You are on page 1of 7

Batu Ureter Distal

Pada beberapa buku, ureter terbagi menjadi dua atau tiga bagian. Pada ureter yang terbagi dua, yaitu ureter proksimal dan ureter distal. Ureter proksimal terletak diatas pembuluh darah iliaka communis dan secara esensial meliputi ureter 1/3 proksimal pada konsep ureter yang dibagi tiga segmen. Pada pembagian ureter yang terbagi tiga, ureter sepertiga media meliputi segmen yang overlaps dengan tulang sacrum. Sedangkan ureter 1/3 distal meliputi ureter yang terdapat pada juxtavecicular junction yang terletak dibawah tulang iliaca. Ureter mengalirkan urine dari ginjal ke vesica urinaria. Panjangnya 25 cm dan mempunyai 3 penyempitan sepanjang perjalannya: 1. pada pelvic-ureteric junction 2. pada waktu ureter menyilang didepan A.iliaca communis ketika melewati pinggir panggul. 3. pada waktu ureter menembus dinding vesica urinaria. Ureter keluar dari hilus ginjal dan berjalan vertikal ke bawah dibelakang peritoneum parietale sepanjang sisi medial m. Psoas mayor yang memisahkannya dari ujung-ujung processus tranversus vertebrae lumbales. Ureter masuk ke rongga panggul dengan menyilang didepan A. Iliaca communis, kemudian berjalan ke arah posterolateral pada dinding lateral pelvis menelusuri pinggir anterior incisura ischiadica major hingga mencapai spina ischiadica. Dari sini ureter membelok kearah antero medial dan berjalan tepat diatas diaphragma hingga mencapai basis vesicae pada suatu titik tepat dibelakang tuberculum pubicum. Kearah posterior ureter kanan dan kiri berhubungan dengan m. Psoas major, n.genitofemoralis dan bagian distal A. Iliaca communis. Kearah inferior ureter kanan dan kiri tertutup oleh peritoneum dan disilang oleh a. Spermatica interna. Selain itu disebelah anterior ureter kanan berhubungan dengan: duodenum bagian II, A/V. Colica dextra dan ileocolica, mesentrium dan iluem terminal, dan terletak disebelah kanan V.cava inferior. Sedangkan disebelah anterior ureter kiri: disilangi A/V. Colica sinistra, mesocolon sigmoideum dan colon sigmoideum, dan terletak disebelah kiri A. Mesentrica inferior. B. ETIOLOGI Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke ureter. Gerakan peristaltik ureter mencoba mendorong batu ke distal, sehingga akan menimbulkan kontraksi yang kuat. Batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih, terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada system kalises ginjal atau buli buli. Adanya kelainan bawaan pada pelviokalises (stenosis uretero pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis merupakan keadaan keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Kecenderungan terjadinya batu menurut para penyidik mengikuti suatu tata cara tertentu yaitu: 1. Adanya supersaturasi dari zat pembentuk batu. 2. Adanya faktor yang menyebabkan kristalisasi zat tersebut 3. Adanya zat yang menyebab kristal berkumpul jadi satu. Dasar Proses kimia fisika Proses dasar pembentukan batu adalah supersaturasi. Seperti yang terjadi dalam gelas berisi air. Bila di dalamnya terkandung garam atau kristal sodium dalam jumlah kecil, maka larut dalam air. Bila dilakukan penambahan garam terus menerus, suatu saat akan tercapai suatu konsentrasi di mana garam tersebut tidak dapat lagi larut dalam air. Pada konsentasi ini, dikatakan garam tersaturasi. Bila garam ditambahkan terus, maka akan mengendap, jika pH atau suhu tidak berubah, tidak ditambahkan zat/ bahan lain yang membantu kelarutan garam dalam air. Titik saturasi di mana mulai terjadi kristalisasi, disebut thermodynamic solubility product (Ksp). Ksp, adalah suatu konstanta, sama dengan hasil konsentrasi komponen kimia murni dalam keseimbangan antara komponen terlarut dan komponen pelarut. Ksp, kalsium oksalat monohidrat dalam air suling pada 37oC adalah 2,34 x 10-9. Begitu juga yang terjadi dalam urin. Bila konsentrasi kalsium dan oksalat lebih tinggi dari Kspnya, maka akan mengendap. Tetapi di dalam urin terdapat zat-zat inhibitor dan molekul lain yang memungkinkan konsentrasi kalsium oksalat tidak mengendap walaupun melampui Kspnya. Keadaan ini, dikatakan, urin metastabel terhadap kalsium oksalat. Bila konsentrasi kalsium oksalat ditingkatkan lagi, akan tercapai konsentrasi di mana tidak dapat lagi larut dalam urin. Konsentrasi ini disebut Kf yang merupakan formation product kalsium oksalat dalam urin. Pada umumnya, komponen pembentuk batu, dalam urin, berada dalam konsentrasi metastabel antara Ksp, dan Kf. Setiap senyawa mempunyai Kf tertentu pada suhu dan pH tertentu. Faktor suhu tidak terlalu penting, karena suhu manusia relatif konstan (37oC). Yang banyak berpengaruh adalah pH urin. Berbeda dengan air, didalam urin terdapat molekul lain yang dapat berinteraksi, sehingga dapat mengubah kelarutannya. Misalnya urea, asam urat, asam sitrat dan kompleks mukoprotein. Pembentukan Batu Dalam urin normal, konsentrasi kalsium oksalat 4 kali

