You are on page 1of 23

LAPORAN PENDAHULUAN OSTEOMYELITIS

DISUSUN OLEH :

Kadek Eddy Kurniwanan Putu Raka Widia Paramita

(C1109017) (C1109032)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA USADA BALI MANGUPURA 2012

KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Pengertian Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan atau kortek tulang dapat berupa eksogen (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hemotogen (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). (Reeves, 2001:257). Osteomyelitis adalah infeksi substansi tulang oleh bakteri piogenik (Overdoff, 2002:571). Sedangkan menurut Bruce, osteomyelitis adalah infeksi pada tulang yang disebabkan oleh mikroorganisme. Osteomyelitis biasanya merupakan infeksi bakteri, tetapi mikrobakterium dan jamur juga dapat menyebabkan osteomyelitis jika mereka menginvasi tulang (Ros, 1997:90). Menurut Price (1995:1200). Osteomyelitis adalah infeksi jaringan tulang. Osteomyelitis akut adalah infeksi tulang panjang yang disebabkan oleh infeksi lokal akut atau trauma tulang, biasanya disebabkan oleh Escherichia coli, staphylococcus aureus, atau streptococcus pyogenes (Tucker, 1998:429). Jadi pengertian osteomyelitis yang paling mendasar adalah infeksi jaringan tulang yang mencakup sumsum atau kortek tulang yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Osteomyelitis dapat timbul akut atau kronik. Bentuk akut dicirikan dengan adanya awitan demam sistemik maupun manifestasi lokal yang berjalan dengan cepat. Osteomyelitis kronik adalah akibat dari osteomyelitis akut yang tidak ditangani dengan baik (Price, 1995:1200).

B. Insidensi Osteomyelitis ini cenderung terjadi pada anak dan remaja namun demikian seluruh usia bisa saja berisiko untuk terjadinya osteomyelitis pada umumnya kasus ini banyak terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 2:1. C. Etiologi Penyebab paling sering adalah staphylococcus aerus (70% - 80%). Organisme penyebab yang lain adalah salmonela streptococcus dan pneumococcus (Overdoff, 2002:571). Luka tekanan, trauma jaringan lunak, nekrosis yang berhubungan dengan keganasan dan terapi radiasi serta luka bakar dapat menyebabkan atau memperparah proses infeksi tulang. Infeksi telinga dan sinus serta gigi yang berdarah merupakan akibat dari osteomyelitis pada rahang bawah dan tulang tengkorak. Faktur compound, prosedur operasi dan luka tusuk yang dapat melukai tulang pokok sering menyebabkan traumatik osteomyelitis.

Osteomyelitis sering ditemukan pada orang yang lebih tua karena factor penyebabnya berhubungan dengan penuaan (Reeves, 2001:273). D. Patofisiologi Osteomyelitis paling sering disebabkan oleh staphylococcus aureus. Organisme penyebab yang lain yaitu salmonella, streptococcus, dan

pneumococcus. Metafisis tulang terkena dan seluruh tulang mungkin terkena. Tulang terinfeksi oleh bakteri melalui 3 jalur : hematogen, melalui infeksi di dekatnya atau secara langsung selama pembedahan. Reaksi inflamasi awal menyebabkan trombosis, iskemia dan nekrosis tulang. Pus mungkin menyebar ke bawah ke dalam rongga medula atau menyebabkan abses superiosteal. Suquestra

tulang yang mati terbentuk. Pembentukan tulang baru dibawah perioteum yang terangkan diatas dan disekitar jaringan granulasi, berlubang oleh sinus-sinus yang memungkinkan pus keluar (Overdoff, 2002:541, Rose, 1997:90).

