You are on page 1of 33

Laporan kasus FER

MIOMA UTERI

PENDAHULUAN Mioma uteri, dikenal juga dengan leiomioma, fibroid atau fibromioma, merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus. Mioma uteri merupakan tumor pelvik yang paling sering dijumpai dan merupakan tumor yang sering dijumpai pada wanita. Diperkirakan sekitar 20-25% wanita usia reproduksi mempunyai fibroid. Prevalensi tertinggi terjadi selama dekade ke lima dari kehidupan wanita, dimana 40-50% ditemukan pada usia 40 tahun. Berdasarkan studi populasi di daerah Washington DC, dengan menggunakan sonografi transvaginal, menemukan mioma pada lebih 80% wanita Afrika-Amerika, dan lebih dari 70% wanita kulit putih, pada usia 50 tahun. Di Indonesia mioma uteri ditemukan 2,39-11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat.1,2,3,4,5 Mioma tidak terdeteksi sebelum pubertas dan bersifat responsif terhadap hormon, yang secara normal tumbuh selama usia reproduksi. Walaupun biasanya asimtomatik, mioma dapat menimbulkan masalah dalam spektrum luas, termasuk menoragia dan metroragia, nyeri dan infertilitas.3,4

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Penyebab mioma uteri belum diketahui secara pasti. Beberapa peneliti menyatakan bahwa mioma uteri tumbuh dari sel tunggal (monoclonal). Walaupun belum ada bukti yang menunjukkan estrogen bahwa estrogen menyebabkan mioma, tetapi kadar mempengaruhi

peningkatan pertumbuhan fibroid.1,4 Leiomioma mengandung reseptor

estrogen dalam jumlah besar dibandingkan dengan miometrium tetapi lebih rendah bila dibandingkan endometrium.4 Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast. Menurut Meyer asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur. Lipschutz melakukan percobaan dengan memberikan estrogen pada kelinci percobaan dan menemukan terjadi pertumbuhan fibromatosa. Puukka dan kawan-kawan menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih banyak dari pada miometrium normal.3 Akan tetapi dengan teori-teori tersebut sukar diterangkan mengapa pada seorang wanita, estrogen dapat menyebabkan mioma, sedangkan pada wanita lain tidak.

PATOLOGI Mioma uteri biasanya multipel, diskret, dan berbentuk sferis dengan permukaan yang tidak rata. Pseudokapsul memisahkan mioma dengan miometrium di sekitarnya. Mioma dapat dengan mudah dienukleasi dengan bersih dari jaringan miometrium di sekelilingnya. Mioma biasanya berwarna pucat, berbentuk bulat, licin, dengan konsistensi keras. Umumnya mioma berwarna lebih pucat daripada miometrium. Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri atas berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti konde/pusaran air (whorl like pattern), dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini.3,4

BERDASARKAN LETAKNYA MIOMA UTERI DIBAGI ATAS: 3,6 Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uterus (1-3%), sisanya adalah dari korpus uterus. 1. Mioma submukosum (6,1%)
2

Mioma uterus yang ditemukan tepat di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Mioma ini dapat tumbuh bertangkai sehingga menjadi polip, apabila tangkainya panjang dapat keluar melalui kanalis servikalis dan disebut mioma geburt. 2. Mioma intramural

Mioma ini terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium dan merupakan jenis mioma tersering (54%). 3. Mioma subserosum (48,2%) Mioma ini tumbuh keluar dinding uterus, sehingga menonjol pada permukaan luar uterus. Jenis ini dapat juga tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum sehingga menjadi mioma intraligamenter. Mioma subserosum dapat pula tumbuh dan menempel pada jaringan lain. Misalnya ke ligamentum atau omentum lalu memisahkan diri dari uterus yang disebut wandering/parasitic fibroid.

PERUBAHAN DEGENERATIF PADA MIOMA UTERI TERDIRI DARI: 3,4 1. Degenerasi benigna a. Degenerasi atropik

Gejala dan tanda akan berkurang atau menghilang sesuai dengan mengecilnya ukuran mioma pada saat menopause atau setelah melahirkan. b. Degenerasi hialin

Perubahan ini sering terjadi pada penderita usia lanjut. Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen, dapat terjadi pada sebagian kecil atau sebagian besar dari massa mioma. c. Degenerasi kistik

Pencairan daerah yang mengalami hialinisasi, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur dan berisi cairan seperti agaragar dan dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. d. Degenerasi membatu (calcireous degeneration) Terutama terjadi pada mioma subserosa oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi, terjadi pengendapan garam kapur pada sarang mioma sehingga menjadi keras.
e. Degenerasi merah (carneous degeneration)

Merupakan akibat dari terganggunya sirkulasi darah ke jaringan mioma sehingga terjadi penumpukan pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah ini sering menimbulkan gejala pada wanita hamil yaitu demam dan rasa nyeri, dimana tumor pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan. f. Degenerasi Septik Bila sirkulasi darah tidak adekuat dapat terjadi nekrosis bagian tengah dari mioma yang diikuti dengan terjadinya infeksi dan akan menimbulkan gejala berupa nyeri akut dan demam. g. Degenerasi Lemak Jarang ditemukan dan tanpa gejala terjadi setelah degenerasi hialin dan degenerasi kistik sehingga dikenal dengan sebutan fibrolipoma. 2. Degenerasi Maligna Perubahan menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32 0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarcoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histology uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan

uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma saat menopause.

GEJALA KLINIK Sekitar 50% kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan yaitu saat pemeriksaan ginekologi, karena tumor ini umumnya tidak menimbulkan keluhan. Mioma uteri hanya ditemukan pada usia reproduksi, belum pernah ditemukan sebelum menarche, sedangkan pada wanita menopause, mioma ini sering mengecil dengan sendirinya dan hanya 10% yang terus tumbuh. Gejala klinik hanya ditemukan pada 35-50% dari seluruh kasus mioma uteri. Gejala yang dikeluhkan sangat tergantung pada lokasi sarang mioma, besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Keluhan penderita umumnya adalah:3,4
1. Perdarahan abnormal (menoragia/metroragia)1,2,3,4

Terjadi pada sekitar 35-50% pasien dengan mioma. Faktor-faktor yang menjadi perdarahan antara lain : Pengaruh ovarium yang mengakibatkan hiperplasia

endometrium sampai adenokarsinoma endometrium. Permukaan endometrium menjadi lebih luas. Gangguan kontraktilitas uterus Peningkatan vaskularisasi pada uterus.

