You are on page 1of 16

1

PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH TENTANG IJTIHAD DAN MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan Islam adalah agama akhir zaman, dimana kesempurnaan dan kebenarannya diciptakan oleh Allah SWT. Kehadirannya dalam sejarah membawa perubahan dan kemajuan besar bagi adab dan budaya umat manusia karena ia menganjurkan agar setiap kaum selalu berusaha untuk mengubah nasibnya1. Di awal perkembangannya sewaktu nabi Muhammad SAW., masih ada dan pengikutnya baru terbatas pada bangsa Arab yang terpusat di Makkah dan Madinah, dia diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya sama berkata kami telah mendengar dan kami taat2. Akan tetapi, perjalanan sejarahnya selama kurun waktu empat abad yang sudah dilaluinya dan bergerak oleh watak aslinya yang membawa dan menganjurkan perubahan itu, setiap mencapai suatu daerah atau memasuki suatu bangsa, ia terpaksa dihadapkan dengan tradisi asli daerah dan suku bangsa tersebut dalam segala bentuk dan aspeknya. Perhadapan muka ini telah menimbulkan aksi dan reaksi, membuahkan berbagai hal dan peristiwa, sebanyak yang positif ada juga yang negatifnya. Sebenarnya Tajdid atau Pembaharuan dapat ditelusuri latar belakangnya yang dapat dilihat dalam beberapa faktor, yaitu faktor politik, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah pembaharuan terdapat beberapa tokoh yang cukup terkenal yaitu, Muhammad Abduh. Dimana pikiran-pikirannya cukup besar pengaruhnya terhadap pembaharuan di dalam Islam dan Dunia Islam. Muhammad Abduh adalah seorang tokoh salaf, tetapi tidak menghambakan diri pada teks-teks agama. Ia memegangi teks-teks agama tapi dalam hal ini ia juga menghargai akal. Ia terkenal sebagai bapak peletak
1

Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995), hal. 1. 2 Ibid, hal. 2

aliran modern dalam Islam karena kemauannya yang keras untuk melaksanakan pembaruan dalam Islam dan menempatkan Islam secara harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada kemurnian Islam. Kemudian, berdasarkan pandangan sejarah tampak jelas bahwa aktivitas ijtihad memang diakui keberadaannya dalam setiap generasi. Kredibilitas hasil ijtihad senantiasa tidaksama antara mujtahid yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kemampuan individu atau kelompok serta kondisi menyeluruh yang melingkupi mujtahid. Hal ini tampak jelas dalam bidang-bidang yang sudah dihasilkan3.

B. Mengenal Muhammad Abduh Muhammad Abduh lahir di Mahallat Nashr, Delta Mesir, AlBuhairoh, Provinsi Gharbiyyah (kini wilayah Mesir), pada tahun 1849 dan meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), tanggal 11 Juli 1905 pada umur 56 tahun. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairallah memiliki silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya memiliki silsilah yang menyambung kepada Umar bin Khaththab, khalifah kedua. Berasal dari keluarga petani sederhana yang taat beragama dan cinta ilmu. Dia belajar membaca dan menulis dari kedua orang tuanya. Berkat otaknya yang cemerlang, Muhammad Abduh bisa menghafal Al Quran dalam waktu 2 (dua) tahun pada usia 12 (dua belas) tahun4. Ketika usianya sekitar 13 (tiga belas) tahun, ia dikirim untuk belajar di Masjid Ahmadi di Tanta yang kemudian menjadi pusat terbesar dari kebudayaan agama di Mesir di luar al-Azhar. Ia merasa tidak puas dengan metode mengajar yang digunakan disana (pengajaran dengan menghafal ulasan teks-teks kuno tanpa memahami maknanya) sehingga setelah beberapa lama, ia lari dari sana. Ia ingin meninggalkan pelajarannya, tetapi dibujuk untuk kembali oleh pamannya dari pihak ibu, Syaikh Darwis, yang
3

Munir A dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), http://susiyanto.wordpress.com, diakses 30 November 2012.