E. Pathway
Proses penuaan, Luka tekanan, trauma jaringan lunak, trauma luka tembus, nekrose berhubungan dengan keganasan, terapi radiasi serta luka bakar Faktur compound, prosedur operasi, luka tusuk yang melukai tulang

Staphylococcus aureus Kuman masuk Metafisis tulang Reaksi inflamasi Pertahanan tubuh menurun Osteomyelitis

Kerusakan jaringan tulang Infeksi berlebihan Abses tulang Nekrosis tulang pembentukan squestrum) Perubahan bentuk (ankylosing) Fungsi tulang Menurun

Operasi (Pembedahan)

Hospitaslisasi

Terputusnya Terputusnya kontinuitas kontinuitas jaringan jaringan Merangsang Merangsang syaraf mieline syaraf mieline Alarm nyeri Alarm nyeri

Insisi pembedahan Port deentry Kuman masuk Pertahanan sekunder menurun

Gerak terbatas Imobilisasi kesalahan interpretasi

Pasien banyak bertanya

Gangguan Rasa Nyaman : Nyeri

Kemampuan melakukan pergerakan menurun

F. Klasifikasi G.

Risti Penyebaran Infeksi

Kurang Pengetahuan

Gangguan Mobilitas Fisik

Ada dua macam infeksi tulang menurut Robbins dan Kumar (1995:463-464) yaitu : 1) Osteomyelitis piogenik hematogen Biasanya terjadi pada anak-anak, osteomyelitis piogenik hematogen terutama disebabkan oleh staphylococcus aureus kemudian diikuti oleh bacillus colli. Kecuali samonela, osteomyelitis hematogen biasanya bermanisfestasi sebagai suatu penyakit demam sistemik akut yang disertai dengan gejala nyeri setempat, perasaan tak enak, kemerahan dan pembengkakan. 2) Osteomyelitis tuberculosis Timbulnya secara tersembunyi dan cenderung mengenai rongga sendi. Daerah yang sering kena adalah tulang-tulang panjang dari ekstremitas dan tulang belakang. Osteomyelitis tuberkulosis dapat menyebabkan deformitas yang serius (kifosis, skoliosis) berkaitan dengan destruksi dan perubahan sumbu tulang belakang dari posisi normalnya. H. Manifestasi Klinis Gambaran klinis osteomielitis berkembang secara progenesis penyakit, antara lain : 1. Osteomyelitis akut berkembang secara progresif atau cepat. Pada keadaan ini, mungkin dapat ditemukan adanya infeksi bakteri pada kulit dan saluran nafas atas. Gejala lain dapat berupa nyeri konstan pada daerah infeksi atau nyeri tekan dan terdapat gangguan fungsi anggota gerak yang bersangkutan. Gejala umum timbul akibat bakteremia dan septikemia yang berupa panas tinggi, malaise, serta nafsu makan

berkurang. Pada orang dewasa, lokasi infeksi biasanya pada daerah torako lumbal yang terjadi akibat torako sintesis atau prosedur urologis dan dapat ditemukan adanya riwayat diabetes mellitus, malnutrisi, adiksi obatobatan atau pengobatan dengan imunosupresif. Oleh karena itu, riwayat tentang hal tersebut perlu ditanyakan. 2. Osteomielitis hematogen subakut. Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah atrofi otot, nyeri lokal, sedikit pembengkakan, dan dapat pula lansia menjadi pincang. Terdapat nyeri pada area sekitar sendi selama beberapa minggu atau mungkin berbulan-bulan. Suhu tubuh lansia biasanya normal. Pada pemerikasaan laboratorium, leukosit umumnya normal, tetapi laju endap darah meningkat. Pada foto rontgen, biasanya ditemukan kavitas berdiameter 12 cm terutama pada aderah metafisis dari tibia dan femur atau kadangkadang pada daerah diafisis tulang panjang. 3. Osteomielitis kronis Lansia sering mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari luka sinus setelah operasi, yang bersifat menahun. Kelainan kadang-kadang disertai demam dan nyeri local yang hilang timbul di daerah anggota gerak tertentu. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya sinus, fistel, atau sikatriks bekas operasi dengan nyeri tekan. Mungkin dapat ditemukan sekuestrum yang menonjol keluar melalui kulit. Biasanya terdapat riwayat fraktur terbuka atau osteomielitis pada lansia.