2. Rasa nyeri3,4

Dismenorea, nyeri perut bawah serta nyeri pinggang ditemukan pada sekitar 65% wanita.7 Gejala ini tidak khas untuk mioma, dapat timbul akibat gangguan sirkulasi sarang mioma yang disertai peradangan dan nekrosis. Pada mioma geburt nyeri timbul akibat degenerasi sehubungan dengan
5

oklusi pembuluh darah, infeksi, putaran dari mioma bertangkai ataupun akibat kontraksi uterus dalam upaya mengeluarkan mioma dari kavum uteri.3,4
3.

Gejala dan tanda penekanan3,4,7 Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Gejala dapat berupa poliuri, retensi urin, hidroureter dan hidronefrosis serta obstipasi. obstipasi. 4. Infertilitas dan abortus3,4 Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosum dapat menyebabkan terjadinya abortus karena distorsi rongga uterus. Mioma uteri dapat menyebabkan infertilitas pada 27-40% wanita. DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:3,4 1. Terasa -

Pada

penelitian

multisenter

yang

pernah

dilakukan

menemukan 14% dengan keluhan disuri dan 13% dengan keluhan

Anamnesis adanya benjolan baik di perut bagian bawah atau

berdasarkan gejala yang timbul, antara lain: Perdarahan uterus yang abnormal Pembesaran pada uterus Rasa nyeri Infertilitas Gejala penekanan mioma terhadap organ sekitar

2. Pemeriksaan Fisik
6

Dilakukan dengan pemeriksaan bimanual dan palpasi. Pada mioma yang besar dapat teraba perabdominal sedangkan pada mioma yang kecil ditemukan pembesaran uterus yang irreguler pada pemeriksaan pelvik. Dengan menggunakan spekulum, mioma geburt yang kecil dapat diketahui dengan mudah. Pada pemeriksaan dalam dapat diperiksa dengan jelas adanya suatu tumor, konsistensi dan tangkai mioma. 3. Pemeriksaan Penunjang
a.

Laboratorium: anemia, merupakan temuan laboratoris yang

sering ditemui karena adanya perdarahan uterus yang abnormal. b. USG

Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma uteri. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran kontur irregular maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi ditandai oleh fokus-fokus hiperechoik dengan bayangan akustik. Degenerasi kistik ditandai dengan adanya daerah hipoechoik. c.
d.

CT Scan / MRI Histerosalfingografi (HSG) Histeroskopi Laparoskopi

e. f.

4. Pemeriksaan Khusus Perlu dilakukan papsmear dan biopsi endometrium dengan kuretase untuk menyingkirkan adanya karsinoma serviks dan karsinoma endometrium.

DIAGNOSA BANDING

Mioma

uteri

sulit

dibedakan

dengan

adenomioma apabila belum terlihat adanya kapsul pada enukleasi, tetapi secara umum adenomioma lebih keras dan dijumpai adanya dismenorea yang berat.8

Tumor ovarium harus selalu dipertimbangkan

dalam diagnosa banding mioma uteri. Secara umum uterus dapat dideteksi secara terpisah dari massa tumor. Tetapi bila tumor ovarium melengket ke uterus maka sangat sulit membedakannya dengan mioma dan diagnosa yang benar hanya dapat diketahui saat laparatomi.4

PENATALAKSANAAN 1. Observasi

3,4

Lebih kurang 55% mioma uteri tidak memerlukan pengobatan. Pada mioma uteri yang kecil dan tanpa gejala terutama pada pasien perimenopause tidak diperlukan pengobatan dan pasien dievaluasi rutin setiap 3-6 bulan. 2. Medikamentosa Belum ada terapi medis definitif untuk mioma uteri. Pemberian GnRH analog terbukti bermanfaat mengurangi pertumbuhan mioma uteri atau memperkecil ukuran tumor untuk sementara. GnRH analog menyebabkan hipogonadism melalui desensitisasi hipofise, menekan reseptor (downregulation) dan menginhibisi gonadotropin. Pemberian GnRH analog selama 3 bulan dapat memperkecil ukuran tumor hingga 35-60% volumenya dan amenorea yang terlihat pada parameter hematologis. Keuntungan pengobatan medikamentosa preoperatif dengan analog GnRH adalah untuk mengurangi jumlah perdarahan pada tindakan

operatif,

memudahkan

perlepasan

perlekatan

dengan

jaringan

sekitarnya dan pada pascaoperasi lebih jarang ditemukan perlekatan. 3. Operatif Indikasi operasi pada mioma uteri: 1. perdarahan uterus abnormal 2. gejala penekanan terhadap organ pelvis 3. nyeri akut/kronik 4. kecurigaan keganasan 5. pertumbuhan besar mioma setelah menopause 6. infertilitas terutama bila terdapat distorsi kavum uteri dan obstruksi tuba yang diperkirakan oleh mioma tersebut 7. abortus habitualis 8. anemia karena perdarahan kronik

a. Miomektomi Miomektomi terutama diindikasikan bila uterus masih ingin dipertahankan. Selain itu prosedur ini juga lebih dipilih pada wanita dengan mioma soliter dan bertangkai, indikasi dari miomektomi adalah gangguan massa mioma terhadap fungsi reproduktif wanita, terjadinya abortus habitualis, yang terutama terjadi bila massa mioma mendistorsi cavum endometrium atau menekan tuba falopi. Kehilangan darah akibat miomektomi tergantung pada ukuran uterus dan massa mioma, serta lamanya waktu operasi. Prinsip umum miomektomi abdominal adalah eksposur massa jelas terlihat, hemostasis dan penanganan hati-hati terhadap jaringan reproduksi serta mencegah terjadinya perlengketan. Miomektomi multiple sering kali lebih sulit secara tehnis dan menghabiskan waktu lebih lama dibandingkan histerektomi, namun Iverson dkk dan penelitian lainnya mengemukakan lebih rendahnya angka
9

komplikasi khususnya mengenai angka cedera saluran kemih dan saluran cerna pada miomektomi dibandingkan prosedur histerektomi. Miomektomi bukan tindakan definitif bagi pasien karena kekambuhan dapat terjadi. b. Histerektomi

