You are on page 1of 41

13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN TERDAHULU

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Persepsi Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Seperti yang dikatakan oleh David Krech (Thoha, 2011:142) bahwa: Peta kognitif individu itu bukanlah penyajian potografik dari suatu kenyataan fisik, melainkan agak bersifat konstruksi pribadi yang kurang sempurna mengenai objek tertentu, diseleksi sesuai dengan kepentingan utamanya dan dipahami menuntut kebiasaannya. Setiap pemahaman (perceiver) adalah pada tingkat tertentu bukanlah seniman yang representatif, karena lukisan gambar tentang kenyataan itu hanya menyatakan pandangan realitas individunya. Berdasarkan pendapat Krech tersebut dapat dikemukakan bahwa persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barang kali sangat berbeda dari kenyataannya. Menurut Rakhmat (2001:51), bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menimbulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sedangkan menurut Thoha (2002:123), bahwa persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di

14

dalam memahami informasi tentang lingkungan, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Walgito (2003:46), mengemukakan bahwa: Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterprestasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktifitas yang terintegrasi/integrated dalam individu. Berdasarkan pendapat Walgito tersebut, dapat dijelaskan bahwa persepsi merupakan tanggapan (penerimaan) individu yang terungkap dari dalam dirinya sebagai suatu proses interprestasi dalam memahami informasi tentang suatu objek. Rivai dan Mulyadi (2010:236), mengemukakan bahwa persepsi adalah suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka. Menurut Hamme dan Organ (Indrawijaya, 2010:43), berpendapat bahwa: Manusia dalam mengorganisasikan, menafsirkan dan memberi arti kepada suatu rangsangan selalu menggunakan inderanya, yaitu melalui proses mendengar, melihat, merasa, meraba, dan mencium yang dapat terjadi terpisah-pisah atau serentak. Intensitas dan tingkat penggunaan indera akan mempengaruhi pula tingkat kepekaan seseorang dan ini kemudian turut mempengaruhi persepsi, proses persepsi dan pemecahan masalah dari seseorang, serta kepribadian dan aspirasi seseorang. Setiap kali seseorang dihadapkan pada suatu rangsangan yang sudah biasa ia hadapi, maka ia akan langsung mengumpulkan informasi (dari pengalamannya) dan membandingkannya dengan rangsangan yang ia hadapi sekarang. Bagaimana ia memberi arti terhadap rangsangan tersebut tergantung kepada kepribadian dan aspirasi yang bersangkutan. Berdasarkan pendapat Hammer-Organ tersebut, dapat digeneralisasi bahwa persepsi sangat bersifat pribadi dan usaha sungguh-sungguh memahami persepsi orang merupakan bagian penting dari perilaku organisasi.

15

Ratnaningsih (2008:54), mengutarakan ciri-ciri persepsi adalah sebagai berikut: a. Modalitas. b. Dimensi ruang. c. Dimensi waktu. d. Struktur konteks. e. Dunia penuh arti Berdasarkan pendapat Ratnaningsih tersebut, dapat dijelaskan bahwa, (1) Modalitas, dimana rangsangan yang diterima harus sesuai dengan modalitas tiap-tiap indera, yaitu sifat sensorik dasar masing-masing, (2) Dimensi ruang, dimana dunia persepsi mempunyai sifat ruang (dimensi ruang), (3) Dimensi waktu, dimana dunia persepsi mempunyai dimensi waktu, seperti cepat lambat, tua muda, dan lain-lain, (4) Struktur konteks, dimana keseluruhan yang menyatu objek-objek atau gejala-gejala dalam dunia pengamatan mempunyai struktur yang menyatu dengan konteksnya, dan (4) Dunia penuh arti, dimana dunia persepsi adalah dunia penuh arti, dimana kita cenderung mengamati pada gejala-gejala yang mempunyai makna bagi kita, yang ada hubungannya dengan tujuan yang ada dalam diri kita. Sebelum seseorang melakukan persepsi atau tanggapan terhadap suatu permasalahan, maka harus mengetahui terlebih dahulu ciri-ciri apa saja yang harus diperhatikan dalam melakukan persepsi sehingga tidak salah nantinya dalam mempersepsikan sesuatu. Selanjutnya Dagun (1997:842), mengemukakan bahwa: Fungsi persepsi adalah merefleksi hubungan-hubungan terpisah yang melekat pada objekobjek dan proses-proses dunia luar, bertindak sebagai basis untuk membangun konsep-konsep yang kompleks, berperan besar dalam menemukan sifat-sifat lain dari suatu objek yang tidak teramati

16

panca indera serta berguna untuk memperluas cakupan hasil pengamatan hingga ke objek-objek lain yang bersifat sementara. Berdasarkan pendapat Dagun tersebut, dapat dijelaskan bahwa fungsi presepsi adalah sebagai bahan peninjauan kembali hubungan objek dan prosesproses dunia luar sebagai dasar untuk membangun konsep yang bervariasi terhadap sifat-sifat lain suatu objek serta untuk memperluas hasil pengamatan terhadap objek-objek lain yang sifatnya sementara. Slamet (2003:103), mengemukakan beberapa prinsip dasar persepsi terdiri atas lima, yaitu: a. b. c. d. e. Persepsi itu relatif bukan absolut. Persepsi itu selektif. Persepsi itu memiliki tatanan. Persepsi dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan. Persepsi individu atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi individu atau kelompok lain sekalipun situasinya sama. pendapat Slamet tersebut, dapat dijelaskan bahwa

Berdasarkan

(1) Persepsi itu relatif bukan absolut, yaitu bahwa individu bukanlah instrumen ilmiah yang mampu menyerap segala sesuatu persis seperti keadaan sebenarnya, (2) Persepsi itu selektif, yaitu bahwa individu hanya memperlihatkan beberapa rangsangan dari banyak rangsangan yang ada di sekitarnya pada saat-saat tertentu. Ini berarti bahwa rangsangan yang timbul berdasarkan dari pengalaman atau sesuatu yang telah dipelajari, (3) Persepsi itu memiliki tatanan, yaitu bahwa individu menerima rangsangan dari luar tidak sembarangan, karena akan selektif menerimanya dalam bentuk hubungan-hubungan atau kelompok-kelompok. Jika rangsangan yang datang tidak lengkap, akan melengkapi sendiri sehingga hubungan itu menjadi jelas, (4) Persepsi dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan,

