You are on page 1of 54

KATA PENGANTAR

Tulisan ini diperuntukan bagi mahasiswa program sarjana guna memahami teori sosiologi klasik. Tokoh yang berperan membangun teori sosiologi klasik diantaranya Auguste Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, Georg Simmel, Herbert Spencer. Tokoh-tokoh ini telah memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan sosiologi sebagai ilmu. Teori Sosiologi Klasik merupakan dasar untuk mempelajari mata kuliah teori sosiologi kontemporer, pemikiran dari para tokoh teori sosiologi klasik banyak mempengaruhi bahkan menjadi dasar berpijak dari munculnya teori-teori dari para tokoh yang kemudian dikategorikan dalam teori sosiologi kontemporer. Pemikiran-pemikiran serta konsep-konsep para tokoh sosiologi klasik dapat dikatakan sampai kapan pun akan terus menjadi payung munculnya teori-teori baru di kemudian hari.
Dalam teori sosiologi klasik akan dibahas latar belakang dari perkembangan teori sosiologi dan riwayat hidup dari para tokoh sosiologi klasik serta pemikiranpemikiran mereka. Kajian para tokoh sosiologi klasik tersebut awalnya mengenai masyarakat Eropa yang sedang beralih dari struktur agraris ke struktur industri. Kemunculan tokoh-tokoh klasik tersebut hampir bersamaan pada abad 19, tepatnya ketika benua Eropa terjadi revolusi di Perancis. Selanjutnya kajian-kajian yang terjadi di Eropa tersebut dicari relevansinya dengan benua-benua lain dalam batas-batas generalisasi yang wajar. Krakteristik pemikiran para tokoh sosiologi klasik pada umumnya pandangannya bersifat makro atau umum, yang berbeda dengan teoritisi selanjutnya yang lebih bersifat mikro.

Untuk itu pemahaman mengenai teori sosiologi klasik ini sangat penting bagi siapapun yang ingin mendalami sosiologi, karena selain teori sosiologi klasik merupakan embrio bagi perkembangan teori sosiologi, teori sosiologi klasik juga mengandung konsep-konsep yang sangat berguna dalam rangka membangun wawasan dan memudahkan dalam menginterpretasi terhadap kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat. Jadi tidak lengkap jika para pecinta sosiologi tidak mendalaminya. Seorang sosiolog kondang dari Inggris yaitu Anthony Giddens yang menulis buku capitalism and modern social theory (1971) menegaskan bahwa tiga serangkai Karl Mrx, Emile Durkheim, dan Max Weber merupakan bapakbapak pendiri sosoiologi yang memiliki sumbangan besar dalam menentukan obyek kajian, landasan metodologi, bangunan teori sosiologi sebagai body of social science. Selanjutnya perjuangan ketiga serangkai tersebut dalam mewujudkan sosiologi sebagai ilmu sangat signifikan. Mempelajari pemikiran beberapa tokoh tersebut oleh Giddens diibaratkan menyelam ke dalam lautan, artinya begitu luasnya pengetahuan yang dibentuk oleh tiap-tiap tokoh tersebut sehingga untuk mempelajarinya tidak dapat secara serampangan, namun harus penuh konsentrasi.

Semoga tulisan ini dapat memberi rangsangan positif bagi mahasiswa guna terus mencari referensi lain yang memperkuat kemampuan berteori atau memahami teori, khususnya teori sosiologi klasik.

BAB I A. PERUBAHAN SOSIAL EROPA DAN PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI Perubahan sistem politik, ekonomi, dan budaya yang terjadi pada masyarakat Eropa pada awal abad 18 dan 19 telah mengundang beberapa ahli sosiolog untuk melakukan riset, seperti Auguste Comte (Perancis), Karl Marx (Jerman), Max Weber (Inggris), Emile Durkheim (Perancis), dan George Simmel. Beberapa peristiwa penting yang terjadi di Eropa, antara lain; 1. Revolusi Politik (Perancis) Rentetan panjang revolusi politik yang dihantarkan oleh Revolusi Perancis 1789 dan revolusi yang berlangsung sepanjang abad 19 merupakan faktor yang paling besar perannya dalam perkembangan teori sosiologi. Dampak revolusi politik terhadap masyarakat sangat dahsyat dan banyak perubahan positif yang telah dihasilkannya. Tetapi, yang menjadi sasaran perhatian kebanyakan ahli teori itu bukan konsekuensi positifnya, tetapi efek negatifnya. Para pemikir merasa prihatin dengan munculnya chaos dan kekacauan yang ditimbulkan revolusi, terutama di Perancis. Mereka bertekad untuk berupaya memulihkan ketertiban masyarakat. Sejumlah pemikir yang lebih ekstrem saat itu benar-benar ingin kembali ke keadaan seperti Abad Pertengahan yang penuh kedamaian dan ketertiban. Pemikir yang lebih canggih menyadari bahwa ada kemungkinan untuk menciptakan perubahan sosial yang dapat mengembalikan kepada keadaan yang didambakan itu. Oleh karenanya mereka mencoba menemukan landasan tatanan baru dalam masyarakat yang telah dijungkirbalikkan oleh revolusi politik abad 18 dan 19. Perhatian terhadap masalah ketertiban sosial ini menjadi salah satu perhatian utama teoritisi sosiologi klasik, terutama Comte dan Durkheim.

2. Revolusi Industri (Inggris) dan kemunculan kapitalisme Revolusi industri yang melanda masyarakat Eropa terutama abad 19 dan awal abad 20 merupakan faktor langsung yang memunculkan teori sosiologi. Setelah Revolusi Industri banyak orang meninggalkan usaha pertanian dan beralih ke pekerjaan industri yang ditawarkan oleh pabrik yang berkembang. Dipihak lain kekuatan kapitalisme semakin menguat dalam menguasai pasar dengan produknya, sementara buruh semakin dieksploitasi tenaganya;upah rendah, PHK. Kondisi ini mendorong lahirnya pergolakan kaum buruh terhadap kapitalisme. 3. Kemunculan Sosialisme 4. Jerman Di Jerman pun, industrialisasi dan pergolakan politik menambah usaha orang untuk mengerti masyarakat dan perubahan sosial. Suatu segi yang penting dalam perubahan sosial yang menarik perhatian seoarng ahli teori Jerman, yakni Max Weber adalah pengaruhnya yang semakin bertambah dari bentuk-bentuk organisasi sosial hirarkis yang rasional sifatnya. Perubahan-perubahan sosial tersebut memunculkan cara baru dalam melihat dunia dan dalam memperoleh pengetahuan mengenai dunia, terutama adanya suatu orientasi ilmiah yang sedang menggantikan orientasi agama. Akumulasi dan analisa mengenai data empirik menggantikan kepercayaan akan wahyu supranatural dan tradisi-tradisi yang sudah mapan sebagai sumber utama untuk kebenaran dan pengetahuan.

Comte adalah tokoh dari Perancis yang mengkaji tentang perkembangan masyarakat melalui karyanya The Philosophy of positive, Karl Marx, adalah tokoh dari Perancis yang mengkaji tentang perkembangan masyarakat melalui karyanya The Philosophy of positive, Karl Marx, adalah tokoh dari Perancis yang mengkaji tentang perkembangan masyarakat melalui karyanya

The Philosophy of positive, Karl Marx, adalah tokoh dari Perancis yang mengkaji tentang perkembangan masyarakat melalui karyanya The Philosophy of positive, Karl Marx, adalah tokoh dari Perancis yang mengkaji tentang perkembangan masyarakat melalui karyanya The Philosophy of positive, Karl Marx, adalah tokoh dari Perancis yang mengkaji tentang perkembangan masyarakat melalui karyanya The Philosophy of positive, Model-model teoritis yang dikembangkan oleh beberapa tokoh tersebut beragam,

Pada awal abad kesembilan belas, metode ilmiah sudah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan fisik. Dalam ilmu fisika dan astronomi sudah diakui bahwa benda-benda fisik, seperti binatang, batubatu yang jatuh, dapat dijelaskan menurut kekuatan-kekuatan ini dapat ditemukan dengan menggunakan pikiran manusia untuk menganalisa data empiris yang sudah dikumpulkan dengan cermat dan sistematis. Hasilnya akan merupakan penemuan hukum-hukum deterministik yang kadangkadang diungkapkan secara matematis. Perubahan-perubahan sosial yang pesat dan melausnya dalam struktur sosial dan pergeseran budaya yang mendasar dalam orientasi intelektual yang berkaitan dengan perilaku manusia dan masyarakat mendorong munculnya perpespektif sosiologis. Perubahan-perubahan ini menghasilkan refleksi yang sadar akan isu-isu dalam sosiologi dan mendorong untuk menatasinya dengan analisa-analisa ilmiah. Akibatnya beberapa teoritisi, yang salah satunya adalah Auguste Comte, mengembangkan model-model mengenai perubahan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa bentukbentuk masyarakat modern dan kompleks (seperti masyarakat Barat) merupakan kulminasi dari suatu proses evolusi yang lama, yang mulai dengan masyarakat sederhana dan primitif. Selain Auguste Comte, terdapat teoritisi lainnya, seperti Simmel, Spencer, Karl Marx, Max Weber, dan

lainnya. Para teoritisi tersebut mengembangkan teorinya dengan memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat di zamannya.

B. PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI Mempelajari kehidupan masyarakat merupakan pekerjaan yang rumit, karena kehidupan masyarakat itu sendiri selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sosiologi memiliki kekayaan teoritis luar biasa. Faktor-faktor diantaranya; Revolusi politik di Perancis Revolusi industri di Inggris Revolusi Intelektual di Eropa Kemajuan Teknologi Modernisasi Demokratisasi Skema perkembangan teori sosiologi Pada awalnya kemunculan sosiologi banyak perdebatan, apakah sosiologi merupakan ilmu pengetahuan atau gerakan untuk perbaikan masyarakat. Perdebatan tersebut selalu dihadirkan oleh berbagai kalangan. Pendapat yang menyebutkan bahwa sosiologi merupakan suatu aksi perbaikan masyarakat banyak mendapat dukungan , karena pada awalnya teori-teori yang muncul digunakan untuk melakukan aksi-aksi sosial yang bertujuan mendapat kehidupan yang lebih baik. Dalam pandangan tersebut sosiologi dipandang sebagai cara untuk mendiagnosis dan membahas sejumlah patologi, serta memperbaiki fungsi organ-organi tersetntu dalam masyarakat. Sedangkan pendapat yang menyebut sosiologi sebagai ilmu yang mempengaruhi perkembangan teori sosiologi,

pengetahuan belum mendapat pengakuan dari banyak kalangan, karena belum jelas karakteristiknya sebagai suatu disiplin yang ilmiah. Banyak kalangan yang menyindir sosiologi bukan ilmu tetapi masuk dalam ruang

