You are on page 1of 19

Kerukunan antar umat beragama menurut pandangan Islam

Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna baik dan damai. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan kesatuan hati dan bersepakat untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850) Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka kerukunan adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Namun apabila melihat kenyataan, ketika sejarah kehidupan manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang adik yaitu Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi pertama anak manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang kita itu? Atau perselisihan dan pertengkaran memang sudah sehakekat dengan kehidupan manusia sehingga dambaan terhadap kerukunan itu ada karena ketidakrukunan itupun sudah menjadi kodrat dalam masyarakat manusia?. Pertanyaan seperti tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi hanya untuk mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan yang berbeda arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang tercipta. Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual. Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (taawun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama. A. Kerja sama intern umat beragama Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam islam. Al-quran menyebutkan kata yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat macam,yaitu : - Ukhuwah ubudiyah atau saudara sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah. - Ukhuwah insaniyah (basyariyah), dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena semua berasal dari ayah dan ibu yang sama;Adam dan Hawa. - Ukhuwah wathaniyah wannasab,yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. - Ukhuwwah fid din al islam, persaudaraan sesama muslim. Esensi dari persaudaraan terletak pada kasih sayang yang ditampilkan bentuk perhatian, kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa senasib sepenanggungan. Nabi menggambarkan hubungan persaudaraan dalam haditsnya yang artinya Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di akalangan muslim dikenal dengan istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan aqidah.

Persatuan dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam sekarang ini adalah rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Salah satu sebab rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam adalah karena randahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam. Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata. Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menjadi sebab perpecahan umat. Perpecahan itu biasanya diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan muslim terhadap suatu fenomena. Dalam hal agama, di kalangan umat islam misalnya seringkali terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran mengenal sesuatu hukum yang kemudian melahirkan berbagai pandangan atau madzhab. Perbedaan pendapat dan penafsiran pada dasarnya merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi, karena itu menyikapi perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai penafsiran. Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli menetapkan tiga konsep,yaitu : 1. Konsep tanawwul al ibadah (keragaman cara beribadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam pengamalan agama yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan selama merujuk kepada Rasulullah. Keragaman cara beribadah merupakan hasil dari interpretasi terhadap perilaku Rasul yang ditemukan dalam riwayat (hadits). 2. Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi lahu ajrun(yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan ganjaran). Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah , walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan Allah SWT yang baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian, perlu pula diperhatikan orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritaskeilmuan yang disampaikannya setelah melalui ijtihad. 3. Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam al-quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat islam,khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda. Ketiga konsep di atas memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam mentolelir adanya perbedaan dalam pemahaman maupun pengalaman. Yang mutlak itu hanyalah Allah dan firman-fiman-Nya,sedangkan interpretasi terhadap firman-firman itu bersifat relatif. Karena itu sangat dimungkinkan untuk terjadi perbedaan. Perbedaan tidak harus melahirkan pertentangan dan permusuhan. Di sini konsep Islam tentang Islah diperankan untuk menyelesaikan pertentangan yang terjadi sehingga tidak menimbulkan permusuhan, dan apabila telah terjadi, maka islah diperankan untuk menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau kelompok yang saling bertentangan.

B. Kerja sama antar umat beragama Memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya dapat diharapkan dalam kalangan masyarakat muslim. Islam dapat diaplikasikan dalam masyarakat manapun, sebab secara esensial ia merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa Isalam yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep alquran dan As-sunnah, tetapi dampak sosial yanag lahirdari pelaksanaan ajaran isalam secara konsekwen ddapat dirasakan oleh manusia secara keseluruhan. Demikian pula pada tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan antar bangsa,nilai-nilai ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kkebenaran dan keadilan. Dominasi salah satu etnis atau negara merupakan pengingkaran terhadap makna Islam, sebab ia hanya setia pada nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal. Universalisme Islam dapat dibuktikan anatara lain dari segi, dan sosiologo. Dari segi agama, ajaran Islam menunjukkan universalisme dengan doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain itu tiap manusia, tanpa perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu dogma yang sederhana dan dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang homogin hanya denga tindakan yang sangat mudah ,yakni membaca syahadat. Jika ia tidak ingin masuk Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang sosial ia tetap diterima dan menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam. Ditinjau dari segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu ditujukan kepada semua manusia agar mereka menganut agama islam, dan dalam tingkat yang lain ditujukan kepada umat Islam secara khususu untuk menunjukan peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena itu maka pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari ajaran Al-Quran tanpa mengurangi universalisme Islam. Melihat Universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan,dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian.;menghindari pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku,bangsa dan agama. Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicamputi pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja samayang baik. Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial anatar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama ydalam bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan. ref : Buku Agama & Etika
http://dakaz.wordpress.com/kerukunan-antar-umat-beragama-menurut-pandangan-islam/