17

yaitu bahwa harapan dan kesiapan menerima pesan akan menentukan pesan mana yang akan dipilih untuk diterima, selanjutnya bagaimana pesan yang dipilih tersebut akan ditata dan demikian pula bagaimana pesan tersebut akan diinterprestasikan, dan (5) Persepsi individu atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi individu atau kelompok lain sekalipun situasinya sama. Perbedaan persepsi ini dapat ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan individual, kepribadian, sikap dan motivasi. Umumnya semua kejadian di dunia saat ini penuh dengan rangsangan. Suatu rangsangan (stimulus) adalah sebuah unit input yang merangsang satu atau lebih dari (lima) panca indera yaitu penglihatan, penciuman, rasa, sentuhan, dan pendengaran. Orang tidak dapat menerima seluruh rangsangan yang ada di lingkungan mereka. Oleh karena itu, mereka menggunakan keterbukaan yang selektif (selective exposure) untuk menentukan mana rangsangan yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan. Persepsi merupakan proses yang terdiri dari seleksi, organisasi dan interpretasi terhadap stimulus. Proses persepsi terdiri dari: a. Seleksi perseptual, terjadi ketika pelanggan menangkap dan memilih stimulus berdasarkan pada psychological set yang dimiliki. Psychological set yaitu berbagai informasi yang ada dalam memori pelanggan. Sebelum seleksi persepsi terjadi, terlebih dahulu stimulus harus mendapat perhatian dari pelanggan. b. Organisasi persepsi (perceptual organization), berarti bahwa pelanggan mengelompokkan informasi dari berbagai sumber ke dalam pengertian yang

18

menyeluruh untuk memahami lebih baik dan bertindak atas pemahaman itu. Prinsip dasar dari organisasi persepsi adalah penyatuan yang berarti bahwa berbagai stimulus akan dirasakan sebagai suatu yang dikelompokkan secara menyeluruh. Pengorganisasian tersebut, memudahkan untuk memproses informasi dan memberikan pengertian yang terintegrasi terhadap stimulus. c. Interpretasi perseptual, yaitu proses terakhir pada persepsi yang memberikan interpretasi atas stimulus yang diterima oleh pelanggan. Setiap stimulus yang menarik perhatian pelanggan baik disadari atau tidak disadari, akan diinterpretasikan oleh pelanggan. Dalam proses interpretasi pelanggan membuka kembali berbagai informasi dalam memori yang telah tersimpan dalam waktu yang lama (long term memory) yang berhubungan dengan stimulus yang diterima. Informasi dalam long term memory akan membentuk pelanggan untuk menginterpretasikan stimulus. Menurut Marat (1991:22), bahwa: Proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam proses persepsi selalu dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala dan pengetahuan individu yang akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada.

19

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Berdasarkan berbagai uraian tersebut mengenai konsep persepsi, diketahui bahwa dalam menyusun berbagai hal di dalam pikiran kita menjadi suatu gambaran yang membentuk keseluruhan yang berarti. Apapun persepsinya, hal itu merupakan pengalaman yang utuh. Menurut Setiadi (2005:160), faktor-faktor yang mempengaruhi atau yang menentukan persepsi yaitu: a. Karakteristik dari stimulus. b. Hubungan stimulus dengan sekelilingnya. c. Kondisi-kondisi di dalam diri kita sendiri. Stimulus adalah setiap bentuk fisik, visual atau komunikasi verbal yang dapat mempengaruhi tanggapan individu. Kita merasakan bentuk, warna, suara, sentuhan, aroma, dan rasa dari stimulus. Perilaku kita kemudian dipengaruhi oleh persepsi-persepsi fisik. Harus disadari bahwa umunya manusia terbuka terhadap jumlah stimulus yang sangat banyak. Karena itu, seorang harus menyediakan sesuatu yang khusus sebagai stimulus yang jika ia ingin menarik perhatian orang lain. Persepsi setiap orang terhadap suatu obyek akan berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif. Persepsi yang dibentuk oleh seseorang dipengaruhi oleh pikiran dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, yang perlu diperhatikan dari persepsi adalah bahwa persepsi secara subtansi bisa sangat berbeda dengan realitas. Persepsi seorang pelanggan atas berbagai stimulus yang diterimanya dipengaruhi oleh karakteristik yang dimilikinya.

20

Robbins

(2010:54-55),

mengemukakan

bahwa

faktor-faktor

yang

mempengaruhi persepsi yaitu: a. Pelaku persepsi, yaitu bila seorang individu memandang pada suatu objek dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi dari perilaku persepsi itu. Di antara karakteristik pribadi yang lebih relevan mempengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan (ekspektasi). b. Target/obyek, yaitu karakteristik-karakteristik dari target yang akan diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan, seperti orang yang keras suaranya akan lebih mungkin untuk lebih diperhatikan dari suatu kelompok mereka yang pendiam. Hubungan suatu target dengan latar belakangnya mempengaruhi persepsi, seperti kecenderungan kita untuk mengelompokan benda-benda yang mirip. c. Situasi, yaitu unsur-unsur lingkungan sekitar kita yang mempengaruhi persepsi, seperti waktu, keadaan/tempat kerja, dan keadaan sosial. Berdasarkan faktor-faktor persepsi yang dikemukakan Robbins tersebut, dapat digeneralisasi bahwa persepsi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pelaku persepsi, target/objek persepsi dan situasi dari lingkungan persepsi. Pelaku persepsi/pelanggan dalam penelitian ini adalah guru yang mengurus sesuatu hal pada Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi sedangkan target/objeknya yaitu pegawai yang melakukan pelayanan pada Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi, dan untuk kondisi/situasi yang dimaksud adalah keadaan instansi tempat penelitian. Menurut Rivai dan Mulyadi (2010:236), individu mempersepsikan suatu benda yang sama secara berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu a. Faktor yang ada pada pelaku persepsi (perceiver), meliputi sikap, keutuhan atau motif, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan individu. b. Faktor yang ada pada objek atau target yang dipersepsikan, meliputi hal-hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan.

21

c. Faktor konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan, meliputi waktu, keadaan/tempat kerja dan keadaan sosial. Berdasarkan pendapat Rivai dan Mulyadi tersebut, dapat dijelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dalam penelitian ini yaitu (1) Faktor yang ada pada pelaku persepsi, yaitu sikap, keutuhan atau motif, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan guru sebagai pelanggan untuk mengurusi sesuatu hal pada instansi objek penelitian, (2) Faktor yang ada pada objek atau target yang dipersepsikan, yaitu hal-hal baru, gerakan, bunyi, ukuran dan kedekatan pada pegawai yang melakukan pelayanan pada guru sebagai pengguna layanan pada Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi, dan (3) Faktor konteks situasi dimana persepsi itu dilakukan, meliputi waktu dan keadaan pegawai yang melakukan pelayanan pada Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi. Selanjutnya Indrawijaya (2010:44), mengemukakan bahwa proses persepsi perlu dibahas mulai dari tahap penerimaan rangsangan, yang ditentukan baik oleh faktor luar maupun oleh faktor di dalam manusianya sendiri, yang dapat dikategorikan atas lima hal, yaitu: a. Faktor lingkungan, yang secara sempit hanya menyangkut, warna, bunyi, sinar, dan secara luas dapat menyangkut faktor ekonomi, sosial dan politik. b. Faktor konsepsi, yaitu pendapat dan teori seseorang tentang manusia dengan segala tindakannya. c. Faktor yang berkaitan dengan konsep seseorang tentang dirinya sendiri (the concept of self). d. Faktor yang berhubungan dengan motif dan tujuan, yang pokoknya berkaitan dengan dorongan dan tujuan seseorang dan untuk menafsirkan suatu rangsangan. e. Faktor pengalaman masa lampau.

