Professional Documents
Culture Documents
BAB I. PENDAHULUAN
Dalam penelitian kualitatif yang bersifat holistik, jumlah teori yang harus dimiliki peneliti kualitatif jauh lebih banyak di bandingkan penelitian kuantitatif karena harus disesuaikan dengan fenomena yang berkembang dilapangan. Peneliti kualitatif akan lebih profesional kalau menguasai semua teori sehingga wawasannya lebih luas, dan dapat menjadi instrumen penelitian yang baik. Teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa memahami konteks sosial secara lebih luas dan mendalam. Walaupun peneliti kualitatif dituntut untuk menguasai teori yang luas dan mendalam, namun dalam melaksanakan penelitian, peneliti kualitatif harus mampu melepaskan teori yang dimiliki tersebut dan tidak digunakan sebagai panduan dalam menyusun instrument dan sebagai panduan dalam menyusun panduan untuk wawancara, dan observasi. Munculnya penelitian kualitatif adalah karena reaksi dari tradisi yang terkait dengan positivisme dan postpositivisme yang berupaya melakukan kajian budaya dan interpretatif sifatnya. Berbagai jenis metode dan pendekatan dalam penelitian kualitatif, tingkat perkembangan dan kematangan masing-masing metode ditentukan juga oleh bidang keilmuan yang memiliki sejarah perkembangannya. Setiap uraian mengenai penelitian kualitatif harus bekerja didalam bidang historis yang kompleks. Penelitian kualitatif mempunyai pengertian yang berbeda-beda untuk setiap momen, meskipun demikian definisi secara umum : penelitian kualitatif merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Ini berarti penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alami, yang berupaya untuk memahami, member tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan orang-orang kepadanya. Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai bahan empiris, seperti studi kasus, pengalaman pribadi, instropeksi, riwayat hidup, wawancara, pengamatan, teks sejarah, interaksional dan visual: yang benggambarkan momen rutin dan problematis, serta maknanya dalam kehidupan individual dan kolektif. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Pengertian Penelitian Kualitatif, Penelitian Naturalistik, Kapan Menggunakan Penelitian Kualitatif, Karakteristik Penelitian Naturalistik, Proses Inkuiri Naturalistik, dan beberapa Contoh Penelitian Kualitatif.
Sedangkan menurut Strauss dan Corbin (1990) penelitian kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang prosedur penemuan yang dilakukan tidak menggunakan prosedur statistik atau kuantifikasi. Dalam hal ini penelitian kualitatif adalah penelitian tentang kehidupan
seseorang, cerita, perilaku, dan juga tentang fungsi organisasi, gerakan sosial atau hubungan timbal balik.[2] Konsep penelitian kualitatif sebenarnya menunjuk dan menekankan pada proses, dan berarti tidak diteliti secara ketat atau terukur ( jika memang dapat diukur), dilihat dari kualitas, jumlah, intensitas atau frekuensi. Penelitian kualitatif menekankan sifat realita yang dibangun secara sosial, hubungan yang intim antara peneliti dengan yang diteliti dan kendala situasional yang membentuk penyelidikan. Penelitian kualitatif menekan bahwa sifat peneliti itu penuh dengan nilai (value-laden). Mereka mencoba menjawab pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan diberi arti.[3] Objek penelitian kualitatif adalah seluruh bidang/aspek kehidupan manusia, yakni manusia dan segala sesuatu yang dipengaruhi manusia. Objek itu diungkapkan kondisinya sebagaimana adanya atau dalam keadaan sewajarnya (natural setting), mungkin berkenaan dengan aspek/bidang kehidupannya yang disebut ekonomi, kebudayaan, hukum, administrasi, agama dan sebagainya.[4] Penelitian kualitatif bersifat induktif, karena bertolak dari data yang bersifat individual/khusus, untuk merumuskan kesimpulan umum. Penelitian ini bermaksud menemukan kebenaran berupa generalisasi yang dapat diterima akal sehat (common sense) manusia, terutama peneliti sendiri. Generalisasi itu terbatas dalam konteksnya dengan masalah dan lingkungan sumber datanya, karena penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana penelitian kuantitatif.[5] Peneliti kualitatif dituntut mampu mengorganisasikan semua teori yang dibaca. Landasan teori yang dituliskan dalam proposal penelitian lebih berfungsi untuk menunjukkan seberapa jauh peneliti memiliki teori dan memahami permasalahan yang diteliti walaupun permasalahan tersebut masih bersifat sementara. Oleh karena itu landasan teori yang dikemukakan bukan merupakan harga mati, tetapi bersifat sementara. Peneliti kualitatif justru dituntut untuk melakukan grounded research, yaitu menemukan teori berdasarkan data yang diperoleh dilapangan.[6] Penelitian kualitatif memiliki model desain yang berbeda dengan penelitian kuantitatif. Tidak ada pola baku tentang format desain penelitian kualitatif, sebab; (1) instrumen utama penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri, sehingga masing-masing orang bisa memiliki model desain sendiri sesuai seleranya, (2) proses penelitian kualitatif bersifat siklus, sehingga sulit untuk dirumuskan format yang baku, dan (3) umumnya penelitian kualitatif berangkat dari kasus atau fenomena tertentu, sehingga sulit untuk dirumuskan format desain yang baku.
