You are on page 1of 30

ANALISIS VALUASI EKONOMI LINGKUNGAN DENGAN CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM) SEBAGAI UPAYA MEMINIMALISIR DAMPAK PENAMBANGAN BATUBARA

DI KALIMANTAN TIMUR (Studi Kasus PT. Y dengan Masyarakat X di Kabupaten Z, Kalimantan Timur)

SKRIPSI

Disusun Oleh: Andistya Oktaning Listra 0910210022

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Perusahaan swasta PT. Y adalah perusahaan yang didirikan oleh Korea-

Indonesia Resources Development Coorporation pada bulan Mei 1982. Perjanjian kerja antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Korea disahkan melalui kontrak karya PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusahaan Pertambangan Batubara) selama 30 tahun (terhitung sampai tahun 2022). Yang mengesahkannya adalah pemerintah pusat. Pada bulan September 1982 dilakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dengan PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) dan mendapat izin usaha dari Departemen Pertambangan dan Energi pada bulan Juni 1987. Kemudian pada bulan Desember 1989 PT. Y memulai Persiapan Konstruksi dan Rencana Tambang dan melakukan ekspor percobaan (Trial Cargo) pada April 1992. PT.Y melakukan produksi perdana pada tahun 1992, dimulai dengan kapasitas produksi satu juta ton/tahun. Luas total area kuasa pertambangan PT. Y sebesar 50.339 Ha (Tabel 5) yang mencakup empat lokasi, yaitu Roto-Samurangau, Samu, Susubang dan Pinang Jatus (Sabara, 2006). Tabel 1.1 : Lokasi dan Luas Area Tambang Batubara PT. Y Nama Lokasi (KP) Roto Samurangau Samu Susubang Pinang Jatus Total
Sumber : Sabara, 2006

Luas (Ha) 27.434 7.875 9.000 6.090 50.399

Dipilihnya Kabupaten sebagai tempat beroperasinya penambangan batubara PT. Y karena secara geografis sebagai salah satu daerah penghasil batubara, Kabupaten Paser mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap batubara pada tahun 2005 eksport batubara Kabupaten Paser sebesar 9.552.779 Mton dengan nilai US$226.437.301,79 dan pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 19.040.269,72. PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) pada tahun 2009 diproyeksikan Rp4,83 triliun lebih, Jika dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2008 sebesar Rp4,48 triliun lebih, PDRB ADHK tahun 2009 diproyeksikan meningkat 7,68% lebih tinggi dari realisasi tahun 2008. (Paserkab, 2012). Dalam hal ini meskipun kegiatan penambangan batubara PT. Y cukup memberikan pengaruh signifikan pada peningkatan PDRB Kabupaten Z namun kenyataannya berdasarkan penelitian terdahulu yaitu Intip Hutan (2003) terdapat permasalahan yang harus dihadapi terutama mengenai dampak penambangan batubara terhadap masyarakat X. Beberapa permasalahannya terkait

perampasan dan eksploitasi tambang di tanah keramat yang memiliki nilai religius serta Land Clearing (pembersihan lahan) dan perampasan tanah di desa Samurangau tepatnya di sungai Ruto dan berangsur-angsur merambat ke desa lain dan menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat. Pencemaran lingkungan ditandai oleh banyaknya asap, debu, danau bekas galian dan tumpukan-tumpukan tanah yang mengandung polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat Dayak Paser (Wikipedia, 2012).

Berbeda dengan penelitian terdahulu yang hanya mengkaji dampak dari penambangan batubara di Kalimantan Timur tanpa solusi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan di Kabupaten Z, maka penelitian ini akan lebih

memfokuskan pada sejauh mana peran valuasi ekonomi lingkungan dengan Contingent Valuation Method (CVM) dalam meminimalisir dampak penambangan batubara di Kalimantan Timur dengan studi kasus pada PT. Y dengan masyarakat X di Kabupaten Z, Kalimantan Timur. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang dan penelitian terdahulu maka penelitian ini mengambil judul Analisis Valuasi Ekonomi Lingkungan Dengan Contingent Valuation Method (CVM) Sebagai Upaya Meminimalisir Dampak Penambangan Batubara di Kalimantan Timur (Studi Kasus PT. Y dengan Masyarakat X di Kabupaten Z, Kalimantan Timur). 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana meminimalisir dampak penambangan batubara yang dilakukan PT. Y terhadap masyarakat X melalui pendekatan valuasi ekonomi ekonomi lingkungan dengan Contingent Valuation Method (CVM) ? 1.3 Tujuan Mengetahui peran valuasi ekonomi lingkungan dengan Contingent Valuation Method (CVM) dalam meminimalisir dampak penambangan batubara yang dilakukan PT. Y terhadap masyarakat X.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1

Pentingnya Batubara Dalam Mobilitas Ekonomi Nasional

Batubara merupakan salah satu komoditas pertambangan terbesar di Indonesia selain minyak bumi dan gas alam. Potensi sumberdaya batu bara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batu bara walaupun dalam jumlah kecil dan belum dapat ditentukan nilai ekonomisnya, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan Sulawesi (Wikipedia, 2012). Menurut World Energy Council (2009) dalam Anonim (2009), Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar 4,3 miliar ton atau sekitar 0,5% dari total cadangan batubara. Terkait ketersediaan cadangan batubara dengan pertumbuhan konsumsi batubara maka berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Bank BNI diketahui bahwa konsumsi batubara di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 13,2 juta ton pada tahun 1997 mencapai 45,3 juta ton pada tahun 2007. Pertumbuhan tersebut diikuti oleh pertumbuhan perusahaan batubara di Indonesia yang pada tahun 2003 sudah mencapai angka 251 perusahaan. Masing-masing perusahan tersebut tersebar di berbagai titik penghasil batubara di Indonesia dimana terdapat sentra-sentra produksi batubara seperti Kalimantan dan Sumatera (Anonim, 2009).