22

Berdasarkan pendapat Indrawijaya tersebut, dapat dijelaskan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi, sebagai berikut (1) Faktor lingkungan, yaitu menyangkut kondisi dari Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi sebagai objek penelitian, meliputi warna, bunyi, sinar, keadaan ekonomi, sosial dan politik, (2) Faktor konsepsi, yaitu pendapat dan teori seseorang tentang manusia dengan segala tindakannya, meliputi konsepsi guru sebagai pengguna layanan dalam mengurus sesuatu hal dan pegawai yang melakukan pelayanan pada objek penelitian, (3) Faktor yang berkaitan dengan konsep seseorang tentang dirinya sendiri (the concept of self), yaitu menyangkut persepsi guru terhadap kualitas pelayanan yang dilakukan pegawai pada objek penelitian, (4) Faktor yang berhubungan dengan motif dan tujuan, yaitu berkaitan dengan dorongan dan tujuan guru sebagai pengguna layanan ataupun pegawai yang melakukan pelayanan pada objek penelitian untuk menafsirkan suatu rangsangan, dan (5) Faktor pengalaman masa lampau, yaitu menyangkut pengalaman guru yang telah menerima layanan dari pegawai yang melakukan pelayanan pada objek penelitian.

2.1.3 Teori Pelayanan Publik Pelayanan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai aktivitas seseorang, sekelompok dan/atau organisasi baik langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan. Moenir (Pasolong, 2007:128), mengatakan bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui melalui aktivitas orang lain secara langsung. Sedangkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Pasolong, 2007:128),

23

mengemukakan bahwa pelayanan adalah segala bentuk kegiatan pelayanan dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat digeneralisasi bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan pelanggan baik berupa barang ataupun jasa. Konsep pelayanan mengandung banyak arti, meliputi bermacam-macam kegiatan dan digunakan untuk studi berbagai bidang. Menurut Ndraha (1997:65-68), bahwa: Pelayanan pada dasarnya merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain secara langsung. Pelayanan juga diartikan sebagai proses produksi dan distribusi yang bersifat istimewa yang dibutuhkan oleh manusia dan diproses sesuai dengan aspirasinya. Adapun layanan adalah produk dan dapat juga diartikan sebagai cara atau alat yang digunakan oleh penyedia layanan/provider untuk memasarkan atau mendistribusikan produknya. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dengan melakukan interaksi langsung antara pelaku layanan dengan pelanggan dalam menyediakan jasa dengan tujuan untuk memuaskan pelanggan. Sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan pelanggan. Sedangkan (2002:134), bahwa: Service adalah produk yang tidak berwujud, berlangsung sebentar dan dirasakan atau dialami. Artinya service merupakan produk yang tidak ada wujud atau bentuknya sehingga tidak ada bentuk yang dapat dimiliki, dan berlangsung sesaat atau tidak tahan lama, tetapi dialami dan dapat dirasakan oleh penerima layanan. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa pelayanan/service adalah suatu produk jasa yang diberikan (pemberi layanan) dan berlangsung pelayanan/service menurut Lovelock dan Christoper

24

sesaat, dirasakan, dialami serta diterima oleh orang lain (penerima layanan). Hal ini berarti bahwa service berasal dari orang-orang bukan dari organisasi, tanpa memberi nilai pada diri sendiri, tidak akan mempunyai arti apa-apa. Demikian halnya pada organisasi yang secara esensial merupakan kumpulan orang-orang. Oleh karena itu, harga diri yang tinggi adalah unsur yang paling mendasar bagi keberhasilan organisasi yang menyediakan jasa pelayanan yang berkualitas. Pelayanan publik menurut Sinambela (2005:5) adalah: Sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa pelayanan publik adalah pelayanan umum yang dilakukan pemerintah kepada sejumlah orang (masyarakat) dengan harapan bahwa kegiatan tersebut dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat yang menerima pelayanan terhadap suatu produk jasa. Agung Kurniawan (Pasolong, 2007:128), mengatakan bahwa pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Berdasarkan

25

hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa pelayanan publik adalah proses kegiatan pelayanan barang dan jasa atau pelayanan administratif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam pelayanan publik terjadi proses interaksi dalam memenuhi kebutuhan pelayanan barang dan jasa kepada pelanggan. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik bahwa, pengertian umum dari pelayanan publik dalam konteks pemerintah daerah adalah sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 58 Tahun 2002 (Pasolong, 2007: 129), mengelompokkan tiga jenis pelayanan dari instansi pemerintah serta Badan Usaha Milik Negara/Daerah dengan didasarkan pada ciri-ciri dan sifat kegiatan serta produk pelayanan yang dihasilkan, yaitu: a. Pelayanan administartif. b. Pelayanan barang. c. Pelayanan jasa. Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa, jenis pelayanan administratif adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa pencatatan, penelitian, pengambilan keputusan, dokumentasi, dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa

26

dokumen, misalnya sertifikat, izin-izin, rekomendasi, keterangan dan lain-lain. Misalnya jenis pelayanan sertifikat tanah, pelayanan izin membangun bangunan, pelayanan administrasi kependudukan (kartu tanda penduduk, kartu keluarga, akta kelahiran dan akta kematian). Jenis pelayanan barang adalah pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk distribusi dan penyampaiannya kepada konsumen langsung (sebagai unit atau individual) dalam suatu sistem. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda (berwujud fisik) atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi penggunanya. Misalnya jenis pelayanan listrik, pelayanan air bersih, dan pelayanan telepon. Jenis pelayanan jasa adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan prasarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan suatu sistem pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya secara langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu tertentu. Misalnya pelayanan angkutan darat, laut dan udara, pelayanan kesehatan, pelayanan perbankan, pelayanan pos dan pelayanan pemadam kebakaran. Ketiga jenis pelayanan publik tersebut, orientasinya adalah pelanggan atau publik (masyarakat) yang dilayani, dalam artian bahwa kalau kinerja pelayanan publik instansi pemerintah berdasarkan peraturan tersebut orientasinya juga pelanggan, maka perhatian aparatur pelayanan publik harus berorientasi kepada publik.

27

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, bahwa asas-asas pelayanan publik sebagai berikut:

(1) Transparansi, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti, (2) Akuntabilitas, yaitu dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (3) Kondisional, yaitu sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efesiensi dan efektifitas, (4) Partisipatif, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat, (5) Kesamaan hak, yaitu tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi, dan (6) Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh penyelenggara

negara/pemerintah, penyelenggara perekonomian dan pembangunan, lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/badan hukum yang diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik, badan usaha/badan hukum yang bekerjasama dan/atau dikontrak untuk melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan publik, serta masyarakat umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik yang tidak mampu ditangani/dikelola oleh pemerintah/pemerintah daerah.

