You are on page 1of 5

Memilih Dalam Pemilu, Bolehkah ?

Akhir bulan Januari 2009 ini Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan fatwa yang begitu
ramai dibicarakan oleh masyarakat, berkaitan dengan keikutsertaan dalam Pemilu. Komisi ini
menetapkan bahwa apabila dalam pemilu ada kontestan yang memenuhi syarat ideal dan
dinilai mampu mewujudkan cita-cita ummat dan bangsa, maka tidak memilih (golput) dalam
pemilu hukumnya haram.
Sebenarnya tidak hanya dalam masalah kepemimpinan saja kita perlu mengetahui ruang
lingkup memilih. Dalam hal perkerjaan, pendidikan, makanan, minuman, jodoh, dsb, semuanya
tidak bebas bisa kita pilih, ada batasan-batasan (ruang lingkup) yang harus kita ketahui
sebelum melakukan pilihan.
Memilih dalam arti umum
Sepertinya semua aktivitas kita tidak lepas dari hal ini, tidak hanya dalam hal
kepemimpinan. Masalah makan, pakaian, pekerjaan, cari pasangan hidup, belajar, belanja,
tidur, dan sebagainya. Kesemuanya menghendaki kita untuk memilih, apakah terkait
bentuknya, warnanya, waktunya, kepribadiannya, harganya, tempatnya, rasanya, materinya,
dan berbagai kondisi lainnya yang menghendaki adanya pilihan. Namun, sampai sebatas mana
manusia diberi kebebasan memilih ?
Sesungguhnya hak memilih berada di sisi Allah swt semata, sebagaimana Dia memiliki
hak menciptakan. Tak ada sekutu bagi-Nya dalam memilih, sebagaimana tidak ada sekutu
bagi-Nya dalam penciptaan alam semesta ini. Karena Allah swt lebih mengetahui letak-letak
pilihan-Nya, tempat-tempat keridhaan-Nya, serta apa-apa yang layak dipilih dan yang tidak
layak dipilih. Allah swt berfirman,
”Dan mereka berkata, ”Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari
salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini ?” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan.” (QS. Az Zukhruf : 31 – 32)
Ibnu Qayyim Al Jauziyah menjelaskan, ”Allah swt mengingkari sikap mereka yang
menentukan pilihan sendiri, dan mengabarkan bahwa yang demikian bukan hak mereka.
Bahkan ia adalah hak Dzat yang telah membagi-bagi kehidupan mereka yang terdiri dari rizki,
kesempatan, dan ajal.” (Zaadul Ma’ad jilid 1)
Jadi, pada dasarnya manusia tidak bebas menentukan pilihannya, karena dia bukan yang
menciptakan. Allah-lah yang telah menciptakan segala sesuatu, Dia-lah yang telah mengangkat
derajat sebagian mereka atas sebagian yang lain, membagi kehidupan diantara mereka dan
membagi derajat keutamaan. Pemilihan ini kembali kepada hikmah-Nya dan ilmu-Nya, Dia yang
lebih mengetahui orang dan tempat yang paling layak dalam mengemban risalah-Nya.
Ruang Lingkup Pilihan Manusia
Allah swt telah menciptakan tempat yang paling baik dan paling buruk bagi tiap-tiap
makhluk-Nya. Kemudian memilih yang terbaik dari tiap-tiap jenis makhluk, lalu mengkhususkan
untuk diri-Nya dan meridhainya melebihi yang lain. Sesungguhnya Allah swt adalah baik dan
tidak mencintai kecuali yang baik. Tidak mau menerima amalan, perkataan, dan sedekah,
kecuali yang baik. Terbaik dari segala sesuatu adalah pilihan-Nya.
Kemudian Dia menciptakan untuk masing-masing kelompok amalan-amalan yang dapat
menghantarkannya menuju ke tempatnya masing-masing. Sehingga semua amalan, perkataan
dan akhlak yang baik akan masuk ke tempat yang baik pula, yaitu surga. Dan semua amalan,
perkataan dan akhlak yang buruk akan kembali kepada tempat yang paling buruk pula, yaitu
neraka.
