You are on page 1of 10

I

PEMBUKAAN

Pemikiran ekonomi Islam diawali sejak Muhammad saw dipilih sebagai seorang
Rasul (utusan Allah). Rasulullah saw mengeluarkan sejumlah kebijakan yang
menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup masyarakat,
selain masalah hokum (fiqh), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi
(muamalat). Masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Rasulullah saw, karena
masalah ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan yang harus diperhatikan.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah saw bersabda, “kemiskinan
membawa orang kepada kekafiran”. Maka upaya untuk mengentas kemiskinan
merupakan bagian dari kebijakan-kebijakan social yang dikeluarkan Rasulullah saw.
Selanjutnya kebijakan-kebijakan Rasulullah saw menjadi pedoman oleh para
penggantinya Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib
dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Qur’an dan Al-Hadits digunakan
sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya
dalam menata kehidupan ekonomi Negara.
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada masa Nabi Muhammad saw
belum berkembang, hal ini disebabkan karena masyarkat pada saat itu langsung
mempraktekannya dan apabila menemui persoalan dapat menanyakan langsung kepada
Nabi. Sementara secara kontekstual persoalan ekonomi pada masa itu belum begitu
kompleks. Secara mikro praktek ekonomi yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat
pada masa itu sarat dengan unsur economic justice dalam kerangka etika bisnis yang
Qur’ani.
Pemikiran ekonomi baru menunjukkan sosoknya sepeninggal Nabi dan
kehidupan social ekonomi masyarakat semakin berkembang. Pemikiran ekonomi Islam
mulai didokumentasikan kurang lebih sejak tiga abad semenjak wafatnya Nabi.
Beberapa yang cukup terkenal antara lain Abu Yusuf1 (731-798), Yahya ibn Adham
(818), El-Hariri (1054-1122), Tusi ((1201-1274), Ibn Taymiyah (1262-1328), Ibn
Khaldun (1332-1406) dan Shah Waliullah (1702-1763). Setelah itu muncul pemikir-
pemikir kontemporer abad ke-20 antara lain Fazlur Rahman, Baqir As-Sadr, Ali Shariati,
Khurshid Ahmad, M. Nejatullah Shiddiqi, M. Umar Chapra, M. Abdul Mannan, Anas
Zarqa, Monzer Kahf, Syed Nawab Haider Naqvi, M. Syafii Antonio. M. Azhar Basyir.
Pokok bahasan dalam makalah yang berjudul Pemikiran Ekonomi Islam Syed
Nawab Haider Naqvi adalah sebagai berikut :
o Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi

1
Dikenal sebagai Qadi (hakim), bahkan Qadi Al-Qudah, Hakim Agung, sebuah jabatan tertinggi
dalam lembaga peradialan . Nama lengkapnya ialah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-Ansari lahir di
Kufah tahun 113 H. Hadits diperolehnya dari Abu Ishaq al Syaibani, Sulaiman al Taymi, Yahya bin Said
al-Anasari, A’masi, Hisyam bin Urwah, Ata’ bin Sa’ib dan Muhammad Sihaq bin Yasir. Lihat di Abdullah
Mustofa Al-Maraghi,

Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi@2008 1


o Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi dalam konteks Ekonomi
Modern

II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi


1. Hakekat Ilmu Ekonomi Islam

Ilmu ekonomi Islam, merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur


berdasarkan syariat Islam representatif dalam masyarakat muslim modern, tentunya
berpedoman kepada al-qur’an dan hadits. Berdasarkan komposisinya, ia bersifat
normatif, bukan bersifat positif sebagaimana ilmu ekonomi neo-klasik. Ekonomi
Islam dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pengelolaan harta benda
menurut perpektif Islam2. Ekonomi Islam sebagai ilmu ekonomi didasarkan atas
sumber hukum Islam; Al-Qur’an dan Al-Hadits.3

Secara epistemologis, ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin ilmu;4


Pertama, ekonomi Islam normatif, yaitu studi tentang hukum-hukum syariah
Islam yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-mâl). Ekonomi Islam positif,
yaitu studi tentang konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan urusan harta
benda, khususnya yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Cakupannya
adalah segala macam cara (uslub) dan sarana (wasilah) yang digunakan dalam
proses produksi barang dan jasa
2. Dasar-dasar Etika Ilmu Ekonomi Islam
Pandangan Naqvi tentang manusia dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan
lingkungan sosialnya, dapat dipresentasikan empat etika, yaitu :
a. Kesatuan (Tauhid)
b. Keseimbangan / Kesejajaran (al-‘Adl wa al-Ihasan)
c. Kehendak Bebas (Ikhtiyar)
d. Tanggung Jawab (Fardh)
3. Menuju Ilmu Ekonomi Islam Normatif

