You are on page 1of 18

ESSAI ILMIAH

Jangan Berikan Darahmu Untuknya, Antara Realita dan Harapan Selama dekade terakhir, prevalensi malaria di dunia meningkat secara tajam. Peningkatan ini sudah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai. Program eradikasi malaria global pada tahun 1950 dan 1960 mengalami kemunduran di awal tahun 1970. Penyakit ini meningkat pelan-pelan di wilayah Asia dan Amerika Selatan. Sebelumnya jumlah penyakit di tempat tersebut telah berkurang hingga level yang rendah. Hal ini membuka wacana bagi kita bahwa malaria merupakan penyakit global yang saat ini membutuhkan perhatian khusus. Di Indonesia sendiri, angka kesakitan malaria masih cukup tinggi, terutama di daerah Indonesia bagian timur. Malaria merupakan penyakit yang disebabkan karena infeksi protozoa yang berasal dari genusPlasmodium. Terdapat 4 spesies dari protozoa genus tersebut yang menyebabkan malaria pada manusia yakni Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Masing-masing subspesies menyebabkan malaria dengan manifestasi klinis yang berbeda.Plasmodium falciparum nerupakan jenis yang menyebabkan malaria dengan tingkat kematian tertinggi karena dapat menyerang sel darah merah dalam segala usia serta menghasilkan parasitemia >106 per l darah. Jumlah tersebut paling tinggi apabila dibandingkan dengan tiga spesies lainnya. Demam merupakan gejala utama penyakit malaria. Manifestasi yang paling berat adalah cerebral malaria, anemia, serta disfungsi ginjal dan organ lain. Cerebral malaria terutama ditemukan pada anak-anak dan individu yang mengalami infeksi malaria untuk pertama kali. Sementara itu, anemia sering dijumpai pada anak-anak dan ibu hamil. Individu yang terpapar penyakit tersebut akan mencapai tingkat imunitas tertentu yang tidak stabil dan hilang dalam periode satu tahun setelah meninggalkan lingkungan endemis malaria. Imunitas akan muncul kembali setelah infeksi ulang apabila orang tersebut kembali ke lingkungan endemis malaria. Kebanyakan penderita yang meninggal karena malaria adalah individu yang mengalami infeksi malaria untuk pertama kali, terutama anak-anak atau individu yang sebelumnya berasal dari wilayah dimana tidak ada transmisi malaria atau individu dari negara yang lebih modern di mana tidak ditemukan penyakit tersebut.

Infeksi pada manusia dimulai dari masuknya sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina ke dalam tubuh manusia. Sporozoit ini akan segera diangkut dengan cepat melalui aliran darah ke dalam hati, disini sporozoit menginvasi sel parenkim hati untuk memulai periode reproduksi aseksual, kemudian sporozoit bermultiplikasi dan berkembang menjadi skizont jaringan. Tahap ini disebut dengan fase pra-eritrosit. Sel hati akan membengkak dan pecah sehingga skizont melepaskan beriburibu merozoit yang akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan menginvasi eritrosit. Lamanya fase intrahepatik ini bervariasi tergantung dari jenis spesies Plasmodiumnya. Khusus untuk Plasmodium ovale dan Plasmodium vivax, skizont jaringan pada sel parenkim hati dapat mengalami masa dorman dikenal juga dengan fase hipnozoit yang dapat berlangsung selama beberapa bulan, satu tahun, atau mungkin dapat lebih lama lagi. Inilah yang menyebabkan fenomenarelaps pada dua spesies tersebut. Merozoit menginvasi eritrosit dengan melekat melalui reseptor permukaan spesifik eritrosit. Merozoit di dalam eritrosit akan berkembang membentuk trofozoit. Selama stadium awal perkembangannya bentuk cincin yang kecil dari keempat spesies parasit tampak serupa di bawah mikroskop cahaya. Dengan membesarnya trofrita mozoit, karateristik spesifik-spesies menjadi semakin nyata, pigmennya semakin tampak jelas dan parasit tersebut mengambil bentuk ireguler atau amuboid. Trofozoit mengalami perkembangan menjadi skizont. Eritrosit yang mengandung skizont ini akan mengalami ruptur dan skizont akan melepaskan merozoit ke dalam sirkulasi, sementara sebagian merozoit ini akan menginvasi eritrosit kembali dan mengulang tahapan skizogoni intraeritrosit. Lepasnya merozoit dari eritrosit ini akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu demam yang diikuti dengan menggigil yang terjadi secara periodik. Sebagian merozoit mengalami diferensiasi membentuk gametosit (makrogamet dan mikrogamet). Gametosit ini nantinya masuk ke dalam tubuh nyamuk Anopheles apabila nyamuk ini menghisap darah dari penderita malaria. Nyamuk betina menggigit pasien yang menderita malaria. Darah yang dihisapnya mengandung gametosit Plasmodium yang selanjutnya melalui tahap perkembangan seksual di usus nyamuk. Hasil perkembangan di dalam tubuh nyamuk membentuk sporozoit yang akhirnya memasuki kelenjar ludah nyamuk. Nyamuk menularkan sporozoit dari jaringan ludahnya ketika menggigit orang yang sehat. Dengan memahami perjalanan

