You are on page 1of 60

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL

HAM dan HUKUM HUMANITER serta HUKUM LINGKUNGAN


Diajukan sebagai Syarat Pemenuhan Nilai Mata Kuliah Hukum Internasional

DISUSUN OLEH: Army Anggara Liely Noor Qadarwati Lasma Natalia Mayang Kemulandari Yamin Vicky Veronika Aruan Gita Santika Amalia Tri Nurul Widia Wardhani Saskia Wahyu Riani Mulyana 110110080085 110110080092 110110080096 110110080122 110110080128 110110080131 110110080134 110110080135 110110080138

DOSEN PENGAJAR:
Prof. Dr. Eddy Damian, S. H. Idris, S. H., M. A. Diajeng Wulan Christianti, S. H., LL. M

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2010

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang 1.2 Identifikasi Masalah 1.3 Tujuan 1.4 Kegunaan Penulisan 1.5 Metode Penulisan

i 1 1 1 2 2 2 3 3 17 28 35 35 41 51 62 62 62 64

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Hak Asasi Manusia 2.2 Hukum Humaniter 2.3 Hukum Lingkungan BAB III PEMBAHASAN 3.1 Kasus Hak Asasi Manusia (Torture In Guantanamo Bay) 3.2 Kasus Hukum Humaniter ( Agresi Israel Ke Libanon ) 3.3 Kasus Hukum Lingkungan (Gabcikovo-Nagymaros Project) BAB IV PENUTUP 4.1 Simpulan 4.2 Saran DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang
Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat memang pada dasarnya diperlukan suatu aturan sehingga antara kepentingan yang satu dengan yang lain setidaknya dapat diminimalisir tidak terjadi. Manusia sebagai subjek hukum merupakan bagian penting dalam suatu negara yang dikenal sebagai subjek hukum internasional. Kendati demikian, aturan atau hukum yang ada belum tentu secara keseluruhan dapat menjawab kepentingan semua orang. Untuk itu diperlukan lagi pengetahuan atas aturan yang mengatur hak yang melekat pada diri individu tersebut. Dalam makalah ini dibahaslah mengenai Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter yang mungkin dalam dunia akademis Hukum Internasional sendiri masih dianggap baru. Sementara menyadari kondisi dunia yang juga menjadi tanggung jawab manusia secara tidak langsung mesti ada aturan yang membatasi kewenangan manusia dalam mengelolahnya. Hal ini tentu tidak menjadi tanggung jawab sebagian orang atau untuk lebih luas menjadi tanggung jawab beberapa negara besar. Namun sudah selayaknya setiap negara memandang isu-isu global sebagai tanggung jawab bersama guna menciptakan bumi yang aman untuk dihuni generasi mendatang.

1.6

Identifikasi Masalah
Dalam membuat makalah ini, kami membatasi rumusan masalah yang menjadi kajian landasan teori dan pembahasan kelompok kami yaitu pada hal-hal berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter

dalam ranah Hukum Internasional ?


2. Bagaimanakah hubungan teori yang dipelajari dalam Hak Asasi Manusia

dan Hukum Humaniter dengan kasus yang terjadi?

1.7

Tujuan Pembahasan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah : 1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional 2. Untuk dapat mengetahui dan memahami teori teori : Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter
Hubungan teori dalam Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter bila

dihubungkan dengan kasus

1.8

Kegunaan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah serta maksud dan tujuan penulisan, maka manfaat yang akan diperoleh dari penulisan ini adalah: kegunaan secara akademis, diharapkan hasil penulisan ini dapat menambah wawasan dan sebagai referensi tambahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum internasional Humaniter. khususnya mengenai hak Asasi Manusia dan Hukum

1.9

Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah tinjauan kepustakaan melalui web research dan analisis data dan teori dari buku.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1

Hak Asasi Manusia

Pengertian Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan. Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994). Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia. Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain. Kesadaran akan hak asasi manusia , harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia di Yunani Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak hak asasi manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322 SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya. Pengalaman Inggris Inggris sering disebutsebut sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut :

MAGNA CHARTA Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenangwenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung. Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja. Isi Magna Charta adalah sebagai berikut : Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris. Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hakhak sebagi berikut : a. Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hakhak penduduk. b. Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah. c. Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya. d. Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya. BILL OF RIGHTS

Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang : a. Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen. b. Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat. c. Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin parlemen. d. Hak warga Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masingmasing . e. Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja. 3. Pengalaman di Amerika Serikat Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu memberontak melawan penguasa Inggris pada tahun 1776. Pemikiran John Locke mengenai hak hak dasar ini terlihat jelas dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikenal dengan Declaration Of Independence Of The United States. Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli 1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula piagam hak hak asasi manusia karena mengandung pernyataan Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati kebhagiaan. Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau. Kesemuanya atas jasa presiden Thomas Jefferson presiden Amerika Serikat lainnya yang terkenal sebagai pendekar hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow Wilson dan Jimmy Carter. 4. Pengalaman di Prancis Perjuangan hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam suatu naskah pada awal Revolusi Prancis. Naskah tersebut dikenal dengan Declaration Des Droits

De Lhomme Et Du Citoyen yaitu pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara. Pernyataan yang dicetuskan pada tahun 1789 ini mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite). Tahun 1791, semua hak-hak asasi manusia dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi Prancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi pada tahun 1793 dan 1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795. revolusi ini diprakarsai pemikir pemikir besar seperti : J.J. Rousseau, Voltaire, serta Montesquieu 5. Hak Asasi Manusia oleh PBB Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa Universal Declaration Of Human Rights atau Pernyataan Sedunia tentang Hak Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Majelis umum memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi Manusia itu sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya. 6. Hak Asasi Manusia di Indonesia Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam

ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain. Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni: Undang Undang Dasar 1945 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional Dalam konteks hak asasi manusia, hukum internasional mempunyai kualitas ganda sebab ia menciptakan penghalang bagi proteksi hak asasi yang efektif dan sekaligus juga menyediakan sarana untuk mengatasi rintangan-rintangan. Brwonlie menggambarkan kedaulatan sebagai doktrin konstitusional yang pokok dari hukum negara. Pada hakikatnya, kedaulatan mewakili totalitas hak-hak negara dalam menjalankan hubungan luar negrinya dan menata urusan-urusan dalam negrinya.tetapi ini tidak berarti bahwa semua negara bebas sepenuhnya menjalankan kedaulatan dan kemerdekaannya ke luar negri maupun di dalam negri mengingat mereka tunduk pada berbagai pembatasan yang dikenakan terhadap kegiatan mereka oleh hukum internasional. Semua negara sama-sama berdaulat, mak masing-masing negara tidak diwajibkan untuk tunduk pada keputusan

Mahkamah Internasional, kecuali negara tersebut memberitahukan terlebih dahulu persetujuannya untuk mematuhi keputusan itu. Sehingga begitu hak asasi manusia diangkat menjadi masalah yang menjadi perhatian hukum internasional danbukan lagi nasional, negara-negara yang bersangkutan tidak lagi dapat mengatakan bahwa hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan masalah yang berada dalam yurisdiksi domestiknya. Lalu individu sebagai subjek hukum internasional. Menurut hukum internasional, individu secara pribadi dapat dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan perang, genosida, penganiayaan dan apartheid. Namun oleh Prof.nguyen Quoc Din individu hanya sebagai subjek hukum buatan. Karena kehendak negaranegaralah yang menjadikan individu-individu tersebut dalam hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional. Hukum internasional masih tetap mengatur hubungan antar negara dan subjek-subjek hukum lainnya, sedangkan individu dalam hal-hal tertentu.

Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kerangka Universal Pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi berkembang dengan cepat bersamaan dengan perkembangan yang melaju hubungan antar bangsa dan proliferasi organisasi-organisasi regional dan multilateral global. PBB telah membagi kegiatan dalam beberapa periode sebagai berikut: 1. Periode pembentukan sistem, dari piagam PBB ke deklarasi Universal HAM (1945-1948). 2. Periode perbaikan sistem, yang menuju kepada pengesahan berbagai konvensi dan instrument HAM internasional (1949-1966). 3. Periode pelaksanaan sistem, yang dimulai dari pengesahan instrumen hingga konferensi Wina (1967-1993). 4. Periode perluasan sistem, dari konferensi Wina hingga pelaksanaan tindak lanjut (1993-1995). 5. Periode menuju perlindungan HAM baru (1996-2000). Dalam berbagai ketentuan yang terdapat dalam Piagam, berkali-kali diulang penegasan bahwa PBB akan mendorong, mengembangkan, dan mendukung penghormatan secara universal dan efektif hak-hak asasi dan kebebasankebebasan pokok bagi semua tanpa membedakan suku, kelamin, bahasa, dan

agama. Ketentuan ini diulang dalam pasal 1 ayat 3 Piagam, pasal 13 ayat 1b, pasal 55c, pasal 62 ayat 2, pasal 68, dan pasal 76c. Semua permasalahan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok ini dibahas oleh salah satu Komite Utama Majelis, yaitu Komite Tiga yang menangani masalah-masalah HAM, kemanusian, social, dan kebudayaan. Majelis utama juga dibantu oleh salah satu organ utama PBB yaitu dewan ekonomi dan social yang dapat membuat rekomendasi agar terlaksananya penghormatan yang efektif terhadap hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok. Dewan ekonomi dan social dapat membentuk komisi, salah satunya adalah Komisi hak-hak asasi manusia (KHAM) dan komisi mengenai Status Wanita. Kedua komisi ini dibentuk pada tahun 1946. Komisi hak-hak manusia beranggotakan 53 negara, dan komisi status Wanita beranggotakan wakil-wakil dari 45 negara. Ada dua badan khusus PBB yang juga menangani HAM yaitu Organisasi buruh Sedunia (ILO), didirikan tahun 1946. Bertugas untuk memperbaiki syarat-syarat bekerja dan hidup para buruh melalui penerimaan konvensi-konvensi internasional mengenai buruh dan membuat rekomendasi standar minimum di bidang gaji, jam kerja, syarat-syarat pekerjaan dan jaminan social. Badan khusus kedua adalah UNESCO yang didirikan pada tahun 1945, untuk mencapi tujuan meningkatkan kerjasama antar bangsa melalui pendidikan , ilmu pengetahuan, pokok. Menurut sistem PBB, dalam upaya pemajuan dan peningkatan HAM dikenal tiga bidang utama yakni: a. Upaya Pembakuan standar internasional b. Kegiatan monitoring/pemantauan pelaksanaan HAM c. Jasa nasehat dan kerja sama teknik Dalam upaya pemantauan konvensi yang telah diratifikasi oleh negara, maka terdapat enam Badan Pemantauan Instrumen, yakni: a. Komite HAM: memantau hak-hak sipil dan politik. b. Komite Ekonomi dan Sosial Budaya: memantau pelaksanaan hak-hak tersebut. c. Komite Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi: khusus memantau mengenai bentuk diskriminasi. dan kebudayaan dan untuk meningkatkan secara universal penghormatan terhadap peraturan hukum, hak-hak asasi dan kebebasan-kebasan

d. Komite Anti penyiksaan: yang memantau pelaksanaan konvensi anti penyiksaan. e. Komite penghapusan diskriminasi terhadap wanita: memantau diskriminasi wanita. f. Komite hak-hak Anak: khusus memantau pelaksanaan konvensi hak-hak anak. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Majelis umum PBB mencanangkan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia (universal declaration of human rights) tanggal 10 desember 1948. Deklarsi ini terdiri dari 30 pasal yang mengumandangkan seruan agar rakyat mengalakkan dan menjamin pengakuan yangefektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah ditetapkan dalam deklarasi. Pasal 1 dan 2 menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh deklarasi tanpa membeda-bedakan baik dari segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, ma yang lain, maupun yang lain, asalusul kebangsaan atau social, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain. Pasal 3 sampai 21 menempatkan hak-hak sipil dan politik yang menjadi hak semua orang. Hak-hak itu antara lain: Hak untuk hidup Kebebasan dan keamanan pribadi Bebas dari perbudakan dan penghambaan Bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berprikemanusiaan ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum diman saja sebagai pribadi Hak untuk pengampunan hukum yang efektif Bebas dari penangkapan, penahan, atau pembuangan yang sewenangwenang Hak untuk peradilan yang adil dan dengar pendapat yang dilakukan oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak Hak praduga tidak bersalah.