kelarutannya, Karena terdapat inhibitor dan molekul lainnya, presipitasi baru akan terjadi bila supersaturasinya mencapai 7 sampai 11 kali kelarutannya. Hal hal yang dapat mempengaruhi supersaturasi kalsium oksalat dalam urin, antara lain, volume urin yang rendah, meningkatnya ekskresi kalsium, oksalat, fosfat, urat, rendahnya ekskresi sitrat dan magnesium. Proses pembentukan inti batu yang terdiri dari larutan murni disebut nukleasi homogen. Terdapat 3 macam bahan yang mempengaruhi proscs pembentukan batu dalam urin, yaitu: inhibitor, kompleksor dan promotor. Inhibitor melekat pada kristal, sehingga mencegah pertumbuhan dan memperlambat agregasi. Inhibitor untuk kalsium oksalat dan kalsium fosfat, antara lain magnesium, sitrat, pirofosfat dan nefrokalsin. Dalam urin terdapat 2 glikoprotein yang bersifat inhibitor, yaitu nefrokalsin dan protein Tanim Harsfall, yang menghambat agregasi pada urin yang pekat. Kompleksor yang penting untuk kalsium oksalat adalah sitrat, yang mempunyai efek maksimal pada pH urin 6,5. Magnesium bersenyawa dengan oksalat, membentuk senyawa lain yang larut dalam urin. Magnesium dan sitrat bersifat kompleksor dan inhibitor. Promotor menginisiasi satu fase pembentukan kristal, tetapi menghambat fase yang lain. Misalnya glikosaminoglikan, menunjang proses nukleasi, tetapi menghambat proses pertumbuhan dan agregasi. Matriks batu adalah protein non kristal yang merupakan bagian dari batu. Kandungan matriks dari batu, bervariasi, umumnya 3% dari bobot batu. Peranan matriks pada pembentukan batu masih belum jelas. Finlayson dkk., berpendapat matriks hanya menambah/ melapisi kristal yang membentuk batu. Polimerisasi matriks diperlukan dalam pembentukan batu. Matriks dibentuk dalam tubulus renal. Dutoit dkk., mengajukan hipotesa terbentuknya batu ginjal karena adanya penurunan aktivitas ensim urokinase dan peningkatan sialidase yang berakibat terjadinya meneralisasi matriks batu. C. JENIS JENIS BATU 1. BATU KALSIUM OKSALAT Hiperkalsiuria Hubungan antara ekskresi kalsim urin dan batu ginjal oksalat, pertama kali dilaporkan oleh Flock (1939), kemudian oleh Albright dkk. Antara 30 60 % pasien dengan batu ginjal kalsium oksalat, terdapat peningkatan kalsium dalam urin, tanpa peningkatan kalsium dalam darah. Hiperkalsiuri didefinisikan sebagai ekskresi kalsium lebih dari 200 mg/hari, lebih dari 4 mg/kf, BB/hari, lebih dari 7 mmol/hari pada laki laki, lebih dari 6 mmol/hari pada wanita, atau lebih dari 0,1 ! mg/100 ml GFR. Hiperkalsiuri menyebabkan supersaturasi kalsium di urin. Tetapi juga membentuk kompleks dengan anion inhibitor di urin, misalnya sitrat atau glikosaininoglikan, yang dapat mencegah terbentuknya batu. 1. Hiperkalsiuria absorptif. Kelainan primernya adalah peningkatan absorpsi kalsium intestinal khususnya jejunum. Sehingga hal ini akan membebani glomerulus. Akibatnya memacu hormon paratiroid, yang mengakibatkan penurunan reabsorbsi oleh tubulus, dan berakhir dengan hiperkalsiuria, dan pembentukan batu. Normal dari kalsium intake lebih kurang 900 1000 mg/hari. Kira kira 1/3 diabsorpsi diusus halus dan kira kira 150 200 mg diekskresi diurin. Kalsium disimpan sebagian besar ditulang. Sebagian besar kalium diekskresi bersama feses. Kepustakaan membagi absorbtif hiperkalsiuria menjadi 3 tipe. 1. Absorbtif hiperkalsiuria Tipe I (AH 1). AH-1 adalah bentuk berat dari hiperkalsiuria yang ditandai kalsium urin lebih dari 200 mg/hari, dengan tanpa dipengaruhi diet (diet rendah atau tinggi kalsium intak). Dengan angka kekerapan 15% dari seluruh batu kalsium. Pada tipe ini diperkirakan usus lebih lama menyerap kalsium dari makanan. Pencegahan dengan memberikan zat pencegahan penyerapan seprti selulosa fasfat 5 gr 2 3 kali sehari atau dapat deberikan HCT dengan efektifitas tidak lebih dari 5 tahun. 