganalogkan Islam yang demikian itu sebagai Islam gaya penguasa )Islamnya
Usman, Khalîfah ketiga Islam). Sementara Islam otentik, sebagaimana yang dinyatakan
Syari’ati, adalah Islamnya Abu Zar, sahabat Nabi sang pencetus pemikiran sosialistik
Islam:
Abu Dhar was watching these shameful scenes and because he could no longer
bear it, could no longer remain silent, he rebelled, a manly and wonderful rebellion;
an prising which caused rebellion in all the Islamic lands against ‘Uthman; an
uprising from which the waves of enthusiasm can still be felt until the present day
in the situations of human societies. Abu Dhar was trying to develop the economic
and political unity of Islam and the regime of ‘Uthman was reviving aristocracy.
Abu Dhar believed Islam to be the refuge of the helpless, the oppressed and the
humiliated people and ‘Uthman, the tool of capitalism, was the bastion to preserve
the interests of the usurers, the wealthy and the aristocrats. )Abu Zar menyaksikan
peristiwa yang memalukan ini dan karena tidak bisa lagi menerima hal itu itu,
maka dia tidak lagi bisa diam, ia pun melawan, suatu perlawanan yang sangat
bagus dan jantan; suatu perlawanan yang menyebabkan timbulnya perlawanan di
semua wilayah Islam melawan kekuasaan Usman; suatu perlawanan dari
gelombang gairah Islam yang tetap dirasakan sampai zaman sekarang di dalam
sejarah umat manusia. Abu Zar sedang berusaha untuk membangun kesatuan
ekonomi dan politik Islam dan rejim Usman sedang menghidupkan kembali
aristocracy. Abu Zar percaya Islam sebagai tempat perlindungan orang yang
membutuhkan pertolongan, si tertindas dan orang-orang yang terhina dan ‘Usman
menjadikan Islam sebagai alat kapitalisme yang berarti pula benteng untuk
memelihara para lintah darat, orang-orang kaya dan kaum ningrat.)<!--[if !
supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]-->
Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam.
Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam
keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa,
aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan )progress) dan
kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum
mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab
pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi )taqiyeh)
keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan
untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah,
dogmatis, dan imitasi tidak kritis )taqlîd) kepada ulama.<!--[if !
supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]-->
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:
Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam.
Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar
atau Islam Marwan )bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam,
walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya.
Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan
lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih
lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus
mempunyai kepedulian )concern) kepada kaum miskin dan tertindas.
Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari
sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman
berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan.<!--[if !
supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]-->
Kenyataan ini, menurut Syari’ati, misalnya, terlihat pada masa Safawi, dimana
dinasti penguasa memasyarakatkan Syi’isme versi mereka sendiri yang sangat berbeda
dengan Syi’ah Imam Ali dan Imam Husein. Syari’ati, menyebut jenis Syi’ah penguasa
sebagai “Syi’ah Hitam )Black Shi’ism)”, dan Syi’ah Imam Ali sebagai “Syi’ah Merah )Red
Shi’ism)”, yakni Syi’ah kesyahidah )Shi’ism of martyrdom).
Shi’ites take their slogans from the embodiment of the tribulations and hopes
of the masses of the oppressed. Aware of the rulers, and in rebellion against
them, they cry out: “Seek the leadership of Ali and flee from the leadership of
cruelty. Choose Imamate, and stamp ‘cancelled,’ ‘disbelief’ and
‘dispossession’ upon the forehead of the Caliphate.Choose justice, and
overthrow the system of paradox and discrimination in ownership. Choose the
principle of being ready to protest against the existing conditions, where the
ruling government, religious leaders and aristocracy try to show that
everything is in accordance with the Will of God, the Divine Law and the
satisfaction of God and his creatures. Such things, to the ruling government,
included their conquests, their plundering of mosques, associations, schools,
gifts, trusts, and charities and the observance of religious ceremonies and
practices…. And this is the last revolutionary wave of Alavite Shi’ism, Red
Shi’ism, which continued for seven hundred years to be the flame of the spirit
of revolution, the search for freedom, and justice, always inclining towards the
common people and fighting relentlessly against oppression, ignorance and
poverty. A century later came the Safavids, and Shi’ism left the great mosque
of the common people to become a next-door neighbor to the Palace of ‘Ali
Qapu in the Royal Mosque.
Red Shi’ism changes to Black Shi’ism!
The Religion of Martyrdom changes to The Religion of Mourning. )Syi’ah
mengambil semboyan mereka )Imam Ali, Hasan, Husein, dan Zaenab) dari
perwujudan harapan kesengsaraan rakyat jelata, orang-orang tertindas.
Sadar akan hadirnya para penguasa )zalim), dan selalu memberontak
melawan mereka. Mereka menangis histeris dan beriak : “Lihatlah itu
kepemimpinan Ali yang lari dari kepemimpinan yang kejam. Pilihlah imâmah
)kepemimpinan), pilihlah keadilan, dan robohkan sistem paradok dan
diskriminasi di dalam kepemilikan. Pilihkah prinsip untuk selalu siap
memprotes atas kondisi sosial politik yang ada, di saat para penguasa, para
ulama dan bangsawan mencoba untuk menunjukkan segala hal itu sebagai
kehendak Tuhan, Hukum Tuhan. Kehendak itu mewujud dalam menaklukkan
mereka, merampas masjid mereka, perkumpulan, hadiah, kepercayaan,
derma dan ketaatan dalam menjalankan upacara keagamaan… Dan ini
adalah gelombang Syi’ah revolusioner, yakni Syi’ah Merah, yang selama tujuh
ratus tahun menyalakan ruh revolusi, mencari kebebasan dan keadilan,
berpihak kepada rakyat dan berani melawan berbagai tekanan, kemiskinan
dan kebodohan. Satu abad kemudian datanglah Dinasti Safawi, dan Syi’ah
telah )dipaksa) meninggalkan masjid besar milik bersama rakyat untuk
menjadi penghuni masjid istana raja. Syi’ah Merah berubah menjadi Syi’ah
Hitam! Agama Kesyahidan berubah menjadi agama berkabung.) <!--[if !
supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]-->
Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang
ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang
menjadikan tradisi menjadi penjara. Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama,
tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama
mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah,
bahwa di satu sisi, para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir
telah mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara di
sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan
generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata Syari’ati, “Islam sejati
tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah”.<!--[if !
supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]-->
Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah jenis
khusus Islam revolusioner.<!--[if !supportFootnotes]-->[8]<!--[endif]--> Tetapi entah
mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap
doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya
sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana
orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan
aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat
disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan
dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.
Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh
kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam
pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan
berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran
Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama
sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem
despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.
Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam
adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan
eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah.
Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya
yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam )Islamic society),
meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa
kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada
Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat
begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah
negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa
bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm )penindasan).<!--[if !supportFootnotes]--
>[11]<!--[endif]-->
Seperti yang telah disebut di muka, Syari’ati “menuduh” ulama sebagai sumber
utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama,
Islam telah menjadi agama “orang mati” yang tidak berdaya melawan “orang-orang yang
serakah”. Dalam konteks Iran, ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan
revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara )din-i dewlati), yang
paling tinggi menekankan sikap kedermawanan )philanthropism), paternalisme,
pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain,
demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan
kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta. Karena ulama Syi’ah memperoleh
pemasuka dari Khams )sedekah) dari sahm-i Imâm )bagian dari zakat), mereka tak
terhindarkan lagi terkait kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar.
Sebagai respon terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen
dibandingkan dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar
pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.<!--[if !supportFootnotes]--
>[12]<!--[endif]-->
Syari’ati lebih jauh menilai, hubungan khusus ulama semacam itu telah
menjadikan mereka sebagai instrumen kelas-kelas berharta. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam dibiayai kaum berharta untuk mencegah ulama berbicara tentang
perlunya menyelamatkan kaum miskin. Sebaliknya, dengan menggunakan doktrin fikih
tentang ekonomi, ulama berusaha mengabsahkan ekploitasi, yang menurutnya bahkan
lebih ekploitatif dibandingkan dengan kapitalisme Amerika. Pada akhirnya, Islam telah
menjadi khordeh-i burzhuazi )burjuasi kecil). Dan, kaum mullah telah melakukan
perkawinan yang tidak suci )unholy marriage) dengan pedagang bazâr. Dalam
perkawinan ini, mullah menciptakan agama bagi pedagang, sementara pedagang
membuat dunia lebih menyenangkan bagi mullah.<!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--
[endif]-->
Tentu saja kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama
membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama
terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan
sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan
tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti
Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.<!--[if !supportFootnotes]-->[14]<!--[endif]--> Dan
Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh
Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih
banyak ulama sumber panutan )marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan
Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka
mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan
Syari’ati.<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]-->
Walaupun Ali Syari’ati tampak sebangun dengan Imam Khomeini dalam melihat
realitas politik Iran dan bagaimana faham Syi’ah berhadap-hadapan dengan faham
resmi yang dibanguh rezim, akan tetapi ada satu hal yang membedakan antara
keduanya, yaitu pada persoalan siapa yang akan menjadi lokomotif pembaharu atau
revolusi. Khomeini cenderung mengedepankan peran ulama formal )para mullah)
sedangkan Syari’ati pada kekuatan kelompok rausanfikr. Kelompok rausanfikr adalah
sekelompok orang yang melakukan pembaharuan di kalangan umat dengan menjadikan
faham Islam sebagai basis epistemologi dan aksiologisnya. Islam yang demikian itu,
kata Syari’ati, adalah “Islam protestan” yang bisa menjadi kekuatan sosio-kultural untuk
menghilangkan abad kegelapan dunia Islam dan menciptakan suatu abad
renaisance.<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->
Pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam secara konsisten berada dalam
aras Islam progresif dan revolusioner. Corak Islam yang demikian itu berangkat dari
faham bahwa dalam ajaran Islam, Tuhan telah menugaskan kepada manusia sebagai
khalîfah-Nya di muka bumi. Khalîfah dalam hal ini adalah pemangku tugas pembaharu
dan selalu memimpin dunia dengan keadilan dan kearifannya. Jika ditemukan dalam
penggalan sejarah manusia-manusia serakah yang aksinya menindas dan memperkosa
hak-hak manusia lain, maka menjadi tugas khalîfah untuk menyingkirkan jenis manusia
itu dari muka bumi. Khalîfah haruslah dalam posisi pro-aktif memperjuangkan prinsip-
prinsip keadilan, bukan manusia pasrah yang selalu menerima nasib secara taken for
granted. Demikianlah yang dapat dikategorikan sebagai ajaran Islam progresif
sebagaimana yang digagas oleh Ali Syari’ati.
Kata kunci progresifitas Islam adalah peran aktif dalam sejarah kemanusiaan.
Islam bukan agama pasrah yang hanya berfikir tentang kehidupan akherat dan tidak
melibatkan diri dalam dinamika sejarah sosial-politik manusia. Bentuk ajaran agama
yang demikian ini yang telah melahirkan banyak kritik dari Karl Marx, sang revolusioner
yang telah dituduh anti agama. Agama pasrah ini adalah agama candu yang akan
melanggengkan segala bentuk kesewenang-wenangan dan penindasan. Dalam posisi
ini, kata Marx, mereka yang tertindas akan dihibur oleh ajaran yang mengatakan bahwa
penderitaan itu adalah taqdir Tuhan dan pahala mereka adalah surga.<!--[if !
supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]--> Dan Syari’ati sangat setuju dengan pandangan
Marx itu, khususnya dalam aspek bagaimana bentuk-bentuk penindasan itu tidak
dilanggengkan oleh ajaran agama. Jika ini yang terjadi, maka Syari’ati pun akan senada
dengan Marx, bahwa agama adalah candu )opium).
Bagi Syari’ati, Islam harus diekspresikan dalam tindakan. Hal ini dimulai dari
menghidupkan kembali realitas abadi yang dipelajari kaum Syi’ah untuk memahami
hakekat kehidupan. Teladan Imam Husein di padang Karbala harus menjadi inspirasi
bagi semua umat yang tertindas dan terasingkan di dunia ini. Jika kaum Syi’ah
mengikuti teladan Imam Husein dan memimpin semua bangsa di Dunia Ketiga dalam
kampanye melawan tirani, mereka dapat mendorong Imam yang selama ini gha’ib dapat
hadir kembali.<!--[if !supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]-->
Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya.
Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata “politik” berasal
dari bahasa Yunani “polis” )kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi
padanan kata Islamnya adalah “siyasah”, yang secara harfiyah berarti “menjinakkan
seokor kuda liar,”, suatu proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk
memunculkan kesempurnaan yang inheren.<!--[if !supportFootnotes]-->[22]<!--[endif]-->
<!--[if !supportFootnotes]-->
<!--[endif]-->
2 Tanggapan
Dakwah Kultural
DAKWAH BERBASIS BUDAYA LOKAL : DAKWAH ALTERNATIF UNTUK
MEMBUMIKAN AJARAN ISLAM*)
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi
atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan
Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga
kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang
simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah
)mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik
)fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau
dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan
Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah,
masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan
tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar
belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita
memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya.
Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu
mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam
budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai
hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan
Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah
yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.
Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya
abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition
yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam
tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan
itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan
kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan
bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo
merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal
demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati
agamanya.
Namun justru dari sinilah ummat ditantang untuk terus meningkatkan daya
furqani. Dan runcingnya daya furqani itu hanya dapat dicapai oleh –seperti
diungkap Damarjati Supadjar– orang yang mampu pubadiri atau megat-ruh.
<!--[if gte vml 1]> <![endif]--><!--[if !
vml]--><!--[endif]-->
1 Tanggapan
Istilah Islam Liberal yang digunakan Charles kurzman jauh dari makna penyimpangan
secara radikal terhadap otentisitas ajaran Islam. Ia menggunakan secara “netral” – hanya
– sebagai instrumen untuk menunjukkan ada sekelompok intelektual Muslim yang
berusaha mengembangkan gagasan ke-Islaman yang bersifat toleran, terbuka dan
berkemajuan dalam menghadapi persoalan-persoalan global seperti demokrasi,
pluralisme, kesetaraan gender, dan modernisasi.
Karena itu, Islam Liberal patut dipertimbangkan sebagai acuan paradigma dalam
mengembangkan pemikiran keislaman secara utuh dan mendalam di Muhammadiyah.
Wallahu a’lam
4 Tanggapan
ABSTRAK
Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut
dapat dilihat dalam perspektif sejarah agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu,
termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman
budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan
mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya.
Pendahuluan
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama
memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi
simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi
bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan
Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan
dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol agama<!--
[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]-->.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem
nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan.
Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat
sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan
struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.
Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam
masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan
filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan,
melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya
yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini
memisahkan antara agama dan budaya.
Sebagai contoh dapat dilihat dari praktek ritual dalam budaya populer di
Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan
antara Islam dan budaya lokal yang cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat,
sebagai salah satunya, dimaksudkan agar manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia.
Sehingga berangkan dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran,
perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan
hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia
sebagai makhluq yang mulia<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]-->.
‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan tiga hal.
Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai
ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan
wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan
mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘Islam
Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman
terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai
pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ memiliki
karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab
problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan
etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial
masyarakat yang selalu berubah.
Ambillah contoh misalnya tentang konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang
raja dari Demak. Seperti diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang
mempunyai kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering
menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris resmi
Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia meremehkan
hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah penguasa kerajaan
Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk memadamkan pengaruh mistik,
sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu menyebabkan orang menjadi
individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.
Hadis dan syari’at termasuk aspek doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
Fazlur Rahman,<!--[if !supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> mendefinisikan hadis
sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya memberikan
informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau apa yang disetujui dan tidak
disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat menunukkan bahwa hadis berisi banyak
informasi mengenai praktek-sosial keagamaan komunitas Muslim awal, berapa
diantaranya dapat dilacak langsung ke Nabi<!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]--
>. Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip
al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk
praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk pernyataan-pernyataan
dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi inpvasi dan interpretasi
keagamaan.
Selain itu, hadis dikembangkan untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang
luas. Penting kaitannya dengan hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang
berbeda dengan mayoritas Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953)
bahwa salah satu dari tujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan
kedudukan-kedudukan teologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak
mengakui, proses “pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas
tanpa terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu,
sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dan temuan-
temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam kumpulan
semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an, merupakan inti Islam
“ortodok”.<!--[if !supportFootnotes]-->[13]<!--[endif]-->
Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsi kebudayaan
lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah,
termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang
memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan
wilayah itu secara agama.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau
budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul
sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit
membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi
Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua
illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab
pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk
mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke
Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan
tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.<!--[if !
supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]-->
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu
elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya
bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai
Islam).
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu,
memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat
yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di
Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan
Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam
racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang
dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut
dapat dilihat dalam perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu,
termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman
budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan
mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya.
Salah satu contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi
dengan ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh
Islam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan yang
lainnya.
Dialektika antara agama dan budaya lokal juga terjadi seperti dalam
penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau di Cirebon), dan hari raya atau lebaran
ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam
perspektif sejarah Islam Indonesia, upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan
para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara
penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam upacara sekaten.
Substansinya adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari
syahadatain) sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya Jawa
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar
belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita
memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->
sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:
Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga,
bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi
dalam budaya.
Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika
ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya
merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya,
high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah
bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu
muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam.
Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak
dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati
agamanya.
CATATAN AKHIR
1 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001, hal. 196
5 Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam
Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14
tahun 2003, hal. 9-10
6 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991), hal.
235
10 Ibid., hl. 91
15 Ibid., hal 55
16 Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”,
dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
17 Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli
2002
DAFTAR PUSTAKA
Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam
Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin
24 Pebruari 2003
Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam
Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi
No. 14 tahun 2003
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001
1 Tanggapan
Ditulis dalam Islam dan Budaya
1. Pendahuluan
Pada hari Ahad, tanggal 5 November 2006 berlangsung peristiwa yang menyentak
masyarakat Banyumas dan sekitarnya, yakni pendeklarasian perkumpulan kaum
homoseksual Banyumas yang diberi nama “Arus Pelangi”. Reaksi pun diberikan oleh
pelbagai organisasi Islam maupaun para tokoh Islam Banyumas. Mereka mengecam
peristiwa itu, dan nenolak dengan tegas keberadaan Arus Pelangi di wilayah Banyumas.