hal. 6
4

pengaruhnya paling menentukan dalam kehidupannya sebelum al-Afghani5, sehingga ia mau kembali untuk belajar. Kepribadian Syaikh Darwis lembut yang langka terdapat di Mesir. Ia ahli tasawuf yang bening mata hatinya, lebih luas ilmunya, yang mengetahui masalah-masalah dunia, namun ia menjadi orang yang zuhud, menekuni ilmu dan tidak menekuni kekayaan. Syaikh memandang bahwa dunia sebagai jembatan menuju akhirat.6 Setelah selesai studi di Tanta, Abduh kemudian melanjutkan perjalanan studinya ke al-Azhar di Kairo, tempat ia tinggal disana dari 1869 M hingga 1877 M. Ia terutama tertarik kepada seorang syaikh yang memberi kuliah mengenai logika dan filsafat, tetapi juga tertarik lebih jauh pada teologi mistik. Mistisisme masih menjadi bahan kajian dari karyanya yang pertama diterbitkan. Ia pernah menjalani kehidupan asketis yang berlebihan, menghindari hubungan dengan manusia lain, tetapi ia diselamatkan dari bahaya kehidupan itu mula-mula oleh campur tangan Syaikh Darwis, kemudian melalui pertemuan pertamanya dengan Jamaluddin al-Afghani tahun 1871 M.7 Abduh menjadi murid dari Jamaluddin al-Afghani, seorang filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir selama enam tahun sejak 1882, karena keterlibatannya dalam pemberontakan Urabi. Di Lebanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersama al-Afghani menerbitkan jurnal Islam The Firmest Bond. Salah satu karya Abduh yang terkenal adalah buku berjudul Risalah atTauhid yang diterbitkan pada tahun 1897. Abduh menjadi sorang pemikir Muslim dari Mesir dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam.8

Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Penerjemah: Suparno, dkk, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 211. 6 H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 432. 7 Albert Hourani, Pemikiran Liberal, hlm. 212. 8 http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Abduh, diakses 29 November 2012.

C. Latar Belakang dan Corak Pemikiran Muhammad Abduh Pemikirannya banyak terinspirasi dari Ibnu Taimiyah dan

pemikirannya banyak menginspirasi organisasi Islam, Abduh berpendapat, Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu sains. Latar belakang pemikiran Abduh banyak lahir atas refleksi terhadap kondisi realitas masyarakat kala itu yang memprihatinkan. Terjadi kemunduran intelektual umat Islam dengan ditandai beberapa hal : 1. Bahwa masyarakat Muslim mengalami kemunduran akibat kepercayaan terhadap taqlid mengalahkan kepercayaan terhadap teks ajaran agama (al-Quran dan hadis) yang sesungguhnya; 2. Stagnasi (kemandegan) pemikiran masyarakat Muslim. Abduh melihat bahwa salah satu penyebab keterbelakangan umat Islam yang amat memprihatinkan adalah hilangnya tradisi intelektual, yang pada intinya ialah kebebasan berpikir. 3. Kondisi lemah dan terbelakang kaum Muslim disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi

masyarakat Muslim dan realitas internal seperti situasi yang diciptakan oleh kaum Muslim sendiri.9

D. Beberapa Pemikiran Muhammad Abduh Diantara sekian banyaknya pemikir muslim, pemikiran Muhammad Abduhlah adalah salah satu yang mendapat tanggapan dari masyarakat luas. Baik yang pro maupun yang kontra. Hal ini disebabkan buah pikirannya dan tulisan-tulisan Abduh yang bersifat apologetik yang menyangkut aspek politik, pendidikan tafsir, tauhid, sastra dan lain sebagainya. Ide dan pemikiran Abduh ini kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh murid terbaiknya Rasyid Ridha. Selain itu, Muhammad Abduh dikenal sebagai tokoh pemikir yang independen dan bersikap liberal, karena ia banyak

Yuliani Lupito, Para perintis zaman baru Islam, Cetakan Kedua, Penerjemah: Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 41

bersentuhan dengan peradaban Barat. Berikut ini merupakan pemikiranpemikiran dari Muhammad Abduh

1. Ketauhidan (Akal dan Wahyu) Secara umum, ada 2 (dua) pemikiran pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Muhammad Abduh, yaitu:10 a. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaful ummah, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, AlQuran dan Hadits. Sehingga ini memberikan anggapan bahwa setiap orang boleh berijtihad. b. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa. Hal ini juga merupakan salah satu point yang ditekankan Hasan al-Banna yang merupakan salah satu pengagum Muhammad Abduh dan Al-Manarnya.11 Atas dasar kedua fokus pikirannya itu, Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya, sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada Mutazilah.12 Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini : a) Tuhan dan sifat-sifat-Nya; b) Keberadaan hidup di akhirat; c) Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat; d) Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
10

