You are on page 1of 15

BAB 11

UBI KAYU Pengenalan Tanaman Ubi kayu berasal dari Brazilia. Ilmuwan yang pertama kali melaporkan hal ini adalah Johann Baptist Emanuel Pohl, seorang ahli botani asal Austria pada tahun 1827 (Allem, 2002). Menurut Allem (2002), asal tanaman ubi kayu menyangkut tiga hal, yaitu asal botani (botanical origin), asal geografis (geographical origin) dan asal budidaya (agricultural origin). Asal botani misalnya menyangkut jenis liar tumbuhan ubi kayu yang menurunkan tanaman ubi kayu yang sekarang dikenal. Asal geografis menyangkut tempat dimana nenek moyang ubi kayu berkembang di masa lalu, sedangkan asal budidaya berhubungan dengan tempat dimana budidaya awal tanaman ini dilakukan oleh orang-orang Indian Amerika (Amerindian). Dari hasil penelitiannya yang juga didukung hasil penelitian banyak peneliti lain, Allem (2002) menyimpulkan bahwa ubi kayu berasal dari jenis liar tumbuhan Manihot flabelifolia. Nenek moyang ubi kayu ini selanjutnya diduga berkembang di daerah padang rumput (sabana) Cerrado. Setelah itu domestikasi terjadi di sebagian daerah Amazon, yaitu di hutan-hutan. Lathrap (1970) dalam Allem (2002) memperkirakan bahwa domestikasi dimulai sekitar 5000 7000 tahun sebelum Masehi. Perkiraan ini diperkuat dengan temuan-temuan arkeologis di Amazon (Gibbons, 1990 dalam Allem, 2002). Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di Dunia Baru, tanaman ini telah dibudidayakan di semua daerah tropis Amerika (Pattino, 1964 dalam Allem, 2002). Tanaman ini selanjutnya menyebar ke berbagai penjuru dunia, terutama negara-negara di Asia dan Afrika. Tanaman ubi kayu mencapai Afrika sekitar akhir pertengahan abad ke 16 (Ekanayake et al., 1997), sedangkan masuk ke Indonesia kurang jelas tepatnya tahun berapa. Menurut Rumphius, pada abad ke 17 di Maluku telah terdapat tanaman ubi kayu, sedangkan Junghuhn berpendapat bahwa sampai tahun 1838 penduduk Indonesia belum mengenal ubi kayu sebagai bahan makanan walaupun tumbuhan itu sudah ada di Indonesia. Upaya penanaman ubi kayu di Jawa mulai berhasil setelah didatangkan stek dari Paramaribo pada tahun 1858 (Darjanto dan Murjati 1980). Dalam sistematika tumbuhan, ubi kayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubi kayu berada dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai sekitar 7.200 spesies, beberapa diantaranya adalah tanaman yang mempunyai nilai komersial, seperti karet (Hevea brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas), umbi-umbian (Manihot spp), dan tanaman hias (Euphorbia spp). Klasifikasi tanaman ubi kayu adalah sebagai berikut: Kelas : Dicotyledoneae

Sub Kelas Ordo Famili Sub Famili Genus

: Arhichlamydeae : Euphorbiales : Euphorbiaceae : Manihotae : Manihot

Spesies : Manihot esculenta Crantz Manihot esculenta Crantz mempunyai nama lain M. utilissima dan M. alpi. Semua Genus Manihot berasal dari Amerika Selatan. Brazilia merupakan pusat asal dan sekaligus sebagai pusat keragaman ubi kayu. Manihot mempunyai 100 spesies yang telah diklasifikasikan dan mayoritas ditemukan di daerah yang relatif kering. Tanaman ubi kayu dewasa dapat mencapai tinggi 1 sampai 2 meter, walaupun ada beberapa kultivar yang dapat mencapai tinggi sampai 4 meter. Batang ubi kayu berbentuk silindris dengan diameter berkisar 2 sampai 6 cm. Warna batang sangat bervariasi, mulai putih keabu-abuan sampai coklat atau coklat tua. Batang tanaman ini berkayu dengan bagian gabus (pith) yang lebar. Setiap batang menghasilkan rata-rata satu buku (node) per hari di awal pertumbuhannya, dan satu buku per minggu di masa-masa selanjutnya. Setiap satu satuan buku terdiri dari satu buku tempat menempelnya daun dan ruas buku (internode). Panjang ruas buku bervariasi tergantung genotipe, umur tanaman, dan faktor lingkungan seperti ketersediaan air dan cahaya. Ruas buku menjadi pendek dalam kondisi kekeringan dan menjadi panjang jika kondisi lingkungannya sesuai, dan sangat panjang jika kekurangan cahaya (Ekanayake et al., 1997). Susunan daun ubikayu pada batang (phyllotaxis) berbentuk 2/5 spiral. Lima daun berada dalam posisi melingkar membentuk spiral dua kali di sekeliling batang. Daun berikutnya atau daun ke enam terletak persis di atas titik awal spiral tadi. Jadi, setelah dua putaran, daun ke 6 berada tepat di atas daun ke 1, daun ke 7 di atas daun ke 2, dan seterusnya. Daun ubikayu terdiri dari helai daun (lamina) dan tangkai daun (petiole). Panjang tangkai daun berkisar 5-30 cm dan warnanya bervariasi dari hijau ke ungu. Helai daun mempunyai permukaan yang halus dan berbentuk seperti jari. Jumlah jari bervariasi antara 3 dan 9 (biasanya ganjil). Warna rangka helai daun hijau sampai ungu. Bentuk helai daun, terutama lebarnya, juga bervariasi (Ekanayake et al., 1997). Ubi kayu bersifat monoecious, yaitu bunga jantan dan betina terdapat pada satu pohon. Beberapa variatas berbunga secara teratur dan cukup sering, beberapa varitas lain jarang berbunga atau bahkan tidak berbunga sama sekali. Produksi bunga sangat penting untuk pembiakan. Tumbuhnya bunga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti banyaknya cahaya dan suhu. Bunga ubikayu dihasilkan pada dahan reproduktif. Bunga jantan berkembang