2
An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam.. Beirut : Dar Al-
Ummah. Lihat juga : Muhammad Abdul Mannan, (1993) Teori dan Praktek Ekonomi Islam (terj),
Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 19. Lihat juga : M.M. Metwally (1995), Teori dan Model Ekonomi
Islam (terj), Bangkit Daya Insani, Jakarta, 1
3
Selain Al-Qur’an, Al-Hadits, sumber hukum lain adalah Ijma’ Ijtihad, dan Qiyas,
sedangkan sumber hukum ekonomi Islam lainyang diakui oleh empat madzhab adalah Istihsan,
Istislah, dan Istishab. Lihat Muhammad Abdul Mannan, (1993) Teori dan Praktek Ekonomi Islam
(terj), Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 34-38. Selain itu Mashlahah Musrsalah dan ‘urf (adat
kebiasaan) merupakan sumber hukum yang juga harus diperhatikan. Lihat Ahamad Azhar Basyir,
(1987) Garis Besar Sistem Ekonomi Islam, BPFE, Yogyakarta, 16-18
4
Muhammad Abdul Mannan, (1993) Teori dan Praktek Ekonomi Islam (terj), Dana Bakti
Wakaf, Yogyakarta, 9-17. Lihat juga : Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar,
Ekonisia UII Yogayakarta, 2002, 53

Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi@2008 2


Karya Syed Nawad Haidir Naqvi ini diinspirasikan oleh karya L. Robbin
(1932), yang dirancang untuk menyoroti perbedaan pendekatan antara ilmu
ekonomi (neo-klasik) positif dan ilmu ekonomi Islam yang menekankan
pentingnya unsur etika dalam ilmu ekonomi Islam. Sementara Robin dan
paradigma neo-klasik lain menolak peranan etika, para ekonomi Islam
memandang itu mutlak sentral untuk menentukan keabsahan pernyataan-
pernyataan ekonomi.
Para ekonom klasik, Karl Menger di Austria, Stanley Jevons di Inggris,
dan Leon Walras di Perancis, menciptakan ilmu ekonomi modern dengan teori
“marginal utility” mereka, lalu enam puluh tahun kemudian, ketika terjadi Great
Depression yang menggoncangkan teori neo-klasik, John Maynard Keynes
membuat sintesis baru, teori ekonomi Negara-negara bangsa. Dalam teori ini,
teori marginal utility neo-klasik merupakan sub-set, sebuah building block yang
diperhalus kembali sebagai ilmu ekonomi mikro5. Teori ekonomi yang dibungkus
di dalam asumsi-asumsi paradigma klasik dan neo-klasik patut diragukan pada
situasi ini. Masalah dan tantangan yang dihadapi ahli ekonomi masa kini lebih
kompleks, bahkan lebih fundamental, daripada yang dihadapi pendahulunya.
Paradigma neo-klasik, individualistic, rasionalistik dan utilitarianistik yang
menggiurkan yang diterapkan tidak hanya dibidang ekonomi, tapi juga,
meningkat pada susunan relasi-relasi social, dari teman sampai keluarga.
Paradigama neo-klasik bukan hanya mengabaikan dimensi moral, melainkan
secara aktif menolak dimasukkannya dimensi moral tersebut.
Yang sangat menarik dari tulisan-tulisannya, bahwa pemikiran dan
kemampuannya yang selalu konsisten untuk mengangkat ajaran Islam sebagai
suatu system yang komprehensif bagi kehidupan manusia, meskipun sikap
pemikirannya itu membuat gentar para pengkritiknya yang cenderung dangkal
dalam berfikir. Namun semua kritikan itu ditanggapi dengan lapang dada dan
ilmiah, karena sebagian besar kritikan tersebut mempertanyakan nukilan tulisan
yang jadi pokok bahasannya. Bisa jadi karya-karya Syed Nawad Haider Naqvi
sebagai alternative jawaban atas berbagai persoalan yang sedang melanda umat
Islam dalam bidang ekonomi.
Pada karyanya yang sekarang menjadi bahan resensi ini akan sangat jelas ide-ide
beliau dalam memaparkan persoalan ekonomi Islam dan mengecam paradigma
klasik dan neo-klasik yang mengabaikan dimensi moral. Bahkan dia mengatakan
bahwa kesuksesan atau tidaknya dunia ekonomi Islam ditentukan oleh sejauh
mana nilai-nilai etika-religius itu diwujudkan dalam kehidupan riil. Disamping
itu, untuk melengkapi gagasannya tentang ekonomi Islam juga telah ditulis
karyanya, Ethics and Econimic : An Islamic Synthesis,6 dia berhasil