perkembangan Plasmodium di dalam tubuh manusia dan nyamuk Anopheles, dapat kita simpulkan dengan jelas bahwa seorang individu tidak akan pernah menderita malaria apabila ia tidak digigit nyamuk Anopheles yang mengandung sporozoit dalam kelenjar ludahnya. Oleh karena itu, selain upaya pencegahan melalui obat anti malaria, strategi untuk mencegah penyakit ini adalah dengan memberantas atau menghindari gigitan nyamuk Anopheles. Di dalam program pemberantasan malaria yang utama dilakukan adalah pemberantasan vektor. Agar mendapatkan hasil yang maksimal, perlu dukungan data penunjang yang menerangkan tentang seluk-beluk vektor yang berperan. Untuk menentukan metode pemberantasan yang tepat guna, perlu diketahui dengan pasti musim penularan serta perilaku vektor yg bersangkutan. Penentuan musim penularan yang tepat perlu didukung oleh data entomologi yang baik dan benar. Selain itu, metode yang dipilih harus sesuai dengan perilaku vektor yang menjadi sasaran. Dalam pemberantasan penyakit malaria sangat erat hubungannya dengan aspek entomologi. Dalam hal ini aspek entomologi menjadi tanggung jawab unit lain di luar unit pemberantasan malaria. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan suatu koordinasi yang mantap, serta sinkronisasi program antara unit entomologi dengan unit pemberantasan malaria. Dalam upaya memberantas larva atau nyamuk Anopheles, kita perlu memahami perilaku nyamuk. Perilaku mencari darah nyamuk dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu perilaku mencari darah yang ditinjau dari segi waktu, tempat, sumber darah, serta frekuensi menggigit. Apabila ditinjau dari segi waktu, nyamuk Anopheles pada umumnya aktif mencari darah pada waktu malam hari. Setiap spesies mempunyai sifat yang tertentu. Ada spesies yang aktif mulai senja hingga menjelang tengah malam dan sampai pagi hari. Ditinjau dari segi tempat, penangkapan nyamuk dapat dilakukan di dalam atau di luar rumah. Berdasarkan hasil penangkapan tersebut, diketahui ada dua golongan nyamuk yaitu eksofagik dan endofagik. Tipe eksofagik lebih senang mencari darah di luar rumah, sementara tipe endofagik lebih senang mencari darah di dalam rumah. Berdasarkan macam darah yang disenangi, nyamuk dapat dibedakan menjadi tipe antropofilik dan zoofilik. Nyamuk termasuk tipe antropofilik apabila lebih senang menghisap darah manusia. Sementara itu, tipe zoofilik merupakan tipe nyamuk yang lebih senang menghisap darah binatang dan golongan yang tidak mempunyai pilihan tertentu.

Nyamuk betina biasanya hanya kawin satu kali selama hidupnya Untuk mempertahankan dan memperbanyak keturunannya, nyamuk betina hanya memerlukan darah untuk proses pertumbuhan telur. Setiap beberapa hari sekali, nyamuk akan mencari darah. Interval tersebut tergantung pada spesies serta dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban. Sesuai dengan iklim di Indonesia, waktu yang diperlukan antara 48-96 jam. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa strategi untuk mencegah penyakit ini adalah dengan memberantas atau menghindari gigitan nyamuk Anopheles. Dewasa ini, upaya pemberantasan penyakit malaria dilakukan melalui pemberantasan vektor penyebab malaria (nyamuk Anopheles). Pemberantasan malaria dilakukan dengan penyemprotan rumah dan lingkungan sekeliling rumah dengan racun serangga untuk membunuh larva nyamuk. Upaya ini juga bermanfaat untuk membunuh nyamuk dewasa. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk membunuh larva nyamuk Anopheles. Secara garis besar, cara-cara tersebut dapat dibagi menjadi cara kimiawi dan hayati. Cara kimiawi dilakukan dengan menggunakan larvasida. Larvasida merupakan zat kimia yang dapat membunuh larva nyamuk. Beberapa contoh larvasida antara lain solar atau minyak tanah, parisgreen, temephos,fention, altosid, dan lain-lain. Selain zat-zat kimia yang disebutkan di atas dapat juga digunakan herbisida. Herbisida merupakan zat kimia yang mematikan tumbuhtumbuhan air yang digunakan sebagai tempat berlindung larva nyamuk. Pemberantasan larva nyamuk Anopheles secara hayati dilakukan dengan mengunakan beberapa agent biologis seperti predator misalnya pemakan jentik seperti gambusia, guppy dan panchax (ikan kepala timah). Selain cara kimiawi dan hayati untuk pencegahan malaria, dapat juga dilakukan pengelolaan lingkungan hidup (environmental management) yang baik. Caranya adalah dengan pengubahan lingkungan hidup (environmental modification) sehingga larva nyamuk Anopheles tidak mungkin hidup. Kegiatan ini antara lain dapat berupa penimbunan tempat perindukan nyamuk, pengeringan dan pembuatan dam, selain itu kegiatan lain mencakup pengubahan kadar garam, pembersihan tanaman air atau lumut dan lain-lain. Dalam rangka pencegahan malaria, upaya pemberantasan nyamuk Anopheles seperti yang telah diuraikan di atas dilanjutkan dengan melakukan pengobatan kepada mereka yang diduga menderita malaria. Pengobatan juga diberikan pada penderita malaria yang