I. Pemeriksaan Diagnostik 1. Scan tulang dengan menggunakan nukleotida berlabel radioaktif dapat memperlihatkan perasangan di tulang (MRI) 2. Analisis darah dapat memperlihatkan peningkatan hitung darah lengkap dan laju endap darah yang mengisyaratkan adanya infeksi yang sedang berlangsung. Neutrofil meningkat (N: 2,2 - 7,5 109/L). LED meningkat(N: 1-10 mm/jam) 3. Aspirasi, untuk memperoleh pus dari subkutis, subperiost atau fokus radang di metafisis 4. Complement Reactive Protein (CRP) meningkat (N:<5 mg/L). CRP dan LED yang tinggi sering dijumpai pada awal infeksi. J. Penatalaksanaan Sasaran utamanya adalah Pencegahan osteomielitis. Penanganan infeksi lokal dapat menurunkan angka penyebaran hematogen. Penanganan infeksi jaringan lunak pada mengontrol erosi tulang. Pemilihan pasien dengan teliti dan perhatian terhadap lingkungan operasi dan teknik pembedahan dapat menurunkan insiden osteomielitis pascaoperasi. Antibiotika profilaksis, diberikan untuk mencapai kadar jaringan yang memadai saat pembedahan dan selama 24 jam sampai 48 jam setelah operasi akan sangat membantu. Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptik akan menurunkan insiden infeksi superfisial dan potensial terjadinya osteomielitis. Daerah yang terkana harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran daerah.

Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi, Kultur darah dan swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu patogen. Begitu spesimen kultur telah diperoleh, dimulai pemberian terapi antibiotika intravena, dengan asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap penisilin semi sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengentrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus menerus tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah terkontrol, antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan. Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Tetapi antibitika dianjurkan. Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan

pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan

yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen. Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpengisap untuk mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dengan pemberian irigasi ini. Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah; perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian 1. Identitas Nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis medis. 2. Keluhan Utama Alasan yang menyebabkan lansia masuk ke rumah sakit. Biasanya karena adanya gangguan pada sistem muskoloskletal. 3. Genogram Mengkaji silsilah keluarga yang berkaitan dengan penyakit osteomyelitis. 4. Riwayat Kesehatan Sekarang Sejak kapan timbul keluhan, apakan ada riwayat trauma. Hal-hal yang menimbulkan gejala. Timbulnya gejala mendadak atau perlahan. Timbulnya untuk pertama kalinya atau berulang. Perlu ditanyakan pula tentang adatidaknya gangguan pada sistem lainnya. Kaji lansia untuk mengungkapkan alasan lansia memeriksakan diri atau mengunjungi fasilitas kesehatan, keluhan utama pasien dan gangguan muskuloskeletal meliputi : a) Nyeri : identifikasi lokasi nyeri. Nyeri biasanya berkaitan dengan pembuluh darah, sendi, fasia atau periosteum. Tentukan kualitas nyeri apakah sakit yang menusuk atau berdenyut. Nyeri berdenyut biasanya berkaitan dengan tulang dan sakit berkaitan dengan otot, sedangkan

nyeri yang menusuk berkaitan dengan fraktur atau infeksi tulang. Identifikasi apakah nyeri timbul setelah diberi aktivitas atau gerakan. Nyeri saat bergerak merupakan satu tanda masalah persendian. Degenerasi panggul menimbulkan nyeri selama badan bertumpu pada sendi tersebut. Degenerasi pada lutut menimbulkan nyeri selama dan setelah berjalan. Nyeri pada osteoartritis makin meningkat pada suhu dingin. Tanyakan kapan nyeri makin meningkat, apakah pagi atau malam hari. Inflamasi pada bursa atau tendon makin meningkat pada malam hari. Tanyakan apakah nyeri hilang saat istirahat. Apakah nyerinya dapat diatasi dengan obat tertentu. b) Kekuatan sendi : tanyakan sendi mana yang mengalami kekakuan, lamanya kekakuan tersebut, dan apakah selalu terjadi kekakuan. Beberapa kondisi seperti spondilitis ankilosis terjadi remisi kekakuan beberapa kali sehari. Pada penyakit degenarasi sendi sering terjadi kekakuan yang meningkat pada pagi hari setelah bangun tidur (inaktivitas). Bagaimana dengan perubahan suhu dan aktivitas. Suhu dingin dan kurang aktivitas biasanya meningkatkan kekakuan sendi. Suhu panas biasanya menurunkan spasme otot. c) Bengkak : tanyakan berapa lama terjadi pembengkakan, apakah juga disertai dengan nyeri, karena bengkak dan nyeri sering menyertai cedera pada otot. Penyakit degenerasi sendi sering kali tidak timbul bengkak pada awal serangan, tetapi muncul setelah beberapa minggu terjadi nyeri. Dengan istirahat dan meninggikan bagian tubuh, ada yang dipasang gips.