Dasar kecaman dan penolakan mereka terhadap Arus Pelangi adalah ketentuan normatif
al-Qur’an dan al-Hadis yang memang secara tersurat memuat larangan yang sangat tegas
terhadap perilaku homoseksual, bahkan al-hadis memberikan bentuk hukuman yang
cukup berat yakni hukuman mati terhadap orang yang berperilaku seks menyimpang
tersebut.
Untuk mencapai maksud itu, Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah
Kabupaten Banyumas telah mengadakan Diskusi Terbatas (Mujadalah) Tarjih dan Tajdid
yang khusus membahas masalah homoseksual bersama pakar medis dan psikologi. Pakar
medis dan psikologi ini dihadirkan agar pembahasannya bisa lebih komprehensif
(lengkap) dan solotif (menuntaskan masalah). Model mujadalah/kajian seperti ini (lintas
disiplin ilmu) akan terus ditradisikan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid agar persoalan-
persoalan umat yang direspon dapat dicarikan jalan keluar dengan sebaik-baiknya.
Sebagaimana telah dirumuskan oleh para pakar, bahwa homoseksual (untuk sesama
perempuan disebut lesbian) adalah rasa tertarik secara perasaan (rasa kasih sayang,
hubungan emosional) dan atau secara erotik, baik secara lebih menonjol (predominan)
atau semata-mata (eksklusif), terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan
atau tanpa hubungan fisik (jasmaniah). Dari sudut pandang psiko-medis, homoseksual
saat ini tidak lagi dikategorikan sebagai suatu gangguan atau penyakit jiwa ataupun
sebagai suatu penyimpangan (deviasi) seksual. Karena homoseksualitas merupakan suatu
fenomena manifestasi seksual manusia, seperti juga heteroseksualitas (hubungan seks
antar jenis kelamin berbeda) atau biseksualitas (hubungan seks dengan sesama dan antar
jenis kemain berbeda).
Sudut pandang psiko-medis itu tentu berlawanan dengan sudut pandang agama yang
lebih melihat dari sisi moral dan fitrah kemanusiaan. Melakukan hubungan seks dengan
sejenis adalah perilaku yang tidak sesuai dengan fitrah manusia yang diciptakan Allah
berpasang-pasangan, dan pasangan itu adalah laki-laki dan perempuan, sebagaimana
Allah juga menggambarkan sepasang fenomena alam yaitu siang dan malam. Mungkin
yang dimaksud bukan penyimpangan seksual atau gangguan jiwa dalam sudut pandang
psiko-medis terhadap perilaku homoseksual/lesbian, adalah karena para pelaku
homoseksual/lesbian tidak merasa ada penyimpangan dan mereka menjalaninya dengan
wajar-wajar saja. Mereka adalah yang sudah merasa cocok dengan orientasi seksual
seperti itu yang dalam istilah psiko-medisnya dinamakan ego sintonik. Tetapi juga tidak
bisa dipungkiri bahwa sebagian yang melakukan praktik homoseksual/lesbian merasa
bahwa perbuatan tersebut menyimpang dan mereka pun berusaha untuk
meninggalkannya, yang disebut dengan ego distonik.
Perilaku homoseksual disebut diantaranya dalam Q.S. al-A’raf/7 : 30-34; dan Q.S.
Hud/11 : 77-82, satu rangkaian dengan kisah Nabi Luth dan umatnya. Umat Nabi Luth
adalah sekelompok manusia yang mempraktikan homoseksual dalam kehidupan sehari-
hari. Dari fenomena itu, lantas Allah mengutus Nabi Luth untuk memberi peringatan
kepada umatnya atas perilaku mereka yang terkutuk tersebut, walaupun pada akhirrnya
umat Nabi Luth diadzab oleh Allah karena keengganan mereka menerima peringatan
Nabi Luth. Kisah itu (Q.S. al-A’raf/7 : 30-34) tertuang sebagai berikut:
َن الْعَالَمِي ن
َ ِن َأحَدٍ م
ْ ِس َبقَكُمْ ِبهَا م
َ شةَ مَا
َ ِن ا ْلفَاح
َ ل ِلقَوْمِ هِ أَ َتأْتُو
َ َولُوطًا إِ ْذ قَا
)( ن
َ ن ال ّرجَالَ شَهْ َوةً مِ نْ دُو نِ النّ سَاءِ َبلْ أَنُْت مْ قَ ْو مٌ مُ سْ ِرفُو
َ () إِنّكُ ْم لَ َتأْتُو
ٌن قَرْيَتِكُ ْم إِنّهُ ْم أُنَا س
ْ ِن قَالُوا َأخْ ِرجُوهُ مْ م
ْ َن جَوَا بَ قَوْ ِم ِه إِل أ
َ وَمَا كَا
ن () َوأَ ْمطَرْنَا
َ ن الْغَابِرِي
َ ن () َفأَ ْنجَيْنَا هُ َوأَ ْهلَ هُ إِل امْ َرأَتَ هُ كَانَ تْ ِم
َ يَ َتطَهّرُو
)(َن عَاقِبَةُ الْ ُمجْرِمِين
َ علَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَا
َ
Apa yang dilakukan oleh umat Nabi Luth itu, dalam perspektif Islam yang hanif,
bertentangan dengan fitrah kemanusiaan yang menyatakan bahwa masing-masing
manusia akan mendapatkan jodoh (pasangan)nya yang berbeda jenis. Ayat-ayat berikut
ini menyatakan ketentuan Allah (Sunnatullah) itu bahwa manusia diciptakan-Nya
bersama pasangannya:
خلَ قَ لَكُ مْ مِ نْ أَ ْنفُ سِكُ ْم أَزْوَاجًا لِتَ سْ ُكنُوا ِإلَيْهَا َوجَ َعلَ بَيْنَكُ مْ
ن َ
ن آيَاتِ ِه أَ ْ
َومِ ْ
ت ِلقَوْمٍ يَ َتفَكّرُونَ
ن فِي َذِلكَ ليَا ٍ
َموَدّةً وَ َرحْمَ ًة إِ ّ
Juga dalam Q.S. Fathir/35 : 11 :
Pasangan (zauj, azwaj) yang dimaksud adalah lawan jenis, dalam arti laki-laki
pasangannya adalah perempuan, begitu pula sebaliknya. Ketentuan ini dinyatakan Allah
dalam Q.S. an-Najm/53 : 45 :
Dzakar dan untsa menunjuk pada pengertian manusia yang berjenis kelamin laki-
laki (dzakar) dan perempuan (untsa), sehingga jelas bahwa pasangan (zauj) yang
dimaksud al-Qur’an adalah manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Sehingga orang yang mempasangkan dirinya dengan sesama jenis,
baik laki-laki dengan laki-laki (homoseksual) maupun perempuan dengan
perempuan (lesbian), maka tindakan tersebut bertentangan dengan fitrah
kemanusiaan. Kemudian secara jelas fitrah ini yang sejalan dengan sunnatullah
akan tetap berlangsung dan tidak akan terjadi perubahan sampai hari kiamat. Hal
ini dinyatakan Allah dalam Q.S. al-Fathir/35 : 43 :
َسسنّة
ُ ُونس إِل
َ ل َينْظُر
ْ َِهس َفه
ِ السسّيئُ إِل بِأَ ْهل
ّ ُِيقس ا ْل َمكْر
ُ السسيّئِ وَل يَح
ّ َْضس َو َمكْر
ِ اسسِت ْكبَارًا فِي الر
ْ
سنّةِ اللّ ِه تَحْوِيل
ُ جدَ ِل
ِ َن ت
ْ َسنّةِ اللّ ِه َتبْدِيل وَل
ُ ِجدَ ل
ِ َن ت
ْ َالوّلِينَ فَل
Islam secara tegas menyatakan bahwa perilaku homoseksual maupun lesbian adalah
bentuk perilaku seksual menyimpang bahkan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.