terbukti positif secara laboratorium.Selain itu, upaya pencegahan malaria dapat dilakukan dengan pemberian obat anti malaria. Akan tetapi, penerapan upaya pencegahan melalui obat anti malaria telah menimbulkan masalah baru di bidang kesehatan berupa resistensi parasit terhadap profilaksis yang diberikan. Efek ini menambah sederet permasalahan resistensi parasit akibat penggunaan obat. Tentunya ini bukan permasalahan yang mudah untuk ditangani karena resistensi menyebabkan terapi yang diberikan tidak memberikan hasil. Pada akhirnya, hal ini menuntut kita untuk menemukan obat baru sebagai terapi penyakit tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun beberapa upaya dalam rangka mencegah malaria. Beberapa upaya tersebut antara lain dengan menghindari keluar rumah pada sore atau malam hari. Apabila keluar rumah di malam hari, dianjurkan memakai celana panjang dan baju berlengan panjang dengan warna yang tidak gelap. Warna gelap akan mengundang datangnya nyamuk. Selain itu, disarankan untuk memilih tempat menginap yang dilengkapi pendingin (air conditioner), atau yang mempunyai kasa pelindung nyamuk. Bila tepat penginapan tidak dilengkapi pendingin dan tak memakai kasa pelindung nyamuk, diupayakan tidur dengan kelambu yang sebelumnya dicelup dalam larutan insektisida (permetrin). Selain itu, upaya lain adalah dengan memoleskan seperlunya repellent yang mengandung dimethyl phtalate atau N,N dietyltoluamide (DEET) pada bagian-bagian badan yang terbuka, serta memakai insektisida dalam bentuk semprot (spray), dispenser (memakai baterai atau listrik) atau dibakar untuk menghalau nyamuk. Strategi tersebut telah sering didengar dan diketahui oleh banyak orang. Akan tetapi, realita menunjukkan bahwa strategi ini belum banyak diterapkan dalam masyarakat. Paradigma masyarakat seringkali mengatakan bahwa tidak masalah terkena suatu penyakit karena dokter akan dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Masyarakat belum mengetahui seberapa besar masalah terkait malaria yang kini ada di Indonesia, khususnya Indonesia bagian timur. Oleh karena itu, perlu kita informasikan kepada masyarakat tentang hal ini. Selain itu, poin penting yang perlu kita lakukan adalah menanamkan kembali bahwa cara pencegahan di atas bukan cara yang sulit dilakukan, artinya ini dapat diterapkan apabila kita memang berniat menerapkannya.

Seperti yang telah disampaikan oleh Leavel dan Clark dalam prinsip Five Level of Prevention, tugas dokter bukan hanya mengobati pasien yang sudah terlanjur sakit, tetapi juga mencegah agar seseorang tidak terkena penyakit tersebut. Edukasi tentang upaya pencegahan ini di akhir kunjungan pasien setidaknya dapat mengingatkan pasien untuk menerapkan kembali upaya pencegahan yang sebelumnya mungkin telah diketahui oleh mereka. Optimalisasi upaya pencegahan penyakit malaria dengan menghindari gigitan nyamuk diharapkan dapat membawa perubahan terhadap realita masalah malaria yang ada di Indonesia. Lebih jauh lagi, strategi ini dapat dikembangkan untuk membantu mengatasi masalah malaria di dunia. Sekali lagi, jangan berikan darahmu untuk nyamuk karena kita tidak tahu apa yang dimasukkannya saat menghisap darah kita! Chikungunya, Cerita di Negeriku Sayang Negeriku Malang Indonesia, terletak di khatulistiwa. Berjajar menjadi salah satu negara di wilayah tropis dengan berjuta pesona yang tersohor hingga berbagai belahan dunia. Kekayaan alam, keramahtamahan, udara yang sejuk dan lainnya yang merupakan khas dari negeri tercinta ini. Negeriku yang indah seolah mulai memudar pesonamu. Sekarang kita memang kaya, kaya dengan masalah. Nyamuk yang kecilpun bisa menjadi pencetus masalah. Karena nyamuk, masalah Chikungunya mulai menghiasi negeriku ini. Sebelum saya ungkapkan lebih jauh, sebaiknya kita tahu dulu apa itu Chikungunya. Chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang disebarkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Selain itu nyamuk ini juga berperan sebagai penyebar penyakit Demam Berdarah Dengue. Menilik sejarah mengenai penyakit ini, Chikungunya berasal dari virus yang hidup pada hewan primata di tengah hutan atau savana di tanah Afrika kira-kira 200-300 tahun lalu. Setelah beberapa lama, tingkah laku virus chikungunya yang semula bersiklus dari satwa primata-nyamuk-satwa primata, dapat pula bersiklus manusia-nyamuk-manusia. Di daerah permukiman (urban cycle), siklus virus chikungunya dibantu oleh nyamuk Aedes aegypti. Adanya pembuktian secara ilmiah yang mencangkup isolasi dan identifikasi virus baru berhasil dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania 1952-1953. Baik virus maupun penyakitnya kemudian diberi nama sesuai bahasa setempat (Swahili), berdasarkan gejala