Identifikasi apakah ada panas atau kemerahan karena tanda tersebut menunjukkan adanya inflamasi, infeksi atau cedera. d) Deformitas dan imobilitas : tanyakan kapan terjadinya, apakah tibatiba atau bertahap, apakah menimbulkan keterbatasan gerak. Apakah semakin memburuk dengan aktivits, apakah dengan posisi tetentu makin memburuk. Apakah lansia menggunakan alat bantu (kruk, tongkat, dll) e) Perubahan sensori : tanyakan apakah ada penurunan rasa pada bagian tubuh tertentu. Apakah menurunnya rasa atau sensasi tersebut berkaitan dengan nyeri. Penekanan pada syaraf dan pembuluh darah akibat bengkak, tumor atau fraktur dapat menyebabkan menurunnya sensasi. 5. Riwayat Kesehatan Keluarga

Riwayat penyakit keluarga perlu diketahui untuk menentukan hubungan genetik yang perlu diidentifikasi misalnya (penyakit diabetes melitus yang merupakan predisposisi penyakit sendi degeneratif, TBC, artritis, riketsia, osteomielitis, dll) 6. Riwayat Lingkungan Hidup Pengkajian terhadap lingkungan hidup lansia. Seperti lingkungan keluarga, tetangga, dan lain-lain. 7. Riwayat Rekreasi Pengkajian terhadap seberapa seringnya lansia melakukan rekreasi. 8. Sumber/Sistem Pendukung Pengkajian terhadap siapa saja sistem pendukung pada lansia, seperti pasangan, anak, teman, saudara, atau tetangga. 9. Deskripsi Hari Khusus

Pengkajian terhadap hari khusus yg di miliki oleh lansia. 10. Riwayat Kesehatan dahulu Data ini meliputi kondisi kesehatan individu. Data tentang adanya efek langsung atau tidak langsung terhadap muskuloskeletal, misalnya riwayat trauma atau kerusakan tulang rawan, riwayat artritis dan osteomielitis. 11. Pemeriksaan Fisik (Tinjauan Sistem) Pemeriksaan Fisik secara umum (keadaan umum, integument, kepala, mata, telinga, hidung dan sinus, mulut dan tenggorokan, leher, payudara, pernafasan, kardiovaskuler, gastrointestinal, perkemihan, muskuloskletal, sistem saraf pusat, sistem endokrin, reproduksi) tidak mengalami gangguan sehingga tidak menjadi pengkajian secara khusus. Namun biasanya pada sistem muskuloskeletal perlu dikaji lebih mendalam. Adapun hal-hal yang perlu dikaji pada skelet tubuh, yaitu : 1) Adanya deformitas dan ketidaksejajaran yang dapat disebabkan oleh penyakit sendi 2) Pertumbuhan tulang abnormal. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya tumor tulang. 3) Pemendekan ekstrimitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak sejajar secara anatomis 4) Angulasi abnormal pada tulang panjang, gerakan pada titik bukan sendi, teraba krepitus pada titik gerakan abnormal, menunjukkan adanya patah tulang.