B. Penelitian Naturalistik
Istilah lain yang sering digunakan dengan makna penelitian kualitatif adalah penelitian naturalistic. Guba (1985) mempergunakan nama Naturalistic Inquiry (inkuiri naturalistik), oleh karena ciri yang menonjol dari penelitian kualitatif adalah cara mengamati dan pengumpulan data yang dilakukan dalam latar/seting alamiah, artinya tanpa memanipulasi subjek yang diteliti (sebagaimana adanya, natur).[7] Tujuan penelitian naturalistik adalah untuk mengetahui aktualitas, realitas sosial dan persepsi manusia melalui pengakuan mereka yang mungkin tidak dapat diungkap melalui penonjolan pengukuran formal atau pertanyaan penelitian yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Para peneliti naturalistik meyakini bahwa untuk memahami gejala sosial yang paling tepat adalah apabila mereka mampu memperoleh fakta pendukung yang sumbernya berasal dari persepsi dan ungkapan dari para pelaku itu sendiri. Dilihat dari segi orientasinya, penelitian naturalistik berorientasi pada proses. Karena berorientasi pada proses, maka penelitian naturalistik dianggap tepat untuk memecahkan
permasalahan penelitian yang berkaitan dengan kegiatan manusia, seperti: perubahan perilaku manusia dalam pembangunan, perilaku siswa dalam sekolah, peran dokter dan pasien dalam proses penyembuhan, di mana dalam kegiatan tersebut pengungkapan fenomena lebih bersifat ganda dan non linier.[8]
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. Yang ingin dihasilakan adalah deskripsi dan kesimpulan yang kaya konteks. 8. Berfokus pada interaksi-interaksi dari orang-orang yang diteliti dan proses-proses yang mereka pakai.[10] Sebagai tambahan terhadap tipe-tipe informasi di atas ada pula hal-hal lain yang harus diperhatikan oleh peneliti dalam menentukan pendekatan penelitian mana yang akan dipakainya. Diantaranya adalah sebagai berikut : a. Inkuiri naturalistik tepat digunakan apabila literatur dan pengalaman peneliti tidak cukup mendeskripsikan konteks sesuatu yang akan diteliti. b. Inkuiri naturalistic akan berguna apabila tidak ada hipotesis yang jelas dan dapat diuji serta variable yang paling relevan bagi hipotesis itu. c. Jika variable-variabel yang diidentifikasikan untuk pengkajian, maka akan paling tepat bila dikaji dalam konteksnya yang natural, maka inkuiri naturalistic adalah metode yang tepat.[11] Penggunaan metode kualitatif penting diperhatikan, antara lain agar tidak terlalu banyak masalah perbedaan persepsi, maka perlu diperhatikan hal berikut ini : a. Riset Kualitatif hanya semata-mata merupakan rakitan anekdot dan kesan pribadi, sangat dipengaruhi oleh bias si peneliti. b. Riset Kualitatif dianggap kurang dapat direproduksi, artinya riset tersebut sangat bersifat pribadi bagi peneliti, sehingga tidak ada jaminan bahwa peneliti lain tidak akan menghasilkan kesimpulan yang sama sekali bertentangan dengan kesimpulan peneliti pertama. c. Hasil riset kualitatif dianggap sulit diterapkan secara luas (generalisasi). Metode kualitatif dianggap cenderung menghasilkan banyak informasi rinci dari jumlah setting yang kecil.[12]
1. 2. 3. 4. 5.