pada penderita. Maka hadirlah chikungunya yang berarti posisi tubuh meliuk atau melengkung. Beberapa negara di Afrika yang dilaporkan telah terserang virus chikungunya adalah Zimbabwe, Kongo, Burundi, Angola, Gabon, Guinea Bissau, Kenya, Uganda, Nigeria, Senegal, Central Afrika, dan Bostwana. Sesudah Afrika, virus chikungunya dilaporkan di Bangkok (1958), Kamboja, Vietnam, India dan Sri Lanka (1964), Filipina dan Indonesia (1973). Chikungunya juga pernah dilaporkan menyerang tiga korp sukarelawan perdamaian Amerika (US Peace Corp Volunteers) yang bertugas di Filipina, 1968. Tidak diketahui pasti bagaimana virus tersebut menyebar antar negara. Mengingat penyebaran virus antar negara relatif pelan, kemungkinan penyebaran ini terjadi seiring dengan perpindahan nyamuk. Chikungunya telah cukup lama berkembang di negeri kita ini. Bila kita review kembali pertama kali dilaporkan di Samarinda sekitar tahun 1973. Kemudian muncul serentetan kasus Chikungunya di tempat dan tahun yang berbeda. Pada tahun 1980 di Kuala Tungkak, Jambi. Tiga tahun setelah itu merebak di beberapa tempat seperti di Martapura, Ternate dan Yogyakarta. Perkembangan kasus Chikungunya sempat mengalami kevakuman selama 20 tahun. Tapi di tahun 2001 sungguh mengejutkan kasus Chikungunya ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Muara Enim, Sumatera Selatan dan Aceh. Hingga 3 tahun terakhir masih muncul letupan KLB di beberapa daerah di Indonesia. Walaupun begitu penanganan Chikungunya masih belum menjadi prioritas dalam upaya penyakit menular di Indonesia. Dalam hal penanganan kasus Chikungunya masih menjadi komponen dalam upaya pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Jadi tindakan pemberantasan Chikungunya sama dengan Demam Berdarah Dengue. Bila tidak diberantas, dua penyakit ini bisa menjadi masalah yang klasik untuk dihadapi. Kejadian Luar Biasa (KLB) merupakan status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklarifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit. Status mengenai diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.949/MENKES/SK/VII/2004. Sedangkan kriteria mengenai kejadian luar biasa pada Keputusan Dirjen No.451/91 tentang pedoman penyelidikan dan penanggulangan kejadian luar biasa. Berdasarkan hal ini Chikungunya ditetapkan dalam sebagai suatu kasus luar biasa.

Gejala dari Chikungunya memang mirip dengan Demam Berdarah Dengue yaitu demam tinggi, menggigil, sakit kepala, mual, muntah, sakit perut, nyeri sendi dan otot serta bintik-bintik merah pada kulit terutama badan dan lengan. Bila kita bandingkan dengan Demam Berdarah Dengue, pada Chikungunya tidak ada perdarahan hebat, renjatan (Shock) maupun kematian. Masa inkubasi dari demam Chikungunya dua sampai empat hari. Manifestasi penyakit berlangsung tiga sampai sepuluh hari. Virus ini termasuk Self Limiting Disease yang berarti hilang dengan sendirinya. Biasanya menyerang persendian yang menimbulkan rasa nyeri yang bisa tertinggal dalam hitungan minggu sampai bulan. Hal ini sering menyebabkan penderita seperti mengalami kelumpuhan. Jadi, ada paradigma masyarakat yang menyatakan Chikungunya menyebabkan mereka jadi lumpuh. Dalam hal ini bukan berarti saya menganggap hanya Chikungunya ini paling penting dalam hal pemberantasan. Semua penyakit lain juga sangat perlu untuk ditanggulangi segera. Cuma saya ingin kita semua tidak menganggap masalah ini hanya sebelah mata. Dalam hal penanganan melibatkan semua aspek dalam tatanan dari negeri ini. Bisa kita bayangkan bila peraturan yang tidak diindahkan oleh masyarakat. Untuk apa peraturanperaturan itu dibuat antara pihak legislatif sebagai penyambung lidah rakyat dan pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat? Kalau hanya terbuang seperti sampah saja. Bukankah suatu kesia-siaan itu tidak baik? Begitu juga sebaliknya bila aksi yang dilakukan masyarakat tidak ada dukungan dari pemerintah. Sama saja kita berteriak di depan tebing. Hanya gema-gema suara yang kita dengar, akan tetapi hal yang diharapkan tidak terlaksana sesuai harapan. Oleh karena itu penting adanya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menangani masalah yang berkecamuk di negeri ini. Walaupun masih bersaudara dengan Demam Berdarah, Chikungunya memang tidak menyebabkan kematian. Akan tetapi bagi sebagian orang masih menganggap Chikungunya merupakan penyakit yang berbahaya. Karena bisa menyebabkan kelumpuhan. Bila hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, akan banyak hal yang merugikan akan terjadi. Coba bayangkan saja bila hal ini mengenai seorang yang penghidupannya pas-pasan dan punya banyak anak. Karena sakit, tidak bekerja. Tidak bekerja berarti tidak ada uang. Tidak ada uang akan mengakibatkan himpitan ekonomi