Friday, 24 September 2010 06:02 Islam dan kerukunan antar umat beragama

Mimbar Jumat

FACHRURROZY PULUNGAN Dalam membahas tema di atas, setidaknya terdapat dua istilah kunci, yaitu kata Islam dan kata Kerukunan Antar Umat Beragama. Islam adalah Agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia untuk kebahagian mereka di dunia dan di akhirat. Kata Islam terambil dari kata salima yang bermakna selamat sejahtera, dan setelah dibentuk menjadi aslama yang berarti menjadikan selamat sejahtera. Kata ini juga memiliki makna menyerahkan diri kepada peraturan dan kemauan Allah, karena ia diturunkan dan bersumber dari Allah SWT. Dari makna ini sebenarnya Islam bukanlah suatu agama baru. Semua agama-agama yang dibawa oleh para Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW juga adalah agama yang pada prinsipnya mengajarkan untuk meng-Esakan Allah SWT, beriman kepada zat dan sifat-sifatNya, beriman kepada kitab-kitabNya, beriman kepada rasul-rasul dan hari akhirat, serta mentaati seluruh perintah Nya dan larangan Nya. Q.surah 42 asy Syura ayat 13. Jika kemudian timbulnya agama-agama di luar Islam, hal itu disebabkan para ahli-ahli kitab mereka berselisih tentang kebenaran al Quran, yang berakibat timbulnya perpecahan dikalangan mereka. Sebagian dari mereka yang yakin, masuk kedalam Islam, sebagian yang lain menentang keras, bahkan memusuhi dan memerangi umat Islam. Islam adalah agama rahmatal lilalamin, yaitu suatu agama yang memberikan kesejukan, kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan tidak hanya kepada pemeluknya, tetapi juga kepada umat lain, bahkan kepada seluruh makhluk dan alam semesta. Sebagai agama rahmatal lilalamin, ia mengajarkan kepada umat manusia bagaimana menghadapi dan melaksanakan kehidupan yang bersifat pluralistik. Historis keberagamaan Islam pada era kenabian Muhammad SAW, masyarakat religius telah terbentuk dan telah pula menjadi kesadaran umum pada saat itu. Dalam kehidupan yang plural, Islam mengajarkan setidaknya empat hal pokok, pertama, sebagai agama tauhid, Islam mengajarkan adanya kesatuan penciptaan yaitu Allah SWT. Kedua, Sebagai agama tauhid, Islam mengajarkan kesatuan kemanusiaan. Ketiga, sebagai agama tauhid Islam mengajarkan kesatuan petunjuk, yaitu al Quran dan Sunnah Nabi SAW. Keempat, sebagai konsekwensi logis dari ketiga pokok tersebut, maka bagi umat manusia hanya ada satu tujuan dan makna hidup yaitu kebahagian di dunia dan kebahagian di akhirat. Untuk mewujudkan kesatuan fundamental tersebut, maka setiap individu muslim harus berpegang teguh pada ajaran agamanya dengan jalan mentaati peraturan-peraturan Allah yang dirumuskan di dalam al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Terjadinya peristiwa penusukan terhadap Asia Sihombing dan Tiur Lindah (pengurus Gereja HKBP Bekasi), bukan merupakan tindakan spontan yang dilakukan oleh 10 pelaku. Artinya, para pelaku penusukan dan pemukulan itu bukan disebabkan rasa iri dan dengki melihat orang lain melakukan ibadah sesuai keyakinannya, tetapi lebih disebabkan ekses dari tidak dipenuhinya peraturan pemerintah yang dituang dalam Peraturan Bersama Menteri- bahwa untuk membangun sebuah rumah ibadah harus memenuhi kretaria yang telah baku di negri ini, yang ketentuannya juga disepakati oleh seluruh pimpinan agama-agama yang ada di negri ini, termasuk pimpinan Gereja HKBP. Jika kemudian tidak atau belum terpenuhinya

Peraturan Bersama Menteri yang tertuang dalam Nomor 8 dan Nomor 9 tentang kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama, seharusnya pimpinan Gereja HKBP dan jemaatnya tidak secara emosional dan memaksakan diri melangsungkan kebaktiannya setiap minggu di pemukiman yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Semua orang di Negara ini, dijamin keberagamaannya, tapi tidak lantas semaunya, yang kemudian secara massal melakukan kebaktian di pemukiman yang pemeluk nya berlainan agama. Pemaksaan pelaksanaan peribadatan seperti itu menunjukkan arogansi agama, yang tidak cuma menganggap remeh agama lain, tetapi juga melecehkan pemerintah dengan tidak mengacuhkan peraturan yang sudah disepakati bersama. Mungkin masih segar dalam ingatan setiap individu muslim di negri ini, ketika Arswendo, melecehkan Nabi Muhammad SAW lewat angket yang dibuatnya, kemudian diterbitkan Tabloid Monitor pada tahun 1990. Peristiwa itu kemudian menguak dan merembet ke soal hubungan antara Islam-Kristen Protestan/Katolik di Indonesia. Selama itu banyak kalangan menilai hubungan kedua agama itu sedang aman-aman saja. Namun dipihak lain menilai bahwa ada semacam mesin penggerak di balik sikap seorang figure (tokoh) yang wujud akhirnya melahirkan angket tersebut dan meletakkan Nabi Muhammad SAW di bawah tokoh tokoh abad 20. Secara hakiki, tidak ada satu agama di dunia ini yang lahir untuk bermusuhan, menghina, mengejek, menjelek-jelekkan agama lain, atau menganggap orang lain adalah domba-domba sesat. Tapi seperti disebutkan di atas, dari rasa superioritas, kepongahan dan merasa lebih hebat, kemudian penganut suatu agama tega menghina penganut agama lain, tanpa alasan yang jelas, apalagi berdasar ajaran suci agama itu. Dari sinilah biasanya terjadi pertentangan secara terbuka antar pemeluk agama. Bagi kalangan yang berkepala dingin dan berpikiran jernih mungkin tidak habis mengerti, mengapa hal seperti ini masih saja terjadi dan masih tidak malu dilakukan pada manusia berbudaya, di zaman global dan dalam alam yang memerlukan suasana persaudaraan yang hangat untuk menyongsong berbagai tantangan kemanusiaan yang semakin berat, masa kini dan masa datang. Ayat pembuka di atas menunjukkan betapa terbuka nya Islam kepada pemeluk agama lain. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Nabi SAW pada tahun perdamaian Hudaibiyah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menulis perdamaian, yangdi mulai dengan kalimat Bismillah, dan menuliskan perjanjian perdamaian yang disepakati antara Nabi Muhammad SAW dengan Suhail ibnu Amar. Isi perjanjian itu menyepakati untuk menghentikan peperangan selama 10 tahun, yang di dalamnya orang-orang merasa aman, tidak meyerang sebagian yang lain dengan syarat barangsiapa yang datang kepada Nabi dari kaum Quraisy tanpa izin walinya, maka Nabi mengembalikan orang tersebut kepada kaum Quraisy. Dan barangsiapa yang datang kepada Quraisy dari umat Islam, maka kaum Quraisy tidak mengembalikan orang tersebut kepada Nabi. Kerukunan antar umat beragama di negri ini akan bisa terlaksana dengan baik, bila semua pimpinan agama dan umatnya masing-masing mau menahan diri. Tidak merasa lebih hebat dari umat lainnya. Namun apabila pemaksaan kehendak dan merasa superior, maka hal itulah yang membuat tidak rukunnya umat beragama. Bukankah kata rukun itu bermakna satu hati untuk saling menghargai dan menghormati yang lain. Demikian juga dengan pimpinan Gereja di jalan Durung N0 61 kelurahan Sidorejo Kecamatan Medan Tembung, seharus nya mau

bercermin dari kejadian di Bekasi itu. Toh umat Islam yang mayoritas di tempat itu tidak pernah mengeluarkan rekomendasi agar rumah tersebut dijadikan tempat kebaktian. Untuk itu pemerintah dan MUI harus segera turun tangan sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Tulisan ini pun dimuat atas permintaan dan desakan masyarakat muslim yang ada di sekitar jalan Durung. Wallahu alam.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=145333:islam-dankerukunan-antar-umat-beragama&catid=33:artikel-jumat&Itemid=98

