You are on page 1of 161

Oleh : Drs H Misno A Lathief, M.

Pd

BAB I PENDAHULUAN

1. Visi, Misi, dan Tujuan ISBD Visi dapat diartikan sebagai jangkauan pandangan ke depan yang merupakan idealisasi dari suatu usaha atau perjuangan. Dalam konsep yang lebih abstrak dapat disetarakan dengan dengan suatu cita-cita, namun cita-cita yang lebih dekat jangkauannya, sehingga sangat berpeluang untuk direalisasikan melalui usaha atau perjuangan tersebut. Sementara itu misi merupakan suatu usaha atau perjuangan yang dilakukan untuk mencapai suatu visi. Visi dan misi ibarat kedua sisi mata uang, di mana masing-masing sisinya berfungsi saling melengkapi dan memaknai substansinya, sehingga bisa difungsikan untuk mewujudkan harapan dari subyek yang memilikinya. Ketiadaan satu sisi dari mata uang tersebut akan menghilangkan makna sisi lainnya. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar sebagai komponen pengetahuan dasar diberikan di perguruan tinggi memiliki visi ; berkembangnya mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan moral dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan misinya ialah memberikan landasan dan wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, peka, dan arif pada mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk sosial yang beradab serta bertanggungjawab terhadap sumber daya dan lingkungannya. Adapun tujuan dari Ilmu Sosial dan Budaya Dasar diberikan di perguruan tinggi adalah sebagai berikut. 1) Mengembangkan kesadaran mahasiswa menguasai pengetahuan tentang keanekaragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia sebagai individu dan makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat. 2) Menumbuhkan sikap kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesederajatan, dan kemartabatan manusia dengan landasan nilai estetika, etika, dan moral dalam kehidupan bermasyarakat. 3) Memberikan landasan pengetahuan dan wawasan yang luas serta keyakinan kepada mahasiswa sebagai bekal bagi hidup bermasyarakat, selaku individu dan mahkluk sosial yang beradab dalam mempraktikkan pengetahuan akademik

dan keahliannya dan mampu memecahkan masalah sosial budaya secara arif. 2. Pengertian Fungsi dan Ruang Lingkup Sebelum mempelajari matakuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD), ada baiknya kalau kita mengenali lebih awal pengertian tentang ilmu baik secara etimologis maupun definitif. Dengan mengenali konsep dasarnya kita akan dapat mengidentifikasi, apakah matakuliah ISBD termasuk suatu ilmu pengetahuan, pengetahuan dasar, atau sekedar pengetahuan. Masing-masing istilah ini mempunyai arti yang sangat berbeda. Apalagi kalau dilihat dari kaca mata keilmuan. Secara etimologis kata ilmu merupakan kata serapan dari kata ilman (bahasa Arab) yang artinya pengetahuan. Kata ilman sendiri berasal dari kata kerja alima (fiil madli/pasttense) , artinya tahu atau telah mengetahui. Sedang kan kata kerja masa kininya (fiil mudlori/presenttense) ialah yalamu yang berarti sedang mengetahui. Sementara kata bendanya (noun) dari kata alima tersebut adalah ilman; yang berarti pengetahuan. Jadi kata ilman inilah yang kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi ilmu. Diakui perbendahaaraan bahasa Indonesia banyak yang menyerap dari bahasa asing, apakah itu bahasa Arab, Inggris, Belanda, Cina, atau yang lainnya. Jangankan bahasa Indonesia bahasa daerah (Jawa misalnya), juga banyak menyerap dari bahasa asing. Sebagai contoh kata full (Inggris) diserap menjadi pol artinya penuh. Atau empthy diserap menjadi entek artinya kosong atau habis. Kata mripat adalah serapan dari kata marifat (bahasa Arab) artinya mata atau melihat. Contoh yang yang lain, kata seperti botol, bakso, administrasi, transportasi, semuanya adalah serapan dari unsur bahasa asing; Belanda, Cina, dan Inggris yang sekarang telah menjadi bahasa Indonesia. Kembali pada konsep awal bahwa ilmu secara etimologis atau harfiyah artinya ialah pengetahuan. Pengetahuan di sini menyangkut berbagai aspek kehidupan dan benda yang ada di sekitar manusia. Semua benda atau yang lainnya yang dikenali lewat indera dapat dikatakan pengetahuan. Indera mata dapat mengenali ujud, warna, dan sifat atau kualita dari suatu benda. Pelangi kelihatan indah karena indera mata yang mampu memberikan sifat atau kualita pada pelangi sehingga dikatakan indah. Hal demikian tidak bisa dikenali oleh indera lainnya, karena masing-masing memiliki bidang yang terpisah. Suara seseorang yang melantunkan suatu lagu, ternyata bisa dinikmati begitu nyaman oleh penggemarnya. Dari kejauhan tempat masjid suara muadzdzin dapat didengar sayup sampai,