Tabel 2.1 : Data Cadangan Batubara di Indonesia Nama Daerah Banten Jawa Tengah Sumber Daya (Juta Ton) 13,31 0,82 Cadangan (Juta Ton)

Jawa Timur Nangroe Aceh Darusalam Sumatera Utara Riau Sumatera Barat Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Papua

0,08 443,45 26,97 2.085,32 724,85 1.862,39 198,65 23.197,88 106,95 527,52 1.612,83 9.101,38 21.076,98 231,12 1,98 151,26

16,54 36,07 18 21,12 2.679 48,59 1.867,84 2.071,68 -

Sumber : Tekmira ESDM, 2009 dalam Anonim, 2009

Dari Tabel 2.1 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar cadangan batubara rata rata terdapat di Kalimantan. Kalimantan memang menjadi pusat tambang batubara di tingkat nasional. Hal tersebut dapat tercermin dari besarnya jumlah kuasa pertambangan (KP) yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten di berbagai provinsi di Kalimantan. Bisa terlihat dari tabel hingga tahun 2009, empat provinsi di Kalimantan memiliki proporsi terbesar dalam pertambangan batu bara yaitu kurang lebih 2.047 dimana Kalimantan Timur berada di posisi pertama dalam hal mengeluarkan kuasa pertambangan, yakni 1.180 kuasa pertambangan (BKPRN, 2009 dalam Anonim, 2009).

Terkait

perdagangan

internasional,

batubara

menjadi

komoditas

pertambangan non migas yang turut diperhitungkan hal ini dikarenakan Indonesia merupakan eksportir batubara kedua terbesar di dunia setelah Australia. Berdasarkan laporan ESDM, Indonesia merasa cukup optimis dengan posisinya sebagai produsen batubara terbesar Grafik di bawah ini

memperlihatkan bahwa pada tahun 2007, ekspor Indonesia berjumlah sekitar 202 juta ton. Ekspor ini ditujukan untuk negara-negara seperti Jepang (terbesar), Taiwan, India dan Korea Selatan (Anonim, 2009).

Grafik 2.1 : Eksportir Batubara Terbesar di Dunia, 2007

250 200 150 100 50 0


Australia Juta Ton 244 Indonesia 202 Rusia 100 Colombia 67 Afrika Selatan 67

China 54

USA 53

Sumber : Modifikasi BNI, 2007 dalam Anonim, 2009

Grafik 2.2 : Neraca Perdagangan Batubara Indonesia (Ton)

Sumber : Media Rilis, 2007 dalam Anonim, 2009

Produksi batubara di Indonesia selain dijadikan komoditas ekspor dalam perdagangan internasional juga menjadi salah satu komoditas yang

diperdagangkan di domestik terutama untuk sektor industri. Dipilihnya batubara sebagai sumber energi karena batubara relatif lebih murah dibanding minyak bumi. Khususnya di Indonesia yang memiliki sumber batubara yang sangat melimpah, batubara menjadi sumber energy alternatif yang potensial. Oleh sebab itu, penggunaan batubara di Indonesia meningkat pesat setiap tahunnya. Data menunjukkan bahwa penggunaan batubara di Indonesia mencapai 14,1% dari total penggunaan energi lain pada tahun 2003. Diperkirakan penggunaan energi batubara ini akan terus meningkat hingga 34,6% pada tahun 2025 (Fatakh, 2008 dalam Anonim, 2008).

Tabel 2.2 : Konsumsi Batubara Menurut Jenis Industri di Indonesia Tahun 1998 2005 Jenis Industri PLTU Semen Industri Tekstil Industri Kertas Metalurgi Briket Lain - lain Jumlah 1998 10.991.341 1.279.973 692.737 144.907 29.963 2.600.550 15.659.471 1999 13.047.717 2.762.831 805.397 123.226 38.302 2.573.355 19.350.828 2000 13.943.613 3.763.884 766.549 134.393 36.799 5.545.609 24.190.847 2001 19.16.256 5.938.172 804.202 220.666 31.265 2.407.667 28.567.228 2002 21.902.161 5.355.460 471.751 236.802 24.708 3.792.481 31.783.364 2003 23.810.054 5.068.194 274.160 1.680.204 225.907 24.976 4.715.840 35.799.436 2004 23.492.328 6.070.825 381.440 1.106.227 122. 827 23.506 5.237.639 36.434.791 2005 25.132.174 6.023.248 1.307.610 2.272.443 160.490 28.267 417.583 35.341.816

Sumber : Hasil Survei Puslitbang TEKMIRA, 2006 ; DPPMB, 2006 dalam Anonim, 2009

Dalam hal ini dari Tabel 2.2 batubara di Indonesia lebih banyak digunakan untuk pembangkit tenaga listrik (PLTU). Namun sejumlah kritik beredar terkait dengan isu pemadaman bergilir yang dilakukan di sejumlah daerah yang memiliki persediaan batubara. Kritik yang baru-baru beredar di media adalah ketika terjadi pemadaman bergilir di Kalimatan Timur, padahal provinsi tersebut merupakan produsen batubara terbesar di Indonesia. Kritik juga muncul ketika dilakukan survei pada beberapa kelompok masyarakat sipil di Kalimantan yang menunjukkan bahwa tidak sedikit daerah yang menjadi produsen batubara justru belum menikmati pasokan energi (Anonim, 2009).