Tidak ada percampuran diantara yang baik dan yang buruk, karena Allah swt tidak
menyediakan tempat yang ketiga. Oleh karena itu, siapa saja yang bertemu dengan-Nya pada
hari kiamat dalam keadaan membawa keburukan dan kebaikkan, maka ia akan dimasukkan ke
dalam neraka terlebih dahulu sebagai tempat pensucian dan pembersihan atas berbagai
kotoran yang masih menempel pada dirinya.
Jadi, siapa saja yang ingin berada di tempat kenikmatan dan kebahagiaan, maka
hendaknya ia memilih materi-materi kebaikkan dalam setiap ucapan, akhlak, hukum dan
amalan yang kita lakukan di dunia. Dan siapa saja yang memilih melakukan kekejian dalam
setiap amalan, perkataan, hukum dan akhlak, maka semua itu menjadi sebab-sebab yang
menghantarkan kita menuju ke tempat kesengsaraan dan kepedihan.
Dengan demikian, pilihan yang kita lakukan dibatasi oleh materi-materi kebaikkan dan
keburukkan yang telah Allah swt tentukan. Misalnya, Allah swt telah menciptakan berbagai
makanan dan minuman bagi manusia, kemudian Dia memilih babi dan khamr sebagai makanan
dan minuman yang buruk, dan Dia tidak pernah meridhai atas keduanya. Maka memilih
meninggalkan keduanya dan memilih makanan dan minuman halal lainnya berarti kita telah
berada dalam keridhaan-Nya. Dalam hal ini kita bebas memilih berbagai makanan dan
minuman yang halal, namun kita tldak bebas memilih diantara semua makanan yang ada,
sebab diantaranya ada yang halal dan haram.
Demikian juga, Allah swt telah menciptakan para wanita sebagai pendamping bagi laki-
laki, atau sebaliknya. Namun Allah memilih wanita-wanita musyrik dan laki-laki musyrik sebagai
kategori wanita dan laki-laki yang buruk untuk dinikahi. Kemudian Dia menetapkan laki-laki
mukmin dan wanita mukmin sebagai kategori laki-laki dan wanita yang baik untuk dinikahi,
sehingga kita bebas memilih diantara mereka. Allah swt berfirman,
”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun mereka menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS. Al Baqarah : 221)
Allah swt juga telah menjadikan berbagai sebab yang dapat mendatangkan rizki bagi tiap
makhluk-Nya. Namun Dia memilih riba sebagai salah satu cara yang buruk untuk
mendatangkan rizki-Nya, dan memilih jual beli sebagai salah satu cara yang baik untuk
mendatangkan rizki-Nya, sebagaimana firman-Nya,
”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al Baqarah : 275)
Allah juga telah menganugerahkan kewibawaan dan pengaruh kepada orang-orang yang
dipilih-Nya, namun diantara mereka tidak semuanya dapat kita jadikan panutan. Karena Allah
swt masih memilih lagi diantara mereka siapa yang layak untuk dijadikan panutan.
Allah swt berfirman, ”Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas.” (QS. Al Kahfi : 28)
Ibnu Qayyim berkata, ”Jika seseorang ingin mengikuti orang lain, maka hendaklah dia
meneliti, apakah orang yang akan diikutinya itu termasuk ahli dzikir ataukah termasuk orang-
orang yang lalai ? Apakah yang berkuasa atas dirinya hawa nafsu atau wahyu ? Jika yang
berkuasa atas dirinya adalah hawa nafsu, berarti dia termasuk orang yang lalai, yang berarti
urusannya akan menjadi sia-sia. Artinya, apa yang dia lakukan itu menjadi sia-sia dan tidak ada
manfaat baginya, mendatangkan kerusakan, bertentangan dengan kebenaran dan
menyimpang.
Dengan kata lain, Allah melarang patuh kepada orang yang memiliki sifat-sifat seperti ini.