Pengkajian Tulang Belakang

Deformitas tulang belakang yang sering terjadi perlu diperhatikan yaitu : 1) Skoliosis (deviasi kurvantura lateral tulang belakang) o o o Bahu tidak sama tinggi Garis pinggang yang tidak simetris Skapula yang menonjol

Skoliosis tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), kelainan kongenital, atau akibat kerusakan otot para-spinal, seperti poliomielitis. 2) Kifosis (kenaikan kurvantura tulang belakang bagian dada). Sering terjadi pada lansia dengan osteoporosis atau penyakti neuromuskular. 3) Lordosis (membebek, kurvantura tulang bagian pinggang yang berlebihan. Lordosis bisa ditemukan pada wanita hamil Pada saat inspeksi tulang belakang sebaiknya baju pasien dilepas untuk melihat seluruh punggung, bokong dan tungkai. Pemeriksan kurvantura tulang belakang dan kesimetrisan batang tubuh dilakukan dari pandangan anterior, posterior dan lateral. Dengan berdiri di belakang pasien, perhatikan setiap perbedaan tinggi bahu dan krista iliaka. Lipatan bokong normalnya simetris. Kesimetrisan bahu, pinggul dan kelurusan tulang belakang diperiksa dalam posisi pasien berdiri tegak dan membungkuk ke depan.

Pengkajian Sistem Persendian

Pengkajian sistem perssendian dengan pemeriksaan luas gerak sendi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas dan adanya benjolan. Pemeriksaan sendi menggunakan alat goniometer, yaitu busur derajat yang dirancang khusus untuk evakuasi gerak sendi. 1) Jika sendi diekstensikan maksimal namun masih ada sisa fleksi, luas gerakan ini diangap terbatas. Keterbatasan ini dapat disebabkan oleh deformitas skeletal, patologik sendi, kontraktur otot dan tendon sekitar. 2) Jika gerakan sendi mengalami gangguan atau nyeri, harus diperiksa adanya kelebihan cairan dalam kapsulnya (efusi), pembengkakan dan inflamasi. Tempat yang paling sering terjadi efusi adalah pada lutut. Palpasi sendi sambil sendi digerakkan secara pasif akan memberi informasi mengenai integritas sendi. Suara gemeletukdapat

menunjukkan adanya ligamen yang tergelncir di antara tonjolan tulang. Adanya krepitus karena permukaan sendi yang tidak rata ditemukan pada pasien artritis. Jaringan sekitar sendi terdapat benjolan yang khas ditemukan pada pasien : 1) Artritits reumatoid, benjolan lunak di dalam dan

sepanjang tendon. 2) 3) Gout, benjolan keras di dalam dan di sebelah sendi Osteoatritis, benjolan keras dan tidak nyeri merupakan

pertumbuhan tulang baru akibat destruksi permukaan kartilago

pada tulang dalam kapsul sendi, biasanya ditemukan pada lansia. Kadang-kadang ukuran sendi menonjol akibat artrofi otot di proksimal dan distal sendi sering terlihat pada artritis reumatoid sendi lutut. Pengkajian Sistem Otot

Pengkajian sistem otot meliputi kemampuan mengubah posisi, kekuatan dan koordinasi otot, serta ukuran masing-masing otot. Kelemahan sekelompok otot menunjukkan berbagai kondisi seperti polineuropati, gangguan elektrolit, miastenia grafis, poliomielitis dan distrofi otot. Palpasi otot dilakukan ketika ekstrimitas rileks dan digerakkan secara pasif, perawat akan merasakan tonus otot. Kekuatan otot dapat diukur dengan meminta pasien menggerakkan ekstrimitas dengan atau tanpa tahanan. Misalnya, otot bisep yang diuji dengan meminta klien meluruskan lengan sepenuhnya, kemudian fleksikan lengan melawan tahanan yang diberikan oleh perawat. Tonus otot (kontraksi ritmik otot) dapat dibangkitkan pada pergelangan kaki dengan dorso-fleksi kaki mendadak dan kuat, atau tangan dengan ekstensi pergelangan tangan. Lingkar ekstrimitas harus diukur untuk memantau pertambaan ukuran akibat edema atau perdarahan, penurunan ukuran akibat atrofi dan dibandingkan ekstrimitas yang sehat. Pengukuran otot dilakukan di

