You are on page 1of 8

KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE DI INDONESIA1

Oleh :
Endang Hilmi2 dan Parengrengi3

ABSTRAK
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dan khas yang ditumbuhi
oleh berbagai jenis tanaman yang dapat tumbuh pada daerah yang tergenang, dengan
kadar garam yang tinggi dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hanya jenis tanaman
mangrovelah yang dapat tumbuh didaerah tersebut, sedangkan jenis tanaman lain
dipastikan tidak akan tumbuh.
Namun saat ini tingkat kerusakan ekosistem mangrove sangat tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan (1) di propinsi Riau dan kepulauan
Riau, dimana di Propinsi Riau ekosistem mangrove yang berhutan lebat adalah 4.298,85
ha, kerapatan sedang seluas 123.869,52 ha, kerapatan jarang seluas 13.147,68 ha dan
kerapatan sangat jarang seluas 119.969,28 ha. Sedangkan untuk potensi kerapatan
ekosistem mangrove di Kepulauan Riau adalah yang berhutan lebat adalah 6.772,59 ha,
kerapatan sedang seluas 25.446,33 ha, kerapatan jarang seluas 18.733,59 ha dan
kerapatan sangat jarang seluas 127.465,04 ha (2) di Seram Bagian Timur dimana
sebagian besar ekosistem mangrovenya termasuk kedalam kategori jarang.
Kerusakan ekosistem mangrove akan berdampak pada rusaknya ekosistem pesisir,
hilangnya habitat satwa daratan dan lautan, hilangnya pulau, hilangnya dan kematian dari
beberbagai jenis satwa dan flora, serta dampak-dampak lingkungan lainnya seperti
aberasi, intrusi dan banjir serta kematian organisme perairan.
Untuk itu perlu dibangun beberapa kebijakan yaitu (1) konsep pengelolaan yang
berbasis berkelanjutan (sustainable), memiliki visi ke depan (future time), terintegrasinya
kepentingan ekonomi dan ekologi, dan pelibatan masyarakat (2) membangun Kawasan
hutan lindung, (3) Melakukan Kegiatan rehabilitasi hutan (4) Perlu dibangun renstra
pengelolaan pada ekosistem mangrove (5) adanya political will untuk mempertahankan
ekosistem mangrove

PENDAHULUAN

Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dan khas yang ditumbuhi
oleh berbagai jenis tanaman yang dapat tumbuh pada daerah yang tergenang, dengan
kadar garam yang tinggi dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hanya jenis tanaman
mangrovelah yang dapat tumbuh didaerah tersebut, sedangkan jenis tanaman lain
dipastikan tidak akan tumbuh. Kondisi ini sangat dilematis, karena cukup tingginya nilai
ekonomi dari beberapa jenis mangrove (seperti Rhizophora spp dan Bruguiera spp) yang
mengakibatkan terjadinya eksploitasi yang tinggi terhadap jenis tersebut serta terjadinya,
disisi lain adanya anggapan tentang rendahnya nilai ekonomi ekosistem mangrove
memacu konversi ekosistem mangrove menjadi peruntukan lainnya. Kondisi ini jika

