You are on page 1of 4

DEFISIENSI MORAL TERHADAP

PELANGGARAN NILAI DAN NORMA


Tag: Artikel, berita, Budaya, Defisiensi Moral, Moral, Norma, opini, Patologi Sosial,
Pendidikan, Pendidikan Indonesia, Pendidikan keluarga, perilaku, psikologi,
psikologi pendidikan, psikologis, Sikap sosial.

Sumber: http://tarmizi.wordpress.com/2009/01/31/defisiensi-moral-terhadap-
pelanggaran-nilai-dan-norma/

Masalah defisiensi moral sering


menimbulkan kecemasan sosial karena
eksesnya dapat menimbulkan “gap
generation” sebab para generasi muda yang
diharapkan sebagai kader-kader penerus
menjadi calon-calon pemimpin bangsa
(revitalising agent) banyak tergelincir dalam
lumpur kehinaan, bagaikan kuncup bunga
yang berguguran sebelum mekar menyerbakkan wangi.

Hampir setiap surat kabar, baik nasional maupun lokal, terendus berita tentang
kejahatan, perkosaan, pembunuhan dan lain-lain sehingga membuat prihatin berbagai
pihak. Si pelaku tidak ada belas kasihan sedikit pun terhadap korbannya. Adapun si
korban, baik yang menimpa orang dewasa, remaja, maupun anak-anak, akan
mengalami depresi yang berat, stres, dan traumatis. Jadi, dalam hal ini semua orang
menjadi rentan terhadap korban kejahatan.

Kejahatan adalah suatu tindakan antisosial yang menjijikan, tidak pantas, tidak
dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Ini berarti
bahwa setiap kejahatan bertentangan dengan kesusilaan. Adapun pelaku tindak
kejahatan ini telah mengalami defisiensi moral.

Menurut Kartono (1997:205), “Defisiensi moral adalah kondisi individu yang


hidupnya delingment (nakal, jahat), selalu melakukan kejahatan dan bertingkah laku
asosial atau antisosial. Ciri-ciri orang yang mengalami defisiensi moral cenderung
psikotis dan mengalami regresi, dengan penyimpangan-penyimpangan relasi
kemanusiaan. Sikapnya dingin, beku, tanpa afeksi. Emosinya labil, munafik, jahat,
sangat egoistis, self centered, dan tidak menghargai orang lain. Di sisi tingkah laku,
orang yang mengalami defisiensi moral selalu salah dan jahat (misconduct), sering
melakukan kekerasan, kejahatan, dan penyerangan. Ia selalu melanggar hukum,
norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Pada tulisan ini akan diuraikan khususnya pada pelanggaran para defisiensi
moral terhadap norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Pelanggaran terhadap Norma

Maran (2000:41) berpendapat, ”Norma adalah suatu aturan khusus, atau


seperangkat peraturan tentang apa yang harus dan apa yang tidak dilakukan oleh
masyarakat.” Norma adalah standar yang ditetapkan sebagai garis pedoman bagi
setiap aktivitas manusia. Namun demikian, secara aktual, perilaku manusia dapat
menyimpang dari norma-norma yang ada. Pelanggaran terhadap norma bagi para
defisiensi moral tanpa selembar rasa belas kasihan dan perikemanusiaan bahkan
sampai dua kali lipat dari para pembunuh moral.

Mengingat kejamnya para defisiensi moral sehingga ia tidak lagi mengakui


adanya norma yang berlaku, membuat kita harus dapat berhati-hati terhadap mereka.
Sewaktu-waktu bahaya maut akan selalu mengancam kita.

Menurut hasil penelitian bahwa kurang dari 18% para defisiensi moral menjadi
penjahat disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan. Maka menjadi jelas bagi kita
bahwa pengaruh lingkungan itu sangat kecil pengaruhnya untuk menjadikan orang
menjadi defek moral. Dalam defek moral itu lebih banyak ditentukan oleh faktor
disponsisional dan konstitusional dari kejujurannya. Itulah sebabnya para defisiensi
moral dapat dikategorikan pada tipe psikopat.

Pelanggaran terhadap Nilai-Nilai yang Berlaku

Nilai mempunyai makna abstrak yang merupakan suatu standar kebenaran yang
harus dimiliki, yang diinginkan dan yang layak dihormati. Meskipun mendapat
pengakuan luas, nilai-nilaipun jarang ditaati oleh setiap anggota masyarakat.

Nilai mengandung suatu kepercayaan manusia yang berhubungan dengan


Tuhan. Dari sini muncullah nilai-nilai agama yang harus diyakini kebenarannya oleh
semua orang. Akan tetapi, bagi para defisiensi moral keyakinan terhadap nilai-nilai
agama semakin luntur bahkan sudah hilang sama sekali.

Pelaku kejahatan atau defisiensi moral tidak mau mengikatkan diri kepada
khaliknya. Mereka jelas melupakan suatu kebenaran dan kewajibannya kepada sang
penciptanya. Kesehari-hariannya, ia bergelut dengan dosa tanpa adanya rasa
penyesalan sedikit pun.
Pelanggaran terhadap nilai-nilai agama termasuk dalam pengingkaran atas
keesahan Allah. Para defisiensi moral hanya menginginkan adanya kebebasan,
adanya aturan-aturan di dalam ajaran agama dianggap sebagai pembatasan terhadap
kebebasan baginya. Mereka ingin bebas tanpa frame nilai-nilai agama. Membunuh,
memperkosa, mencuri, dan lain sebagainya yang termasuk dalam perbuatan yang
bertentangan dengan agama sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya. Itulah
sebabnya, peran kiyai dan ulama kini mendapatkan tantangan yang berat untuk
memberi kesadaran bagi kaum defisiensi moral.

Pada akhir tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa tindak kejahatan para
defisiensi moral marak terjadi di masyarakat bahkan bisa merambah ke lingkungan
kita. Mereka jadi brutal dan tidak berperikemanusiaan, sering melakukan pelanggaran
baik moral maupun nilai-nilai agama. Tindakan ini harus dicegah sedini mungkin
agar generasi bangsa yang sedang mekar dapat diselamatkan. Para penegak hukum
dan penegak ajaran agama mendapatkan tantangan yang terberat guna menghadapi
para defisiensi moral ini. Akankah jumlah mereka berkurang? Atau setidak-tidaknya
dapat memberi kesadaran baginya? ini semua kita kembalikan kepada pribadi mereka
sendiri. Masih tersisa secuil harapan yang optimis bahwa generasi muda yang kita
cintai akan terhindar dari defisiensi moral ini. Hal ini dapat terjadi jika para generasi
muda benar-benar menyadari bahwa dirinya mempunyai potensi sehingga mampu
menggerakkan sejumlah cita-cita untuk negara dan bangsa. Ada sedikit harapan jika
Allah membukakan mata hati bagi para defisiensi moral sehingga virus ini tidak
melekat dan menular pada generasi muda Indonesia. Insya Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya
Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.

Kartono, Kartini. 1997. Patologi Sosial. Bandung: CV Rajawali

=============================================================

MOHON DOA RESTUNYA.


ARTIKEL INI DIIKUTKAN DALAM LOMBA
“BLOG COMPETITION 2009“

=============================================================

You might also like