lingkaran terbesar ekstrimitas, pada lokasi yang sama, pada posisi yang sama dan otot dalam keadaan istirahat. 0 (zero) 1 (trace) 2 (poor) Gradasi Ukuran Kekuatan Otot Tidak ada kontraksi saat palpasi, paralisis Terasa adanya kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan Dengan bantuan atau menyangga sendi dapat melakukan gerakan sendi (range of motion, ROM) 3 (fair) secara penuh Dapat melakukan gerakan sendi (ROM) secara penuh dengan melawan gravitasi, tetapi tidak dapat melawan 4 (good) 5 (normal) tahanan Dapat melakukan ROM secara penuh dan dapat melawan tahanan tingkat sedang Dapat melakukan gerakan sendi (ROM) secara penuh dan dapat melawan gravitasi dan tahanan

12. Pengkajian Psikososial dan Spiritual a. Psikososial

Kemampuan sosialisasi lansia pada saat sekarang, sikap lansia dengan orang lain dan harapan lansia dalam melakukan sosialisasi. b. Identidikasi Masalah Emosional

Pertanyaan tahap 1 dan 2. Masalah emosional (+) atau Negatif (-) c. Spiritual

Kaji agama, kegiatan keagamaan, konsep/keyakinan tentang kematian. 13. Pengkajian Fungsional Lansia a. Indeks kata

b.

Modifikasi dari Barthel Indeks

14. Pengkajian Status Mental Gerontik a. Identifikasi tingkat intelektual dengan Short Portable Mental

Status Questioner (SPSMQ) b. Identifikasi aspek kognitif dan fungsi mental dengan

menggunakan MMSE (Mini Mental Status Exam) 15. Skala Psikologis Menentukan skala depresi pada lansia.

B. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan.

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan keterbatasan rentang gerak 3. Risiko Terhadap Perluasan Infeksi berhubungan dengan pembentukan abses tulang. 4. Kurang Pengetahuan tentang pengobatan

C. Intervensi Keperawatan No 1 Diagnosa Keperawatan Nyeri b/d inflamasi dan Tujuan & Kriteria Hasil Tujuan : Setelah dilakukan Intervensi 1. Pantau tingkat dan Rasional 1. Tingkat dan intensitas nyeri merupakan data

pembengkakan

perawatan klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang Kriteria Hasil : - Skala nyeri 0-4 - Grimace (-) - Gerakan melokalisir nyeri (-)

intensitas nyeri

2. Lakukan imobilisasi dengan bidai

3. Tinggikan ekstrimitas yang nyeri

4. Ajarkan teknik relaksasi (nafas dalam)

5. Kolaborasi pemberian analgesik sesuai program terapi

dasar yang dibutuhkan perawat sebagai pedoman pengambilan intervensi, sehingga setiap perubahan harus terus dipantau. 2. Imobilisasi dapat membantu meringankan tugas tulang dalam mempertahankan postur tubuh sehingga tidak terjadi kekakuan daerah sekitar yang menyebabkan nyeri. 3. Peninggian ekstrimitas dapat membantu meningkatkan aliran balik vena yang menyebaban pembengkakan berkurang sehingga penekanan daerah cedera menurun. 4. Teknik relaksasi (nafas dalam ) dapat membantu menurunkan tingkat ketegangan sehingga diharapkan tekanan otot-otot sekitar daerah cedera menurun 5. Analgesik berfungsi untuk melakukan hambatan pada sensor nyeri sehingga sensasi nyeri pada klien berkurang. 1. Imobilisasi dapat mengurangi pergerakan daerah cedera sehingga tidak terjadi kerusakan yang berlanjut, hal ini juga dapat membantu menopang berat tubuh. 2. Klien mungkin baru mengenal dan tidak dapat menggunakan alat bantu mobilitas seperti kruk atau walker sehingga peran perawat adalah memberikan pendidikan