Histerektomi diindikasikan terutama untuk pasien dengan mioma uteri yang tidak ingin mempunyai anak lagi, mioma berukuran besar, multipel, kemungkinan kesulitan teknik untuk melakukan miomektomi dan bila ada malignansi, selain itu histerektomi juga diindikasikan bila ditemui kelainan sitologi endometrium atau serviks dan ketidakmampuan untuk mentoleransi pengobatan hormonal. Histerektomi merupakan terapi definitif untuk mioma uteri. Beberapa keberatan untuk histerektomi antara lain adalah kekuatiran kehilangan fungsi seksual. Dalam beberapa penelitian, fungsi seksual tidak terganggu dengan histerektomi. c. Laparaskopi

Miomektomi dengan bantuan laparoskopi terutama dilakukan untuk mioma subserous atau mioma bertangkai. Mioma ini dapat dimorcelasi dan kemudian dibuang melalui canula laparosopi, malalui incise di kavum Douglas atau dengan insisi kolpotomi. Miolisis adalah tindakan laparoskopi koagulasi termal dengan menggunakan laser, yaitu dengan prinsip denaturasi protein dan perusakan vaskularisasi mioma. 4. Embolisasi arteri uterina Prinsip dari embolisasi adalah membatasi suplai darah ke mioma, sehingga terjadi infark jaringan kemudian pengecilan volume mioma. Material yang biasanya dipakai polyvinyl alkohol yang dimasukkan dengan bantuan kateter yang dipandu fluoroskopi melalui arteri femoralis ke pembuluh darah yang spesifik mendarahi massa mioma.

10

Prosedur ini merupakan tindakan radiologi invasif dibawah sedasi ringan dan pasien dapat pulang setelah satu hari rawatan. Prosedur ini diindikasikan pada pasien dengan massa mioma besar yang tidak ingin dioperasi atau kondisinya tidak memungkinkan menjalani operasi. Embolisasi arteri uterina mempunyai beberapa kemungkinan efek samping antara lain endometritis, piometra, nekrosis uterus, demam, sepsis.9,10

KOMPLIKASI OPERATIF 1. Perdarahan 2. Infeksi 3. Cedera

Kandung kemih Ureter Usus Fistula vesikovaginal

DAFTAR PUSTAKA

11

1. Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Uterine Fibroids in: Obstetrics

and Gynecology an Illustrated Colour Text. Toronto: Churchill Livingstone, 2003, p. 180-120.
2. Katz

VL.

Benign

Gynecologic

Lesions

in:

Comprehensive

Gynecology 5th ed. Philadelphia: Mosby Year Book Inc, 2007.


3. Sapoetra JMS. Tumor Jinak Alat Genital dalam: Ilmu Kandungan

edisi 11. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, 1992, hal. 271-312.


4. Wexler AS, Pernoll ML. Benign Disorders of the Uterine Corpus in:

Current Obstetrics and Gynaecology: Diagnosis and Treatment 8th ed. Connecticut: Appleton and Lange, 2005, p. 731-736.
5. Berek, Jonathan S. Benign Diseases of Female Reproductive Tract

in: Berek & Novaks Gynecology 14th ed. California: Lippincott Williams & Wilkins, 2007, p. 469-470. 6. Hudono ST, Moeloek FA. Penyakit dan Kelainan Kandungan dalam: Ilmu Kebidanan edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Prawiraharjo, 1992, hal. 421-423. 7. Baziad A. Mioma Uteri dalam: Endokrinologi Ginekologi edisi 2. Jakarta: Media Aesculapius FK UI, 2003, hal. 131-2.
8.

Mutu MG, Friedman AJ. The Uterine Corpus in: Kistners

Gynecology 7th ed. Philadelphia: Mosby Year Book Inc, 1995, p. 147150. 9. Pernoll ML. Diseases Of Uterus in: Benson & Pernolls, Handbook of Obstetrics Gynecology. New York: McGraw Hill, 2001, p. 619-625.
10. Speroff

L,

Fritz

MA.

The

uterus

in:

Clinical

Gynecologic

Endocrinology & Infertility 7th ed. California: Lippincott Williams & Wilkins, 2005, p. 134-140.

12

ABSES TUBO OVARIAL

Penyakit

radang

panggul

(pelvic

inflammatory

disease/PID)

merupakan spektrum penyakit infeksi yang mengenai serviks, uterus dan tuba fallopi. Radang panggul akut adalah radang akut yang terjadi sebagai akibat penyebaran mikroorganisme patogen dari vagina dan serviks sampai ke endometrium, tuba fallopi dan jaringan sekitarnya. Komplikasi akut dari penyakit radang panggul panggul termasuk kompleks tubo ovarian dan abses (TOA), piosalfing, dan peritonitis. Radang panggul yang tidak diterapi atau mendapat terapi yang tidak adekuat dapat menyebabkan nyeri pelvis kronik, infertilitas kehamilan dan ektopik.1,2,3,4,5 Sebagian besar kasus radang panggul akut disebabkan oleh bermacam-macam bakteri yang berasal dari vagina dan serviks dan menginfeksi endometrium dan tuba fallopi. Sekitar 85% kasus radang panggul terjadi murni akibat infeksi pada wanita usia reproduksi yang aktif secara seksual. Lima belas persen lainnya terjadi akibat prosedur yang merusak penghalang mukosa serviks seperti pada pemasangan IUD, biopsi endometrium, kuretase yang memungkinkan kolonisasi flora vagina pada saluran genital bagian atas. Kuman-kuman yang sering ditemukan pada saat kultur adalah Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, bakteri aerob dan anaerob endogen seperti Prevotella, Bacteroides, Peptococcus, dan Peptostreptococcus dan Mycoplasma seperti Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum.1,2,3,4 Faktor risiko terjadinya radang panggul adalah: (1) usia saat pertama kali coitus, (2) frekuensi coitus, (3) jumlah pasangan, (4) usia, (5) prosedur yang menyebabkan terbukanya penghalang mukosa serviks seperti: pemasangan IUD, histeroskopi, biopsi endometrium, kuretase, dan HSG, (6) riwayat radang panggul sebelumnya.1,2,3,4 Kantong yang berisi pus yang terbentuk karena adanya infeksi tuba fallopi dan ovarium disebut abses tubo ovarial (tubo ovarian abscess/TOA). Abses tubo ovarial sering terjadi pada wanita usia
13