Kerukunan Antar Umat Beragama menurut Pandangan Islam Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna baik dan damai. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan kesatuan hati dan bersepakat untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850) Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka kerukunan adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Namun apabila melihat kenyataan, ketika sejarah kehidupan manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang adik yaitu Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi pertama anak manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang kita itu? Atau perselisihan dan pertengkaran memang sudah sehakekat dengan kehidupan manusia sehingga dambaan terhadap kerukunan itu ada karena ketidakrukunan itupun sudah menjadi kodrat dalam masyarakat manusia?. Pertanyaan seperti tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi hanya untuk mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan yang berbeda arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang tercipta. Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual. Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (taawun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama. A. Kerja sama intern umat beragama Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam islam. Al-quran menyebutkan kata yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat macam,yaitu : Ukhuwah ubudiyah atau saudara sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah. Ukhuwah insaniyah (basyariyah), dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena semua berasal dari ayah dan ibu yang sama;Adam dan Hawa. Ukhuwah wathaniyah wannasab,yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. Ukhuwwah fid din al islam, persaudaraan sesama muslim. Esensi dari persaudaraan terletak pada kasih sayang yang ditampilkan bentuk perhatian, kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa senasib sepenanggungan. Nabi

menggambarkan hubungan persaudaraan dalam haditsnya yang artinya Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di akalangan muslim dikenal dengan istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan aqidah. Persatuan dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam sekarang ini adalah rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Salah satu sebab rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam adalah karena randahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam. Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata. Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menjadi sebab perpecahan umat. Perpecahan itu biasanya diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan muslim terhadap suatu fenomena. Dalam hal agama, di kalangan umat islam misalnya seringkali terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran mengenal sesuatu hukum yang kemudian melahirkan berbagai pandangan atau madzhab. Perbedaan pendapat dan penafsiran pada dasarnya merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi, karena itu menyikapi perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai penafsiran. Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli menetapkan tiga konsep,yaitu : 1. Konsep tanawwul al ibadah (keragaman cara beribadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam pengamalan agama yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan selama merujuk kepada Rasulullah. Keragaman cara beribadah merupakan hasil dari interpretasi terhadap perilaku Rasul yang ditemukan dalam riwayat (hadits). 2. Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi lahu ajrun(yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan ganjaran). Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah , walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan Allah SWT yang baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian, perlu pula diperhatikan orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritaskeilmuan yang disampaikannya setelah melalui ijtihad. 3. Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam al-quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat islam,khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda. Ketiga konsep di atas memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam mentolelir adanya perbedaan dalam pemahaman maupun pengalaman. Yang mutlak itu hanyalah Allah dan firman-fiman-Nya,sedangkan interpretasi terhadap firman-firman itu bersifat relatif. Karena itu sangat dimungkinkan untuk terjadi perbedaan. Perbedaan tidak harus melahirkan pertentangan dan permusuhan. Di sini konsep Islam tentang Islah diperankan untuk menyelesaikan pertentangan yang terjadi sehingga tidak menimbulkan permusuhan, dan apabila telah terjadi, maka islah diperankan untuk menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau kelompok yang saling bertentangan. B. Kerja sama antar umat beragama

Memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya dapat diharapkan dalam kalangan masyarakat muslim. Islam dapat diaplikasikan dalam masyarakat manapun, sebab secara esensial ia merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa Isalam yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep alquran dan As-sunnah, tetapi dampak sosial yanag lahirdari pelaksanaan ajaran isalam secara konsekwen ddapat dirasakan oleh manusia secara keseluruhan. Demikian pula pada tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan antar bangsa,nilai-nilai ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kkebenaran dan keadilan. Dominasi salah satu etnis atau negara merupakan pengingkaran terhadap makna Islam, sebab ia hanya setia pada nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal. Universalisme Islam dapat dibuktikan anatara lain dari segi, dan sosiologo. Dari segi agama, ajaran Islam menunjukkan universalisme dengan doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain itu tiap manusia, tanpa perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu dogma yang sederhana dan dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang homogin hanya denga tindakan yang sangat mudah ,yakni membaca syahadat. Jika ia tidak ingin masuk Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang sosial ia tetap diterima dan menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam. Ditinjau dari segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu ditujukan kepada semua manusia agar mereka menganut agama islam, dan dalam tingkat yang lain ditujukan kepada umat Islam secara khususu untuk menunjukan peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena itu maka pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari ajaran Al-Quran tanpa mengurangi universalisme Islam. Melihat Universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan,dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian.;menghindari pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku,bangsa dan agama. Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicamputi pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja samayang baik. Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial anatar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama ydalam bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.
http://lampung.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=15012

Home Posts RSS Comments RSS Edit

Makalah Tentang Kerukunan Antar Umat Beragama

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA A.Islam Agama Rahmat bagi Seluruh Alam Kata islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat dan patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama islam adalah agama yang mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan hidup umat manusia pada khususnya dan seluruh alam pada umumnya. Agama islam adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia pertama, Nabi pertama, yaitu Nabi Adam AS. Agama itu kemudian Allah turunkan secara berkesinambungan kepada para Nabi dan Rasul-rasul berikutnya. Agama islam mempunyai karakter sebagai berikut : 1. Sesuai dengan fitrah manusia. Artinya ajaran agama islam mengandung petunjuk yang sesuai dengan sifat dasar manusia ( Q.S al-Rum : 3 ) 2. Ajarannya sempurna, artinya materi ajaran islam mencakup petunjuk seluruh aspek kehidupan manusia. ( Q.S Al-Maidah ) 3. Kebenaran mutlak. Kemutlakan ajaran islam dikarenakan berasal dari Allah yang Maha Benar. Di samping itu kebenaran ajaran islam dapat dibuktikan melalui realita ilmiyah dan ilmu pengetahuan. ( Q.S Alb-Baqarah: 147 ) 4. Mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. 5. Fleksibel dan ringan. Artinya ajaran islam memperhatikan dan menghargai kondisi masing-masing individu, dan tidak memaksakan umatnya untuk melakukan perbuatan di luar batas kemampuannnya. 6. Berlaku secara universal, artinya ajaran islam berlaku untuk seluruh umat manusia di dunia sampai akhir masa. ( Q.S alAhzab:40 ) 7. Sesuai dengan akal pikiran dan memotivasi manusia untuk menggunakan akal pikirannya. ( Q.S almujadalah:11 ) 8. Inti ajarannya tauhid dan seluruh ajarannya mencerminkan ketauhidan kepada Allah SWT Fungsi islam sebagai rahmat bagi sekalian alam tidak tergantung pada penerimaan atau penilain manusia. Bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam tersebut adalah: 1. Islam menunjuki manusia jalan hidup yang benar 2. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan potensi yang diberikan Allah secara bertanggung jawab. 3. Islam menghargai dan menghormati semua manusia sebagai hamba Allah,baik muslim maupun non muslim. 4. Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan proporsional. 5. Islam menghormati kondisi spesifik individu dan memberikan perlakuan yang spesifik pula

B. Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Insaniyah 1. Makna Ukhuwah Islamiyah Kata Ukhuwah berarti persaudaraan. Maksudnya perasaan simpati atau empati antara dua orang atau lebih. Masing-masing pihak memiliki perasaan yang sama baik suka maupun duka, baik senang maupun sedih. Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbale balik untuk saling membantu bila pihak lain mengalami kesulitan. Dan sikap untuk membagi kesenangan kepada pihak lain. Ukhuwah dan persaudaraan yang berlaku bagi sesame muslim disebut ukhuwah islamiyah.

Persaudaraan sesama muslim adalah persaudaraan yang tidak dilandasi oleh keluarga, suku, bangsa, dan warna kulit, namun karena perasaan seaqidah dan sekeyakinan. Nabi mengibaratkan antara satu muslim dengan muslim lainnya ibaratkan satu tubuh. Apabila ada satu bagian yang sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya. Rasulullah SAW juga bersabda : tidak sempurna iman salah seorang kamu, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri . Hadis di atas berarti, seorang mulim harus dapat merasakan penderitaan dan kesusahan saudara yang lainnya. Ia harus selalu menempatkan dirinya pada posisi saudaranya. Antara sesama muslim tidak ada sikap saling permusuhan,dilarang mengolok-olok saudaranya yang muslim. Tidak boleh berburuk sangka dan mencari kesalahan orang lain ( Q.S al-Hujurat: 11-12) Sejarah telah membuktikan bagaimana keintiman persahabatan dan lezatnya persaudaraan antara kaum muhajirin dan kaum anshar. Kaum muhajirin rela meninggalkan segala harta dna kekayaann dan keluarganya di kampong halaman. Demikian juga kaum anshar dengan penuh keikhlasan menyambut dan menjadikan kaum Muhajirin sebagai saudara. Peristiwa inilah awal bersatunya dua hati dalam bentuk yang teorisentrik dan universal sebagai hasil dari sebuah persaudaraan yang dibangun Nabi atas dasar kesamaan aqidah. 2. Makna ukhuwah insaniyah Persaudaraan sesama manusia disebut ukhuwah insaniyah. Persaudaraan ini dilandasi oleh ajaran bahwa semua umat manusia adalah makhluk Allah. Perbedaan keyakinan dan agama juga merupakan kebebasan pilihan yang diberikan Allah. Hal ini harus dihargai dan dihormati. Dalam praktek, ketegangan yang sering timbul intern umat beragama dan antar umat beragama disebabkan oleh: 1. Sifat dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah atau missi 2. Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama lain. Arti keberagamannya lebih keoada sikap fanatisme dan kepicikan ( sekedar ikut-ikutan). 3. Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri, sehingga kurang menghormati bahkan memandang rendah agama lain. 4. Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. 5. Kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain, baik intern umat beragama maupun antar umat beragama. 6. Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalh perbedaan pendapat. Dalam pergaulan antar agama, semakin hari kita merasakan intensnya pertemuan agama-agama itu. Walaupun kita juga semakin menyadari bahwa pertemuan itu kurang diisi segi-segi dialogis antar imannya. Dalam pembinaan umat Bergama, para pemimpin dan tokoh agama mempunyai peranan yang besar, yaitu: 1. Menterjemahkan nilai-nilai dan norma-norma agama ke dalam kehidupan bermasyarakat 2. Menerjemahkan gagasan-gagasan pembangunan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh masyarakat. 3. Memberikan pendapat, saran dan kritik yang sehat terhadap ide-ide dan cara-cara yang dilakukan untuk suksesnya pembangunan. 4. Mendorong dan membimbing masyarakat dan umat beragama untuk ikut serta dalam usaha pembangunan 5. Meredamkan api-api konflik yang ada dan berusaha mencari titk temu dan solusi C. Kebersamaan dalam Pluralitas Beragama

Kata pluralisme diterjemahkan dalam berbagai interpretasi. Interpretasi popular dari john Hick mengenai pluralisme ini adalah anggapan bahwa kebenaran merupakan satu hal yang kolektif di antara semua agama, dan seluruh agama bias menjadi sumber keselamatan, kesempurnaan dan keagungan bagi para penganutnya Nurchalis Madjid berpendapat bahwa pluralism tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,yang hanya menggambarkan kesan pragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak bias dipahami sekedar kebaikan negative yang hanya untuk menyingkirkan kesan fanatisme. Bahkan pluralisme juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Interpretasi lain tentang pluralisme tersorot kepada dimensi social kehidupan beragama. Artinya, segenap penganut agama bias hidup berdampingan secara damai dalam sebuah masyarakat serta saling menjaga batas-batas dan hak masing-masing. Interpretasi ini dikemukakan dalam Kamus Oxford, The principle that these different groups can live together in peace in one society. Interpretasi yang kedua ini menurut pendukung interpretasi versi John Hick keluar dari konteks pluralism dank arena itu mereka mengartikannya dengan toleransi Menurut pendapat Ali Rabbani, pluralism agama yang bias diterima adalah pluralism dalam makna kedua, yakni kehidupan bersama secara rukun. Masing masing meyakini kebenaran berada di pihaknya. Penulis sendiri juga sependapat dengan interpretasi kedua. Karena jika kita meyakini kebenaran ada pada semua agama, maka kesaliman aqiqah kita akan goyah. Kebersamaan hidup antara orang islam dengan non muslim telah dicontohkan oleh Rasulullah ketika beliau dengan para sahabat mengawali hidup di Madiah setelah hijarah. Rasulullah mengikat perjanjian penduduk Madinah yang terdiri dari orang-orang kafir dan muslim untuk saling membantu dan menjaga keamanan kota Madinah dari gangguan musuh. Rasulullah juga pernah manggadaikan baju besinya kepada orang-orang yahudi ketika umat Islam keku Kerukunan antar umat beragama di negri ini akan bisa terlaksana dengan baik, bila semua pimpinan agama dan umatnya masing-masing mau menahan diri. Tidak merasa lebih hebat dari umat lainnya. Namun apabila pemaksaan kehendak dan merasa superior, maka hal itulah yang membuat tidak rukunnya umat beragama. Bukankah kata rukun itu bermakna satu hati untuk saling menghargai dan menghormati yang lain. Demikian juga dengan pimpinan Gereja di jalan Durung N0 61 kelurahan Sidorejo Kecamatan Medan Tembung, seharus nya mau bercermin dari kejadian di Bekasi itu. Toh umat Islam yang mayoritas di tempat itu tidak pernah mengeluarkan rekomendasi agar rumah tersebut dijadikan tempat kebaktian. Untuk itu pemerintah dan MUI harus segera turun tangan sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Tulisan ini pun dimuat atas permintaan dan desakan masyarakat muslim yang ada di sekitar jalan Durung. Mencari Model Kerukunan Antarumat Beragama