Gangguan mobilitas fisik b/d nyeri, keterbatasan rentang gerak

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan, klien dapat melakukan mobilisasi dengan atau tanpa bantuan perawat Kriteria hasil : - Klien dapat melakukan ROM aktif - Klien dapat berpindah dengan bantuan alat

1. Lakukan imobilisasi dengan bidai pada daerah yang mengalami kerusakan. 2. Ajarkan penggunaan alat bantu berpindah

3. Jelaskan pada pasien tetntang pentingnya pembatasan aktivitas

4. Latihan ROM aktif dan perpindahan maksimal 2 kali dalam sehari 5. Anjurkan partisipasi partisipasi aktif sesuai kemampuan dalam kegiatan sehari-hari 3 Risiko Terhadap Perluasan Infeksi berhubungan dengan pembentukan abses tulang. Setelah dilakukan perawatan, tidak terjadi perluasan infeksi pada klien Kriteria hasil : - Tidak ada tandatanda infeksi - WBC Normal 1. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang di programkan 2. Tinggikan ekstremitas yang sakit, instruksikan klien / bantu dalam latihan rentang gerak pada ekstremitas yang sakit dan tak sakit 3. Beri penyanggah

tentang cara penggunaannya. 3. Klien mungkin tidak mengerti mengenai tujuan pembatasan gerak, sehingga perawat harus memberikan penyuluhan tentang pentingnya pembatasan aktivitas pada pasien cedera. Pemahaman klien memungkinkan peningkatan daya kooperatif. 4. Latihan ROM dapat mencegah penurunan masa otot, kontraktur dan peningkatan vaskularisasi. Sehingga tidak timbul komplikasi yang tidak diharapkan 5. Partisipasi aktif dapat membantu pemulihan kesehatan dan melatih kekuatan otot, sehingga diharapkan klien dapat mempertahankan kekuatannya. 1. Agar gangguan mobilitas fisik dapat berkurang

2. Dapat meringankan masalah gangguan mobilitas fisik yang dialami klien

3. Dapat meringankan

pada ekstremitas yang sakit pada saat bergerak 4. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas 5. Berikan dorongan pada klien untuk melakukan AKS dalam lingkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan 6. Ubah posisi secara periodik 7. Kolaborasi dengan Fisioterapi / aoakulasi terapi

masalah gangguan mobilitas yang dialami klien 4. Agar klien tidak banyak melakukan gerakan yang dapat membahayakan 5. Mengurangi terjadinya penyimpangan penyimpangan yang dapat terjadi

6. Mengurangi gangguan mobilitas fisik 7. Kolaborasi interprofesional membantu proses perawatan klien lebih efektif 1. Mengetahui tingkat pemahaman dan pengetahuan pasien tentang penyakitnya serta indikator dalam melakukan intervensi. 2. Meningkatkan pemahaman klien tentang kondisi kesehatan. 3. Mengurangi tingkat kecemasan dan membantu meningkatkan kerjasama dalam mendukung program terapi yang diberikan

Kurang Pengetahuan tentang pengobatan

Setelah diberikan 1. Kaji tingkat tindakan pengetahuan keperawatan, pasien. diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan mengenai kondisi dan 2. Berikan penanganan yang informasi pada bersangkutan, pasien tentang Kriteria Hasil : perjalanan - Melaporkan penyakitnya. pemahaman 3. Berikan mengenai penyakit penjelasan pada yang dialami pasien tentang - Menanyakan setiap tindakan tentang pilihan terapi keperawatan yang merupakan yang diberikan. petunjuk kesiapan belajar DAFTAR PUSTAKA

Chang, Ester. Daly, John. Elliott, Daug. 2009. Patofisiologi ; Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta : EGC Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC Fakultas Kedokteran UI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, editor soelarto reksoprojo, Tangerang: Binarupa Aksara Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Konsep, Prosess dan Praktik. Jakarta : EGC Robbins, Stanley E. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta : EGC Sjamsuhidayat, R. de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar llmu Bedah. Jakarta : EGC Smeltzer, Susane C. Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC Suratun, at all. 2008. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC Doenges, Marilyn E, dkk,. 2001. Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

You might also like