Hubungan seks dalam Islam tidak hanya sekadar untuk memuaskan hawa nafsu
(prokreasi), akan tetapi memiliki tujuan penting menyangkut kelangsungan kehidupan,
yaitu melanjutkan keturunan (reproduksi). Hubungan seks sejenis tidak mungkin akan
menghasilkan keturunan, sehingga hal ini tidak sejalan dengan tujuan hubungan seks
dalam Islam.
Karena penyimpangan itu, maka dalam Hadis Nabi terdapat beberapa Hadis yang
mengutuk dan memberi hukuman dengan tegas bagi orang yang melakukan
homoseksual/lesbian. Seperti dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan
Ibn Majah, melalaui Ibn Abbas Rasulullah bersabda:
من وجد تموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفعل والمفعول به
Juga dalam Hadis riwayat Abu Daud yang bersumber dari Sa’id Ibn Jubair dan Mujahid
dari Ibn Abbas tentang kasus seorang anak perawan yang kedapatan melakukan praktek
lesbian ()اللوطية, maka ia harus dihukum rajam.
Dalam tradisi Islam dinyatakan bahwa setiap kesulitan (persoalan) pasti ada
kemudahan (jalan keluar) (سرًا
ْ ُ) َفإِنّ مَعَ ا ْل ُعسْ ِر ي, setiap aturan (hukum) selalu diikuti
dengan jalan keluar (و ِم ْنهَاجًا
َ ًعة
َ ْجعَ ْلنَا ِم ْنكُمْم شِر
َ ل
ّ ُ)َ ِلك, dan di setiap penyakit pasti
ada obatnya.
Seperti sudah dinyatakan di atas, bahwa memberi hukuman semata bagi pelaku
homo/lesbi tidak akan menyelesaikan masalah. Justru hal ini akan memunculkan
persoalan baru yaitu perasaan bersalah dan takut yang berlebih dari para pelaku
homo lesbi yang berakibat mereka terperosok dalam depresi mental yang akut
atau malah justru para pelaku homo/lesbi akan semakin mengokohkan
perilakunya dengan membentuk kelompok atau perkumpulan sebagai sarana
“curhat” bagi sesama orang-orang yang dicap “durhaka” terhadap agama. Untuk
mereka yang sudah membentuk dan melibatkan diri secara aktif dalam
perkumpulan/organisasi kaum homo/lesbi hanya akan mempersulit penanganan
terhadap mereka, karena mereka semakin menikmati (enjoy) dengan perbuatan
mereka.
ح ْكمَةِ وَا ْلمَوْعِظَةِ الْحَسَمنَةِ وَجَادِ ْلهُمْم بِالّتِي هِيَم َأحْسَمنُ إِنّ َربّكَم هُوَ أَعْلَمُم بِمَنْم ضَلّ عَنْم
ِ ْادْعُم إِلَى سَمبِيلِ َربّكَم بِال
َسبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَ ُم بِا ْل ُم ْه َتدِين
َ
Hasil diskusi (mujadalah) terbatas Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah
Muhammadiyah Kab. Banyumas tentang perilaku homoseksual/lesbian ini pada akhirnya
dapat disimpulkan dalam beberapa hal sebagai berikut:
I. PERPSEKTIF KONSERVATIF-TRADISIONAL
a. Pengertian Daulah
Kata daulah dalam Ensiklopedi Islam Islam berasal kata dasar dari dala-yadulu –daulah,
yang artinya bergilir, beredar, dan berputar. Secara istilah arti teoritisnya adalah
kelompok sosial yang mentap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu
pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka. Daulah dapat
diartikan negara, pemerintah, kerajaan atau dinasti.
Dalam Al Qur;an terdapat dua ayat yang menggunakan kata ini, keduanya dengan
arti bergilir dan beredar, yaitu dalam surah Ali Imran (3) ayat 140 yang artinya :”… Dan
masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan diantara kamu …” dan surat al-
Hasyr/59 : 7 : “… Dan supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang
kaya …”. Jimly Asshiddiqie, ahli hukum Indonesia, berpendapat bahwa dalam ayat
pertama terkandung muatan yang berkonotasi politik dan ayat terakhir muatannya lebih
berkonotasi ekonomi.
Kata daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada masa pra-Islam, karena tidak
ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Adapun istilah kesukuan “al-
banti” terus digunakan dalam Islam. Pada masa Abbasiyah kata daulah diartikan dengan
kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti.