5
Petter F. Drucker, The New Realities, Oxford, 1989, hal. 149
6
Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2003, hal. 5

Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi@2008 3


mengembangkan suatu frame-work/bingkai analitik-sistematik yang berisi
sebagian besar nilai-etik-dasar Islam, yang bisa digunakan sebagai dasar dalam
melakukan deduksi logis pedoman kebijakan ekonomi.
4. Perbandingan Sistem Ekonomi

Dalam sistem ekonomi Islam, tiga asas tersebut tidak boleh tidak harus
terikat dengan syariah Islam, sebab segala aktivitas manusia (termasuk juga
kegiatan ekonomi) wajib terikat atau tunduk kepada syariah Islam. Sesuai kaidah
syariah, Al-Ashlu fi al-af’âl al-taqayyudu bi al-hukm al-syar’i (Prinsip dasar
mengenai perbuatan manusia, adalah wajib terikat dengan syariah Islam).7

Paradigma sistem ekonomi Islam tersebut bertentangan secara kontras


dengan paradigma sistem ekonomi kapitalisme saat ini, yaitu sekularisme.
Aqidah Islamiyah sebagai paradigma umum ekonomi Islam menerangkan bahwa
Islam adalah agama dan sekaligus ideologi sempurna yang mengatur segala asek
kehidupan tanpa kecuali, termasuk aspek ekonomi.8

Paradigma Islam ini berbeda dengan paradigma sistem ekonomi


kapitalisme, yaitu sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).9 Paham
sekularisme lahir sebagai jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, yaitu di satu
sisi pandangan Gereja dan para raja Eropa bahwa semua aspek kehidupan harus
ditundukkan di bawah dominasi Gereja. Di sisi lain ada pandangan para filosof
dan pemikir (seperti Voltaire, Montesquieu) yang menolak eksistensi Gereja.
Jadi, sekularisme sebagai jalan tengah pada akhirnya tidak menolak keberadaan
agama, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Agama
hanya ada di gereja, sementara dalam kehidupan publik seperti aktivitas
ekonomi, politik, dan sosial, tidak lagi diatur oleh agama.10

Selanjutnya, karena agama sudah disingkirkan dari arena kehidupan, lalu


siapa yang membuat peraturan kehidupan? Jawabnya adalah: manusia itu sendiri,
bukan Tuhan, karena Tuhan hanya boleh berperan di bidang spiritual (gereja).
Lalu agar manusia bebas merekayasa kehidupan tanpa kekangan Tuhan, maka
manusia harus diberi kebebasan (freedom/al-hurriyat) yaitu; kebebasan beragama
(hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), kebebasan
berperilaku (al-hurriyah al-syahshiyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah al-
7
Ibnu Khalil, Atha`. 2000. Taisir Al-Wushul Ila Al-Ushul. Beirut : Darul Ummah, 27.
8
lihat Qs. al-Mâ’idah [5]: 3; Qs. an-Nahl [16]: 89). LIhat juga : Zallum, Abdul Qadim. 2001.
Demokrasi Sistem Kufur : Haram Mengambil, Menerapkan, dan Menyebarluaskannya. Bogor :
Pustaka Thariqul Izzah, 36.
9
Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berasal dan tumbuh di Barat pasca abad pertengahan
(mulai abad ke-15), yang bercirikan adanya kepemilikan individu atas sarana produksi dan distribusi dan
pemanfaatan sarana produksi dan distribusi itu untuk memperoleh laba dalam situasi pasar yang
kompetitif. ( Milton H. Spencer, Contemporary Macro Economics, New York : Worth Publishers, 1977,
62)
10
An-Nabhani. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 28.

Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi@2008 4


tamalluk). Bertitik tolak dari kebebasan kepemilikan inilah, lahir sistem ekonomi
kapitalisme. Dari tinjauan historis dan ideologis ini jelas pula, bahwa paradigma
sistem ekonomi kapitalisme adalah sekularisme.11

Sekularisme ini pula yang mendasari paradigma cabang kapitalisme


lainnya, yaitu paradigma yang berkaitan dengan kepemilikan, pemanfaatan
kepemilikan, dan distribusi kekayaan (barang dan jasa) kepada masyarakat.
Semuanya dianggap lepas atau tidak boleh disangkutpautkan dengan agama.