28

Terdapat tiga unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu: a. Organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan, yaitu pemerintah daerah yang memiliki posisi kuat sebagai regulator dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan pemerintah daerah bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilah antara kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan pelayanan. b. Penerima layanan (pelanggan), yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau yang memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme yang memperburuk citra pelayanan dengan mewabahnya pungutan liar, dan ironisnya dianggap saling menguntungkan. c. Kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan (pelanggan), yaitu unsur kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (pemerintah), untuk menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi untuk memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah.

29

Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerah yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma peraturan

pemerintah (rule government) bergeser menjadi paradigma pemerintahan yang baik (good governance). Berdasarkan unsur pelayanan publik tersebut, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai pembuat peraturan (regulator), harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance) dalam menjalankan pelayanan publik, pemerintah daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi,

akuntabilitas dan keadilan. Konsep pelayanan publik yang diperkenalkan oleh Dawid Osborne dan Ted Gaebler (Pasolong, 2007:130), dalam pembaharuan pemerintah (reinventing government) adalah pentingnya peningkatan pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan dengan cara memberi wewenang kepada pihak swasta lebih banyak berpartisipasi sebagai pengelola pelayanan publik. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat seperti yang terdapat pada agenda pembaharuan pemerintah adalah pengembangan organisasi yang bermuara pada terwujudnya pemerintah yang lebih kecil, lebih baik, lebih cepat, dan pemerintah yang lebih murah (a smaller, better, faster, and cheaper government). Agenda pembaharuan pemerintahan

30

bertumpu pada prinsip pemerintah berorientasi pada pelanggan (costumer driven government). Instrumen dari prinsip ini adalah pembalikan mental model pada birokrat dari keadaan yang lebih suka dilayani menuju pada lebih suka melayani. Paradigma lama menempatkan pemimpin birokrasi berada pada piramida tertinggi dengan warga negara (costumer) berada pada posisi terbawah. Sebaliknya paradigma baru menempatkan warga negara (costumer) berada pada posisi puncak dengan pemimpin birokrasi berada pada posisi paling bawah. Terdapat sepuluh prinsip pelayanan publik yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, sebagai berikut: (1) Kesederhanaan, yaitu prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan, (2) Kejelasan, terdiri dari (a) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik, (b) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik, (c) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran, (d) Kepastian waktu, pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan, (3) Akurasi, yaitu produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah, (4) Keamanan, yaitu proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum, (5) Tanggung jawab, yaitu pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik, (6) Kelengkapan sarana dan prasarana, yaitu

31

tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai, termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (teletematika), (7) Kemudahan akses, yaitu tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika, (8) Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yaitu pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas, (9) Kenyamanan, yaitu lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat, serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain. Untuk merealisasikan kesepuluh prinsip pelayanan umum tersebut tidak mudah, karena terkait dengan kompleksnya penyelenggaraan pelayanan publik, banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja pelayanan yang optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan publik mencakup aparatur pemerintah sebagai penyelenggara (kualitas sumber daya manusia), masyarakat atau pelanggan sebagai pengguna atau penerima layanan publik, peraturan perundang-undangan, mekanisme dan prosedur penyelenggaraan pelayanan publik, sarana prasarana pendukung penyelenggaraan pelayanan publik, kelembagaan dan sumber pendanaan untuk kegiatan operasioanl pelayanan publik, dan yang paling menentukan adalah komitmen dari pimpinan daerah. Upaya meningkatkan kinerja pelayanan publik akan mendapat hambatan, apabila kita tidak memahami masalah-masalah yang ada pada masing-masing

32

faktor yang mempengaruhi tersebut, oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk memadukan dan mengintegrasikan masing-masing faktor tersebut. Setiap Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan, sebagai jaminan adanya kepastian bagi pemberi di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dan bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonannya. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai pedoman yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan, dan menjadi pedoman bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonan, serta sebagai alat kontrol masyarakat dan/atau penerima layanan atas kinerja penyelenggara pelayanan. Oleh karena itu, perlu disusun dan ditetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan serta memperhatikan lingkungan. Dalam proses perumusan dan penyusunannya melibatkan masyarakat dan/atau pemangku kepentingan/stakeholder lainnya (termasuk aparat birokrasi) untuk mendapatkan saran dan masukan dan membangun kepedulian dan komitmen. Standar Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003, meliputi: (1) Prosedur pelayanan, yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan, (2) Waktu penyelesaian, ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan, (3) Biaya pelayanan, ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan, (4) Produk pelayanan, diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, (5) Sarana dan prasarana, harus

33

memadai oleh penyelenggara pelayanan publik, dan (6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan, ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan. Selanjutnya, untuk melengkapi standar pelayanan tersebut, ditambahkan materi muatan yang dikutip dari rancangan perundang-undangan tentang pelayanan publik yang cukup realistis untuk menjadi materi muatan Standar Pelayanan Publik, sehingga susunannya menjadi sebagai berikut: (1) Dasar hukum, (2) Persyaratan, (3) Prosedur pelayanan, (4) Waktu penyelesaian, (5) Biaya pelayanan, (6) Produk pelayanan, (7) Sarana dan prasarana, (8) Kompetensi petugas pelayanan, (9) Pengawasan intern, (10) Pengawasan ekstern, (11) Penanganan pengaduan, saran dan masukan. Tambahan materi muatan standar pelayanan publik tersebut, dimaksudkan untuk melengkapi, dasar pertimbangannya cukup realiistis karena memasukan materi muatan dasar hukum memberikan kepastian adanya jaminan

hukum/legalitas bagi standar pelayanan tersebut. Selain itu, persyaratan, pengawasan, penanganan pengaduan dan jaminan pelayanan bagi pelanggan perlu dijadikan materi muatan standar pelayanan publik. Penyusunan standar pelayanan publik, harus mempertimbangkan aspek kemampuan, kelembagaan dan aparat penyelenggara pelayanan, dan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat. Dengan harapan, agar standar pelayanan publik yang ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik, terutama oleh para pelaksana operasional pelayanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, dimengerti dan diterima oleh masyarakat sebagai pemangku kepentingan/stakeholder.