Kata daulah juga bisa diberikan kepada penduduk dan anggota daulah. Pada akhir abad
ke-10 H, al-Husein, anak dari Wazir al-Qasim (al-Qasim bin al-Dajl) mendapat gelar wali
al-daulah (pelindung negara). Pada tahun 330 M/42 H, dari keluarga Hamdani (Bani
Hamdani yang ada di Jazirah), Hasan bin Hamdan dan Ali bin Hamdan, keduanya
penguasa di Mosul dan Suriah, diberi gelar Saif al-Daulah (pedang negara). Pemberian
gelar ini menunjukkan bahwa khalifah memberikan gelar penghormatan kepada
pendukungnya. Gelar daulah ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Bani Buwaihi (945
H/1086 M) di Spanyol, Gaznawi (Dinasti Turki yang menguasai Asia Tengah dan
beberapa wilayah di Asia Selatan dengan pusat pemerintahan di Gazna tahun 1008-1186
M), dan juga digunakan oleh Malik Tawaif (1011-1086) di Spanypl. Fatimiah (Dinasti
Syiah di Arrika Utara tahun 297-567 H/909-1171 M) kadang-kadang juga memberikan
gelar daulah kepada pejabat istana mereka.
Para pakar politik Islam klasik menjadikan dasar hukum pembentukan daulah
dalam arti pemerintahan dalam firman-Nya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu)
apabila menerapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah Hama Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. al-Nisa’:58) dan “Hai
Orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di
antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar berian kepada allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
(Q.S. al-Nisa : 59)
Para pakar politik Islam klasik (konservatif-trdisional) menjadikan kedua ayat ini sebagai
landasan terbentuknya daulah, karena kedua ayat itu mengandung unsur-unsur yang dapat
mewujudkan atau merealisasikan sasarn atau tujuan yang diinginkan terbentuknya suatu
daulah. Munawir Sjadzali, ahli fiqih siyasi Indonesia, berpendapat bahwa kedua ayat itu
mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara. Ia berpendapat bahwa ayat di atas menjelaskan bagaimana proses hubungan
yang komunikatif dan harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin dalam rangka
mencapai tujuan yang saling memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Rais (pemimpin),
sebagai pemegang amanah, dan mar’us (yang dipimpin) merupakan komponen yang
harus ada dalam pemerintahan suatu daulah. Pemimpin dan perangkatnya yang ada dalam
suatu daulah merupakan motor penggerak dan pelaksana jalannya roda pemerintahan.
Adapun mar’us harus mematuhi dan melaksanakan sistem dan aturan yang telah
digariskan atau diprogramkan oleh rais. Ayat pertama ditujukan kepada pengausa, agar
bertindak adil. Ayat kedua ditujukan kepada warga sipil, agar mematuhi Allah,
Rasulullah, dan ulil amri (penguasa).
Keharusan adanya pemimpin berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW :”Jika tiga
orang bepergian, hendaklan mereka menjadikan salah seorang diantara mereka sebagai
pemimpin” (HR. Abu Daud)
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa kemashlahatan dan keadilan tidak bias ditegakkan
tanpa adanya penguasa yang berwenang menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan
Sunah Rasulullah SAW. Hukum tidak bisa berjalan dengan baik tanpa didukung rakyat
yang memenuhi hukum. Harus ada kerjasama antara penguasa dan rakyat.Kemashlahatan
bisa berjalan dengan baik apabila telah terbentuk daulah.
c. Rukun Daulah
Menurut Imam al-Mawardi, rukun daulah adalah adanya rakyat, wilayah dan
pemerintahan. 1) Rakyat merupakan salah satu yang esensial begi terwujudnya daulah.
Rakyat merupakan gabungan individu yang berdomisili di wilayah daulah.Tidak semua
yang menetap di wilayah daulah dianggap sebagai warga. Daulah Islam membedakan
antara orang Islam dengan kaum Dzimmi (kaum non Muslim yang menetap dan mendapat
perlindungan di darul Islam). Kaum dzimmi yang bermukim di daerah Muslim diharuskan
membayar jizyah (pajak yang dipungut dari rakyat nonmuslim dalam negara Islam), yang
dengannya mereka terjamin memperoleh perlindungan dari negara (Q.S. 9:29). Pajak
tersebut juga merupakan pembenaran perlindungan perlindungan nyawa dan harta
mereka. Setelah itu baik daulah Islam maupun masyarakat Muslim tidak berhak
melanggar harta, kehormatan maupun kemerdekaan mereka. Mereka mendapatkan
perlindungan dalam kemashlahatan umum, seperti perdagangan dan industri.
Kaum Dzimmi terikat dengan hukum pidana yang sama dengan warga muslim. Demikian
juga dengan hukum perdata, harta kekayaan apapun bentuknya dan alat perdagangannya
yang dilarang bagi muslim juga terlarang bagi kaum dzimmi. Misalnya, riba terlarang
bagi kaum muslim juga bagi kaum dzimmi. Dalam hukum keluarga (perkawinan,
perceraian, danm warisan)mereka diperbolehkan memberlakukan hukum agama mereka,
seperti pernikahan tanpa saksi, tanpa penetapan mahar, dan sebagainya. Mereka juga
diberi kebebasan dalam mengadakan upacara keagamaan sesuai dengan agama mereka.
Menurut Imam al-Mawardi, penguasa boleh menugaskan kaum dzimmi dalam lembaga
eksekutif. Mereka tidak wajib berperang apabila peperangan itu dimaksudka untuk
membela Islam. Adapun warga Muslim yang telah memenuhi kriteria tertentu, misalnya
baligh, berakal, dan merdeka, mempunyai hak politik, hak memilih dan dipilih, dan wajib
ikut berperang membela Islam dalam peperangan.
2)Wilayah. Yang dimaksud wilayah di sini mencakup wilayah darat, laut, dan udara.
Untuk mewujudkan daulah, sekelompok orang harus menetap pada suartu wilayah
tertentu. Suku-suku yang sellau berpindah tempat tidak mempunyai wilayah sendiri, tidak
dianggap sebagai daulah. Sistem Islam membedakan antara darul Islam (daerah yang
berada di wilayah kekuasaan Islam) dan darul harbi (wilayah yang berada dalam
kekuasaan kaum kafir).