reproduksi. Pasien dengan abses tubo ovarial biasanya adalah wanita muda dengan paritas rendah. Abses tubo ovarial adalah komplikasi yang terjadi pada 15 30% kasus infeksi radang panggul. Beberapa penelitian menunjukkan TOA berkembang hingga 34% pada pasien yang dirawat dengan PID. Abses dapat terjadi unilateral (pada 60% kasus) atau bilateral.1,5 Abses tubo ovarial dapat terbentuk setelah episode salfingitis akut atau setelah infeksi berulang pada jaringan adneksa. Tuba fallopi yang mengalami nekrosis dan kerusakan pada epitel akibat bakteri patogen merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri anaerob. Pada awalnya akan terjadi salfingitis tanpa keterlibatan ovarium. Proses inflamasi akan membaik secara spontan atau karena pemberian terapi. Proses penyembuhan dari proses inflamasi sebelumnya akan menyebabkan perubahan struktur anatomi dari tuba dan perlengketan dengan jaringan sekitarnya akibat pembentukan fibrin. Keterlibatan ovarium terutama pada tempat ovulasi akan menjadi tempat masuknya kuman dan akan terbentuk abses. Tekanan oleh eksudat dapat menyebabkan pecahnya abses dan terjadinya peritonitis umum yang memerlukan laparatomi segera. Apabila pecahnya abses terjadi perlahan-lahan akan terbentuk abses di dalam cul de sac.1,2,3,4

PID may causes sequlae that was caused of PID: adhesion, tuboovarian abscess, ectopic pregnancy, and inflammation of fallopian tubes

14

Abses tubo ovarial berhubungan dengan pemakaian IUD dan adanya infeksi granulomatosa (oleh tuberculosis atau actinomycosis). Penyebab abses biasanya polimikrobial dengan kecenderungan keterlibatan kuman anaerob. Actinomyces israelii adalah kuman

komensal pada saluran gastrointestinal dan kuman ini diidentifikasi pada 8 20% wanita yang menggunakan IUD. Infeksi Actinomyces bersifat asimtomatik pada sebagian besar kasus tetapi pada 25% kasus akan menimbulkan gejala radang panggul. Drainase diperlukan pada abses tuboovarial yang disebabkan oleh Actinomyces yang terjadi akibat appendisitis atau penggunaan IUD.2 Patofisiologi TOA: Infeksi bakteri asenden yang berasal dari uterus Meluas ke tuba fallopii dan ligamentum latum Salpingitis akut, salpingo-ooforitis, piosalfing Kompleks tubo ovarial atau abses tubo ovarial Tipikal pasien dengan TOA biasanya usia muda dan paritas rendah, dengan riwayat infeksi pelvik sebelumnya, tetapi tidak ada batasan kelompok umur. Spektrum klinis bervariasi dari tanpa gejala, yang pada pemeriksaan pelvik rutin, ditemukan massa adneksa hingga akut abdomen dan syok septik. Gejala khas abses tubo ovarial adalah nyeri perut bawah yang menetap dan bertambah dengan aktivitas fisik atau coitus, leukorea, demam, mual, muntah dan takikardia. Menorrhagia dan perdarahan bercak terjadi pada 40% kasus. Seluruh abdomen akan teraba tegang dan pemeriksaan abdomen biasanya tidak memungkinkan oleh karena ketegangan dinding abdomen tetapi dapat teraba adanya massa adneksa. Serviks akan terasa nyeri bila digerakkan. Dibandingkan dengan laparoskopi, nilai praduga positif diagnosis klinis adalah 65 90%.1,2,5 Pemeriksaan laboratorium darah rutin hanya sedikit membantu. Angka leukosit dapat bervariasi dari leukopenia sampai leukositosis. Urinalisis dapat menunjukkan adanya pyuria tanpa bakteriuria. Laju
15

endap darah (LED) rata-rata 64 mm/jam dan C-reactive protein (CRP) mencapai 20 mg/L.1 Ultrasonografi merupakan alat penunjang diagnostik yang

bermanfaat untuk menegakkan diagnosis TOA, walaupun standar baku emas adalah laparoskopi. Bagaimanapun jika pasien tidak dapat mentoleransi pemeriksaan dengan palpasi adneksa karena nyeri, sonografi pelvik mungkin diperlukan. Hasil pemeriksaan dapat normal pada fase awal atau pada kondisi tidak terjadi komplikasi. Pada tahap yang lebih lanjut dapat dijumpai penebalan endometrium dengan atau tidak adanya cairan dan gas endometrial, pembesaran ovarium dengan batas yang tidak jelas, pembesaran uterus dengan kontur yang tidak jelas dan adanya cairan bebas intraperitoneal.5

A,

Sagittal

endovaginal

sonogram

reveals

complex

free

fluid

(FF).

uterus.

B, Coronal image of left adnexa reveals dilated fallopian tube (T) with echogenic fluid. Findings are consistent with those of pyosalpinx.