2. Absorbtif hiperkalsiuria Tipe 11 (AH 11). AH II adalah bentuk ringan sampai sedang, hiperkalsium yang terjadi disebabkan peningkatan kalsium intake. Penyebab yang umum dari batu kalsium. Bila intake diturunkan maka ekskresi kalsium akan normal lagi. Pencegahan dengan diet rendah kalsium, bila ekskresi tetap tinggi dapat diberikan selulosa. 3. Absorbtif hiperkalsiuria Tipe III (AH III). AH III disebabkan kebocoran fosfat diginjal, kasus ini merunakan 5% dari kasus batu ginjal. Pengobatan dapat diberikan orthofosfat 250-2000 gr, 3 4 kali sehari. 2. Hiperkalsiuria renal Kelainan primernya adalah pada ekskresi kalsium berlebihan di ginjal Akibatnya terjadi penurunan kadar kalsium dalam sirkulasi dan menstimulasi produksi PTH. Peningkatan kadar kalsium urin puasa dan stimulasi fungsi paratiroid, merupakan criteria pembeda hiperkalsiuri renal dari hiperkalsiuri absorptif 2. Hiperkalsiuria resorptif. Sindroma ini sinonim dengan hiperparatiroid samar. Hiperkalsiuria terjadi akibat kelebihan PTH dependent bone resorptior, peningkatan absorpsi intestinal oleh PTH dan PTH dependent synthesis of 2,5 dihydroxy vitamine D3. 3. Hiperkalsiuria idiopatik Beberapa penilitian menunjukkan bahwa Hiperkalsiuria idopatik adalah kelainan bawaan yang diturunkan secara autosomal dominan, meskipun polanya dapat

menggambarkan kontrol poligenik yang baik pada ekskresi kalsium. Diagnosis dibuat dengan tes pembebanan kalsiurn (calcium load test). Hiperkalsemia 1. Hiperparatiroidisme primer Yendt dan Gagne (1968) meneliti bahwa hanya 1% dari pasien dengan hiperparatiroidisme, menderita penyakit batu. Untuk mendiagnose penyakit ini harus ditemukan adanya hiperkalsemia tanpa disertai adanya penyakit lain yang dapat meningkatkan kadar kalsium darah. Hiperparatiroidisnie harus dicurigai pada setiap pasien dengan batu ginjal dan kadar kalsium seruim mendekati batas atas nilai normal atau di atas nilai 10,1 mg/ dL (Menon, 1986). Honnon assay, terhadap hormor utuh, mid molekul atau molekul terminal karboksi dari PTH meningkat pada lebih dari 90% pasien dengan hiperparatiroidisme primer, terbukti secara bedah. Mekanisine terjadinya batu, menurut Pak dkk., adalah menurunnya inhibitor (sitrat) dan meningkatnya promotor pembentulan batu dalam urin. Tetapi bedah untuk mengangkat kelenjar paratiroid pada penyakit ini memberikan angka keberhasilan lebih dari 90 %. 2. Sarkoidosis dan Penyakit Granulomatosa yang lain. Banyak penyukit granulomatosa termasuk sarkoidosis, tuberculosis, lepra, histoplassmosis, dan lainnya, sering disertai hiperkalsemia. Terutama pada sarkoidosis, dihasilkan 1,25 dihidroksi vitamin D3 yang meningkatkan absorpsi kalsium usus, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Secara praktis, diagnostik yang penting adalah heperkalsemia yang memberikan respon terhadap pemberian steroid. (Breslauw dkk,1982), berpendapat bahwa steroid bekerja terutama di mukosa intestinal pada pasien sarkoidosis dengan menurunkan absorpsi kalsium di usus. 3. Keganasan yang disertai hiperkalsemia. Keganasan merupakan penyebab tersering hiperkalsemia pada pasien rawat inap, sedang pada rawat jalan, penyebab tersering hiperkalsemia adalah hiperparatirodisme primer. Hiperkalsemia terjadi pada keganasan paru dan mammae (60%), kanker ginjal (10 15 %), kepala dan leher (10%), keganasan hematologis, misalnya mieloma (10%). Mekanisme terjadinya hiperkalsemia pada keganasan, khususnya multiple mieloma, adalah sekresi sejumlah sitokin yang berperan local di dalam sumsum tulang untuk merangsang osteoclastic bone resorption (Eilon dan Mundy, 1978; Ralston et al, 1982). Sitokin sitokin ini disebut sebagai osteociastic activating factors dan terdiri dari prostaglandin E, tumor necrotizing factors alpha dan beta, interlekin 1 alpha dan beta; dan transforming growth factors alpha dan beta (Mundy, 1989; Orloff dan Stewart, 1992). Factor faktor ini menstimulasi osteoklast untuk melepas hidrolisat yang dibutuhkan untuk melarutkan tulang. Penyebab tersering hiperkalsemia pada keganasan dan pada pasien dengan metastatik skeletal adalah zat yang diproduksi oleh tumor yang disebut PTH/ relaed peptide. (Edelson dan Kleerekoper, 1995). 