You are on page 1of 29

GEOLOGI MINYAK BUMI ANALISA GEOKIMIA

Disusun oleh : Subhan Arif Hector Chaves Wattimena Deni Riano Dedi Indra Darmawan Ari Ardiani Abilio Asimoes Eka Primadewi Fabiola Dos M Neves De Camoes Yohanes Arifin De Sausa Mariana Soares De Deus Emiliano Maria Gusmao De Oliviera Orlando De Carmo Araujo Deodoro Antonio Alexio Da Silva Anibal Antero Soares Fajri Santoso Fahriah Sanusi Rahaningmas Faizal Wahyudinsyah

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND YOGYAKARTA 2012

KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun penjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul ANALISA GEOKIMIA dengan baik. Karena makalah adalah merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Geologi Minyak Bumi dalam jurusan teknik geologi. Sehingga tugas ini dapat menunjang nilai penyusun dalam menyelesaikan study semester IV ini. Dalam kajian makalah ini penyusun merasa masih banyak kekurangankekurangan baik pada teknis kajian maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penyusun. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam kajian makalah ini penyusun menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, yang tidak dapat penyusun sebutkan namanya satu per satu. Akhirnya penyusun berharap semoga Tuhan dapat memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai pembelajaran bagi penyusun. Akhir kata, semoga makaalah ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Trima kasih.

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Petolium Sistem. ............................................................................... Gambar 2 Profil Geokimia Sumur X Dan Y. .................................................. Gambar 3. Penentuan tipe kerogen ........................................................................ Gambar 4. Plot diagram van Kravelen sampel................................................ Gambar 5. Nilai vitrinite reflectance berbagai kerogen ..................................

1 18 19 19 21

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Standar Warna Spora ........................................................................ Tabel 2. Potensi Batuan Induk Berdasarkan HI (Waples 1985) .....................

14 17

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................... DARTAR GAMBAR ...................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN I.1 I.2 I.3 I.4 I.5 Latar Belakang ............................................................................. Rumusan Masalah ......................................................................... Tujuan dan Manfaat ...................................................................... Metode........................................................................................... Sistematika Kajian ........................................................................

i ii iii iv v

1 3 3 4 4

BAB II ANALISA GEOKIMIA II.1 II.2 II.3 II.4 II.5 II.6 Analisa Jumlah Material Organic Dalam Batuan Induk ............... Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Metode Bissada) ................ Analisa Pantulan Vitrinit ............................................................... Analisa Indeks Warna Spora ......................................................... Identifikasi Kematangan (Metode Pyrolisys)................................ Metode Evaluasi Type Material Organik ...................................... 5 10 12 13 15 20

BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan .................................................................................. 23 24

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang Keterdapatan hidrokarbon di suatu lokasi atau wilayah, tergan-tung kepada

beberapa parameter, yang merupakan suatu kesatuan utuh yang dikenal sebagai petroleum system. Petroleum System merupakan sebuah sistem geologi

terintegrasi yang menghasilkan suatu hidrokarbon baik berupa minyak bumi maupun gas bumi dan merupakan suatu sistem geologi terintegrasi mengenai jebakan hidrokarbon dan konsentrasi hidrokarbon itu sendiri.
Gambar 1. Petolium Sistem

Parameter tersebut yaitu : 1. Batuan Induk (Source Rock) Adalah suatu batuan sedimen yang sedang, akan atau telah menghasilkan hidrokarbon. Pada umumnya batuan induk dibayangkan sebagai batuan serpih berwarna gelap, kaya akan zat organik dan biasanya diendapkan pada lingkungan marin. Pembentukannya tergantung pada tiga faktor: Keberadaan akan bahan organik untuk menghasilkan hidrokarbon Temperatur yang sesuai Waktu yang cukup untuk pendewasaan batuan induk Tekanan dan kandungan bakteria dan katalis

Sedangkan untuk pengindentifikasi dari batuan induk mempunyai kriteria standar, yaitu:

a. TOC (Total Organic Carbon) b. EOM (Extractable Organic Matter) c. CPI (Carbon Preference Index) d. CIR (Carbon Isotope Ratio) e. LOM (Level of thermal Maturity) 2. Batuan Reservoar Yaitu suatu wadah yang berisii dan jenuh oleh minyak dan gas bumi yang pada umumnya berupa lapisan batuan yang mempunyai sifat phorus dan permeable yang tinggii yang terdapat diantara butiran mineral datau dapat pula di dalam suatu rekahan batuan yang mempunyai porosits rendah. Batuan reservoar biasanya berupa batuan sedimen, sebagai contoh batupasir, batupasir kuarsa, batupasir greywacke. 3. Jebakan Yaitu suatu unsur pembentuk reservoir yang bentuknya sedemikian rupa sehingga lapisan beserta penutupnya berbentuk konkav ke bawah dan menyebabkan minyak dan gas bumi berada di bagian teratas reservoir. Terdapat 3 tipe jebakan minyak bumi, antara lain: a. Jebakan Struktural b. Jebakan Startigrafi c. Jebakan Hidrodinamik 4. Seal Penyekat Adalah suatu lapisan batuan yang berfungsi untuk menahan pergerakan hidrokarbon agar tidak masuk ke lapisan lain. Karakteristik utama dari seal yaitu impermeable, plastic, dan memiliki porositas yang rendah. Batuan seal biasanya serpih, batugamping atau lapisan garam. 5. Migration Migrasi primer : Pergerakan hidrokarbon dari batuan induknya menuju

batuan reservoar. Pergerakan dari hidrokarbon yang baru terbentuk keluar dari batuan induk. Migrasi Sekunder : pergerakan hidrokarbon menuju batuan reservoar dalam jebakannya atau daerah akumulasi lainnya.