Di Samping itu terdapat darul Ahad (darul aman), yaitu suatu wilayah yang ditaklukkan
oleh kaum muslimin tetapi tidak dikuasai secara teritorial. Penaklukan wilayah ini
dilakukan secara damai dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam. Hanya saja antara
darul Islam dan mereka tidak diikat dalah suatu perjanjian damai.
d. Syarat Daulah
Menurut Mahmud Hilmi, Guru Besar filsafat dan politik Islam di Universitas al-Azhar
(Mesir) dalam bukunya Nizam al-Hukm al-Islami, menyatakan syarat daulah adalah ; 1)
mempunyai pengairan yang memadai, 2) tersedia barang-barang kebutuhan pokok, 3)
tempatnya strategis dan udaranya bagus, 4) dekat dari daerah pemukiman, dan 5)
wilayahnya terpelihara dari gangguan musuh dan pengacau hingga rakyat merasa
terlindungi.
Selanjutnya ia menyatakan, apabila daulah telah berdiri, maka harus dipenuhi beberapa
faktior berikut : 1) pemerintah harus menyediakan air bersih dan memberi kemudahan
kepada rakyat untuk memperolehnya, 2) mendirikan tempat shalat di dekat pemukiman,
3) mendirikan pasar yang memungkinkan penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, 4)
membentengi daerah agar aman dari serbuan musuh, 5) mendatangkan para ilmuwan dan
para ahli yang sesuai dengan kebutuhan penduduk sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri.
e. Fungsi Daulah
Menurut Abu Ya’la Muhammad bin Husain al-Farra’ al-Hanbali (338-458 H; ahli fiqih
madzab Hanbali) dan Imam al-Mawardi, menyatakan ada beberapa fungsi daulah,
diantaranya sebagai berikut :
Untuk kepentingan diskusi ini, dieksplorasi sedikit pemikiran intelektual muslim yang
dikenal sebagai eksponen perspektif sekularistik tentang negara/kekuasaan. Dalam hal ini
adalah Ali Abd. Raziq, intelektual dan aktifis politik Muslim yang dikenal sebagai
eksponen pemikiran pemisah agama dan negara. Tokoh yang pernah diangkat sebagai
hakim syari’ah di Mesir (1915) ini menulis Al-Islam wa Ushulul al-Hukm: Bahtsun fi
al Khilafati wa al-Hukumati fi al-Islam- Islam dan sumber-sumber kekuasaan politik;
Kajian tentang Khilafah dan kekuasaan dalam Islam, diterbitkan pertama kali pada tahun
1925, yang berarti hanya berselang dua tahun setelah revolusi Kemalis yang menghapus
sistem khilafah Turki pada akhir 1923.
Dalam membangun tesis pemisahan antara agama dan politik, itu Raziq dalam hal
tertentu tampak dipengaruhi oleh pemikiran ibn Khaldun yang dikenal sebagai Bapak
Sosiologi dalam Islam maupun Barat modern. Raziq mengikuti Khaldun dalam pencarian
sumber kekuasaan dari sebab-sebab alamiyah dan bukan dari sebab-sebab ilahiyah. Oleh
karena itu Raziq, seperti juga Khaldun memberi penyediaan pintu masuk untuk menerima
kekuasaan raja atau kekuasaan secular dan bukan khilfah (kekuasaan atau rezim yang
memperoleh keabsahan ilahiah).
Kendati demikian harus dicatat bahwa Raziq jauh lebih berani melangkah, dalam
membangun tesis tentang kekuasaan. Menurut aktifis Hisb al-Ummah- organisasi yang
sesungguhnya tergolong radikal di Mesir, kekuasaan harus lepas dari khilafat dengan
mencari justifikasi kepada rakyat. Dalam kontek inilah Raziq menolak tesis Khldun yang
meminta penguasa non-khilafat tetap membangun moralitas ilahiyah. Pandangan seperti
ini menurut Raziq hanya menyebabkan bercapur aduknya justifkasi ilahiyah dengan
justifikasi rakyat.
Pada tingkat asumsi yang dibangun, Razik memang berbeda dengan Khaldun. Bagi Raziq
sumber legitimasi kekuasaan tidak bisa dicampur aduk antara legitimasi rakyat
(ascending of power) dengan yang datang dari Tuhan (descending of power). Tidak
seperti Raziq, ibn Khaldun memandang bahwa khilafah adalah rejim Qur’ani, sebuah
rezim politik yang mengurus kebutuhan manusia dunia dan akhirat, dijustifikasi
berdasarkan kalam ilahi. Walaupun menurut Khaldun rezim Qur’ani tersebut hendaknya
tidak menghapus atau menekan semua keinginan alami manusia dan institusi sosial,
karena ia merupakan basis sebuah rezim apapun, rezim politik maupun Qur’ani. Lebih
jauh dikatakan pula bahwa jika raja bertindak dengan ikhlas melayani kepentingan publik
atas nama Tuhan, dan mengajak mereka perlu dikecam dalam diri pengusaha profan
semacam ini.
Berakar dari asumsi atau pengandaian bahwa kekuasaan harus dicari sebab-sebab
alamiyah, Raziq membangun klaim hubungan agama dan politik melalui perspektif
sekularistik. Klaim tentang khilafat dan kekuasaan dalam Islam itu ia mulai dengan
mengajukan pertanyaan besar: (1) Apakah kekhalifahan memang diperlukan ? (2) Apakah
memang ada sistem pemerintahan yang Islami ? (3) Dari manakah sumber legitimasi
kekuasaan, dari atas (Tuhan) atau dari bawah (rakyat) ?
Pertanyaan ini muncul di tengah seting sosial saat itu yang ditandai dengan lemahnya
kekahlifahan dalam Islam, tetuama di kawasan Eropa Timur, yang kemudian memicu
ketegangan di kalangan aktifis politik Islam. Ketegangan atau konflik itu di Turki
berujung dengan pembubaran kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah) pada tahun 1923/1924
oleh pemerintah Turki di bawah kepemimpinan Kemal Ataturk. Pembubaran itu
dilakukan dengan alasan lembaga spiritual saat itu, khususnya lembaga keulamaan,
dinilai hanya mengabdi kepda kepentingan sultan/khalifah, menjustifikasi penguasa,
dalam hal ini khalifah, tanpa memperhatikan berbagai kelemahan yang dimilikinya.