2.2

Peran Batubara Sebagai Komoditas Strategis di Kalimantan Timur Kalimantan Timur (Kaltim), merupakan propinsi terkaya ketiga di

Indonesia, yang mempunyai banyak kekayaan alam sumber daya alam yang berupa: hutan, perkebunan, minyak, tambang, laut, keanekargaman hayati, dan lain-lainnya (Kotijah, 2011). Namun dalam hal ini sumberdaya alam yang paling potensial di Kaltim adalah sektor pertambangan baik migas dan non migas. Dengan latar belakang semacam itu, dapat dimaklumi jika Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kalimantan Timur banyak dipengaruhi oleh kekayaan sumber dayanya. Secara lebih rinci, PDRB daerah tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 2.3 : Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Yang Berlaku No Lapangan Usaha (Industrial Sectors) 1 2 3 Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan 6.101 32.763 37.768 6.674 32.206 37.574 7.439 40.364 38.938 8.455 51.280 49.480 2001 2002 2003 2004

4 5 6 7 8 9

Listrik, Gas, Air Bangunan (Kontruksi) Perdagangan, Restauran Pengangkutan Komunikasi Hotel, &

211 2.457 5.866 3.097 1.779 1.847 91.890 35.911

255 2.787 6.247 3.666 1.947 2.410 93.769 41.265

345 3.128 6.805 4.266 2.186 2.981 106.453 46.250

488 3.539 8.124 4.801 2.561 3.127 131.857 52.561

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa - jasa PDRB (inc. Migas) PDRB (excl. Migas)

Sumber : BPS Prov. Kalimantan Timur, 2004 dalam Harinowo, 2006

Dari Tabel 2.3 tersebut di atas tampak secara jelas peranan minyak dan gas dalam perekonomian di Propinsi Kalimantan Timur. Dari kegiatan tersebut, minyak bumi dan gas alam merupakan hasil tambang yang sangat besar pengaruhnya dalam perekonomian Kalimantan Timur khususnya dan Indonesia pada umumnya, karena hingga kini kedua hasil tambang tersebut merupakan komoditi ekspor utama (BPS Kaltim, 2009). Jika tanpa Migas, maka PDRB Propinsi Kalimantan Timur di tahun 2001 adalah sebesar Rp. 35.911 milyar, atau hanya sekitar sepertiga dari PDRB yang memasukkan Migas di dalamnya. Ini berarti bahwa peranan Migas dalam pembentukan PDRB Kalimantan Timur adalah sebesar dua pertiganya (Harinowo, 2006). Peranan yang sedemikian besar tersebut memiliki arti yang besar setelah Undang-undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mulai memberikan pembagian hasil yang besar bagi penghasil Sumber Daya Alam. Tahun 2005 sendiri, Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Timur memperoleh alokasi dana desentralisasi sebesar Rp. 8 trilyun, yang terbagi untuk Pemerintahan Propinsi maupun Kabupaten yang menghasilkan sumber daya tersebut. Jika

dibandingkan dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 3 juta, maka jumlah dana desentralisasi setiap penduduk hampir mencapai Rp. 3 juta sendiri, suatu jumlah yang lumayan besar bagi penduduk daerah (Harinowo, 2006). Selain minyak dan gas yang memilki peranan penting dalam

perekonomian di Kalimantan Timur, Harinowo (2006) menambahkan bahwa dari perhitungan secara profit akibat investasi dalam negeri dan asing komoditas batubara merupakan primadona baru yang turut menyokong pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur dimana banyak berkembang perusahaan batubara dalam skala yang besar maupun kecil sehingga mampu membuat propinsi Kalimantan Timur sebagai penghasil batubara terbesar bagi Indonesia.

Tabel 2.4 : Produksi Batubara Beberapa Perusahaan Terpenting No 1 2 3 4 5 6 7 8 Nama Perusahaan Kaltim Prima Coal Berau Coal Mining Kideco Tanito Harum Indominco Mandiri Kitadin Bukit Baiduri Banpu Indonesia Total 2004 21.4 10.0 16.9 3.0 7.8 1.8 4.0 12.5 77.4 2005 30.0 11.0 18.0 6.0 8.3 1.6 4.0 15.3 94.2 2006 40.0 12.0 19.0 7.0 8.0 1.6 4.0 17.8 109.4

Sumber : Laporan Tahunan BEJ dan Data Internal, 2006 dalam Harinowo, 2006

Dilihat dari Tabel 2.3 tersebut maka perekonomian batubara di daerah Dari Tabel 2.4 terlihat bahwa produksi batubara di Kalimantan Timur

tampaknya lebih besar dari yang terangkum dalam data statistik PDRB. Sementara itu, berdasarkan observasi langsung di lapangan, masih banyak lagi perusahaan tambang batubara yang belum termasuk daftar tersebut namun sudah berdiri dan bahkan sudah berproduksi dan melakukan ekspor. Paling tidak dewasa ini ada 2 perusahaan yang secara gabungan memiliki ekspor sekitar 8 juta ton per tahun yang belum terdata disini. Fakta ini pada akhirnya memberikan indikasi bahwa perekonomian di Kalimantan Timur sebetulnya jauh lebih besar

daripada yang terekam dalam data statistik yang ada saat ini. Ini berarti bahwa untuk melihat potensi yang ada pada perekonomian Kalimantan Timur, data yang ada sebetulnya adalah data yang sangat konservatif. (Harinowo, 2006). Dalam hal ini peran batubara sebagai komoditas strategis dalam perekonomian di Kalimantan Timur adalah terciptanya kesejahteraan masyarakat di wilayah pertambangan secara umum terlihat meningkat karena efek domino dari keberadaan perusahaan telah mampu mendorong dan menggerakkan sendi sendi ekonomi masyarakat (Raden et.al, 2010). Berdasarkan penelitian Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kalimantan Timur merupakan produsen batu bara terbesar di Indonesia serta tercatat sebagai daerah nomor dua terbesar dalam hal cadangan batu bara. Menurut Ketua Badan Promosi dan Investasi Daerah (BPID) Kaltim, Ichwansyah mengatakan bahwa : Potensi batubara di Kaltim sangat besar yakni mencapai 22 milyar metrik ton dan hingga kini yang di produksi rata-rata sekitar 40 juta juta ton/tahun. Perkembangan produksi batu bara sejak tahun 2004 terus meningkat setiap tahunnya dan pada tahun 2009 produksi batubara mencapai 123.256.163 ton (Anonim, 2009). 2.3 Dampak Penambangan Batubara di Kalimantan Timur Terhadap Lingkungan dan Sosial Ekonomi Masyarakat Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan sangat rumit, sarat risiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang,

melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan membutuhkan aturan regulasi yang dikeluarkan oleh beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar sehingga memerlukan

perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Seharusnya pada saat membuka tambang, sudah harus dipahami

bagaimana menutup tambang yang menyesuaikan dengan tata guna lahan

pasca

tambang

sehingga

proses rehabilitasi/reklamasi

tambang bersifat

progresif, sesuai rencana tata guna lahan pasca tambang. Dasar rencana dan implementasi seperti ini, harus dilakukan di menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dampak lingkungan didefinisikan

sebagai suatu perubahan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu dan atau kegiatan. Sementara itu, Soemarwoto (2005) dalam Raden et.al (2010) mendefinisikan dampak sebagai suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas di mana aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik, dan biologi. Seharusnya pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), sebagaimana yang termuat dalam pasal 15-18, dimana KLHS berfungsi untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah berupa kebijakan, rencana, dan program (Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, 2011). Gambar 2.1 : Dampak yang Timbul Akibat Aktivitas Pembangunan
Kegiatan Pembangunan Dampak, Sosial, Ekonomi, dan Budaya Dampak Sosial, Dampak Biofisik Kenaikan Kesejahteraan
Sumber : Raden et.al, 2010

Dampak Biofisik Dampak Primer

Ekonomi, dan Budaya Dampak Sekunder

Tujuan

Dalam hal ini posisi Kalimantan Timur sebagai penghasil batubara terbesar di Indonesia memiliki resiko yang cukup tinggi terhadap pencemaran lingkungan karena batubara dapat menghasilkan limbah gas seperti CO2, SO2, NOx dan CxHy dan limbah padat. Limbah padat tersebut berupa abu, yaitu abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Menurut Kementrian Lingkungan Hidup (2006) dalam Anonim (2008), limbah abu layang yang dihasilkan mencapai 52,2 ton/hari, sedangkan limbah abu dasar mencapai 5,8 ton/hari. Limbah abu ini bila ditimbun akan menghasilkan gas metana (CH4) yang mudah terbakar atau meledak dengan sendirinya (self burning dan self exploding). Selain itu, abu ini berbahaya untuk kesehatan khususnya pada sistem pernafasan dan kulit. Oleh sebab itu menurut peraturan PP85/1999, limbah abu layang dan abu dasar ini dikategorikan sebagai limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) (Anonim, 2008). Ditinjau dari metode yang digunakan dalam produksi batubara methode open pit mining yang rata rata digunakan perusahaan pertambangan di Kalimantan Timur maka berefek pada meningkatnya kerusakan hutan tropis atau penyumbang meluasnya deforestrasi hutan. Dengan methode open pit mining ini dilakukan pembabatan hutan yang kemudian dilanjutkan dengan blasting (peledakan) untuk mendapatkan langsung batubara dengan cara yang lebih cepat namun dampaknya adalah kerusakan lahan hutan yang bisa bersifat permanen. Dengan metode ini pembukaan hutan menjadi keharusan apabila diperkirakan ada deposit batubara di bawah hutan, tak perduli dengan apa yang ada diatasnya. Padahal untuk menumbuhkan tanaman menjadi sebuah pohon besar memerlukan waktu bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun (Kaltim Post, 2011 dalam Trizilo, 2012). Terkait hal ini, dalam laporan Kementrian Lingkungan Hidup tahun 2005, 56 persen wilayah-wilayah yang ditinggalkan oleh pertambangan di Kaltim

belum direstorasi. Bahkan setiap kali saya naik pesawat Dash 7 PKT dari dan ke Bontang dan Balikpapan, terlihat dengan jelas lubang-lubang hitam yang besar dan juga ada danau-danau buatan akibat kegiatan tambang-tambang terbuka. Pemandangan ini tak hanya di areal yang dilintasi Dash 7, areal yang lain yang lebih besar. Lubang-lubang hitam besar buatan manusia itu seharusnya direklamasi dengan reforestasi oleh para pemegang konsesi tambang, namun kenyataannya banyak yang ditinggalkan begitu saja mengingat tidak mudah dan perlu biaya besar untuk melakukan kegiatan reklamasi tersebut. Dan pada akhirnya lubang-lubang hitam besar itu terisi air hujan atau anak sungai sehingga menjadi danau-danau besar yang juga tidak mudah bagi satwa air untuk bertahan hidup (Trizilo, 2012). Sebagai contoh, menurut laporan Green Peace (2011) dalam Trizilo (2012) dahulu sebelum pertambangan batubara, di Desa Makroman, Samarinda Ilir dikenal sebagai lumbung padi bagi Kota Samarinda. Namun predikat itu sudah pudar sejak perusahaan pertambangan batubara beroperasi di sekitar Desa tersebut. Belasan hektar lahan persawahan penduduk mengalami kerusakan parah karena sumber mata air bagi persawahan tersebut sudah tercemar limbah pertambangan batubara yang dibuang ke aliran sungai. Hal ini cukup dilematis mengingat kawasan transmigrasi L2 Tenggarong Seberang memiliki kejayaan di era tahun 90-an, dimana pada masa itu produksi hasil pertanian khususnya padi menjadi komoditas pertanian Kalimantan Timur yang cukup diperhitungkan namun kondisi itu berubah seiring dengan meningkatnya alih fungsi lahan pertanian untuk kegiatan pertambangan batubara. Berbagai dampak potensial di sektor sosial dan ekonomi dapat terjadi akibat adanya penambangan batubara di suatu wilayah, baik dampak positif maupun dampak negatif. Berbagai dampak positif diantaranya tersedianya fasilitas sosial dan fasilitas umum, kesempatan kerja karena adanya penerimaan