Kelima parameter tersebut saling tergantung satu dengan yang lain agar suatu daerah atau wilayah terdapat potensi minyak dan atau gas bumi. Batuan Induk atau source rock adalah batuan sedimen yang sedang, akan atau telah menghasilkan hidrokarbon. Batuan reservoir adalah batuan yang porus dan permeabel, berisi minyak, gas dan atau air formasi. Trap atau jebakan adalah kondisi geologi tertentu yang memung-kinkan hidrokarbon dapat terakumulasi secara alami. Seal atau cap rock atau batuan penyekat adalah batuan yang ber-fungsi menghalangi minyak dan gas bumi yang sudah terperangkap tidak bermigrasi ke tempat lain. Proper time of migration adalah proses perpindahan minyak dan gas bumi secara alami dari batuan induk ke batuan reservoir.

I.2

Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut : Analisa Jumlah Material Organic Dalam Batuan Induk Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Metode Bissada) Analisa Pantulan Vitrinit Analisa Indeks Warna Spora Identifikasi Kematangan (Metode Pyrolisys)
Metode Evaluasi Type Material Organik

I.3

Tujuan dan Manfaat Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas

geologi minyak bumi pada semester genap ini. Adapun manfaat pembuatan makalah ini adalah dapat lebih memahami tentang analisis geokimia pada minyak bumi.

I.4

Metode Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah metode

studi kepustakaan. Karna data-data yang diambil tidak berdasarkan penelitian.

I.5

Sistematika Kajian Sistematika dalam kajian makalah ini terbagi dalam tiga bab. Pembagian

kajian dalam makalah ini untuk memudahkan penyusun dalam menyusun hasil penelaahan terhadap permasalahan yang ada. Dan sistematika Kajian makalah ini dapat diuraikan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini secara garis besar memuat pendahuluan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika Kajian. BAB II PEMBAHASAN MASALAH Dalam bab ini akan di bahas mengenai pembahasan dari rumusan masalah tersebut. BAB III KESIMPULAN Dalam bab ini memuat tentang pokok-pokok hasil pembahasan dari bab II dan III. Uraian kesimpulan akan menjadi jawaban atas masalah yang sudah dirumuskan.

BAB II ANALISA GEOKOMIA

Geokimia Minyak & Gas Bumi merupakan aplikasi dari ilmu kimia yang mempelajari tentang asal, migrasi, akumulasi serta alterasi minyak bumi (John M. Hunt, 1979). Petroleum biasanya jug diartikan minyak dan gas bumi yang memiliki komposisi kimia berupa Carbon dan Hidrogen. Komposisi kimia ini dihasilkan dari proses pembusukan (dekomposisi) serta kematangan termal material organik. Material organik tersebut berasal dari tumbuh2an dan algae. Material organik ini ketika mati segera diendapkan. Akibat adanya suhu, tekanan serta waktu yang cukup, komponen tumbuhan dan algae teralterasi menjadi minyak, gas dan kerogen. Kerogen dapat dianggap sebagai material padat sisa tumbuhan. Shale dan Limestone yang mengandung material organik disebut sebagai source rock karena batuan tersebut merupakan batuan sumber Analisis Geokimia dalam dunia

untukmenghasilkan minyak & gas bumi. perminyakan tersebut bertujuan untuk :

a. Untuk mengidentifikasi source rock dan menentukan jumlah, tipe, dan tingkat kematangan material organik b. Mengevaluasi perkiraan kapan migrasi minyak & gas bumi dari source rock c. Memprediksi jalur migrasi d. Korelasi komposisi minyak & gas bumi yang berada di dalam reservoar, rembesan (seeps) untuk mengetahui keberadaannya.

II.1

Analisa Jumlah Material Organic Dalam Batuan Induk Jumlah material organik yang terdapat di dalam batuan sedimen

dinyatakan sebagai Karbon Organik Total (TOC). Anlisis ini cukup murah, sederhana dan cepat. Biasanya memerlukan satu gram batuan, tetapi jika sample banyak material organik, jumlah yang lebih kecil dari satu g ram cukup. Analisa TOC biasanya dilakukan dengan suatu alat penganilis karbon, Leco Carbo Anlyzer. Dimana tekniknya cukup sederhana, yaitu dengan membakar