lingkup seni. Selain itu muncul juga tuduhan bahwa untuk mempelajari perilaku masyarakat tidak perlu dengan teori, namun cukup dengan nalarsebab bebrbeda dengan fenomena alam. Pernyataan-pernyataan tersebut adalah bentuk sinisme kaum positivis yang selalu ingin mengukur atau mempelajari fenomena sosial dengan fenomena alam. Istilah sosiologi sendiri pertama kali digunakan oleh Auguste Comte sekitar tahun 1800-an melalui karyanya yang berjudul positive of philosophy, melalui karya besar Comte tersebut, sosiologi kemudian diakui sebagai ilmu pengetahuan dan Comte kemudian sering disebut sebagai bapak sosiologi. Menurut Comte bahwa sosiologi sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan pengamatan yang sistematis dan mengklasifikasikan perilaku manusia. Lalu pada 1876, Herbert Spencer di Inggris menerbitkan teks sosiologi pertama, diikuti oleh Lester F Wrd dengan bukunya yang berjudul Dynamic Sociology di Amerika pada tahun 1883. Langkah-langkah tersebut diikuti oleh Max Weber di Jerman, Emile Durkheim di Perancis, dan William Graham Sumner, Charles Horton, dan Albion W Small di Amerika Serikat. Kalangan universitas di Amerika memunculkan sosiologi pada tahun 1890 dan menerbitkan American Journal of sociology pada tahun 1895. Organisasi yang menghimpun pada sosiolog muncul pada tahun 1905 dengan dibentuknya American Sociological Association. Di Indonesia sarjana pertama kali mengajar sosiologi adalah Soenario Kolopaking. Ia mengajar sosiologi pada tahun 1948 di Akademisi Ilmu Politik di Yogyakarta (sekarang melebur pada Universitas Gadjah Mada). Tokoh yang pertama kali menulis buku sosiologi dalam bahasa Indonesia adalah Djody Gondokusumo. Bukunya berjudul Sosiologi Indonesia. Kemudian muncul buku tulisan Hasan Shadily dengan judul sosiologi untuk masyarakat Indonesia. Ahli-ahli sosiologi yang muncul berikutnya adalah Selo Soemarjan, SMP

Tjondronegoro, Sajogyo, Soerjono Soekanto, dan lainya. Perkembangan sosiologi berlangsung pesat sejalan dengan

perkembangan masyarakat yang menjadi obyek telaahnya. Perkembangan

sosiologi memunculkan berbagai cabang sosiologi. Cabang-cabang sosiologi tersebut antara antara lain sosiologi pedesaan, sosiologi perkotaan, sosiologi pembangunan, sosiologi pertanian. Perkembangan sosiologi juga tidak terlepas dari perkembangan ilmu-ilmu lainnya, sehingga memunculkan cabang-cabang sosiologi seperti, sosiologi pembangunan, sosiologi ekonomi, sosiologi hukum, sosiologi agama, dan sosiologi agama. Selain itu, perkembangan sosiologi sesuai lokalitas, dan bergeser dari kajian makro ke mikro. Namun secara umum sosiologi tumbuh dari 3 rumah salin, yaitu jerman inggris dan amerika. Ketiga rumah salin inilah yang dominan mempengaruhi beberapa universitas pada beberapa negara berkembang, termaksud indonesia. Asal-usulnya yang berbada tempat ini menunjukan adanya beberapa kemejuan intelektual yang secara radikal bertentangan. Di perancis di tandai dengan personalitas Emile Durkheim melelui pendekatanya yang eksplikatif dan obyektif, lewat inskripsi (terjemahan) sosiologi dalam bidang ilmu pengetahuan umum dengan menggunakan model ilmu pengetahuan alam. Sebaliknya konsepsi jerman bersifat dualitis. Konsepsi ini secara jelas membedakan ilmu pengatahuan alam dengan ilmu pengatahuan alam dengan ilmu pengatahuan kejiwaan, penjelasan serta cakupanya. Sosiologi Jerman dengan dua bapak pendirinya yaitu Max Weber dan Georg Simmel kemudian menjadi bersifat komprehensif. Dalam pandangan Durkheim di anggap peristiwa (tindakan) sosial, sementara bagi Max Weder di sebut dengan aktivitas sosial. Para perintis sosiolpgi Amerika memiliki visi yang jauh lebih pragmatis dalam disiplin mereka karena bertujuan untuk mengintervensi dan membahas permasalahan yang konkrit secara emprimis. Albion Small (Chicago) membangun sejumlah laboratorium, meluncurkan berbagai program penelitian. Mempublikasikan buku-buku penuntun dan menerbitkan majalah.
URGENSI TEORI SOSIOLOGI Teori adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi

yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda.

Teori harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi teoretis maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis antara konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus terdapat konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi dan prediksi. Suatu teori dapat diterima dengan dua kriteria pertama, yaitu kriteria ideal, yang menyatakan bahwa suatu teori akan dapat diakui jika memenuhi persyaratan. Kedua, yaitu kriteria pragmatis yang menyatakan bahwa ide-ide itu dapat dikatakan sebagai teori apabila mempunyai paradigma, kerangka pikir, konsepkonsep, variabel, proposisi, dan hubungan antara konsep dan proposisi. Teori berperan sebagai pisau analisis, artinya jika seorang pendidik memiliki kekayaan teori maka akan memudahkan dalam memahami dan menganalisis fakta-fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini teori sosiologi berfungsi sebagai alat untuk membuat analisis yang teratur dan sistematis tentang fakta-fakta sosial. Kekayaan teoritis yang dimiliki oleh kita akan memberikan kemudahan dalam menganalisis. Teori-teori dalam sosiologi sangat beragam hanya saja sangat tergantung pada kita untuk menggunakannya. Berbagai teori dalam sosiologi antara lain, teori pertukaran, teori interaksionisme simbolik, teori konflik, teori sistem, teori integrasi, teori gender, teori postmodern, teori kritis, dan lainnya.
KEDUDUKAN TEORI Dalam memahami pendidikan Habermas membagi paradigma ilmu sosial dalam tiga jenis. Pertama, ilmu sosial sebagai instrumental knowledge, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya. Ilmu sosial diperlakukan

sebagai ilmu alam, yang menganut positivisme, mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai dalam rangka menuju pada pemahaman objektif atas realitas sosial. Kedua, hermeneutic knowledge, ilmu sosial yang dimaksudkan untuk memahami realitas sosial secara sungguh-sungguh, jadi lebih kepada kajian filosofis. Ketiga, critical/emancipatory knowledge, ilmu sosial dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan.

PERAN SOSIOLOG Kalau Durkheim dan Marx, misalnya, secara berturutan menganjurkan sosiolog untuk berperan sebagai insinyur sosial (social engineer) dan pembela bagi yang tertindas (advocate for the oppressed), Weber lebih menginginkan agar sosiolog menjadi seorang ilmuwan yang sejauh mungkin terbebas dari misi politik dan aktivitas lain yang berhubungan langsung dengan perubahan sosial dalam masyarakat (Arvidson, 2005). Sejarah juga menyaksikan bahwa bila sebagian besar sosiolog Eropa dini berasal dari bidangbidang ilmu murni, seperti sejarah, ekonomi politik atau filsafat, kebanyakan sosiolog Amerika beranjak atau berkaitan dengan ranah praktis, seperti pekerja sosial (social worker) dan pendeta, dan hampir semuanya berasal dari perdesaan (Horton dan Hunt, 1984).

Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan paradigma dalam disiplin sosiologi. Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Sociological Method dan Suicide. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Pendahulu Durkheim, August Comte, Bapak Sosiologi dan pencetus positivisme dalam ilmu-ilmu sosial memiliki pengaruh besar dalam pengembangan paradigma ini. Terutama dalam usaha menerapkan

rumus-rumus ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian ilmu-ilmu sosial. Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus umum. Sedangkan teoritisi konflik

cenderung menekankan kekacauan antar fakta sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang memaksa dalam masyarakat.Teori sistem (Parson) juga termasuk dalam paradigma ini. Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini. Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah; bagaimana memahami tindakan sosial dalam interaksi sosial, dimana tindakan yang penuh arti itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative

understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.6 Selain Teori Aksi (Weber), Teori Fenomenologis (Alfred Schutz),

Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk dalam aliran ini. Juga, eksistensialisme. Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini adalah B. F. Skiner. Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah pendukung utama behaviorisme sosial ini. Sosiologi model ini menekuni perilaku individu yang tak terpikirkan. Fokus utamanya pada rewards sebagai stimulus berperilaku yang diinginkan, dan punishment

sebagai pencegah perilaku yang tidak diinginkan. Berbeda dengan paradigma fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya, juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode eksperimen. Ada dua teori yang masuk dalam behaviorisme sosial, yakni; sociology behavioral, dan teori pertukaran. Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma integratif. Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan bahasa), makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya), mikroobyektif (pola perilaku, tindakan, dan interaksi), dan mikro-subyektif (persepsi, keyakinan; berbagai segi konstruksi sosial tentang realita). Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran Ritzer. Sejumlah pendahulunya, Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964) telah mengupayakan pengintegrasian makro-mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan kontinum mikro-makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke sistem dunia.7 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of the Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C. Wright Mills (1959) tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit. Kritik Multi-Paradigma Ritzer Penempatan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural fungsional oleh Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa

dalam konflik menuju perubahan- berlawanan dengan struktural fungsional yang mengasumsikan masyarakat terdiri dari substruktursubstruktur dengan fungsinya masing-masing yang saling terkait dan aktif, dan senantiasa membawa masyarakat menuju keseimbangan. Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan perubahan sosial, sementara struktural-fungsional pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari pengabaian terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke20. Pengabaian inilah yang menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain, menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama, misalnya; antara

fungsionalisme dengan teori pertukaran. Selain itu, paradigma integratif sebagai konsensus antar paradigma, atau sebagai paradigma yang lebih lengkap sehingga lebih akurat sebagai perspektif sosiologi- patut diperdebatkan. Merumuskan teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan berbagai aliran untuk bersepakat. Tentu hal ini mendistorsi teori-teori yang ada, dari berbagai paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan paradigma integratif ini sebagai paradigma tersendiri yang berbeda dengan paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai paradigma ke-empat setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Meta teori Ritzer tak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori alternatif baru dewasa ini. Kemunculan teori-teori kritis dengan ragam alirannya, tak mampu ditampung dalam kerangka metateori Ritzer. Karena itu, pemetaan Ritzer tak lagi tepat untuk menggambarkan perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin menampakkan bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi sombolik) tak lagi relevan.

Jurgen

Habermas;

Empiris-analitis,

Historis-hermeneutis,

dan

Emansipatorik Habermas membagi menjadi tiga aliran berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis. Positivisme untuk kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis, humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis, dan emansipatoris untuk ilmu-ilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar pada filsafat rasionalisme (Plato) yang dipadukan empirisme (Aristoteles). Humanisme mengambil epistemologi transedental (Immanuel Kant). Sedangkan kritis, bermula dari upaya mencari jalan keluar dari perdebatan panjang positivisme dan humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt).11 Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme

menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historishermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian

partisipatorik dan metode kualitatif.