M. Quraisy Syihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), hlm.

19. http://samadaranta.wordpress.com/2010/10/19/sejarah-dan-pemikiran-muhammad-abduh, diakses 30 November 2012. 12 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, (Jakarta: UI Press, 1978), hlm. 57.
11

e) Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat; f) Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu;

2. Pendidikan Islam Pendidikan pada umumnya tidak diberikan kepada kaum wanita, sehingga wanita tetap tinggal dalam kebodohan dan penderitaan. Abduh berpandangan bahwa penyakit tersebut antara lain berpangkal dari ketidaktahuan umat Islam pada ajaran agama yang sebenarnya, karena mereka mempelajari dengan cara yang tidak tepat. Menurut Abduh, penyakit tersebut dapat diobati dengan cara mendidik mereka dengan sistem pengajaran (tepatnya pembelajaran) yang tepat. Sistem pendidikan yang ada pada masanya yang selanjutnya melatarbelakangi pemikiran pendidikan Muhammad Abduh. Sebelumnya, pembaruan pendidikan Mesir diawali oleh Muhammad Ali. Dia hanya menekankan pada perkembangan aspek intelektual dan mewariskan dua tipe pendidikan pada masa berikutnya. Model pertama ialah sekolahsekolah moderen, sedang model kedua adalah sekolah agama. Masingmasing sekolah berdiri sendiri, tanpa mempunyai hubungan satu sama lain. Pada sekolah agama tidak diberikan pelajaran ilmu-ilmu moderen yang berasal dari Barat, sehingga perkembangan intelektual berkurang. Sedangkan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, hanya diberikan ilmu pengetahuan Barat, tanpa memberikan ilmu agama. Dualisme pendidikan yang memunculkan dua kelas sosial yang berbeda. Yang pertama menghasilkan ulama serta tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan mempertahankan tradisi, sedang sekolah yang kedua menghasilkan kelas elit. Generasi muda yang dimulai pada abad 19, dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh, membuat mereka dapat menerima ide-ide Barat. Abduh melihat segi negatif dari dua model pendidikan tersebut, sehingga mendorongnya untuk mengadakan

perbaikan pada dua instansi tersebut.

Pendidikan adalah satu-satunya cara yang efektif untuk mencapai kedewasaan nasional dan kemerdekaan yang sejati.13 Ketika mendekati akhir abad ke-19 (Sembilan belas), ide ini mendapatkan dukungan yang kuat dari sebuah buku yang kini dilupakan, tetapi mendapat sambutan besar pada masanya. Karya E. Demolins, A quoi tient la superiorite des Anglo Saxons?. Dalam buku ini, Demolins, menjelaskan mengapa masyarakat Anglo-Saxon menaklukkan dunia dan menjadi yang terkuat dan termakmur di dunia. Alasan yang ia kemukakan adalah bahwa mereka telah mengembangkan inisiatif individu sampai pada suatu tingkat yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Selanjutnya, mengenai hal ini terdapat dua alasan: tujuan utama dari pendidikan mereka adalah untuk melatih manusia dalam kehidupan dunia modern, sementara pendidikan Perancis ditujukkan untuk menyesuaikan manusia hanya pada kehidupan di tengah masyarakat yang tidak berubah berdasarkan keluarga dan negara dan sementara semangat nasional Perancis bersifat militeristik, menuntut pengorbanan individu demi kebesaran dan kekuatan bangsa, nasionalisme Anglo-Saxon adalah personal berdasarkan pada kebebasan individu dan bertujuan demi kesejahteraan individu.14 Dari latar realitas dualisme pendidikan diatas, kemudian Abduh melakukan pembaruan dan perubahan pendidikan diantaranya : a. Tujuan Pendidikan Menurut Abduh tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan yang dirumuskan Abduh tersebut mencakup aspek akal dan aspek spiritual. Dengan tujuan tersebut ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan pengembangan akal, tetapi juga pengembangan spiritual. Abduh berkeyakinan apabila aspek akal dan spiritual dididik dengan
13 14