16

Laparoscopy umage and close-up image of same patient shoe sausage-shape dilated right fallopian tube (arrow)

Foto polos abdomen akan menunjukkan adanya ileus paralitik dan kecurigaan adanya massa adneksa. Udara bebas dapat terlihat di bawah diafragma pada ruptur abses tuboovarial. Pemeriksaan CT scan bersifat superior dibandingkan ultrasonografi untuk deteksi abses abdominal (sensitivitas 78 100% dibandingkan 75 82%). Timo et al., melaporkan pemeriksaan MRI untuk diagnosis PID dengan sensitivitas 95% dan spesifisitas 89% dan secara keseluruhan dengan akurasi 93% dari penelitian terhadap 21 pasien yang terdiagnosis melalui laparoskopi.5 Pemeriksaan khusus, kuldosentesis, dapat dilakukan pada wanita dengan abses tubo ovarial yang belum ruptur, hasil yang didapat seperti pada salpingitis akut cloudy reaction fluid. Pada ruptur abses tubo ovarial didapatkan material purulen.5 Diagnosis banding dari abses tuboovarial adalah kistoma ovarii dengan atau tanpa torsi, kehamilan ektopik, abses periappendiks, myoma uteri, hidrosalfing, perforasi appendiks, perforasi divertikulum atau abses divertikulum, perforasi dari ulkus peptikum, dan penyakit sistemik dengan gejala abdomen akut (ketoasidosis diabetik, porfiria).1,5 Komplikasi dari abses tuboovarial adalah ruptur abses disertai sepsis, reinfeksi, obstruksi usus, infertilitas dan kehamilan ektopik. Ruptur abses tuboovarial adalah kasus emerjensi dan sering disertai dengan syok septik, abses intraabdominal (abses subphrenicus), emboli septik, abses renal, abses paru dan abses otak.1,3 Manajemen abses tuboovarial dapat dibagi menjadi dua : (1) abses tuboovarial yang belum ruptur dan (2) ruptur abses tuboovarial.1, 2 1. Abses tuboovarial Pada abses tuboovarial yang belum ruptur dilakukan terapi seperti salpingitis kronik dengan pemberian antibiotika jangka panjang dan pemantauan yang ketat. Jika massa tidak mengecil dalam 15 21 hari atau bertambah besar, dapat dilakukan drainase. Saat
17

eksplorasi, biasanya dilakukan histerektomi total dan adnesektomi

bilateral, pada kasus tertentu, salfingo-ooforektomi unilateral atau salfingostomi linier serta dipertimbangkan irigasi dan drainase.3 Penatalaksanaan termasuk rawat inap, istirahat dalam posisi semiFowler, monitor ketat tanda-tanda vital, pemberian cairan intravena dan produksi urin, pemeriksaan abdominal. Bila diperlukan dapat dilakukan pemasangan NGT. Jika terapi inisial berhasil, antibiotik tetap diberikan selama minimal 10 hari dan harus dilakukan monitoring. Jika abses menetap mungkin diperlukan laparotomi.1,2,3

Segera setelah material produk infeksi diambil untuk kultur diberikan antibiotika. Terapi antibiotika empirik harus mampu mengeradikasi N. gonorrhoeae, C. trachomatis, kuman anaerob batang dan kokus, kuman aerob gram positif, dan mikoplasma.1,2,3 CDC mengeluarkan pedoman pemberian antibiotika parenteral pada kasus PID dan abses tuboovarial pada khususnya.6 Tabel 1 : Rekomendasi CDC thn 2002 untuk terapi

antibiotika parenteral pada kasus PID (rawat inap) Regimen A : Cefotetan (Cefotan) 2 g i.v. tiap 12 jam Atau Cefoxitin (Mefoxin) 2 g i.v. tiap 6 jam Ditambah Doksisiklin (Vibramycin) 100 mg per oral atau i.v. tiap 12 jam. Regimen B : Clindamycin 900 mg i.v. tiap 8 jam Ditambah Gentamicin i.v. atau i.m. dengan loading dose 2 mg/kg BB diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 1,5 mg/kg BB tiap 8 jam Regimen Alternatif :

18

Ofloxacin 400 mg i.v. tiap 12 jam atau levofloxacin 500 mg i.v. satu kali sehari Dengan atau tanpa

Metronidazole 500 mg iv tiap 8 jam Atau Ampicillin/sulbactam (Unasyn) 3 gr i.v. tiap 6 jam ditambah doksisiklin (Vibramycin, Doryx) 100 mg i.v. atau peroral tiap 12 jam Catatan : regimen harus dilanjutkan minnimal sampai 24 jam setelah terjadi perbaikan dan dilanjutkan dengan Doksisiklin 2 x 100 mg selama 14 hari. Khusus pada kasus abses tuboovarial ditambahkan Metronidazole 2x 500 mg selama 14 hari atau Clindamycin (Cleocin) 3x300 mg selama 14 hari untuk terapi bagi kuman anaerob.

Tabel

Rekomendasi

CDC

thn

2002

untuk

terapi

antibiotika parenteral pada kasus PID (rawat jalan) Regimen A: Ofloxacin (Floxin) 400 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari Atau Levofloxacin 500 mg satu kali sehari selama 14 hari Dengan atau tanpa Metronidazole (Flagyl) 500 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari Regimen B: Ceftriaxone (Rocephin) 250 mg i.m. satu kali sehari Atau Cefoxitin (Mefoxin) 2 g i.m. ditambah probenecid 1 g per oral dosis tunggal
19

Atau Golongan sefalosporin generasi ke tiga (cth: ceftizoxime atau cefotaxime) Ditambah Doksisiklin (Vibramycin, Doryx) 100 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari Dengan atau tanpa Metronidazole (Flagyl) 500 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari

Keberhasilan pemberian antibiotika parenteral pada kasus abses tuboovarial ditentukan dalam waktu 48 72 jam. Jika dengan antibiotika sistemik tidak membaik, terdapat tanda-tanda peritonitis, ukuran abses bertambah besar harus segera dilakukan laparatomi. Kriteria keberhasilan terapi antibiotika adalah nyeri abdomen berkurang, penurunan angka leukosit dan hilangnya demam selama minimal 36 jam.3 Jika terapi antibiotika sistemik berhasil, segera diteruskan dengan antibiotika oral dengan tetrasiklin 4x500 mg atau doksisiklin 2x100 mg selama 10 14 hari disertai pengawasan. Jika selama pengawasan abses tidak mengecil maka harus tetap dilakukan laparatomi.3 Pada umumnya abses tuboovarial berespon terhadap antibiotika, tetapi tindakan operatif harus dilakukan bila antibiotika gagal. Pendekatan operatif tradisional untuk abses tuboovarial adalah kolpotomi posterior, laparatomi dan TAH-BSO. Walaupun tindakan operatif efektif, tetapi biasanya memerlukan waktu perawatan yang lebih lama. Selama 1 dekade terakhir, drainase perkutan dengan panduan imaging seperti USG dan CT scan telah dilakukan untuk

20

drainase abses, termasuk diantaranya dilakukan per abdominal, pergluteal, per rektal dan per vaginal.3 2. Ruptur abses tuboovarial Tanda dan gejala klinis ruptur abses tuboovarial bersifat akut, berupa nyeri pelvis progresif; riwayat PID berulang sebelumnya; dehidrasi; pernapasan cepat dan dangkal; distensi abdomen; ileus paralitik; tanda-tanda peritonitis umum: rebound tenderness, nyeri tekan seluruh abdomen, perut kaku, dan pekak beralih; leukositosis; demam; takikardia dan syok. Kondisi ini memerlukan laparatomi segera.1,3 Terapi untuk pasien dengan ruptur abses tuboovarial terbagi dalam 3 fase yaitu fase preoperatif, fase operatif dan fase pasca operasi.1 Pada fase preoperatif perlu pengawasan terhadap: (1) tanda vital, (2) central venous pressure (CVP), (3) produksi urin tiap jam (minimal 30 mL/jam), (4) pemberian O2 dengan masker, dan (5) resusitasi cairan dan darah bila diperlukan (6) pemberian antiobiotika parenteral.1,3 Pada fase operatif perlu dilakukan keputusan yang tepat mengenai tindakan operatif yang akan dilakukan. Pengambilan pus intraabdominal, pengambilan abses diikuti dengan TAH dan BSO adalah terapi definitif untuk ruptur abses tuboovarial. Tetapi bila salah satu tuba dan ovarium masih dalam kondisi baik cukup dilakukan salfingoooforektomi, terutama pada pasien yang masih muda. Risiko terulangnya pembentukan abses tetap ada bila uterus tetap ditinggalkan. Untuk mempersingkat waktu, dapat dilakukan histerektomi supraservikal.3 Pada perawatan pasca operasi, perlu diperhatikan tanda-tanda syok, infeksi, ileus, dan keseimbangan cairan. Komplikasi lambat pasca
21

operasi termasuk pembentukan kembali abses tuboovarial dan abses pelvis, obstruksi usus, fistula usus, dehisiensi, emboli pulmo, sepsis yang berlanjut, dan DIC.1

Secara umum, pasien dengan ruptur abses mempunyai prognosis yang bagus. Terapi medis disertai dengan penatalaksanaan bedah yang tepat, menghasilkan luaran yang baik. Abses yang belum ruptur dan terlokalisir yang tidak respon terhadap manajemen medis yang agresif (tidak ada perbaikan gejala dan tanda dan ukuran mengecil) lebih baik dilakukan drainase atau dilakukan pembedahan jika sulit dilakukan drainase perkutaneus atau transvaginal. Fertilitas berkurang dengan kisaran 5 15% dari analisis retrospektif. Ada peningkatan risiko terjadinya kehamilan ektopik. Risiko terjadinya reinfeksi harus dipertimbangkan jika tidak dilakukan tindakan definitif pembedahan, insidensi reinfeksi pada penelitian prospektif kurang dari 10%. Pada abses yang ruptur, sebelum dilakukan intervensi bedah, angka mortalitas bervariasi 80 90%. Dengan adanya terapeutik modern, medis dan pembedahan, angka mortalitas berkurang hingga 2%.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Martens, M.G. Pelvic Inflammatory Disease in John A. Rock and

Howard W. Jones III (ed): Te Lindes Operative Gynecology 9th ed., Lippincott Williams & Wilkins, 2003.
2. Pernoll ML. sexually Transmitted Diseases in: Benson & Pernolls,

Handbook of Obstetrics Gynecology. New York: McGraw Hill, 2001, p. 696-705.


3. Wexler AS, Pernoll ML. Benign Disorders of the Uterine Corpus in:

Current Obstetrics and Gynaecology: Diagnosis and Treatment 8th ed. Connecticut: Appleton and Lange, 2006.
4. Edmonds DK. Pelvic Infection in Dewhursts Textbook of Obstetrics

and Gynecology 7th ed. London: Blackwell Publishing, 2007, p. 429437.


5. Chandra S. Role of Laparoscopy in the Management of Pelvic

Inflammation Modalities.

Disease/Tubo-Ovarian

Abscess

Compare

to Other from:

Downloaded

http://www.worldlaparoscopyhospital.com.
6. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Sexually Transmitted Disease

in: Glass Ofiice Gynecology 6th ed. Texas: Lippincott Williams & Wilkins, 2006.