Positivisme Plato menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu sendiri (a priori). Penerus gagasan ini diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan Aristoteles menganggap empiris berperan besar terhadap obyek pengetahuan (aposteriori). Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat Thomas Hobbes dan John Locke. Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ilmu alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai pure science, ilmu alam dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, sehingga menjadi

obyektif. Adopsi saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste Comte (1798-1857). Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan istilah ilmu sosiologi menandai positivisme awal ilmu sosial.12 Sosiologi yang bebas nilai adalah ciri utama pemikiran Comte. Karena itu, positivisme ilmu mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari kepentingan praktis. Teori untuk teori bukan praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, ilmu pengetahuan akan menjadi suci dan universal, dan tercapailah pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Durkheim (1858-1917) adalah tokoh yang berpengaruh terhadap pijakanpijakan dasar sosiologi positivistik, terutama sumbangannya tentang fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan bahwa pemikran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas obyektif,

reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai. Humanisme Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi, teori interpretatif (humanis) mencoba memahami tindakan sosial pada level makna yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya, sosiologi bukan mencoba untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan makna yang dijalin orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini berakar dari epistemologi Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari yang

pengetahuan, perkataan

dan tindakan kita sebagai subyek

mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak rumusan positivis yang mengasumsikan masyarakat sebagai

benda yang diamati (obyek). Penentangan saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey. Kemudian disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya. Weber menekankan pada fenomena spiritual atau ideal manusia, yang merupakan khas manusia, dan tak dapat dijangkau oleh ilmu-ilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas kehidupan manusia, dengan cara memahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey memusatkan perhatiannya pada usaha menemukan struktur simbolis atau makna dari produk-produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi. Sementara Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia sehari-hari adalah dunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia, sekaligus sebagai realitas yang memiliki makna subyektif. Perkembangan fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya etnometodologi (Harold Garfinkel), interaksionisme simbolik (Herbert Blumer), dramaturgi (Erving Goffman), dan konstruksi sosial (Peter L. Berger). Teori Kritis Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat demi mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan haruslah menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial. Karena itu, teori kritis menolak tegas positivisme, dan ilmuwan sosial wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk kritis. Sehingga, teori kritis bersifat emansipatoris. Emansipasi mutlak diperlukan, untuk membebaskan masyarakat dari struktur yang menindas. Kesadaran palsu senantiasa ada dalam masyarakat, dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah interdispliner. Ben Agger menyebutkan ciri-ciri teori kritik sebagai berikut: a. Teori kritis berlawanan dengan positivisme. Pengetahuan bukanlah

refleksi atas dunia statis di luar sana, namun konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Selain itu, jika positivis mengharuskan untuk menjelaskan hukum alam, maka kritis percaya bahwa masyarakat akan terus mengalami perubahan. b. Teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai oleh dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Oleh karena itu, ilmuwan kritis harus berpartisipasi untuk mendorong perubahan. c. Teori kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial kritis adalah mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami. d. Pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni (Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan (Derrida). e. Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Disini, teori sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung voluntarisme. f. Mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara struktur manusia secara dialektis. g. Teori sosial kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan panjang yang dapat dicapai dengan mengorbankan

kebebasan dan hidup manusia. Di sisi lain, kritis juga menolak pragmatisme revolusioner.

Humanisme: Antara Positivisme dan Kritis Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan (Agger, 2003: 62). Teoritisi interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa memberikan konsepsi sosiologi interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori interpretatif dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan secara cukup terarah. Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan konstruksionis sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian survai. Penelitian survai gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian survai sebagai turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu fisika prediktif, sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme. Jauh berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur bersama cultural studies (kajian budaya) dan teori feminis. Menurutnya, teori interpretatif adalah cabang dari teori kritis. Clough juga Smith (1987)- melacak keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan struktur sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan dalam rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari struktur sosial politik yang menaunginya. Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis (politis) kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara humanisme dengan kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme eksistensi hukum sosial. Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam menyikapi kesadaran palsu. Interpretatif berpandangan bahwa sangat arogan bagi analisis sosial untuk

mengandaikan bahwa masyarakat memiliki kesadaran palsu atau sejati. Sedang kritik secara tegas menjelaskan masyarakat memiliki kesadaran palsu yang mesti dilawan dan dihancurkan.

Metodologi Epistemologi yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi yang berbeda. Secara kasar; positivis menggunakan teknikteknik kuantitatif, interpretatif dengan kualitatif, dan kritis dengan kualitatif-emansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historishermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian

partisipatorik dan metode kualitatif. Walaupun begitu, secara spesifik masing-masing sosiolog memiliki penekanan yang berbeda-beda walau masuk dalam satu aliran. Terlebih dalam humanisme dan kritik. Walaupun sama-sama menekuni makna, Garfinkel menggunakan etnometodologi yang memiliki perbedaan dengan fenomenologi Schutz. Berger, yang membidik makna dalam skala lebih luas, menggunakan studi sejarah sebagai bagian dari metodologinya.

Posisi Teori Berger Perspektif Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi Amerika era 1960-an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun, seiring mulai ditanggalkannya oleh sosiolog muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik (kritis) dan humanisme. Karena itu, gagasan Berger yang lebih humanis (Weber dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi lain

mengambil fungsionalisme (Durkheim) dan konflik (dialektika Marx). Berger mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain dalam menyikapi perang antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu bertemu pada; historisitas. Selain itu, benang merah itu yang kemudian menjadikan Berger menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan watak ganda masyarakat; masyarakat sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif (Durkheim), yang terus

berdialektika (Marx). Lalu, dimana posisi teori Berger? Masuk dalam positif, humanis, atau kritis? Dalam bab kesimpulan di bukunya; Konstruksi Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Berger secara tegas mengatakan bahwa sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanistik. Hal ini senada dengan Poloma yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif atau humanis. Hanya saja, pengambilan Berger terhadap paradigma fakta sosial Durkheim menjadi kontroversi kehumanis-annya. Pengambilan itu pula yang membuat Douglas dan Johnson menggolongkan Berger sebagai Durkheimian: Usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi sosial atas realitas, pada pokoknya merupakan usaha untuk memberi justifikasi gagasan Durkheim

berdasarkan pada pandangan fenomenologi (Hanneman Samuel, 1993: 42). Selain itu, walaupun Berger mengklaim bahwa pendekatannya adalah non-positivistik, ia mengakui jasa positivisme, terutama dalam

mendefinisikan kembali aturan penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial (Berger dan Luckmann, 1990: 268). Upaya yang paling aman (lebih tepat) dalam menggolongkan sosiolog tertentu, rupanya adalah dengan menempatkan sosiolog dalam

posisinya sendiri. Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran (teori) antar sosiolog, bukan menggolong-golongkan. Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog sebelumnya yang kentara mempengaruhi teorinya adalah (sebagaimana disinggung di atas): Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu adalah produk masyarakat, masyarakat adalah produk manusia) Berger rupanya meminjam gagasan Marx. Sedang masyarakat sebagai realitas obyektif yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah sumbangan Durkheim. Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara umum, dalam masalah internalisasi, termasuk tentang I and me dan significant others, Mead menjadi rujukan Berger.

http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11/teori-konstruksi-sosialpeter-l-berger/

BAB II TEORI SOSIOLOGI KLASIK

Pada bab ini menjelaskan mengenai tokoh, riwayat, pemikiran dan sumbangan terhadap sosiologi. Beberapa tokoh tersebut, antara lain; Auguste Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, Georg Simmel, Herbert

Spencer, Ferdinand Tonnies, dan V. Pareto. A. Comte sebagai Pendiri dan Bapak Auguste Sosiologi 1. Riwayat Hidup (1798-1857), Auguste Comte lahir di Mountpelier Perancis, 19 Januari 1798. Ia merupakan pendiri atau Bapak Sosiologi. Pada tahun 1817 Comte pernah menjadi sekretaris Saint Simon. Ia terkenal karena memiliki daya ingat yang kuat. Selain dikenal sebagai Bapak Sosiologi juga filsuf. Beberapa karyanya banyak yang mengandung pemikiran filsafatnya. Comte dikenal juga sangat taat terhadap agamanya (Katolik), bahkan ia menghayalkan dirinya sebagai pendeta agama baru kemanusiaan. Comte memiliki pengaruh besar di Perancis dan negara lainya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Barat saat itu membuat Comte tertarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan secara ilmiah: apa yang membuat tatanan berubah, apa yang mempersatukan masyarakat kembali. Jawaban atas pertanyaan tersebut, akhirnya Comte menemukan pada perlunya sebuah metode ilmiah pada kehidupan sosial, sebagaimana ilmu alam. Comte menamakan ilmu baru tersebut sosiologi artinya studi masyarakat (dari kata yunani logis, (studi mengenai, dan kata latin Socius,teman atau bersama orang lain studi masyarakat) 2. Karya dan pemikirannya a. The Philosophy of Positive Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi. Pengaruhnya besar sekali terhadap pada teoritisi sosiologi selanjutnya (terutama Herbert Spencer dan Emile

Durkheim). Ia yakin bahwa studi sosiologi akan menjadi ilmiah sebagaimana keyakinan teoritisi klasik dan kebanyakan sosiologi kontemporer. Selanjutnya Comte mangembangkan pandangan ilmiahnya, yakni Positivisme atau filsafat positif, Untuk memberantas sesuatu yang dianggap sebagai filsafat negatif dan destruktif dari abad pencerahan. Positivisme sendiri adalah sebuah metodologi yang didasarkan pada penjelasan ilmiah, dan tunduk pada pangetahuan tentang tindakan serta pada percobaan atau pengamatan emprimis. Doktrin ini mengklaim bahwa

pengetahuan yang sebenarnya harus terbebas dari spekulasispekulasi dan kepercayaan. b. Hukum Tiga Tahap Menurut Comte, bahwa masyarakat berkembang ditentukan menurut cara berfikir yang dominan, selanjutnya Comte membagi tahapan perkembangan masyarakat, yaitu; teologis, metafisik dan positif. Menurut Comte bahwa tiga tingkatan intelektual inilah yang dilalui dunia sepanjang sejarahnya. Beberapa karekteristik khusus dari ketiga tahap tersebut, yakni; 1) Fase teologis (fiktif) Yaitu semangat masa kanak- kanaknya kemanusian. Jiwa atau manusia mencari penyebab dari timbulnya

fenomena-fenomena, baik menghubungkanya dengan bendabenda yang dimaksud (fetishisme atau memuja benda seperti jimat) atau dengan meganggap adanya mahkluk ghaib (agama polities) atau dengan satu Tuhan saja (monoteisme). Jiwa manusia menghadirkan gambaran bahwa fenomena dihasilkan lewat perbuatan kekuatan ghaib (supranatural) yang