Kekecewaan masyarakat terhadap sultan atau khalifah saat itu muncul di tengah
kekalahan mereka dari musuh yang antara lain berhasil menduduki Islamabad. Sultan
dipaksa untuk menerima perjanjian damai yang memalukan. Perjanjian itu merampas
kemerdekaan dan memecah belah wilyahnya. Umat Islam, terutama dipelopori Kemal
saat itu menolak penghinaan ini dan memerangi Sultan dengan kekuatan senjata,
sehingga menarik simpati seluruh dunia Islam. Rasyid Rida, editor majalah Al-Manar pun
pada saat itu berada dalam barisan penentang para Sultan yang dinilainya telah
mengedepankan kepentingannya sendiri daripada menjaga keutuhan dan khormatan
wilyah negerinya.
(1) Bahwa Nabi tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat
spiritual. (2) Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang
definitive. Karena itu umat Islam bebas memilih bentuk pemerintahan apapun
yang mereka rasakah cocok (3) Bahwa tipe-tipe pemerintah yang dibentuk
setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem itu
semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan
istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius. (4) Bahwa sistem ini telah
menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam, karena ia
digunakan untuk melegitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
Pikirannya yang menyimpang dari mainstream intelektual Muslim di Mesir saat itu,
menyebabkan dia harus menanggung resiko di pecat dari jabatannya sebagai hakim
syariah oleh Majelis Ulama Tertinggi Mesir, dan Al-Azhar menanggalkan gelar alim dari
Raziq. Namun dalam mempertahankan argumennya, Raziq ketika diwawancarai
wartawan Bourse Egiptienne sesaat setelah Dewan Ulama Pusat Mesir melancarkan
kecaman terhadap dirinya, ia menyatakan gagasan utama dalam buku saya, yang telah
membuat saya banyak dikecam, adalah bahwa Islam tidak menetapkan bentuk Rezim
atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut persyaratan yang dibuat oleh
sistem itu sendiri. Islam justru memberi kita kebebasan untuk membentuk negara sesuai
dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di sekeliling kita, dengan
mempertimbangkan sosial dan tuntutan jaman.
Pemikiran Raziq jelas merupakan kritik, di satu pihak terhadap pemikiran differensionis
Ibn Khaldun di satu pihak, dan terutama adalah kritik kepada para pemikir Islam
perspektif organik. Raziq tidak sependapat dengan pemikiran organik yang dianut oleh
mayoritas Muslim saat itu. Dalam tipologi kekuasan organik, penguasa atas nama negara
memberikan dukungan dan akomodasi terhadap negara. Simbol-simbol agama akan
dikenakan dalam acara-acara resmi maupun tidak resmi dan bahkan dalam sistem negara
teokratik, penggunaan symbol-simbol agama itu dilakukan secara institusional dan
formalistik. Dalam kajian Islam, diskusi hubungan agama dan kekuasaan atau politik
organis, memunculkan klaim tidak ada pemisahan antara agama dan politik, sehingga
kekuasan bukan sekedar representasi, tetapi adalah presentasi dari agama. Di sinilah
Raziq berbeda paham dengan para penganut Islam formalistik seperti Sayyid Qutb, Rida
maupun Al-Maududi.
Menurut Raziq, persyaratan yang dibangun untuk menjustifikasi penyatuan agama dan
politik dalam Islam didasarkan kepada teradisi pemikiran skripturalistik, idealistik dan
formalistik dalam memahami teks doktrinal agama (Woodward, 1998 : 283-311). Dalam
pemikiran skpritualistik pemahaman agama dilakukan secara tekstual. Pemikir seperti
Sayyid Qutb, misalnya mengartikan secara harfiah ayat Al-qur’an : “Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir”. (QS. 5:44,45,47)
Ayat ini dfahami sebagai perintah menjalankan pemerintahan illahi dalam lembaga
formal sehingga lalu memunculkan konsep negara teokratis, dengan simbol-simbol
kekuasaan bersumber dari Islam. Dengan demikian dalam memahami kekuasaan,
penganut perpsektif skripturalis cenderung berangkat dari asumsi descending of power,
dalam hal ini legitimasi penguasa berasal dari Tuhan, dan dengan demikian penguasa
tidak lain adalah representasi dari kekuasaanNya yang dari sini lalu muncul pemerintahan
teokratis.
Sikap idealis dan tidak realistik, di tambah dengan kecenderungan untuk melakukan
formalisme ajaran tersebut memicu ketidak sabaran sejumlah pegerakan kebangkitan
Islam seperti kelompok Al-Jamaah al-Islamiyah maupun gerakan Jihad untuk merespon
pemerintahan Mesir yang cenderung secular secara radikal, berbeda dengan strategi yang
diterapkan Iskhwanul Muslimin yang cenderung lebih moderat.
Dalam membangun tesis pemisah agama dan politik Raziq, menghidarkan diri dari
pemikiran skriptualistik, idealistik maupun formalistik. Raziq menegaskan bahwa tidak
ada rujukan yang dapat dipakai di dalam al-Qur’an maupun Hadits untuk membuktikan
adanya persyaratan menggerakan sistem kekhalifahan. Peraturan tentang kekuasaan
politik, politheisme, perbudakaan atau tentang apapun tidak lantas menjadi wajib hanya
karena dibahas dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an yang sangat terkenal, “patuhlah
kepada Allah, Rasul dan ulil amri, “ tidak dengan serta merta merujuk kepada penguasa
politik baru manapun.
Dengan mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, Raziq menyatakan
bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau “ulama’ Oleh karena
itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah.
Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun pemimpin politik. Ia menyatakan :
REFERENSI:
Dahlan, Abdul Azis dkk., (ed)., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van
Hoevee, cet. IV, 2000
Al-Raziq, Ali Abd., 1966, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Beirut : Maktabah al-hayah.
‘Imara, Muhammad, 1972, al-Islam wa Ushul al hukm li ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Beirut : Dar
al-Fikr.
Effendy, Bachtiar, 1998, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina
Al-Maududi, Abu al-A’la, Khalifah dan Kerajaan, Evaluasi atas Sejarah Pemerintahan,
Bandung : Mizan, 1984
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibn Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah,
Beirut : Dar al-Fikr, 1966