4. Hipeniroidisme Kira Kira 5 10% pasien dengan tirodisme disertai hiperkalsemia. Karena kadar albumin serum rata rata rendah, insidensi hiperkalsemia dapat luput. Bila kalsium terionisasi dalam serum diukur, kira kira 50% pasien tirotoksikosis didapatkan hiperkalsemia ringan (Burman dkk, 1976; Mosekilde dan Christianse, 1977). Tirotoksikosis mudah dikenali pada sebagian besar pasien melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hiperkalsemia umumnya ringan, jarang melebihi 11,5 mg/d!, Bila hiperkalsernia berat terjadi pada pasien tirotoksikosis yang disertai hiperkalsernia, harus dicurigai kemungkinan adanya adenoma paratiroid (Menon, 1986). Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria akibat stimulasi resorpsi tulang yang diperantarai oleh tiroksin dan triiodo tironin, dan direfleksikan oleh peningkatan alkali fosfatase serum dan ekskresi hidroksi prolin urin. Kadar PTH rendah pada pasien dengan hipertiroidisme (Menon, 1986). Kalkuli renal jarang terjadi pada pasien tirotoksik. 5. Hiperkalsernia yang diinduksi oleh Glukokortikoid. Glukokortikod mempengaruhi metabolisme kalsium melalui 3 mekanisme yaitu pada tulang, intestinal dan kelenjar paratiroid. Di antara ketiganya, efek terpenting pada tulang. Glukokortikoid menyebabkan peningkatan berlebihan pada resorpsi tulang, penurunan pembentukan tulang dan osteopenia. Kalkuli renal, tidak jarang ditemukan pada sindroma Cushing dan pasien Cushing pertama menderita batu ginjal (Cushing, 1932). Antara 4% dan 65% pasien sindroma Cushing, menderita batu ginjal (Pyrah, 1979). Insidensi kalsifikasi renal asimptomatik, lebih tinggi (Scholz dkk., 1957). 6. Phaeochromasitoma Hiperkalsemia, bila dijumpai pada pasien dengan phaeochromasitoma, paling sering pada pasien dengan multiple neoplasi endocrine tipe 2 (yang merupakan hiperparatiroidisme primer), karsinoma meduler tiroid dan tumor kelenjar adrenal (Samaan dkk., 1976; Drezner dan Lebofitz, 1978). Katekolamin diketahui menstimulasi sekresi PTH in vitro (Sackner dkk, 1960) dan juga menstimulasi osteoclastic activated bone resorption. 7. Hipokalsiuri hipokalsemia familial Hipokalsiuri hipokalsemia familial merupakan kelainan autosomal dominan dan tampaknya merupakan kelainan benigna yang ditandai dengan hiperkalsemia pada anak anak (Law

dan Heath, 1985). Pasien cenderung asimptomatik dan tanpa tanda tanda hiperparatiroid. Didiagnosis dengan ditemukannya hiperkalsemia relatif di dalam darah. 8. Immobilisasi Bed rest yang lama dapat menyebabkan hiperkalsemia, mengakibatkan peningkatan turn over tulang. Hiperkalsemia yang hanya disebabkan oleh imobilisasi, jarang ditemukan pada pasien dengan metabolisme tulang yang normal. Hiperkalsemia paling sering ditemukan, bila kondisi lain, seperti penyakit Paget (dengan turn over tulang dipercepat), hiperparatiroidisme primer atau keganasan, menyertai pasien dengan imobilisasi. 9. Hiperkalsemia iatrogenik. Diuretika Thiazide dapat menyebabkan hiperkalsemia dengan meningkatkan resorpsi kalsium di tubulus proksimal, menurunkan volume plasma dan meninggikan sensitivitas jaringan target terhadap PTH (Orloff dan Stewart,1992). Hal yang serupa, lithium, dapat menginduksi suatu keadaan yang mirip hiperparatiroidisme primer. Hiperkalsemia dilaporkan pada pasien dengan metastasis skeletal yang luas akibat kanker payudara dan diterapi dengan estrogen serta anti estrogen (Tamoxiphen) (Lega dkk, 1981). Pasien yang minum sejumlah susu dan alkali yang dapat diserap untuk terapi peptic ulcer, dapat menyebabkan suatu keadaan yang disebut sindroma susu alkali. Pada pasien ini timbul alkalosis metabolic, heperkalsemia, hiperfosfatemia, nefrokalsinosis dan insufisiensi renal (Orwoll, 1982), tetapi tidak ditemui hiperkalsiuri. Hiperoksaluria Hiperoksaluria adalah bila kadar ekskresi oksalat diurin lebih dari 45 mg/hari. Bila kadar ringan sampai sedang (45 80 mg/hari) mungkin disebabkan diet dari hiperoksalat. Bila kadar lebih dari 80 mg/hari, diagnosis nephrolithiasis mungkin disebabkan hiperoksaluria primer ataupum enterik. Penyebab utama dari batu kalsium pada sebagian besar pasien dengan hiperoksaluria adalah enterik hiperoksaluria. Penyakit daerah ileum seperti inflamatory bowel disease, reseksi gaster atau usus atau jejenoileal by pass sebagai penyebab hiperoksaluria. Garam empedu dan asam lemak meningkatkan permeabilitas mukosa yang berakibat peningkatan transport aksalat di usus. Gangguan absorbsi lemak merupakan gambaran khas penyakit ilcal, yang mengarah pada pembentukan batu kalsium. Pada enterik hiperoksaluria, pembentukan batu dapat juga disebabkan oleh berkurangnya urin output karena dehidrasi, atau low urinary citrat yang sebabkan asidosis metabolik. Pengobatan dengan suplementasi kalsium. Kalsium mengikat oksalat dan membatasi absorsinya. Terapi yang lain adalah memberikan suplemem megnesium, ataupun diet asam lemak rantai sedang dan trigliserida. Terdapat 3 mekanisme hiperoksaluria yang diketahui, yaitu: 1. Meningkatnya produksi oksalat, misalnya pada hiperoksaluria primer dan meningkatnya konversi dalam hati, termasuk metabolisme inborn error. 