jumlahnya sedikit atau banyak secara langsung dan terus

menerus. Masa ini adalah masa kepercayaan magis, percaya pada jimat, roh dan agama. 2) Fase teologis (abstrak) Yaitu masa remaja pemikiran manusia. Agen-agen ghaib di ganti oleh kekuatan abstrak; yaitu alamnya Spionoza, Tuhan geometrinyanya Descartes, materinya Diderot atau akal sehatnya Abad pencerahan. Masa ini dianggap sebagai

kemajuan jika dikaitkan dengan pemikiran antropomorfis sebelumnya. Namun demikian pemikiran orang masih

terbelenggu oleh konsep filosofis yang abstrak dan universal. Tahap ini oleh Comte meganggap sebagai metode filsuf 3) Fase Positif Yaitu keadaan inteligensia kita yang berani. Semangat pencarian positif pertanyaan menyingkirkan pencarian menyangkut terkait dengan segala

hakikimengapayang

sesuatu dalam memikirkan tentang perbuatan, yaituhukumhukum efektif berupa hubungan suksesi dan kesamaan yang tidak berubah. Comte menyatakan segala hal adalah relatif, dan inilah satu-satunya yang absolut. Pendeknya positivise berupaya meninggalkan spekulasi dan konsep tak barguna yang berasal dari imajinasi agar berpegang pada obyektivitas ilmu pengetahuan yang disusun dari pengalaman, observasi peristiwa dan penalaran. c. Agama Humanitas Comte sangat keras mengkritiksemangat teologi masa kuno meskipun ia merasa bahwa agama ikut bertanggungjawab sebagai semen perekat sosial. Industrialisasi dan Revolusi Prancis telah mengacaukan Rezim Lama serta ikut memberi kontribusi dalam menghancurkan ikatan-ikatan lama yang mempersatukan manusia diantara mereka (Gereja, perserikatan atau korporasi dan

aturan Rezim Lama). Hasilnya adalah sebuah masyarakat yang tereduksi menjadi sekumpulan individu yang tak terorganisir. Dengan demikian harus ditemukan pengganti dewa-dewa lama di dunia yang baru muncul ini. Agama yang sudah kuno harus diganti dengan Mahluk Agung yang baru yaitu Kemanusiaan. Untuk itu, Comte pada tahun 1847 memproklamirkan terciptanya sebuah agama kemanusiaan, yaitu agama ilmu pengetahuan terutama ilmu sosial yang menjadi dogma-dogmanya, para ilmuwan manjadi pendetanya. Oleh karenanya Comte

mengungkapkan bahwa para ilmuwan tidak cukup memiliki inteligensia, namun harus memiliki cinta dan kasih sayang.

B. Karl Marx : Sosial

Struktur Ekonomi, Pertentangan Kelas dan Perubahan

1. Riwayat Hidup Karl Marx lahir di Trier, Prusia 5 Mei 1818. Marx adalah seorang fisafat, ayahnya seorang pengacara yang juga pendeta yahudi. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Hegel-meskipun akhirnya Marx juga sangat mengkritik Hegel. Pada tahun 1845, Marx pernah di usir dari tanah kelahiranya Prusai karena dianggap radikal. Lalu ia pindah ke Brusal dan bergabung dengan Engels dalam Liga Komunis. Karyanya berupa manifesto komunis merupakan bukti kebersamaan Marx dan Engels. karyanya tersebut berisi tentang slogan-slogan bersatulah!!! Tahun 1849 ia pindah ke London dengan menarik diri dari aktivitas revolusioner dan beralih ke kegiatan riset yang lebih rinci tentang perang sistem kapitalis. Studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku Das kapital yang di terbitkan tahun 1868. Tahun 1864 ia terlibat kembali dalam gerakan politik buruh internasional dan politik, misalnya kaum buruh seluruh dunia,

menonjol dalam gerakan tersebut. Ia meninggal pada tahun 1883 seteleh menderita penyakit uang di deritanya.

2. Karya dan Pemikiranya a. Filsafat Materialisme Menurut Marx bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kedudukan materinya, bukan pada idea. Pendapat Marx ini bertolak belakang dengan pendapat hegel. Penekanan Marx pada sektor materi menyebabkan pemikiranya sejalan dengan pemikiran kelompok ekonomi (seperti Adam Smith dan David Ricardo). Tekanan materialisme Marx awalnya sebagai reaksi terhadap interpretasi idealistik Hegel mengenai sejarah. Filsafat sejarah ini menganggap bahwa suatu peranan yang paling

menentukan adalah yang berasal dari evolusi idi-ide. Marx menolak filsafat sejarah Hegel ini karena menghubungkannya dengan evolusi ide-ide sebagai suatu peranan utama yang berdiri sendiri dalam perubahan sejerah lepas dari hambatanhambatan dan keterbatasan-keterbatasan situasi material atau hubungan-hubungan sosial yang di buat orang dalam menyesuikan dirinya dengan situasi material. Konsepsi materialis Marx dijelaskan dalam the german idealogi, disusun bersama Engels. Tema pokok dalam karya ini adalah bahwa perubahan dalam bentuk-bentuk kesadaran, ideologi-ideologi, atau asumsi-asumsi filosofis mencerminkan, bukan menyebabkan perubahan dalam kehidupan sosial dan materil manusia. Kondisi-kondiisi materil bergantung pada sumber-sumber alam yang ada dan kegiatan manusia yang produktif. Manusia berbeda dari binatang dalam

kemampuannya untuk menghasilkan kondisi-kondisi materil untuk kehidupannya. Marx menempatkan ideologi sebagai keseluruhan ide

yang dominan dan diusung oleh sebuah masyarakat sebagai kelompok sosial dan bingkai superstruktur masyarakat. Ideologi ini dikondisikan oleh bingkai atau batas ekonomi dan menjadi refleksi atas bingkai itu. Dengan demikian kaum borjuis yang semakin menanjak telah menentukan pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, hak asasi manusia, kesetaraan dihadapan hukum. Mereka ini cenderung memindahkan apa yang menjadi ekspresi kepentingan kelasnya menjadi nilai-nilai universal. Selanjutnya, Marx menganalisis mengenai kesadaran

palsu yang sudah terbentuk dalam masyarakat sejak awal. Marx menempatkan agama sebagai suatu ideologi yang

menyebabkan kesadaran

palsu-struktur ekonomi dalam

masyarakat feodal pra-industri, pembagian kerja antara tuan tanah, penggarap dan petani dilihat sebagai suatu takdir merupakan sesuatu yang tak dapat dirubah, oleh Marx merupakan sesuatu yang menyesatkan. Untuk itu, Marx

meganggap agama sebagai candu bagi masyarakat . Marx juga mengambil kesimpulan yang sama, pada kebijakankebijakan negara yang berusaha menghindari konflik antara kelas tidak lain tidak hanya memberi kesempatan pada kelompok tertentu untuk tetap mengusai kegiatan

perekonomian suatu negara. b. Cara-cara produksi dan hubungan-hubungan produksi Tekanan yang dikemukakan Marx bahwa struktur ekonomi masyarakat (yaitu alat-alat produksi dan hubungan-hubungan sosial dalam produksi) merupakan dasar dari sebuah sistem

sosial budaya, baik politik, pendidikan, agama, keluarga, kebudayaan dan semua instusi lainya. Hubungan-hubungan sosial di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi mengakibatkan kontradiksi antara pihak-pihak yang terlibat, sehingga berakibat pada hancurnya hubungan sosial dan hancur hubungan sosial

tersebut akan menggerakan perubahan sosial tahap demi tahap. Dalam hal ini Marx memberikam gambaran mengenai

hubungan antara buruh dengan majikan yang selalu berakibat pada penderita bagi buruh (memperoleh posisi buruh). Pemilik modal dengan kekuatan manajemenya selalu dapat mengatur kembali posisi buruh dalam hal ini dianggap sebagai alat produksi atau suku cadang peralatan produksi, dan buruh tidak pernah dilihat sebagai personal. Pemerintah yang semula yang diharapkan sebagai penengah tidak mampu memberikan kekuatan, namun justru memihak pada legal sistem

sehingga buruh tidak pernah mendapatkan posisi tawar yang menguntungkan bagi nasibnya. Hubungan-hubungan sosial dengan orang lain dalam usaha mencoba (makanan, memenuhi tempat kebutuhan-kebutuhan tinggal, pakaian, dasarnya

dan seterusnya),

menimbulkan pembagian

kerja sebagai akibat adanya

kepemilikan akan penguasaan yang berbeda-beda atas sumbersumber pokok dan berbagai alat produksi. penguasaan yang berbeda-beda Pemilikan dan

atas barang milik ini

merupakan dasar yang asasi untuk munculnya kelas-kelas sosial, sebab sumber-sumber materi yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia bersifat langka, hubunganhubungan antara kelas-kelas yang berbeda itu menjadi

kompetitif dan antogonis. Untuk itu, menurut pemikiran Marx bahwa siapa yang menguasai ekonomi akan berhasil menguasai aspek lainya. Selanjutnya menurut Marx masyarakat akan

berkembang berawal dari

bentuk masyarakat primitif dan

berakhir ketika mencapai kematangan peradaban yang berada pada posisi scientific comunism (masyarakat modern tanpa kelas). Marx menggambarkan masyarakat tanpa kelas sebagai masyarakat yang memiliki cara hidup yang sederhana, hidup ideal, kepemilikan bersama, cara

tanpa memiliki nafsu

bersaing antar sesama. Selain itu gambaran lain mengenai masyarakat tanpa kelas tersebut diantaranya berfikir rasional dengan logika ilmiah.