Albert Hourani, Pemikiran Liberal, hlm. 291. Albert Hourani, Pemikiran Liberal, hlm. 291.

cara dicerdaskan dan jiwa dengan agama, maka umat Islam akan dapat bersaing dengan ilmu pengetahuan baru, dan dapat

mengimbangi mereka dalam kebudayaan. b. Kurikulum Sekolah Kurikulum yang dirumuskan Muhammad Abduh adalah sebagai berikut: (a) Untuk tingkat sekolah dasar: membaca, menulis, berhitung, dan pelajaran agama dengan materi akidah, fikih, akhlak, serta sejarah Islam. (b) Untuk tingkat menengah: manthiq dan dasar, dasar penalaran, akidah yang dibuktikan dengan akal dan dalil-dalil yang pasti, fikih dan akhlak, dan sejarah Islam. (c) Untuk tingkat atas: tafsir, hadits, bahasa Arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang rinci, sejarah Islam, retorika dan dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam. Dari penerapan kurikulum di atas, tampak bahwa Abduh ingin menghilangkan dualisme pendidikan yang ada pada saat itu. Dia menginginkan sekolah-sekolah umum memberikan pelajaran agama dan al-Azhar diharapkan menerapkan ilmu-ilmu yang datang dari Barat. c. Metode Pengajaran Abduh menekankan pemberian pengertian (pemahaman) dalam setiap pelajaran yang diberikan. Ia mengingatkan kepada para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode hapalan, karena metode hapalan menurutnya hanya akan merusak daya nalar. Abduh menekankan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid. d. Pendidikan bagi Perempuan Menurut Abduh, pendidikan harus diikuti oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya perempuan haruslah mendapat hak yang sama dalam bidang pendidikan. Hal ini didasarkan kepada QS al-Baqarah (02): 228 dan QS al-Ahzab (33): 35.

3. Ijtihad Muhammad Abduh sangat menentang taklid yang dipandangnya sebagai faktor yang melemahkan jiwa umat Islam. Pandangan Abduh tentang perlunya upaya pembongkaran kejumudan yang telah sedemikian lama mengalami pengerakan tersebut akan melahirkan ide tentang perlunya melaksanakan kegiatan ijtihad. Menurut Abduh, taklid akan menghentikan akal pikiran manusia pada batas tertentu, yakni taklid sangat bertentangan dengan akal, taklid bertentangan dengan tabiat kehidupan, dan taklid itu juga bertentangan dengan tabiat dasar-dasar dan ciri Islam15. Muhammad Abduh mengikis habis taklid sebagai suatu prinsip, dalam bentuknya yang ada pada saat itu, seperti mengikuti mazhab secara harfiah dengan pengkultusan. Fanatisme itu disebabkan oleh adanya kelemahan pemikiran, politik, dan ekonomi pada masyarakat Islam. Ijtihad menurut Abduh, bukan hanya boleh bahkan perlu dilakukan. Namun, menurut ia bukan berati setiap orang boleh berijtihad. Hanya orang-orang tertentu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihadlah yang boleh melakukan ijtihad tersebut. Ijtihad dilakukan langsung terhadap al-Quran dan hadits sebagai sumber dari ajaran Islam16. Lapangan ijtihad adalah mengenai soal-soal muamalah yang ayatayat dan haditsnya bersifat umum dan jumlahnya sedikit. Sedangkan soal ibadah bukanlah bagian dari lapangan ijtihad, karena persoalan ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, dan bukan antara manusia dengan manusia yang tidak menghendaki perubahan menurut zaman. Bahwasanya keterbelakangan dan kemunduran yang dialami umat Islam disebabkan oleh pandangan dan sikap jumud. Maka untuk membebaskan umat Islam dari taklid, dan kembali kepada ajaran Islam yang sesuai dengan al-Quran dan Hadits. Bahkan Abduh mengecam orang
15

yang

melakuakan

taqlid.