tenaga kerja, meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat sekitar tambang,dan adanya kesempatan berusaha. Disamping itu dapat pula terjadi dampak negatif diantaranya munculnya berbagai jenis penyakit akibat menurunnya kualitas udara, meningkatnya kecelakaan lalu lintas, dan terjadinya konflik sosial saat pembebasan lahan (Raden et.al, 2010) Kenyataan miris lainnya adalah meningkatnya kegiatan penambangan batubara di Kalimantan timur ini ternyata tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut dimana berdasarkan pernyataan Emil Salim: Kaltim makin tahun, makin banyak pengangguran, dan angka kemiskinan makin meningkat, tingkat kesejahteraan menurun. Pertambangan migas dan batubara memberi sumbangan besar kepada PDRB tahun 2010 hingga 47 persen dengan tingkat penyerapan tenaga kerja hanya 6,2 persen. Kaltim tetap menderita dan tidak menikmati batubara untuk konsumsi sendiri secara maksimal, semua batabara diekspor, yang masuk untuk konsumsi untuk Kaltim, hanya memperoleh pemasokan batubara, untuk tahun 2008 hanya 5 persen, dan tahun 2010, naik 6,89 persen. Pengelolaan SDA selama ini, hanya berbasis pada ekspor, bukan pemanfaatan dalam negeri. Hal lain, bahwa pengelolaan SDA, yang ada untuk kepentingan luar negeri, dan mengabaikan nilai-nilai lingkungan, pada akhirnya masyarakat yang merasakan akibatnya (Kotijah, 2011). . Melihat pertumbuhan produksi batu bara dari tahun ke tahun yang semakin besar, maka diperkirakan dalam jangka waktu 10 sampai 20 tahun kedepan deposit batubara ini akan habis yang dapat berdampak negatif terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar terutama

masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada kegiatan pertambangan, di mana mereka akan kehilangan mata pencaharian sebagai akibat dari berhentinya beroperasi kegiatan pertambangan (Raden et.al, 2010).

2.5

Permasalahan

PT.

dengan

Masyarakat

Terkait

Dampak

Penambangan Batubara

Tujuan jangka panjang PT. Y adalah menambang dan menjual batubara untuk mendapatkan keuntungan dan menjaga kelangsungan kegiatan tersebut. Menanggapi dampak limbah batubara yang ditimbulkan oleh PT. Y terhadap DAS Kendilo, Bapedalda pernah menegur pihak perusahaan (Sabara, 2006). DAS Kendilo, pendukung utama penghidupan masyarakat, rusak oleh pengerukan batu bara di hulu. Lima kampung itu terpaksa pindah ke lokasi baru, berjarak 210 km dari kampung lama. Dalam hal ini, masyarakat kampong yang berpindah lokasi terkadang harus membangun sekolah dan fasilitas publik lain tanpa bantuan perusahaan karena mereka tak masuk wilayah pertambangan. Pemerintah Kabupaten Z harus merogoh dana penanganan banjir kabupaten untuk membantu masyarakat . Selain itu, permasalahan yang sering muncul dari kegiatan pertambangan, yaitu ketika masa konsesinya berakhir, banyak lahan bekas galian yang ditinggalkan begitu saja atau direklamasi secara sembarangan sehingga terlihat sekali tidak ada usaha bahkan niat baik dari perusahaan pertambangan untuk menjaga daratan atau perairan di areal konsesinya. Dari pihak pemerintah

sendiri tidak ada tindakan secara tegas untuk menghadapi perilaku pelaku pertambangan tersebut. Sekali lagi, pemerintah dalam hal ini kurang cerdas untuk meramu kesepakatan dengan para pelaku pertambangan. karena ternyata Undang-Undang No. 11 tahun 1967 mengenai Ketentuan Pokok Pertambangan, dan dokumen Kontrak Karya yang memuat kesepakatan-kesepakatan antara pemerintah dengan perusahaan pertambangan asing, serta dokumen Kuasa Pertambangan yang memuat kesepakatan-kesepatan antara pemerintah dengan perusahaan pertambangan dalam negeri, ketiga dokumen tersebut tidak

mencantumkan secara tegas bahwa perusahaan pertambangan wajib melakukan reklamasi lahan bekas galian (Intip Hutan, 2003). Proses perubahan lahan tidak terlepas dari resiko terjadinya kerusakan lahan akibat erosi, pencemaran lingkungan, banjir dan lainnya. Erosi akan

menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk, penurunan kapasitas saluran irigasi, dan dapat mengganggu sistem pembangkit tenaga listrik. Erosi yang

tinggi, banjir pada musim penghujan tidak hanya menimbulkan dampak negatif pada aspek bio-fisik sumberdaya alam dan lingkungan tetapi juga berdampak pada aspek sosial ekonomi masyarakat. Erosi dan banjir dapat menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Produksi pertanian, perikanan dan penggunaan sumberdaya alam yang berkaitan dengan air akan menurun (Sihite, 2001). Dampak buruk lain dari penambangan batubara yang dilakukan PT. Y adalah meningkatnya deforestasi akibat teknologi pertambangan yang masih mengadaptasi methode open pit mining. Selain itu, berdampak pada hak hidup dan hak atas tanah bagi masyarakat adat yang telah tinggal di sekitar lokasi pertambangan secara turun-temurun selama puluhan bahkan ratusan tahun sebelum adanya kegiatan pertambangan batubara. Menurut laporan yang dilansir oleh Green Peace ; Perusahaan pertambangan yang beroperasi di Kabupaten Tanah Grogot. Sejak tahun 1982, masyarakat adat X terus-menerus mengalami penggusuran dan pengusiran paksa dari tanah leluhurnya termasuk tanah keramatnya yang telah didiami dan ditempati turun-temurun sejak nenek moyangnya untuk dijadikan areal pertambangan oleh PT.Y anak

perusahaan Indika Energi. Sekitar 27.000 hektar lahan mereka digusur untuk dijadikan lahan pertambangan batubara. Mereka bahkan dilarang melakukan aktivitas kegiatan apapun di atas tanah keramat leluhurnya sendiri (Tilzoni, 2012).