2. Meningkatnya absorpsi oksalat pada pasien dengan sindroma usus pendek atau malabsorpsi. 3. Hiperoksaluria idiopatik pada pasien batu oksalat residif. Hiperoksaluria primer terdiri atas dua tipe. A. Tipe I Autosomal resesif mengakibatkan defek dari enzym alanin glyxylate amino transferase di hepar (AGT). Hal ini akan mengakibatkan ekskresi oksalat, dan asam glikolok. Gambaran klinis ditandai nephrokalcinosis, deposit oksalat dijaringan, dan gagal ginjal, bila tidak diterapi pasien meninggal sebelum usia 20. B. Tipe II Sangat jarang dan disebabkan defisiensi enzym D gliserate dehidrogenase dan glikosilat reduktase yang menyebabkan peningkatan ekskresi oksalat dan gfiserat urin. Kedua tipe ini menyebabkan pembentukan batu pada usia muda, nefropati, dan gagal ginjal. Disamping terjadi juga peningkatan oksalat urin dan serum. Hiperurikosuria. Smith dkk, menemukan adanya peningkatan kadar urat pada pasien batu kalsium oksalat idiopatik. Usam urat meningkatkan kristalisasi kalsium oksalat dengan memfasilitasi pembentukan inti. Penambahan kristal asam urat pada larutan kalsium oksalat, supersaturasi (Degamello dan Chou, 1984) menginduksi deposit kristal kalsium oksalat pada asam urat. Baik kristal sodium hydrogen urat maupun kristal asam urat dapat menginisiasi pembentukan kristal kalsium oksalat. Hiperurikosuria ditemukan pada 24% batu kalsium. Penyebab terjadinya hiperurikosuria masih tidak pasti, karena pada pasien hiperurikosuri, jumlah sekresi urat tetap meningkat meskipun dengan diet bebas urat. Hal ini, mungkin, karena produksi urat endogen. Menurut Choe dan Kavalich (1974), intake purin yang berlebihan adalah penyebab utama hiperurikosuria. Hipositraturia Hipositraturia ditemukan pada 15 63% pasien dengan nefrolithiasis. Asidosis, mungkin merupakan faktor terpenting sebagai penyebab hipositraturia, penyebab lainnya, adalah diare kronik, pemakaian thiazide (menginduksi hipokalernia dan asidosis intraseluler) dan idiopatik. Perningkatan resorpsi sitrat di tubulus menyebabkan penurunan kadar sitrat di urin, bukan karena absorpsi di usus yang menurun. Mekanisme primer kerja sitrat adalah, pembentukan kompleks dengan kalsium sehingga dapat larut dalam urin. Hipositraturi dikatakan sebagai faktor penting yang dapat dikoreksi pada batu kalsium oksalat. Hipomagnesuria Banyak penelitian eksperimental yang

menunjang bahwa pemberian garam magnesium dapat mencegah penyakit batu. Johansson menemukan hal yang lain, defisiensi magnesium dan balans negatif magnesium tidak ditemukan pada pasien dengan batu. Lebih jauh lagi, penyebab hipornagnesuria adalah penyakit peradangan usus yang disertai malabsorpsi. Sebagian besar pasien dengan hipornagnesuria diikuti dengan hipositraturia. Keadaan ini menyebabkan menurunnya aktivitas inhibitor dan kompikso, sehingga memudahkan kristalisasi kalsium oksalat. b. Batu kalsium fosfat Predominan terdiri dari kalsium fosfat dan merupakan 10% batu ginjal. Batu kalsium fosfat murni, sangat jarang ditemukan. Lebih sering sebagai komponen batu kalsium oksalat. Lebih banyak terjadi pada wanita, seringkali berhubungan dengan defek asidifikasi tubuler. Pada kasus batu kalsium oksalat, mandatoris untuk dicari adanya Renal Tubular Acidosis (RTA). Batu kalsium fosfat, dapat terjadi pada hiperparatiroidisme primer dan sarkoidosis. c. Batu asam urat Batu ini kurang dari 5% sari seluruh batu ginjal. Insidens dari batu asam urat tinggi pada penderita gout, dan pada penyakit overproduksi dari purin seperti penyakit myeloproliferatif, glycogen stroge disecse, malignasi. Pada penyakit diare kronik seperti Crohns dan colitis ulseratif atau jejunoileal by pass dapat menyebabkan batu asam urat, melalui kehilangan bikarbonat yang akan menurunkan pH atau melalui berkurangnya produksi urin. Pengobatan