c. Teori Nilai Surplus Marx merumuskan teori nilai surplus. Dalam teori ini ia menegaskan bahwa keuntungan kapitalis menjadi basis eksploitasi tenaga kerja. Kapitalis melakukan muslihat

sederhana dengan membayar upah tenaga kerja kurang dari selayaknya mereka terima, karena mereka menerima upah kurang nilai barang yang sebenarnya mereka hasilkan dalam suatu periode bekerja. Nilai surplus ini, yang disimpan dan di investasikan kembali oleh kapitalis, merupakan basis dari seluruh sistem kapitalis. Sistem kapitalis tumbuh melalui tenaga kerja yang terus-

tingkatan eksploitasi terhadap

menerus meningkat (dan karena itu jumlah nillai surplus pun meningkat) dan dengan menginvestasikan keuntungan untuk mengembangkan sistem. Selanjutnya, menurut Marx bahwa kapitalisme pada dasarnya adalah sebuah struktur yang membuat batas pemisah

antara seorang individu dan proses produksi, produk yang diproses dan orang lain; dan akhirnya juga memisahkan diri individu itu sendiri. Inilah makna mendasar dari alienasi. d. Perjuangan Kelas dan Konflik Bagi Marx, bahwa adanya kelas sosial semata-mata konsep

didasarkan pada hubungan seseorang dengan alat produksi (means of production)-peralatan, pabrik, lahan, modal yang digunakan untuk memproduksi kekayaan. Lebih lanjut Marx

percaya bahwa akar penderitaan manusia terletak pada konflik kelas, eksploitasi kaum pekerja oleh mereka yang memiliki alat produksi. Untuk itu dalam pandangan Marx, perubahan sosial, dalam bentuk penggulingan kaum kapitalis oleh kaum pekerja (ploletariat) merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Perjuangan tersebut oleh Marx lebih dikenal sebagai kesedaran kelas (class consciousness). Menurut Marx bahwa pengaruh ideologi memunculkan kesadaran palsu. Kesadaran palsu dapat berupa kepercayaan bahwa kesejahteraan materil orang masa kini dan di masa yang akan datang terletak pada dalam dukungan terhadap statusquo politik di mana kepentingan meteril seseorang sesuai dengan kepentingan kelas penguasa atau bahwa kelas penguasa benar-benar akan memperhatikan kesejahteraan umum. Kesedaran palsu menciptakan ilusi yang mengaburkan kepentingan yang sebenarnya dari kelompok masyarakat dan mendukung kepentingan kelas dominan. Untuk menganalisis kesadaran kelas yang benar dan Marx memberi contoh pada

kesadaran kelas yang palsu,

kesadaran kelas kaum kerja. Kesadaran palsu kaum pekerja, yakni pekerja pabrik pada jenjang hirarki organisasi yang

paling bawah percaya bahwa kalau mereka bekerja keras mereka akhirnya akan memperoleh posisi yang tinggi. Padahal kenyataanya peluangnya sangat kecil. Sementara bagi pekerja yang memiliki kesadaran kelas yang benar, kaum pekerja meyakani bahwa kesempatan mereka untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi sangat kecil, untuk itu mereka membentuk organisasi buruh untuk mendesak upah dan perekrutan tenaga secara adil, kondisi kerja yang lebih baik, otonomi yang lebih luas. Hasil akhir yang menjadi sasaran perjuangan sengit ini ialah suatu masyarakat tanpa kelas, yang bebes dari eksploitasi. Untuk itu dibutuhkan sebuah misi yang sama untuk membuang rantai-rantai perbudakan mereka. Menurut kapitalisme perdagangan, Marx yang guna membendung perkembangan telah mendorong perkembangan

industri dan pusat-pusat urban sehingga

memunculkan dua kelas dalam masyarakat (borjuis dan proletar). Kelas borjuis (bourgeois), yaitu mereka yang

memiliki alat produksi dan telah mendestabilkan rezim (tatanan) lama dalam memegang tempat yang dominan. Kelas borguis tersebut mendominasi dan selalu melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar. Hal ini menjadi fokus kritikan Marx terhadap kapitalisme. Adapun kalangan proletar atau rakyat jelata, yaitu mereka yang bekerja untuk para pemilik alat produksi, seperti orang miskin dan terdiri dari sekumpulan tukang di pabrik-pabrik dan para petani yang terusir dari tanahnya dan kemudian menjadi tenaga kerja utama dibengkel kerja dan firma-firma industri besar dan kaum buruh yang bekerja secara tidak manusiawijam.(16 jam/hari), eksploitasi anak, kemelaratan, kecanduan

alkohol dan degradasi moral yang menimpa kaum buruh. Menurut analisis Marx, kalangan proletar selalu mengalami ketertindasan akibat lemahnya posisi tawar terhadap kaum borjuis.

d. Max Weber dan Rasionalitas 1. Riwayat Hidup Max Weber, lahir dari kelurga kelas menengah. Ia

merupakan alumni Universitas Berlin dan mengajar di almamaternya. Awal perhatianya pada bidang ekonomi dan sejarah, namun kemudian bergeser ke sosiologi. Ia

menerbitkan salah satu karya terbaiknya, The Protestant Ethic and the Spirit capitalisme. Selain itu karyanya yang lain,

ekonomy and society, Weber adalah sosiolog dari jerman yang sejaman dengan Durkheim, juga menyandang jabatan guru besar disiplin ilmu baru, sosiologi. Seperti Durkheim dan Marx. Weber merupakan sosiolog yang paling berpengaruh karena memberi sumbangan berupa metodologi serta analisisnya perihal masyarakat modern, khususnya tentang konsep rasionalitas.

2. Karya dan Pemikiranya a. Rasionalitas Karya Weber yang sangat terkenal adalah tentang rosionalitas. Weber tertarik pada masalah umum seperti mengapa institusi sosial di dunia Barat berkembang semakin rasional sedangkan di belahan bumi lain kurang bisa berkembang. Weber mengembangkan teorinya dalam konteks studi perbandingan sejarah masyarakat Barat,

Cina, dan India. Dalam studi ini ia mencoba melukiskan faktor yang membantu mendorong atau merintangi perkembangan rasionalisasi. Berdasarkan hal tersebut, Weber berkeyakinan bahwa masyarakat adalah produk dari tindakan individu-individu yang berbuat dalam kerangka fungsi nilai, motif dan kalkulasi rasional. Menurut Weber terdapat tiga tipe besar aktivitas atau tindakan manusia yaitu: 1). Tindakan tradisional yang terkait dengan adat-istiadat. Aktivitas sehari-hari seperti makan dengan

menggunakan tanpa garpu. 2). Tindakan afektif yang di gerakan nafsu, contohnya, para rentenir dan penjudi bbertindak pada level ini. 3). Tindakan rasional yang merupakan alat (instrumen), di tunjukan ke arah nilai atau tujuan yang bermanfaat dan berimplikasi pada kesesuaian antara tujuan dengan cara. Stategi (militer atau ekonomi) termasuk dalam kategori ini. Strategi ini bersifat rasional dalam hal penyusaian efektivitas tindakan yang lebih baik dan di arahkan ketujuan materil (misalnya penaklukan

sebuah wilayah) atau di orientasikan lewat nilai-nilai ( misalnya kemenangan). Menurut Weber tindakan rasional menjadi ciri masyarakat modern : yaitu mewujudkan dirinya sebagai pengusaha kapitalis, ilmuwan, konsumen atau pegawai yang bekerja dan bertindak sesuai logika tersebut. Lebih lanjut menurut Weber bahwa jarang sekali aktivitas sosial yang berorientasi pada salah satu jenis aktivitas, namun bisa saja saling berpengauh- misalnya aktivitas konsumen. Biasanya konsumen memilih produk yang disesuaikan dengan penghasilan (tindakan rasional), namun bisa juga didorong memilih karena kebiasaan konsumsinya

(tindakan tradisional) atau karena keinginan yang tak tertahankan lagi ( tindakan afektif). Selain itu, menurut Weber bahwa kekuatan pokok perubahan sosial adalah ada pada agama. Weber berteori bahwa sistem kepercayaan Katolik Roma mendorong penganutnya untuk berpegang pada cara hidup tradisonal, sedangkan sistem kepercayaan Protestan mendorong anggotanya untuk merangkul perubahan. Kaum Katolik Roma percaya bawa mereka berada di jalan menuju syurga karena mereka telah dibaptis dan menjadi anggota gerja. Namun kaum Protestan tidak memiliki kepercayaan demikian. Kaum Protestan dari tradisi Calvisnis diberitahu bahwa mereka tidak akan tahu apakah mereka telah diselamatkan sampai tibanya hari kiamat. Karena mereka merasa tidak nyaman dengan hal ini, mereka mulai mencari tanda bahwa mereka berada di jalan Tuhan. Akhirnya, mereka mengimpulkan bahwa keseuksesan finansial merupakan tanda utama bahwa Tuhan berada di

pihak mereka. Untuk menghadirkan tanda ini dan menerima kenyamanan spiritual, mereka mulai menjalani kehidupan yang hemat, menabung uang dan

menginventarisasikan surplusnya agar mendapatkan lebih banyak lag. Hal inilah yang dimaksud oleh Weber sebagai etika Protestan (Protestan Ethic). Menurut Weber, Etika protestan tersebut telah mendorong lahirnya kapitalisme-yang memungkinkan terjadinya proses rasionalisasi dunia, penghapusan usaha magis yaitu suatu manipulasi kekuatan supernatural sebagai alat untuk mendapatkan keselamatan. Untuk menguji teorinya, Weber membandingkan luasnya

kapatalisme di negara-negara Katolik Roma dan Protestan. Sejalan dengan teorinya, ia menemukan bahwa

kapatalisme sangat kontroversial saat dibuat, dan masih terus diterus diperdebatkan hingga sekarang. b. Jenis jenis Otoritas Weber memasukan diskusinya mengenai otoritas dalam membahas berbagai jenis hubungan sosial yang berbeda - beda terutama bentuk bentuk dominasi politik. Weber membedakan tiga bentuk ideal tipe otoritas, diantaranya : 1. Otoritas tradisonal Otoritas ini didasarkan pada legitiminasi karena ciri sakralitas tradisi yang melekat padanya. Kekuasaan patriarkis ditengah tengah kelompok penghuni ruang domestik dan kekuasaan para tuan tanah dalam masyarakat feodal termasuk dalam kategori ini. Contoh lain, seorang pemimpin yang berkuasa karena garis keturunan atau suku.

Weber juga membuat analisis rinci dan canggih tentang rasionalisasi fenomena, seperti agama,

hukum, kota, dan bahkan musik. Kita dapat melukiskan cara berfikir Weber dengan satu contoh lainrasionalisasi institusi ekonomi. Diskusi ini tertuang dalam analisis Weber yang lebih luas tentang hubungan antara hukum dan kapitalisme. Dalam studi sejarah bercakupan luas, weber beruapaya memahami mengapa sistem ekonomi rasional (kapitalisme)

berkembang di Barat dan mengapa gagl berkembang di masyarakat lain. Dalam studi ini Weber mengakui peran sental agama. Agama telah memainkan peran kunci dalam perkembangan kapatalisme tentang hubungan 2. Otoritas Karismatik Merupakan dominasi suatu personalitas tertentu dan dikaruniai aura khusus. Peminpin Kharismatik mendasarkan kekuasaanya pada kekuatan untuk meyakinkan dan kapasitasnya untuk mengumpulkan dan memobilisasi banyak orang. Ketaatan terhadap pemimpin semacam ini terkait faktor faktor emosional yang berhasil dibangkitan, dipertahankan dan dikuasainya. 3. Otoritas Legal Rasional Otoritas ini bertumpu pada kekuatan hukum formal dan impersonal (bukan pada satu orang saja) dominasi ini terkait dengan fungsi, dan bukan pada person. Kekuasaan dalam organisasi meodern dijustifikasi lewat kompetensi, rasionalitas pilihan dan bukan pada kekuatan sihir. Otoritas rasional legal atau legal-

birokratis ini berlangsung melalui kepatuhan terhadap sebuah kitab hukum fungsional, seperti kitab UU sipil. Organisasi birokratis merupakan tipe murni otoritas legal. Kekuasaan yang didasarkan pada kompetensi dan bukan pada asal-usul sosial masuk kedalam bingkai peraturan impersonal. Pelaksanaan (eksekusi) tugas terbagi menjadi beberapa fungsi yang

dikhususkan dengan konturkontur (garis keliling) yang ditentukan secara metodis. Karier diatur dengan kriteriakriteria kualifikasi dan rentang waktu obyektif kedinasan dan sebagainya, dan bukan dengan kriteria yang sifatnya individual. Weber meyakinkan bahwa cara organisasi ini bukan ciri khas administrasi publik namun merupakan ciri perusahaan perusahaan kapitalis, bahkan hal ini juga terdapat dalam tatanan keagamaan tertentu. Birokrasi ditandai dengan sebuah cara pengaturan (misalnya tata buku analitis) dan cara organisasi pekerjaan sebagaimana yang mulai dipraktekkan (oleh Taylor, Foyal).