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam agama. Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman agama itu mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masingmasing dan berpotensi konflik. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama yang sejati, harus tercipta satu konsep hidup bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang berbeda agama guna menghindari ledakan konflik antarumat beragama yang terjadi tiba-tiba.

Pancasila:

model

Indonesia

Pancasila sebagai dasar falsafah negara merupakan model ideal pluralisme ala Indonesia. Pancasila adalah hasil perpaduan dari keberhasilan para Bapak Pendiri yang berpandangan toleran dan terbuka dalam beragama dan perwujudan nilai-nilai kearifan lokal, adat, dan budaya warisan nenek moyang. Sebagai ideologi negara, Pancasila seakan menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Ia merupakan konsep ideal untuk menciptakan kerukunan aktif di mana anggota masyarakat bisa hidup rukun di atas aras kesepahaman pemikiran. Harus diakui bahwa keberadaan Pancasila benar-benar menjadi kalimatun saw (as a model of living togetherness) bagi masyarakat Indonesia. Laicit: model Perancis

Laicit atau sekularisme ala Perancis pun menjadi salah satu konsep ideal untuk menciptakan kerukunan beragama. Undang-Undang Laicit 1905 mengatur pemisahan negara dan agama di Perancis. Laicit lahir dari suatu konflik berkepanjangan antara kalangan gerejawi yang ingin mempertahankan kuasa dan pengaruhnya dan kalangan nasionalis yang menolak keberadaan agama dalam ranah politik. Laicit secara filosofis berarti negara sama sekali tidak mengakui apa pun bentuk agama dan kepercayaan. Tetapi, negara menjaga kebebasan beragama dan berpikir, karenanya negara menjaga para pemeluknya, kitab suci, dan simbol. Negara melindungi setiap pemeluk agama bukan karena nilai metafisik agama tersebut, tapi karena negara harus melindungi kebebasan beragama masing-masing orang agar hak-hak mereka tidak dilukai. Sama tetapi berbeda

Pancasila dan Laicit pada prinsipnya sama sebagai ideologi dan falsafah negara untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama. Tetapi, di dalam kesamaan itu ternyata ada beberapa perbedaan yang cukup tajam. Pertama, di Perancis kehidupan agama merupakan wilayah pribadi. Ia tidak boleh masuk ke dalam wilayah publik. Sedangkan di Indonesia, agama menjadi wilayah publik. Agama dibicarakan di mana saja dan kapan saja. Tidak jarang ibadah yang bersifat sangat pribadi menjadi urusan pemerintah. Kedua, di Perancis orang tidak beragama, bahkan ateis sekalipun diakui haknya untuk hidup di dalam negara. Sementara di Indonesia, ateis tidak mempunyai hak hidup. Jangankan ateis, orang kepercayaan atau penganut agama leluhur pun tidak diakui. Ketiga, di Perancis negara netral terhadap agama dalam masalah keuangan. Negara tidak membiayai

kepentingan agama dan mengatur urusan peribadatan. Di Indonesia, negara membiayai acara keagamaan dan pembangunan tempat ibadah, bahkan mengatur urusan peribadatan. Indonesia dan negara Muslim

Jika dibandingkan dengan Perancis, Indonesia memang bukan murni negara sekuler. Namun demikian, untuk konteks negara Muslim, Indonesia menjadi negara yang sangat ideal dalam kerukunan antarumat beragama karena memiliki satu falsafah hidup bernegara, yaitu Pancasila. Negara-negara Muslim lainnya tidak mempunyai model seperti Indonesia. Negara-negara Islam, seperti Arab Saudi, Iran, Yaman, Sudan, Pakistan, dan Banglades menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi negara; tidak mengakui keberadaan agama lain; non-Muslim menjadi warga negara kelas dua; syariat Islam sebagai hukum nasional, dan murtad dihukum mati. Negara-negara muslim, seperti Jordania, Mesir, Suriah, Tunisia, Maroko, Palestina, Aljazair, Malaysia, dan Brunei Darussalam menjadikan Islam sebagai ideologi negara dan terkadang ideologi lainnya; Islam sebagai agama negara, tetapi agama lain diakui; non-Muslim diakui hak-haknya; hukum nasional dan hukum Islam diterapkan; dan murtad dihukum sebagai tindak pidana. Di Indonesia, Pancasila sebagai ideologi negara; 6 agama resmi negara; kedudukan warga negara tidak ditentukan oleh agama; hukum nasional yang berlaku; dan murtad bukan tindak pidana. Dari perbandingan sepintas ini tampak bahwa Indonesia merupakan model negara Muslim par execellence dalam kerukunan hidup antarumat beragama. Pancasila: pemersatu

Potensi dan modal yang dimiliki Indonesia dalam menciptakan kerukunan hidup antarumat beragama harus dikelola dan dijaga dengan baik sehingga keragaman agama menjadi nilai yang hidup di tengah masyarakat.