Bebas dari campur tangan sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat Bebas dari serangan kehormatan dan nama baik Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu Bebas bergerak hak untuk memperoleh suaka, hak atas suatu kebangsaan, hak untuk menikah dan membentuk keluarga, hak untuk mempunyai hak milik.

Bebas berpikir berkesadaran dan beragama dan menyatakaan pendapat Hak untuk menghimpun dan berserikat, hak untuk ambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.

Pasal 22-27 berisikan hak-hak ekonomi social dan kebudayaan, hak ini antar lain: hak atas jaminan social, hak untuk bekerja, hak untuk membentuk dan bergabung pada serikat-serikat buruh, hak atas istirahat, dan waktu senggang, hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan, hak atas pendidikan, hak untuk berpartisipasi dalam kebudayaan masyarakat. Dari segi hukum deklarasi ini tidak mempunyai daya ikat seperti deklarasideklarasi lainnya yang diterima Majelis Umum PBB. Sebaliknya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam deklarasi tersebut banyak yang dimasukkan ke dalam legislasi nasional masing-masing dan dijadikan tolak ukur untuk menilai sejauh mana suatu negara melaksanakan hak-hak asasi manusia. Banyak ketentuan dalam deklarasi ini dapat diangap sebagai hukum kebiasaan Internasional (Customary International Law). Setelah diterimanya Deklarasi Universal pada tahun 1948, timbullah pemikiran untuk mengukuhkan pemajuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam dokumen-dokumen yuridik yang mengikat negara-negara yang menjadi pihak. Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum menerima dua perjanjian mengenai hak-hak asasi manusia yaitu Inetrnatonal Covenant on Economics, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Yang baru dalam perjanjian itu adalah disebutkannya hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri termasuk hak untuk mengatur kekayaan dan sumber-sumber nasional secara bebas seperti tercantum dalam pasal 1 perjanjian.

Perjanjian internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, da Budaya mulai berlaku tanggal 3 Januari 1976 dan sampai bulan Desember 2003 sudah diratifikasi oleh 148 negara perjanjian internasional ini berupaya meningkatkan dan melindungi 3 kategori hak yaitu: Hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan; Hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas, standar kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai; Hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Selanjutnya tahun 1985, Dewan Ekonomi dan Sosial melengkapi Perjanjian dengan membentuk Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang terdiri dari 18 pakar independen di masing-masing bidang. Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan Protokol Opsional Pertama mulai berlaku bulan Maret 1976. Perjanjian hingga Desember 2003 telah diratifikasi 151 negara, dan protokol Opsional Pertamanya telah diratifikasi 104 negara. Tanggal 15 Desember 1989, PB mengesahkan Protokol Opsional Kedua yang secara khusus mengatur upaya-upaya yang ditujukan untuk menghapus hukuman mati. Mulai berlaku tangal 11 Juli 1991. Kovenan ini juga mempunyai suatu Komite. Deklarasi Universal bersama dengan Perjanjian mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya beserta Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama Protokol Opsionalnya dinamakan International Bill of Human Rights. Deklarasi Unversal meberikan inspiras terhadap sekitar 80 konvensi, deklarasi atau dokumen lainnya mengenai hak-hak asasi manusia antara lain: Konvensi tentang pencegahan dari penghukuman terhadap kejahatan pemusnahan ras (convention on the protection and punishment of the crime of genocide) tahun 1948. Konvensi ini menjadi jawaban terhadap kekejamankekejaman selam perang dunia II dan mengkategorikan kejahatan pemusnahan ras sebagai perbuatan untuk menghancurkan kelompokkelompok nasional etnis atau agama serta meminta negara-negara untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut. Convention Relating to The status of refugees (konvensi tentang status pengungsi) tahun 1951. Menjelaskan mengenai hak-hak dan kewajiban pengungsi.

International convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination tahun 1966, dan hingga bulan desember 2003 telah diratifikasi lebih dari 169 negara. Konvensi ini menentang segala bentuk diskriminasi rasial dan meminta negara-negara mengambil tindakan-tindakan untuk menghapuskan diskriminasi tersebut baik dari segi hukum maupun praktiknya. Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination againts Women 1979. Diratifikasi 175 negara. Konvensi ini memberikan jaminan hak yang sama di depan hukum antara wanita dan pria dan menjelaskan tindakantindakan untuk mengahppuskan diskriminasi terhadap wanita sehubungan dengan kehidupan politik dan publik, kewarganegaraan,pendidikan, lapangan kerja, kesehatan, perkawinan, dan keluarga. Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment tahun 1984, dan hingga Desember 2003 telah diratifikasi 134 negara. Konvensi ini mengkategorikan penyiksaan sebagai kejahatan internasional dan meminta negara bertanggung jawab untuk mencegah penyiksaan dan menghukum para pelaku. Konvensi mengenai hak-hak Anak (Convention on The Rights of Child) tahun 1989. Menegaskan hak-hak anak untuk memperoleh perlindungan dan kesempatan serta fasilitas khusus bagi kesehatan dan pertumbuhan mereka secara normal. Diratifikasi 192 negara. Kendala-kendala Universalitas Hak-hak Asasi Manusia Pengembangan pandangan mengenai hak-hak asasi manusia untuk semua orang dan di seluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah mengingat keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah, kebudayaan, sosial, latar belakang politik, agama, dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Perbedaan pandangan mengenai hak-hak asasi manusia paling tidak menampilkan dua konsepsi yang saling berbeda yaitu mengenai individu dalam masyrakat dan hubungan antara orag-perorangan dan kekuasaan. Bila konsepsi barat lebih mengutamakan penghormatan terhadap hak-hak pribadi, sipil, politik. Konsepsi sosialis yang sampai akhir-akhir ini masih dipertahankan secara gigih oleh negara-negara sosialis Eropa Timur lebih menonjolkan perana negara. Walaupun secara prinsip tidak menolak hak-hak individu, konsepsi sosialis ini pertama-tama

menempatkan individu dalam hubunganya dengan masyarakat dimana individu tersebut adalah anggotanya. Pengembangan dan perlindungan hak-hak asasi manusia tidak begitu menimbulkan masalah di negara-negara perekonomian yang cukup maju. Di negaranegara berkembang terutama yang paling ketinggalan, untuk kebutuhan pokok saja sulit dipenuhi sehingga sedikit sekali tersedia peluang untuk mengembangkan hakhak sipil dan politik. Kendala lainnya adalah kendala teknis. Kenyataaan menunjukkan bahwa di antara konvensi-konvensi hak-hak asasi manusia yang berlaku sekarang ada yang diratifikasi banyak negara dan ada pula yang masih sedikit jumlah ratifikasinya. Selain itu terdapat pula ketidaksamaan waktu dan material. Ketidaksamaan waktu adalah karena berbeda-bedanya tanggal mulai berlaku konvensi-konvensi yang sama oleh negara-negara pihak. Ketidaksamaan material adalah banyak negara yang menunda-nunda atau membatalkan penerimaan pengawasan pelaksanaan ketentuan-ketentuan konvensi. Namun kendala-kendala tersebut tidak menghalangi perkembangan dan perlindungan hak-hak asasi di berbagai pelosok dunia walaupun tidak secepat dan semulus seperti yang diingikan.

2.2

Hukum Humaniter

A. Pengertian Hukum Humaniter Dalam kepustakaan hukum internasional istilah hukum humaniter merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an, ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Selanjutnya, pada tahun 1974, 1975, 1976, dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation and Development of International. Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter dari para ahli, dengan ruang lingkupnya. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menurut Jean Pictet: International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal promosion, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.1 2. Geza Herzegh merumuskan hukum humaniter internasional sebagai berikut: Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.2 3. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah: Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.3 4. Esbjorn Rosenbland, merumuskan hukum humaniter internasional dengan mengadakan pembedaan antara: The Law of Armed Conflict, berhubungan dengan: a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian; b. Pendudukan wilayah lawan; c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral; Sedangkan Law of Warfare, ini antara lain mencakup: a. Metoda dan sarana berperang; b. Status kombatan; c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang, dan orang sipil. 5. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundangundangan merumuskan sebagai berikut : Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.

1 2 3

Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, op. cit. hlm. 15 Geza Herzegh, Recent Problem of International Humanitarian Law, dalam ibid, hlm. 17. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan

Penerapannya di Indonesia, 1980. hlm. 5.

Dengan mencermati pengertian dan atau definisi yang disebutkan di atas, maka ruang lingkup hukum humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit. Jean Pictet misalnya, menganut pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian yang luas, yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, menurutnya hukum humaniter hanya menyangkut Hukum Jenewa. Sedangkan Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.4 Istilah Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict berawal dari istilah hukum perang (Laws of War), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (Laws of Armed Conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter (International Humanitarian Laws). Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu:5
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk

berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws);


2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan

penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws). Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut:6 1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; 2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (condact of war). Bagian ini

biasanya disebut The Hague laws.

4 5

Penjelasan lebih lengkap mengenai ruang lingkup ini lihat Haryomataram, op.cit., hlm. 15 25. Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta. 1994, hlm. 1. Haryomataram, Hukum Humaniter, C.V. Radjawali, Jakarta, 1994, hlm. 2-3.

b) Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban

perang. Ini lazimnya disebut The Genewa Laws. Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Semula istilah yang digunakan adalah hukum perang. Tetapi karena istilah perang tidak disukai, yang terutama disebabkan oleh trauma Perang Dunia II yang menelan banyak korban, 7 maka dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan bahkan meniadakan perang. Upaya-upaya tersebut adalah melalui:8 1. Pembentukan LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Karena para anggota organisasi ini sepakat untuk menjamin perdamaian dan keamanan, maka para anggota menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan perang, apabila mereka terlibat dalam suatu permusuhan. 2. Pembentukan Kellog-Briand pact atau disebut pula dengan Paris Pact 1928. Anggota-anggota dari perjanjian ini menolak atau tidak mengakui perang sebagai alat politik nasional dan mereka sepakat akan mengubah hubungan mereka hanya dengan jalan damai. Sikap untuk menghindari perang berpengaruh dalam perubahan penggunaan istilah, sehingga istilah hukum perang berubah menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (Laws of Armed Conflict).9 Mengenai hal ini Edward Kossoy menyatakan:10

Dalam Perang Dunia II terdapat lebih dari 60 juta orang terbunuh. Dalam abad 18 jumlah korban mencapai 5,5 juta jiwa, abad 19 mencapai 16 juta jiwa; Perang Dunia I 38 juta jiwa dan pada konflikkonflik yang terjadi sejak tahun 1949-1995 jumlah korban telah mencapai angka 24 juta jiwa. Lihat Defence Nationale, hlm. 217 seperti dikutip dalam ICRC-IPU, Respect for International Humanitarian Law, Handbook for Parliamentarians No. 1, 19999, hlm. 10.

Haryotaram, Hukum Humaniter, op. cit., hlm. 6. Lihat Mukadimah Covenant LBB; lihat pula pasal 12 Covenant LBB menyatakan bahwa apabila timbul perselisihan, maka negara anggota LBB sepakat untuk menyelesaikannya dengan jalan arbitrase, judicial settlement, dan mereka tidak akan memulai perang sebelum lewat tiga bulan sesudah keputusan arbitrer atau keputusan hukum diterima; lihat Haryomataram, op.cit., hlm. 7. Lihat pasal 1 Paris Pact 1928 yang berbunyi:that they condemn recourse to war for the solution of international controversies; dan pasal 2 nya yang berbunyi:that the settlement or solution of all disputes or conflicts,, shall never be sought except by pacific means:

Hans Peter Gasser, International Humanitarian Law, Henry Dunant Instiute, 1993, hlm. 3.