sample yang berbentuk bubuk, bebas mineral karbonat pada temperatur tinggi dengan bantuan oksigen. Semua karbon organik dirubah menjadi karbon dioksida, yang kemudian diperangkap dalam alat tersebut dan dilepaskan dalam suatu detector ketika pembakaran sudah usai jumlah karbon organik didalam batuan karbonat harus dihilangkan dalam sample dengan asam klorida sebelum pembakaran, karena mineral karbonat juga terurai selama pembakaran dan menghasilkan karbon dioksida. Sample dengan kandungan TOC rendah biasanya dianggap tidak mampu membentuk hidrokarbon yang komersial dan karena itu sample seprti biasanya tidak dianalisis lebih lanjut. Titik batas didiskualifikasi biasanya tidak merata, tetapi pada umumnya antara 0,5 dan 1% TOC. Sample yang terpilih, dianalisis lebih lanjut untuk tipe material organik yang dikandungnya. Jika penentuan TOC ditentukan terhadap sample inti bor, maka pengambilan sample tersebut didiasarkan pada litologi yang menarik. Sebelum melakukan penentuan TOC, teknisi harus membuang kontaminan dan material jatuhan. Jika terdapat lebih dari satu litologi dalam suatu sample, maka kita harus melakukan pengambilan material tertentu saja. Pendekatan lain adalah tanpa memilih materialnya dengan harapan agar kita mendapatkan harga yang mencerminkan keseluruhan sample. Kekurangan dari cara ini adalah kita secara tidak sadar mencampur material kaya yang seringkali jumlahnya relatuif sedikit dengan material yang tidak mengandung material organik (kosong) yang jumlahnya cukup banyak, sehingga akhirnya memberikan data yang membuat kita menjadi pesimis. Karena kedua cara tersebut berbeda, maka jika tidak seseorang kan melakukan interpretasi haruslah mengetahui metode mana yang telah ditempuh agar dapat menghasilkan interpretasi dengan akurasi tinggi.
Berdasarkan komposisi unsur-unsur kimia yaitu karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O), pada awalnya kerogen dibedakan menjadi 3 tipe utama yaitu kerogen tipe I, tipe II, dan tipe III (Tissot dan Welte, 1984 dalam Killops dan Killops, 2005), yang kemudian dalam penyelidikan selanjutnya ditemukan kerogen tipe IV (Waples, 1985). Masing-masing tipe dicirikan oleh jalur evolusinya dalam diagram van Krevelen.

Kerogen Tipe I (highly oil prone - oil prone) Kerogen Tipe I memiliki perbandingan atom H/C tinggi( l,5), dan O/C rendah (< 0,1). Tipe kerogen ini sebagian berasal dari bahan organik yang kaya akan lipid (misal akumulasi material alga) khususnya senyawa alifatik rantai panjang. Kandungan hidrogen yang dimiliki oleh tipe kerogen I sangat tinggi, karena memiliki sedikit gugus lingkar atau struktur aromatik. Kandungan oksigennya jauh lebih rendah karena terbentuk dari material lemak yang miskin oksigen. Kerogen tipe ini menunjukkan kecenderungan besar untuk menghasilkan hidrokarbon cair atau minyak. Kerogen tipe I berwarna gelap, suram dan baik berstruktur laminasi maupun tidak berstruktur. Kerogen ini biasanya terbentuk oleh butiran yang relatif halus, kaya material organik, lumpur anoksik yang terendapkan dengan perlahan-lahan (tenang), sedikit oksigen, dan terbentuk pada lingkungan air yang dangkal seperti lagoondan danau. Kerogen Tipe II (oil and gas prone) Kerogen Tipe II memiliki perbandingan atom H/C relatif tinggi (1,2 1,5), sedangkan perbandingan atom O/C relatif rendah (0,1 0,2). kerogen tipe ini dapat menghasilkan minyak dan gas, tergantung pada tingkat kematangan termalnya. Kerogen tipe II dapat terbentuk dari beberapa sumber yang berbeda beda yaitu alga laut, polen dan spora, lapisan lilin tanaman, fosil resin, dan selain itu juga bisa berasal dari lemak tanaman. Hal ini terjadi akibat adanya percampuran antara material organik autochton berupa phytoplankton (dan kemungkinan juga zooplankton dan

bakteri) bersama-sama dengan material allochton yang didominasi oleh material dari tumbuh-tumbuhan seperti polen dan spora. Percampuran ini menunjukkan adanya gabungan karakteristik antara kerogen tipe I dan tipe III. Kandungan hidrogen yang dimiliki kerogen tipe II ini sangat tinggi, sedangkan kandungan oksigennya jauh lebih rendah karena kerogen tipe ini terbentuk dari material lemak yang miskin oksigen. Kerogen tipe II tersusun oleh senyawa alifatik rantai sedang (lebih dari C25) dalam jumlah yang cukup besar dan sebagian besar naftena (rantai siklik). Pada kerogen tipe ini juga sering ditemukan unsur belerang dalam jumlah yang besar dalam rantai siklik dan kemungkinan juga dalam ikatan sulfida. Kerogen tipe II yang banyak mengandung belerang secara lebih lanjut

dapat dikelompokkan lagi menjadi kerogen tipe IIS dengan persen berat belerang (S) organik 8 14% dan rasio S/C > 0,04 (Orr, 1986 dalam Killops dan Killops, 2005). Kerogen Tipe III (gas prone) Kerogen Tipe III memiliki perbandingan atom H/C yang relatif rendah (< 1,0) dan perbandingan O/C yang tinggi (> 0,3). Kandungan hidrogen yang dimiliki relatif rendah, karena terdiri dari sistem aromatik yang intensif, sedangkan kandungan oksigennya tinggi karena terbentuk dari lignin, selulosa, fenol dan karbohidrat. Kerogen Tipe III terutama berasal dari tumbuhan darat yang hanya sedikit mengandung lemak dan zat lilin. Kerogen tipe ini menunjukkan kecenderungan besar untuk membentuk gas (gas prone). Kerogen Tipe IV (inert) Kerogen tipe IV terutama tersusun atas material rombakan berwarna hitam dan opak. Sebagian besar kerogen tipe IV tersusun atas kelompok maseral inertinit dengan sedikit vitrinit. Kerogen tipe ini tidak memiliki kecenderungan menghasilkan hidrokarbon sehingga terkadang kerogen tipe ini dianggap bukan kerogen yang sebenarnya. Kerogen ini kemungkinan terbentuk dari material tumbuhan yang telah teroksidasi seluruhnya di permukaan dan kemudian terbawa ke lingkungan pengendapannya. Kerogen tipe IV hanya tersusun oleh senyawa aromatik.