D. Emile Dukheim : Sosiologi sebagai ilmu tetang Integrasi 1. Riwayat Hidup Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis, 15 April 1858. Ia keturunan pendeta yahudi. Emile Durkheim (1858-1917), dibesarkan di Prancis dan merupakan salah seorang akademisi yang sangat mapan dan sangat berpengaruh. Ia berhasil dalam melembagakan sosiologi sebagai satu disiplin akedemisi yang sah. Pengaruh Dukheim pada perkembangan sosiolagi di Amerika masa kini, sangatlah besar, baik dalam metodologi maupun teori. Kajiannya mengenai kenyataan gejala sosial yang berbeda

dari gejala individu, analisanya mengenai tipe struktur sosial, dasar solidaritas serta integrasinya, maupun pemecahan sosiologinya mengenai gejala seperti penyimpangan, bunuh diri dan individualisme, serta studi statistiknya yang cermat mengenai angka bunuh diri membuatnya menjadi pemikir yang banyak memberikan sumbangan terhadap sosiologi sebagai ilmu. Selain itu pengaruh Durkheim sangat menyolok dalam aliran

fungsionalisme sosiologi modern. Fungsionalisme juga menekankan integrasi dan solidaritas, dan juga pentingnya memisahkan analisa tentang konsekuensi konsekuensi sosial dari gejala sosial, dari analisa tentang tujuan dan motivasi yang sadar dari individu. Durkheim meninggal pada 15 November 1917. Karya diantaraya : The devision of society, the rules of sociological method, the elementary forms of religious life, dan the structure of social action. 2. Karya dan Pemikirannya a. Pokok Kajian dan Metode Sosiologi Dalam The Rule of Sociological Method (1895/1982) Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang dia sebut sebagai fakta fakta sosial. Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Dukheim terhadap individu serta perilakunya adalah bahwa fakta fakta sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologi, biologis atau karakteristik individu lainya. Selain itu fakta fakta sosial dapat dipelajari dengan metode metode empirik, karena fakta fakta sosial merupakan benda dan harus diperlakukan sebagaimana benda. Menurut Durkheim bahwa fakta sosial merupakan kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berkala luas ini misalnya, hukum yang melembaga dan keyakinan moral bersama-dan pengaruhnya terhadap individu menjadi sasaran studi banyak teoritas sosiologi dikemudian hari (misalnya persons).

Dalam bukunya yang berjudul Sucide (1897/1951) Durkheim berpendapat bahwa bila ia dapat menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri itu dengan sebab sebab sosial (fakta sosial) maka ia akan dapat menciptakan alasan meyakinkan tentang pentingnya disiplin sosiologi. Durkheim berpegang pada metode variasi yang terjadi pada waktu yang sama (korelasi krelasi) dengan membangun rangkaian rangkaian mulai dari peristiwa yang harus terseleksi. Ia memisahkan sejumlah variabel berupa umur, seks, situasi sipil, keanggotaannya pada suatu agama dan tingkat pendidikan yang dibandingkan dengan angka kematian. Durkheim memperlihatkan analisisnya tentang kekuatan sosial mempengaruhi perilaku manusia. Durkheim melaksanakan penelitian secara cermat, setelah membandingkan angka bunuh diri pada beberapa Negara di Eropa. Durkheim (1897/1966) menemukan bahwa angka bunuh diri di satu negara berbeda dengan negara lain, dan bahwa dari tahun ke tahun, tiap angka tetap stabil secara mencolok. Sebagai contoh, angka bunuh diri dari kaum Protestan, pria, dan mereka yang tidak menikah lebih tinggi dari pada di kalangan oarang katolik, Yahudi, perempuan dan mereka yang sudah menikah. Dari sini. Durkheim menarik kesimpulan mendalam bahwa bunuh diri bukanlah semata mata pada individu yang memutuskan bunuh diri karena alasan pribadi. Faktor sosial memberi peran melandasi tindakan bunuh diri, dan hal ini membuat angka setiap kelompok cukup konstan dari tahun ke tahun. Durkheim mengindentifikasi integrasi sosial, derajat keterikatan manusia pada kelompok sosialnya, sebagai faktor sosial kunci dalam tindakan bunuh diri. Faktor inilah katanya, yang menjelaskan mengapa orang protestan yang pria dan orang yang tidak menikah mempunyai angka bunuh diri yang lebih tinggi. Argumen Durkheim adalah Protestanisme mendorong kebebasan lebih besar dalam berfikir dan bertindak, pria lebih mandiri dari pada perempuan. Begitupun halnya dengan perang atau depresi ekonomi dapat menciptakan perasaan depresi kolektif yang

selanjutnya dapat meningkatkan angka bunuh diri. Dengan kata lain, karena integrasi sosial mereka lebih lemah, anggota kelompok tersebut memiliki lebih sedikit ikatan sosial yang mencegah orang untuk melakukan bunuh diri. Selain itu Durkheim juga memahami fenomena pada masyarakat industri ; yang mengalami hilangnya batas atau bingkai sosial, krisis nilai serta kepercayaan kolektif sehingga memungkinkan untuk melakukan bunuh diri, dibanding dengan masyarakat kuno yang memiliki solidaritas mekanis berupa kepercayaan kolektif. b. Karakteristik dan Tipe Fakta Sosial Menurut Durkheim bahwa fakta sosial memiliki karakteristik, pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu, misalnya bahasa, sistem moneter, norma norma, profesional. Kedua, bersifat memaksa individu. Dalam hal ini individu dipaksa, dibimbing, diyakini, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Ketiga, bersifat umum atau terbesar secara meluas dalam satu masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama ; bukan sifat individu persorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil penjumlahan beberapa fakta sosial lainnya, anatara lain, angka perkawinan, angka bunuh diri, dan angka mobilitas. Dalam The Rule Of Sociolocal Method ia membedakan antara dua tipe fakta sosial : material dan non-material. Meski ia membahas keduanya dalam karyanya, perhatian utamanya lebih tertuju pada fakta sosial non material (misalnya kultur, instrusi sosial) ketimbang pada fakta sosial material (birokrasi, hukum). Perhatiannya tertuju pada upaya membuat analisis komparatif mengenai apa yang membuat masyarakat bisa dikatakan berada dalam keadaan primitif atau modern. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama oleh fakta sosial non-material, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif yang kuat. Tetapi, karena kompleksitas masyarakat

modern, kekuatan kesadaran itu telah menurun. Dalam Les former elementaire de levie religieuse (bentuk bentuk dasar kehidupan religius). Dalam karyanya ini Durkheim membahas masyarakat primitif untuk menemukan akar agama. Durkheim yakin bahwa ia akan dapat secara lebih baik menemukan akar agama itu dengan membandingkan masyarakat primitif yang sederhana ketimbang dalam masyarakat modern yang kompleks. Temuannya adalah bahwa sumber agama adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang menentukan bahwa sesuatu itu bersifat sakral dan yang lainnya bersifat profan, khusnya dalam kasus yang disebut tetomisme. Dalam agama primitif (totemisme) ini benda benda seperti tumbuh tumbuhan dan binatang didewakan. Selanjutnya totemisme dilihat sebagai tipe khusus fakta sosial nonmaterial, sebagai bentuk kesadaran kolektif. Akhirnya Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat dan agama (atau lebih umum lagi, kesatuan kolektif ) adalah satu sama. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Durkheim menyimpulkan bahwa : agama sesungguhnya adalah masalah sosial. Dan ia juga meyakini bahwa : agama adalah hal paling primitif dari segala fenomena sosial. Semua manifestasi lain dalam aktivitas kolektif berasal dari agama dan melalui berbagai transformasi secara berturutturut : antara lain mengangkut hukum, moral, seni, bentuk politik. Bahkan ikatan keluarga merupakan salah satu ikatan yang bersifat religius. c. Solidaritas dan Tipe Struktural Sosial Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar dari pada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional. Hubunganhubungan serupa itu mengandalkan sekurangkurangya satu tingkat/derajat konsensus terhadap prinsip prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu, sekaligus berusaha menjelaskan asal

mula keadaan menurut persetujuan kontraktual yang dirembuk individu untuk kepentingan pribadi mereka selanjutnya. Penjelasan Durkheim mengenai solidaritas diperoleh dalam bukunya The Division of Labour in Society. Dalam karyanya tesebut Durkheim menganalisa pengaruh kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur dan perubahanperubahan yang diakibatkanya dalam bentukbentuk pokok solidaritas sosial. Singkatnya, pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Pembedaan antara solidaritas mekanik dan organik merupakan salah satu sumbangan Durkheim yang paling terkenal. Menurut Durkheim, solidaritas mekanik terbentuk atas dasar kesadaran kolektif, yang menunjuk pada totalitas kepercayaankepercayaan dan sentimensentimen bersama yang rata rata ada pada warga yang sama itu. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah suatu tingkat homogenetik yang tinggi dalam kepercayaan atau sentimen dengan tingkat pembagian kerja yang sangat minim. Sedangkan solidaritas organik, muncul atas dasar pembagian kerja bertambah besar dan saling ketergantungan yang sangat tinggi. Menurut Durkheim, kuatnya solidaritas ini ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan dari pada yang bersifat represif. Dalam solidaritas

organik memberikan ruang otonomi bagi individu sehingga membuat individu menjadi terpisah dari ikatan sosialnya. Namun bagi solidaritas organik bahwa kesadaran kolektif menjadi penting ketika dalam kelompok kerja dan profesi, karena memilki keseragaman kepentingan. Secara ringkas perbedaan antara solidaritas mekanik dan organik, sebagai berikut :

Solidaritas Mekanik a). b.) c). d). e). Pembagian Kerja Rendah Kesadaran Kolektif Kuat Hukum represif dominan Individualitas rendah Konsensus terhadap polapola normatif penting f). Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang g). Saling Ketergantungan rendah h). Bersifat primitif atau pedesaan