dengan memelihara volume urin hingga 21/hari, pH lebih dari 6, pengurangan diet purin dan pemberian allupurinol membantu mengurangi ekskresi asam urat. Penyebab utama terjadinya kristalisasi asam urat adalah supersaturasi dari urin sehingga asam urat tidak terdisosiasi. Tidak diketallui zat apa yang bersitat sebagai inhibitor untuk pembentukan batu asam urat. Pasien dengan batu asam urat sering mengandung urin dengan keasaman dalam jangka waktu yang panjang. Kelainan yang didapat pada pasien gout antara lain sekresi amonium yang lebih sedikit dibanding orang normal sehingga banyak sisa ion H yang bebas, produksi asam urat yang meningkat disertai menurunnya kemampuan ekskresi oleh ginjal, dan akhirnya berkurangnya produksi urin. Ada tiga faktor yang terlibat dalam pembentukan batu urat, yaitu: 1. Ekskresi urat yang berlebihan (>1500mg/ hari) pada pH yang relatif rendah. 2. Absorbsi, produksi dan ekskresi urat yang lebih dari normal. 3. Jumlah urin yang menurun. Ketiga faktor ini adalah kombinasi ideal untuk terbentuknya kristalisasi asam urat. d. Batu struvit (batu infeksi) Adalab jenis batu yang pertama kali didapat pada manusia. Batu jenis ini merupakan 2 20% dari insiden batu saluran kemih. Sering dijumpai pada wanita dan kambuh dengan cepat. Batu ini terdiri dari magnesium, amonium dan fosfat yang bercampur dengan karbonat. Sering muncul sebagai batu cetak (staghorn) pada ginja dan jarang pada ureter. Batu ini adalah batu infeksi dari kuman proteus, pseudomonas, providencia, klebsiela, staphilokokus, mikoplasma dan lain lain. Benda asing dan neurogenik bladder mungkin predisposisi penderita infeksi saluran kemih yang selanjutnya akan terbentuk batu. Ada dua keadaan yang harus ada untuk terjadinya kristalisasi dari batu struvit yaitu pH urin antara 6,8 8,3 (kebanyakan diatas 7,2) dan adanya konsentrasi tinggi amonia dalam urin. Pembentukan batu struvit didukung oleh adanya infiksi dalam urin oleh bakteri yang memproduksi urease. Brown (1901) mengemukakan adanya amonia dalam urin, alkalinisasi dan pembentukan batu. Mekanisme lain yang menginduksi pembentukan batu adalah meningkatkan daya lekat kristai. Parson dkk menunjukkan kerusakan glikosarninoglikan yang normal berada pada permukaan mukosa oleh amonium. Penghilangan batu dapat dicoba dengan irigasi hemiasidrin sedangkan pengobatan jangka panjang dapat dioptimalkan dengan menghilangkan semua benda asin termasuk kateter. Namun irigasi ini hanya digunakan bila infeksi dari saluran kemih sudah terkontrol. e. Batu sistin Batu ini hanya 1% dari semua batu saluran kemih dan terjadi hanya pada pasien dengan sistinuria. Sistinuria adalah penyakit yang diturunkan secara resesif otosomal. Pada penyakit ini terjadi defek transpur transepitelial yang menyebabkan gangguan absorbsi sistin di usus dan tubulus proksimal. Batu sistin terbentuk karena sistin sukar larut dalam keadaan pH urin yang normal dan ekskresi dari ginjal yang berlebihan. Solubilitas dari sistin adalah pH dependen, solubilitasnya akan rendah pada pH yang rendah dan sebaliknya. Diagnosis dari sistinuria dicurigai bila onset dini dari batu ginjal, dan riwayat keluarga, dan riwayat kambuh. Dari pemeriksaan urin didapatkan sodium nitropruside yang positif. Kadar sistin di urin > 250 mg/hari sifatnya diagnostik. Terapi medik dengan intake cairan lebih dari 3 liter sehari. f. Batu Xantin Batu santin sangat jarang terjadi, insidennya 1/2500 batu, merupakan kelainan konginital. Xantinuria yang diturunkan menyebabkan pembentukan batu xantin, yang radiolusen dan kadang menyerupai batu asam urat. Xantinuria adalah kelainan metabolisme yang diturunkan secara resesif otonom dengan ciri defisiensi enzim xantin oksidase. Oksidasi hipoxantin