1.
2.
3.
4.
Penelitian naturalistik lebih memilih metode kualitatif daripada kuantitatif, karena lebih mampu mengungkap realitas ganda. Metode kualitatif juga lebih mengungkap hubungan wajar antara peneliti dengan responden; dan karena metode kualitatif lebih sensitif dan adaptif terhadap berbagai pengaruh timbal balik. 5. Pengambilan sampel secara purposive Penelitian naturalistik menghindari pengambilan sampel secara acak, yang menekan kemungkinan munculnya kasus menyimpang. Dengan pengambilan secara purposive, halhal yang dicari dapat dipilih pada kasus-kasus ekstrim, sehingga hal-hal yang dicari tampil menonjol dan pada akhirnya dapat mudah dicari maknanya. 6. Analisis datanya secara induktif Penelitian naturalistik lebih menyukai analisis induktif daripada deduktif, karena dengan cara tersebut konteksnya akan lebih mudah dideskripsikan. 7. Grounded theory Penelitian naturalistik lebih mengarahkan penyusunan teori (yang lebih mendasar) diangkat dari empiri, bukan dibangun secara apriori. 8. Desain penelitian bersifat sementara Penelitian naturalistik cenderung memilih penyusunan desain sementara dari pada mengkonstruksinya secara apriori, karena realitas ganda sulit dikerangkakan. Alasan lain, karena peneliti sulit mempolakan lebih dahulu apa yang ada di lapangan; dan karena banyak sistem nilai yang terkait serta inter-aksinya tak terduga. 9. Hasil yang disepakati Penelitian naturalistik cenderung menyepakatkan makna dan tafsir atas data yang diperoleh dengan sumbernya. Maksudnya peneliti perlu mencari kepastiannya pada penduduk yang tinggal dalam konteks-nya, karena responden lebih memahami konteksnya dari pada si peneliti. 10. Modus laporan studi kasus Penelitian naturalistik lebih menyukai modus laporan studi kasus daripada modus lain, karena dengan modus laporan studi kasus deskripsi realitas ganda yang tampil dari interaksi peneliti dengan responden dapat terhindar dari bias. 11. Penafsiran idiografik Penelitian naturalistik mengarah ke penafsiran data (termasuk penarikan kesimpulan) secara idiografik (dalam arti keberlakuannya bersifat khusus); bukan ke nomothetik(dalam arti mencari hukum keberlakuan yang sifatnya umum), karena penafsiran yang berbeda nampaknya lebih memberi makna untuk realitas yang berbeda konteksnya. 12. Aplikasinya tentatif Penelitian naturalistik cenderung lebih menyukai aplikasi tentatif daripada aplikasi meluas atas hasil temuannya, karena realitas itu ganda dan berbeda; juga karena interaksi antara peneliti dengan respondennya bersifat khusus dan tak dapat diduplikasikan. 13. Ikatan konteks terfokus Penelitian naturalistik menghendaki ditetapkannya batas atas dasar fokus. Penentuan fokus memiliki tujuan menentukan keterikatan studi, ketentuan lokasi studi, menentukan kriteria inklusi dan ekslusi bagi informal baru. Fokus membantu peneliti membuat keputusan untuk membuang atau menyimpan infornasi yang diperolehnya.[14]
1. 2. 3. 4. 5. Sementara itu menurut Nasution ciri-ciri metode kualitatif adalah : Sumber data adalah situasi yang wajar atau natural setting peneliti sebagai instrumen penelitian Sangat deskriptif Mementingkan proses maupun produk Mencari makna Mengutamakan data langsung
Triangulasi (pengecekan data/informasi dari sumber lain) Menonjolkan rincian kontekstual Subyek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti Mengutamakan perspektif emik (menurut pandangan responden) Verifikasi (menggunakan kasus yang bertentangan untuk memperoleh hasil yang lebih dipercaya) Sampling yang purposive Menggunakan audit trial (melacak laporan/informasi sesuai dengan data yang terkumpul) Partisipsi tanpa mengganggu Mengadakan analisis sejak awal penelitian Data dikumpulkan dalam bentuk kata-kata atau gambar ketimbang Desain penelitian tampil dalam proses penelitian