1
Seminar Nasional dan Kongres Perikanan 17 Juli 2007
2
Staf Pengajar Program Perikanan dan kelautan Unsoed
3
Staf Pengajar Fakultas Perikanan Unri Riau
dibiarkan terus menerus akan ini menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem mangrove
dan hilangnya ekosistem mangrove.
Kerusakan ekosistem mangrove harus dapat dicermati dan diperhatikan secara
mendalam. Karena dengan terjadinya kerusakan ekosistem mangrove selalu diikuti
dengan permasalahan-permasalahan lingkungan, diantaranya terjadinya aberasi pantai,
banjir, sedimentasi, menurunnya produktivitas perikanan, sampai terjadinya kehilangan
beberapa pulau kecil. Karena dengan kerusakan ekosistem mangrove berarti hilangnya
bufferzone (daerah penyangga) yang berfungsi untuk menjaga kesetabilan ekosistem
pesisir, pantai dan daratan.
Kestabilan ekosistem pesisir, pantai dan daratan merupakan suatu hal yang jarang
diperhatikan oleh hampir semua stakeholder yang berkecimpung didalam pemanfaatan
ekosistem mangrove. Sehingga kerusakan ekosistem mangrove dianggap merupakan
suatu hal yang wajar sebagai dampak yang akan muncul akibat kegiatan pengelolaan.
Banyak stakeholder yang cenderung enggan untuk memperbaiki dan merehabilitasi
ekosistem mangrove yang dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sesuatu
yang sangat naif yang berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove, ketidakstabilan
ekosistem pesisir dan daratan.
Salah satu permasalahan yang saat ini sangat mengusik adalah laju degradasi
ekosistem mangrove sangat cepat. Bahkan pada daerah Bengkalis dan Indragiri Hilir
tingkat kerusakan saat ini sudah mencapi 50 %. Hal ini akan menyebabkan banyak
muncul permasalahan-permasalahan lingkungan. Untuk itu mari kita cermati beberapa
kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di beberapa Propinsi di Indonesia. Seberapa
besar tingkat dan laju kerusakan tersebut ? dan apa yang harus diperbuat untuk
memperbaiki kondisi ekosistem mangrove dari kerusakan saat ini ? Bagaimana caranya ?

KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE

Kerusakan ekosistem mangrove harus dapat dicermati dan diperhatikan secara


mendalam. Karena dengan terjadinya kerusakan ekosistem mangrove selalu diikuti
dengan permasalahan-permasalahan lingkungan, diantaranya terjadinya aberasi pantai,
banjir, sedimentasi, menurunnya produktivitas perikanan, sampai terjadinya kehilangan
beberapa pulau kecil. Karena dengan kerusakan ekosistem mangrove berarti hilangnya
bufferzone (daerah penyangga) yang berfungsi untuk menjaga kesetabilan ekosistem
pesisir, pantai dan daratan.
Kestabilan ekosistem pesisir, pantai dan daratan merupakan suatu hal yang jarang
diperhatikan oleh hampir semua stakeholder yang berkecimpung didalam pemanfaatan
ekosistem mangrove. Sehingga kerusakan ekosistem mangrove dianggap merupakan
suatu hal yang wajar sebagai dampak yang akan muncul akibat kegiatan pengelolaan.
Banyak stakeholder yang cenderung enggan untuk memperbaiki dan merehabilitasi
ekosistem mangrove yang dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sesuatu
yang sangat naif yang berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove, ketidakstabilan
ekosistem pesisir dan daratan.
Salah satu permasalahan yang saat ini sedang membuat gundah masyarakat,
pemerintah, misalnya di daerah propinsi Riau dan Kepulauan Riau laju tingkat
kekritisaan dan kerusakan ekosistem mangrove. Kerusakan pesisir dan mangrove sebagai
suatu habitat yang menjadi buffer dan bamper akan mengganggu kestabilan ekosistem
daratan termasuk ekosistem kepulauan.
Beberapa fakta yang ditampilkan dalam tulisan ini tentang kerusakan dan hilangnya
ekosistem pulau. Kerusakan dan hilangnya ekosistem pulau dapat dilihat dari beberapa
indikator yaitu : (1) luasnya ekosistem mangrove di propinsi Riau dan Kepulauan Riau
yang termasuk kedalam kategori jarang dan sangat jarang. Dari hasil analisis citra satelit
2006 didapatkan data bahwa dari luas kawasan ekosistem mangrove dan pesisir di
Propinsi Riau adalah yang berhutan lebat adalah 4.298,85 ha, kerapatan sedang seluas
123.869,52 ha, kerapatan jarang seluas 13.147,68 ha dan kerapatan sangat jarang seluas
119.969,28 ha. Sedangkan untuk potensi kerapatan ekosistem mangrove di Kepulauan
Riau adalah yang berhutan lebat adalah 6.772,59 ha, kerapatan sedang seluas 25.446,33
ha, kerapatan jarang seluas 18.733,59 ha dan kerapatan sangat jarang seluas 127.465,04
ha. Dari luasan mangrove berdasarkan tingkat kerapatan mangrove maka kondisi
ekosistem mangrove cenderung didominasi oleh tingkat kerapatan jarang sampai sangat
jarang. Ekosistem yang sangat jarang berarti potensi tanaman mangrovenya nyaris tidak
terlihat alias gundul total. (2) tingginya lahan kritis mangrove. Dari hasil pengamatan di
lapangan tingkat kekritisan maka untuk propinsi Riau, ekosistem mangrove yang masuk
kedalam kategori tidak rusak adalah 4.298,85 ha, kondisi rusak seluas 123.869,52 ha dan
rusak berat seluas 133.116,96 ha. Sedangkan untuk propinsi Kepulauan Riau , ekosistem
mangrove yang masuk kedalam kategori tidak rusak adalah 6.772,59 ha, kondisi rusak
seluas 25.446,33 ha dan rusak berat seluas 146.198,63 ha. Untuk itu dapat dikatakan
sebagian besar ekosistem pesisir dan mangrove di Propinsi Riau dan kepulauan Riau
termasuk kedalam kategori kritis dan sangat kritis.
Kenapa hal tersebut sampai terjadi di Propinsi Riau dan kepulauan Riau. Hal yang
paling mudah diungkapkan adalah pada ekosistem pesisir dan mangrove sering terjadi (1)
teki/Cerucuk, masalah teki/cerucuk muncul karena pemanfaatan kayu berdiameter < 10
cm yang digunakan untuk pondasi rumah. Selain bermasalah terhadap regenerasi hutan,
juga dapat menyebabkan terhambatnya proses suksesi hutan mangrove. Hal ini
menyebabkan terjadi abrasi, dan hilangnya beberapa ekosistem pulau. Dan sangat
disayangkan teki juga dilakukan di daerah-daerah jalur hijau hutan mangrove. (2)
Konversi hutan untuk pemukiman, pabrik, perkebunan dan sawah tanpa melihat dan
memperhatikan fungsi dan keberadaan hutan mangrove bagi kestabilan ekosistem. (3)
Rusaknya habitat akibat kegiatan konversi dan eksploitasi yang berlebihan Indikatornya
adalah makin sedikitnya jenis-jenis yang tumbuh di hutan mangrove, hutan rawa dan
rawa gambut, terjadinya pendangkalan lumpur, abrasi, dan erosi, serta tingkat
sedimentasi yang tinggi. Ciri khas ekosistem rusak adalah ada invasi Acrosticum aureum,
Acanthus ilicifolius, serombong laut dan rumput lidi, hilangnya dan berkurangnya jenis-
jenis komersial, terjainya abrasi pantai dan sedimentasi yang tinggi. (4) Pencemaran.
Pencemaran terjadi akibat berdirinya pabrik-pabrik seperti pabrik sagu, dan pabrik
sawit.
Hal yang sama juga terjadi di Seram Bagian Timur. Dari hasil penelitian di daerah
Bula, Nama Timor, Hokor, Sesar, Englas, Silohan, Hote, Benggoi, Salas, dan Bolifar,
didapatkan Hasil sebagai berikut : (1) Tingkat kerapatan diekosistem mangrove di daerah
Bula termasuk jarang. pH umumnya asam, permeabilitas lambat, dengan C organik
rendah, top soil tipis (<10 cm), salinitas 29.86 (tinggi). Kondisi tanah dengan pH yang
asam, permeabilitas lambat, top soil yang tipis, C organik yang rendah, dan salinitas yang
tinggi, menyebabkan hanya jenis-jenis tertentu yang dapat tumbuh, dengan tingkat
