You are on page 1of 6

BAB I Dasar Berlakunya Hukum Perikatan Islam di Indonesia

A. Pendahuluan Dalam Literatur Ilmu Hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai istilah Hukum Perikatan untuk menggambarkan ketentuan hukum yang mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah hukum Perutangan, Hukum Perjanjian ataupun Hukum Kontrak. Istilah Hukum Perikatan Islam dipakai dalam buku ini, dimaksudkan sebagai padanan pengertian dari Hukum Perikatan dalam Hukum Perdata Barat yang dikaji berdasarkan Hukum Islam. Walaupun dalam bentuk tradisional, materi bahasa tentang Hukum Perikatan Islam ini merupakan bagian dari bidang Hukum muamalah dalam Kitab-kitab fiqih yang meliputi cangkupan lebih luas, seperti perkawinan (akad nikah), wakaf, kontrak kerja dan sebagainya. 1. Pengertian Hukum Perikatan Islam Hukum peerikatan Islam yang dimaksud disini adalah bagian dari Hukum Islam dalam Bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonominya. Pengertian Hukum Perikatan Islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH. Adalah merupakan seperangkat kaidah hokum yang bersumber dari Al-quran, As-sunnah (Al-Hadits), dan Ar-Rayu (ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi. Lanjutnya, beliau menerangkan bahwa kaidah-kaidah hokum yang berhubungan langsung dengan konsep Hukum Perikatan Islam ini adalah yang bersumber dari Al-Quran dan Hdits Nabi Muhammad SAW (As-sunnah). Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perikatan dalam Hukum Perikatan Islam ini mengandung proteksi, yakni untuk member perlindunganperlindungan kepada manusia, terhadap kelemahan sifat-sifat manusia yang berpotensi untuk saling menguasai atau melampaui batas-batas hak orang lain. Hukum asal perbuatan dalam bidang muamalah adalah kebolehan Jaiz atau Halal. Inilah yang memungkinkan Hukum Perikatan Islam dapat mengikuti perkembangan zaman.

2. Alasan Hukum Perikatan Islam Diajarkan di Fakultas Hukum Alasan-alasan tersebut ialah: a. Alasan Sosiologis, Mayoritas penduduk Indonesia mengaku beragama Islam. Untuk menjalankan muamalah mereka di bidang perikatan, khususnya dalam perniagaan dan kegiatan usaha, diperlukan wawasan yang luas bagi para calon ahli hokum yang kelak akan bertugas dalam penyusunan kontrak, penyelesaian perkara ytang berhubungan dengan kebendaan, dll b. Alasan Yuridis, Secara formal yuridis hingga saat ini belum ada pengaturan tersendiri mengenai Hukum Perikatan Islam di Indonesia, namun berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, umat Islam dapat menjalankan ketentuan perikatan atas dasar keyakinan agama mereka. Terdapat pasal-pasal pada undang-undang mengenai berlakunya Hukum Perikatan Islam, seperti Pasal 1 butir 13 UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. c. Alasan Praktis, Bagi para Mahasiswa di Fakultas Hukum untuk mempelajari salah satu system transaksi yang kini berkembang dalam praktik perniagaan di tanah air dan dunia internasional karena telah banyak berdirinya bankbank atau lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang menggunakan system Islam. B. Dasar Filosofis Berlakunya Hukum Perikatan Islam di Indonesia Menurut Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH., ada dua hal besar yang mendasari berlakunya Hukum Perikatan Islam. Pertama, ialah Akidah yaitu keyakinan yang memaksa pelaksanaanya dalam bertransaksi. Kedua, ialah Syariah, sepanjang mengenai norma atau aturan-aturan hukum yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi transedental atau vertikal, dikenal dengan sebutan hablum-minallah yang merupakan pertanggung jawaban kolektif manusia terhadap Allah, sedangkan dimensi lainnya adalah dimensi horizontal yang dikenal dengan sebutan hablum-minan-naas yang mengatur interkasi antara manusia.

Kedua dimensi inilah yang mempengaruhi perilaku umat Islam dalam aktivitas transaksinya sehari-hari. Hal yang merupakan pelaksanaan Hukum Perikatan Islam mengenai asas suka sama suka (antaradhin) yang bersumber dari ketentuan al-Quran surat an-Nisa (4) ayat 29. Pada QS 48:10 digambarkan bahwa kesertaan Tuhan dalam tiap transaksi yang dilakukan hambanya. Pada Pasal 29 UUD 1945 memberikan kebebasan pelaksanaan ajaran agama bagi tiap penduduk Negara. Hal ini terutama dilandasi oleh sila pertama pancasila sebagai dasar falsafah Negara kita yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Syariat atau hokum syarak adalah ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan subjek hukum, yaitu berupa melakukan suatu perbuatan, Memilih, atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang. Fiqih adalah ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syarak yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci. Syariat mempunyai sifat tetap, tidak berubah, dan seharusnya tidak terdapat perbedaan pendapat. Shalat, Zakat, Puasa Ramadhan, dan Haji adalah syariat. Dilihat dari keabsahannya, siyasah (peraturan buatan manusia) oleh Prof. A.W. Khallaf dibagi atas dua macam, yakni siyasah yang adil dan siyasah yang zalim. Tolok ukur keabsahan ini adalah wahyu (agama). Siyasah yang adil adalah siyasah yang haq (benar), yaitu peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan agama. Sedangkan siyasah yang zalim adalah siyasah yang batil, yaitu peraturan perundang-undangan buatan manusia yang bertentangan dengan agama. C. Kedudukan Hukum Perikatan Islam Dalam Tata Hukum Indonesia 1. Sebelum Kedatangan Belanda Awal proses islami kepulauan Indonesia dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan. 2. Setelah Kedatangan Belanda a. Masa VOC (1602-1800), berfungsi sebagai pedagang dan badan pemerintahan, karena dalam praktiknya susunan badan peradilan yang disandarkan pada Hukum Belanda tidak berjalan. b. Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, sikap terhadap hukum Islam mulai berubah secara perlahan dan sistematis, yaitu sebagai berikut :