23

LAPORAN KASUS Ny R, 41 thn, P1A0, APK: 8 thn, Haid terakhir: 10-07-2010, menikah 1x: usia 24 thn, pekerjaan suami: wiraswasta, datang ke RSUP H. Adam Malik Medan tanggal 16-07-2010 dengan: KU T : Benjolan di perut : hal ini dialami os + 1 tahun ini, semakin lama semakin membesar. Riwayat haid banyak dan lama (+) 4 bulan ini, vol. 4-5 x ganti doek/hari. Riwayat keluar darah dari kemaluan di luar siklus haid (-). Nyeri perut (+) dialami os hilang timbul. Riwayat campur berdarah (-). Keluhan nyeri perut bagian bawah tidak dijumpai. Keputihan (+). BAK dan BAB normal. Os merupakan kiriman dari Poli Ginekologi yang direncanakan laparotomi. RPT RPO Riw. : DM (-), Hipertensi (-), Asma (-) : : Menarch 17 tahun, siklus 28-30 hari, teratur, lama: 4-5 hari, volume: 2-3 x ganti doek/hari, nyeri (-). Riwayat KB : Riw. Operasi: Laparotomi a/i Mioma Uteri tahun 1997, laparotomi a/i

kista ovarium tahun 2007. STATUS PRESENS KU/ KG/ KP Sensorium Tekanan darah : Sedang/ Baik/ Sedang : Compos Mentis : 120/ 80 mmHg Anemis Ikterik : (+) : (-)
24

Frek. Nadi Frek. Nafas Temperature

: 88 x / menit : 20 x/ menit : 36,5 Celcius

Sianosis Dispnu

: (-) : (-) : (-)

Edema

PEMERIKSAAN FISIK : Kepala Leher Thorax Abdomen : dbn, conjuntiva pucat : dbn : cor/ pulmo dbn : Soepel, tampak bekas operasi lama, teraba massa padat pole sebesar kehamilan 22-24 minggu, dengan permukaan tidak rata, immobile, nyeri (-)

PEMERIKSAAN GINEKOLOGIS Genitalia eksterna Inspekulo VT : dbn.

: Portio licin, erosi (-), darah(-), F/A (+)

: UT AF > BB, teraba massa padat dengan pole atas 1 jari bawah pusat, dan pole bawah setentang sympisis, dengan permukaan tidak rata, immobile, nyeri (-) Parametrium kanan dan kiri : lemas, ttb massa. Cavum Douglas : tidak menonjol.

PEMERIKSAAN PENUNJANG USG 29-6-2010 Kandung kemih terisi baik Uterus membesar dengan ukuran 12,5 x 7,4 cm.
25

Tampak gambaran hypoechoic seperti kumparan, multipel, intra uterine dengan terbesar 5,8 x 4,4 cm. Tidak tampak gambaran anechoic di adneksa kanan dan kiri Kesan : Mioma uteri multipel.

DIAGNOSA BANDING : Mioma Uteri Adenomiosis : : Mioma Uteri Laparatomi

Diagnosis Kerja Rencana

Lapor supv. Ruangan Dr. MOP, Sp.OG ACC Lapor supv. Kamar Bedah Dr. BIN, Sp.OG.K ACC PERSIAPAN OPERASI : Laboratorium Hb Ht Leukosit Trombosit Tes Fungsi Hati : 9,2 gr % : 31,9 % : 11.080/ mm3 : 394.000/ mm3 : dbn

Tes Fungsi Ginjal : dbn Urine rutin KGD puasa KGD 2 jam pp HST Foto thorax EKG : dbn : dbn : dbn : dbn : dbn : dbn/ tidak ada kontra indikasi operasi
26

Paps smear Kuretase bertingkat batas normal BNO/IVP

: Pap gr. I, normal smear : endometrium dan endoserviks dalam

: massa pelvis yang mengindentasi buli-buli. Fungsi kedua ginjal baik, tidak tampak tandatanda pembendungan. LAPORAN OPERASI TANGGAL 19 JULI 2010

LAPORAN TOTAL ABDOMINAL HISTEREKTOMI + SALFINGOOOFOREKTOMI DEKTRA A/I MIOMA UTERI + TUBO-OVARIAN ABCESS Ibu dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter terpasang baik Di lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada lapangan operasi dan ditutup dengan doek steril kecuali lapangan operasi

Di bawah general anasthesi di lakukan insisi kutis secara midline di bawah pusat di lanjutkan subkutis, fasia, otot dikuakkan secara tumpul dan peritoneum di potong ke atas dan ke bawah kemudian dilakukan identifikasi uterus tampak uterus membesar dengan mioma multipel, intramural dan subserosum, sebesar kepala bayi. Evaluasi tuba dan ovarium kanan: tampak abses sebesar tinju dewasa, dengan perlengketan ke uterus dan daerah abses retroperitoneal. Dilakukan pembebasan perlengketan,

pecah keluar pus berwarna kehijauan, dilakukan aspirasi pus, perlengketan berhasil dibebaskan. Evaluasi tuba dan ovarium kiri; tuba dalam batas normal, ovarium kiri tidak ada. Kemudian diputuskan untuk dilakukan total abdominal histerektomi dan salfingo-ooforektomi dekstra.

Ligamentum rotundum kiri dan kanan diklem, gunting dan ikat. Ligamentum kiri dan kanan ditembus dan dibuat window.
27

Ligamentum infundibulopelvikum kiri dan kanan diklem, gunting ikat.

Uterus

disusuri ke bawah hingga

mencapai arteri uterina.

Identifikasi arteri uterina, klem gunting dan ikat.

Identifikasi portio, kemudian uterus dipancung setinggi portio, puncak vagina di jahit secara kontinyu

Kontrol perdarahan taa. Cavum abdomen dibersihkan dengan NaCl 0,9% sampai bersih. Luka operasi ditutup lapis demi lapis. Keadaan ibu paska operasi stabil.