The term of armed conflict tends to replace at least in all relevant legal formulation, the older notion of war. On purely legal consideration the replacement for war by armed conflict seems more justified and logical. Hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individuindividu pada saat berlangsungnya perang dan konflik-konflik bersenjata. Istilah hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict) sebagai pengganti hukum perang (law of war) banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan kedua Protokol Tambahannya.11 Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada permulaan abab ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yang konsepsikonsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity principle). Dengan adanya perkembangan baru ini, maka istilah hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan lagi, yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter Internasional yang Berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict) atau biasa disebut Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu Hukum Perang, Hukum Sengketa Bersenjata, dan Hukum Humaniter, namun istilah-istilah tersebut memiliki arti yang sama. Asas-Asas Hukum Humaniter Dalam hukum humaniter dikenal ada tiga asas utama, yaitu :
1.

Asas kepentingan militer (military necessity)

Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
2. Asas Perikemanusiaan (humanity)

Berdasarkan

asas

ini

maka

pihak

yang

bersengketa

diharuskan

untuk

memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan


10

Edward Kossoy, Living with Guerilla, 1976, hlm. 34 seperti dikutip oleh Haryomataram, op. cit., hlm. Lihat pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol Tambahan I dan II tahun 1977.

10.
11

kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderiataan yang tidak perlu.
3.

Asas Kesatriaan (chivalry)

Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan caracara yang bersifat khianat dilarang. Dalam penerapannya, ketiga asas tersebut dilaksanakan secara seimbang, sebagaimana dikatakan oleh Kunz.: Law of war, to be accepted and to be applied in practice, must strike the correct balance between, on the one hand the principle of humanity and chivalry, and on the other hand, military interest.12

Tujuan Hukum Humaniter Tujuan pokok dari kaidah-kaidah hukum ini adalah bukan untuk menjadi semacam kitab hukum yang mengatur permainan perang, melainkan untuk alasanalasan perikemanusiaan guna mengurangi atau membatasi penderitaan individuindividu, serta untuk membatasi kawasan di dalam mana kebiasaan konflik bersenjata diizinkan. Karena alasan inilah, ketentuan-ketentuan ini kadang disebut sebagai hukum perang humaniter (humanitarian of law) atau kaidah-kaidah hukum perang yang berperikemanusiaan (humanitarian warfare). Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari

penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering). 2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.

12

Joseph Kunz, The Changing Law of national, dalam ibid., hlm. 34.

3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini,

yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.13 B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan di mana aturan-aturan hukum humaniter itu timbul, dan lebih sulit lagi untuk menyebutkan pencipta dari hukum humaniter tersebut.14 Sekalipun dalam bentuknya yang sekarang relatif baru, hukum humaniter internasional atau hukum sengketa bersenjata, atau hukum perang, memiliki sejarah yang panjang.15 Hukum ini sama tuanya dengan perang itu sendiri, dan perang sama tuanya dengan kehidupan manusia di Bumi.16 Sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang. Dalam rentang waktu yang sangat panjang telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat dari usaha-usaha untuk memberikan perlakuan perlindungan kepada orang-orang kekejaman perang dan

semenamena dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang.17 Upaya-upaya tersebut, yang acap kali mengalami pasang surut, mengalami hambatan dan kesulitan sebagaimana akan tergambar dalam uraian-uraian berikutnya. Upaya-upaya tersebut dapat kita bagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter berikut ini : 1. Zaman Kuno Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik,
13

Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the War for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987, hlm. 2, yang menyatakan bahwa: The Law of War aims at limiting and alleviating as much as possible the calamities of war. Therefor, the law of conciliates military needs and requirements of humanity.

14

Hans-Peter Gasser, Internatioanal Humanitarian Law, an Introduction, Paul haupt Publisher, Berne-Stuttgart-Vienna, 1993, hlm. 6. Lihat Frits Kalshoven, Constraint on the Waging of War, ICRC, 1991, hlm. 7. Jean Pictet, Development and Principles of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher, 1985, hlm. 6. Ibid., hlm. 6.

15 16

17

menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan maka pihak-pihak yang berperang biasanya bersepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.18 Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan terlebih dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit di kedua pihak ditarik dari medan pertempuran.19 Juga, dalam berbagai peradaban besar selama tahun 3000-1500 SM upayaupaya seperti itu berjalan terus. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut:20 1) Di antara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemudian mengadakan arbitrasi kekebalan utusan musuh dan perjanjian perdamaian. 2) Kebudayaan Mesir Kuno sebagaimana disebutkan dalam Seven Works of True Mercy, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit, dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda. Seorang tamu, bahkan musuh pun tak boleh diganggu. 3) Dalam kebudayaan bangsa Hittite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota di mana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.
4) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan

undang-undang Manu,21 para satria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah; yang luka harus dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati.
18

Frits Kalshoven, loc. cit.; lihat juga Jean Pictet, op.cit., hlm. 6. Jean Pictet, loc. cit. Lihat ibid., hlm. 6-12.

19 20

Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hal milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode prasejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dari kebiasaan dan hukum perang yang dilakukan antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan wanita dan anak-anak sebagai sasaran serangan, dan juga tentang pengakhiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (Prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berita Raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah Raja, akan diserang oleh bala tentara Raja. Begitu pula pada masa Kerajaan Gowa diketahui adanya perintah Raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik.22 2. Zaman Abad Pertengahan Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam, dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep perang yang adil atau just war, Ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surah al Baqarah: 190, 191, al Anfal: 39, at Taubah: 5, al Haj: 39,23 yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri, dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan

21

Dikatakan oleh Viswanath dalam bukunya International Law in Ancient India, bahwa dalam hukum internasional India kuno terdapat ketentuan mengenai hak-hak tentara pendudukan, senjata terlarang, dan perlakuan tawanan perang yang mirip dengan ketentuan-ketentuan Peraturanperaturan Den Haag mengenai Peperangan di Darat 1907; lihat Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi palang Merah th. 1949, Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 10.

22

Mengenai penjelasan lebih lanjut tentang praktek hukum dan kebiasaan perang pada masyarakat Indonesia pada jaman dahulu lihat dalam Fadillah Agus Et.al., Hukum Perang Tradisional di Indonesia, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-USAKTI dan ICRC, Jakarta, 1999.

23

Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasardasar Hukum Internasional, IKIP Malang, 1995, hlm. 16.

tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu. 3. Zaman Modern Kemajuan yang menentukan terjadi mulai abad ke- 18, dan setelah berakhirnya perang Napoleon, terutama pada tahun 1850 sampai pecahnya Perang Dunia I. Praktek-praktek negara kemudian menjadi hukum dan kebiasaan dalam berperang (jus in bello). Salah satu tonggak penting dalam perkembangan hukum humaniter adalah didirikannya organisasi Palang Merah dan ditandatangani Konvensi Jenewa tahun 1864. pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat Presiden Lincoln meminta Lieber, seorang pakar hukum imigran Jerman, untuk menyusun aturan berperang. Hasilnya, adalah Instructions for Government of Armies of the United States atau disebut Lieber Code, dipublikasikan pada tahun 1863.24 Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok orang-orang tertentu seperti tawanan perang yang luka, dan sebagainya.25 Konvensi 1864, yaitu Konvensi bagi perbaikan Keadaan Tentara yang luka di Medan Perang Darat, 1864 dipandang sebagai Konvensi yang mengawali Konvensikonvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan Perlindungan Korban Perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat.26 Berdasarkan Konvensi ini, maka unit-unit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati baik kawan maupun lawan tak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan.27 Tanda Palang Merah ini merupakan
24

Ibid., hlm. 9. Frits Kalshoven, op. cit., hlm. 11. Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas maret University Press, 1994, hlm. Jean Pictet, op.cit., hlm. 29.

25 26

16.
27

lambang dari International Committee of the Red Cross yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid of the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863.28 Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum yang kebiasaan, penting maka bagi pada masa ini perkembanganinternasional, perkembangan sangat hukum humaniter

dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara setelah tahun 1850. Jauh sebelumnya, setelah tahun 1850 telah dihasilkan berbagai Konvensi yang merupakan perkembangan hukum humaniter internasional, yang terdiri dari berbagai konvensi yang dihasilkan pada Konferensi Perdamaian I dan II di Den Haag, serta berbagai konvensi lainnya di bidang hukum humaniter.

2.3

Hukum Lingkungan

Perkembangan Hukum Internasional mengenai Lingkungan Berakhirnya era Perang Dingin telah mencuatkan isu lingkungan sebagai salah satu agenda baru dalam hubungan internasional yang paling dinamis. Isu Lingkungan itu sendiri merupakan isu yang sangat luas karena kompleksitas permasalahannya menyangkut aspek-aspek krusial dan beraneka ragam dari multidisiplin ilmu ekonomi, politik, sosial dan budaya dan tentunya dari kelompok ilmu-ilmu eksata yang berkaitan langsung dengan studi physical environment itu sendiri, seperti: biology, chemistry, geology, forestry dan sebagainya. Pendefinisian masalah lingkungan hidup dalam tataran hubungan internasional memiliki definisi tersendiri. Menurut Porter dan Brown (1997:13), untuk masuk dalam kategori global environmental politics, kualitas persoalan lingkungan yang dimaksud harus mengandung ancaman terhadap daya dukung alam sebagai sebuah ekosistem (the global commons) yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan umat manusia, yang tidak hanya terbatas dalam wilayah jurisdiksi negara tertentu. Perlindungan dan Perbaikan Lingkungan Hidup Manusia
28

Frits Kalshoven, op.cit., hlm. 9.

Krisis dalam proporsi global sedang dan telah mempengaruhi lingkungan hidup manusia, melalui pencemaran atmosfer, perairan laut,perairan pantai dan perairan pedalaman, melalui degradasi tanah-tanah pedesaan, rusaknya keseimbangan ekologis al, akibat dari sampingan biocide terhadap kehidupan hewan dan tumbuhan dan melalui penipisan dan pembinasaan sumber-sumber daya alam dunia. Hal ini sebagai akibat dari pesatnya pertumbuhan penduduk dan sebagai akibat dari tuntutan teknologi industri. Persoalan-persoalan yang terkait dalam krisis lingkungan hidup ini dan berbagai macam penyebab dan faktor yang menimbulkannya telah dianalisis secara saksama sejak 20 tahun lalu oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Laporan tentang Persoalan-Persoalan Lingkungan Hidup Manusia, tanggal 26 Mei 1969 (Dokumen E/4667) yang dipersiapkan dalam kaitan penyelenggaraan Konferensi Stockholm Juni 1972 tentang Lingkungan Hidup Manusia, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 3 Desember 1968. Dalam resolusi selanjutnya yaitu tanggal 15 Desember 1969, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Laporan, menyerahkan kepada Sekretaris Jenderal tanggung jawab secara keseluruhan untuk mengatur dan mempersiapkan konferensi dan membentuk Komite Persiapan beranggotakan 27 anggota untuk membuatnya. Laporan tersebut mengidentifikasi tiga penyebab utama yang bertanggungjawab atas memburuknya kondisi lingkungan, yaiu pesatnya pertumbuhan penduduk, meningkatnya urbanisasi, berkembangnya dan dihasilkannya teknologi baru yang menyebabkan meningkatnya tuntutan akan ruang, pangan, dan sumber-sumber daya alam. Laporan Sekretaris Jenderal tersebut jugan merinci beragam aktivitas dari badan-badan yang terkait dengan atau badan-badan khusus PBB yang ada hubungannya dengan lingkungan hidup manusia. Dari laporan Sekretaris Jenderal itu terlihat bahwa tindakan pengaturan internasional pada prinsipnya sesuai untuk hal-hal yang berikut : Persoalan-persoalan pencemaran dan kontaminasi samudera-samudera dan

atmosfer karena hal ini mungkin merupakan obyek dari pemanfaatan umum, sebagian lagi karena ketidakmungkinan dalam ha-hal tertentu melokalisisr pengaruh-pengaruh dari zat-zat perantara pencemaran atau kontaminasi.