Solidaritas Organik a). b.) c). d). e). Pembagian Kerja Rendah Kesadaran Kolektif Lemah Hukum represif dominan Individualitas tinggi Konsensus pada nilai nilai abstrak dan umum itu penting f). Badan badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang g). Saling Ketergantungan tinggi h). Bersifat industrial perkotaan

d. Integrasi Sosial dan Angka Bunuh Diri ( Suicide) Durkheim memandang bunuh diri sebagai fakta sosial, bukan fakta individu. Proposisi dasar yang digunakan dalam bunuh diri adalah bahwa angka bunuh diri berbedabeda menurut tingkat integrasi sosial. Durkheim membedakan 3 (tiga) jenis tipe bunuh diri, diantaranya : 1). Bunuh Egoistik Merupakan hasil dari suatu tekanan yang berlebih-lebihan pada individualisme atau kurangnya ikatan sosial yang cukup dengan kelompok sosial. Jadi orang protestan memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi dari pada katolik, karena kepercayaan mereka mendorong inviduslisme yang lebih besar, dan ikatan komunal dalam gereja Protestan lebih lemah. Sama halnya, orang orang yang tidak kawin mempunyai angka bunuh diri yang lebih tinggi dari pada orang yang sudah kawin: dan orang orang yang kawin tanpa anak, mempunyai angka bunuh diri yang lebih tinggi dari pada mereka yang menpunyai anak. 2). Bunuh diri anomik Muncul dari tidak adanya pengaturan bagi tujuan dan aspirasi individu. Dalam kondisi yang normal dan stabil keinginan individu dijamin oleh normanorma yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang umum. Normanorma pengatur ini mejamin bahwa keinginan individu dan aspirasinya pada umumnya sebanding dengan alat-alat yang tersedia. Karena itu, individu berjuang untuk dan menerima imbalan yang sesuai seperti diharapkanya. Kalau norma-norma pengatur ini tidak berdaya lagi, maka akibatnya adalah bahwa keinginan individu tidak dapat dipenuhi lagi; keinginan ini lalu meledak di luar kemungkinan untuk mencapainya, dan idividu itu terus-menerus mengalami frustasi. Contoh, krisis ekonomi. 3). Bunuh diri Altruitik Merupakan hasil dari suatu intergritas sosial yang terlampau kuat. Tingkat integrasi yang tinggi itu menekan individualitas pada titik dimana individu kedudukannya sendiri. Sebaliknya, individu itu diharapkan tunduk

sepenuhnya terhadap kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-tuntutan kelompok yang menempatkan setiap keinginan individu pada posisi lebih rendah yang mengurangi kesejahteraan kelompok dan mengganggu

kehidupannya. Kalau tingkat solidaritas itu cukup tinggi, sang individu itu tidak kesal terhadap ketaatan pada kelompok ini, malah sebaliknya merasa sangat puas dan mengorbankan diri untuk kebaikan kelompok yang lebih besar. Bunuh diri altruitik dapat merupakan hasil salah satu dari dua kondisi. Pertama, norma-norma kelompok mungkin menuntun pengorbanan kehidupan-kehidupan individu. Sebagai contoh, bunuh diri di kalangan pilot-pilot yang bertugas dalam angkatan Udara Jepang selama perang Dunia II. Kedua, norma-norma kelompok itu dapat menuntut pelaksanaan tugas-tugas yang begitu berat untuk dapat dicapai sehingga

individu-individu itu mengalami kegagalan walaupun sudah menunjukan usaha yang paling optimal. Contohnya, para perwira militer yang menderita kekalahan mempunyai angka bunuh diri yang tinggi, dan lebih tinggi dalam kenyataanya dibandingkan dengan serdadu-serdadu bawahannya, karena identifikasi mereka dengan kemiliteran. e. Agama dan Masyarakat Durkheim merasa bahwa agama dan masyarakat saling

ketergantungan. Bukunya yang berjudul Teh Elementary Form Life memberi suatu analisa terperinci mengenai kepercayaan-kepercaayan dan ritual-ritual agama totemik orang arunta, suku bangsa primitif di Autralia Utara. Organisasi sosial dalam suku-suku bangsa ini didasarkan pada klan sebagai satuan sosial yang primer. Analisa Durkheim, yang terjalin dalam uraian deskriftif yang luas terperinci, dimaksudkan untuk memperlihatkan hubungan yang erat antara tipe-tipe organisasi sosial dan tipe totemik ini. Corak umum dari agama apa saja dalam pandangan Durkheim adalah berhubungan dengan suatu Dunia yang suci (Sacred realm). Durkheim mendefinisikan agama sebagai suatu sistem yang terpadu mengenai

kepercayaan-kepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan benda-benda suci dalam bentuk simbol yang riil ( kanguru, kerbau). Agama merupakan salah satu kekuatan untuk menciptakan integrasi sosial. Didalam masyarakat primitif, agama merupakan suatu sumber kuat bagi kepercayaan-kepercayaan agama dan praktek praktek agama mempunyai pengaruh menahan egoisme, untuk membuat orang cenderung berkorban dan tidak ingin mempunyai kepentingan. Selain itu kepercayaan dan ritus agama juga memperkuat ikatan ikatan sosial dimana kehidupan kolektif bersandar. Hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling ketergantungan yang sangat erat. Menurut Durkheim, kepercayaan-kepercayaan totemic (atau tipetepe kepercayaan agama lainnya) memperlihatkan kenyataan masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis. Ritus totemic mempersatukan individu dalam kegiatan bersama dengan satu tujuan bersama dan memperkuat kepercayaan, perasaan dan komitmen moral yang merupakan dasar struktural sosial. Perasaan meluap-luap dalam acara seremonial dan kegairahan emosional menurut Durkheim sebagai ritus agama. Lebih lanjut Durkheim sebagai menjelaskan anggota-anggota komunitas berkumpul bersama untuk memperkuat kembali nilai-nilai dasar atau memperingati peristiwaperistiwa penting dalam sejarah mereka bersama. Contohnya

memperingati hari natal bagi kaum nasrani. Hubungan antara agama dan masyarakat dapat di analisis juga, dalam permainan sepak bola tradisional yang menggunakan lambang ikan, lumba-lumba dan rajawali sebagai simbol pemersatu. f. Asal-usul bentuk-bentuk pengetahuan dalam masyarakat Menurut Durkheim, pengetahuan merupakan dasar sosial dan semua pengetahuan sangat tergantung pada bahasa. Bahasa merupakan produk sosial, bukan ciptaan individu. Pada tingkat yang lebih mendalam, Durkheim mengemukakan bahwa kategori-kategori berfikir yang mendasar

(waktu, ruang, kelas, kekuatan, sebab, dan lain-lain) muncul dari kehidupan sosial dan mencerminkan struktur sosial. Konsep waktu, misalnya, muncul mula-mula dalam dunia primitif karena adanya kebutuhan untuk mengatur siklus kehidupan individu dan kehidupan kolektif. Ruang sebagai sutau kategori akal budi yang bersifat umum tumbuh dari dan mencerminkan persebaran anggota-anggota kelompok menurut ruang dalam suatu daerah geografis tertentu. Konsep kelas muncul dari pembagian sosial dalam kelompok itu. Durkheim mengemukakan bahwa konsep kekuatan akhirnya didasarkan pada kesadaran subyektif mengenai kekuasaan kelompok yang memaksa setiap anggotanya yang dimilikinya. Berhubungan dengan ini konsep-konsep tumbuh dari pengalaman bersama yang terdapat pada individu-individu mengenai tindakan-tindakan yang ditampilkannya yang menghasilkan suatu akibat tertentu dalam kehidupan emosional mereka secara kolektif.

E. Georg Simmel : Masyarakat sebagai Interaksi 1. Riwayat Hidup Georg Simmel adalah seorang sosiolog dan filsuf Jerman yang hidup di tahun 1858-1928. Ia merupakan salah satu Faunding Father Sosiologi. Simmel terkenal dengan karyanya tentang masalah-masalah skala kecil, terutama tindakan dan interaksi individual. Simmel melihat bahwa salah satu tugas utama sosiologi adalah memehami interaksi antara individu. Akan tetapi, sejumlah besar interaksi dalam kehidupan sosial mustahil akan dapat dikaji tanpa peralatan konseptual tertentu. Simmel merasa bahwa ia dapat memisahkan sejumlah terbatas bentuk-bentuk interaksi yang dapat ditemukan dalam sejumlah besar situasi sosial. Jadi dengan berbekal

peralatan konseptual, dia dapat menganalisis dan memahami situasi interaksi yang berbeda. Karyanya berpengaruh besar terhadap interkasionisme simbolik yang memusatkan perhatian pada interaksi. Karyanya yang terkenal Philosphy

of Monoy membuat karyanya menarik teoritisi yang berminat terhadap kultur dan masyarakat. Dalam menganalisi interaksi, menurut Simmel sosiologi peting jika sekelompok yang beranggota dua orang diubah menjadi tiga orang karena tuntutan pihak ketiga itu. Kemungkinankemungkinan sosial yang muncul dalam kelompok dua orang. hal ini jelas dalam analisisnya mengenai hubungan antara dua orang (dyad) dan hubungan tiga orang (triad). Hubungan-hubungan ini memunculkan struktur yang berskala luas. Karya Simmel tentang Philosphy of Monoy merupakan pusat perhatiannya pada kemunculan uang dalam masyarakat modern yang terpisah dari individu dan mendominasi individu. Kajian ini selanjutnya menjadi bagian yang lebih luas diantaranya karya Simmel tentang dominasi kultur sebagai suatu keseluruhan terdadap individu. Menurut Simmel, kultur dalam masyarakat modern dan seluruh komponennya yang beraneka ragam itu (termasuk ekonomi uang) akan berkembang, dan begitu sudah berkembang maka arti penting (peran) individu mulai menururn, misalnya, begitu teknologi industri berkembang maka ketrampilan individual menjadi kurang penting. 2. Karya dan Pemikirannya a. Konsep Sosiasi konsep sosiasi merupakan gagasan murni dari Simmel yang dianggap penting dalam sosiologinya. Sosiasi merupakan

pengelompokan sadar dari manusia. Sosiasi meliputi interaksi timbal balik. Melalui proses ini individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi, yang akhirnya masyarakat itu sendiri muncul. Proses sosiasi sangatlah bermacam -macam, mulai dari pertemuan sepintas lalu antara orang-orang asing tempat-tempat umum sampai pada ikatan persahabatan yang lama dan intim atau hubungan keluarga. Menurut Simmel bahwa sosiasi sendiri terdapat isi dan bentuk. Pertama, isi yang meliputi : insting erotik, kepentingan obyektif,