Tiga (3) Kesalahan Umum Geologist dalam Evaluasi Source Rock Seorang geologist sering melakukan evaluasi source rock sebagai bagian dari rangkaian kegiatan eksplorasi migas. Namun sering dari mereka para geologist terutama junior geologist - memiliki pemahaman yang kurang tepat dalam evaluasi dan interpretasi analisa source rock. Tiga kesalahan umum yang sering dilakukan geologist dalam evaluasi source rock adalah: 1. High Total Organic Carbon (TOC) dianggap selalu mencerminkan Good Source Rock. 2. Rock eval data dianggap sudah mencerminkan tipe/jenis kerogen dalam source rock. 3. Data vitrinite reflectance selalu dicerminkan sebagai tingkat kematangan source rock, atau di-interpretasikan telah terjadi pembentukan hidrokarbon.

High Total Organic Carbon (TOC) dianggap mencerminkan Good Source Rock Meskipun sebuah sample batuan dianggap sebagai batuan induk yang baik (good source rock) serta memiliki nilai TOC yang besar (High TOC), tidak semua material organik yang terkandung memiliki sifat yang sama. Beberapa material organik mungkin dapat menghasilkan minyak (oil), beberapa membentuk gas, dan beberapa lainnya bahkan tidak menghasilkan apapun. (Tissot et al., 1974). Material organik yang menghasilkan hidrokarbon tidak hanya memiliki unsur karbon saja, namun haruslah berasosiasi/terikat dengan unsur hidrogen. Banyak geologist beranggapan sebuah sample yang unsur pembentuknya didominasi oleh karbon akan dianggap selalu sebagai Good Source Rock, mereka lupa dengan unsur hidrogen juga sebagai pembentuk hidrokarbon. Kenyataannya adalah makin banyak hidrogen yang terikat dengan karbon justru akan makin banyak menghasilkan hidrokarbon. Untuk itu kita membutuhkan sebuah indikator untuk mengetahui jumlah hidrogen yang terkandung dalam suatu material organik. Indikator kandungan hidrogen dapat diperkirakan secara langsung melalui beberapa metode diantaranya Rock-Eval pyrolysis. Rock-Eval pyrolysis dapat memperkirakan kandungan hidrogen dalam suatu material organik, dikenal sebagai nilai S2. Kombinasi plot antara nilai TOC dan nilai S2 saat ini merupakan metode terbaik dalam mengetahui kualitas material organik yang berasosiasi dengan seberapa banyak kandungan hidrogen dalam material organik tersebut. Jadi jika kita memiliki nilai S2 tinggi ( high S2 value ) sudah pasti mencerminkan batuan induk terbaik (better source rock) yang akan menghasilkan lebih banyak hidrokarbon.

Contoh kasus Karakteristik Geokimia Batuan SumberHidrokarbon Formasi Batuasih Kajian geokimia yang dilakukan pada dua belas percontoh

batulempung Formasi Batuasih di daerah Sukabumi meliputi analisis TOC dan pirolisis Rock-Eval.

10

Kandungan Material Organik Di daerah Batuasih, Desa Sekarwangi, sebanyak enam percontoh batulempung Formasi Batuasih telah dianalisis. Dari lokasi MS 1 Batuasih dianalisis empat percontoh (BS 02, BS 04, BS 05, dan BS 07), sedang dua percontoh lagi diambil dari bukit di Kampung Batuasih (BA 02 dan BA 04). Kadar TOC di lokasi MS 1 berkisar antara 0,65 0,70 %, sedang di lokasi bukit berkisar antara 0,82 - 1,06 %. Kandungan TOC sebesar 0,65 1,06 %, menunjukkan potensi sedang hingga baik untuk membentuk hidrokarbon (Waples, 1985). Untuk lokasi Cibatu dianalisis sebanyak lima percontoh batulempung Formasi Batuasih. Kadar TOC percontoh tersebut berkisar antara 0,49 - 1,06%. Angka tersebut menunjukkan satu percontoh berpotensi rendah membentuk hidrokarbon, sedang empat lainnya menunjukkan potensi sedang hingga baik untuk membentuk hidrokarbon (Waples, 1985). Percontoh batulempung Formasi Batuasih yang diambil dari Babakan (BBK 01) mempunyai kandungan TOC sebesar 1,14 %, menunjukkan potensi baik untuk membentuk hidrokarbon (Waples, 1985).

II.2

Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Metode Bissada) Para ahli berpendapat bahwa proses kematangan dikontrol oleh suhu dan

waktu. Pengaruh suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat atau suhu yang rendah dalam waktu yang lama akan menyebabkan terubahnya kerogen minyak bumi. Mengenai jenis minyak bumi yang terbentuk tergantung pada tingkat kematangan panas batuan induk, semakin tinggi tingkat kematangan panas batuan induk maka akan terbentuk minyak bumi jenis berat, minyak bumi jenis ringan, kondesat dan pada akhirnya gas. Dari pengaruh suhu dan kedalaman sumur, umur batuan juga berperan dalam proses pembentukan minyak bumi. Umur suatu batuan erat hubungannya dengan lamanya proses pemanasan berlangsung serta jumlah panas yang diterima batuan induk, sehingga suatu batuan induk yang terletak pada kedalaman yang dangkal, pada kondisi temperatur yang rendah dapat mencapai suhu pembentukan minyak bumi dalam suatu skala waktu tertentu.