Spesies-spesies yang dilindungi dan suaka-suaka alam dengan alasan

bahwa hal ini merupakan warisan bersama umat manusia. Perjanjian-perjanjian internasional mungkin perlu untuk mengawasi ekspor-impor dan jaul-beli spesiesspesies yang terancam kepunahan. Penipisan sumber-sumber daya laut, mengingat ketergantungan manusia

terhadap laut sebagai sumber protein. Pemantauan perubahan-perubahan dalam atmosfer bumi, iklim, dan kondisi-

kondisi musim.

Penentuan standar-standar internasional terhadap baku mutu lingkungan. Pengawasan timbal-balik dan pengendalian atas operasi-operasi industri di semua negara, dimana operasi-operasi tersebut dapat

tertentu

membahayakan lingkungan, untuk menghilangkan rangsangan-rangsangan guna memperoleh keuntungan kompetitif dengan mengabaikan akibat-akibat dari proses-proses yang membahayakan lingkungan. Prosedur-prosedur untuk tindakan internasional dalam kasus ini telah diberikan oleh Konvensi-Konvensi Buruh Internasional, yang mana salah satu tujuannya adalah untuk menjamin bahwa kompetisi ekonomi antara negara-negara tidak menghalangi realisasi standar-standar yang layak bagi kondisi-kondisi kerja. Konferensi Stocholm 1972 tentang Lingkungan Hidup Manusia Konferensi PBB yang bersejarah mengenai Lingkungan Hidup Manusia yang berlangsung di Stockholm tanggan 5-16 Juni 1972, sesuai dengan Resolusi tanggal 3 Desember 1968 dari Majelis Umum PBB , merupakan usaha penting pertama untuk memecahkan persoalan global mengenai perlindungan dan perbaikan lingkungan hidup manusia melalui perjanjian internasional sedapat mungkin berdasarkan pada level universal. Tugas utama Konferensi dikerjakan melalui tiga komite utama yang terbuka bagi semua negara yang berpartisipasi, yaitu : Komite Pertama, berkaitan dengan pemukiman-pemukiman manusia dan aspek-aspek non-ekonomis; Komite Kedua, berkenaan dengan sumber-sumber daya alam dan aspek-aspek pembangunan; Komite Ketiga, berkenaan dengan zat-zat atau bahan penyebab pencemaran dan

aspek-aspek organisasional. Selain dari ketiga Komite Konferensi tersebut, Konferensi juga membentuk sebuah Kelompok Kerja untuk mengkaji dan mempertimbangkan rancangan deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia yang diajukan pada Konferensi. Keputusan-keputusan, resolusi-resolusi dan rekomendasi-rekomendasi dari

Konferensi adalah sebagai berikut : 1. Resolusi dalam sidang pleno yang mengecam percobaan-percobaan sejata nuklir, khususnya yang dilakukan di atmosfer dan menyerukan kepada negaranegara yang bermaksud melakukan uji coba demikian untuk menahan diri dari tindakan itu karena hal tersebut dapat menyebabkan kontaminasi lebih jauh kepada lingkungan. 2. Suatu rekomendasi dengan suara bulat bahwa Hari Lingkunagn Dunia diperingati setiap tanggal 5 Juni. 3. Suati Action Plan bagi perlindungan dan perbaikan lingkungan. Sumbangan utama dari Action Plan ini terletak dalam penekanannya pada tindakan dan kerja sama nasional dan internasional untuk mengidentifikasi dan menilai bahaya-bahaya lingkungan dan persoalan-persoalan lingkungan yang memiliki arti global. 4. Pengesahan Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia. Deklarasi ini dipandang sebagai tindakan untuk perlindungan lingkungan bumi yang menyempurnakan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948 untuk perlindungan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar manusia, yaitu pada intinya merupakan suatu manifesto yang dinyatakan dalam bentuk kode etik. Meskipun deklarasi tersebut telah disahkan secara aklamasi oleh Konferensi, namun nasibnya terletak kesesuaian sampai hari terakhir sidangsidang pada saat pengesahan itu berlangsung. Harus diakui bahwa Deklarasi ini merupakan sebuah dokumen yang ganjil sehingga memberi alasan bagi ketidakpuasan yang dilontarkan pada saat berlangsung Konferensi. 5. Rekomendasi-rekomendasi yang ditujukan kepada Majelis Umum PBB untuk menciptakan perangkat sarana internasional baru. Konferensi tidak menyepakati pembentukan suatu organisasi internasional utama yang baru, tetapi sebaliknya

menetapkan sebuah Dewan Pelaksana untuk Program-Program Lingkungan, yang dipilih sekali tiga tahun oleh Majelis Umum PBB berdasarkan pembagian geografis yang adil. Dewan yang diusulkan itu akan mendukung kerja sama lingkungan diantara pemerintah-pemerintah dan memberi arah serta mengkoordinasikan tugas-tugas bidang lingkungan yang ada yang diselenggarakan oleh beragam organisasi internasional, yang secara kontinu akan melanjutkan pelaksanaan seperti yang sebelumnya dalam lingkup tanggung jawab mereka. Dewan ini akan didukung oleh Sekretariat Lingkungan. 6. Konferensi merekomendasikan bahwa rancangan pasal-pasal Konvensi mengenai Dumping Samudera diserahkan untuk disahkan kepada Konferensi yang diselenggarakan oleh Inggris menjlang akhir tahun 1972. Delegasi Inggris telah menekankan perlunya suatu Konvensi untuki mencegah pencemaraan laut oleh limbah-limbah dumping samudera dan untuk program dunia guna lebih membersihkan sungai-sungai. 7. Direkomendasikan bahwa Majelis Umum PBB harus memutuskan untuk menyelenggarakan Konferensi PBB Kedua tentang Lingkungan Hidup Manusia. Dalam Prinsip 21 dan 22 Deklarasai Lingkungan Hidup Manusia disebutkan tiga prinsip hukum internasional, yaitu : a. Negara-negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya yang mereka miliki sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaa bidang lingkungan mereka. b. Negara-negara bertanggungjawab untuk menjamin bahwa aktivitas-aktivitas yang berlangsung didalam yurisdiksi atau kontrol mereka tidak menimbulkan kerugian terhadap lingkungan negara-negara lain, atau kawasan-kawasan diluar batas-batas yurisdiksi nasional. c. Negara-negara berkewajiban untuk bekerja sama guna mengembangkan lebih lanjut hukum internasional mengenai tanggung jawab dan ganti rugi terhadap korban-korban pencemartan dan kerusakan lingkungan lain yang

disebabkan

oleh

aktivitas-aktivitas

terhadap

kawasan-kawasan

diluar

yurisdiksi nasional. Untuk memperingati ulang tahun kesepuluh Konferensi Stockholm 1972, maka 105 negara berkumpul di Nairobi tanggal 10-18 Mei 1982 dan mengeluarkan sebuah Deklarasi khusus yang disebut sebagai Deklarasi Nairobi pada tanggal 18 Mei 1982. Selain dari deklarasi ini, resolusi-resolusi penting lainnya telah dikeluarkan termasuk satu resolusi untuk menciptakan suatu komisi khusus untuk mengusulkan strategistrategi bidang lingkungan jangka panjang guna mencapai pembangunan berkelanjutan sampai tahun 2000 dan sesudahnya. Sejumlah hal penting telah dimuat dalam Deklarasi Nairobi tersebut, yaitu : Dinyatakan bahwa prinsip-prinsip Stockholm tetap valid saat ini sebagaimana halnya di tahun 1972 dan menjadikannya tata tertib utama bidang lingkungan untuk tahun-tahun mendatang, serta negara-negara yang berkumpul juga dengan sungguh-sungguh menegaskan kembali komitmen mereka pada Deklarasi Stockholm dan Rencana Kegiatan (alenia 1 dan 10). Disepakati bahwa Rencana Kegiatan hanya terlaksana sebagian dan dikemukakan beberapa keadaan buruk yang mengkhawatirkan, termasuk penggundulan hutan, degradasi tanah dan air, proses penggurunan, perubahan pada lapisan ozon, meningkatnya konsentrasi karbondioksida dan hujan asam, pencemarean, serta punahnya spesies-spesies hewan dan tumbuhan (alinea 2). Dikemukakan tentang munculnya presepsi-presepsi baru, seperti perlunya manajemen dan analisis mengenai dampak lingkungan dan saling hubungan yang erat dan kompleks antara lingkungan, pembangunan, penduduk dan sumber-sumber daya (alinea 3). Negara-negara harus mendorong pengembangan progresif hukum

lingkungan internasional, termasuk konvensi-konvensi serta perjanjiannperjanjian (alinea 6). Harus diberikan perhatian khusus terhadap peranan inovasi teknik dalam rangka penggantian sumber-sumber daya, pendaurulangan dan konservasi.

Lingkungan hidup manusia akan memperoleh keuntungan besar dari suasana internasional yang damai dan aman, bebas dari ancaman-ancaman peperangan, khususnya perang nuklir (alinea 5).

BAB III PEMBAHASAN

3.1

Kasus Hak Asasi Manusia (Case of International Violation of Human Right )


Torture In Guantanamo Bay Tingkat kekerasan di Guantanamo bertambah buruk pasca

diangkatnya Barack Obama secara resmi sebagai Presiden Amerika Serikat menggantikan Bush. Hal tersebut diungkap oleh Ahmed Ghappour salah satu pengacara yang mewakili para tahanan di kamp Guantanamo. "Menurut para klien saya, tindak kekerasan di kamp makin meningkat sejak pelantikan Presiden Obama," kata pengacara keturunan Inggris-Amerika yang bekerja untuk Reprieve, sebuah organisasi amal yang mewakili 31 tahanan di kamp Guantanamo.

Menurut Ghappour, para penjaga penjara bertambah bengis pada para tahanan, seolah-olah ingin memuaskan kekejiannya sebelum kamp penjara itu ditutup seperti yang dijanjikan Obama. Tindakan keji yang dilakukan para penjaga kamp Guantanamo antara lain, pemukulan, siksaan fisik sehingga menyebabkan terjadinya dislokasi tulang para tahanan, menyemprotkan air lada ke lubang toilet dan ke tisu toilet dan menjejalkan makanan ke mulut para tahanan yang sedang melakukan aksi mogok makan. Ghappour mengatakan, tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penjaga penjara terhadap para tahanan bukan perintah dari atasan tapi inisiatif para penjaga sendiri, terutama dari kalangan tentara angkatan darat dan angkatan laut AS yang merasa frustasi dan pernah mengalami cedera dalam medan pertempuran di Irak. Para penjaga ini melampiaskan kekesalannya atas apa yang pernah dialaminya di medan pertempuran pada para tahanan. "Seakan-akan para tahanan itulah yang telah membuat trauma dan telah hidup mereka susah," ujar Ghappour. Ia mengungkapkan, dirinya sudah mengajukan dua pengaduan atas kasus penyiksaan serius di kamp tersebut sejak bulan Desember 2002, tapi hingga sekarang belum mendapat respon dari otoritas berwenang di AS. Salah satu kasus yang dilaporkannya adalah penyiksaan yang dilakukan oleh sekelompok penjaga penjara yang menyebabkan kliennya menderita dislokasi tulang di bagian lutut, bahu dan ibu jari. Kasus lainnya terjadi di salah satu blok dari enam blok utama kamp di Guantanamo. Di satu blok itu, para tahanan yang melakukan aksi mogok makan, dipaksa makan makanan yang sudah dibubuhi bahan laksatif sehingga membuat para tahanan mengalami diare kronis. Dalam beberapa kasus, ada sejumlah bukti bahwa para tahanan diperlakukan sewenang-wenang dalam perjalanan ke ruang pertemuan, tempat mereka bertemu dengan kuasa hukum mereka. Perlakuan para penjaga penjara sedemikian kejamnya sehingga sejumlah tahanan enggan bertemu lagi dengan pengacaranya karena khawatir mendapatkan penyiksaan. Laporan Ghappour mematahkan laporan aparat berwenang AS yang menyebutkan bahwa kondisi kamp penjara Guantanamo sudah lebih manusiawi. Laporan pejabat AS itu dibuat setelah Presiden Obama pada

tanggal 22 Januari kemarin memerintahkan Departemen Pertahanan AS untuk melakukan kajian selama dua minggu atas kondisi di kamp Guantanamo sebagai bagian dari rencana penutupan kamp yang terletak di negara Kuba itu. Laksamana Patrick Walsh yang menyusun laporan tersebut hari Senin kemarin mengatakan, ia menerima laporan masih adanya tindak kekerasan, tapi semua tahanan sudah diperlakukan sesuai aturan dalam Konvensi Jenewa. "Kami sudah mendapat laporan kasus kekerasan ... pada titik ini kami kembali melakukan investigasi. Kami memang menemukan dalam beberapa kasus ada bukti bahwa penjaga penjara sudah bertindak sewenang-wenang," ujar Walsh. Sementara itu sejumlah organisasi hak asasi manusia di AS juga menyatakan bahwa kondisi para tahanan Guantanamo masih sangat memprihatinkan. Center for Constitutional Rights yang berbasis di New York mengungkapkan bahwa para tahanan masih dalam kondisi yang tidak manusiawi, yang melanggar aturan Konvensi Jenewa, Konstitusi AS serta hukum hak asasi manusia internasional. Mayoritas tahanan, kata organisasi itu, disekap dalam ruang-ruang isolasi. Kondisi kurang tidur, manipulasi lingkungan dan melemahnya kemampuan sensori membuat kondisi fisik dan mental para tahanan berada pada titik terendah American Civil Liberties Union mendesak agar kajian atas kondisi Guantanamo dilakukan tim independen dan bukan dilakukan pihak militer AS yang mengelola penjara itu.