Hasil yang dapat dipetik: umat minoritas dapat menikmati kenyamanan ekonomi, sosial, intelektual, dan spiritual dari umat mayoritas (Islam) tanpa lenyap sebagai minoritas. Sayangnya, dalam satu dasawarsa belakangan ini, Pancasila sering disalahartikan, dipandang sebelah mata, dan terancam oleh ideologi-ideologi transnasional, baik yang berjubah agama maupun ekonomi. Lalu, siapa yang peduli terhadap Pancasila? Oleh: Ayang Utriza NWAY Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta; Mahasiswa PhD Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris

http://kumpulan-makalah-dan-artikel.blogspot.com/2012/01/makalah-tentang-kerukunan-antarumat.html

Kerukunan Hidup Beragama dalam Perspektif Al Quran Indonesia terbilang negara dan bangsa yang penduduknya religius. Mayoritas Muslim dan umat beragama lain secara normatif dikenal sebagai masyarakat yang menjalankan agama dengan baik, meskipun sebagian masih tergolong abangan. Namun, kendati abangan tetap mengaku beragama, khususnya beragama Islam, serta menunjukkan sikap keagamaan yang baik. Tentu saja dalam konteks standar syariat atau ajaran setiap agama selalu mengalami kesenjangan, bahwa praktik beragama masih belum sama dan sebangun secara ideal dan konsisten. Setidak-tidaknya jiwa dan budaya keagamaan masih cukup kuat mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Pada awalnya kerukunan hidup antar maupun inter-umat beragama secara umum relatif positif. Indonesia bahkan sering dijadikan patokan bagi bangsa-bangsa lain tentang kemajemukan beragama yang toleran dan hidup dalam perdamaian. Hal itu didukung oleh dua faktor; Pertama, secara umum watak keberagamaan cenderung moderat, sehingga lebih lentur dan mencair. Kedua, kebudayaan masyarakat yang bercorak majemuk atau Bhineka Tunggal Ika yang menjadi fondasi sosial dalam kerukunan dan kedamaian. Keduanya saling mendukung, sehingga bangsa ini relatif menjadi barometer kehidupan beragama yang saling guyub. Namun bukan berarti tanpa masalah. Dalam sejumlah peristiwa dan babakan sejarah, terjadi ketegangan hingga konflik fisik yang serius. Pada masa Orde Baru sering terjadi letupanletupan konflik inter dan antar umat beragama. Tetapi kala itu melalui kebijakan pemerintah tentang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) mudah diredam, dikendalikan, dan diselesaikan secara top-down (dari atas). Peran negara atau pemerintah dalam mengatur relasi kehidupan inter dan antar umat beragama sangat dominan. Berbeda halnya dengan masa Reformasi. Peran pemerintah berkurang dan proses keterbukaan demikian kuat. Konflik-konflik terbuka kemudian muncul dalam hubungan umat beragama. Peristiwa yang paling tragis ialah konflik di Ambon (Maluku) dan Poso (Sulawesi Tengah) yang traumatik, yang sering disebut konflik agama dalam etnik yang sama. Terjadi pula peristiwa Sambas di Kalimantan Barat dan Sampit di Kalimantan Tengah, yang bertemu antara sentimen etnik dan agama. Selebihnya titik-titik konflik terjadi di sejumlah daerah dari sentimen paham hingga pengrusakan tempat ibadah. Kasus lain yang mencuat ialah peristiwa Cikeusik Pandeglang yang melibatkan kalangan umat Islam dengan Ahmadiyah, serta di Temanggung antara golongan Muslim dan Kristen. Adapun peristiwa hangat yang terjadi di tanah air adalah konflik berdarah antara pengikut suni dan syiah di Sampang, Madura. Dari kabar yang berkembang seputar peristiwa Sampang, Madura ternyata tidak sederhana. Terdapat sejumlah keganjilan, yang kemudian melahirkan dugaan-dugaan bersifat politik. Bahwa peristiwa yang terjadi tersebut tidaklah murni konflik keagamaan, tetapi diduga tercampuri politik yang kebetulan terjadi di tengah situasi nasional. Kita tidak tahu persis siapa menunggangi siapa dan dengan motif-motif apa. Semoga tidak serumit itu dan yang paling penting adalah tidak terulang dan merembet ke daerah-daerah lain. Jika sampai berulang dan menjalar maka kerugian dan kehancuran yang akan menimpa bangsa ini.

Kehidupan umat beragama dan nilai luhur agama tentu tercoreng dan mengalami peluruhan yang serius. Karena itu, seluruh pihak termasuk pemerintah, kekuatan-kekuatan politik, dan lebih khusus semua kelompok atau golongan agama harus mengambil hikmah sekaligus langkah-langkah tegas. Sungguh rugi dan besar harga yang harus dibayar mahal manakala konflik yang bersifat keagamaan terjadi secara meluas di negeri ini. Sebab watak masyarakat majemuk secara sosiologis pada umumnya bersifat non-komplementer. Artinya tidak saling menyokong, sehingga rawan gesekan, ketegangan, dan konflik. Masyarakat majemuk itu meskipun secara normatif memiliki fondasi Bhineka Tunggal Ika, secara faktual antar golongan hidup bagaikan air dan minyak. Disinilah pentingnya kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang komprehensif untuk mendorong semakin meluasnya budaya kerukunan dan perdamaian, sekaligus kian terminimalisasikannya faktor-faktor pemicu konflik. Pemerintah memang tidak bisa terlalu jauh mengendalikan sebagaimana terjadi di masa Orde Baru, tetapi juga tidak boleh melakukan pembiaran dan acuh tak acuh. Seluruh golongan masyarakat, lebih khusus umat serta tokoh beragama, harus terus mengambil prakarsa agar terjadi relasi umat beragama yang semakin dewasa, rukun, dan damai. Kalaupun sesekali terjadi konflik, tidak berskala besar dan meluas, serta mampu diredam dan dipecahkan dengan resolusi konflik yang cepat dan elegan. Inilah yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain yang ada di dunia. Setiap negara biasanya terdiri dari satu bangsa. Indonesia sebagai bangsa dan negara tersusun dari beraneka suku dan bangsa. Sebagai bangsa yang majemuk seperti ini, kalau diurus dengan baik Indonesia mempunyai kekuatan yang komplit dan luar biasa. Namun, kalau sedikit salah urus, Indonesia juga akan selalu rawan konflik. Semua unsur pembentuknya akan sangat mudah digiring untuk saling berselisih. Realitas kehidupan dan hubungan intern umat beragama dan antarumat beragama sekarang ini sungguh menyakitkan hati. Di tengah musim tawuran atau konflik kepentingan nyaris melanda semua lini vertikal dan horizontal masyarakat dan negara. Maka, umat beragama kurang atau belum begitu berhasil dalam mengkampanyekan atau mempraktikkan perdamaian dan kedamaian. Masyarakat dan negara belum begitu terselamatkan oleh kehadiran umat beragama di Indonesia. Apalagi ditambah dengan kemungkinan hadirnya berbagai racun kehidupan sosial berupa berbagai rekayasa atau desain kejadian tertentu yang diformat untuk tujuan dan target tertentu, yang intinya adalah tidak membuat masa depan Indonesia dalam kedamaian hidup. Ini tentu saja melelahkan. Hidup yang terlalu disibukkan oleh konflik sungguh melelahkan dan sama sekali tidak produktif. Untuk memproduksi kebaikan saja kadang menjadi sulit di tengah situasi dan kondisi yang seperti ini. Meski demikian, ikhtiar untuk mengatasi realitas yang menyakitkan itu tetap perlu untuk selalu dilakukan. Dan di masyarakat, cukup banyak komunitas atau kelompok yang memilih untuk melakukan ikhtiar seperti itu. Ikhtiar mempersatukan hati yang selama ini terkoyak oleh pemikiran sempit, pandangan sempit, kepentingan sempit dan oleh berbagai rekayasa. Masih ada berbagai alternatif dari ikhtiar-ikhtiar positif itu.