Maka setiap orang harus melihat keadaan siapa yang dia jadikan panutan. Jika seperti itu
keadaannya, maka lebih baik baginya untuk menghindarinya. Namun jika dia termasuk orang
yang lebih banyak melakukan dzikir kepada Allah dan mengikuti As Sunnah, urusannya tidak
menyimpang atau sia-sia, maka bolehlah dia mengikutinya.” (Shahihul Wabil Ash Shayyib Minal
Kalimith Thayyib)
Allah swt juga telah memilih hukum yang paling baik bagi manusia, yaitu hukum yang
berada di sisi-Nya yang Dia turunkan lewat Rasul-Nya, Allah swt berfirman,
”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maa’idah : 50)
”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa’ :
59)
”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ : 65)
Ibnu Qayyim berkata, ”Allah swt telah bersumpah bahwa tidak beriman orang yang tidak
menjadikan beliau saw sebagai hakim (pemutus) dalam segala perkara yang diperselisihkan
antara dirinya dengan orang lain, kemudian dia ridha dengan keputusan itu, dan tidak
mendapati dalam dirinya rasa berat atas keputusan yang ditetapkan, kemudian menerima
dengan senang hati dan patuh sepenuhnya.” (Zadul Ma’ad jilid 1)
Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk pilihan yang dilakukan oleh Allah swt atas berbagai
ciptaan-Nya yang ada di langit dan di bumi. Apa-apa yang telah dipilih dan dikhususkan oleh
Allah swt, baik berupa benda, tempat, pribadi, makanan, minuman, hukum dan lain sebagainya,
kesemuanya itu menunjukkan keesaan Allah swt dalam perbuatan-Nya. Allah-lah yang
menciptakan, kemudian Dia juga yang memilihnya setelah penciptaan.
”Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak
ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan
(dengan Dia).” (QS. Al Qashash : 68)
Muara dari semua ini adalah, bahwa Allah swt telah menjadikan yang baik-baik dan semua
yang berkaitan dengannya di surga, dan menempatkan hal-hal keji serta seluruh yang berkaitan
dengannya di neraka. Semua urusan kembali kepada dua tempat saja, surga tempat orang-
orang baik, dan neraka tempat orang-orang keji.
Sedangkan segala sesuatu yang baik, apakah berupa perkataan, amalan, makanan,
minuman, jodoh, pekerjaan, hukum, dan sebagainya adalah apa-apa yang berkesuaian dengan
petunjuk Rasul-Nya. Sebab, Allah swt telah memilih mereka diantara anak keturunan nabi
Adam AS sebagai manusia yang memiliki keutamaan, sehingga layak untuk ditaati dengan
seijin-Nya.
Allah swt berfirman, ”Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati
dengan seijin Allah.” (QS. An Nisaa’ : 64)
”Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-
orang yang mati syahid, dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-
baiknya.” (QS. An Nisaa’ : 69)
Dengan demikian, kepentingan mendesak dan paling utama bagi para hamba adalah
mengetahu Rasul. Mengetahui apa yang dibawanya, membenarkan apa yang dikhabarkannya
dan mentaati apa yang diperintahkannya. Sebab, tidak ada jalan menuju kebahagiaan dan
keberuntungan, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali melalui bimbingan para Rasul. Tak ada
pula jalan mengetahui baik dan buruk secara rinci kecuali dari jalan mereka. Ridha Allah swt
tidak pernah dicapai tanpa arahan mereka. Perkara yang baik diantara amalan, perkataan,
hukum dan akhlak, tak lain hanyalah berdasarkan petunjuk dan keterangan yang Rasul bawa.
”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
(QS. Al Hasyr : 7)
Dari sini dapat kita ketahui, bahwa ruang lingkup kita memilih berada pada segala sesuatu
yang telah ditetapkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Apabila disana menyediakan tempat untuk
memilih, maka kita dapat melakukan pilihan, seperti memilih makanan diantara makanan yang
halal. Namun, jika disana tidak menyediakan tempat untuk memilih, maka kita tidak dapat
melakukan pilihan, seperti hukum rajam bagi mereka yang berzina, dimana status masing-
masing sudah memiliki suami atau istri. Hukum ini tidak dapat diganti dengan hukum selainnya,
karena Allah swt dan Rasul-Nya telah memilih hukum itu sebagai satu-satunya hukuman bagi
laki-laki atau wanita yang berzina, sedang status mereka masing-masing telah memiliki istri
atau suami.