dekat puncak rangkaian bunga, sedangkan bunga betina tumbuh dekat dasar rangkaian bunga. Setiap bunga, jantan dan betina, mempunyai 5 buah daun bunga terluar berwarna kekuningan atau kemerahan. Bunga jantan mempunyai 10 buah benang sari yang tersusun dalam Bunga betina mempunyai indung telur berukuran panjang 2 lingkaran, yang masing-masing berisi 5 benang sari. Tangkai benang sari berdiri bebas dan kepala benang sarinya kecil. mencapai 1 cm dan mempunyai 3 buah kantung kecil, masing-masing dengan satu sel telur. Bunga betina mekar 1-2 minggu sebelum bunga jantan (protogini). Penyerbukan biasanya dilakukan oleh serangga. Penyerbukan sendiri terjadi jika bunga betina dan bunga jantan yang terletak pada dahan yang berbeda dan pohon yang sama mekar pada waktu yang bersamaan. Setelah penyerbukan dan fertilisasi, indung telur berkembang menjadi buah. Buah matang dalam waktu 7090 hari. Buah yang sudah matang berupa kapsul dengan diameter 11,5 cm akan pecah secara alamiah ketika kering atau layu. Biji ubi kayu berbentuk oval dengan panjang 0,71,0 cm. Biji mempunyai kulit bij (testa) yang rapuh, mudah pecah. Biji berwarna abu-abu, kecoklatan atau abu-abu tua dengan bintik-bintik gelap (Ekanayake et al., 1997). Tanaman ubi kayu yang berasal dari biji, mula-mula mengembangkan sistem tap root. Bakal akar (radicle) tumbuh secara vertikal ke bawah dan berkembang menjadi tap root. Tanaman ubikayu yang berasal dari potongan batang menghasilkan adventitious root di dasar tempat batang dipotong yang tumbuh dalam waktu satu minggu setelah batang ditanam. Adventitious root berkembang menjadi sistem fibrous root. Sistem fibrous root dapat tumbuh sampai dengan kedalaman 2 meter atau lebih. Dalam jangka waktu 30 sampai 60 hari beberapa fibrous root diameternya meningkat dan menjadi umbi akar (tuberous root). Umbi tumbuh mengembang karena terjadinya akumulasi pati. Umbi akar tidak menyerap air atau zata hara, secara fisiologis bersifat inaktif. Hanya beberapa fibrous root yang berkembang menjadi umbi akar, selebihnya tetap sebagai fibrous root dan berfungsi sebagai akar yang menyerap air dan zat hara. Banyaknya fibrous root yang berubah menjadi umbi akar dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu genotipe, pasokan makanan, cahaya dan suhu. Biasanya satu tanaman menghasilkan 4-8 umbi akar, namun beberapa genotipe menghasilkan 20 atau lebih umbi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pasokan makanan seperti radiasi, ketersediaan air, kesuburan tanah, kegemburan tanah, dan suhu tanah juga mempengaruhi jumlah dan berat umbi akar. Sebagian besar varitas ubi kayu memulai pembentukan umbi hanya pada kondisi waktu siang yang pendek. Siang yang panjang memperlambat pembentukan umbi, mengurangi jumlah umbi, dan menyokong pertumbuhan batang baru. Suhu yang tinggi, terutama di malam hari, memperlambat pembentukan umbi (Ekanayake et al., 1997). Potongan melintang ubikayu terdiri dari kulit luar (periderm), kulit dalam (cortex), daging umbi (flesh) dan tali vaskular tengah (central vascular strands). Kulit luar terdiri dari