Menghadapi kasus-kasus kekerasan antar umat beragama, yang jelas kita harus kembali kepada tuntunan Al-Quran. Surat An-Nahl ayat 125, Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Ayat ini memberikan tuntunan bahwa umat Islam jika harus membantah sesuatu maka tetap dengan cara yang paling bagus. Banyak contoh dalam kisah Nabi. Misalnya, ketika Nabi dilecehkan, beliau menanggapinya dengan kesabaran yang tinggi. Contoh lain, ketika Nabi Ibrahim berdebat dengan Raja Namrud. Ketika Namrud mengaku sebagai tuhan, Ibrahim menyuruhnya untuk berdebat secara logis. Jika tuhan telah menerbitkan matahari dari arah timur, maka Ibrahim minta kepada Raja Namrud supaya menerbitkan matahari dari arah barat. Inilah contoh cara yang digunakan para Nabi ketika berdakwah. Menghadapi rintangan tidak boleh ditanggapi dengan jalan kekerasan kecuali jika tidak ada pilihan dan cara lain. Bangsa Indonesia terdiri dari beberapa suku, agama, dan golongan. Sungguhpun berbedabeda, tetapi satu tujuan, yaitu meraih kebahagiaan hidup di dalam bingkai persaudaraan sesama manusia, sebangsa dan se-Tanah Air, dan sesama pemeluk agama. Kata kunci persaudaraan dan kebahagiaan hidup adalah kerukunan sesama warga tanpa memandang perbedaan latar belakang suku, agama dan golongan, karena hal itu adalah Sunnantullah. Kerukunan adalah kesepakatan yang didasarkan pada kasih sayang. Kerukunan mencerminkan persatuan dan persaudaraan. Allah SwT berfirman, Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa supaya kamu saling mengenal (bukan supaya saling membenci). Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di dalam pandangan Allah ialah orang yang paling bertakwa. Allah Maha Tahu, Maha Mengenal. (Al-Hujurat [49]: 13) Ayat tersebut ditujukan kepada umat manusia seluruhnya, tak hanya kepada kaum Muslimin. Manusia diturunkan dari sepasang suami-istri, suku, ras dan bangsa mereka. Adapun kelompok-kelompok tersebut merupakan nama-nama saja untuk memudahkan, sehingga dengan itu kita dapat mengenali perbedaan sifat-sifat masing-masing. Di hadapan Allah SwT mereka semua satu dan siapa paling mulia ialah yang paling bertakwa. Ketika pembukaan kota Makkah, Bilal naik ke atas Kakbah untuk adzan. Seseorang berkata, Pantaskah budak hitam adzan di atas Kakbah? Jika Allah SwT membenci dia, pasti Ia menggantinya, sahut yang lain. Maka turunlah ayat itu. Menurut riwayat lain, ayat tersebut turun berkenaan dengan Abu Hind yang akan dikawinkan oleh Rasulullah saw dengan seorang wanita Bani Bayadhah. Bani Bayadhah pun berkata, Wahai Rasulullah, pantaskah kami mengawinkan putri kami dengan bekas budak kami? Maka turunlah ayat tersebut. Salah satu kaidah penafsiran Al-Quran: al-ibratu bi umumillafzhi la bikhushushissabab pegangan memahami suatu ayat adalah redaksinya yang umum, bukan peristiwa khusus yang menyertai turunnya. Meskipun ayat itu turun berkenaan dengan Bilal bin Rabah atau Abu Hind, namun berlaku untuk setiap manusia. Meskipun Al- Quran turun pada abad ke 6 M kepada bangsa Arab, tapi berlaku untuk setiap generasi di segala zaman. Manusia memiliki beberapa dimensi persaudaraan: (1) persaudaraan sesama manusia ukhuwah basyariyah; (2) persaudaraan pertalian darah ukhuwah nasabiyah; (3) persaudaraan