kerapatan yang jarang. Sedangkan dari kondisi kualitas air, seperti pH tanah relatif basa,
DO rendah (<1), salinitas yang relatif tinggi, dan kandungan merkuri rendah. Kondisi
kualitas air dapat menghambat pertumbuhan mangrove. Faktor lainnya menyebabkannya
rendahnya tingkat kerapatan pohon diekosistem mangrove bula adalah habitatnya agak
kering, dan suplai air tawar rendah. Jenis yang sedikit dominan adalah Rhizopora
apiculata, walaupun dengan tingkat kerapatan yang juga sangat rendah (2) Ekosistem di
Daerah Nama Timor masih termasuk kategori jarang, walaupun masih lebih baik
dibandingkan di ekosistem mangrove di daerah Bula. Pada dasarnya habitat ekosistemnya
berbatasan dengan pantai berpasir, sampai lumpur dalam. Tingkat kerapatan yang rendah
diduga karena faktor habitat dan adanya proses suksesi. Faktor habitat yang
mempengaruhi adalah . pH umumnya asam, permeabilitas cukup lambat, C organik
rendah, top soil tipis (<10 cm), salinitas 24.98(tinggi), DO rendah (<1), dan tingkat
salinitas yang tinggi. Disisi lain banyaknya anakan Ceriops menunjukan bahwa ekosistem
ini termasuk ekosistem mangrove pertengahan. Hal ini berarti ekosistem ini sangat
mungkin diekspansi oleh jenis-jenis selain jenis mangrove yang dapat tahan pada kondisi
daerah tergenang, sehingga mempercepat kerusakan ekosistem. (3) Kondisi mangrove di
ekosistem Hokor mirip dengan kondisi mangrove di Daerah Nama Timor, bahkan lebih
rusak dan termasuk kedalam kategori sangat jarang. Pada dasarnya habitat ekosistemnya
berbatasan dengan pantai berpasir, sampai lumpur dalam. Tingkat kerapatan yang rendah
diduga karena faktor habitat dan adanya proses suksesi. Faktor habitat yang
mempengaruhi adalah pH umumnya asam, permeabilitas cukup lambat, C organik
rendah, top soil tipis (<10 cm), salinitas 24.98(tinggi), DO rendah (<1), dan tingkat
salinitas yang tinggi (4) Potensi kerapatan pohon di ekosistem mangrove di daerah Sesar
jauh lebih buruk dibandingkan di daerah Nama Timor, Bula dan Hokor. Bahkan dapat
dijumpai banyak tanaman yang kerdil-kerdil, sehingga tidak dapat dimasukan ke dalam
kategori pohon. Faktor lingkungan yang menyebabkan rendahnya potensi pohon adalah
ekosistem mangrove di Sesar merupakan ekosistem paling depan dan berbatasan
langsung dengan muara dan laut, subtrtat tanah tipis, top soil tipis, jarang terjadi
penggenangan. Dari faktor fisik lingkungan, didapatkan data bahwa pH tanah umumnya
asam, permeabilitas cukup lambat, C organik rendah, top soil tipis (<10 cm), salinitas air
tanah 29.98 (tinggi), dan kondisi perairan dengan DO rendah (<1), dan tingkat salinitas
tinggi, menyebabkan banyak pohon yang mati (5) Kondisi ekosistem didaerah Englas
mirip dengan kondisi ekosistem yang terdapat di Sesar, termasuk ekosistem yang rusak
dan sangat jarang. Hal ini disebabkan karena ekosistemnya merupakan daerah pantai
bertanggul pasir sehingga air tidak masuk, muara sungai cukup jauh sehingga suplai air
tawar terhambat. Faktor ini mengakibatkan tanah menjadi kering yang menyebabkan
banyak tanaman yang mati. Namun semakin ke dalam akibat adanya suplai air tawar dari
muara, adanya penggenangan, anakan mangrove tumbuh dengan cepat, sehingga dapat
membantu proses suksesi mangrove. Namun potensi pohonnya tetap masih relatif
sedikit. Namun jika dibiarkan secara alami maka proses suksesi akan berjalan dengan
baik (6) Ekosistem mangrove didaerah Silohan Termasuk kedalam ekosistem dengan
tingkat kerapatan yang sedang, namun termasuk kondisi ekosistem ini dikategorikan
rusak karena adanya dominasi pohon cemara (Casuarina equisetifolia). Potensi cemara
ini bukan termasuk ekosistem mangrove. Rendahnya kerapatan mangrove juga
disebabkan karena pH umumnya asam, permeabilitas cukup lambat, C organik rendah,
top soil tipis (<10 cm), salinitas 24.88 (tinggi), dan kondisi perairan berupa DO yang
rendah (<1), dan salinitas yang tinggi. (7) Ekosistem mangrove di daerah Hote termasuk
ekosistem mangrove baik, Namun untuk ekosistem mangrove yang terdapat di daerah
yang berhadapan dengan laut (memiliki karakteristik pantai berpasir yang kering) didapat
ekosistem mangrove yang rusak. Sedangkan pada ekosistem dibelakangnya pertumbuhan
mangrove cukup baik. Namun sangat disayangkan adanya proses penebangan
menyebabkan banyak pohon mangrove yang mati. Faktor yang mempengaruhi tingkat
kerapatan bakau di daerah Hote adalah pH umumnya asam, top soil tipis (<10 cm),
salinitas 39.79 (sangat tinggi), dan kondisi perairan yang kurang mendukung dari sudut
DO rendah (<1), salinitas tinggi. (8) Ekosistem mangrove di Benggoi, termasuk
ekosistem mangrove yang sangat rusak, selain karena adanya proses sedimentasi yang
menyebabkan daerah lumpur dalam menjadi daratan, yang memudahkan ekspasi dari
nypa frutican dan Piyai laut (Acrosticum aureum), menyebabkan tanaman mangrove
banyak yang mati. Selain itu banyak tanaman mangrove yang mati dan tumbang (9)
Ekosistem mangrove didaerah Salas, termasuk kedalam ekosistem mangrove yang baik.
Namun pertumbuhan diameternya kurang optimal akibat terlalu rapatnya tanaman dan
(10) Sedangkan di daerah Bolifar termasuk ekosistem mangrove rusak dan sangat jarang,
karena adanya konversi areal mangrove menjadi tanaman kelapa .