34

Menurut Gaspersz (2002:52), bahwa elemen paling penting bagi organisasi adalah pelanggan, untuk itu identifikasi secara tepat apa yang menjadi kebutuhan pelanggan. Hal ini sejalan dengan Tjosvold (Wasisistiono, 2003:42), mengatakan bahwa bagi organisasi, melayani pelanggan merupakan saat yang menentukan (moment of thuruts), peluang bagi organisasi menentukan kredibilitas dan kapabilitasnya. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat dikemukakan bahwa pelanggan merupakan elemen utama dalam organisasi, oleh karena itu pelanggan perlu dilayani dengan sebaik-baiknya agar dapat memberikan nama baik organisasi pemberi layanan. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa harapan pelanggan dibentuk oleh pengalaman masa lalunya, penyelenggara layanan yang dikelola dengan sangat baik memiliki sejumlah persamaan, diantaranya (1) Konsep strategis, yaitu perusahaan jasa ternama memiliki pengertian yang jelas mengenai pelanggan, sasaran dan kebutuhan pelanggan yang akan mereka puaskan, oleh karena itu, dikembangkan strategi khusus untuk memuaskan kebutuhan tersebut yang menghasilkan kesetiaan pelanggan, (2) Sejarah komitmen kualitas manajemen puncak, yaitu tidak hanya melihat pada prestasi keuangan bulanan, melainkan juga pada kinerja jasa, (3) Penetapan standar tinggi, yaitu penyedia jasa terbaik menetapkan standar kualitas jasa yang tinggi antara lain berupa kecepatan respon terhadap keluhan pelanggan dan ketepatannya, (4) Sistem untuk memonitor kinerja jasa, yaitu secara rutin memeriksa kinerja jasa perusahaan maupun pesaingnya, (5) Sistem untuk memuaskan keluhan pelanggan, yaitu menanggapi

35

keluhan pelanggan dengan cepat dan ramah, dan (6) Memuaskan karyawan sama seperti pelanggan (Kotler (1997:103)). Selanjutnya Kotler (1997:36), mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai perasaan senang atau kecewa yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya. Definisi tersebut mencerminkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan fungsi dari kesan kinerja (performance) dan harapan yang diinginkan pelanggan (important). Jika kinerja memenuhi harapan, maka pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi harapan, maka pelanggan akan sangat puas dan akan sangat senang. Strategi mengutamakan pelanggan adalah prioritas utama yang harus dilakukan. Bahkan Carizon (Wasisistiono, 2003:42), menamakan abad ini sebagai abad pelanggan, abad dimana para pengguna jasa diposisikan pada tempat yang paling terhormat (putting costumers first). Segala upaya peningkatan kualitas pelayanan dilakukan dengan menggunakan pendekatan pelanggan. Berdasarkan sudut pandang pelanggan, setiap dimensi tersebut penting dalam penyampaian pelayanan berkualitas, untuk itu setiap instansi penyedia pelayanan perlu menerapkan perspektif pelayanan pelanggan sebagaimana dipaparkan oleh William (Pasolong, 2007:131), sebagai berikut: a. b. c. d. e. Pelanggan adalah raja. Pelanggan adalah alasan keberadaan kita. Tanpa pelanggan, kita tak punya apa-apa. Pelanggan kitalah yang menentukan bisnis kita. Jika kita tidak memahami pelanggan, maka berarti kita tidak memahami bisnis kita.

36

Berdasarkan peryataan tersebut, mencerminkan orientasi terhadap pelanggan, sebuah pandangan bahwa pelanggan adalah penentu puncak sifat dan keberhasilan organisasi seseorang, suatu pandangan yang memutar balikkan pandangan tradisional tentang organisasi. Perspektif ini adalah perspektif pelayanan pelanggan. Identifikasi pelanggan menurut Gaspersz (2004:24), yaitu: Berkaitan dengan mereka yang secara langsung maupun tidak langsung menggunakan jenis-jenis pelayanan publik atau mereka yang secara langsung maupun tidak langsung terkena dampak dari kebijakan-kebijakan organisasi publik. Berdasarkan pendapat Vincent tersebut, dapat dikemukakan bahwa pelanggan merupakan kelompok orang (masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung menerima pelayanan dalam mengurus sesuatu hal pada suatu organisasi publik. Organisasi publik memiliki pelanggan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Pelanggan internal (internal customer) mencakup unit-unit atau pegawai dalam suatu organisasi publik yang bekerja tergantung pada unit atau pegawai yang lain dalam organisasi yang sama. Sedangkan pelanggan eksternal (external customer) mencakup pengguna produk (barang dan/atau jasa) dari organisasi publik.

2.1.4 Kualitas Pelayanan Kualitas mengandung arti relatif karena bersifat abstrak, dan digunakan untuk menilai atau menentukan tingkat penyesuaian suatu hal terhadap persyaratan atau spesifikasinya. Bila persyaratan atau spesifikasi itu terpenuhi berarti kualitas sesuatu hal yang dimaksud dapat dikatakan baik, sebaliknya jika

37

persyaratan tidak terpenuhi maka dapat dikatakan tidak baik. Dengan demikian, untuk menentukan kualitas diperlukan indikator. Karena spesifikasi yang merupakan indikator harus dirancang berarti kualitas secara tidak langsung merupakan hasil rancangan yang tidak tertutup kemungkinan untuk diperbaiki atau ditingkatkan. Kualitas sebenarnya tidak dapat diukur karena merupakan hal yang maya (imaginer), jadi bukan suatu besaran yang terukur. Oleh sebab itu, perlu dibuat indikator yang merupakan besaran yang terukur demi untuk menentukan kualitas baik produk maupun jasa. Berbagai upaya dilakukan untuk membuat indikator yang terukur dan cocok bagi masalah penentuan kualitas sedemikian rupa sehingga pembuatan produk atau pelayanan jasa dan pengontrolan kualitasnya terjamin keterlaksanaannya. Prawiramidjaya (2007:14), mengatakan bahwa kualitas dari suatu produk atau jasa akan meliputi kumpulan dari sejumlah sifat-sifat yang saling berhubungan dari produk atau jasa itu sendiri, seperti kekuatan, dimensi tata warna, pengolahannya dan sebagainya. Sedangkan Atmojo (2007:4),

mengemukakan bahwa kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Acuan dari kualitas seperti dijelaskan tersebut, menunjukkan bahwa kualitas selalu berfokus pada kepentingan/kepuasan pelanggan (customer focused quality). Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa kualitas dari suatu produk dan jasa adalah adanya kekuatan, dimensi tata warna dan pengolahannya yang berfokus pada kepentingan/kepuasan pelanggan. Kualitas