Orang yang

melakukan

taqlid

Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), Cet. I, hal. 91 16 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 64

10

(muqallid), menurut Abduh, memiliki derajat yang lebih rendah dari orang yang diikutinya. Karena muqallid hanya melihat lahir perbuatan orang yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan rahasia perbuatannya. Hal ini membuat pekerjaan muqallid menjadi tanpa dasar dan tidak karuan. Pandangan Muhammad Abduh tentang perlunya ijtihad dan pemberantasan taklid, tampaknya didasari atas kepercayaannya yang tinggi terhadap akal. Karena menurut Abduh, Islam menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Sebab akal dapat membedakan antara baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Islam adalah agama yang rasional, dan menggunakan akal merupakan salah satu dari dasar-dasar Islam. Kebenaran yang dicapai akal tidak bertentangan dengan kebenaran yang disampaikan oleh wahyu. Menurutnya dalil akal yang meyakinkan bertentangan dengan dalil naql yang tidak meyakinkan. Namun, masih menurut Abduh, ada dua cara yang dapat ditempuh jika ditemukan adanya kontradiksi antara dalil akal dengan dalil naql. Pertama, kita menerima dalil naql itu sebagai dalil yang sah, tetapi kita mengakui bahwa kita tidak mampu untuk memahaminya dan menyerahkan hal yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Kedua, kita mentawilkan dalil naql itu sesuai dengan tata bahasa sehingga artinya dapat menjadi sesuai dengan yang ditetapkan oleh akal17. Meskipun begitu, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal manusia. Menurutnya, selain akal juga diperlukan wahyu. Sebab, tanpa wahyu akal tidak mampu membawa manusia untuk mencapai kebahagiaan. Selanjutnya, Abduh berpendapat bahwa mas alahmasalah yang berkenaan dengan hakekat Tuhan dan masalah masalah metafisika, bukan merupakan wilayah sepenuhnya dapat dijangkau akal. Karena itu, penjelajahan akal dalam hal seperti itu perlu dibatasi.
17

Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: Grasindo, 2003),

hal. 24

11

Disamping itu, akal juga memiliki keterbatasan dal am mengetahui kegunaan perbuatan-perbuatan tertentu, seperti jumlah rakaat shalat dan amalan-amalan dalam ibadah haji, dan

sebagainnya. Dengan demikian, ijtihad menurut Abduh sangat diperlukan dalam Islam, agar umat tidak terbelenggu oleh taklid dan memberikan kebebasan bagi umatnya untuk berijtihad selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

4. Politik Menurut Muhammad Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentuk tertentu dalam pemerintahan. Jika bentuk khalifah masih tetap menjadi pilihan dalam pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat18. Ini mengandung maksud bahwa apa pun bentuk dari suatu pemerintahan, Abduh menghendaki pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Abduh mengatakan bahwa rakyat merupakan sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan memiliki hak memaksa pemerintah. Oleh karena itu rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan meraka19. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama, maksud dari Muhammad Abduh, bahwa Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama yakni, Pertama, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan. Kedua,Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain. Ketiga, Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lainseperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada
18 19

Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), hal. 282 Ibid, hal. 286

12

abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seorangpun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Abduh, salah satu prinsip ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan agama sehingga setelah Allah dan Rasul-Nya, tidak ada seorangpun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan agama orang lain20.Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa adanya pemaksaan untuk mengikuti ajarannya.

Pendapatnya ini mengisyaratkan ketidaksepakatannya dengan para pemikir politik pada masa klasik dan masa pertengahan, yang menyatakan bahwa kekuasaan khalifah atau kepala negara itu merupakan mandat dari Allah, maka dengan demikian ia harus bertenggungjawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, khalifah atau kepala negara hanya seorang penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat dan bukanlah hak Tuhan untuk mengangkat dan memberhentikannya. Dalam hal ketaatan, menurut Abduh rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat yang bertentangan dengan al-Quran dan hadits, jika pemimpin berbuat sesuatu yang bertentangan, rakyat harus menggantinya dengan orang lain, selama proses itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar dari pada maslahatnya. Dengan kekuasaan politik yang dipegang oleh pemimpin, hendaknya prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang. Usaha pemimpin atau pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Abduh mengatakan bahwa harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara

Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), 131

20

13

setempat21. Karena setiap negara berbeda menurut perbedaan tempat, kondisi perdagangan dan pertanian. Warganya pun berbeda-beda dalam tradisi, moral, keyakinan, dan sebagainya. Peraturan yang cocok dan bermanfaat untuk satu bangsa, belum tentu cocok dan sesuai untuk bangsa yang lainnya. Maka perundang-undangan harus memperhatikan dengan benar perbedaan manusia, sesuai dengan tingkat, kondisi, tempat tinggal, keyakinan dan tradisinya. Hal tersebut akan memudahkan baginya untuk mengambil hal yang berguna dan mencegah dari yang bahaya.