beberapa lapisan sel mati yang membungkus umbi ubi kayu. Warnanya bervariasi, bentuk dan teksturnya kadang tebal dan kasar, kadang tipis dan halus. Kulit dalam terletak di bawah kulit luar, terdiri dari sklerenkima, parenkima kortikal, dan phloem. Warna kulit dalam bervariasi dari putih atau krem sampai merah muda (pink). Daging buah terletak di tengah umbi dan sebagian besar terdiri dari sel-sel parenkima tempat penyimpanan yang berasal dari kambium. Daging umbi merupakan tempat penyimpanan utama tanaman ubi kayu dimana butir-butir pati disimpan. Warna daging umbi bervariasi dari putih sampai krem atau kuning. Warna kuning menandakan kadar beta karoten yang tinggi. Benang vaskular tengah terdiri dari bundel xylem. Kadar serat dan kekuatan benang ini tergantung pada kondisi lingkungan dan umur tanaman. Umbi ubikayu bervariasi bentuknya, tergantung kondisi tanah tempat tumbuhnya (Ekanayake et al., 1997). Sejak tahun 1978 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan telah melepas 10 varietas unggul ubikayu, namun hanya ada 4 varietas yang disarankan untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Keempat varietas tersebut merupakan varietas ubi kayu pahit. Produksi varietas unggul ubi kayu tersebut dapat mencapai 25 40 ton/ha dengan umur panen 8 sampai 10 bulan (Tabel 1). Disamping itu, di Jawa Barat juga ada yang mengembangkan budi daya ubi kayu raksasa yang dikenal dengan nama Darul Hidayah dengan tingkat produktivitas 100 150 ton/ha. Tabel 1. Karaketeristik empat varietas unggul ubi kayu untuk bahan baku bioetanol Varietas Umur (bulan) Hasil (ton/ha) Adira-4 8 25 40 Malang-6 9 36,4 UJ-3 8 30 40 UJ-5 9 - 10 25 - 38 Sumber : Wargiono (2006) diacu dalam Prihandana et al. (2007). Kadar Pati (%) 25 30 25 32 25 30 20 - 30

Pada umumnya tanaman ubi kayu ditanam di daerah yang relatif kering. Tapi sebenarnya tanaman ubi kayu ini dapat tumbuh di daerah antara 30o lintang selatan dan 300 lintang utara, sinar matahari yang dibutuhkan bagi tanaman ubi kayu sekitar 10 jam/hari, terutama untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya. Suhu udara rata-rata lebih dari 180C dengan curah hujan di atas 500 mm/tahun. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman ubi kayu antara 1.500 2.500 mm/tahun. Kelembaban udara optimal untuk tanaman ubi kayu antara 60-65%, dengan suhu udara minimal bagi tumbuhnya sekitar 10oC. Jika suhunya dibawah 10oC, pertumbuhan tanaman akan sedikit terhambat. Selain itu, tanaman menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna.