Berdasarkan sekularisme yang menafikan peran agama dalam ekonomi,


maka dalam masalah kepemilikan, kapitalisme memandang bahwa asal usul
adanya kepemilikan suatu barang adalah terletak pada nilai manfaat (utility) yang
melekat pada barang itu, yaitu sejauh mana ia dapat memuaskan kebutuhan
manusia. Jika suatu barang mempunyai potensi dapat memuaskan kebutuhan
manusia, maka barang itu sah untuk dimiliki, walaupun haram menurut agama,
misalnya babi, minuman keras, dan narkoba. Ini berbeda dengan ekonomi Islam,
yang memandang bahwa asal usul kepemilikan adalah adanya izin dari Allah
SWT (idzn Asy-Syâri’) kepada manusia untuk memanfaatkan suatu benda. Jika
Allah mengizinkan, berarti boleh dimiliki. Tapi jika Allah tidak mengizinkan
(yaitu mengharamkan sesuatu) berarti barang itu tidak boleh dimiliki. Maka babi
dan minuman keras tidak boleh diperdagangkan karena keduanya telah
diharamkan Allah, yaitu telah dilarang kepemilikannya bagi manusia muslim.12

Dalam masalah pemanfaatan kepemilikan, kapitalisme tidak membuat


batasan tatacaranya (kaifiyah-nya) dan tidak ada pula batasan jumlahnya
(kamiyah-nya). Sebab pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin
dari paham kekebasan (freedom/liberalism) di bidang pemanfaatan hak milik.
Maka seseorang boleh memiliki harta dalam jumlah berapa saja dan diperoleh
dengan cara apa saja. Walhasil tak heran di Barat dibolehkan seorang bekerja
dalam usaha perjudian dan pelacuran. Sedangkan ekonomi Islam, menetapkan
adanya batasan tatacara (kaifiyah-nya), tapi tidak membatasi jumlahnya
(kamiyah-nya). Tatacara itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan
cara pemanfaatan (tasharruf) harta, baik pemanfaatan yang berupa kegiatan
pembelanjaan (infaqul mâl), seperti nafkah, zakat, shadaqah, dan hibah, maupun
berupa pengembangan harta (tanmiyatul mal), seperti jual beli, ijarah, syirkah,
shina’ah (industri), dan sebagainya. Seorang muslim boleh memiliki harta berapa
saja, sepanjang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariah Islam. Maka dalam
masyarakat Islam tidak akan diizinkan bisnis perjudian dan pelacuran, karena
telah diharamkan oleh syariah.
11
An-Nabhani. 2001. Nizham Al-Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
12
An-Nabhani, Taqiy Al-Din. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam.. Beirut : Dar Al-
Ummah. 35

Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi@2008 5


Dalam masalah distribusi kekayaan, kapitalisme menyerahkannya kepada
mekanisme pasar, yaitu melalui mekanisme harga keseimbangan yang terbentuk
akibat interaksi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Harga berfungsi
secara informasional, yaitu memberi informasi kepada konsumen mengenai siapa
yang mampu memperoleh atau tidak memperoleh suatu barang atau jasa. Karena
itulah peran negara dalam distribusi kekayaan sangat terbatas. Negara tidak
banyak campur tangan dalam urusan ekonomi, misalnya dalam penentuan harga,
upah, dan sebagainya. Metode distribusi ini terbukti gagal, baik dalam skala
nasional maupun internasional. Kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar.
Sedikit orang kaya telah menguasai sebagian besar kekayaan, sementara
sebagian besar manusia hanya menikmati sisa-sisa kekayaan yang sangat
sedikit.13

Dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme


syariah, yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan hukum syariah yang
menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme
syariah ini terdiri dari mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.

B. Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi dalam konteks Ekonomi
Modern
1. Sasaran dan Kebijakan dalam Ekonomi Islam
Ada lima sasaran kebijakan yang bisa ditarik dari postulat-postulat etika ekonomi
Islam, yaitu :
a. Kebebasan Individu
b. Keadilan Distributif
c. Pendidikan Universal
d. Pertumbuhan Ekonomi
e. Menciptakan Lapangan Kerja Secara Maksimal
2. Taksonomi Instrumen Kebijakan
a. Institusi Kepemilikan Pribadi
b. Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan
c. Sistem Jaminan Sosial
d. Masalah Kepemilikan Publik

Karya Syed Nawad Haidir Naqvi ini diinspirasikan oleh karya L. Robbin
(1932), yang dirancang untuk menyoroti perbedaan pendekatan antara ilmu
13
Pada tahun 1985 misalnya, negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris,
Perancis, Jerman, dan Jepang) yang penduduknya hanya 26 % penduduk dunia, menguasai lebih dari
78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia
(Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga, Jakarta : CIDES, 1999, hlm. 8-9). Pada tahun 1985
juga, pendapatan nasional (GNP) Indonesia besarnya adalah 960 dolar AS per orang setahunnya,
sejumlah 80 % daripadanya merupakan nilai aktivitas ekonomi dari 300 grup konglomerat saja.
Sedangkan selebihnya (hampir 200 juta rakyat) kebagian 20 % saja dari seluruh porsi ekonomi
nasional (Republika, 28 Agustus 2000)

Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi@2008 6


ekonomi (neo-klasik) positif dan ilmu ekonomi Islam yang menekankan
pentingnya unsur etika dalam ilmu ekonomi Islam. Sementara Robin dan
paradigma neo-klasik lain menolak peranan etika, para ekonomi Islam
memandang itu mutlak sentral untuk menentukan keabsahan pernyataan-
pernyataan ekonomi.
Para ekonom klasik, Karl Menger di Austria, Stanley Jevons di Inggris,
dan Leon Walras di Perancis, menciptakan ilmu ekonomi modern dengan teori
“marginal utility” mereka, lalu enam puluh tahun kemudian, ketika terjadi Great
Depression yang menggoncangkan teori neo-klasik, John Maynard Keynes
membuat sintesis baru, teori ekonomi Negara-negara bangsa. Dalam teori ini,
teori marginal utility neo-klasik merupakan sub-set, sebuah building block yang
diperhalus kembali sebagai ilmu ekonomi mikro14. Teori ekonomi yang
dibungkus di dalam asumsi-asumsi paradigma klasik dan neo-klasik patut
diragukan pada situasi ini. Masalah dan tantangan yang dihadapi ahli ekonomi
masa kini lebih kompleks, bahkan lebih fundamental, daripada yang dihadapi
pendahulunya. Paradigma neo-klasik, individualistic, rasionalistik dan
utilitarianistik yang menggiurkan yang diterapkan tidak hanya dibidang
ekonomi, tapi juga, meningkat pada susunan relasi-relasi social, dari teman
sampai keluarga. Paradigama neo-klasik bukan hanya mengabaikan dimensi
moral, melainkan secara aktif menolak dimasukkannya dimensi moral tersebut.
Yang sangat menarik dari tulisan-tulisannya, bahwa pemikiran dan
kemampuannya yang selalu konsisten untuk mengangkat ajaran Islam sebagai
suatu system yang komprehensif bagi kehidupan manusia, meskipun sikap
pemikirannya itu membuat gentar para pengkritiknya yang cenderung dangkal
dalam berfikir. Namun semua kritikan itu ditanggapi dengan lapang dada dan
ilmiah, karena sebagian besar kritikan tersebut mempertanyakan nukilan tulisan
yang jadi pokok bahasannya. Bisa jadi karya-karya Syed Nawad Haider Naqvi
sebagai alternative jawaban atas berbagai persoalan yang sedang melanda umat
Islam dalam bidang ekonomi.
Pada karyanya yang sekarang menjadi bahan resensi ini akan sangat jelas
ide-ide beliau dalam memaparkan persoalan ekonomi Islam dan mengecam
paradigma klasik dan neo-klasik yang mengabaikan dimensi moral. Bahkan dia
mengatakan bahwa kesuksesan atau tidaknya dunia ekonomi Islam ditentukan
oleh sejauh mana nilai-nilai etika-religius itu diwujudkan dalam kehidupan riil.
Disamping itu, untuk melengkapi gagasannya tentang ekonomi Islam juga telah
ditulis karyanya, Ethics and Econimic : An Islamic Synthesis,15 dia berhasil
mengembangkan suatu frame-work/bingkai analitik-sistematik yang berisi

14
Petter F. Drucker, The New Realities, Oxford, 1989, hal. 149
15
Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2003, hal. 5

Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi@2008 7


sebagian besar nilai-etik-dasar Islam, yang bisa digunakan sebagai dasar dalam
melakukan deduksi logis pedoman kebijakan ekonomi.