1) Pada masa Pemerintahan Belanda/Deandels (1808-1811) terdapat pemahaman umum bahwa Hukum Islam adalah Hukum asli orang pribumi. 2) Pada masa pemerintahan Inggris/Thomas S. Raffles (1811-1816) juga terdapat anggapan bahwa Hukum yang berlaku di kalangan rakyat adalah Hukum Islam. 3) Setelah Indonesia kembali kepada Belanda, ada usaha Belanda untuk menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia, dll 3. Setelah Indonesia Merdeka Kedudukan Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia terbagi dalam dua periode, yaitu: a) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai persuasif; b) Periode penerimaan Hukum Islam sebagau sumber Otoritatif. a) Periode penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasive Dasar hukum teori resepsi adalah Pasal 134 (2) Indische Staats Regeling (IS), sedangkan dengan berlakunya UUD 1945, IS tidak berlaku lagi. UUD 1945 Aturan Peralihan Pasal II memang menyatakan Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih berlangsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar baru ini. Setelah berlakunya UUD 1945, Hukum Islam berlaku Bagi bangsa Indonesia yang beragama islam karena Kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh Hukum Adat, Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 29 UUD 1945. b) Periode penerimaan Hukum Islam sebgai sumber otoritatif Barulah dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, maka PIagam Jakarta yang mengandung penerimaan terhadap Hukum Islam menjadi sumber otoritatif dalam hukum tata Negara Indonesia, bukan sekedar sumber persuasive. Politik hukum Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menghendaki berkembangnya kehidupan beragama dan Hukum Agama dalam kehidupan Hukum Nasional. Dengan berpangkal pada teori Friederich Julius Stahl dan Haizirin, Yahir mengemukakan teori lingkaran

konsentris yang menunjukkan betapa eratnya hubungan antara agama, Hukum dan Negara. Pancasila adalah sumber hukum dari Hukum Nasional Indonesia. Dalam Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila, berlaku Hukum Agama dan toleransi antar-umat beragama dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menyangkut keyakinan agama, ibadah agama, dan Hukum agama. Menurut Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, system Hukum Nasional yang berlaku sekarang ini berasal dari beberapa sistem hukum, yaitu : 1) Hukum Islam 2) Hukum produk colonial 3) Hukum adat, dan 4) Hukum produk legislasi nasional. Ketentuan perundang-undangan yang membenarkan system diferensiasi adalah : a) Pasal 2 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974: Perkawinan berlaku sah jika dilakukan menurut kepercayaan agama masing-masing. b) Pasal 49 Ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960: Badan-badan agama diakui haknya, hal-hal mengenai wakaf dalam Hukum Islam diakui, dan diatur oleh peraturan Pemerintah. c) PP no. 28 Tahun 1977, merupakan PP yang mengatur mengenai wakaf d) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dibuat untuk golongan masyarakat tertentu, yaitu Islam. Dilihat dari UU ini, golongan warga Negara Indonesia terdiri dari: 1) Golongan Islam 2) Golongan Non-Islam Akhirnya kita dapat simpulkan bahwa, kedudukan Hukum Islam (termasuk didalamnya Hukum Perikatan Islam) setelah Indonesia merdeka sudah lebih kokoh, tanpa dikaitkan dengan hukum adat. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan Hukum Nasional yang berprinsip sebagai berikut : a. Hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundangundangan dapat berlaku langsung tanpa harta melalui Hukum Adat. b. Republik Indonesia wajib mengatur suatu masalah sesuai dengan Hukum Islam sepanjang hukum itu hanya berlaku bagi pemeluknya. c. Kedudukan Hukum Islam dalam system hukum Indonesia sama dan sederajat dengan Hukum Adat dan Hukum Barat.

d. Hukum Islam juga menjadi sumber pembentukan Hukum Nasional disamping Hukum Adat, Hukum Barat, dan Hukum lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam Negara Republik Indonesia.

Sekian rangkuman tugas Hukum Perikatan Islam, apabila terdapat kesalahan dalam pengetikan mohon dimaafkan

Fadhilah Fiqh 2011 3300 500 87

You might also like