Tanaman ubi kayu dapat tumbuh pada ketinggian 2.000 m diatas permukaan laut (dpl). Pada daerah dengan ketinggian tempat sampai 300 m dpl tanaman ini dapat menghasilkan umbi dengan kualitas yang baik, tapi tidak dapat berbunga. Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanaman ubi kayu antara 10-700 m dpl. Apabila tanaman ini ditanam pada ketinggian tempat 800 m dpl, maka tanaman ini akan menghasilkan bunga dan biji. Tanah yang paling sesuai untuk ubi kayu adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros, serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia, dan mudah diolah. Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman ubi kayu adalah jenis aluvial, latosol, podsolik merah kuning, mediteran, grumosol, dan andosol. Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ubi kayu berkisar antara 4,58,0 dengan pH ideal 5,8. Pada tanah ber-pH rendah (asam), yaitu berkisar 4,05,5 tanaman ubi kayu ini pun dapat tumbuh dan cukup subur bagi pertumbuhannya. Ubi kayu dapat ditanam pada awal musim kemarau sehingga dapat dipanen pada awal musim hujan atau sebaliknya. Bibit tanaman ubi kayu berupa stek batang berukuran 20-30 cm dengan diameter 2-4 cm. Stek yang terbaik berasal dari bagian tengah batang tanaman yang telah berumur lebih dari 8 bulan. Pemotongan dilakukan miring 45o agar luas daerah perakaran cukup. Jika batang ditanam terbalik, hasil umbi akan sangat rendah. Penanaman stek dilakukan secara vertikal berjarak 100 cm antar stek. Kebutuhan bibit per ha sekitar 10.000 stek. Kedalaman tanam 15 cm, agar kelembaban cukup dan kesegaran stek terjaga baik. Disarankan menanam dalam keadaan tanah gembur dan lembab sehingga terjamin kelancaran sirkulasi O2 dan CO2 serta meningkatkan aktivitas mikrobia tanah yang akhirnya akan meningkatkan hasil panen. Pada saat akan dilakukan penanaman, tanah harus disiapkan. Tanah yang baik untuk budi daya ubi kayu adalah yang memiliki struktur remah atau gembur, sejak fase awal pertumbuhan tanaman hingga panen. Pengolahan tanah ini berfungsi dalam menekan pertumbuhan gulma. Selain itu bertujuan untuk menerapkan sistem konservasi tanah untuk memperkecil peluang terjadinya erosi. Waktu tanam yang tepat bagi tanaman ubi kayu, secara umum adalah musim penghujan atau pada saat tanah tidak berair agar struktur tanah tetap terpelihara. Tanaman ubi kayu dapat ditanam di lahan kering, beriklim basah, waktu terbaik untuk bertanam yaitu awal musim hujan atau akhir musim hujan (November Desember dan Juni Juli). Tanaman ubi kayu dapat juga tumbuh di lahan sawah apabila penanaman dilakukan setelah panen padi. Di daerah-daerah yang curah hujannya cukup tinggi dan merata sepanjang tahun, ubi kayu dapat ditanam setiap waktu.

Untuk kesinambungan suplai bahan baku ke pabrik bioetanol diperlukan adanya pergiliran waktu tanam. Atau dengan menunda umur panen karena kadar pati dalam ubi kayu tidak menurun meski panen ditunda beberapa bulan setelah fase kadar pati optimal. Dengan bertambahnya umur panen hasil pati akan meningkat karena bobot ubi meningkat sehingga masih menguntungkan petani. Penerapannnya dapat dilakukan dengan cara mengatur setiap wilayah dengan menanam ubi kayu berdasarkan umur panen, yaitu genjah (7-9 bulan), sedang (8-11 bulan), dan dalam (10-12 bulan). Dengan pengaturan ini, pabrik bioetanol akan menerima suplai ubi kayu secar teratur. Petani tidak akan menderita karena harga yang merosot karena panen raya ubi kayu. Cara lain adalah dengan mengatur suatu wilayah dengan pembagian kelompok tanam, yakni kelompok Oktober, kelompok November, kelompok Desember, kelompok Januari, Kelompok Februari, dan seterusnya. Budidaya ubi kayu memerlukan proses penyulaman. Waktu penyulaman dilakukan saat ubi kayu mulai berumur 1-3 minggu. Karena penyulaman setelah berumur 5 minggu, tanaman sulam akan tumbuh tidak sempurna karena ternaungi tanaman sekitarnya. Selain penyulaman, gulma harus dikendalikan karena gulma merupakan pesaing bagi tanaman ubi kayu khusunya untuk mengambil hara, pupuk dan air. Penelitian menunjukkan kompetisi dengan gulma menurunkan produktivitas ubi kayu hingga 7,5%. Pengendalian gulma sebaiknya dilakukan pada tiga bulan pertama, hal ini disebabkan pertumbuhan gulma yang lebat. Pengendalian saat panen bertujuan untuk menurunkan kesulitan panen, dan mempermudah pengolahan tanah juga akan mengurangi populasi gulma pada musim tanam berikutnya. Tanaman ubi kayu memerlukan pupuk dalam penanaman. Dosis pupuk yang berimbang untuk budi daya ubi kayu setiap musim tanam per ha adalah pupuk organik :5 10 ton, urea 150 200 Kg, SP36 100 kg dan KCl 100 150 kg. Cara pemberian pupuk untuk tanaman ubi kayu adalah pupuk organik, 1/3 Urea, dan KCl sebagai pupuk dasar pada saat pembuatan guludan. Lalu sisa dosis diberikan pada bulan ketiga atau keempat setelah penanaman. Penyakit utama tanaman ubi kayu adalah bakteri layu (Xanthomonas campestris pv. manihotis) dan hawar daun (Cassava bacterial Blight/CBB). Kerugian hasil akibat CBB diperkirakan sebesar 8% untuk varietas yang agak tahan, dan mencapai 50 90% untuk varietas yang agak rentan dan rentan. Varetas Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5 tahan terhadap kedua penyakit ini. Hama utama ubi kayu adalah tungau merah (Tetranychus urticae). Hama ini menyerang hanya pada musim kemarau dan menyebabkan rontoknya daun. dan lama serangan. Penelitian menunjukkan penurunan hasil akibat serangan hami ini dapat mencapai 20 53%, tergantung umur tanaman