semakin menindas. Anak-anak menjadi putus sekolah. Mau jadi apa negeri ini? Kita tahu pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kemajuan negeri ini. Tempo Interaktif tahun 2010 mensinyalir bahwa sepanjang Januari-Februari 2010, sebanyak 668 warga di enam kecamatan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, menderita demam Chikungunya. Pejabat sementara Kepala Dinas Kesehatan Malang, menyatakan jumlah penderita itu mendekati mendekati jumlah penderita pada tahun 2009 (860 orang), tapi jauh tinggi daripada angka penderita pada tahun 2008 (243 orang) dan 2007 (428 orang). Diperkirakan jumlah penderita akan terus bertambah. Dari kenyataan diatas, kita bisa melihat belum genap triwulan awal angka kejadian Chikungunya cukup fantastis meningkat bila dibanding tahun sebelumnya. Bila hal ini tidak ditanggulangi secara baik maka penyebaran penyakit ini akan semakin luas. Semakin cepat penanganan terhadap Chikungunya semakin baik hasil yang diperoleh. Sering dilakukan fogging oleh Dinas Kesehatan untuk melokalisir lokasi penyebaran penyakit ini. Di beberapa negara, Chikungunya dianggap sebagai penyakit Emerging dan Reemerging. Kita ambil contoh Malaysia dan Thailand. Masuknya penyakit Chikungunya di Malaysia diduga berkaitan dengan kedatangan para pekerja ke Malaysia yang berasal dari daerah endemik Chikungunya. Di Thailand, wabah ini sering muncul pada saat musim hujan. Selain itu travel bisa merupakan jalan masuk penyakit ini ke suatu daerah. Ternyata bukan hanya negeri ini yang bermasalah. Berdasarkan hasil penelitian epidemiologi penyakit Chikungunya di Bangkok (Thailand) dan Vellore, Madras (India) menunjukkan bahwa telah terjadi gelombang epidemik dalam interval 30 tahun. Gelombang epidemi ini berkaitan dengan populasi dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit ini dan status kekebalan penduduk. Bila kita hubungkan, pada penderita yang sudah pernah terkena penyakit ini akan kecil kemungkinan akan terkena lagi di kemudian harinya. Hal ini dikarenakan tubuh penderita akan membentuk antibodi yang berperan sebagai bentuk kekebalan terhadap penyakit ini. Bila lebih kita cermati lagi memang masalah Chikungunya tidak bisa dipandang sebelah mata. Seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja, kasus ini mungkin bisa menyaingi kepopuleran penyakit yang telah menjadi trend-centre perhatian praktisi kesehatan. Meski tidak menyebabkan kematian, hendaknya kita tetap perlu mewaspadai

penyebaran virus ini. Penanganan kasus ini harus dilakukan secara komprehensif. Kalau tidak, cepat atau lambat hal ini akan menjadi suatu ancaman bagi kita semua. Berbicara mengenai penanganan secara komprehensif sangat erat kaitan dengan anggaran kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah. Ketika saya telusuri ternyata pemerintah menargetkan alokasi sektor kesehatan naik dari sebelumnya 2,3 persen hingga 2,4 persen menjadi 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011. Mengutip penyataan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka acara temu Ilmiah di Fakultas Kedokteran UI beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa peningkatan alokasi anggaran kesehatan diantaranya akan dialokasikan untuk menjalankan aksi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif di sektor kesehatan. Ternyata pemerintah pun mengharap lebih terhadap sektor kesehatan di Indonesia. Pemerintah ingin negeri ini sehat. Rakyat yang sehat merupakan investasi yang sangat berharga bagi negeri ini. Terlebih lagi adanya tuntutan perubahan di tingkat global termasuk Indonesia untuk memajukan ketatakeloloan yang baik di semua lini termasuk sektor kesehatan. Isu kesehatan yang menjadi perhatian utama yakni pencapaian target Millenium Development Goals (MDG) pada tahun 2015. Menteri Kesehatan Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR. PH saat berpidato di IPB bulan April lalu mengatakan bahwa perlu adanya peningkatan dan kesinambungan investasi agar dihasilkan percepatan momentum MDG. Sudah jelas bahwa prinsip health is an investment, not a cost harus menjadi titik tolak dalam kebijakan kesehatan. Saya pun sependapat hendaknya kita mengubah mindset mengenai kesehatan itu sendiri. Kesehatan bukan sesuatu hal yang percuma akan tetapi merupakan sebuah investasi yang sangat berharga dalam kehidupan kita. Tanpa adanya kesehatan, hidup tidak ada artinya apa-apa. Dengan memiliki tubuh yang sehat kita bisa menjalani hidup lebih baik lagi dan menjadi seseorang yang berguna. Bagaimanapun juga penanganan yang segera merupakan kunci untuk mencegah penyebaran yang lebih luas dari penyakit ini. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Upaya penanggulangan KLB Chikungunya adalah kolaborasi yang harmonis antara kegiatan penyelidikan, pengobatan, pencegahan dan surveilans ketat.

Memutus rantai kehidupan virus dengan membasmi nyamuk merupakan pilihan yang solutif. Hal ini senada dengan cara pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue. Akan tetapi fogging memiliki titik lemah tersendiri. Fogging cukup baik tapi ini hanya efektif untuk membasmi nyamuk dewasa. Rakyat tak perlu pesimis. Sebenarnya, ada banyak cara pencegahan selain fogging. Cara ini dinilai efektif sekali cukup dengan melakukan Gerakan Serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan metode 3 M Plus. Pertama, cukup dengan menguras tempat penampungan air minimal seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk Aedes Aegypti. Kedua, menutup rapat tempat penampungan air agar nyamuk tidak bisa bertelur disana. Ketiga, dengan mengubur atau membuang pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas yang dapat menampung air hujan. Gerakan abatisasi dalam 3 M Plus memang sangat bagus. Namun, sejumlah orang yang mengaku petugas kesehatan mengambil keuntungan di Kota Denpasar dengan menjual bubuk abate palsu ke tiap rumah seharga Rp 10 ribu untuk 5 bungkus. Kasus penipuan ini langsung mendapat perhatian Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Hal ini lantara praktik penipuan seperti itu setiap tahun selalu terulang. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Denpasar, Ni Putu Sriarmiti, Sabtu (20/2), bubuk abate palsu memiliki ciri, bungkusnya terbuat dari kertas dan isinya sekilas mirip pasir pantai dicampur garam. Sedangkan bubuk abate asli bungkusnya terbuat dari alumunium foil. Isinya mengandung larvasida atau pembasmi jentik nyamuk. Bubuk abate tidak pernah diperjual belikan. (www.liputan6.com) Melihat kondisi negeri yang seperti saat ini, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan acara komedi yang lagi laris manis. Ngawur, tanpa skenario yang jelas, kadang lucu serta menghibur. Negeri ini memang penuh bermacam cerita. Saat bencana melanda malah dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai mesin uang demi kepentingan pribadi. Dimana hati nurani ini? Apa karena perlu uang segala cara seolah menjadi halal untuk dilakukan? Sungguh kasihan sekali negeri ini. Kita semua pasti masih ingat Gempa 30 September 2009. Gempa yang telah memporakporandakan tatanan kehidupan terutama di wilayah Padang, Pariaman dan sekitarnya. Hidup di bawah tenda bagi para korban mungkin merupakan hal yang sangat