ANALISIS Penjara Guantanamo Bay Guantanamo Bay adalah sebuah pangkalan angkatan laut Amerika Serikat yang letak di Guantnamo, Kuba. Sebagian dari pangkalan angkatan laut tersebut adalah penjara (sering disebut Gitmo), yang sejak tahun 2001 digunakan untuk tahanan dalam perang lawan teroris, asal memenuhi syarat:

1. Berkewarganegaraan asing 2. Telah mendapat latihan dari Al-Qaeda, atau 3. Memimpin tiga ratus lebih orang. Di tempat tersebut, pernah ada laporan di berita bahwa hak-hak tahanan itu dilanggar oleh penjaga. Oleh karena tahanan disebut unlawful enemy combatants dan bukan prisoners of war, Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka tidak dilindungi dalam Perjanjian Geneva. Dengan demikian, tahanan dapat ditahan tanpa didakwa atau mendapatkan pengadilan. Pada awal Gitmo buka sampai pada tahun 2005 ada laporan bahwa penjaga telah merusak Al-Quran dengan berbagai cara, di antara lain menyobek, mencoretcoret, menendang, dan memasuki ke toilet. Dalam penelitian yang dilaksanakan oleh komandan landasan Jay Hood, dikemukakan bahwa ada lima kasus perusakan Al-Quran yang terbukti, termasuk satu kasus tendangan pada Februari 2002 dan satu kasus penginjakan pada 25 Juli 2003. Pada tahun 2005 muncullah tuduhan dalam pers bahwa saat interrogation tentara wanita berpakaian tank top dan menunjukkan pakaian dalam agar tahanan tidak sanggup dan menjawab semua pertanyaan. Ada pula tuduhan bahwa tahanan disentuh dan didekati oleh wanita, disentuh oleh payudara, dan dilempari tinta merah yang dikatakan darah menstrual. Pada tahun 2006 dilaporkan bahwa tiga tahanan ditemukan meninggal, tampaknya dari menggantung diri. Menurut laporan yang diterbitkan dalam majalah Harper pada tahun 2010, ketiga tahanan itu dibunuh setelah disiksa; ini didukung dengan laporan beberapa mantan penjaga. Namun, pemerintah Amerika Serikat mengatakan bahwa fakta yang dilaporkan oleh Harpers hanyalah cerita buatan. Perbuatan militer Amerika Serikat di Gitmo melanggar beberapa HAM dasar, di antara lain hak untuk tidak ditahan sembarangan, hak untuk bebas beragama, dan hak untuk hidup. Dengan mengeksploitasi agama Islam tahanan untuk keperluan pemerintah, Amerika Serikat telah mengasingkan sebagian besar negara I slam dan namanya sudah tidak harum lagi.

Ham ialah seperangkat hak yang melengkat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat. Esensi HAM :
Inheren; secara kodrati melekat pada diri manusia Universal; berlaku untuk semua tanpa diskriminasi Inalienable; tidak dapat diingkari Indivisible; tidak dapat dibagi Interdependent; saling tergantung

Harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan Tidak boleh dikurangi/dirampas oleh siapapun Hak-hak yang tidak dapat dikurangi: Hak untuk hidup Hak untuk tidak disiksa Hak kebebasan pribadi, pikiran & hati nurani Hak beragama Hak untuk tidak diperbudak Hak untuk diakui sebagai pribadi & persamaan di hadapan hukum Hak untuk tidak dituntut hukum yang berlaku surut Pelanggaran HAM : Setiap perbuatan seseorang / sekelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja / tidak / karena kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak. mendapatkan / dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil & benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Kekerasan dalam investigasi memang bukanlah hal yang asing terjadi baik di tingkat nasional maupun internasional. Yang menarik, kekerasan ini

sering kali dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri yang menyiksa para tahanan dalam proses investigasi. Dalam lingkup internasional berita yang paling sering tersiar perihal adanya kekerasan yang terjadi dalam investigasi ini adalah berita penyiksaan terhadap tahanan di penjara Guantanamo, kuba. Seperti yang diberitakan dalam artikel di atas, maka kita dapat dengan jelas mengetahui adanya tindakan kekerasan yang terjadi di Guantanamo, dimana para tahanan telah diperlakukan secara keji dan tidak berperikemanusiaan. Sehubungan dengan hal tersebut, kekerasan investigasi yang terjadi di Guantanamo telah melanggar beberapa konvensi internasional anti penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yaitu:
1.

Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 (Geneva Conventions of 12 August 1949) Istanbul Protocol Blunt trauma Positional torture Crush injuries Chemical exposure Sexual violence to genitals Pharmacological torture Conditions of detention Humiliation Psychological techniques Behavioral coercion Forced to witness torture

2. 3.

Berkenaan dengan metode penyiksaan dalam investigasi yang berupa :

Art. 5 of UDHR (UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS, 1948) Pasal 5 Deklarasi Universal hak Asasi Manusia, 1948

4.

Art. 7 ICCPR (INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS , 1966 : No one shall be subjected to torture Pasal 7 Perjanjian Internasional tentang Hak

5.

European Convention for the Protection on Human Rights and Fundamental Freedom (Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi) berlaku sejak th. 1953

6.

American Convention on Human Rights (Sistem Konvensi Amerika tentang HAM) berlaku sejak th. 1978 Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat),

7.

8. 9.

UN CHARTER (PIAGAM PBB) The International Bill of Rights (Rancangan Undang-Undang Internasional berkenaan dengan Hak Asasi.

3.2

Kasus Hukum Humaniter

Agresi Israel ke Libanon Serangan Israel dengan menggunakan pesawat tempur yang memuntahkan bom-bom berdaya ledak besar terhadap objek-objek sipil di Libanon telah berlangsung satu bulan sepanjang bulan Juli 2006 dan awal Agustus 2006. Agresi Israel tampaknya masih terus berlanjut. Sasarannya bukan hanya sentra kegiatan pasukan [milisi] Hizbullah di perbatasan Israel-Libanon, tetapi termasuk pemboman ke ibukota Beirut dan beberapa kota lain. Pasukan Multinasional (MultiNational Forces) untuk meredam pertempuran di Libanon sedang dipersiapkan [termasuk kontingen tentara dari Indonesia], tetapi perlu menunggu keputusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang masih diwarnai standar ganda dalam sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS). Israel pernah melakukan serangan besar-besaran seperti itu ke Libanon Selatan pada 24 tahun lampau dengan tujuan untuk melemahkan perjuangan Palestina. Kita ingat tahun 1982 tentara Israelmelakukan invasi ke Libanon, menggempur dan memporak-porandakan kamp pengungsi Palestina di Shabra dan

Shatila.

Namun

tidak

ada

tindakan

keras

yang

dikenakan

terhadap

pemerintah Israel dan tidak ada petinggi militer Israel yang diajukan ke pengadilan internasional. Jauh berbeda dengan kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) dan pelanggaran hukum berat (grave breaches) di Bosnia danRwanda. [1] Kini 2006 pemerintah Zionis Israel melakukannya lagi, tanpa alasan yang kuat atau yang dapat dibenarkan menurut aturan hukum internasional dan hukum humaniter (misalnya, ada alasan dan bukti bahwa keamanan Israel terancam). Memang kemudian pasukan Hizbullah juga membalas dengan meluncurkan beberapa kali serangan bom ke wilayah utara Israel, tetapi tindakan bela diri itu sebenarnya dipicu oleh arogansi sikap dan aksi serangan brutal Israel ke Libanon Selatan. ANALISIS Perikemanusiaan dan HAM dalam Peperangan Perlunya penerapan aturan serta rasa kemanusiaan dalam perang sudah dikenal sejak jaman dahulu kala. Namun ironisnya pelanggaran demi pelanggaran masih saja terus berlangsung hingga jaman postmodern ini. Di India misalnya, sejak dahulu kala telah dikenal peraturan-peraturan hukum perang yang bertujuan untuk melindungi orang-orang yang tak berdaya, terluka, dan yang sakit; terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak tentara pendudukan, senjata terlarang, dan perlakuan tawanan perang. Cerita Mahabharata misalnya, mengandung aturanaturan perang yang berperikemanusiaan. Demikian pula kitab Undang-undang Manu di India pada masa lampau memuat ketentuan terperinci mengenai orang-orang [penduduk sipil] yang tidak boleh diserang, barang-barang rampasan perang, dan larangan untuk melakukan kekejaman. Salahudin Al- Ayubi pada masa kejayaan Islam juga telah menerapkan aturan hukum humaniter berdasar ajaran Al-Quran dan Hadits Rasulllulah SAW. Yunani Kuno dan Romawi juga mengenal ketentuan-ketentuan yang melarang pemakaian racun, pembunuhan tawanan perang, dan penyerangan atas tempat-tempat ibadah. Sumbangan yang berharga dari hukum Romawi terhadap hukum perang modern adalah definisi perang dan pendapat yang mengatakan bahwa peperangan harus dimulai dengan suatu pernyataan perang yang resmi.

Jelas bahwa rasa kemanusiaan merupakan suatu hal yang umum dan telah dikenal oleh berbagai bangsa dan peradaban sejak dahulu kala. Tidakl benar apabila ada yang berpendapat bahwa sebelum Rousseau merumuskannya dalam Du Contract Social, prinsip perikemanusiaan itu belum dikenal. Perbedaannya hanyalah bahwa sebelum itu perikemanusiaan dalam perang sering masih terbatas pelaksanaannya pada musuh yang seagama atau satu kebudayaan sehingga pada saat itu belum dapat dikatakan sebagai asas yang berlaku umum dan universal yang melintasi batas keagamaan, kebudayaan, dan kebangsaan seperti di jaman modern. Dasar-dasar hukum humaniter bertujuan melindungi masyarakat dan membatasi akibat yang tidak perlu atau yang berlebihan, yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa konflik dan perang. Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Pada prinsipnya masyarakat internasional memang mengakui bahwa peperangan antarnegara (international armed conflict) dan bahkan secara internal/domestik dalam suatu negara (non-international armed conflict) dalam banyak kasus yang pernah terjadi memang sukar atau tidak dapat dihindari. Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan tetapi orang-orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Oleh karena itu semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan damai maupun perang. Tidak benar bahwa dalam peperangan, aspek hukum akan lenyap seperti yang digambarkan dalam peribahasa Romawi inter arma silent leges (terjadinya perang membuat aturan-aturan hukum bisa diabaikan). Hukum yang mengatur konflik bersenjata lazim disebut sebagai hukum perang, kemudian setelah Perang Dunia II diubah menjadi hukum humaniter. Penggantian istilah tersebut dalam rangka memanusiakan manusia dalam perang. Perang biasanya ditandai oleh konflik di suatu wilayah dengan intensitas penggunaan kekuatan bersenjata cukup tinggi dan terorganisasi. Tujuan hukum humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut: 1. Untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan penduduk sipil.