Secara perhitungan, sebenarnya nilai dari pendapatan yang diperoleh dari industri pertambangan memang besar dibandingkan dengan industri sektor lain namun nilai tersebut sebenarnya tidak sebanding dengan dampak negative yang ditimbulkan, seperti kerusakan hutan sebagai sumber kehidupan baik bagi masyarakat di sekitar hutan, perkotaan maupun di sekitar pesisir dan laut, kerusakan keaneragaman hayati yang dimiliki baik di daratan maupun di lautan, kerusakan budaya luhur dan kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat adat, polusi terhadap sungai, tanah dan udara yang dikarenakan pengelolaan terhadap pembuangan limbah dari industri pertambangan yang sembarangan, sehingga masyarakat sekitar industri pertambangan banyak yang tercemari oleh polusi tersebut dan mempengaruhi kesehatan mereka. Belum lagi muncul konflik antar masyarakat dan konflik dengan perusahaan pertambangan itu sendiri. Hal-hal semacam itu yang seringkali diabaikan oleh para pelaku pertambangan (Intip Hutan, 2003). Dalam hal ini, UU Minerba yang disahkan pada 15 Desember juga menjadi salah satu pemicu permasalahan antara PT. Y dengan masyarakat Z yaitu memperkarakan Pasal 169 tentang Ketentuan Peralihan. Pasal yang

menyebutkan tambang-tambang milik asing yang telah ada sebelum UU Minerba tetap diberlakukan sampai jangka waktu kontrak berakhir meski di pasal yang sama menyebutkan kontrak-kontrak itu harus disesuaikan UU baru, selambatlambatnya setahun. Inilah hasil kompromi partai-partai penguasa Senayan yang selama ini banyak mendapat manfaat dari sektor pertambangan. Pasal yang kontradiktif secara substansi dan dikhawatirkan tidak operasional pada akhirnya (Kompas, 2011 dalam Maemunah, 2011). Menurut Kompas (2011) dalam Maemunah (2011), meski UU ini tak memberlakukan lagi kontrak karya, luas daratan yang memiliki cadangan mineral dan batu bara paling ekonomis sebagian besar telah dimiliki pemegang izin dan

kontrak lama, tanpa upaya kaji ulang perizinan lama, pengakuan veto rakyat, penghitungan daya dukung lingkungan, serta pembatasan produksi dan ekspor. Seharusnya, masuknya proyek pembangunan dalam sebuah kawasan

disyaratkan menjamin keselamatan dan produktivitas rakyat serta keberlanjutan layanan alam. UU Minerba luput memastikan hal itu. Pasal 145 tentang Perlindungan Masyarakat ternyata tak seindah judul pasalnya. Lebih jauh, berisiko melegalkan pelanggaran HAM di sektor pertambangan. Pertama, tentang masyarakat terkena dampak. UU Minerba hanya mengenal masyarakat terkena dampak negatif langsung kegiatan usaha pertambangan. (Kompas, 2011 dalam Maemunah, 2011). Untuk hak gugat masyarakat, diatur dalam pasal 91 ayat (1), yakni bahwa : Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan diri sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan /atau kerusakan lingkungan hidup. Dalam hal ini masyarakat dapat mengajukan gugatan apabila ada kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan diantaar wakil kelompok dan angggota kelompoknya (Kotijah, 2012).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Jenis Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka penelitian ini

menggabungkan pendekatan kuantitatif (positivist) dengan pendekatan deskriptif kualitatif yang positifis (positivist qualitative) untuk menjawab sejumlah permasalahan maupun tujuan penelitian ini. Penelitian kualitatif, pada dasarnya bertujuan untuk mengungkap fenomena secara mendalam dengan metode pengumpulan data yang naturalistik, dengan kata lain lebih mendasarkan pada realita lapangan (perspektif emik). Jadi riset kualitatif adalah berbasis pada konsep going exploring yang melibatkan in depth and case-oriented study atas sejumlah kasus atau kasus tunggal (Finlay 2006 dalam Chariri, 2007). Tujuan utama penelitian kualitatif dan kalau adalah membuat fakta (sesuai mudah dipahami dapat

(understandable)

memungkinan

modelnya)

menghasilkan hipotesis baru. Terkait hal ini menurut Finlay (2006) dalam Chariri (2007) pendekatan kualitatif berdasarkan proses pembentukan/konstruksi pengetahuan dimana peneliti merupakan figur utama yang mempengaruhi dan membentuk

pengetahuan. Peran ini dilakukan melalui proses pengumpulan, pemilihan dan interpretasi data. Jadi, sangatlah tidak mungkin untuk melakukan penelitian, jika penelitian tidak terjun langsung pada obyek yang diteliti. Penelitian kualitatif merupakan proses yang melibatkan peserta (yang diteliti), peneliti dan pembaca serta relationship yang mereka bangun. Jadi, peneliti dipengaruhi oleh

lingkungan sosial, historis dan kultural dimana riset dilakukan. Konsekuensinya, peneliti harus terlibat secara langsung dalam setiap tahap kegiatan penelitian

dan harus berada langsung dalam setting penelitian yang dipilih dan ketika melakukan penelitian, peneliti harus mampu membangun hubungan yang baik dengan obyek penelitian dan mampu menyajikan hasil penelitian sehingga pembaca dapat mengikuti dengan jelas alur pemikiran peneliti dalam membangun suatu pengetahuan. Dengan peranan peneliti, hubungan yang dibangun, proses mendapatkan yang dilakukan, peran pendekatan ini ditujukan untuk permasalahan lingkungan dan sosial ekonomi