Dengan memperhatikan karakteristik penelitian kualitatif yang dikemukakan para ahli sebagaimana dikemukakan di atas, nampaknya lebih bersifat saling melengkapi dan menambah. Dengan variasi semacam ini maka akan lebih mempermudah/memperjelas pemahaman tentang penelitian kualitatif.[15]
Lincoln dan Guba (1985:39), lebih suka menggunakan istilah Naturalistik Inquiry oleh karena ciri yang menonjol dari penelitian ini adalah cara pengamatan dan pengumpulan datanya dilakukan dalam latar/ setting alamiah, artinya tanpa memanipulasi subyek yang diteliti (sebagaimana adanya natur). Menurut perkembangannya, pendekatan ini bukanlah hal baru. Hanya saja perhatian para ahli secara intens barulah pada dekade terakhir ini. Inkuiri Naturalistik digolongkan ke dalam pendekatan/penelitian kualitatif untuk membedakannya dari penelitian kuantitatif. Perbedaan lainnya terletak pada paradigma yang dipergunakan dalam melihat realita atau sesuatu yang menjadi obyek studi. Paragidma itu sendiri tidak lain adalah representasi konseptualisasi tentang sesuatu, atau pandangan terhdap sesuatu. Dengan kata lain paradigma merupakan suatu cara memahami realita. Dalam penelitian, hal ini mencakup keyakinan terhadap sifat dasar dari realitas (yang diamati), hubungan antara orang yang mencoba mengetahui sesuatu (peneliti) dan hal yang mereka coba ketahui (yang diteliti), peranan/pengaruh dari nilai-nilai (yang dianut peneliti) dan variabel-variabel lainnya yang serupa itu. Paradigma naturalistik disebut juga paradigma definisi sosial, paradigma nonpositivistik, paradigma mikro dan pemberdayaan. Kendatipun menggunakan istilah yang beragam, keempat istilah tersebut pada umumnya memiliki pengertian yang yang sama dan merupakan rumpun paradigma penelitian kualitatif. Secara sederhana inkuiri naturalistik dapat didefinisikan sebagai inkuiri yang dilakukan dalam latar/setting alamiah dengan menggunakan metode yang alamiah pula (Aliasar 1998: 4). Sedangkan paradigma definisi sosial (social defenition) menekankan hakikat kenyataan sosial yang didasarkan pada definisi subyektif dan penilaiannya. Struktur sosial menunjuk pada definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok dan menghubungkan satu sama lain. Tindakan-tindakan individu
serta pola-pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama dan dikonstruksikan melalui proses interaksi. Bagi penganut paradigma ini, realitas sosial yang menjadi obyek penelitian tidak mesti bersifat perilaku sosial yang kasat mata saja, melainkan juga keseluruhan makna kultural yang simbolik termasuk tindakan yang tidak kasat mata. Jadi sumber perilaku sosial itu seperti dikatakan Suprayogo dan Tobroni (2001: 101), tidak hanya berasal dari luar individu yang semata-mata mengikuti hukum kausalitas, namun bersumber pula dari dalam diri subyek (inner perspective of human behavior) dan makna pengalaman individu (the meaning of an individuals experience of the world). Dengan kata lain, realitas dalam paradigma ini ditentukan sendiri oleh subyek yang diteliti.[17] Inkuiri naturalistik menggunakan suatu proses siklus dan bukan linier. Siklus penelitian naturalistik mulai dengan seleksi suatu proyek penelitian. Siklus itu kemudian dilanjutkan dengan mengalikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan proyek itu, pengumpulan data untuk menanggulangi pertanyaan-pertanyaan itu, suatu catatan mengenai data yang dikumpulkan, serta analisis dari data itu. Proses ini diulangi beberapa kali atau sering kali, tergantung pada ruang lingkup yang makin menyempit dari pertanyaanpertanyaan yang diajukan. Jadi, suatu pengkajian naturalistik dapat dilakukan dengan hanya suatu fokus deskriptif, dengan memerlukan relatif hanya sedikit pengulangan dari siklusnya. Atau, jika digunakan suatu ruang lingkup yang lebih terfokus, maka lebih banyak pengulangan dari sklus itu yang akan diperlukan, sebelum dapat ditulis suatu laporan, karena pertanyaanpertanyaan akan makin terfokus juga setiap kali melalui siklus itu, data yang dikumpulkan lebih terpesialisasikan, analisisnya akan menjadi lebih sempit dan seterusnya. Jumlah frekuensi melalui siklus itu yang diperlukan biasanya tidak diketahui ketika pengkajian dimulai. Jadi, proses naturalistik itu menurut keluwesan dan keterbukaan terhadap informasi baru yang akan digunakan dalam menyempitkan fokus.[18]