dan juga desiran daun-daun tumbuhan yang diterpa angin semuanya dapat didengar oleh telinga. Hal ini berarti bahwa indera telingga mendapat pengetahuan tentang suara tersebut. Namun demikian telingga tidak mampu mengidentifikasi bagaimana rasanya garam, gula, buah-buahan, atau lezatnya makanan yang diolah dengan resep mutakhir. Ini berarti telingga tidak mampu menangkap pengetahuan tentang rasa kecuali hanya indera pengecap yang dapat melakukannya. Demikian juga kondisi suatu benda apakah kasar atau halus, hal seperti ini tidak dapat ditangkap oleh indera-indera tersebut. Yang dapat menangkap pengetahuan tentang keadaan suatu benda kasar atau halus hanya indera peraba. Hal ini berarti bahwa indera peraba bisa mendapatkan pengetahuan tentang halus atau kasarnya suatu benda. Selanjutnya bagaimana aroma suatu benda abstrak yang tidak tampak ujudnya, ternyata bisa ditangkap oleh indera penciuman atau hidung. Dengan kemampuan kepekaannya, manusia selalu bisa merasakan kehidupan ini dengan aman dan nyaman. Ia akan berbinar wajahnya sambil tersenyum tatkala indera hidungnya menangkap aroma yang kebetulan sangat disukainya. Ia benar-benar bisa menikmati betapa sedap, harum, lezat atau rasa apa saja sehingga ia menjadi senang ketika hidungnya menangkap aroma pengetahuan bau tersebut. Sebaliknya dengan kemampuan indera ini manusia bisa menghindarkan diri dari aroma bau yang ternyata tidak sesuai dengan seleranya. Suatu misal ketika seseorang berada dalam suatu kerumunan tiba-tiba ia ribut sendiri, ngedumel sambil menutup lobang hidungnya. Ia berteriak-teriak sambil mengumpat yang tidak jelas kepada siapa umpatannya ditujukan. Sementara itu temannya yang merasa melepas benda abstrak tersebut tenang-tenang saja, bahkan bisa tersenyum karena dengan lepasnya gas tersebut, ia bisa terhindar dari rasa mual atau sakit perut. Begitu juga yang kebetulan menghirup aroma bau yang tidak disukainya itu, mereka berusaha menutup lobang hidungnya agar terhindar dari ketidaknyamanan yang sedang dihadapinya. Semua yang dijelaskan di atas adalah gambaran bahwa pengetahuan tidak terbatas dan memiliki bidang yang sangat luas, sehingga dapat dikatakan bahwa semua hal yang dikenali atau diketahui oleh indera manusia dapat disebut pengetahuan. Pengetahuan seperti ini belum ada spesifikasi, belum terkelompokkan secara khusus dan masih bersifat umum, sehingga menjadikan pengetahuan tampak sangat luas dan kompleks.

Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang di dalamnya sudah terdapat suatu pengelompokan berdasarkan obyek kajiannya, maka ilmu pengetahuan sifatnya terbatas pada bidang yang bersangkutan. Namun dengan sifat yang telah membatasi diri ini, kajian ilmu pengetahuan menjadi sangat mendalam. Dengan sifatnya yang demikian lahirlah berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Pendidikan, Ilmu Kedokteran Umum, Ilmu Hukum, Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, dan lainnya. Berdasarkan uraian tersebut akhirnya dapat didefinisikan secara sederhana bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu pengetahuan yang telah dihimpun dan disusun secara obyektif, metodis, dan sistematis. Ilmu pengetahuan disusun secara obyektif, artinya ilmu pengetahuan itu disusun berdasarkan obyek yang menjadi bidang kajiannya. Obyek suatu ilmu pengetahuan ada dua macam. Pertama disebut dengan obyek materia, dan kedua disebut obyek forma. Obyek materia yaitu obyek kajian bidang ilmu yang bersifat masih sangat umum atau makro. Karena obyeknya yang sangat umum ini, maka dapat terjadi kesamaan obyek materia antara satu ilmu pengetahuan tertentu dengan ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai contoh : Obyek materia Ilmu Pendidikan adalah manusia. Hal ini sama dengan obyek materia Ilmu Kedokteran Umum, Ekonomi, dan Hukum. Namun demikian walaupun berbagai jenis ilmu pengetahuan tersebut mempunyai obyek materia yang sama, tetapi obyeknya formanya pasti dan harus berbeda, sebab apabila suatu ilmu pengetahuan memiliki obyek forma yang berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lain, maka sebenarnya di antara keduanya adalah termasuk ilmu pengetahuan yang sama. Obyek forma yaitu obyek kajian suatu ilmu pengetahuan yang sudah bersifat khusus, spesifik atau mikro. Artinya secara khusus dan mendalam ilmu pengetahuan mempelajari, mengkaji, mengembangkan, dan menyebarluaskan, obyek formanya demi untuk kepentingan kesejahteraan manusia. Atau dengan kata lain obyek forma suatu ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang diperjuangkan oleh ilmu pengetahuan yang bersangkutan demi untuk kemanusiaan. Kalau obyek materia Ilmu Pendidikan, Ilmu Kedokteran Umum, Ilmu Hukum, dan Ilmu Ekonomi semuanya adalah sama, yaitu manusia, maka obyek forma masing-masing dari ilmu pengetahuan tersebut ialah apa yang diperjuangkan oleh masing-masing. Namun perlu diingat bahwa muara dari semua kajian dan pengembangan ilmu pengetahuan ialah untuk kesejahteraan atau kebahagiaan hidup manusia. Kalau terjadi sebaliknya, berarti secara azas moral keilmuan berarti terjadi suatu penyimpangan. Biasanya yang demikian ini merupakan

ulah dari keserakahan manusia dalam hidup yang hanya ingin memuaskan ambisinya sekalipun harus mengorbankan orang lain. Ilmu pengetahuan bersifat metodis, hal ini berarti bahwa ilmu penge-tahuan tersebut dalam upaya mengembangkan jati dirinya untuk kemanusiaan, memiliki metode-metode penyelidikan. Artinya metode-metode penyelidikan yang ada dalam dunia keilmuan selalu dipergunakan sebagai cara alat atau cara untuk menyelidiki obyek formanya. Selain ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan manusia, upaya penyelidikannya ini juga untuk perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Keberadaan suatu ilmu pengetahuan yang semula sederhana akhirnya terus berkembang menjadi semakin kompleks. Keberhasilan penemuan kapal terbang yang pada awalnya hanya bisa terbang selama 12 detik dengan dikayuh kaki beberapa orang, kini sudah sangat jauh kondisinya. Kecepatan kapal terbang generasi masa kini sudah melampaui kecepatan suara, sehingga mampu menembus ruang angkasa sampai ke bulan, mars, atau planet lainnya. Metode-metode penyelidikan ilmu pengetahuan antara lain berupa metode; observasi, wawancara, angket, demonstrasi, eksperimen, catatan anekdot, sosiometri, dan lainnya. Tidak semua jenis metode penyelidikan ini selalu dipergunakan secara bersamaan, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu masing-masing metode penyelidikan memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh sebab itu dalam penggunaannya kadang-kadang beberapa metode dipadukan secara bersamaan. Dengan cara ini kekurangan suatu metode dapat dibantu oleh kelebihan metode yang lain. Seorang dokter dalam menghadapi pasien ia akan mempergunakan beberapa metode sekaligus. Tujuannya tidak ada lain kecuali untuk memberikan suatu layanan sebaik mungkin agar pasiennya bisa memperoleh kesembuhan. Ketika menghadapi pasien dokter biasanya akan menanyakan apa yang anda keluhkan ?, sejak kapan ? dan seterusnya (metode wawancara). Kemudian dokter meminta kepada pasien agar membuka mulutnya, kemudian dilihat dengan menggunakan alat senter kecil, dicek denyut jantungnya, tensinya (observasi) kemudian dibuatkan suatu resep (eksperimen) dengan pesan (wawancara) agar obatnya diambil di apotik dan diminum misalnya 3 kali sehari, masing-masing 1 tablet. Ada kalanya sambil diberi pesan kalau tiga hari belum baik silahkan datang lagi ke sini ya. Begitu seterusnya hingga pasien betul-betul memperoleh kesembuhan. Berbagai metode tersebut bisa juga dipergunakan oleh bidang ilmu pengetahuan yang lain. Misalnya dalam bidang