11

Dari hasil suatu riset, Bissada (1986) menyatakan bahwa temperatur pembentukan minyak bumi sangat bervariasi. Dijelaskan bahwa batuan yang berusia lebih muda relatif memerlukan temperatur yang lebih tinggi dalam pembentukan minyak bumi. Ada 5 tahapan zonasi pematangan minyak bumi menurut Bissada (1986) adalah : Zona 1 dimana gas dapat terbentuk sebagai akibat bakteri tidak ada minyak yang dapat dideteksi kecuali minyak bumi tersebut merupakan zat pengotor atau hasil suatu migrasi. Zona 2 merupakan awal pembentukan minyak bumi. Hasil utama yang terbentuk pada zona ini adalah gas kering basah dan sedikit kondesat. Adanya pertambahan konsentrasi minyak akan menyebabkan minyak bumi terus mangalami pengenceran, tetapi belum dapat terbebaskan dari batuan induknya. Begitu titik kritis kemampuan menyimpan terlampaui, proses perlepasan minyak bumi sebagai senyawa yang telah matang dimulai. Zona 3 merupakan zona puncak pembentukan dan pelepasan minyak bumi dari batuan induk. Bentuk utama yang dihasilkan berupa gas dan minyak bumi. Dengan bertambahnya tingkat pematangan maka minyak yang berjenis ringan akan terbentuk. Zona 4 Zona 5 merupakan zona peningkatan pembentukan kondesat gas basah. merupakan zona teraksir, dicirikan dengan suhu yang tinggi sehingga zat organik akan terurai menjadi gas kering (metana) sebagai akibat karbonisasi. Perubahan yang terjadi sebagai akibat penambahan panas dan lamanya pemanasan pada kerogen atau batu bara dapat bersifat kimia dan fisika, seperti yang diuraikan oleh Bissada (1980) sebagai ber ikut : a. Daya pantul cahaya daari partikel vitrinit akan meningkat secara eksponensial. b. Warna kerogen akan berubah menjadi lebih gelap. c. Adanya peningkatan mutu batu bara, dengan kandungan volatile akan berkurang.

12

d. Sifat kimia dari kerogen akan berubah, kandungan oksigen dan hidrokarbon akan berkurang sehingga perbandingan dari atom oksigen / karbon dan hydrogen / karbon akan menurun dan akhirnya hanya akan membentuk karbon murni (grafit).

II.3

Analisa Pantulan Vitrinit Perubahan thermal zat organik mungkin akan dimulai pada kondisi

temperatur sebesara 1000 C. perubahan temperatur yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya proses metamorfasa dan ini akan sangat berpengaruh pada kondisi zat organik yang terkandung dalam sedimen. Sehingga saat ini berkembang suatu cara pengidentifikasian pematangan berdasarkan data geokimia organik yaitu dengan cara analisa pantulan vitrinit. Analisa ini berdasarkan pada kemampuan daya pantul cahaya vitrinit. Besarnya pantulan vitrinit merupakan petunjuk langsung untuk tingkat kematangan zat organik, terutama humus yang cenderung membentuk gas dan merupakan petunjuk tidak langsung untuk sapronel kerogen yang cenderung membentuk minyak (Cooper, 1977). Kemampuan daya pantul ini merupakan fungsi temperatur artinya dengan perubahan waktu pemanasan dan temperatur akan menyebabkan warna vitrinit berubah di bawah sinar pantul. Cara penganalisaan pantulan vitrinit ini yaitu dengan mengambil contoh batuan dari kedalaman tertentu diletakkan di atas kaca preparat dan direkatkan dengan epoxyresin. Kemudian digoskkan dengan kertas korondum kasar sampai halus dan terakhir fengan menggunakan alumina. Selanjutnya contoh batuan tersebut diuji dalam minyak immersi (indeks bias = 1.516) dengan menggunakan mikroskop dan suatu micro photomultiplier dan digital voltmeter attachment. Kemudian dilakukan kalibrasi terhadap vitrinit berdasarkan suatu standart yang terbuat dari gelas. Tabel di bawah memperlihatkan hubungan antara nilai pantulan vitrinit dengan tingkat kematangan hidrokarbon. (Tissot and Welte, 1978). Vitrinite reflectance adalah indicator kematangan batuan induk yang paling sering digunakan, dilambangkan dengan Ro (Reflectance in oil). Nilai Ro untuk mengukur partikel-partikel vitrinite yang ada dalam sampel amat bervariasi.

13

Untuk menjamin kebenaran pengukuran, maka penentuan nilai Ro diperlukan secara berulang pada sampel yang sama. Bila distribusi dari vitrinite reflectance adalah bimodal, maka ada kemungkinan telah terjadi reworking. Skala vitrnite relectance yang telah dikalibrasikan oleh berbagai

parameter kematangan yang lain oleh studi minyak dan gas adalah sebagai berikut: Ro < 0.55 belum matang (immature)

0.55 < Ro < 0.8 telah menghasilkan minyak dan gas bumi 0.8 < Ro < 1.0 minyak berubah menjadi gas bumi (zona kondensat gas) 1.0 < Ro < 2.5 dry gas Vitrinite reflectance adalah indikator kematangan termal yang sangat baik pada Ro antara 0.7 dan 0.8. Salah satu penggunaan vitrinite reflectance yang juga penting dalam analisis cekungan (basin analysis) adalah kalibrasi sejarah termal (thermal history) dan sejarah pengendapan (burial history) dengan tingkat kematangan pada masa sekarang.