gambaran

masyarakat X akibat penambangan batubara di Kalimantan Timur mulai yang dilakukan oleh PT. Y. Selain itu, peran valuasi ekonomi lingkungan dengan CVM dapat menjadi solusi alternative dalam meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan tersebut. Penelitian ini tidak secara murni menggunakan pendekatan yang kualitatif positifis karena di dalamnya juga terdapat penerapan pendekatan penelitian yang kuantitatif. Penelitian kuantitatif menggunakan alur pemikiran positivist untuk mengkaji hal-hal yang ditemui dilapangan, tentunya sebelum melakukan penelitian maka kasus atau masalah yang akan diteliti sudah terlebih dahulu digolongkan masuk ke kuantitatif atau kualitatif, sehingga dalam proses selanjutnya peneliti tingggal melakukan riset dengan mengedepankan alur pemikiran yang tepat. Dalam hal ini, metode kuantitatif menggunakan dasar filosofis positivisme maupun neopositivisme (Sarantakos, 1995: 40 dalam Yuhertiana, 2009). Struktur, proses dan latar belakang teoritis menggunakan asumsi dasar paradigma positivis, bahwa realita adalah obyektif, human being diatur oleh fixed law dan bahwa fakta seharusnya terpisah dengan nilai (value). Baik ilmu alam dan ilmu sosial menggunakan dasar logika dan metodologi yang sama dimana eksplanasi terbatas hanya untuk menjelaskan bukti-bukti empiris saja.

3.1.1 Pengaruh Valuasi Ekonomi Dengan Contingent Valuation Method (CVM) Dalam Meminimalisir Dampak Lingkungan

Pengembangan evaluasi ekonomi sumberdaya alam berasal dari politik dan publik dimulai 60 tahun lalu di Amerika Serikat, ketika Dewan Sumberdaya Nasional diputuskan dalamnya Pengendalian Banjir tahun 1936 yang berwujud tindak lanjut atas dampak dari proyek-proyek yang dilaksanakan. Kerangka konseptual untuk evaluasi pasar non-jasa dikembangkan oleh Ciriacy-Wantrup (1947) dalam Silva dan Pagiola, 2003). Ide tentang estimasi manfaat sosial dengan mempertanyakan umum (referendum) (misalnya dalam penilaian kontingen-metode CVM) pertama kali menempatkan dalam praktek oleh Davis (1963) dalam Silva dan Pagiola (2003). Pendekatan valuasi ekonomi lingkungan dengan Contingent Valuation Method (CVM) adalah pendekatan yg tepat untuk memperkirakan kebersediaan membayar disebut metode Contingent Valuation didasarkan pada ide sederhana bahwa jika kita ingin mengetahui berapa nilai yg bersedia dikeluarkan oleh orang untuk mencapai kondisi lingkungan tertentu, kita dapat

menanyakannya kepada mereka. Metode ini disebut contingent valuation karena metode ini mencoba mendorong orang untuk mengungkapkan apa yang akan mereka lakukan jika ditempatkan pada kondisi contingent tertentu (Diartho, 2012). Pedoman dari Departemen Dalam Negeri (DOI, 1986) menyarankan restorasi atau biaya kesempatan sebagai ukuran untuk kompensasi. Sebuah dimensi baru untuk jenis 40 penelitian adalah pengakuan akan pentingnya nilainilai non-gunakan. Mereka harus dipertimbangkan dalam penilaian kerusakan menurut putusan dari 1989 (Negara Bagian Ohio). Exxon Valdez tumpahan minyak pada tahun 1989 adalah kemungkinan pertama untuk litigasi besar.

Untuk penilaian kompensasi proyek penelitian besar dibiayai berurusan dengan CVM ini, yang dananya disediakan baik oleh pemerintah maupun dari Exxon. Kini telah berkembang berbagai cara valuasi ekonomi dampak lingkungan ditemukan dalam literatur ekonomi sumberdaya dan lingkungan (Hufschmidt dan lain-lain, 1983; Braden dan Kolstad, 1991; Hanemann, 1992; Dixon et.al, 1994; dalam Silva dan Pagiola, 2003). Dalam hal ini terdapat Jenis pendekatan penilaian ekonomis (Barbier et.al, 1997 dalam Diartho, 2012) 1. Impact analysis : nilai ekonomi dilihat dari dampak akibat adanya aktivitas tertentu 2. Partial analysis : dengan menetapkan 2 atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem 3. Total Valuation : untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat. Nilai Ekonomi atau TEV adalah penjumlahan WTP dari banyak individu WTP ini merefleksikan preferensi individu. Seperti dalam hal barang pasar swasta, fitur umum dari semua metode penilaian ekonomi barang dan jasa lingkungan adalah bahwa mereka yang didirikan pada aksioma-aksioma teori dan prinsip-prinsip ekonomi kesejahteraan. Ini langkah-langkah perubahan kesejahteraan yang tercermin dalam rakyat kesediaan membayar (WTP) atau kesediaan untuk menerima (WTA) kompensasi untuk perubahan tingkat penggunaan barang tertentu atau jasa (Hanemann, 1991; Shogren dan Hayes, 1997 dalam Silva dan Pagiola, 2003).

