You are on page 1of 4

TUGAS MATA KULIAH KEBIJAKAN PERTANIAN Kebijakan Pertanian dan Krisis Kedelai yang dialami Petani Indonesia

Disusun Oleh : Nofridy Widya Eswaratika H0809088 Agribisnis D

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Kebijakan Pertanian dan Krisis Kedelai yang dialami Petani Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar rakyatnya menggantungkan hidup pada pertanian.

Keanekaragaman Indonesia menjadikan sektor pertanian menjadi sektor yang paling potensial di Indonesia. Lahan yang luas pun semakin mendukung dimana dengan luas lahan Indonesia sebesar 192 juta ha, 101 juta ha berpotensi sebagai areal pertanian yang meliputi lahan basah seluas 25,6 juta ha, lahan kering tanaman semusim 25,3 juta ha dan lahan kering tanaman tahunan 50,9 juta ha. Namun yang telah dimanfaatkan hanya sebesar 47 juta ha (Kementan, 2006). Namun, petani yang merupakan komponen terbesar bangsa belum mampu disejahterakan. Potensi alam yang ada tidak dimanfaatkan dan dioptimalkan hingga mencapai titik dimana sektor pertanian tidak lagi menjadi bagian dari identitas Indonesia. Kelangkaan pun terjadi akibat tidak dibenahinya pertanian dengan baik. Akhirnya, Indonesia harus mengimpor hasil pertanian dan bahan makanan dari negara lain yang potensi kekayaan alamnya tidak sebesar Indonesia. Kenyataan yang sangat berbeda dengan masa lampau, dimana saat ini Indonesia merupakan negara kaya yang harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola potensi pertanian Indonesia menjadikannya semakin menjauh dari kondisi kejayaan masa lampau. Kasus kedelai, bahan dasar utama pembuatan tahu dan tempe, yang telah menjadi makanan utama sebagian besar rakyat di negeri Indonesia, merupakan salah satu contoh gagalnya pemerintah dalam mengelola potensi pertanian Indonesia. Permintaan yang tinggi terhadap kedelai tidak diantisipasi dengan ketersediaan yang memadai. Ketergantungan akan konsumsi kedelai yang cukup besar dan telah menjadi tradisi, khususnya di pulau Jawa tentu berdampak pada ketergantungan terhadap impor apabila produksi di dalam negeri tidak mengalami peningkatan yang nyata. Telah diketahui kini bahwa importir kedelai terbesar Amerika adalah Negara Indonesia. Sampai saat ini, ketergantungan Indonesia terhadap impor cenderung meningkat. Dalam setahun kita sedikitnya mengimpor 1,4 - 1,6 juta

ton dari kebutuhan nasional 2,2 juta ton. Sementara Indonesia baru bisa memproduksi 600-800 ribu ton per tahun. Masalah utama pertanian Indonesia, bukanlah terletak pada mampu atau tidaknya Indonesia meningkatkan produksi, tetapi lebih kepada stabilitas harga. Masalah impor ini terletak pada harga yang berpengaruh terhadap keputusan petani dalam memproduksi. Ketika harga kedelai di luar negeri lebih murah, maka kecenderungan pedagang untuk mengimpor cukup besar. Untuk mengurangi impor ini, Pemerintah menerapkan biaya masuk. Karena harga menjadi seimbang, bahkan lebih murah, maka petani dalam negeri tak terdorong untuk meningkatkan produksi. Dalam keadaan seperti ini, tanpa disadari Indonesia mulai tergantung pada impor. Ketika harga kedelai di luar negeri meningkat tajam, ditambah lagi dengan biaya masuk, maka harga kedelai di dalam negeri pun membumbung tinggi. Ketika itu terjadi, Indonesia tidak mungkin menghentikan impor, karena produksi dalam negeri tidak mencukupi. Kini, Pemerintah menghapus biaya masuk untuk sementara. Namun langkah itu takkan efektif, sebab harga pembelian impor sebelum dikenakan bea masuk sudah naik hampir dua kali lipat. Harga kedelai produk dalam negeri juga sudah terlanjur naik. Perlu waktu relatif lama untuk menstabilkan harga. Harga yang wajar hanya akan tercipta kembali kalau harga kedelai impor turun atau produksi kedelai dalam negeri meningkat. Hal yang sama, sebenarnya juga terjadi pada produk pertanian yang lain, seperti jagung, lada, cengkeh, bawang putih. Hal yang menjadi inti permasalahan adalah pemerintah cenderung menggunakan kebijakan impor untuk mengatasi harga barang dan memenuhi kebutuhan konsumsi. Kebijakan impor ini bukan hanya terjadi pada tanaman kedelai saja, namun beberapa produk pertanian lain juga diberlakukan kebijakan impor yang ujungnya terdapat permainan antar pembuat kebijakan. Untuk kebijakan jangka pendek impor dapat menjadi solusi, namun nyatanya pemerintah tidak membuat solusi jangka panjang agar tak lagi melakukan kebijakan impor. Kini masalah kedelai mencuat ke permukaan. Harganya melonjak tajam. Sementara produsen tahu dan tempe, tidak mungkin langsung menaikkan harga jual produknya. Daya beli masyarakat makin lemah. Harga bahan makanan yang

lain seperti minyak goreng dan telur juga mengalami kenaikan. Akibatnya, produsen tahu tempe bukan saja mengurangi produksi, bahkan terancam bangkrut. Kebangkrutan ini juga berdampak pada meningkatnya pengangguran. Tahu tempe yang selama ini dianggap sebagai produk makanan murah namun bergizi, berubah menjadi barang yang mahal. Kalau rakyat tak mampu lagi membeli tahu tempe sebagai lauk pauk sehar-hari, maka apa lagi yang akan dimakan. Kebijakan pemerintah seharusnya bukan hanya berdasarkan pemenuhan kuantitas barang produksi, tetapi harus mengacu pada pemenuhan kebutuhan petani agar petani terjamin dan terlindungi sehingga petani semangat untuk menanam karena akan mendapat keuntungan yang besar. Ketika produksi petani lokal dapat ditingkatkan dari segi kuantitas dan kualitas maka kebijakan impor tak perlu lagi diberlakukan. Kemudian adanya tengkulak juga berpengaruh terhadap spekulasi harga, contohnya dengan terjadi penimbunan. Pemerintah harus intervensi permasalah tersebut supaya tidak merugikan petani secara terus-menerus, agar petani bergairah menanam kedelai. Kasus melonjaknya harga kedelai, kiranya menjadi pelajaran sangat berharga untuk pemerintah lebih bersungguh-sungguh membenahi kebijakan mengenai pertanian dan perdagangan Indonesia. Kebijakan ini tentunya menyangkut perangkat hukum yang mampu melindungi ekonomi rakyat dari persaingan tidak sehat atau eksploitasi pihak yang kuat atas yang lemah.

You might also like