perkawinan semenda -ukhuwah shihriyah; (4) persaudaraan suku dan bangsa ukhuwah syabiyah; (5) persaudaraan sesama pemeluk agama ukhuwah diniyah; dan (6) persaudaraan seiman-seagama ukhuwah imaniyah. Persaudaraan sesama manusia ditunjukkan oleh sebutan Bani Adam yang menyatukan manusia dalam ikatan keluarga dan persaudaraan universal, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Araf [7] ayat 26. Ayat ini mengandung pesan kepada semua manusia untuk menutupi aurat dengan pakaian sebagai perhiasan. Dalam arti rohani, Allah SwT menciptakan manusia telanjang dan seorang diri. Jiwa dalam kesucian dan keindahannya yang telanjang tidak mengenal arti malu. Baik atau buruk, jujur atau bohong, tergantung pada niat hatinya yang akan mewarnai mereka. Begitu juga yang berkenaan dengan tubuh, ia bersih dan indah, selama ia tidak dinodai oleh penyalahgunaan. Pakaian dan perhiasan yang terbaik akan kita peroleh dari ketakwaan, yang akan menutupi ketelanjangan dosa, dan akan menghiasi kita dengan segala kebajikan. Persaudaraan seiman dan seagama dicanangkan Allah SwT dalam Al-Quran surat Al-Hujurat [49] ayat 10-12. Secara tersirat ayat ini mengandung pesan bahwa menjaga persaudaraan dan kerukunan adalah suatu bentuk ketakwaan kepada Allah SwT. Untuk memelihara kerukunan, Mukmin hendaknya menahan diri dari memperolok satu sama lain dan menghindari prasangka, saling mata-mematai, dan menggunjing. Kebanyakan prasangka tanpa dasar hendaknya dihindari. Memata-matai atau menyelidiki terlalu dalam mengenai persoalan orang lain adalah suatu perbuatan sia-sia. Kita juga diminta untuk tidak melukai perasaan orang lain yang hadir bersama kita, apalagi mengatakan sesuatu di belakangnya, benar atau tidak. Allah SwT menyerupakan menggunjing dengan memakan bangkai manusia. Orang-orang beriman niscaya bersatu- padu, berpegang teguh pada tali Allah dan tidak berpecah belah. Sebagaimana firman Allah SwT dalam Surat Ali-Imran [3];103. Konteks Surat Ali-Imran [3];103. tersebut, dimana Madinah dahulu pernah diporak-porandakan oleh perang saudara dan kesukuan serta pertentangan yang hebat sebelum Rasulullah saw menapakkan kaki-nya yang suci ke permukaan tanah ini. Setelah itu ia menjadi Kota Nabi, tempat tali persaudaraan yang tak ada bandingannya dan menjadi poros Islam. Terlaksananya persaudaraan Muslim itu merupakan idaman umat Islam yang terbesar. Atas dasar itulah Rasulullah saw menyampaikan khutbah berikut ketika beliau menunaikan ibadah haji wada, haji perpisahan. Ayyuhannas, camkanlah perkataanku baikbaik. Sebab, aku tidak tahu, mungkin aku tidak lagi akan bertemu dengan kalian sesudah tahun ini, di tempat ini, untuk selama-lamanya. Ayyuhannas, sesungguhnya darah dan hartamu adalah haram bagimu, hingga kamu sekalian menemui Tuhanmu, sebagaimana diharamkannya hari dan bulanmu ini. Sesudah itu, kamu sekalian akan menemui Tuhanmu dan ditanya tentang amal-amalmu. Sungguh, aku telah sampaikan hal ini. Maka, barang siapa yang masih mempunyai amanat, hendaknya segera disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Perhatikan dan ketahuilah, bahwasanya seorang Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya, dan sesungguhnya kaum Muslimin itu bersaudara. Tidak dihalalkan bagi seseorang Muslim untuk merampas hak saudaranya sesama Muslim, kecuali apa yang diberikan kepadanya secara rela.

Karena itu, janganlah kamu menganiaya dirimu sendiri. Allah SwT menyebutkan keberadaan beberapa agama dalam Al-Quran sebagai berikut: Mereka yang beriman kepada Al-Quran, dan mereka yang menganut agama Yahudi, kaum Shabiin dan Nasrani, - yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan berbuat baik. Mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih (Al-Maidah [5]: 69). Mereka yang beriman kepada Al-Quran, orang-orang Yahudi, Shabiin, Nasrani, Majusi, dan kaum musyrik, - Allah akan memberi keputusan tentang mereka pada hari kiamat. Allah menjadi Saksi atas mereka. (AlHajj [22]: 17) Kebhinekaan agama meniscayakan sikap mengakui dan menghormati agama-agama selain agamanya. Muslim niscaya menghargai pemeluk agama-agama bukan Islam. Mengakui keanekaragaman agama dan keberagamaan orang lain bukan berarti menyamakan semua agama dan bukan berarti, membenarkan agama-agama lain itu. Kerukunan dan persaudaraan antar umat beragama memperoleh landasannya pada firman Allah dalam surat Al- Mumtahanah [60]: 8 yang artinya Allah tidak melarang kamu dari mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu, untuk bersikap baik dan adil terhadap mereka. Allah mencintai orang-orang yang adil. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Qatilah, istri Abu Bakr yang telah bercerai pada masa jahiliyah, datang kepada Asma binti Abu Bakar. Asma pun bertanya kepada Rasulullah saw, Bolehkah saya berbuat baik kepadanya? Rasulullah saw menjawab, Ya, boleh. Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa itu. Dalam konteks tertentu Allah tidak mengizinkan orang-orang beriman menyandarkan bantuan dan pertolongan kepada orang-orang tidak beriman. Allah SwT berfirman yang artinya Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pelindung; mereka saling melindungi sesama mereka. Dan orang di antara kamu yang mengikuti mereka, ia termasuk mereka. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang dhalim. (Al-Maidah [5]: 51) Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik Madinah, dan Ubadah bin ash-Shamit, salah seorang tokoh Islam dari Bani Auf bin Khazraj yang terikat perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa. Ketika Bani Qainuqa memerangi Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri, sedangkan Ubadah bin ash-Shamit berangkat menghadap Nabi saw untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dengan Bani Qainuqa itu serta menggabungkan diri bersama Rasulullah saw dan menyatakan hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat itu yang mengingatkan orang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pelindung mereka. Dalam konteks akidah dan ibadah, tidak ada kerjasama dan kompromi antara orang beriman dengan orangorang yang tidak beriman. Allah SwT berfirman, Katakanlah: Hai orang-orang tak beriman! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah; Dan kamu pun tak akan menyembah apa yang kusembah. Dan aku tak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tak akan menyembah apa yang kusembah. Agamamu untukmu dan agamaku untukku. (Al-Kafirun [109 ]: 1-6).

Antara persaudaraan iman dan persaudaraan kebangsaan tidak perlu terjadi persoalan alternatif, ini atau itu, tapi sekaligus all at once. Dari satu arah seorang Muslim menjadi nasionalis dengan paham kebangsaan yang diletakkan dalam kerangka kemanusiaan universal. Hanya saja kita jangan terjebak dalam pusaran praktek dari pluralisme(agama) dimana agama-agama dianggap sama dan semua benar. Bukan karena atas dasar persatuan kebangsaan kita mengaburkan batas-batas aqidah islam. Dalam hubungannya sebagai elemen bangsa, biarlah sesama umat beragama hidup berdampingan. Tetapi kita tetap menjaga dan menghormati aqidah masing-masing. Dengan demikian, ketika seorang Muslim melaksanakan ajaran agamanya maka pada waktu yang sama ia juga mendukung nilai-nilai baik yang menguntungkan bangsanya.

http://filsafat.kompasiana.com/2012/09/17/kerukunan-hidup-beragama-dalam-perspektif-alqur%E2%80%99an/

You might also like