memprihatinkan. Dengan berbekal bantuan seadanya, hidup harus terus tetap berjalan. Hujan panas seolah merupakan hal yang sudah mulai terbiasa. Sebut saja, buk Ani, beliau merupakan salah satu korban gempa di Lubuk Basung. Waktu itu saya ikut dalam tim medis dalam bantuan pengobatan yang berkerjasama dengan Ikatan Remaja Mesjid di Yogyakarta. Beliau bertutur banyak warga menderita ngilu-ngilu di sendi serta badan mereka demam. Diduga mereka mengalami Chikungunya. Apa mungkin hal ini terjadi akibat alam tidak lagi bersahabat dengan manusia. Benarkah memang begitu yang terjadi di negeri ini? Hukum rimba berlaku di negeri ini. Siapa yang berkuasa dialah yang menang. Tak peduli di wilayah manapun. Tak peduli apakah itu menyangkut nyawa manusia. Yang masih punya hati tersingkiri. Yang punya nurani ditertawai. Dunia ini adalah sebuah panggung, dimana semua arogansi menjadi mutlak untuk mendapat materi. Benarkah begitu? Benarkah jiwa kemanusiaan kita telah mati? Seakan penderitaan orang lain tiada lagi berarti? Sepenuhnya saya tidak sependapat dengan hal ini karena masih banyak kepedulian yang masih tampak. Masih banyak uluran-uluran tangan manusia berhati malaikat di negeri ini. Penanganan Chikungunya ini merupakan tugas kita semua. Masih ada bentuk kepedulian anak negeri di Belitung dalam Aksi 1000 Kaki Berantas Chikungunya. Mungkin masih banyak bentuk kepedulian lain dari negeri ini lagi yang belum banyak terdokumentasi oleh media massa. Negeriku ini memang penuh dengan banyak cerita. Penuh masalah yang mungkin tak kunjung habisnya. Tapi, masih ada secercah sinar harapan agar negeri ini menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya kerjasama di segala komponen dalam negeri ini. Agar cerita ini bisa membuat anak bangsa tersenyum saat mengenangnya untuk masa sekarang maupun nanti. Semoga mimpi ini tak hanya sekadar mimpi belaka. Pastinya berakhir dengan kenyataan yang indah. Wacana Indonesia Bebas Rabies Tahun 2015 Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylon kirakira abad ke-23 sebelum masehi (SM) dan Democritus menulis secara jelas bahwa binatang menderita rabies pada tahun 500 SM. Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hidrofobia dilaporkan pada abad pertama oleh Celcus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh

Fracastoro, seorang dokter Italia. Pada tahun 1880, Louis Pasteur mendemonstrasikan adanya infeksi pada susunan saraf pusat. Pengobatan dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya vaksin oleh Louis Pasteur pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada tahun 1960. Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia yang berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, famili Rhabdoviridae, dan menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang.1 Penyebaran rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara bebas rabies seperti Australia, Skandianvia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Pada survey tahun 1999, 45 dari 145 negara dinyatakan tidak terdapat kasus rabies. Jumlah kematian di dunia karena penyakit rabies pada manusia diperkirakan lebih dari 50.000 orang tiap tahunnya dan terbanyak pada negaranegara di Asia dan Afrika yang merupakan daerah endemis rabies. Rabies banyak dijumpai di negara-negara Asia, diantaranya yaitu India, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh, China, Filipina, dan Thailand. Sekarang, bagaimana dengan Indonesia? Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, dr., SpP(K), terdapat sembilan provinsi yang dinyatakan bebas rabies, yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, Papua Barat, dan Papua. Dengan kata lain, terdapat 24 provinsi di Indonesia yang masih belum bebas rabies. Sejak tahun 1997 sampai 2003 dilaporkan lebih dari 86.000 kasus gigitan binatang tersangka rabies ratarata 124.000 kasus per tahun dan yang terbukti rabies adalah 538 orang atau 76 kasus per tahun. Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Esser pada tahun 1884 pada seekor kerbau, kemudian oleh Penning pada tahun 1889 pada seekor anjing, dan oleh Eilerls de Zhaan pada tahun 1889 pada manusia. Semua kasus ini terjadi di Jawa Barat dan setelah itu rabies terus menyebar ke daerah Indonesia lainnya.1,2 Infeksi rabies biasanya terjadi melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar, dan ditularkan pada manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus dengan luka padahost atau melalui membran mukosa. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus melalui luka pada kulit (garukan, lecet, dan luka