Kriteria utama umur panen ubi kayu adalah kadar pati optimal, yakni pada saat tanaman berumur 7-9 bulan yang ditandai dengan pertumbuhan daun mulai berkurang, warna daun mulai agak menguning, dan banyak daun yang rontok. Penundaan umur panen dapat dilakukan di daerah beriklim basah dan tidak sesuai di daerah beriklim kering. Cara panen yang adalah dengan mencabut tanaman dengan tangan menggunakan tenaga secara perlahan sampai umbinya dapat terangkat keluar dari tanah. Pada tanah berat, sebaiknya digunakan pengungkit, baik menggunakan garpu maupun kayu atau bambu sebagai pengungkit. Sebelum dilakukan pencabutan dilakukan pemangkasan (pembuangan pohon bagian atas) dengan meninggalkan batang bagian bawah (pangkal batang) sekitar 10-30 untuk memudahkan pencabutan. Potensi Tanaman ubi kayu tersebar di seluruh propinsi di Indonesia, namun penyebarannya terbanyak di pulau Jawa dan Sumatra, masing-masing 50% dan 32% dari total luas panen ubi kayu di Indonesia.. Di Sumatra terbanyak di Lampung (26,6 %), di Jawa terbanyak di jawa Timur (18,7 %) dan Jawa Tengah (16,7 %). Penyebaran tanaman ubi kayu yang lebih rinci disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sebaran Tanaman Ubi Kayu di Indonesia* Pulau Sumatra Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumatra Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Banten Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Luas Tanam (%) 0,2812 2,9217 0,5175 0,3960 0,2844 0,0968 0,5551 26,5893 0,1131 0,0565 50 0,0045 8,8552 16,6779 5,1396 18,7454 0,6982 32 Kalimantan 1,3070 0,4862 0,6886 0,5533

Jawa

3 Sulawesi Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Papua Maluku Utara Papua Barat 0,4792 0,3868 2,6040 1,2533 0,0543 0,2777 5 Bali dan Nusa Tenggara 1,0421 0,6303 6,3993 8 Maluku dan Papua 0,6981 0,2507 0,8209 0,1355 2 Keterangan: * Data diolah dari luas panen ubikayu tahun 2007 basis data Departemen pertanian (2009) Indonesia merupakan Negara produsen ubi kayu no. 4 terbesar di dunia setelah Nigeria, Brazilia dan Thailand. Luas lahan yang ditanami ubikayu di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2001 seperti yang tertera dalam data statistik pada Tabel 3, namun produksi umbi ubikayu tetap mengalami peningkatan. Dengan demikian, produktivitas tanaman ubikayu di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, Peningkatan ini mungkin disebabkan tersedianya bibit yang lebih baik serta teknik budidaya yang lebih baik juga. Tabel 3. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di Indonesia Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
(1) (4)

Luas Panen (ha) 1.284.040 1.317.912 1.276.533 1.244.543 1.255.805 1.213.460 1.227.459 1.201.481 1.193.319 (4) 1.194.181 (1)

Produksi (ton) 16.089.020 17.054.648 16.912.901 18.523.810 19.424.707 19.321.183 19.986.640 19.988.058 21.593.053 (4) 21.786.691 (1)

Produktivitas (ku/ha) 125,00 129,41 132,00 149,00 155,00 159,00 163,00 166,36 180,95 (4) 182,44 (1)

: angka ramalan I : angka sementara Sumber: Departemen Petanian (2009)

Propinsi dengan luas lahan tanaman ubikayu, produksi umbi dan produktivitas ubikayu tertinggi di Indonesia adalah propinsi Lampung. Luas panen, produksi dan produktivitas ubikayu di propinsi ini pada tahun 2008 masing-masing mencapai 316.19 Ha, 7.649. 536 ton dan 242,06 kuintal/ha. Data statistik pada Tabel 4 menunjukkan sepuluh propinsi dengan luas lahan tanaman ubikayu terbesar di Indonesia, sedangkan Tabel 5 dan Tabel 6 masing-masing menunjukkan sepuluh propinsi dengan tingkat produksi dan produktivitas tertinggi. Dari data tersebut tampak bahwa tingkat produktivitas tertinggi dicapai oleh propinsi di Sumatera, kemudian di Jawa dan di Sulawesi, sedangkan tingkat produktivitas di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kalimantan Barat rendah, sehingga walaupun luas panen dan produksinya masuk dalam 10 besar, produktivitasnya tidak masuk ke dalam 10 besar.