Gambar 2.2 : Hubungan Antara Sistem Ekonomi dan Lingkungan


Lingkungan

Bahan Mentah

Sektor Produksi

Limbah produk Produk Final Sistem Ekonomi


Sumber : Mburu et.al, 2012

Rumah tangga

Langkah Kegiatan Valuasi Ekonomi dampak lingkungan (Barbier et.al, 1997 dalam Dewanthi, 2011) : 1. Pemilihan pendekatan nilai ekonomi yang sesuai dengan tujuan studi; 2. Mendefinisikan areal dari kegiatan amdal yang akan dianalisis, batasbatas khusus dari ekosistem dengan areal sekitarnya; 3. Mengidentifikasi segenap komponen, fungsi dan atribut dari ruang lingkup kegiatan amdal serta menyusunnya dalam tingkatan

Limbah produk Sektor

berdasarkan derajat kepentingannya; 4. Menyusun klasifikasi segenap fungsi dan manfaat kegiatan amdal ke dalam berbagai tipe penggunaan ekosistem yang akan dimanfaatkan (use value and non-use value);

5. Mengidentifikasi informasi dan data yang diperlukan sekaligus metode pengumpulannya; 6. Menganalisis segenap informasi dan data yang sudah dikumpulkan dalam rangka kuantifikasi nilai ekonomi kegiatan amdal; 7. Mengimplementasikan metode penilaian yang tepat yaitu dengan menggunakan metode Cost Benefit Analysis.

3.2

Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kalimantan Timur disektor pertambangan khususnya komoditas batubara. Penentuan lokasi

penelitian didasarkan aktivitas perusahaan pertambangan batubara terhadap masyarakat sekitar. Berdasarkan valuasi ekonomi lingkungan dengan contingent value model (CVM) maka diketahui bahwa harus adanya kesepakatan nilai yang dikeluarkan untuk lingkungan (willingness to pay) antara PT. Y dan masyarakat X. 3.3 Definisi Operasional Sesuai dengan judul penelitian maka penjelasan beberapa variabel yang terkait yaitu, variabel dimana tidak ada menetapkan suatu alasan untuk suatu barang dan jasa yang terdapat arus pembayaran. Dalam hal ini variabel yang digunakan untuk memperoleh penawaran adalah berdasarakan hasil dari responden berdasarkan hasil close ended question yang terbagi menjadi 3 jenis yaitu: dichotomous choice, double bounded choice, dan trichotomous choice dimana akan menggunakan analisis Logit, Probit, dan model kegunaan acak.

3.4

Metode Pengumpulan Data Untuk menguraikan dan menganalisa serta mengolah semua data yang ada maka jenis datanya adalah data sekunder. Data tersebut diperoleh melalui pembagian kusioner untuk mengetahui willingness to pay berdasarkan kesepakatan perusahaan Y dan masyarakat. Dalam hal ini, metode pengumpulan data yang cocok digunakan untuk penelitian ini adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal hal atau variabel yang berupa catatan ,transkrip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya (Moleong, 2000: 236).

3.5

Metode Analisis Data Pendekatan valuasi ekonomi lingkungan dengan Contingent Valuation Method (CVM) adalah pendekatan yg tepat untuk

memperkirakan kebersediaan membayar disebut metode Contingent Valuation didasarkan pada ide sederhana bahwa jika kita ingin mengetahui berapa nilai yg bersedia dikeluarkan oleh orang untuk mencapai kondisi lingkungan tertentu, kita dapat menanyakannya kepada mereka. Metode ini disebut contingent valuation karena metode ini mencoba mendorong orang untuk mengungkapkan apa yang akan mereka lakukan jika ditempatkan pada kondisi contingent tertentu (Diartho, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Batubara di Indonesia Sebuah Permasalahan. Diakses 5 Agustus 2012. http://morentalisa.files.wordpress.com Anonim. Penentuan Kapasitas Adsorpsi Ion Logam Cu(II) dalam larutan pada Abu Dasar Batubara dengan Menggunakan Metode Kolom. Diakses 5 Agustus 2012. http://digilib.its.ac.id BPS Kaltim.Kalimantan Timur Dalam Angka 2010. Diakses 5 Agustus 2012. http://kaltim.bps.go.id/web/KDA10/10-7.pdf Dewanthi, Lakshmi. Valuasi Ekonomi Dampak Lingkungan, Diakses 5 Agustus 2012. http://directory.ung.ac.id

Diartho, Herman Cahyo. Valuasi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Materi Kuliah Ekonomi Lingkungan Kelas AA Jurusan Ilmu Ekonomi Harinowo, Cyrillus. Kalimantan Timur : The Jewel Of The East, WinPlus Capital, 2006. Diakses 5 Agustus 2012. http://www.winpluscapital.com Ince Raden, dkk. Kajian Dampak Penambangan Batubara Terhadap Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Nomor: 15.21/PI-111112010, Jakarta, November 2010 (Online). Diakses 5 Agustus 2012. http://km.ristek.go.id/assets/files/330.pdf

Intip Hutan. Menambang di Kawasan Lindung, Mei Juli 2012, (Online). http://fwi.or.id Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur. Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Batubara Kota Samarinda, Draft 2, Naskah Akademik, (Online). Diakses 5 Agustus 2012. http://borneo2020.org Maemunah, Siti. UU Minerba dan Masalah HAM. Diakses 5 Agustus 2012. http://kiara.or.id

Mburu, John. Economic Valuation and Environmental Assesment, Training Manual oleh German Ministry Of Education and Research, (Online). Diakses 5 Agustus 2012. http://www.zef.de Trizilo, Joe. Batubara Kaltim, Penguasa dan Pengusaha Dapat Emas Hitamnya Rakyat Jelata Dapat Debunya. Diakses 5 Agustus 2012. http://joetrizilo.wordpress.com

Patricia Silva dan Stefano Pagiola. A Review Of The Valuation Of Environmental Costs and Benefits in World Bank Projects, The World Bank Environment Department, December 2003, (Online). Diakses 5 Agustus 2012 http://www.winpluscapital.com Paserkab. Potensi Ekonomi. http://www.paserkab.go.id Diakses 5 Agustus 2012.

Sabara, Juanita Edith. Pemetaan Konflik Pengelolaan Sumberdaya di Hutan Lindung Gunung Lumut Kebupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, 2006, (Online). Diakses 5 Agustus 2012. http://repository.ipb.ac.id Wikipedia. Batubara. Diakses 5 Agustus 2012. http://www.id.wikipedia.org

You might also like