robek) atau mukosa. Cara infeksi lainnya yaitu melalui inhalasi pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa ada gigitan, kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium atau vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama dua minggu virus menetap pada tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya virus berkembang biak atau langsung mencapai ujungujung serabut saraf perifer tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membran plasma dan protein ribonukleus kemudian memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetilkolin postsinaptik pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat. Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel Schwann dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm per jam ke susunan saraf pusat melalui cairan serebrospinal. Virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk serabut saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal, ginjal, mata, dan pankreas. Pada tahap berikutnya, virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, dan sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin.1,2 Apabila penyakit ini sudah menunjukkan gejala klinis pada hewan dan manusia, biasanya selalu diakhiri dengan kematian, sehingga menimbulkan rasa cemas dan takut bagi orangorang yang terkena gigitan, kekhawatiran, dan keresahan bagi masyarakat pada umumnya. Gejala klinis terdiri dari tiga stadium, yaitu prodormal, neurologi akut, dan koma. Stadium prodormal berlangsung satu sampai empat hari dan biasanya tidak didapatkan gejala spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi atau abdominal, misalnya ditandai oleh demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia, mual, muntah, diare, dan nafsu makan menurun. Gejala yang lebih spesifik yaitu adanya gatal dan parastesia pada luka bekas gigitan yang sudah sembuh. Pada stadium neurologi akut, tandatanda klinis lain yang dapat dijumpai berupa hiperaktivitas, halusinasi, gangguan kepribadian, meningismus, lesi saraf kranialis, fasikulasi otot, gerakangerakan involunter, fluktuasi suhu badan, dan dilatasi pupil. Kematian paling sering terjadi pada stadium ini yang dapat terjadi akibat gagal nafas yang disebabkan oleh

kontraksi hebat otot-otot pernafasan atau keterlibatan pusat pernafasan dan miokarditis, aritmia, serta henti jantung akibat stimulasi saraf vagus. Apabila tidak terjadi kematian, maka penderita akan memasuki stadium koma yang terjadi dalam sepuluh hari. Pada penderita yang tidak ditangani, penderita dapat meninggal setelah terjadi koma. Tindakan terhadap orang yang digigit atau korban yaitu segera cuci luka gigitan dengan air bersih dan sabun atau detergen selama lima sampai sepuluh menit kemudian bilas dengan air yang mengalir, lalu keringkan dengan kain bersih atau kertas tisu. Luka kemudian diberi obat luka yang tersedia, misalnya obat merah lalu dibalut longgar dengan pembalut yang bersih. Penderita atau korban secepatnya dibawa ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies, penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakakukan, tapi hasilnya tidak menggembirakan. Perawatan intensif hanyalah metode untuk menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgetik secara adekuat untuk memulihkan kekuatan dan nyeri yang terjadi. Pencegahan infeksi virus rabies pada penderita harus dilakukan perawatan luka yang adekuat atau pemberian vaksin anti rabies dan immunoglobulin.1,2 Tanda-tanda penyakit rabies pada hewan dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu bentuk diam atau dumb rabies dan bentuk ganas atau furious rabies. Tanda-tanda rabies bentuk diam adalah terjadi kelumpuhan pada seluruh bagian tubuh, hewan tidak dapat mengunyah dan menelan makanan, rahang bawah tidak dapat dikatupkan, air liur menetes berlebihan, serta tidak ada keinginan menyerang atau mengigit. Selanjutnya hewan akan mati dalam beberapa jam. Sedangkantanda-tanda rabies bentuk ganas adalah hewan menjadi agresif dan tidak lagi mengenal pemiliknya, menyerang orang, hewan dan benda-benda yang bergerak, bila berdiri sikapnya kaku, ekor dilipat diantara kedua paha belakangnya, anak anjing menjadi lebih lincah dan suka bermain, tetapi akan menggigit bila dipegang dan akan menjadi ganas dalam beberapa jam. Tindakan terhadap hewan yang menggigit anjing, kucing, dan kera yang menggigit manusia atau hewan lainnya harus dicurigai menderita rabies adalah bila hewan tersebut adalah hewan

peliharaan atau ada pemiliknya, maka hewan tersebut harus ditangkap dan diserahkan ke Dinas Peternakan setempat untuk diobservasi selama 14 hari. Bila hasil observasi negatif rabies, maka hewan tersebut harus mendapat vaksinasi rabies sebelum diserahkan kembali kepada pemiliknya. Bila hewan yang menggigit adalah hewan liar atau tidak ada pemiliknya, maka hewan tersebut harus diusahakan ditangkap hidup dan diserahkan kepada Dinas Peternakan setempat untuk diobservasi dan setelah masa observasi selesai hewan tersebut dapat dimusnahkan atau dipelihara oleh orang yang berkenan, setelah terlebih dahulu diberi vaksinasi rabies. Bila hewan yang menggigit sulit ditangkap dan terpaksa harus dibunuh, maka kepala hewan tersebut harus diambil dan segera diserahkan ke Dinas Peternakan setempat untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tindakan terhadap anjing, kucing, atau kera yang dipelihara adalah menempatkan hewan peliharaan dalam kandang yang baik, sesuai, dan senantiasa memperhatikan kebersihan kandang dan sekitarnya. Menjaga kesehatan hewan peliharaan dengan memberikan makanan yang baik, pemeliharaan yang baik, dan melaksanakan vaksinasi rabies secara teratur setiap tahun ke Dinas Peternakan atau dokter hewan. Memasang rantai pada leher anjing bila anjing tidak dikandangkan atau sedang diajak berjalan-jalan.2,3 Mengingat akan bahayanya rabies terhadap kesehatan dan ketenteraman masyarakat karena dampak buruknya selalu diakhiri kematian, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan seintensif mungkin, bahkan menuju pada program pembebasan. Rabies merupakan penyakit lama yang hingga saat ini masih menjadi masalah bagi Indonesia. Rabies menjadi perhatian khusus di beberapa negara, antara karena lain memiliki Maluku, angka mortalitas yang Barat, tinggi. Banten, Begitu dan juga di Bali. Indonesia, penyakit ini telah menjadi kejadian luar biasa (KLB) seperti di empat wilayah, Kalimantan Pemerintah sendiri mencanangkan Indonesia bebas rabies pada tahun 2015 nanti. Namun masih banyak kendala yang dihadapi untuk mencapai target tersebut. Pada awalnya, pemerintah mencanangkan Indonesia bebas Rabies pada tahun 2005, sayangnya ini tidak terwujud. Kenapa hal ini dapat terjadi? Lantas, apakah mungkin Indonesia dapat bebas rabies pada tahun 2015 nanti? Ini suatu permasalahan besar untuk pemerintah, Departemen Pertanian, Departmen Kesehatan, Instansi Kesehatan, dan seluruh masyarakat Indonesia, termasuk mahasiswa Kedokteran Indonesia.