3. Teori ekonomi Islam menurut Syed Nawad Haider Naqvi


Menurut Syed Nawad Haidir Naqvi, ekonomi Islam berakar pada
pandangan dunia khas Islam dan premis-premis nilainya diambil dari ajaran-
ajaran etik-sosial al-Qur’an dan Sunnah. Ekonomi Islam berpijak pada landasan
hukum yang pasti yang mempunyai manfaat untuk mengatur masalah
kemasyarakatan, sehingga hukum harus mampu menjawab segenap masalah
manusia, baik masalah yang besar sampai sesuatu masalah yang belum dianggap
masalah.16 Sumber hukum yang diakui sebagai landasan hukum ekonomi Islam
terdiri dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijtihad, Qiyas, dan sumber hukum yang lain :
Urf, Istihsan, Istishlah, Istishab dan Mashlaha Al-Mursalah.17

Ekonomi syariah atau istilah lain orang menyebutnya dengan ekonomi


Islam, merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan syariat
Islam, tentunya berpedoman kepada al-qur’an dan hadits. Orang awam sering
membedakan, bahwa sistem ekonomi kapitalis-liberal dibangun dengan prinsip
menang-kalah. Siapa yang kuat dialah yang mendominasi dan dialah yang jaya,
sedangkan ekonomi islam atau ekonomi syariah mempunyai prinsip
kebersamaan, dan yang lebih penting rekomendasi langsung dari pemegang
otoritas, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, Al-Qur’an dan Sunnah menjadi
referensi yang mutlak.18

Islam sebagai way of life, menyatukan dua dimensi alam pada dirinya,
yaitu materiil dan immateriil (duniawi dan ukhrawi). Kedua implikasi tersebut
perimplikasi pada sebuah tanggung jawab bagi penganutnya, yaitu reward atau
punishment dari Allah, aturan secara lengkap di sinyalir dalam al-Qur’an dan
hadits sebagai pedoman utamanya. Oleh karena itu, dalam Islam, segala hal yang
terkait dengan kepentingan ummat diatur didalamnya, mulai dari hubungan
dengan Tuhan, hingga hubungan interaksi kepada sesama umat manusia dan
makhluk lainnya, dengan berbagai aturan dan tata caranya yang disusun secara
tertib dan rapi. Sehingga keberadaan Islam sebagai rahmatan lil alamin bagi
ajaran-ajarannya itu tidak dapat di pungkiri lagi, tidak hanya mengatur masalah
ritual saja antara hamba dan Tuhannya, tapi juga mengatur masalah masalah
sosial yang ada.19

16
Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradapan, Paramadina, Jakarta, 1992, hal. 319
17
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Ekonesia, Yogyakarrta, 2002, 25
18
Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip, Dasar, dan Tujuan, Insania Pres, 2004, ha. 15
19
Imaduddin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 10

Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi@2008 8


3. Restrukturisasi Sistem Ekonomi

a. Mekanisme Pemikiran Syed Nawab Haider Naqvi

b. Landasan Pemikiran Syed Nawab Haider Naqvi

4. Visi Ekonomi

C. Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi dalam konteks Ekonomi
Modern
D. Pendapat Presensi

III
KESIMPULAN

Ilmu Ekonomi syariah atau istilah lain orang menyebutnya dengan ilmu
ekonomi Islam, merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur berdasarkan
syariat Islam representatif dalam masyarakat muslim modern, tentunya berpedoman
kepada al-qur’an dan hadits. Berdasarkan komposisinya, ia bersifat normatif, bukan
bersifat positif sebagaimana ilmu ekonomi neo-klasik. Orang awam sering
membedakan, bahwa sistem ekonomi neo-klasik identik kapitalis-liberal dibangun
dengan prinsip menang-kalah. Siapa yang kuat dialah yang medominasi dan dialah
yang jaya, sedangkan ekonomi lslam atau ekonomi syariah mempunyai prinsip
kebersamaan, dan yang lebih penting rekomendasi langsung dari pemegang otoritas,
yaitu Allah SWT.

BIBLIOGRAPY

Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip, Dasar, dan Tujuan, Insania
Pres, 2004
Heri Sudarsno, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Ekonesia, Yogyakarta.

Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi@2008 9


Imamuddin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2001.
Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradapan, Paramadina, Jakarta, 1992.
Petter F. Drucker, The New Realities, Oxford, 1989.
Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar, Cetakn
1, 2003

Pemikiran Ekonomi Islam Syed Nawab Haider Naqvi@2008 10

You might also like