You are on page 1of 5

Pendahuluan Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus kecil

yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di manamana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1 ( Tjipto,2009). Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari ( Tjipto,2009).

Epidemiologi
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang No. 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti (Depkes,2005). Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularannya biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah pasien carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman per gram tinja (Depkes,2005). Didaerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah nonendemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S. typhi

dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S. typhi berada didalam batu empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun (Depkes,2005).

Penegakan Diagnosa
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari tidak terdiagnosis hingga gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi hingga kematian ( Aru w,2006). Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis( Aru w,2006). Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang berselaput ( kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor ), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang indonesia. Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1 derajat celcius tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit kematian ( Aru w,2006). Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap Pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfepenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus (eddy, 2002). Uji Widal Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Akibat infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi ( aglutinin ) yaitu : 1. Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O ( berasal dari tubuh kuman ) 2. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H ( berasal dari flagela kuman ) 3. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi ( berasal dari simapi kuman )

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Makin tinggi titernya makin besar kemungkinan menderita demam tifoid (Tjipto,2009). Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit (Tjipto,2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal : 1. Faktor yang berhubungan dengan penderita :

a. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid b. Gangguan pembentukan antibodi c. Saat pengambilan darah d. Daerah endemik atau non-endemik e. Riwayat vaksinasi f. Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi (Lubis,2001). 2. Faktor teknik : a. Akibat aglutinasi silang b. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen c. Teknik pemeriksaan antar laboratorium (Lubis,2001). Kultur darah (GOLD STANDART) Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal : 1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif (Lubis,2001). 2. Volume darah yang kurang ( diperlukan kurang lebih 5 cc darah ), bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu ( oxgall ) untuk pertumbuhan kuman (Lubis,2001). 3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ( agluinin ) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif (Lubis,2001). 4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, di mana pada saat itu aglutinin semakin meningkat.

Prognosis dan komplikasi Prognosa ad vitam : dubia ad bonam Prognosa ad sanationam : dubia ad malam Prognosa ad fungsional : bonam

Dapus
Tjipto, B. W. 2009. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Penyakit Infeksi (Demam Tifoid) pada Balita di Indonesia. Penelitian Puslitbang System dan Kebijakan Kesehatan. Surabaya.

Hidayati, N. 2001. Analisis Regresi Poisson Terhadap FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penyakit Demam Typhoid di Provinsi Jawa Timur. Skripsi, Mahasiswa Jurusan Statistika FMIPA ITS. Surabaya. Ditjen P2M & PL. Depkes RI, 2005. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta Lubis, R, 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tesis Program Pasca Sarjana. Universitas Airlangga. Surabaya Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006

3. Eddy Soewandojo Soewando, 2002. Seri Penyakit Tropik Infeksi; Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa Penyakit Tropik Infeksi. Penerbit Airlangga University Press

You might also like