38

adalah jumlah dari atribut-atribut atau sifat-sifat sebagaimana didistribusikan dalam produk atau jasa, sehingga dengan demikian termasuk dalam kualitas ini adalah daya tahan, kenyamanan pemakaian, daya guna dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa, produk atau jasa memiliki kualitas jika mempunyai daya tahan tinggi, kenyamanan dalam menggunakannya, serta bermanfaat bagi penggunanya. Tjiptono (2007:2), mengemukakan bahwa: Kualitas mengandung banyak definisi dan makna, sehingga orang yang berbeda akan mengartikannya secara berlainan. Hal ini antara lain: (1) Kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan, (2) Kecocokan untuk pemakaian (3) Perbaikan/penyempurnaan berkelanjutan, (4) Bebas dari kerusakan/cacat, (5) Pemenuhan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat, (6) Melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal, dan (7) Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan. Berdasarkan pendapat Tjiptono tersebut, dapat dijelaskan bahwa kualitas mengandung definisi dan makna relatif pada setiap orang, dimana pada kualitas bertujuan pada pemenuhan kebutuhan pelanggan sehingga dapat merasa puas. Pada prinsipnya definisi dan makna tersebut bisa diterima. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam sistem kualitas yang bisa menentukan, merencanakan, mengembangkan dan

menyempurnakan kualitas dalam rangka memuaskan atau bahkan membahagiakan pelanggan? Agar dapat menjawab pertanyaan ini, perlu memahami beberapa strategi dasar yang berkaitan dengan unsur manusia dalam setiap organisasi. Ini perlu dilakukan karena kualitas berawal dari setiap individu apapun posisinya dan bukan dari instansi fungsional sebagaimana yang sering diduga orang.

39

Strategi-strategi dasar tersebut, sebagai berikut: a. Menetapkan tujuan yang jelas, yaitu bahwa setiap organisasi harus mempunyai tujuan yang spesifik dan jelas agar bisa berhasil dalam menetapkan kualitas. Bila visi dan tujuan organisasi ditetapkan dengan cermat dan didasarkan pada tuntutan pelanggan, maka organisasi yang bersangkutan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. b. Memprakarsai atau menentukan kembali budaya organisasi, dimana strategi ini tidak diarahkan pada pemecahan masalah, tetapi lebih pada upaya memperbaiki kondisi dasar di dalam organisasi, agar semua pegawai bisa bekerja secara lebih baik dan lebih sukses. c. Mengembangkan komunikasi yang efektif dan konsisten, yaitu dengan mendengarkan merupakan aspek yang sangat penting dalam setiap organisasi. Sekitar 70 % jam sibuk dalam suatu organisasi diisi dengan aktivitas komunikasi verbal. Dari bagian tersebut, sebagian besar merupakan aktivitas mendengarkan. Mendengarkan pegawai dan pelanggan merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dan akurat mengenai sasaran, tujuan, prioritas dan kepuasan mereka. d. Melembagakan pendidikan dan pelatihan, dimana hal ini sangat penting bagi setiap orang. Semakin baik seseorang dilatih maka akan semakin baik pula kinerjanya. Semakin terlatih baik seorang pelanggan, maka semakin andal jasa yang disampaikan. Dalam bidang jasa, sudah merupakan keharusan bahwa keterampilan dan pendidikan berjalan seiring. Bila itu terjadi, maka organisasi

40

akan bisa mencapai keunggulan kualitas dan mempertahankan kesesuaian kualitas tersebut di seluruh jajaran organisasi. e. Mendorong perbaikan secara terus-menerus, yaitu dengan menempatkan pelanggan sebagai pihak terpenting (customer based) dengan menekankan aspek kesinambungan karena unsur-unsur yang terdapat dalam kualitas selalu mengalami perubahan, apakah dipandang telah berkualitas, dalam waktu tidak terlalu lama bisa saja tidak lagi memadai. Pelayanan yang berkualitas menurut Osborne, Gebler dan Blom (Pasolong, 2007:133), antara lain memiliki ciri-ciri seperti tidak prosedural (birokratis), terdistribusi dan terdesentralisasi, serta berorientasi kepada pelanggan.

Selanjutnya Sinambela (2006:6), mengatakan bahwa kualitas pelayanan prima tercermin dari: a. Transparansi, yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. b. Akuntabilitas, yaitu pelayanan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efesiensi dan efektivitas. d. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. e. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial. f. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik. Berdasarkan hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa kualitas pelayanan prima tercermin dari enam aspek utama yaitu (1) Transparansi, yaitu pelayanan yang

41

diberikan harus transparan, memadai dan mudah dimengerti, (2) Akuntabilitas, yaitu pelayanan yang diberikan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan yang berlaku, (3) Kondisional, yaitu pelayanan yang diberikan sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan efesien dan efektif, (4) Partisipatif, yaitu pelayanan yang diberikan harus memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan pelanggan, (5) Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang diberikan harus sama (tidak diskriminatif) kepada semua pelanggan, dan (6) Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang diberikan harus mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik. Kasmir (Pasolong, 2007:133), mengatakan bahwa pelayanan yang baik adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang ditentukan. Menurut Zethaml dan Haywood (Warella, 1997:17), mengatakan ada tiga karakteristik utama tentang pelayanan, yaitu: a. Intangibility, berarti bahwa pelayanan pada dasarnya bersifat kinerja/performance dan hasil pengalaman dan bukannya objek. Kebanyakan pelayanan tidak dapat dihitung, diukur, diraba atau dites sebelum disampaikan untuk menjamin kualitas. Berbeda dengan barang yang dihasilkan oleh suatu pabrik yang dapat dites kualitasnya sebelum disampaikan pada pelanggan. b. Heterogeinity, berarti pemakai jasa/pelanggan memiliki kebutuhan yang sangat heterogen. Pelanggan dengan pelayanan yang sama mungkin mempunyai prioritas yang berbeda. Demikian pula kinerja/performance sering bervariasi dari suatu prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu. c. Inseparability, berarti bahwa produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak terpisahkan. Konsekuensinya di dalam industri pelayanan kualitas tidak direkayasa ke dalam produksi di sektor pabrik dan kemudian disampaikan kepada pelanggan. Kualitas terjadi selama interaksi antara klien dan penyedia jasa.

42

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakteristik/ciri-ciri dari pelayanan terdiri dari tiga, yaitu (1) Intangibility, yaitu bahwa pelayanan bersifat kinerja sebagai indikator penjamin kualitas, artinya semakin baik pelayanan yang diberikan, maka akan memberikan kualitas pelayanan yang baik pula sehingga memuaskan pelanggan, (2) Heterogeinity, berarti pelanggan memiliki kebutuhan yang sangat beragam dalam melakukan pelayanan, yang menagakibatkan kinerja/performance dari pemberi layanan sering bervariasi pula dari suatu prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu, (3) Inseparability, berarti bahwa produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak terpisahkan, artinya pelayanan yang dilakukan harus benar-benar menunjukkan kualitas yang sebenarnya kepada pelanggan selama proses pelayanan berlangsung.