II.4

Analisa Indeks Warna Spora

Tipe I, memiliki rasio atom H/C tinggi dan rasio atom O/C rendah, berasal dari lingkungan lakustrin/danau, menghasilkan jenis hidrokarbon waxy oil Tipe II, memiliki rasio atom H/C menengah dan rasio atom O/C juga menengah, berasal dari material autokhton yang diendapkan di lingkungan marine/laut, dalam kondisi reduksi, menghasilkan jenis hidrokarbon naphthenic oil

Tipe III, memiliki rasio atom H/C rendah dan rasio atom O/C juga tinggi, berasal dari material terestrial dan/atau material aquatik yang diendapkan dalam lingkungan dalam kondisi oksidasi, menghasilkan jenis hidrokarbon gas. (Tissot et al., 1974).

Tissot dan Welte, 1984 menambahkan lagi satu tipe kerogen, yaitu: Tipe IV, memiliki rasio atom H/C sangat rendah dan rasio atom O/C yang bervariasi, berasal dari material organik hasil alterasi dan/atau hasil oksidasi, kerogen tipe ini tidak menghasilkan jenis hidrokarbon apapun.

14

Grafik rasio H/C dan O/C plot sering kita kenal sebagai Diagram Van Krevelen. Diagram Van Krevelen sejatinya berasal dari hasil studi coal macerals, yang menggambarkan perubahan komposisi tipe kerogen dikaitkan dengan kematangan (maturity). Pada dasarnya sangat jarang sebuah source rock mengandung hanya satu tipe kerogen. Sebagian besar sedimen mengandung dua atau lebih campuran tipe kerogen (mixed kerogen). Plot data biasanya berada atau masuk ke dalam dua zona tipe kerogen, misal Tipe I atau Tipe II bercampur dengan Tipe III atau Tipe I, II, III bercampur dengan Tipe IV. Kemunculan campuran tipe kerogen umumnya selalu ada dalam ploting nilai H/C dan O/C dalam diagram Van Krevelen, hal ini akan menyulitkan interpretasi data rock eval secara pasti. Tabel 1. Standar Warna Spora

Dari tabel di atas maka kita dapat mengetahui bagaimana untuk mengetahui tingkat kematangan minyak bumi dari warna spora. Indeks warna spora atau pollen pada analisis minyak bumi berfungsi untuk mengetahui tingkat kematangan minyak bumi.

15

II.5

Identifikasi Kematangan (Metode Pyrolisys) Rock-Eval Pyrolisis (REP) adalah analisa komponen hidrokarbon pada

batuan induk dengan cara melakukan pemanasan bertahap pada sampel batuan induk dalam keadaan tanpa oksigen pada kondisi atmosfer inert dengan temperatur yang terprogram. Pemanasan ini memisahkan komponen organik bebas (bitumen) dan komponen organik yang masih terikat dalam batuan induk (kerogen) (Espitalie et al., 1977). Analisis Rock-Eval parameter: Pyrolisis menghasilkan beberapa parameter-

a. S1 (free hydrocarbon) S1 menunjukkan jumlah hidrokarbon bebas yang dapat diuapkan tanpa melalui proses pemecahan kerogen. nilai S1 mencerminkan jumlah hidrokarbon bebas yang terbentuk insitu (indigeneous hydrocarbon) karena kematangan termal maupun karena adanya akumulasi hidrokarbon dari tempat lain (migrated hydrocarbon). b. S2 (pyrolisable hydrocarbon) S2 menunjukkan jumlah hidrokarbon yang dihasil melalui proses pemecahan kerogen yang mewakili jumlah hidrokarbon yang dapat dihasilkan batuan selama proses pematangan secara alamiah. Nilai S2 menyatakan potensi material organik dalam batuan yang dapat berubah menjadi petroleum. Harga S1 dan S2 diukur dalam satuan mg hidrokarbon/gram batuan (mg HC/g Rock). c. S3 S3 menunjukkan jumlah kandungan CO2 yang hadir di dalam batuan. Jumlah CO2 ini dapat dikorelasikan dengan jumlah oksigen di dalam kerogen karena menunjukkan tingkat oksidasi selama diagenesis. d. Tmax Nilai Tmax ini merupakan salah satu parameter geokimia yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan batuan induk. Harga Tmax yang terekam sangat dipengaruhi oleh jenis material organik. Kerogen Tipe I akan membentuk hidrokarbon lebih akhir dibanding Tipe III pada kondisi