Tabel 4. Luas Panen Tanaman Ubi Kayu (Ha) di 10 Propinsi di Indonesia Tahun 2005 2009. Propinsi Lampung Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat NTT DIY Sumatera Utara Sulawesi Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara (1) : angka ramalan I (4) : angka sementara Sumber: Departemen Petanian (2009) 2005 252.984 253.336 210.983 117.786 86.464 60.695 40.717 27.568 17.020 14.820 2006 283.430 232.538 211.917 113.663 89.591 60.926 35.996 32.852 17.775 14.825 Tahun 2007 316.806 223.348 198.714 105.508 76.247 61.237 34.812 31.026 15.573 14.933

2008(4) 316.019 220.394 191.053 109.354 78.957 62.543 37.941 29.780 13.675 13.142

2009(1) 310.630 216.877 191.600 111.465 82.582 63.598 38.786 29.643 16.042 12.094

Tabel 5. Produksi ubi kayu (ton) di 10 propinsi di Indonesia tahun 20052009.

Propinsi Lampung Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat DIY NTT Sumatera Utara Sulawesi Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara
(1) (4)

2005 4.806.254 4.023.614 3.478.970 2.068.981 920.909 891.783 509.796 464.435 243.251 256.467

2006 5.499.403 3.680.567 3.553.820 2.044.674 1.016.270 938.010 452.450 567.749 250.173 238.039

Tahun 2007 6.394.906 3.423.630 3.410.469 1.922.840 976.610 794.121 438.573 514.277 221.630 239.271

2008(4) 7.649.536 3.533.772 3.325.099 2.035.446 892.885 832.674 736.771 503.966 193.804 234.821

2009(1) 7.526.205 3.522.700 3.356.300 2.075.037 973.791 877.507 855.238 504.569 234.891 194.987

: angka ramalan I : angka sementara Sumber: Departemen Petanian (2009) Tabel 6. Produktivitas ubi kayu (kuintal/ha) di 10 propinsi di Indonesia tahun 2005 2009. Propinsi Lampung Sumatera Utara Jawa Barat Jawa Tengah Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Jawa Timur Sulawesi Tenggara DIY Kalimantan Timur
(1) (4)

2005 190,00 125,00 176,00 165,00 134,00 168,00 159,00 173,00 152,00 154,00

2006 194,00 126,00 180,00 168,00 140,00 173,00 158,00 161,00 167,00 155,00

Tahun 2007 201,86 125,98 182,25 171,63 153,74 165,76 153,29 160,23 159,48 159,86

2008(4) 242,06 194,19 186,13 174,04 160,48 169,23 160,34 178,68 142,76 153,34

2009(1) 242,29 220,50 186,16 175,17 172,24 170,22 162,43 161,23 153,12 150,23

: angka ramalan I : angka sementara Sumber: Departemen Petanian (2009) Pemanfaatan Saat Ini Ubi kayu merupakan tanaman serbaguna. Batang, daun dan umbinya dapat dimanfaatkan untuk berbagai industri seperti tergambar pada Gambar 1. Batang ubikayu dapat dimanfaatkan untuk bibit, papan partikel, kerajinan, briket dan arang (Soekartawi, 2000). Daunnya untuk makanan, farmasi dan industri pakan ternak (Soekartawi, 2000). Biji ubi kayu berpotensi sebagai penghasil minyak (Popoola dan Yangomodou, 2006). Kulit umbinya dapat digunakan sebagai pakan ternak, dan daging umbinya dapat diolah menjadi berbagai produk seperti makanan, tapioka, gaplek, tepung ubi kayu, dekstrin, perekat, bioetanol, dan lain-lain. Pemanfaatan ubi kayu secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.