”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, ”Allah swt menutup pintu pilihan setelah ada perintah-
Nya dan perintah Rasul-Nya. Tidak boleh bagi seorang Mukmin memilih sesuatu setelah ada
perintah beliau saw. Bahkan jika beliau saw memberi perintah, maka perintahnya adalah
keharusan.”
Beliau melanjutkan, ”Seseorang wajib diikuti perkataannya jika memerintahkan apa yang
diperintahkan oleh beliau saw, dan melarang apa yang dilarangnya. Pada kondisi demikian, ia
hanyalah penyampai semata, bukan yang memulai dan membuat. Barangsiapa memulai suatu
perkataan atau membuat kaidah-kaidah sesuai pemahaman dan penakwilannya, maka tidak
wajib bagi ummat mengikutinya, dan tidak perlu meminta keputusan kepadanya hingga
ditimbang dengan apa yang datang dari Rasul saw. Apabila sesuai dan dibenarkannya, maka
diterima, namun bila tidak sesuai, maka harus ditolak dan dicampakkan.” (Zadul Ma’ad Jilid 1)
Realitas Pemilu
Pemilihan Umum sebenarnya tidak sebatas memilih seorang pemimpin, lebih daripada itu,
pemilu bertujuan melestarikan hukum-hukum yang menaunginya. Dalam arti, sejak pemilu
pertama hingga pemilu 2009 nanti, dapat dipastikan bahwa pemimpin yang terpilih tidak akan
ada yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh ! Jadi, sebaik apapun calon pemimpin
yang ikut pemilu, saat terpilih nanti dia tidak akan dapat merubah sistem hukum di negeri ini.
Sehingga, siapapun yang kita pilih nantinya, itu menunjukkan bahwa kita juga bersedia memilih
hukum yang berlaku di negeri ini! Hukum yang membolehkan protitusi (zina)! Hukum yang
membolehkan perdagangan minuman keras! Hukum yang menghalalkan riba! Dan begitu
banyak lagi produk hukum ”jahiliyah” yang digunakan oleh pemimpin negeri ini.
Ibarat memilih wasit dalam suatu pertandingan sepak bola, sedangkan aturan yang
berlaku dalam pertandingan itu membolehkan pemain menyikut lawannya, memukul kepala,
dan menjegal dari belakang. Sebaik apapun wasit yang terpilih, mau tidak mau ia akan
menerapkan aturan itu, karena itulah aturan yang berlaku. Kalo dia membuat keputusan sendiri
di luar aturan yang berlaku, maka para pemain akan memprotesnya.
Dengan demikian, saya tidak memilih bukan berati tidak ada pemimpin yang baik secara
individu, tetapi saya tidak memilih mereka karena mereka nantinya akan menerapkan hukum
jahiliyah. Pertanyaannya, adakah diantara para calon yang menyatakan siap menerapkan
syari’at Islam secara menyeluruh saat terpilih nanti? Menjadikan Al Qur’an sebagai UUD,
sumber rujukan bagi terbentuknya segala macam hukum?
Jadi renungkan kembali QS. Al Ahzab : 36 di atas serta penjelasan Ibnu Qayyim, ”Allah
swt menutup pintu pilihan setelah ada perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya. Tidak boleh bagi
seorang Mukmin memilih sesuatu setelah ada perintah beliau saw. Bahkan jika beliau saw
memberi perintah, maka perintahnya adalah keharusan.”
Wallahu’alam bishshowab.

Mohon koreksinya jika ada kekeliruan, sebab naskah ini ditulis


oleh tukang service komputer : Adi Nurcahyo

You might also like