DAMPAK YANG TERJADI DARI DEGRADASI EKOSISTEM MANGROVE


Kondisi ini berdampak pada (1) terjadinya degradasi mangrove yang sangat cepat
yang berdampak pada mempercepatnya kehilangan pulau dan wilayah pesisir, (2)
Penurunan keanekaragaman jenis flora dan fauna di Indragiri Hillir, diantaranya:
Degradasi flora Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. (hutan mangrove). Hampir
punahnya jenis-jenis siamang (Presbytis syndactylus), beruang madu (Helarctos
malaynus), kucing hutan (Felis bengalensis), burung elang bondol (Haliastur indus),
bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), cangak sumatera (Ardea sumatrana), kuntul
putih (Egretta alba), rangkong badak (Buceros rhinoceros), rangkong papan (Buceros
bicornis), ular sanca (Phyton sp.), biawak (Vranus alvator), buaya (Crocodilus sp.). (3)
Fenomena intrusi yang sangat dirasakan pada daerah-daerah pesisir hutan yang ekosistem
hutannya sudah rusak. Hutan mangrove yang berfungsi sebagai buffer zone dari masalah-
masalah lingkungan menjadi tidak atau kurang berfungsi akibat rusaknya ekosistem
tersebut. Sehingga pada akhirnya menyebabkan masalah-masalah lingkungan (4)
Fenomena Abrasi juga dirasakan oleh masyarakat terutama di pantai yang berhadapan
dengan selat dan laut, Hal ini disebabkan karena tingkat kerapatan pohon per hektar dari
jenis-jenis mangrove sangat sedikit. Sehingga kemampuan mangrove mencegah abrasi
menjadi berkurang. (5) adanya fenomena banjir. (6) adanya prediksi akan hilangna pulau-
pulau kecil yang menjadikan ekosistem mangrove sebagai bufferzone.
Yang paling menarik dari konsekuensi yang akan ditimbulkan akibat terjadinya
keserakaan manusia untuk mengeksploitasi dan mengkonversi habis daerah pesisirnya.
Yaitu hilangnya dan terkikisnya pulau-pulau kecil di Indonesia. Perlu memang untuk
dicermati dan direnungkan agar kehilangan pulau tidak terus berlanjut. Namun yang
paling penting adalah mencegah hilangnya dan punahnya ekosistem dan habitat
mangrove dan pesisir, hilang dan punahnya keanekragaman hayati baik flora maupun
fauna baik didarat maupun di perairan. Dan penting rasanya untuk kita hayati bersama
agar dampak-dampak lingkungan seperti aberasi, intrusi, dan banjir tidak terjadi.