16

temperatur yang sama. Harga Tmax sebagai indikator kematangan juga memiliki beberapa keterbatasan lain misalnya tidak dapat digunakan untuk batuan memiliki TOC rendah (<0,5) dan HI < 50. Harga Tmax juga dapat menunjukkan tingkat kematangan yang lebih rendah dari tingkat kematangan sebenarnya pada batuan induk yang mengandung resinit yang umum terdapat dalam batuan induk dengan kerogen tipe II (Peters, 1986). Kombinasi parameter parameter yang dihasilkan oleh Rock-Eval Pyrolisis dapat dipergunakan sebagai indikator jenis serta kualitas batuan induk, antara lain : a. Potential Yield (S1 + S2) Potential Yield (PY) menunjukkan jumlah hidrokarbon dalam batuan baik yang berupa komponen volatil (bebas) maupun yang berupa kerogen. Satuan ini dipakai sebagai penunjuk jumlah total hidrokarbon maksimum yang dapat dilepaskan selama proses pematangan batuan induk dan jumlah ini mewakili generation potential batuan induk. b. Production Index (PI) Nilai PI menunjukkan jumlah hidrokarbon bebas relatif (S1) terhadap jumlah total hidrokarbon yang hadir (S1 + S2). PI dapat digunakan sebagai indikator tingkat kematangan batuan induk. PI meningkat karena pemecahan kerogen sehingga S2 berubah menjadi S1. c. Hydrogen Index (HI) dan Oxygen Index (OI) HI merupakan hasil dari S2 x 100/TOC dan OI adalah S3 x 100/TOC. Kedua parameter ini harganya akan berkurang dengan naiknya tingkat kematangan. Harga HI yang tinggi menunjukkan batuan induk didominasi oleh material organik yang bersifat oil prone, sedangkan nilai OI tinggi mengindikasikan dominasi material organik gas prone. Waples (1985) menyatakan nilai HI dapat digunakan untuk menentukan jenis hidrokarbon utama dan kuantitas relatif hidrokarbon yang dihasilkan

17

Tabel 2 Potensi batuan induk berdasarkan HI (Waples 1985)

HI <150 150 300 300 450 450 600 > 600

Produk utama Gas Minyak dan gas Minyak Minyak Minyak

Kuantitas relatif Kecil Kecil Sedang Banyak Sangat banyak

Penentuan tipe kerogen berdasarkan analisis rock-eval pyrolisis dapat dilakukan dengan mengeplotkan nilai nilai HI dan OI pada diagram "pseudo" van Krevelen, atau dengan menggunakan plot HI Tmax.

Studi Kasus Dengan memplot parameter - parameter REP versus kedalaman dengan dikombinasikan data - data lain (dalam contoh adalah data TOC dan %Ro) dapat disusun profil geokimia suatu sumur. Berdasarkan profil tersebut kita dapat membuat suatu interpretsi mengenai kuantitas, kualitas dan tingkat kematangan serta perkiraan posisi oil window dan gas window . Berikut adalah contoh profil geokimia sumur X dan Y di cekungan Sumaetra Tengah.

18

Gambar 2. Profil Geokimia Sumur X Dan Y Di Cekungan Sumaetra Tengah.

Contoh Kasus Penentuan pirolisis, analisa tipe elemen kerogen umumnya menggunakan hasil analisa petrografi

atau dengan

menggunakan

teknik

organik. Petrografi organik menggunakan sayatan poles yang diamati dibawah mikroskop binokuler khusus yang memiliki sumber sinar fluoresensi. Berikut adalah contoh evaluasi tipe kerogen yang Penulis kerjakan pada sumur - sumur di suatu subcekungan Sumatra Tengah. Plot HI OI dalam diagram

"pseudo" van Kravelen menunjukkan bahwa sebagian besar data jatuh pada konjugasi antara jalur evolusi kerogen Tipe I dan II (pada area tipe kerogen II/III), sebagian kecil jatuh pada jalur evolusi kerogen tipe III dan 1 data jatuh di dasar grafik yang menunjukkaninert carbon (kerogen tipe IV). Plot HI Tmax juga menunjukkan bahwa secara umum batuan induk memiliki kerogen tipe II sampai III dengan dominasi kerogen tipe II/III (oil and gas prone), dengan demikian disimpulkan bahwa batuan induk memiliki kualitas material organik yang mampu menghasilkan minyak maupun gas. Plot diagram kravelen berdasarkan sampel analisis elemen menunjukkan batuan induk hal yang senada dengan plot diagram pseudo-kravelen yang berdasarkan hasil analisa pirolisis.

19

Gambar 3. Penentuan tipe kerogen Formasi Brown Shale berdasarkan REP (a) plot diagram "Pseudo" van Kravelen dan (b) Diagram HI Tmax

Gambar 4. Plot diagram van Kravelen sampel berdasarkan analisis elemen

20

II.6

Metode Evaluasi Type Material Organik

Source Rock, Tipe Kerogen, dan Potensial Hidrokarbon Source Rock Source rock HC merupakan sedimen berukuran butir halus (fine grain) yang secara alami sudah menghasilkan, sedang menghasilkan, atau akan menghasilkan cukup HC membentuk suatu akumulasi minyak dan gas bumi (Brooks et al. 1987). Shale dan Coal memiliki kandungan organik yang tinggi dan menjadi hal yang menarik secara ekonomi. Sebaliknya, source rock HC mengeluarkan hanya sedikit minyak dan gas bumi per unit volume batuan yang terakumulasi dalam batuan reservoar. Pengawetan material organik tersebut merupakan suatu fungsi kandungan oksigen, tingkat sedimentasi, dan

intensitas kehidupan bentonik. Menurunnya tingkat oksigenasi dan aktifitas bentonik menyebabkan meningkatnya tingkat fermentasi metana oleh bakteri. Akibatnya ada banyak atau sedikit material organik yang tersimpan di dalam sedimen. Tipe Kerogen Ketika organik terkubur dan dengan bertambahnya temperatur, material