2. Untuk membatasi akibat buruk penggunaan senjata dan kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut. Israel jelas telah melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dalam berbagai tindakan atau aksi militernya, baik selama kurang-lebih enam dasawarsa di Palestina maupun kini di Libanon. Dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, Israel telah menggunakan cara-cara yang tidak berperikemanusiaan, melanggar HAM, mengabaikan aturan hokum humaniter, dan tidak sesuai dengan doktrin Just War.

Doktrin-Doktrin Perang dan Hukum Humaniter Berikut ini kita tinjau doktrin-doktrin masa lampau yang berlaku hingga kini dalam hukum humaniter internasional a.l. doktrin mengenai dua kategori perang yaitu Just War dan Unjust War. Just War bermakna bahwa ada justifikasi atau alasan pembenaran untuk melaksanakan serangan, bahwa perang dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang logis dan dapat dibenarkan , bahwa perang berlangsung secara adil dan seimbang, bahwa perang dilakukan terbatas untuk mencapai tujuan tertentu dan bukan untuk menghancurkan atau memusnahkan pihak lawan (suatu negara, suatu bangsa, etnis dan suku-bangsa, kelompok/oposisi/ pemberontak, dls). Berlandaskan doktrin Just War ini, sepanjang perang tidak terhindarkan dalam rangka memperjuangkan sesuatu atau mempertahankan sesuatu, dibolehkan melakukan tindakan untuk mengalahkan/menaklukkan lawan, tetapi bukan untuk menghancurkan. Boleh memperjuangkan sesuatu, mencakup hal-hal kepentingan nasional atau mencegah berlanjutnya agresi, tetapi bukan dengan cara-cara teror yang menimbulkan kesengsaraan bagi penduduk sipil. Contohnya Just War a.l. membela hak-hak publik atau hak rakyat, menggulingkan pemerintah yang dzalim, guna menghapus perbudakan seperti civil war di AS (1861-1865), guna memberantas peredaran narkoba, dls. Untuk mempertahankan sesuatu, contohnya mempertahankan keutuhan wilayah, mempertahankan sumber-sumber daya alam, dls. Just War doctrine meliputi lima kriteria yaitu: a) Just Cause [Sebab/Alasan yang Wajar], b) Right Authority [Berdasar Kewenangan yang tepat/sesuai], c)

Right Intention [Tujuan/Niat dengan iktikad baik], 4) Proportionality [Berlangsung secara wajar, proporsional, seperlunya saja], dan 5) Last Resort [Tidak ada jalan lain, hanya ditempuh sebagai keputusan terakhir/pamungkas, karena cara lain sudah buntu]. Selain yang diatur berdasar doktrin, dalam perkembangan di jaman modern diadakan pula aturan-aturan berdasar konvensi/perjanjian internasional dan ketetapan dari badan perlengkapan organisasi internasional. Sehingga ketentuanketentuan Hukum Perang atau Hukum Humaniter ini dibagi ke dalam tiga cabang, yaitu :
1. Hukum The Hague (Law of the Hague) lebih terkait dengan peraturan

mengenai cara dan sarana bertempur dan memusatkan perhatiannya pada tindakan operasi militer. Oleh karena itu, maka jenis Hukum The Hague sangat penting bagi komandan militer di darat, laut, dan udara. Hukum ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di The Haque (Den Haag, Belanda) pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan.
2. Hukum Jenewa (Law of Geneva), yang berkaitan dengan perlindungan

korban perang. Mereka yang dilindungi adalah militer maupun sipil, di darat maupun di air. Hukum Jenewa melindungi semua orang yang hers de combat, yakni yang luka-luka, sakit, korban karam/tenggelam, dan tawanan perang. Hukum Jenewa ini mencakup Konvensi Jenewa 1929, Konvensi Jenewa 1949, dan juga Protokol Jenewa 1977.
3. Hukum New York (New York Rules), yaitu aturan-aturan baru yang berkaitan

dengan hukum humaniter atau yang mengatur ketentuan yang berlaku dalam peperangan/pertempuran. Ketentuan dihasilkan melalui mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Organization) yang bermarkas besar di New York. Lazimnya yang digolongkan sebagai New York Rules adalah yang dibuat setelah tahun 1980. Ada yang berupa konvensi, protocol, maupun berupa resolusi a.l. Resolusi Majelis Umum dan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Contoh-contohnya a.l. : Convention on the prohibition of the development, production, stock-pilling and the use of chemical weapons and on their destructions (1993); Protocol on Binding Laser Weapons (1995), Protocol on the Explosive Remnants of War (2003), dan

New York Rules juga mencakup yang sebelum tahun 1970-an yaitu Konvensi PBB tentang Genosida (Genocide Convention) tahun 1948 yang merupakan pengembangan dari Resolusi PBB No 96 (11Desember 1946), serta Resolusi Majelis Umum PBB No 2444 Tahun 1968 (Respect for Human Rights in Armed Conflict). Pelanggaran HAM dan Hukum Humaniter (Grave Breaches) Beberapa kategori tindakan kejahatan/pelanggaran berat (grave breaches) dalam hukum humaniter yang bisa kita simpulkan dari isi Konvensi Jenewa 1949 adalah sbb : 1) 2) Willful Killing (Pembunuhan yang direncanakan/disengaja) Torture or Inhuman Treatment, including Biological Experiment. (Penyiksaan atau perlakuan tidak berperikemanusiaan, termasuk bila manusia digunakan untuk eksperimen biologik) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Wilfully Causing Great Suffering Destruction of Property Unjustified by Military Necessity Compelling Civilians or Prisoners of War to Serve the Hostile power Wilfully Depriving Civilians or Prisonesrs of war of a Fair Trial Unlawful Deportation of Confinement of Civilians The Taking of Hostages

Dalam hal serangan udara yang berlanjut dengan agresi militer Israel ke wilayah Libanon (Juli+Agustus2006), ketentuan yang secara faktual telah dilanggar oleh Israel adalah Nomor 1 (pemboman yang membantai penduduk sipil), 3 (menimbulkan derita dan kesengsaraan berkelanjutan) , 4 (menghancurkan pemukiman dan rumah-rumah). Upaya internasional menghentikan pertempuran di Libanon Sejak 12 Juli 2006, Israel melakukan Serangan udara dengan pesawat tempur yang menjatuhkan bom-bom ke pemukiman penduduk di Libanon Selatan (sebelah utara wilayah Israel). Serangan-serangan itu telah menewaskan serta melukai penduduk sipil termasuk anak-anak. Alasannya untuk melumpuhkan pasukan/milisi Hizbullah yang anti Zionis dan menentang pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Namun yang ternyata menjadi korban adalah penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak.

Hal seperti ini sesungguhnya bukan hanya tergolong kejahatan perang (war crimes) tetapi juga kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Banyak bangunan, rumah, dan sarana pelayanan publik hancur di Libanon, penduduk meninggal dan luka-luka, ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Serangan pesawat tempur Israel ke kota Qana (29 Juli 2006) saja telah menewaskan tidak kurang dari 54 orang penduduk sipil, 37 diantaranya adalah anak-anak. Belum lagi di berbagai kota lainnya. Sekitar 800 orang tewas [3], belum termasuk yang luka-luka, kehilangan tempat tinggal, dan yang mengungsi. Hal ini tentunya disorot tajam oleh dunia internasional dan bukan hanya oleh negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Unjukrasa mengecam Israel, berlangsung di berbagai negara, termasuk di negara-negara Eropa Barat. Namun pemerintah Zionis Yahudi itu tidak bergeming dan terus melanjutkan aksi pemboman yang tidak berperikemanusiaan serta tegas menolak himbauan gencatan senjata. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukannya tidak memperhatikan hal yang mengenaskan itu. Dewan Keamanan PBB telah bersidang membahasnya, tetapi Amerika Serikat (AS) memveto Rancangan Resolusi Dewan Keamanan PBB (yang isinya mengutuk kekejaman Israel dan mendesak Israel untuk menghentikan aksi pemboman). Tidak aneh dan bukan hal baru bahwa AS hampir selalu menyatakan penolakan (veto) di DK-PBB dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan Israel. Upaya lebih lanjut yang dapat dilakukan oleh negara-negara anggota PBB adalah melalui Majelis Umum PBB, karena dalam MU-PBB tidak berlaku hak veto. Cara ini dikenal sebagai pola Uniting for Peace, yang justru pernah ditempuh oleh AS pada tahun 1950 untuk menghasilkan Resolusi PBB menyangkut pecahnya Perang Korea. Ketika itu AS berhasil dalam upayanya mengalihkan rancangan Resolusi melalui DK-PBB yang diveto oleh Uni Soviet (Rusia), untuk dibahas oleh Sidang Istimewa (Sidang Darurat) Majelis Umum PBB. Resolusi MU-PBB yang dikeluarkan pada tahun 1950 itu dikenal sebagai Uniting for Peace Resolution No. 377A / 1950. Selanjutnya MU-PBB belum pernah mengeluarkan lagi resolusi semacam itu dan tampaknya bisa saja cara seperti itu ditempuh lagi pada tahun 2006 ini. Untuk menembus kebuntuan di DK PBB. Cuma masalahnya kemudian apakah Resolusi MU-PBB itu bisa cukup efektif untuk menekan pemerintah Israelmenghentikan aksi-aksi brutalnya di Libanon dan Palestina.

Lalu jika PBB tidak mampu bertindak untuk mengendalikan serta mendamaikan situasi perang di Libanon melalui himbauan atau resolusi, apa yang bisa dilakukan dalam waktu dekat ini ? Pilihannya adalah mengirimkan Pasukan Multi-Nasional (Multi-National Forces) untuk memisahkan pihak-pihak yang bertikai itu atau Gencatan Senjata di antara kedua pihak yang sama-sama berjanji tidak akan melakukan serangan. Pemerintah AS, sebagai adidaya yang kini memegang hegemoni dunia, cenderung ke arah pembentukan pasukan multinasional (MNF) untuk segera dikirim/ditempatkan ke Libanon. Sedangkan Perancis dan negara-negara anggota Uni Eropa menyokong upaya Gencatan Senjata terlebih dulu, untuk kemudian dilanjutkan dengan perundingan. Jadi perlu ada penghentian serangan dan pertempuran lebih dulu, terutama penghentian pemboman oleh Israel. Barulah kemudian berlanjut dengan upaya penyelesaian konflik (penyelesaian sengketa dan permusuhan) melalui perundingan bilateral/trilateral antara Israel dengan Libanon dan pasukan Hizbullah. Pola perundingan (setelah gencatan senjata) bisa langsung oleh para pihak yang bertikai dan bisa pula berlangsung melalui adanya mediasi oleh negara lain yang bersikap netral. Lalu hasil kesepakatan dari perundingan itu agar dilaksanakan secara konsekuen dengan adanya pengawasan internasional. Usulan yang dikemukakan oleh Uni Eropa ini tampaknya lebih ideal dan adil untuk diterapkan, selain bahwa yang terpenting adalah untuk menyelamatkan penduduk sipil agar tidak menjadi korban pertempuran. Sedangkan usulan pemerintah AS untuk mengirimkan Multi-National Forces ke Libanon, berkemungkinan hanya akan menguntungkan Israel. Bisa jadi Pasukan pejuang Hizbullah saja yang bukan tentara resmi suatu negara yang akan dilucuti persenjataannya dan dibubarkan struktur komandonya (oleh Pasukan MultiNasional). Sedangkan pihak militer Israel hanya disuruh menghentikan serangan dan mundur dari wilayah Libanon. Belum lagi masalah dalam hal menentukan tentara dari negara-negara mana yang akan menjadi inti Pasukan Multi-Nasional itu. Jangan-jangan akan didominasi struktur pimpinannya dan jumlah personilnya oleh tentara AS, seperti dalam kasus Irak. Jelas AS perlu diragukan kenetralan dan keobjektifannya dalam penanganan konflik Israel dan Hizbullah yang sedang berlangsung di Libanon dewasa ini.