KONSEP APA YANG HARUS DILAKUKAN DALAM MENCEGAH


TERJADINYA KERUSAKAN EKSOSITEM MANGROVE
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga ekosistem
pesisir, ekosistem pulau dan ekosistem mangrove yaitu : (1) dibangun suatu konsep
pengelolaan yang berbasis berkelanjutan (sustainable), memiliki visi ke depan (future
time), terintegrasinya kepentingan ekonomi dan ekologi, dan pelibatan masyarakat (2)
membangun Kawasan hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan fungsinya
untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam,
sumberdaya buatan, dan nilai bersejarah, budaya bangsa guna kepentingan pembangunan
berkelanjutan (3) Melakukan Kegiatan rehabilitasi hutan harus memperhatikan pola
adaptasi tanaman, kesesuaian lahan dan lingkungan, sebaiknya jenis-jenis endemik
setempat, serta disukai dan memberikan tambahan ekonomi bagi masyarakat, (4) Perlu
dibangun renstra pengelolaan pada ekosistem mangrove yang dapat mengurangi tekanan
masyarakat terhadap hutan mangrove diantaranya dilakukan pengalihan mata
pencaharian masyarakat, dimana terdapat sebagian masyarakat yang masih mencari kayu
mangrove untuk dijual. Untuk mengatasi hal ini maka perlu dilakukan upaya
peningkatan potensi ikan di kawasan hutan mangrove yaitu dengan melakukan
penanaman mangrove sehingga mangrove dapat menjadi nursery ground dan fishery
ground. Dalam jangka panjang hal ini dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap
hutan mangrove (5) adanya political will untuk Mempertahankan ekosistem mangrove
sebagai upaya untuk menjaga keberadaan pulau-pulau kecil dan gugus pulau.
Selain itu perlu dibangun membangun kawasan lebar jalur hijau hutan mangrove
sebagai hutan lindung zone pantai (the width of mangrove green belt as coastal zone
protection forest). Jalur hijau hutan mangrove ini selain berfungsi sebagai penyangga
atau buffer terhadap angin, gelombang dan arus juga mempunyai fungsi (1) sumber
produktivitas primer perairan, (2) tempat berlindungnya organisme, (3) stabilisator proses
pengendapan lumpur, (4) sebagai filter bagi pencemaran perairan.
Beberapa model tentang penentuan lebar jalur hijau hutan mangrove sebagai
greenbelt adalah sebagi berikut
1. Rumusan dari pertemuan para pakar ekosistem pesisir dan hutan mangrove.
Berdasarkan kesepakatan para pakar dibuat hubungan antara rata-rata
tunggang dari pasang purnama air laut, maka dibuat rumus lebar jalur hijau
dengan rumus
(132 x rata-rata tunggang pasang purnama) meter
Dari hasil penelitian diketahui rata-rata pasang tunggang di Indonesia
mencapai 4 – 5 m. Untuk itu harus ada greenbelt hutan mangrove selebar 528 –
660 meter.
2. Rumusan hubungan hutan mangrove dengan intrusi air laut
Menurut Hilmi (1998), dengan menggunakan studi kasus di Jakarta dibuat
rumusan jalur hijau hutan mangrove untuk mengurangi intrusi air laut adalah
sebagai berikut :
0.05)
a. Intrusi =1/(-13.96+(15.04 lebar jalur hijau )
(-0.006 lebar jalur Hijau)
b. Intrusi = 3.3 μ 0.07 e
Untuk mengurangi intrusi air laut maka pesisir Jakarta disarankan
memiliki Greenbelt hutan mangrove selebar 1000 meter. Hal ini didasarkan pada
kondisi bagaimana kita dapat meminimalkan terjadinya intrusi air laut.
3. Rumusan berdasarkan hasil penelitian
Menurut Suwelo dan Manan (1986), hendaknya dibuat jalur hijau
konservasi hutan bakau dipesisir selebar 120 m, 210 m dan 300 meter tanpa
adanya kegiatan pemanfaatan kayu didalamnya. Menurut Tim Ekologi IPB,
daerah pesisir perlu dibuat daerah perlindungan selebar 1,5 – 6 km. Sedangkan
berdasarkan hasil penelitian Ruslan (1986) yang dilakukan di Aceh dengan
memperhatikan tingkat penggenangan air laut. Hasil penelitian menunjukan
bahwa diperlukan lebar hutan mangrove selebar 510 – 3555 meter dari garis
pantai.
4. Greenbelt untuk populasi kepiting sebagai hewan komersial yang hidup di
ekosistem mangrove
Model hubungan antara tingkat kerapatan (variabel X) dengan populasi
kepiting (Y) adalah sebagai berikut :
Y= 8,535986337/(1- 0,002620491334*x)
R2 = 0,9930731631
5. Greenbelt untuk habitat phytoplankton
Model pendugaan potensi phytoplankton dengan varibel penduga adalah
kerapatan mangrove adalah :
Y = exp (11,68799359 + 0,0902076113*x) dan x = kerapatan mangrove
Coefficient of Multiple Determination (R^2) = 0,9904170469