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Departemen Kesehatan, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, dr., SpP(K) mengatakan untuk dapat mewujudkan Indonesia bebas rabies pada tahun 2015, maka harus dilakukan penanganan terhadap hewan penular rabies, menekan jumlah penderita rabies, dan mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Untuk itu diperlukan pengendalian secara terpadu, salah satunya dengan membuat rabies center di puskesmas atau rumah sakit yang diberikan fasilitas vaksin, penyuluhan, dan melindungi kelompok berisiko tinggi terkena virus rabies. Adanya rabies center diharapkan masyarakat mengetahui bahwa rabies ditularkan oleh gigitan hewan penular rabies, bahaya rabies yang bisa mengakibatkan kematian, pertolongan atau tindakan pertama apa yang harus dilakukan oleh masyarakat dan keluarga setelah digigit. Langkah-langkah terpadu yang bisa dilakukan dalam mewujudkan bebas rabies, antara lain: 1. Program vaksin dan eliminasi hewan penular rabies 2. Observasi hewan 3. Pengawasan lalu lintas hewan penular rabies 4. Penyuluhan 5. Pendataan dan registrasi anjing 6. Pengamatan dan penyidikan penyakit 7. Penertiban dan pengawasan pemeliharaan binatang 8. Peran serta masyarakat 9. Tindakan terhadap hewan penular rabies serta kondisi penderita Selain langkah-langkah tersebut, nantinya akan dibentuk tim koordinasi rabies di semua jenjang administrasi yang melibatkan bagian peternakan dari Departemen Pertanian, bagian Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) dari Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri. Pokok kegiatan yang seharusnya dilaksanakan oleh sektor peternakan, antara lain: 1. Vaksinasi hewan yang dilaksanakan melalui vaksinasi masal (bulan rabies) 2. Pengawasan lalu lintas hewan, melalui Perda yang mengacu kepada UU.No,6 1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan 3. Eliminasi anjing-anjing liar atau tidak ada pemiliknya dengan melakukan pengamatan langsung di tempattempat persembunyian atau sarang-sarang anjing

Pokok-pokok yang seharusnya dilaksanakan oleh Sektor Kesehatan : 1. Vaksinasi Anti Rabies pada kasus gigitan hewan tersangka rabies melalui pemberian Vaksinasi Anti Rabies (VAR) atau kombinasi Vaksinasi Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) di puskesmas dan rumah sakit 2. Pencucian luka gigitan hewan-hewan tersangka rabies dengan sabun atau detergen lain untuk mengurangi masuknya kuman ke dalam tubuh 3. Melaksanakan pengawasan lebih lanjut terhadap pengobatan melalui kunjungan petugas puskesmas ke tempat penderita 4. Melakukan pelacakan kasus gigitan tambahan melalui penyelidikan epidemiologi, terutama daerah-daerah yang termasuk KLB 5. Melakukan rujukan penderita rabies ke rumah sakit guna perawatan intensif Rabies ini bisa dicegah dengan vaksin, tapi nantinya diharapkan terdapat vaksin yang dapat diberikan melalui makanan atau melalui oral, sehingga diharapkan semua masyarakat Indonesia terutama yang berisiko tinggi terkena virus rabies dapat terhindar dari penyakit ini. Bila seluruh pokok-pokok kegiatan tersebut dilaksanakan dengan penuh komitmen sejak diresmikan pada tahun 2005 dan diperlengkap oleh kesadaran individu mengenai epidemiologi, tanda, jejala, preventif, dan kuratif rabies oleh seluruh masyarakat, maka dapat menimalisasi jumlah penderita rabies yang semakin membuming dan akhirnya dapat terwujud Indonesia Bebas Rabies Tahun 2005. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan rabies merupakan prioritas kedua setelah flu burung H5N1 dalam kategori penyakit zoonosis. Angka terkena rabies di Indonesia sejak tahun 2005 cenderung di atas 100 orang setiap tahunnya dan paling banyak menyerang anakanak usia lima sampai sembilan tahun. Maka jangan menganggap remeh penyakit rabies, karena jika tidak ditangani dengan baik tingkat kematiannya hampir mencapai 100 persen. Untuk itu mari saling bekerja sama dalam mewujudkan Indonesia bebas rabies pada tahun 2015.

You might also like