menjadi xantin dan kemudian terhenti. Kadar urat rendah < 1,5 mg/dl, sedangkan kadar xantin dan hipoxantin pada serum dari urin meninght. Karena xantin lebih sulit larut dari hipoxantin, maka batu xantin terbentuk. Pengobatan tergantung gejala yang ditimbulkannya. Intake cairan yang tinggi dan alkalinisasi urin diperlukan untuk profilaksis. g. Lain lain Batu silikat adalah batu ginjal yang sangat jarang dan biasanya berhubungan dengan penggunaan jangka panjang dari antasida yang mengandung silica, seperti produk yang mengandung magnesium silikat. Terapi pembedahan saina dengan batu yang lain. Batu triamteren akhir akhir ini frekuensinya meningkat berhubungan dengan penggunaan anti hipertensi seperti dyazide. Penghentian peggunaan obat akan mencegah rekurensi. D. GAMBARAN KLINIK DAN DIAGNOSIS Gerakan peristaltik ureter yang mencoba mendorong batu ke distal akan menyebabkan kontraksi yang kuat dan dirasakan sebagai nyeri hebat (kolik). Nyeri ini dapat menjalar hingga ke perut bagian depan, perut sebelah bawah, daerah inguinal, dan sampai ke daerah genetalia. Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing. Batu yang ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi peradangan (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronik berupa hidroureter/hidronefrosis. Diagnosis batu ureter dapat ditegakkan dengan dilakukan foto polos abdomen (BNO), tetapi hanya untuk melihat adanya batu radio-opak. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain. Sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen). Urutan radiopasitas beberapa batu saluran kemih seperti pada tabel 1. Tabel1: Urutan Radio-opasitas beberapa jenis batu saluran kemih JENIS BATU RADIO-OPASITAS Kalsium Opak MAP Semiopak Urat/Sistin Non opak Intravenous Pyelografi (IVP) dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. IVP merupakan pemeriksaan terpilih dalam mendiagnosis batu ureter. Ultrasonografi (USG) dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Adakalanya USG dapat mendeteksi batu pada ureterovesival junction yang tidak terlihat pada helical CT atau IVP. Magnetic Resonance Imaging (MRI), walaupun bukan merupakan perangkat diagnostik yang utama dalam mendeteksi batu ureter, akan tetapi MRI merupakan pilihan yang tepat untuk mengetahui batu ureter pada wanita hamil yang tidak terdiagnosis dengan USG. Penelitian yang melibatkan 40 pasien dengan nyeri regio flank akut, MRI mempunyai sensitifitas 54-58% dan spesifisitas 100 %. Pemeriksaan sedimen urine menunjukkan adanya: leukosituria, hematuria, dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea. Pemeriksaan faal ginjal bertujuan untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan IVP. Perlu juga diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih (antara lain kadar: kalsium, oksalat, fosfat maupun urat didalam darah maupun dalam urine). E. PENATALAKSANAAN Terapi pada batu ureter distal meliputi: 1. Konservatif 2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) 3. Ureteroskopi (URS) 4. Bedah terbuka Ad.1. Konservatif Batu ureter distal dengan diameter < 4 mm akan mempunyai kemungkinan besar untuk dapat melewati ureter secara spontan dan bila diameter > 10 mm sangat tidak mungkin untuk dapat melewati ureter. Pada suatu penelitian, batu ureter distal dengan diameter 4-6 mm, 25% dapat melewati ureter secara spontan selama 2,8 minggu. Pada penelitian serial yang lain, batu dengan diameter 2-4 mm, 95% dapat melewati ureter secara spontan selama 40 hari, walaupun tindakan observasi dapat menyebabkan komplikasi seperti infeksi saluran kemih, hidronefrosis, dan mempengaruhi fungsi ginjal. Untuk itu, sangat sulit untuk memilih kapan kita memilih terapi mini-invasif atau observasi, khususnya bila pasien mengeluhkan beberapa gejala dan atau batu dengan ukuran yang kecil. Saat ini, manfaat observasi (watchfull waiting) diperluas dengan adanya gabungan terapi farmakologi yang dapat mengurangi gejala dan keluarnya batu ureter secara spontan. Penelitian Margaret S.Pearle (2003) melaporkan efektifitas alpha 1-adrenergic antagonis (tamsulosin) pada penanganan batu ureter dengan diameter ?1cm di juxtavesical junction. Francesco P, et all (2004) melaporkan perbandingan penggunaan calcium antagonist (nifedipine 30 mg) slow release dengan alpha 1-adrenergic antagonis (tamsulosin 0,4mg). Masing-masing pasien mendapatkan kortikosteroid (deflazacort 30 mg) dan 200 g mysoprostol. Hasilnya didapatkan 80% pasien yang mendapatkan Nifedipine 30 mg melewati ureter secara spontan, dan 85% pada kelompok