5. Kebebasan Bagi Abduh, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami (natural) yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluq lain. Manusia dengan aqalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.22 Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat muthlaq. Tuhan telah membatasi kehendak muthlaq-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam mewujudkan perbuatanperbuatannya. Kehendak muthlaq Tuhan pun dibatasi oleh sunatullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunatullah yang telah ditetapkan-Nya. Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.23.

21

Saefuddin, Didin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: Grasindo,

2003), hal. 33
22 23

Harun Nasution, Muhammad Abduh, hlm. 65. Harun Nasution, Muhammad Abduh, hlm. 75 dan 77.

14

E. Kontribusi dan Kontekstualisasi Pemikiran Muhammad Abduh Urgensi mengkaji pemikiran Muhammad Abduh adalah mencoba menelaah lebih jauh tentang modernisasi pendidikan Islam misalnya, bahwa manusia hidup untuk menghadapi (bertemu) zaman (kemajuan). Pendidikan Islam hadir menjawab tantangan zaman yang identik dengan sebutan modernisasi. Maka pendidikan harus mampu mengemban amanah kemajuan modernisasi pendidikan. Peta pemikiran Abduh ingin menunjukkan bahwa Islam mengandung pada dirinya kualitas agama rasional. Ilmu Pengetahuan sosial dan aturan moral berfungsi sebagai landasan kehidupan modern dan untuk menciptakan elite yang harus memelihara dan menafsirkannya, jenis ulama baru yang mampu menyampaikan dan mengajarkan Islam yang sebenarnya. Memberikan landasan bagi suatu masyarakat yang stabil dan maju, sebuah kelompok pertengahan diantara kekuatan tradisional dan revolusioner.24

F.

Kesimpulan Pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan dinilai sebagai awal dari kebangkitan umat Islam di awal abad ke 20. Pemikiran Muhammad Abduh yang disebarluaskan melalui tulisannya di majalah al-Manar dan alUrwatul Wutsqa yang menjadi rujukan para tokoh pembaru dalam dunia Islam, hingga di berbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan sekolahsekolah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Abduh. Nilai-nilai yang ingin ditegakkan Muhammad Abduh melalui perjuangan dan pemikirannya: (1) Nilai persatuan dan nilai solidaritas, yaitu usaha yang dilakukan Abduh guna memulihkan kembali kekuatan Islam dengan membentuk urwatul wutsqa di bawah panji bersama dengan semangat ukhuwah Islamiyah; (2) Nilai pembaruan. Abduh berusaha mencanangkan gerakan pembaruan, berusaha membuka pemikiran di kalangan umat Islam yang beranggapan pintu ijtihad telah tertutup dan taklid; (3) Nilai perjuangan, yaitu gerakan yang dicanangkan Abduh baik dalam politik secara diplomatis,
24

Albert Hourani, Pemikiran Liberal, hlm. 225.

15

maupun dalam bidang pendidikan dan sosial mengandung unsur perjuangan untuk membela Islam; (4) Nilai-nilai kemerdekaan. Abduh berusaha membuka pemikiran (bebas mengemukakan pemikiran) umat Islam yang selama ini terlalu bergantung dengan pemerintah dan terbelenggu dengan pemikiran sempit yang statis.

16

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. A. Mukti. 1995. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan. Hourani, Albert. 2004. Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Penerjemah: Suparno, dkk, Bandung: Mizan. http://susiyanto.wordpress.com, diakses 30 November 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Abduh, diakses 29 November 2012. http://samadaranta.wordpress.com/2010/10/19/sejarah-dan-pemikiranmuhammad-abduh, diakses 30 November 2012. Lupito, Yuliani. 1996. Para perintis zaman baru Islam, Cetakan Kedua, Penerjemah: Ilyas Hasan, Bandung: Mizan. Nasution, Harun. 1978. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, Jakarta: UI Press. Shihab, M. Quraisy. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Jakarta: Pustaka Hidayah.

You might also like