Yang

terbaik

adalah

gencatan

senjata

terlebih

dulu

(sampai

sekarang Israel terus menolak usulan gencatan senjata) yang dilanjutkan dengan upaya perundingan menuju perdamaian. Sejalan dengan hal itu dilakukan penempatan Peace Keeping Operation (PKO) oleh PBB di perbatasan LibanonIsrael, termasuk untuk membantu rekonstruksi pemulihan kehidupan sosial-ekonomi penduduk di Libanon. Perlu kita pahami di sini bahwa tugas-tugas Multi-National Forces (MNF) adalah memukul-mundur pihak yang bertikai yang saling menggempur, berbeda dengan Peace Keeping Operation (PKO) yang bertujuan melindungi penduduk setelah adanya penghentian pertempuran. Hal lain yang perlu dipahami berkait dengan konflik Palestina serta pertempuran Israel dan Hizbullah adalah bahwa hal ini bukan perang agama dan bukan bermotif keagamaan (antara Kristen dan Islam). Sekitar 25-30 persen bangsa Palestina beragama Kristiani/Nasrani, walau mayoritas 70-75 persen beragama Islam. Sekitar 35-40 persen penduduk Libanon beragama Kristen (Maronit) dan oleh karena itu ada pola pembagian kekuasaan dalam Konstitusi Libanon, jika kepala negara (presiden) dipilih dari tokoh yang beragama Kristen maka kepala pemerintahan (Perdana Menteri) dari tokoh yang beragama Islam. Konflik dan pertempuran di kawasan itu adalah semata-mata bermotif perjuangan Israel menegakkan hegemoni dan sebaliknya penentangan pihak lain (Palestina, Syria, Libanon) terhadap dominasi Israel. Jelas konflik kepentingan nasional masing-masing bangsa dan bukan bermotif konflik keagamaan. AS juga dalam banyak hal cenderung berpihak kepada Israel karena ideologi dan kepentingan nasional untuk mengendalikan kawasan Timur Tengah yang kaya sumber energi minyak, selain kuat dan luasnya lobby Yahudi di dalam perpolitikan nasional AS.

3.3

Kasus Hukum Lingkungan

Hukum Lingkungan adalah badan hukum yang kompleks terdiri dari global, internasional, nasional, negara bagian dan lokal hukum, perjanjian, konvensi,

peraturan dan kebijakan yang berusaha untuk melindungi lingkungan dan sumber daya alam yang terkena dampak - dampak atau terancam oleh aktivitas manusia.29 Perkembangan hukum lingkungan internasional sebagai ruang lingkup yang terpisah dari hukum internasional publik dimulai pada tahun 1970-an dengan adanya Konferensi Stockholm tentang Lingkungan Hidup pada tahun 1972. Sejak itu masalah lingkungan meningkat dan merupakan salah satu lingkup yang paling cepat berkembang dalam hukum internasional. Saat ini perhatian internasional terhadap masalah hukum lingkungan adalah mengenai penipisan lapisan ozon dan pemanasan global, penggurunan, perusakan hutan hujan tropis, polusi laut plastik dari kapal, perdagangan internasional spesies terancam punah (perdagangan gading yaitu), pengiriman limbah berbahaya ke negara-negara Dunia Ketiga, deforestasi di Brazil dan Filipina, perlindungan lahan basah, tumpahan oli, lintas batas polusi udara nuklir (yaitu Chernobyl), pembuangan limbah berbahaya dan beracun, penipisan air tanah , perdagangan internasional dalam pestisida, dan hujan asam. Hukum lingkungan juga masuk pada area lain dalam hukum internasional, seperti komersial / hukum bisnis, perdagangan, dan hak asasi manusia. Kerjasama internasional dalam bentuk perjanjian, kesepakatan dan resolusi yang dibuat oleh organisasi-organisasi antar pemerintah serta hukum dan peraturan nasional yang digunakan untuk melindungi lingkungan. Peneliti biasanya mencari dokumen dari organisasi besar terkait dengan perlindungan lingkungan seperti Program Lingkungan Hidup PBB[ (UNEP), dengan Uni Eropa, dengan OECD, dan Dewan Eropa. Karena tanggung jawab utama untuk melindungi lingkungan hidup tetap di tingkat nasional dan lokal, kota dan peraturan hukum terkait dengan lingkungan semakin sering dicari. Prinsip 4 Deklarasi Stockhlom (Stockhlom Declaration on Human

Environment 1972) menyatakan : Manusia bertanggung jawab untuk menyelamatkan dan mengelola secara bijaksana warisan margasatwa dan habitatnya yang kini terancam oleh kombinasi faktor-faktor yang bertentangan.

29

Lihat,http//www.wikipedia.com

Prinsip dalam Deklarasi diatas ternyata telah menyebutkan adanya ancaman dari penyalahgunaan bentuk teknologi baru (ex: bioteknologi). Hanya saja deklarasi ini tidak menyebutkan secara tegas, namun pernyataan kombinasi faktor-faktor yang bertentangan telah menunjukkan adanya perhatian terhadap perkembangan sesuatu hal yang bertentangan dengan berbagai tatanan dalam kehidupan masyarakat.

Perkembangan hukum internasional khususnya mengenai pengajuan kasuskasus ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam lima tahun terakhir telah menghadapi babak baru. Paling tidak perhatian terhadap kasus-kasus yang menyangkut persoalan lingkungan hidup khususnya sumberdaya alam telah menjadi agenda penting, walaupun dalam kasus-kasus terdahulu hanya merupakan bagian dari kasus mengenai sengketa perbatasan. Hal ini dapat diketahui bahwa Mahkamah International telah menerima dua kasus penting yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya alam yaitu Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v Australia) dan Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia). Mengingat kedua kasus ini memiliki karakteristik tersendiri maka dengan pertimbangan Pasal 26 Piagam Mahkamah Internasional telah dibentuk the Chamber of Environmental Disputte pada tanggal 19 Juli 1993. KASUS-KASUS LINGKUNGAN A. Kasus Certain Phosphat di Nauru

Gugatan terhadap Australia diajukan karena sebagai anggota Dewan Perwalian PBB yang ditugaskan untuk menangani persiapan kemerdekaan Nauru, Australia dianggap telah gagal melaksanakan tugasnya. Bahkan kewajibannya untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan pembangunan justru menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dengan tidak merehabilitasi kerusakan akibat proyek penambangan posphat.

B.

Kasus Gabcikovo-Nagymaros Project

Sengketa mengenai proyek pembangunan suatu bendungan khususnya menyangkut soal pelaksanaan perjanjian pembangunan telah menimbulkan dampak lingkungan dengan terancamnya sumberdaya alam hayati yang ada di sekitar Sungai Danube.

C. Chorfu Channel Case

Kasus ini merupakan sengketa antara Albania dan Inggris yang cara pengajuannya melalui pengadilan yaitu ke Mahkamah Internasional pada tahun 1949. Peristiwanya terjadi pada tanggal 15 Mei 1946 pada saat kapal-kapal Inggris berlayar memasuki selat Chorfu wilayah Albania. Ketika memasuki laut teritorial Albania kapal-kapal tersebut ditembaki dengan meriam-meriam yang ada di pantai Albania. Albania ketika itu sedang dalam keadaan perang dengan Yunani. Tanggal 22 Oktober 1949 sebuah kapal Inggris telah menabrak ranjau yang berada di selat tersebut yang kemudian menimbulkan korban jiwa. Atas kejadian tersebut Inggris kemudain melakukan pembersihan terhadap ranjau-ranjau yang ada di selat tersebut tanpa adanya izin dari pemerintah Albania. Kemudian sengketa timbul dan diajukan ke Mahkamah Internasional. Keputusan mahkamah Internasional menyatakan bahwa Albania bertenggungjawab atas kerusakan kapal Inggris dan Inggris telah melanggar kedaulatan Albania karena tindakannya menyapu ranjau. Persoalan ini sebenarnya tidak berkaitan dengan masalah lingkungan hidup secara langsung. Namun dalam kasus ini telah diterapkan suatu prinsip yang mirip dengan Prinsip 21 Deklarasi Stockhlom 1972 yaitu dalam salah satu keputusannya menyatakan bahwa setiap negara tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu atau merugikan negara lainnya.

D. Gulf of Maine Case

Kasus ini mengenai masalah perbatasan antara Amerika Serikat dan Kanada. Pengajuan perkara diajukan melalui cara ke pengadilan internasional yaitu Mahkamah Internasional. Dalam sengketa ini untuk pertama kalinya Mahkamah Internasional membentuk Kamar Penyelesaian Sengketa (Chamber of Disputte Settlement) berdasarkan pasal 26 (1). Persoalan pokok yang diajukan adalah mengenai penetapan perbatasan tunggal (single maritime boundary) yang digunakan. Batas Kanada yang diajukan adalah equidistance line tapi Amerika Serikat menginginkan bahwa perbatasan tergantung dari keadaan yang relevan di wilayah tersebut. Selain itu menurut Kanada, Teluk Maine beserta wilayah yang berdekatan termasuk bagian penting karena memunyai hubungan yang kompleks dan memiliki proses biologis yang penting. Juga wilayah ini merupakan eksosistem laut yang penting di wilayah utara. Dilain pihak Amerika Serikat menyatakan bahwa wilayah ini memiliki karakteristik berdasarkan 3 prinsip rezim ekologi. Dalam hal ini ternyata Teluk Maine juga membentuk komunitas flora dan funa dalam semua siklus jaring makanan dari yang terkecil hingga ikan yang terbesar. Mahkamah Internasional kemudian mempelajari kasus ini.

Selain kasus-kasus diatas ada beberapa kasus lagi yang berhubungan dengan hukum lingkungan internasional. Seperti kasus pengelolaan sumberdaya air di antara negara-negara yang berkepentingan yaitu Diversion of the Waters from the River Meuse Case (Netherland v. Belgium) dan Territorial Jurisdiction of the International Commission of the River Oder Case 1929. Kasus-kasus tersebut sangat erat persoalannya dengan masalah perbatasan negara yang kaya akan sumber daya alam hayati maupun non hayati. Dalam kasus perebutan wilayah perairan yang kaya akan sumberdaya perikanan ada dua kasus yang terkenal yaitu Anglo-Norwegian Fisheries Case (United Kingdom v. Norway)(1951) dan Fisheries Jurisdiction (UK v. Iceland v. Federal Republic Germany) (1974). Selain itu ada juga kasus Gulf of Maine Case (USA v. Canada) 1984. Kasus-kasus