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Ekosistem mangrove di sebagian besar ekosistem pesisir di Indonesia telah


mengalami proses kerusakan yang sangat hebat. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya
kerusakan adalah eksploitasi yang berlebihan, illegal logging, pencemaran, konversi, teki
dan pembabatan anakan mangrove dan banyk faktor lainnya.
Kerusakan ekosistem mangrove akan berdampak pada rusaknya ekosistem pesisir,
hilangnya habitat satwa daratan dan lautan, hilangnya pulau, hilangnya dan kematian dari
beberbagai jenis satwa dan flora, serta dampak-dampak lingkungan lainnya seperti
aberasi, intrusi dan banjir serta kematian organisme perairan.
Untuk itu perlu dibangun beberapa konsep diantaranya dibangun (1) konsep
pengelolaan yang berbasis berkelanjutan (sustainable), memiliki visi ke depan (future
time), terintegrasinya kepentingan ekonomi dan ekologi, dan pelibatan masyarakat (2)
membangun Kawasan hutan lindung, (3) Melakukan Kegiatan rehabilitasi hutan (4) Perlu
dibangun renstra pengelolaan pada ekosistem mangrove (5) adanya political will untuk
mempertahankan ekosistem mangrove

DAFTAR PUSTAKA

Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN Wetland Program.


Bangkok.
Aksornkoae, S., G. Wattayakorn and W. Kaetpraneet. 1978. Physical and Chemical
Properties of Soil and Water in Mangrove Forest at Ampkoe Klung Changwat
Chantaburi Thailand. UNESCO. Bangkok.
Alaerts, G. dan S. S. Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya
Alvarez, R.L and I.H. Garcia. 2003. Biodiversity Associates with Mangrove in Colombia.
ISME/Glomis Electronic Journal Vol 3. No. 1
Ananda,K dan K.R. Sridhar. 2004. Diversity of filamentous fungi on decomposing leaf
and woody litter of mangrove forests in the southwest coast of India. Current
Science, Vol. 87, No. 10, 25 November 2004. 1431
Armitage, P.D and G.E. Petts, 1992. Biotic Score and Prediction to Assess the Effects of
Water Abstractions on River Macroinvertebrates for Conservation Purposes.
Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystem. 2: 1-17.
Bargos, T.,Mesanza, J.M., Basaguren, A and E.Orive, 1990. Assessing River Water
Quality by Means of Multifactorial Methods Using Macroinvertebrates. A
Comparative Study of Main Water Course of Biscay. Water Research. 24(1): 1-10.
Cairns, J and J.R. Pratt, 1993. A History of Biological Monitoring Using Benthic
Macroinvertebrates. In: D.M Rosenberg and V.H. Resh (Eds). Freshwater
Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York.
pp 10-24.Hutchings, P dan P. Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. University of
Queensland Press. New York.
Clark, J. 1974. Coastal Ecosystem. Ecological Consideration for Management of
coastal Zone the Conservation Foundation. D. C
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Laut Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Palumahuny. 2003. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Raha Pulau Muna Sulawesi
Tenggara. Jurnal Pesisir Pantai Indonesia, 6: 16-21.
Richardson, C.J. & S.S. Qian. 1999. Limits of phosphorus removal in wetlands.
Wetlands Ecology and Management 7: 235–238
White, L.P and L.G. Plaskett. 1981. Biomass as Fuel. A Subsidiary of Harcourt Brace
Jovanovich, Publishers. London, New York, San Fransisco

Nama : Dr. Endang Hilmi, S.Hut, M.Si


Pekerjaan : Staf Pengajar PSPK Unsoed
NIP : 132 304 066
Pendidikan Terakhir : S – 3 Ilmu Pengetahuan Kehutanan
IPB

You might also like