dorongan

agama,

tujuan

membela

dan

menyerang,

bermain,

keuntungan, bantutan atau intruksi, dan tidak terbilang lainnya yang menyebabkan orang untuk hidup bersama dengan orang lainnya, untuk bertindak terhadap mereka, bersama mereka, melawan mereka. Kedua, bentuk-bentuk sosiasi, diantaranya : superordinasi (dominasi) dan subordinasi (ketaatan), kompentensi, konflik, isolasi, pembagian kerja, pembentukan partai, perwakilan, solidaritas ke dalam disertai dengan sifat menutup diri terhadap orang luar. Bentuk-bentuk ini bisa dimanifestasikan dalam negara, komunitas agama, komplotan, asosiasi ekonomi, sekolah kesenian, keluarga. Sedangkan bentuk lain dari sosiasi adalah sosiabilitas. Sosiabilita adalah bentuk interaksi yang terpisah dari isinya dan bersifat sementara (seperti, silaturrahmi). Selanjutnya perhatian Simmel yakni mengenai proses-proses sosial yang lebih kompleks; contohnya diferensiasi sosial, perubahan dari basis organisasi sosial, perubahan dari basis organisasi sosial yang bersifat lokal ke yang fungsional, perubahan dari kriteria eksternal atau mekanik sebagai dasar untuk suatu organisasi sosial ke kriteria yang lebih rasional, dan memisahkan bentk dari isi, dan munculnya bentuk sebagai sesuatu yang bersifat otonom. b. Superordinasi dan Subordinasi Subordinasi sebagai suatu keadaan yang menekan, menyangkal atau mengediakan kebebasan subordinat. Perilaku superordinat, menurut Simmel bukan merupakan manifestasi dari karakteristik pribadi atau kemauan individu; perilaku itu mencerminkan tenggelamnya sebagian kepribadian pada pengaruh bentuk sosial. Simmel membedakan subordinasi dalam tiga jenis. Pertama, subordinasi di bawah seorang individu. Dalam konteks ini subordinat dapat dipersatukan dan dapat pula menjadi oposisi, sangat tergantung pada kondisi. Kedua, subordinasi dibawah pluralitas individu. Kondisi ini memungkinkan subordinat mendapat perlakuan

yang obyektif, adil dari superordinat. Hal ini pada masyarakat demoktratis. Ketiga, Subordinasi dibawah suatu prinsip ideal (umum): peraturan hati nurani. Hubungan antara subordinat diatur oleh prinsip-prinsip obyektif atau hukum-hukum dimana kedua belah pihak itu diharapkan untuk taat. Contoh pemimpin agama atau moral. Secara umum, menurut Simmel bahwa terganggunya hubungan antara superordinat dan subordinat akan menyebabkan konflik. Konflik menurut Simmel dapat mempersatukan kelompok minoritas untuk melawan kelompok yang mayoritas dengan membentuk aliansi. Untuk mengakhiri konflik dapat melalui kompromi atau perdamian. Beberapa bentuk konflik dapat berupa konflik hukum, konflik kelompok, konflik antar pribadi, dan lainnya. c. Bentuk bentuk Sosial Perhatian Simmel yang berhubungan dengan bentuk-bentuk sosial adalah analisanya mengenai pentingnya jumlah terhadap hubungan sosial dan organisasi sosial. Proposisi yang mendasari analisa Simmel adalah bahwa begitu jumlah orang yang terlibat dalam interaksi berubah, maka bentuk interaksi mereka pun berubah dengan teratur dan dapat diramalkan. Analisa Simmel yang terkenal mengenai bentuk sosial, yakni analisanya mengenai bentuk duaan (dyad) dan bentuk tigaan (triad). Beberapa penjelasan tentang bentuk sosial tersebut : 1) Bentuk Duaan dan Tigaan Keunikan bentuk duaan bahwa semua orang percaya rahasia dapat terjaga oleh satu orang dan pemenuhan kebutuhan dapat lebih intim dan unik secara emosional. 2) Bentuk Tigaan merupakan satu satuan sosial yang paling kecil, dimana masing-masing pihak dikonfrontasikan oleh suatu plularitas, dan dengan demikan harus menghitungkan tidak

hanya kepribadian satu orang saja, tetapi juga dua orang yang lainnya. Ini berarti bahwa tidak mungkin bagi setiap orang untuk mencapai keakraban yang mungkin dalam suatu kelompok duaan; setiap orang yang akan merasa terpaksa untuk memperhatikan persamaan yang terdapat pada dua orang lainnya. Hadirnya pihak ketiga dalam hubungan duaan menjadikan suasana menjadi berubah; konflik, dukungmendukung, penengah (obyektif tanpa memutuskan),

persaingan (seperti Bapak-Ibu-Anak), Tertius Gaudens (pihak ketiga yang menyenangkan ; Dua pemuda satu gadis ) dan orang yang memecah bela dan menaklukan (devider and conqueror), Tertius Gaudens yaitu pihak ketiga yang mencari keuntungan dari persaingan dan konflik, contoh dua pemudasati gadis), sedangan Devider and conqueror, yaitu pihak ketiga yang sengaja membenturkan dengn harapan untuk memperoleh keuntungan dari kedua belah pihak. d. Kreativitas Individu dan Budayara Mapan Dalam The Conflict in modern Culture, Simmel menjelaskan mengembangkan ide ini dengan menganalisa sejumlah bentuk mengenai ketegangan antara bentuk-bentuk budaya mapan dan dorongan Kreatif subyektif. Dalam seni, misalnya dalam seni, agama, perkawinana. Dalam analisa tersebut Simmel menjelaskan bahwa perkembangan kemampuan kreatif individu menurut untuk menginternalisasi produk budaya obyektif dan logika serta dinamika inheren dalam bentuk-bentuk budaya obyektif.

e. Uang, Evolusi Sosial dan Gaya Hidup Masyarakat Dengan kuantintasnya yang menjadi alat tukar umum uang muncul sebagai sebuah alat universal yang ditujukan untuk semua pemakaian. Uang membuka berbagai kemungkinan tindakan baru, dan memungkinkan masing-masing orang

merealisasikan tujuan akhir yang khas, yang disebut Simmel sebagai rangkaian teologis. Hal ini memberi suatu kreativitas sekaligus ketidakpastian yang lebih besar kepada masyarakat. Penggunaan uang memunculkan kecenderungan psikologis yang memiliki karakteristik seperti : ketamakan (jika hanya keinginan akan uang saja yang dominan); kekikiran, kesukaan berfoya-foya (jika kesenangan bukan terletak pada obyeknya

melainkan dalam pemborosan itu sendiri); kemiskinan atau kekurangan (jika berarti adanya usaha mencari keselamatan jiwa dengan menolak uang). Sekalipun demikian kedua kecenderungan yang paling terkait dengan konteks mentropolitan modern ini merupakan kecenderungan kasar yang secara sukarela

menempatkan nilai pada niatnya dan apatis ( yang tidak lagi sadar akan perbedaan nilai ); uang yang menjadikan segala benda bisa diperbandingkan akan memperkuat efek pemerataan nilai. Terakhir, uang ikut berpartisipasi dalam pembentukan gaya hidup masyarakat yang oleh Simmel diberikan ciri melalui tiga buah konsep yaitu jarak, ritme dan simetri.

f. Herbert Spencer Pemikir teori sosiologi klasik lainya ; Herbert Spencer ( 18201903). Spencer lahir di Derby, Inggris, 27 April 1820. Salah satu karya spencer adalah prinsip-prinsip Sosiologi (Prinsiples of sociology/1896). Spencer tertarik pada teori evolusi organisnya

Darwin dan ia melihat adanya persamaan dengan teori ovolusi sosial-peralihan masyarakat melalui serangkaian tahap yang berawal dari tahap kelompok suku yang homogen dan sederhana ke tahap masyarakat modern yang kompleks. Spencer

menerapkan konsep yang konsep bahwa yang terkuatlah yang akan menang. Spencer menamakan prinsip ini kelangsungan hidup mereka yang sepadan ( survival of the fittest). Untuk itu menurut Spencer kehidupan masyarakat itu harus dibiarkan berkembang sendiri, lepas dari campur tangan yang hanya akan memperburuk keadaan. Ia menerima pandangan bahwa institusi sosial, sebagaimana tumbuh-tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Dalam mengembangkan teorinya dengan membangun dua perspektif, yaitu : 1. Peningkatan ukuran ( size ) Yakni masyarakat tumbuh melalui perkembangbiakan individu dan penyatuan kelompok-kelompok (compounding).

Peningkatan ukuran masyarakat menyebabkan stukturnya makin meluas dan makin terdiferensiasi serta meningkatkanya diferensiasi pertumbuhan fungsi yang dilakukanya. masyarakat Disamping berubah itu

ukurannya

melalui

penggabungan, yakni makin

lama makin menyatukan

kelompok-kelompok yang berdampingan. Dalam pembahasan ini Spencer berbicara tentang gerak evolusioner dari masyarakat yang sederhana ke penggabungan tiga kali lipat (doubly-compund) dan penggabungan tiga kali lipat (treblycompound).

2. Perkembangan masyarakat militan ke masyarakat industri Pada mulanya, masyarakat militan dijelasakan sebagai masyarakat terstruktur guna melakukan perang, baik yang bersifat defensif maupun ofensif. Walaupun Spencer kritis terhadap peperangan, namun ia menduga pada periode awal peperangan berfungsi mengumpulkan masyarakat (misalnya, melalui invasi militer) menjadi kumpulan masyarakat baru dengan kuantitas yang dibutuhkan untuk membangun maasyarakat industri. Bagaimanapun juga, sejalan dengan semakin tumbuhnya masyarakat industri, maka fungsi perang sebagai agen perubahan berakhir dan berubah menjadi penghambat proses selanjutnya dari evolusi. Masyarakat industri didasarkan pada persahabatan, tidak egois elaborasi spesialisasi, penghargaan terhadap prestasi-bukan pada karakteristik, bawaan seseorang, dan berdisiplin tinggi. Masyarakat seperti ini disatukan oleh kontrak relasi sukarela dan yang lebih penting lag kualitas moral yang sama. Peran pemerintah hanya di batasi dan difokuskan pada apa yang seharusnya todak dilakukan masyarakat.

g. Ferdinand Tonnies Ia adalah sosiolog berkebangsaan Jerman (1855-1936). Tonnies tertarik pada bentuk bentuk kehidupan sosial. Kajianya mengenai bagaimana warga suatu kelompok mengadakan hubungan dengan sesamanya. Artinya, dasar hubungan tersebut yang menentukan bentuk kehidupan sosila. Tonnies berpendapat bahwa dasar hubungan tersebut disatu pihak adalah faktor perasaan, simpati pribadi dan kepentingan bersama. Dipihak lain dasarnya adalah kepentingan-kepentingan

rasional dan ikatan-ikatan yang tidak permanen sifatnya. Bentuk kehidupan sosial yang pertama dinamakanya paguban

(gemeinschaft), sedangkan yang kedua adalah patembayan (gesellschaft). Paguyuban (gemeinschaft) adalah bentuk kehidupan

bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan adalah rasa cinta dan rasa persatuan batin yang juga nyata dan organis. Bentuk paguyuban (gemeinschaft), dapat

ditemukan dalam kehidupan keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga Sedangkan patembayan (gesellschaft), merupakan bentuk kehidupan bersama yang merupakan ikatan lahir yang bersifat ikatan pokok dan biasanya untuk jangka waktu yang pendek, strukturnya bersifat mekanis. Bentuk gesellschaft, misalnya terdapat pada organisasi pedagang, organisasi suatu pabrik atau organisasi industri.

You might also like