hukum, ketika seorang polisi bertanya kepada saksi tentang kejadian suatu perkara (wawancara), penyelidikan di tempat kejadian perkara (observasi), rekonstruksi kejadian suatu perkara (demonstrasi), dan seterusnya. Melalui penggunaan metode-metode tersebut, maka suatu rangkaian kejahatan dapat diungkap, sehingga pelaku dapat dikenai suatu hukuman sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggarnya. Selanjutnya ilmu pengetahuan bersifat sistematis, maksudnya ialah bahwa ilmu pengetahuan itu sudah memiliki pembidangan sesuai dengan jatidirinya. Sudah dikelompokkan sesuai dengan bidangnya, sehingga tidak bercampur baur dengan ilmu pengetahuan yang lain. Namun demikian ilmu pengetahuan satu dengan yang lain tidak selalu dikhotomis, sebab ada sebagian ilmu pengetahuan yang berhubungan erat dengan ilmu pengetahuan yang lain, sehingga pembahasannya kadang-kadang bersinggungan. Selain itu sifat sistematis ilmu pengetahuan yaitu terletak pada sifat pemaparannya yang runtut. Artinya suatu ilmu pengetahuan yang ditulis selalu mengikuti logika tertentu, sehingga akan membantu konsumennya untuk segera bisa memahami substansi dari ilmu pengetahuan tersebut. Sebuah artikel yang ditulis oleh seseorang dapat dipastikan telah disusun secara sistematis, agar pemaparan buah pikiran penulisnya mudah dipahami oleh pembaca. Atau contoh yang lebih konkrit lagi, sebuah buku yang ditulis oleh pengarangnya, dipaparkan mulai dari bab I, bab II, bab III, dan seterusnya adalah gambaran sebuah sistematika pembahasan yang runtut atau sistematis. Pengertian Ilmu Sosial dan Budaya Dasar a. Latarbelakang Pada mulanya ISBD merupakan dua jenis matakuliah terpisah yang masing- masing berdiri sendiri dengan nama Ilmu Sosial Dasar (ISD) dan Ilmu Budaya Dasar (IBD). Dalam struktur kurikulum perguruan tinggi kedua matakuliah termasuk komponen matakuliah umum (MKU), yaitu matakuliah yang diorientasikan kepada upaya untuk membantu perkembangan kepribadian mahasiswa sebagai calon akademisi agar tidak terjebak ke dalam keahlian atau disiplin ilmu yang ditekuni. Dengan memperoleh matakuliah umum, kepekaan dan kepedulian mahasiswa terhadap persoalan-persoalan sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat akan semakin tajam, terutama jika nantinya telah terjun dalam masyarakat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan masyarakat terhadap lulusan perguruan tinggi juga semakin kritis. Kualitas lulusan menjadi bahan perbincangan kalangan calon penggunanya. Masyarakat