yang mendapatkan tamsulosin 0,4 mg. Kortikosteroid Golongan ini merupakan anti inflamasi yang kuat yang dapat mengurangi inflamasi yang terjadi di ureter. Kortikosteroid juga memiliki efek metabolik dan imunosupresif. Kombinasi dengan nifedipin atau tamsulosin dapat meningkatkan efek pasase batu ureter spontan. Golongan yang dipakai adalah prednisolon (econopred, pediapred, deltacortef, deflazacort). Dosis dewasa adalah 25 mg peroral selama 5-10 hari. Calcium Antagonis (Calsium Channel Blockers) Mekanisme kerja golongan ini terhadap otot polos adalah menghambat atau memperkecil masuknya ion kalsium kedalam sel sehingga konsentrasi ion kalsium bebas intrasel akan berkurang. Hal ini akan menyebabkan tonus otot menurun dan akan terjadi vasodilatasi. Obat yang digunakan untuk penanganan batu ureter adalah nifedipin 30 mg slow release selama 5-10 hari. Kombinasi dengan kortikosteroid akan memperkuat efek relaksasi otot polos. Efek kalsium antagonis terhadap penurun tekanan darah akan semakin besar jika tekanan darah awalnya makin tinggi. Pada orang dengan tekanan darah normal, pada penggunaan obat dengan dosis terapeutik, tekanan darah hampir tidak berubah. Alpha Adrenergic Blockers (? blockers) Mekanisme kerjanya adalah memblok reseptor adrenergik (istilah dulu yaitu simpatolitika). Yang termasuk ? blockers yaitu : 1. alkaloid secale 2. ?-reseptor bloker non selektif 3. ?1-reseptor bloker selektif 4. fenoksibenzamin yang bekerja non kompetitif Golongan ? blockers yang dipakai dalam terapi batu ureter adalah golongan ?1-reseptor bloker selektif, oleh karena senyawa ini bekerja hampir sempurna hanya pada reseptor ?1 sehingga hanya menghambat alpha adrenergic post sinaps yang akan mengakibatkan vasodilatasi otot polos. Penggunaan bersamaan dengan kortikosteroid akan meningkatkan efek relaksasi otot polos. Jenis obat yang dipakai adalah Tamsulosin 0,4 mg peroral. Ad.2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) ESWL memakai energi tinggi gelombang kejut yang dihasilkan oleh suatu sumber untuk menghancurkan batu. Pecahan batu akan keluar dalam urine. Prosedur dapat dilakukan tanpa anastesi, dengan analgetika, atau dengan anastesi umum maupun regional. Efek samping terdiri dari hematuria ringan, kadang-kadang nyeri kolik yang mudah diobati. Terapi ulangan bukanlah suatu komplikasi. Pada setiap terapi dengan ESWL, terapi ulangan harus sudah diantisipasi. Untuk batu ureter biasanya terapi ulangan lebih banyak dilakuka daripada batu ginjal. Keberhasilan ESWL sebanding dengan ukuran batu, dan biasanya tidak dipakai untuk batu yang ukurannya lebih dari dua sentimeter. ESWL kurang efektif dan lebih mahal dibandingkan dengan URS untuk pengobatan batu ureter distal.9,10 Gambar 3. Penggunaan EWSL untuk memecah batu ureter Ad.3. Ureteroskopi (URS) Pada prosuder ini suatu endoskopi semirigid atau fleksibel dimasukkan kedalam ureter lewat buli-buli dibawah anastesi umum atau regional. Perkembangan di bidang optic memungkinkan kita memakai ureteroskop yang semirigid, sehingga alat ini relative lebih tahan lama daripada jenis lama yang rigid. Ureteroskop yang fleksibel lebih mahal dan memerlukan biaya pemeliharaan yang mahal pula,, tetapi dengan alat ini dapat dicapai batu dalam kaliks ginjal dan dapat diambil atau dihancurkan dengan sarana elektrohidraulik atau laser. Indikasi URS dan lithoclast sebagai berikut : Besar batu >4mm sampai ? 15 mm Ukuran batu ?4mm dilakukan bila gagal dengan terapi konservatif, intractable pain dan pekerjaan yang mempunyai resiko tinggi bila terjadi kolik. Setelah URS dapat ditinggalkan double-J stent dan biasanya dipertahankan antara 2-6 minggu. Indikasi pemasangan DJ stent: Laserasi dengan perdarahan Laserasi tanpa perdarahan Striktur ureter Batu di ginjal Ad.4. Operasi Terbuka Sejak adanya URS dan ESWL untuk penanganan batu uter distal, operasi terbuka bukan merupakan pilihan yang utama lagi. Operasi terbuka dilakukan pada batu ureter dimana terjadi stenosis pada ureter atau malrotasi ureter sehingga pada keadaan ini diperlukan operasi rekonstruktif. Saat ini, operasi terbuka menjali pilihan terapi untuk memperbaiki komplikasi atau sekuele dari tindakan prosedur endourologi yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan stent. Tabel 1. Estimasi hasil terapi pada batu ureter distal H a s i l SWL URS PNL Operasi terbuka Kemungkinan bebas batu dengan ukuran ?1 cm 85% 89% Tidak ada data 90% Kemungkinan bebas batu dengan ukuran >1 cm 74% 73% Tidak ada data 84% Kemungkinan untuk timbul komplikasi akut (mis: kematian, kehilangan ginjal dan transfusi darah) 4% 9% Tidak ada data Tidak ada data Kemungkinan untuk membutuhkan tindakan intervensi sekunder 10% 7% Tidak ada data 18% Komplikasi jangka panjang (mis:striktur ureter

You might also like