INSTRUKSI: TERAPI:

Awasi VS dan tanda pendarahan Periksa Hb post operasi jika < 8gr% tranfusi Mobilisasi bertahap

Kateter menetap IVFD RL/D5% 30 gtt/i Ceftazidime 1 gr/12 jam i.v. Metronidazole drips/8 jam i.v. Movicox supp/8 jam/rektal

28

FOLLOW UP PASKA OPERASI TAH + SOD A/I MIOMA UTERI + TOA 21/7/2010 Sensorium Tekanan darah Frek nadi Frek nafas Temperatur Luka operasi 80 x/i 20 x/i 37c Tertutup verban P/V Volume urine Cukup 82x/i 20x/i 37c Tertutup verban Cukup 80x/i 20x/i 37c Tertutup verban Cukup Cukup 80x/i 20x/i 37c Kering CM 110/70 22/7/2010 CM 110/80 23/7/2010 CM 120/80 24/7/2010 CM 120/80

29

Terapi

Kateter menetap

Aff kateter

Aff Infus

Klindamisin 3 x 300 mg

IVFD RL/D5% Ceftazidine 1gr e jam Asam 3 x 500 Vit 1 B Metronidazol drips

IVFD RL/D5% 20 gtt/i 30 gtt/i Ceftazidime 1gr/12jam i.v. Metronidazol e jam Movicox supp/ 8 jam Transamin amp/8jam drips Ceftazidime 1gr/12jam i.v. Metronidazol e drips /8 jam Movicox supp/ 8 jam

/12jam Asam mefenamat 3 /8 x 500 Vit 1 B

complex 3 x

/8 mefenamat

complex 3 x

PBJ Laboratorium Post Operasi Hb Ht Leukosit : 6,7 gr % : 23,1 % : 11.850/ mm3

Trombosit : 549.000/ mm3 Dilakukan transfusi PRC 2 kantong.

Laboratorium Post Operasi Hb Ht Leukosit : 9,9 gr % : 26 % : 11.950/ mm3


30

Trombosit : 373.000/ mm3

Os dirawat selama 4 hari setelah operasi dan PBJ.

ANALISIS KASUS Telah dilaporkan kasus Ny R, 41 thn, P1A0, APK: 8 thn, Haid terakhir: 1007-2010, menikah 1x: usia 24 thn, pekerjaan suami: wiraswasta, yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan tanggal 16-07-2010 dengan diagnosis preoperatif Mioma Uteri. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama benjolan diperut, + 1 tahun ini, disertai riwayat haid banyak dan lama (+) 4 bulan ini, vol. 4-5 x ganti doek/hari. Riwayat keluar darah dari kemaluan di luar siklus haid (-). Nyeri perut (+). Pemeriksaan fisik didapatkan dari abdomen: soepel, teraba massa

padat pole sebesar kehamilan 22-24 minggu, permukaan tidak rata, immobile. Pemeriksaan ginekologi dijumpai, inspekulo: tidak dijumpai kelainan. VT: UT AF > BB, teraba massa padat dengan pole atas 1 jari bawah pusat, dan pole bawah setentang sympisis, dengan permukaan
31

tidak rata, immobile, nyeri (-). Parametrium kanan dan kiri : lemas, ttb massa. Cavum Douglas : tidak menonjol. Pemeriksaan USG didapatkan uterus membesar dengan ukuran 12,5 x 7,4 cm, tampak gambaran hypoechoic seperti kumparan, multipel, intra uterine dengan terbesar 5,8 x 4,4 cm, kesan mioma uteri multipel. Dari anamnesis didapatkan usia pasien 41 tahun dimana 40-50% mioma ditemukan pada usia 40 tahun, walaupun sebelumnya sudah ditemukan mioma saat pasien berusia 28 tahun. Didapatkan perdarahan abnormal berupa menoragia dan dan riwayat infertilitas (ditemukan pada 27-40% pasien mioma). Mioma sebagai penyebab tunggal dari infertilitas jarang dijumpai (3%) dan sering dijumpai penyebab lain infertilitas pada pasien mioma. Sebelumnya pada tahun 1997 os pernah operasi atas indikasi mioma uteri dan dilakukan miomektomi. Dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan ginekologi didapatkan massa padat dengan pole atas 1 jari bawah pusat, dan pole bawah setentang sympisis, permukaan tidak rata, immobile, nyeri (-). Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditetapkan diagnosis banding yaitu mioma uteri dan adenomiosis. Dilakukan pemeriksaan ultrasonografi dan didapatkan kesan mioma uteri multipel. Laboratorium menunjukkan Hb 9,2 gr %. Ditetapkan diagnosis kerja yaitu mioma uteri dan os direncanakan laparotomi untuk dilakukan histerektomi. Indikasi operasi pada pasien ini adalah adanya perdarahan abnormal (terjadi pada 35-50% pasien mioma) dan nyeri kronik nyeri perut (terjadi pada 65% pasien mioma) dan anemia akibat perdarahan kronik. Tindakan operatif yang dipilih adalah histerektomi karena didapatkan mioma uteri yang multipel berdasarkan hasil pemeriksaan. Pasien sebelumnya sudah pernah operasi dan dilakukan miomektomi dengan tujuan mempertahankan fertilitas, dimana miomektomi bukanlah terapi definitif. Usia pasien 41 tahun dan pasien tidak membutuhkan lagi fungsi reproduksi. Durante operasi ditemukan adanya abses tubo ovarial sebesar tinju dewasa. Pada pasien ini diagnosis abses tubo ovarial tidak bisa
32

ditegakkan sebelum operasi. Dari anamnesis tidak didapatkan adanya keluhan berupa nyeri perut yang menetap, yang bertambah dengan aktivitas fisik atau coitus, riwayat keputihan yang banyak, dan riwayat demam. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan palpasi abdomen yang tegang dan nyeri serta tidak ada nyeri pada pemeriksaan ginekologi. Dari laboratorium didapatkan lekosit 11.080/mm3 yang sedikit meningkat dari nilai normal. Pemeriksaan USG tidak menunjukkan adanya massa di adneksa. Dilakukan aspirasi pus dari abses dan dilakukan kultur dan tes sensitivitas. Pada pasien ini tidak didapatkan diagnosis abses tubo ovarial. Menurut literatur, spektrum gejala dan tanda klinis abses tuboovarial sangat bervariasi dari tanpa gejala pada wanita dengan massa adneksa hingga gejala abdomen akut dan syok septik. Pada pasien ini diberikan terapi regimen B dengan pemberian Ceftazidime 1 g/12 jam i.v. dan Klindamisin 3 x 300 mg. Setelah pasien pulang diberikan terapi Metronidazole 2 x 500 mg dan Klindamisin 3 x 300 mg selama 14 hari.

33

You might also like