BIBIT PAPAN PARTIKEL BATANG KERAJINAN BRIKET ARANG

MAKANAN DAUN UBI KAYU FARMASI PAKAN TERNAK

BIJI

MINYAK PAKAN TERNAK TAPIOKA PEARL DEKSTRIN TAPIOKA MALTOSA ASAM ORGANIK SORBITOL SENYAWA KIMIA LAIN

KULIT

GLUKOSA FRUKTOSA ALKOHOL

UMBI PEREKAT

GAPLEK DAGING TEPUNG UBI KAYU

BAHAN MAKANAN PELLET

PAKAN TERNAK

BAHAN MAKANAN

ONGGOK

PAKAN TERNAK ASAM/Ca SITRAT

MAKANAN RINGAN

Gambar 1. Pohon Industri Ubi Kayu. Pemanfaatan ubi kayu dikelompokkam menjadi dua kelompok, yaitu sebagai bahan baku tapioka (tepung tapioka atau gaplek) dan sebagai pangan langsung. Ubi kayu sebagai pangan langsung harus memenuhi syarat utama, yaitu tidak mengandung racun HCN (< 50 mg per Kg umbi basah). Sementara itu, umbi ubi kayu untuk bahan baku industri tidak disyaratkan adanya kandungan protein maupun ambang batas HCN, tapi yang diutamakan adalah kandungan karbohidrat yang tinggi. Pemanfaatan ubikayu sebagai bahan baku tepung tapioka merupakan pemakaian terbesar, tapi di beberapa tempat seperti daerah Jawa Tengan dan Yogyakarta pemanfaatan langsung jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang dibuat tepung tapioca. Ada beberapa alasan digunakannya ubi kayu sebagai bahan baku bioenergi, khususnya bioetanol, di antaranya adalah ubi kayu sudah lama dikenal oleh petani di Indonesia; tanaman ubi kayu tersebar di 55 kabupaten dan 33 provinsi; ubi kayu merupakan tanaman sumber karbohidrat karena kandungan patinya yang cukup tinggi; harga ubi kayu di saat panen raya seringkali sangat rendah sehingga dengan mengolahnya menjadi etanol diharapkan harga ubi kayu lebih stabil; ubi kayu akan menguatkan security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan; ubi kayu toleran terhadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah, mampu berproduksi baik pada lingkungan sub-optimal, dan mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih baik pada lingkungan sub-optimal dibandingkan dengan tanaman lain (Prihandana et al., 2007). Selama ini dikenal ada dua jenis ubi kayu, yaitu ubi kayu manis dan ubi kayu pahit. Kriteria manis dan pahit biasanya berdasarkan kadar asam sianida (HCN) yang terkandung dalam umbi ubikayu. Darjanto dan Muryati (1980) membagi ubikayu menjadi tiga golongan sebagai berikut. a. Golongan yang tidak beracun (tidak berbahaya), mengandung HCN 20 - 50 mg per kg umbi. b. Golongan yangberacun sedang, mengandung HCN 50 100 mg per kg umbi. c. Golongan yang sangat beracun, mengandung HCN lebih besar dari 100 mg per kg umbi. Menurut Grace (1977), kandungan asam sianida semula diperkirakan berhubungan dengan varietas ubikayu, namun kemudian ternyata juga bergantung pada kondisi pertumbuhan, tanah, kelembaban, suhu dan umur tanaman. Komposisi kimia tepung dan pati ubi kayu jenis pahit dan manis ternyata hampir sama, kecuali kadar serat dan kadar abu pada tepung ubi kayu manis lebih tinggi dari tepung ubi kayu pahit (Rattanachon et al. 2004). Selanjutnya Rattanachon et al. (2004) menerangkan bahwa viskositas tepung dan pati ubi kayu tergantung varietasnya, dan tidak ada hubungannya dengan kriteria manis atau pahit. Komposisi kimia ubikayu dapat dilihat pada Tabel 7. Umbi ubi kayu dengan kadar pati yang cukup tinggi (31%) merupakan bahan yang potensial sebagai bahan baku penghasil

bioetanol. Pati yang terdapat dalam pati dihidrolisis menjadi glukosa, selanjutnya glukosa difermentasi menjadi etanol. Secara teoritis 1 g pati menghasilkan 1,11 g glukosa atau 0,567 g etanol. Dengan demikian, dari 1 ton ubikayu basah (kadar air 62,8%) dengan kandungan pati sebesar 31%, secara teoritis dapat dihasilkan gula sebanyak 344 kg atau etanol sebanyak 195 kg. Pada Tabel 8 dapat dilihat potensi etanol yang dihasilkan dari empat varietas unggul ubikayu di Indonesia. Varietas tersebut berpotensi menghasilkan 4,35 4,70 liter etanol per kg ubi kayu segar. Kadar amilosa pati ubikayu berkisar 17 18% (Rattanachon et al. 2004). Laporan lain menyebutkan kadar amilosa pati ubi kayu sekitar 14 24% (Mbougueng et al. 2008). Suhu gelatinisasi tepung ubi kayu 85 89,1 oC (Owuamanam 2007), sedangkan suhu gelatinisasi pati ubi kayu 59 87 oC (Mbougueng, et al., 2008). Tabel 7. Komposisi kimia umbi ubi kayu Komponen Persentase Air (%) 62,8 Energi (kJ 100/g) 58,0 Protein (%) 0,53 Lemak (%) 0,17 Pati (%) 31 Gula (%) 0,83 Serat (%) 1,48 Abu (%) 0,84 Mineral (mg/100g) Kalsium 20 Kalium 302 Fosfor 46 Magnesium 30 Besi 0,23 Sumber: Bradburry and Holloway, 1988 in Westby (2002) Tabel 8. Komposisi kimia, rasio fermentasi, dan angka konversi menjadi bioetanol 96% dari beberapa varietas ubi kayu No. Varietas Kadar Bahan Kering (%) Kadar Gula Total (% bb) Kadar Pati (% bk) Rasio Fermentasi (%)* Konversi Ubi Segar Menjadi Bioetanol (kg/l)** 4,45 4,68 4,70 4,35