mengalami beberapa reaksi geokimia mulai dari biopolymer hingga

geopolymer. Tingkat sedimentasi yang rendah pada kondisi oksidasi lebih

menghasilkan inertinite, dan sebaliknya pada kondisi anoxic (reduksi) lebih menghasilkan liptinite yang kaya H. Material organik pada source rock HC dibagi dalam 2 kelompok : 1. Bitumen : material organik larut yang hanya sedikit menunjukkan total TOC 2. Kerogen : material organik yang tidak larut yang lebih menjunjukkan total TOC Kematangan termal suatu material organik atau kerogen dapat dievaluasi sehingga informasi kematangan material organik tersebut dapat diinterpretasikan sebagai ukuran potensial pembentukan minyak dan gas (oil and gas generation). Evaluasi kematangan termal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagaimana dijelaskan dalam tulisan berikut.

21

1. Vitrinite reflectance Kematangan kerogen dapat dinilai dari ukuran vitrinite reflectance, yaitu ukuran kemampuan kerogen memantulkan cahaya. Vitrinite reflectance merupakan metode yang cukup akurat, cepat dan sederhana. Sebelum kerogen dianalisis, sampel harus dipreparasi terlebih dahulu dengan cara dibersihkan kemudian diselubungi dengan resin dan permukaannya dihaluskan. Pantulan diukur menggunakan cahaya (546 nm) pada permukaan kerogen kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop fotometer. Jika permukaan resin tidak dibuat halus akan mengakibatkan pembacaan pantulan tidak akurat. Semakin matang suatu kerogen maka akan memiliki nilai pantulan (reflectance, Ro) yang besar. Kerogen pada tahapan diagenesis hanya sedikit memantulkan cahaya sehingga memiliki nilai Ro di bawah 0,5% (immature). Ketika struktur kerogen semakin memadat dan teratur dalam proses katagenesis akan semakin memantulkan cahaya. Untuk kerogen pada proses katagenesis, akan memiliki kisaran nilai vitrinite reflectance sekitar 0,6 1,3% dan mencapai maksimum pada nilai sekitar 0,8 1,0% dimana pembentukan minyak bumi maksimal. Sedangkan untuk proses metagenesis, memiliki nilai Ro di atas 2% .

Gambar 5. Nilai vitrinite reflectance berbagai kerogen dengan tingkat kematangan yang berbeda-beda

22

Beberapa keuntungan dari analisis vitrinite reflectance ini antara lain: (a) telah diterima secara global di seluruh dunia sebagai metode standar, (b) mencakup evaluasi kematangan dalam rentang yang luas, (c) mudah, murah dan cepat. Sedangkan beberapa kelemahannya antara lain: (a) sangat subjektif (tergantung dari pengamatan analis), (b) vitrinite agak jarang ditemui pada sedimen laut, (d) kerogen dapat rusak dalam proses preparasi sehingga mempengaruhi pembacaan reflectance. 2. Analisis elementa Derajat kematangan termal kerogen dapat dilihat melalui analisis karbon, hidrogen dan oksigen elemental. Pada proses pematangan termal oksigen dieliminasi dari kerogen dalam bentuk CO2 dan H2O, hidrogen dalam bentuk hidrokarbon dan H2O serta karbon dalam bentuk hidrokarbon dan CO2. Kerogen penghasil minyak memiliki rasio H/C sekitar 1 sampai 1,5 dengan kandungan H sebesar 6% atau lebih dan rasio O/C antara 0,05 sampai 0,13. Sedangkan untuk kerogen penghasil gas memiliki rasio H/C di bawah 0,8 dan rasio O/C di bawah 0,1. Kerogen yang berasal dari sedimen dangkal memiliki rasio O/C dan H/C yang tinggi. Perbandingan elemental ini digunakan untuk membuat hubungan kematangan termal pada diagram van Krevelen.

BAB III PENUTUP

III.1

KESIMPULAN Analisis geokimia pada minyakbumi sangatlah berperan besar di dalam

mengetahui kualitas kematangan minyak bumi dengan menggunakan beberapa metode analisa seperti : 1. Analisa Jumlah Material Organic Dalam Batuan Induk 2. Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Metode Bissada) 3. Analisa Pantulan Vitrinit 4. Analisa Indeks Warna Spora 5. Identifikasi Kematangan (Metode Pyrolisys) Kesemua metode analisis tersebut bertujuan untuk mengetahui: Untuk mengidentifikasi source rock dan menentukan jumlah, tipe, dan tingkat kematangan material organik Mengevaluasi perkiraan kapan migrasi minyak & gas bumi dari source rock Memprediksi jalur migrasi Korelasi komposisi minyak & gas bumi yang berada di dalam reservoar, rembesan (seeps) untuk mengetahui keberadaannya.

23

DAFTAR PUSTAKA

Bissada, K.K., 1985, Geochemical Constraints On Petroleum Generation And Migration A Review, Houston Research Centre, Texas, 25p + 17 fig. Koesoemadinata. 1980. Geologi MInyak dan Gas Bumi Jilid Dua. ITB Bandung. Praptisih, Katmono, dkk., 2009. Karakteristik Batuan Sumber (Source Rock) Hidrokarbon pada Formasi Batuasih di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 3 September 2009: 167-175. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Jln. Sangkuriang Gedung 70, Bandung Tissot, B. P., Welte, D. H., Petroleum Formation And Occurrence, New York Springer Verlag (1984)

24

You might also like