2.1.5 Pengukuran Kualitas Pelayanan Mengetahui kualitas pelayanan yang diberikan oleh suatu organisasi penting karena dapat memberikan manfaat bagi organisasi yang bersangkutan. Kalau ini dilakukan, paling tidak organisasi atau instansi yang bersangkutan sudah punya perhatian/concern pada pelanggannya. Pada akhirnya, bisa jadi berusaha maksimal untuk memenuhi kepuasan pelanggan yang dilayani. Pelayanan berkualitas atau pelayanan prima yang berorientasi pada pelanggan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan. Lukman (Pasolong, 2007:134), menyebut salah satu ukuran penyajian pelayanan yang berkualitas (prima) sangat tergantung pada tingkat kepuasan pelanggan yang dilayani. Pendapat tersebut artinya menuju kepada pelayanan eksternal, dari perspektif

43

pelanggan, lebih utama atau lebih didahulukan apabila ingin mencapai kinerja pelayanan yang berkualitas. Sementara itu Gerson (2002:55), menyatakan bahwa: Pengukuran kualitas internal memang penting, tetapi semua itu tidak ada artinya jika pelanggan tidak puas dengan yang diberikan. Untuk membuat pengukuran kualitas lebih berarti dan sesuai, tanyakan kepada pelanggan apa yang mereka inginkan, yang bias memuaskan mereka. Berdasarkan pendapat Gerson tersebut, dapat diartikan bahwa kedua sudut pandang tentang pelayanan itu penting, karena bagaimanapun pelayanan internal adalah langkah awal dilakukannya suatu pelayanan. Akan tetapi pelayanan tersebut harus sesuai dengan keinginan pelanggan yang dilayani. Artinya bagaimana upaya untuk memperbaiki kinerja internal harus mengarah/merujuk pada apa yang diinginkan pelanggan (eksternal). Menurut Zeithaml, Parasuraman dan Berry (Pasolong, 2007:135), untuk mengetahui kualitas pelayanan yang dirasakan secara nyata oleh pelanggan, ada indikator kepuasan pelanggan yang terletak pada lima dimensi kualitas pelayanan menurut apa yang dikatakan pelanggan, yaitu: a. Tangibles, yaitu kualitas pelayanan berupa sarana fisik perkantoran, komputerisasi administrasi, ruang tunggu, tempat informasi. b. Reliability, yaitu kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya. c. Responsiveness, yaitu kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan pelanggan. d. Assurance, yaitu kemampuan dan keramahan serta sopan santum pegawai dalam meyakinkan kepercayaan pelanggan. e. Empathy, yaitu sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap pelanggan Berdasarkan pendapat Zeithaml, Parasuraman dan Berry tersebut, dapat dijelaskan bahwa Tangibles (berwujud/tampilan fisik pemberian pelayanan), yaitu

44

penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel, dan media komunikasi. Faktor yang mencakup antara lain fasilitas fisik, perlengkapan, penampilan pegawai dan sarana komunikasi. Hal ini berarti bahwa, penampilan serta kemampuan sarana dan prasarana fisik Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi harus dapat diandalkan karena dianggap sebagai bukti nyata dari pelayanan yang diberikan kepada para guru. Reliability (keandalan dalam pemberian pelayanan), yaitu kemampuan untuk melaksanakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya. Ini berarti kinerja pegawai Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi harus sesuai dengan harapan guru yang berkaitan dengan ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua guru dan tanpa kesalahan. Responsiveness (ketanggapan pemberian pelayanan), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan dengan cepat, tepat dan tanggap. Faktor ini terlihat dari kebijakan yang dimaksudkan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan tanggap kepada guru sebagai pelanggan. Dimensi ini sangat berkaitan dengan kemampuan dan profesionalisme pegawai Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi. Assurance (jaminan atau kepastian), yaitu pengetahuan dan kesopanan pegawai serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan. Pengetahuan dan keramahan pegawai dan kemampuan melaksanakan tugas secara spontan yang dapat menjamin kinerja yang baik sehingga menimbulkan kepercayaan dan keyakinan guru sebagai pelanggan. Pegawai Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi harus mampu

45

memberikan jaminan atas pelayanan yang memuaskan, mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat aparatur yang dapat dipercaya, bebas dari bahaya resiko atau keragu-raguan. Empathy (empati), yaitu syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan. Dimensi ini menjelaskan bahwa, organisasi memberikan perhatian yang bersifat individual atau pribadi kepada guru sebagai pelanggan dan berupaya untuk memahami keinginan pelanggan. Ini berarti bahwa Dinas Pendidikan Nasional Pemuda dan Olahraga Kabupaten Wakatobi perlu memberikan kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan pemahaman atas kebutuhan guru. Selanjutnya Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 58 Tahun 2002 memuat tujuh dimensi yang dapat dijadikan dasar untuk mengukur kinerja pelayanan publik instansi pemerintahan serta Badan Usaha Milik Negara/Daerah, yaitu: a. Kesederhanaan prosedur pelayanan, yaitu mencakup apakah telah tersedia prosedur tetap/Standar Operasional Pelayanan, apakah tersedia prosedur pelayanan secara terbuka, bagaimana dalam pelaksanaanya, apakah telah dilaksanakan secara konsisten dan bagaimana tingkat kemudahan dalam mendukung kelancaran pelayanan. b. Keterbukaan informasi pelayanan, yaitu mencakup apakah ada keterbukaan informasi mengenai prosedur, persyaratan dan biaya pelayanan, apakah dengan jelas dapat diketahui masyarakat, apakah terdapat media informasi termasuk petugas yang menangani untuk menunjang kelancaran pelayanan.

46

c. Kepastian pelaksanaan pelayanan, yaitu mencakup apakah variabel waktu pelaksanaan dan biayanya, apakah waktu yang digunakan dalam proses pemberian pelayanan sesuai dengan jadwal yang ada, dan apakah biaya yang dipungut atau dibayar oleh masyarakat sesuai dengan tarif/biaya yang ditentukan. d. Mutu produk pelayanan, yaitu kualitas pelayanan meliputi aspek cara kerja pelayanan, apakah cepat/tepat, apakah hasil kerjanya baik/rapi/benar/layak. e. Tingkat profesional petugas, yaitu mencakup bagaimana tingkat kemampuan keterampilan kerja petugas mengenai sikap, perilaku dan kedisiplinan dalam memberikan pelayanan, apakah ada kebijakan untuk memotivasi semangat kerja para petugas. f. Tertib pengelolaan administrasi dan manajemen, yaitu mencakup bagaimana kegiatan pencatatan administrasi pelayanan, pengelolaan berkas, apakah dilakukan dengan tertib, apakah terdapat motto kerja, dan apakah pembagian tugas dilaksanakan dengan baik serta kebijakan setempat yang mendorong motivasi dan semangat kerja para petugas. g. Sarana dan prasarana pelayanan, yaitu mencakup keberadaan dan fungsinya, bukan hanya penampilannya tetapi sejauhmana fungsi dan daya guna dari sarana/fasilitas tersebut dalam menunjang kemudahan, kelancaran proses pelayanan dan memberikan kenyamanan pada pengguna pelayanan.