1 Adira-4 39,51 40,93 80,31 89,76 2 Malang-6 45,07 39,12 80,46 89,35 3 UJ-3 41,34 36,22 79,57 95,97 4 UJ-5 46,31 43,47 80,24 86,44 Keterangan: * Fermentasi ubi kayu segar menjadi bioetanol dengan kadar 7-11% ** Etanol dengan kadar 96% (efisiensi distilasi dianggap 95%) Sumber: Ginting et al. (2006) diacu dalam Prihandana et al. (2007).

Prospek ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol di Indonesia akan lebih jelas terlihat bila dilakukan Analisis Daur Hidup (Life Cycle Assessment) terhadap produksi etanol dari ubi kayu di Indonesia. Hasil analisis ini tidak hanya memberikan gambaran yang lengkap mengenai produksi dan penggunaan etanol, namun juga membantu mengidentifikasi beberapa bidang tertentu dimana diperlukan inovasi teknologi atau kebijakan strategis agar alternatif energi ini praktis dan layak. Ada dua parameter utama yang dikaji pada proses produksi etanol sebagai energi alternatif, yaitu energi dan kinerja lingkungan. Berdasarkan Analisis Daur Hidup (Life Cycle Assessment) yang dilakukan di Thailand, produksi etanol dari ubi kayu memberikan nilai positif terhadap lingkungan. Penggunaannya dalam bentuk E10 dalam keseluruhan daur hidupnya menurunkan beberapa beban lingkungan. Penurunan beban lingkungan relatif terhadap bahan bakar konvensional adalah 6,1% untuk penggunaan energi fosil, 6,0% untuk potensi pemanasan global, 6,8% untuk asidifikasi, dan 12,2% untuk pengayaan nutrisi. Jika pada proses produksi etanol juga digunakan biomassa sebagai pengganti bahan bakar fosil, maka keseluruahn daur hidup energi dan kinerja lingkungan akan lebih baik pula.

DAFTAR PUSTAKA Allem AC. 2002. The origins and taxonomy of cassava. Di dalam Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor. Cassava: Biology, Production and Utilization. New York: CABI Publishing. hlm 1-16. Darjanto dan Murjati. 1980. Khasiat, Racun dan Masakan Ketela Pohon. Bogor: yayasan Dewi Sri. Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Pohon industri ubi kayu. http://www.depperin.go.id/Ind/Teknologi/Pohin.asp?id=17. Departemen Pertanian republic Indonesia. 2009. Basis Data Statistik Pertanian. http://database.deptan.go.id/bdsp/index.asp. Ekanayake IJ, Osiru DSO, Porto MCM. 1997. Morphology of cassava. http://www.iita.org/cms/details/trn_mat/ir961.html. Grace MR. 1977. Cassava Processing. Rome: FAO of The United Nations. Mbougueang PD, Tenin D, Scher D, Tchiegang C. 2008. Physicochemical and functional properties of some cultivars of Irish potato and cassava starches. J. of Food Technology 6(3): 139-146. Nguyen TLT, Gheewala SH. 2008. Life Cycle Assessment of fuel ethanol from cassava in Thailand. Int J LCA 13(2): 147-154. Owuamanam CI. 2007. Physical characteristics of cassava flour as affected by cassava cultivar, strength of citric acid solution and root steeping duration. Life Science Journal. 4(4): 8084. Popoola TOS, Yangomodou OD. 2006. Extraction, properties and utilization potentials of cassava seed oil. Biotechnology 5(1):38-41. Prihandana R, Hendroko R. 2007. Energi Hijau. Jakarta: Penebar Swadaya.

Prihandana R et al. 2007. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Rukmana R. 1997. Ubi Kayu: Budidaya dan Pasca Panen. Yogyakarta: Kanisius. Soekartawi. 2005. Agroindustri dalam Perspektif Sosial Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Rattanachon W, Piyachomkwan K, Sriroth K. 2004. Physico chemical properties of root, flour and starch of bitter and sweet cassava varieties. http://www.ciat.cgiar.org/biotechnology/cbn/sixth_internationalmeeting/Posters-PDF/PS5/W_Rattanachon.pdf. Wargiono J. 1979. Ubi Kayu dan Cara Bercocok Tanam. Bogor: Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Westby A. 2002. Cassava utilization, storage and small-scale processing. Di dalam Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor. Cassava: Biology, Production and Utilization. New York: CABI Publishing. hlm 281-300.

You might also like