perbatasan yang menyangkut landas kontinen yang kaya akan sumberdaya alam non hayati ada kasus seperti North Sea Continental Shelf (1969), Continental Shelf (Libyian Arab Jamahiriya v. Malta) (1985) dan Continental Shelf ( Tunisia v. Libya)(1982). Sementara itu beberapa kasus lainnya juga muncul seperti gugatan Australia untuk kedua kalinya terhadap Perancis atas percobaan nuklir sedang diupayakan. BADAN INTERNASIONAL Menghadapi kasus-kasus lingkungan hidup Mahkamah Internasiona; telah membentuk Kamar Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Chamber of Environmnetal Disputte Settlement) pada tanggal 19 Juli 1993. Sebenarnya kasus lingkungan hidup dalam arti luas pernah ditangani oleh Mahkamah Internasional Permanen (PICJ) seperti dalam Diversion of the Waters of the River Meuse dan Territorial Jurisdiction of the International Commission of the River Oder Case 1929. Demikian juga dengan Mahkamah yang telah beberapa kali menangani sengketa yang bersinggungan dengan masalah lingkungan hidup. Sebagai contoh dalam Chorfu Channel Case (UK v. Albania) 1949, Nuclear Test Cases, Gulf of Maine Case (USA v. Canada) 1984, Fisheries Jurisdiction Case. Namun secara spesifik makalah ini akan membahas kasus gabcikovo Nagymaros project sebagai kajian dalam Hukum Lingkungan. Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia) Dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros Project, dimana adanya sengketa mengenai pembangunan bendungan khususnya mengenai proyek perjanjian pembangunan antara dua negara yakni Hungaria dan Slovakia yang ternyata mengalami dampak lingkungan dengan tercemar sumber daya alam hayati sekitar sungai Danube untuk produksi listrik, penanganan banjir dan peningkatan navigasi. Hal ini diprakarsai oleh Budapest Treaty pada September 16, 1977 antara Cekoslowakia dan Hongaria. Tujuannya adalah untuk mencegah bencana banjir, untuk meningkatkan kualitas berlayar dan menghasilkan listrik yang bersih. Hanya bagian dari proyek tersebut telah selesai di Slowakia dengan nama Gabkovo Bendungan / PDAM, karena konstruksi Hungaria

ditinggalkan secara sepihak. Hal ini menyebabkan sengketa internasional jangka panjang antara Slovakia dan Hongaria, yang masih belum tertutup. Perjanjian perbatasan bendungan membayangkan sebuah sistemsilang antara kota Gabkovo , Slowakia (Setelah 1 Januari 1993 Republik Slovakia independen) dan Nagymaros , Hungaria. Bendungan-bendungan akan menghilangkan banjir biasa (seperti bencana yang pada tahun 1954 dan 1965) dan menyediakan sumber daya listrik yang bersih. Mereka juga akan memungkinkan dilayari sepanjang tahun sungai dan berfungsi sebagai bagian dari Rhine-Main-Danube Canal . Rencananya adalah untuk mengalihkan bagian sungai itu menjadi kanal buatan di Dunakiliti (sebuah desa di Hungaria) untuk pembangkit listrik tenaga air dekat Gabkovo (delapan turbin, 720 MW. Kanal itu akan kembali air ke dalam memperdalam asli sungai dan di Nagymaros bendungan kecil dan kekuatan-tanaman (158 MW) akan dibangun. Pabrik di Gabkovo adalah sebagai pembangkit puncak-daya dan bendungan di Nagymaros, sekitar 100 km hilir, adalah membatasi fluktuasi tingkat air. Karena sebagian besar konstruksi dirancang untuk berdiri di wilayah Slowakia, Hongaria pemerintah wajib mengambil bagian juga di beberapa konstruksi di Slovakia, untuk mengamankan investasi yang sama untuk kedua belah pihak.. Diproduksi listrik seharusnya untuk mengalihkan 01:01 antara kedua negara. Pada tahun 1989 Hungaria meninggalkan situs dan pada bulan Mei 1992 mencoba untuk mengakhiri 1977 perjanjian. Setelah Ceko-Slowakia berpisah pada 1993 , yang baru-didirikan Republik Slovakia , sebagai seorang pewarisan proyek, mengajukan sengketa kepada Mahkamah Internasional di Den Haag .. Pada 1994 , Sosialis kembali menjadi kekuatan di Hungaria tapi hampir tidak bisa kembali keluar dari kasus pengadilan, yang dipuji sebagai tengara: untuk pertama kali, pengadilan akan memerintah atas suatu sengketa lingkungan. Sidang kasus itu diadakan antara 3 Maret dan 15 April 1997 , dan Mahkamah mengunjungi situs (yang pertama dalam sejarah) ke lokasi konstruksi. Dalam perselisihan tersebut, wakil Hungaria ingin, selain

masalah lain, pengadilan untuk memutuskan apakah atau tidak Cekoslowakia berhak untuk memulai dengan Varian C dan bahwa perjanjian 1977 tidak pernah berlaku antara Slovakia dan Hongaria. diturunkan keputusan pada tahun 1997:

Hungaria tidak diizinkan pada tahun 1989 untuk menghentikan dan kemudian meninggalkan bagiannya atas bekerja di PDAM sesuai dengan perjanjian tahun 1977 dan menerapkan yang terpasang;

Cekoslowakia

diizinkan

untuk

memulai

persiapan

alternatif

solusi

sementara nya, Varian C, pada bulan November 1991 , tapi tidak diizinkan secara sepihak mulai Varian C pada bulan Oktober 1992 ;

Hungaria pemberitahuan penarikan dari perjanjian 1977 pada 19 Mei 1992 sebenarnya tidak mengakhiri perjanjian, dan perjanjian itu karena itu masih berlaku dan mengikat kedua belah pihak;

Slovakia,

sebagai

pengganti

Cekoslowakia,

menjadi

pihak

dalam

perjanjian 1977; dan

Dalam hal Hongaria dan Slowakia tidak bisa menemukan solusi melalui negosiasi, Hungaria diminta untuk membayar kerugian ke Slovakia. Sementara itu, 4 bulan perundingan antara Slovakia dan Hongaria

menyebabkan perjanjian ini,

perjanjian tetapi

antara

kedua

negara

tentang

penghakiman untuk

Mahkamah Internasional.. Pada Maret 1998 pemerintah Slowakia menyetujui pemerintah Hungaria, yang seharusnya membangun Nagymaros atau cadangan Perairan Pilismart, tertunda untuk menyetujui perjanjian dan menyatakan kompetisi untuk proyek tersebut. Setelah pemilihan umum di Hongaria, pemerintah baru membatalkan kompetisi ini. Pada 1998 , setelah dua banding ke Hungaria, pemerintah Slovakia beralih ke Mahkamah Internasional, menuntut bagian Nagymaros dibangun. Pada 2006 , perselisihan internasional masih tidak diselesaikan. Konsekuensi Lingkungan yang dikhawatirkan terjadi pada daerah Sunga Danube oleh WWF yakni kualitas air sungai yang menurun dan menyebabkan matinya hewan dan tumbuhan yang ada di dalam air serta sekitar sungai Danube tersebut dan masalah pasokan air di Budapest.

ANALISIS Kasus ini merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum

lingkungan internasional. Karena masalah lingkungan hidup ini tidak lagi menjadi permasalahan dalam suatu negara itu sendiri tapi, menjadi masalah untuk internasional, dan kasus ini dibawa ke Mahkamah Internasional. Dalam proses penyelesaian sengketa Mahkamah Internasional bersifat pasif artinya hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan bila ada pihak-pihak berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional. Dengan kata lain Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara. Dalam mengajukan perkara terdapat 2 tugas mahkamah yaitu menerima perkara yang bersifat kewenangan memberi nasihat (advisory opinion) dan menerima perkara yang wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh negara-negara (contensious case). Dalam menghadapi kasus-kasus lingkungan hidup Mahkamah juga telah membentuk Kamar Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Chamber of Environmnetal Disputte Settlement) pada tanggal 19 Juli 1993.

Pengadilan menyatakan bahwa baru dikembangkan norma hukum lingkungan hidup relevan untuk pelaksanaan Perjanjian dan bahwa Pihak dapat, dengan persetujuan, menggabungkan mereka melalui penerapan beberapa artikel tersebut. Ditemukan bahwa Para Pihak, untuk mendamaikan pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan, "akan terlihat lagi pada dampaknya terhadap lingkungan pengoperasian pembangkit listrik Gab ... kovo. Secara khusus mereka harus menemukan solusi yang memuaskan untuk volume air akan dilepaskan ke tempat tidur tua dari Danube dan ke dalam tangan-sisi sungai. " Banyak model penyelesaian sengketa internasional yang telah dikenal baik secara teori maupun praktek. Tahun 1907 pernah ditandatangani Hague Convention on the Pacific Settlement of International Disputes. Mengenai

penyelesaian sengketa secara damai, Starke membagi menjadi 4 model yaitu : Arbitrasi Penyelesaian yudisial Perundingan, mediasi, perdamaian atau penyelidikan Penyelesaian di bawah PBB Mengenai cara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa Pasal 33 (1) Piagam PBB menyatakan : Pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu pertikaian yang jika berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri. Sehingga berdasarkan pasal diatas, Perserikatan Bangsa-bangsa menggunakan beberapa model atau cara penyelesaian sengketa yaitu : a. Perundingan b. Penyelidikan c. Mediasi d. Konsiliasi e. Arbitrasi f. Hukum internasional regional g. Pengaturan badan-badan regional h. Cara lainnya yang dipilih para pihak.

Untuk kasus yang telah dipaparkan diatas, PBB menggunakan penyelesaian sengketa dengan melalui pengadilan. Hal ini disebabkan karena proses pengadilan kadang-kadang memakan waktu yang lama serta biaya yang tinggi. Penyelesaian sengketa yang diajukan ke pengadilan akan memiliki konsekuensi yaitu keputusannya akan mengikat secara hukum bagi para pihak yang bersengketa. Dan ICJ untuk [ertama kalinya menangani masalah lingkungan hoidup . Dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros Project, sengketa mengenai proyek pembangunan suatu bendungan khususnya menyangkut soal pelaksanaan perjanjian pembangunan. Juga perlu diperhitungkan dampak yang timbul terhadap masalah lingkungan akibat pembangunan bendungan ini. Kasus ini tentu bertentangan dengan deklarasi Stpckholm mengenai konfensi lingkungan dalam penjagaan lingkungan hidup dengan aspek pembangunan serta mengkhawatirkan sumber daya alam di dalamnya namun demikian, seharusnya untuk penghentian kerja sama pembangunan bendungan ini, Hungaria sepantasnya memdiskusikan hal ini dengan Slovakia terlebih dahulu. Dan pada akhirnya, Hungaria lah yang harus mengganti rugi penghentian bendungan ini.

BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan
Ketimpangan pelaksanaan hukum dapat muncul dari pihak penegaknya sendiri sehingga terkadang tidak sedikit pula masyarakat dunia mengabaikan hal yang cukup esensi dengan latar belakang kepentingan pihak manakah yang ingin dicapai. Padahal perbuatan tersebut memiliki efek yang cukup besar dalam menjaga dunia dan menghormati hak subjek hukum lainnya. Keberadaan hukum internasional memang menjadi nyata saat terjadi beberapa kasus yang menimpa. Maka benar bila ada pakar yang berpendapat bahwa terkadang sesuatu yang abstrak dapat terlihat bila terjadi usikan di dalamnya. Eksistensi Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter menjadi harapan bagi mereka yang teraniaya hak-haknya. Demikian pula dengan keberadaan Hukum Lingkungan yang secara nyata menjadi isu penting yang disoroti dunia. Terkait kelangsungan hidup baik generasi sekarang maupun yang akan datang.

4.2

Saran
Dalam pelaksanaan hukum apapun bentuknya dan sifatnya diperlukan suatu

penegakan yang konkret yang dalam pengertiannya ditujukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka selayaknya dimulai dengan menjunjung tinggi moral. Dasar keberhasilan suatu hukum dimulai dari diri sendiri yang merasa butuh untuk menghormati hak yang dimiliki orang lain dan mengerti bagaimana kewajiban yang diembankan pada diri sendiri. sehingga saat kita diperhadapkan dengan fakta untuk menjaga lingkungan tidak lagi saling melempar

kesalahan. Akan tetapi mulai bergerak dan meninggalkan ego masing-masing tentu dalam hal ini yang dimaksud negara baik negara berkembang maupun negara maju - untuk sama sama memiliki visi yang ingin menjaga bumi demi generasi mendatang.

DAFTAR PUSTAKA
Buku : Boermauna, Dr. 2008. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. PT Alumni : Bandung

Davidson, Scott . 1993 . Hak Asasi Manusia Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan Internasional. PT Temprint : Jakarta

Starke, J.G. 1992 . Pengantar Hukum Internasional . Sinar Grafika : Jakarta

Web : www.google.com www.wikkipedia.com

You might also like