47

Menurut Lembaga Administrasi Negara (2003), kriteria-kriteria pelayanan sebagai berikut: a. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pelanggan. b. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam pencatatan data dan tepat waktu. c. Tanggung jawab dari para petugas pelayanan, meliputi pelayanan sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabila terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan. d. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan. e. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas, yaitu petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus diperhatikan. f. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkrit. Sebaliknya, pihak penyedia

48

layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak langsung. g. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan gamblang, meliputi informasi mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain. h. Komunikasi antara petugas dan pelanggan, yaitu bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang berhak diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka mengerti. i. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan penyedia pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak dipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia. j. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut. Hal ini sangat penting, karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap pelayanan yang diberikan. k. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, finansial dan kepercayaan pada diri sendiri. l. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan, yaitu dilakukan dengan berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan dengan mempelajari kebutuhan-

49

kebutuhan khusus yang diinginkannya dan memberikan perhatian secara personal. m. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas penunjang lainnya. n. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan. o. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar. Tjiptono (2007:61), mengutarakan bahwa citra kualitas layanan yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang/persepsi penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang/persepsi pelanggan. Hal ini disebabkan karena pelangganlah yang mengkonsumsi serta menikmati jasa layanan, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap keunggulan jasa layanan. Bagi pelanggan kualitas pelayanan adalah menyesuaikan diri dengan spesifikasi yang dituntut pelanggan. Pelanggan memutuskan bagaimana kualitas yang dimaksud dan apa yang dianggap penting. Pelanggan mempertimbangkan suatu kualitas pelayanan. Untuk itu, kualitas dapat dideteksi pada persoalan bentuk, sehingga dapat ditemukan: (1) Kualitas pelayan merupakan bentuk dari

50

sebuah janji, dan (2) Kualitas adalah tercapainya sebuah harapan dan kenyataan sesuai dengan komitmen yang telah ditetapkan sebelumnya. Sistem pelayanan yang baik akan menghasilkan kualitas pelayanan yang baik pula. Suatu sistem yang baik akan memberikan prosedur pelayanan yang berstandar dan memberikan mekanisme kontrol di dalam dirinya (built in control). Dengan demikian, segala bentuk penyimpangan yang terjadi akan mudah diketahui. Sistem pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Ini berarti organsiasi harus mampu merespon kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan menyediakan sistem pelayanan dan strategi yang tepat. Kualitas pelayanan yang diberikan oleh jajaran aparatur birokrasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tingkat kompetensi aparat, kualitas peralatan yang digunakan untuk memproses jenis pelayanan, budaya birokrasi, dan sebagainya. Kompetensi aparat birokrasi merupakan akumulasi dari sejumlah sub variabel seperti tingkat pendidikan, jumlah tahun pengalaman kerja, variasi pelatihan yang telah diterima. Sedangkan kualitas dan kuantitas peralatan yang digunakan akan mempengaruhi prosedur dan kecepatan keluaran/output yang akan dihasilkan. Apabila organisasi menggunakan teknologi modern, seperti komputer, maka metode dan prosedur kerja akan berbeda dengan ketika organisasi menggunakan cara kerja manual.

51

2.2 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang ada relevansinya dengan rancangan penelitian ini adalah: 1. Tengku Mansur (2008), dengan judul: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik pada Bagian Bina Sosial Setdako Lhokseumawe. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, diperoleh tingkat hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu organisasi, kemampuan dan keterampilan, penghargaan dan pengakuan, kepemimpinan terhadap kualitas pelayanan. Dari semua faktor tersebut, faktor kemampuan dan keterampilan memiliki tingkat signifikansi yang sangat nyata atau sangat signifikan terhadap kualitas pelayanan masyarakat. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah bahwa keduanya meneliti tentang kualitas pelayanan. Sedangkan perbedaannya, terletak pada indikator yang digunakan dalam menganalisis kualitas pelayanan. Dimana penelitian dan Mansur,

menggunakan

indikator

organisasi,

kemampuan

keterampilan,

penghargaan dan pengakuan, kepemimpinan terhadap kualitas pelayanan, sedangkan pada penelitian ini menggunakan indikator tangibles, reliability, responsivess, assurance dan empathy. 2. Wa Ode Andriani (2010), dengan judul: Pengaruh Kualitas Pelayanan Publik terhadap Tingkat Kepuasan Masyarakat di Kantor Badan Penyelenggara Pelayanan Perizinan Kota Kendari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kualitas pelayanan publik berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan masyarakat yang mendapatkan pelayanan di Kantor Badan Penyelenggara

52

Pelayanan Perizinan Kota Kendari. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah bahwa, keduanya meneliti tentang kualitas pelayanan. Sedangkan perbedaannya, terletak pada indikator yang digunakan dalam menganalisis kualitas pelayanan publik. Dimana penelitian Andriani, menggunakan indikator akuntabilitas, responsivitas, orientasi terhadap pelayanan dan efisiensi, sedangkan pada penelitian ini menggunakan indikator tangibles, reliability, responsivess, assurance dan empathy. Perbedaannya yang lain adalah pada variabel lain yang diteliti dimana Andriani, meneliti kepuasan masyarakat sedangkan penelitian ini meneliti persepsi guru. 3. Indriati Ningsih (2011), dengan judul: Pengaruh Kapasitas Pegawai terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah pada Kantor Pertanahan Kota Kendari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, ada pengaruh signifikan kapasitas pegawai terhadap kualitas pelayanan sertifikasi tanah pada Kantor Pertanahan Kota Kendari. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini, adalah bahwa keduanya meneliti tentang kualitas pelayanan dengan indikator yaitu tangibles, reliability, responsivess, assurance dan empathy. Sedangkan perbedaannya, terletak pada variabel independen yang digunakan. Pada Ningsih, menggunakan kapasitas pegawai sedangkan dalam penelitian ini, menggunakan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi guru. Berdasarkan ketiga penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan persamaan dan perbedaannya. Persamaan ketiga penelitian tersebut adalah bahwa ketiganya meneliti tentang kualitas pelayanan sedangkan perbedaannya, pada penelitian yang dilakukan oleh Tengku

53

Mansur (2008) terletak pada indikator yang digunakan dalam menganalisis kualitas pelayanan yang meliputi indikator organisasi, kemampuan dan keterampilan, penghargaan dan pengakuan, serta kepemimpinan terhadap kualitas pelayanan, pada penelitian yang dilakukan oleh Wa Ode Andriani (2010) terletak pada indikator yang digunakan dalam menganalisis kualitas pelayanan publik yang meliputi indikator akuntabilitas, responsivitas, orientasi terhadap pelayanan dan efisiensi, serta pada penelitian yang dilakukan oleh Indriati Ningsih (2011) juga terletak pada indikator yang digunakan dalam menganalisis kualitas pelayanan yang meliputi tangibles, reliability, responsivess, assurance, dan empathy.

You might also like