kebudayaan sedangkan etnologi mempunyai arti yang lebih berorientasi teoritis tentang hubungan-hubungan dan makna-makna perilaku sosial yang ada dalam sejumlah masyarakat. Spradley dan Mc Curdy menggambarkan hubungan etnografi dengan etnologi dan antropologi budaya. Description, classification, comparison dan explanation, pada hakikatnya mencerminkan empat langkah berurutan dari suatu penjelasan ilmiah (Sceantific explanation). Tingkat yang atas dibangun berdasarkan informasi yang disediakan oleh tingkat bawah. Metode penjelasan ilmiah yang dipakai oleh para antropolog ini telah dikembangkan pula dalam penelitian pendidikan. Namun dalam antropologi ada dua jenis deskripsi yaitu thick description dan thin description.[19] Di bawah ini merupakan salah satu contoh penelitian kualitatif dalam bentuk thick description. Teachers, Kids and Conlict : Ethnography of Junior High School oleh Janet Davis Dari judul yang diketahui bahwa isinya menyangkut guru, siswa dan konflik di sebuah SMP di Amerika Serikat. Sekolah itu terletak di bagian tengah Barat Amerika Serikat, siswanya berjumlah 700 orang yang terdiri dari orang kulit putih dan orang kulit hitam, jumlah guru 40 orang. Dalam rangka perbaikaan pendidikan di sekolah negeri, Janet ingin mengetahui pandangan siswa mengenai sekolah mereka. Untuk itu, Janet mempelajari kebudayaan siswa perempuan kelas 8. Dia mulai dengan mendengarkan konsep-konsep yang dipakai oleh siswa-siswa perempuan ini ketika mereka memaparkan pengalaman-pengalaman mereka di sekolah. Dari hasil wawancaranya dia dapat menangkap bahwa ada konflik di sekolah, walaupun dia sendiri tidak pernah memancing tentang itu. Siswa melihat guru-guru sebagai orang yang memaksa mereka melakukan berbagai hal dan mereka bereaksi dengan menyakiti atau menjadi kesayangan guru-guru. Dalam laporannya Janet mengungkapkan kompleksitas makna-makna yang membentuk kompleksitas interaksi antara guru-guru dan siswa. Dalam melakukan penelitiannya Janet melakukan pendekatan etnosemantik. Pendekatan ini menggunakan konsep kebudayaan yang bersifat mentalistik, kebudayaan yang merupakan apa-apa yang ada dalam fikiran manusia. Kebudayaan berfungsi sebagai serangkaian rencana untuk mengatur tingkah laku. Berdasarkan konsep kebudayaan yang dipakai ini, maka deskripsi etnografinya akan memberikan insiders point of view, laporan penelitian Janet. Pada bagian pertama laporan Janet menggambarkan letak dan keadaan sekolah, serta data tentang latar belakang siswi. Siswi-siswi inilah yang memberikan insiders view. Pandangan-pandangan siswi menjadi sumber informasi mengenai kehidupan di sekolah tersebut. Sebagai informan tetap, Janet menggunakan tiga orang siswi, dan mereka sering membawa teman-teman. Interview dilakukan seperti mengobrol saja. Mula-mula dipakai tape recorder, tetapi belakangan hanya buku catatan saja. Dari pembicaraan dengan siswa terlihat bahwa guru merupakan topic diskusi dan bahan tertawaan. Kata-kata harus begini atau begitu dipakai secara luas. Reaksi siswa adalah tindakan yang tidak menyenangkan. Untuk memelihara ketertiban, guru membalas dengan mencari-cari kesalahan. Selanjutnya dengan melakukan percakapan dengan mereka tentang kehidupan sekolah, Janet dapat menangkap berbagai kategori budaya dari masyarakat sekolah tersebut, seperti : jenis guru, cara guru mencari kesalahan siswa, hal-hal yang dapat menimbulkan kesulitan pada siswa, dan cara-cara menyakiti guru.[20]