menghendaki agar lulusan perguruan tinggi dapat secara langsung diterima di berbagai bidang lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Kondisi seperti ini mengharuskan dunia pendidikan terutama perguruan tinggi segera meresponnya. Departemen Pendidikan Nasional dalam hal ini tanggap terhadap tuntutan masyarakat tersebut. Kurikulum nasional di perguruan tinggi yang berlaku saat itu terus diupayakan untuk dikembangkan agar mampu menjawab tuntutan masyarakat yang semakin kompleks. Upaya ini diawali dengan lahirnya Surat Keputusan Mendiknas No. 232 tahun 2000, tentang Pedoman Penyusunan Kuri-kulum Pendidikan Tinggi, dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Berdasarkan surat keputusan tersebut, pemerintah tidak lagi menyiapkan kurikulum perguruan tinggi secara nasional, melainkan setiap perguruan tinggi supaya mengembangkan sendiri kurikulumnya, sesuai dengan kebutuhan stake holders setempat. Oleh karena itu di dalam merancang kurikulum, perguruan tinggi diharapkan melibatkan masyarakat, terutama masyarakat calon pengguna lulusan atau stake holders tersebut. Berbeda dengan yang berlaku sebelumnya, di mana setiap terjadi perkembangan atau perubahan kurikulum, pemerintah melalui Dirjen Dikti selalu menyiapkan kurikulum nasional atau kurikulum inti. Perguruan tinggi tinggal melaksanakan kurikulum tersebut. Namun tidak demikian sebagaimana dituangkan dalam SK no. 232 tahun 2000 tersebut, di mana setiap perguruan tinggi diberi kewenangan mengembangkan kurikulum sendiri, sehingga punya ciri khas perguruan tinggi yang bersangkutan. Dengan mengembangkan kurikulum sendiri, maka kebutuhan masyarakat terhadap lulusan perguruan tinggi akan teradopsi. Di sinilah sisi pentingnya perguruan tinggi melibatkan masyarakat (stake holders) dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum. Namun dalam perjalanan yang memakan waktu hampir dua tahun belum semua perguruan tinggi siap menghasilkan kurikulum seperti yang dikehendaki oleh Dirjen Dikti. Menyikapi kondisi tersebut pemerintah melalui Mendiknas segera mengambil langkah, yaitu dengan mengeluarkan SK No. 045 tahun 2002, tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Di dalam SK tersebut terdapat pengelompokan sejumlah matakuliah yang ada di perguruan tinggi. Pengelompokan tersebut meliputi: matakuliah pengembangan kepribadian (MPK), matakuliah keilmuan dan keterampilan (MKK), matakuliah keahlian berkarya (MKB), matakuliah prilaku berkarya, dan matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB). Kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) merupakan kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk

mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap dan mandiri, serta mempunyai rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Matakuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia). Kelompok matakuliah keilmuan dan keterampilan (MKK) merupakan kelompok bahan kajian dan pelajaran yang ditujukan terutama untuk memberikan landasan penguasaan ilmu dan keterampilan tertentu. Kelompok matakuliah keahlian berkarya merupakan kelompok bahan kajian dan pelajaran yang bertujuan menghasilkan tenaga ahli dengan kekaryaan berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai. Kelompok matakuliah perilaku berkarya (MPB) merupakan bahan kajian dan peajaran yang bertujuan untuk membentuk sikap dan prilaku yang diperlukan seseorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai. Sedangkan kelompok matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB) adalah kelompok bahan kajian dan peajaran yang diperlukan seseorang untuk dapat memahami kaidah kehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya (ISBD dan IAD). Untuk kelompok matakuliah MBB secara nasional telah disiapkan rambu-rambu pelaksanaannya. Rambu-rambu ini dituangkan dalam SK Dirjen Dikti No. 30/ Dikti/Kep/2003, tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat di Perguran Tinggi Indonesia. Di dalam surat keputusan tersebut kedua matakuliah (ISD dan IBD) yang semula berdiri sendiri dan termasuk matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) disatukan menjadi matakuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, dan masuk komponen Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Walaupun telah diterbitkan SK tersebut, namun kenyataan di lapangan masih ada perguruan tinggi yang belum merespon positip terhadap keberadaan matakuliah berkehidupan bermasyarakat. Jurusan dan atau program studi mengembangkan kurikulum sesuai spesifikasinya sendiri-sendiri. Bahkan ada yang secara tegas tidak memasukkan MBB ke dalam kurikulumnya, sehingga matakuliah ISBD bagaikan ditelan zaman. Kondisi ini akhirnya teratasi dengan lahirnya SK Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006, tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi, dan No. 44/Dikti/Kep/2006, tentang RambuRambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) di Perguruan Tinggi. Dengan lahirnya kedua surat keputusan tersebut keberadaan matakuliah

pengembangan kepribadian dan matakuliah berkehidupan masyarakat menjadi semakin jelas dan mantap. Berdasarkan kedua surat keputusan tersebut, semua kurikulum perguruan tinggi wajib memuat kedua kelompok matakuliah tersebut, yaitu Matakuliah Pengembangan Kepribadian yang terdiri atas; matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, dan bahasa Indonesia, dan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat yang terdiri atas; matakuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD), dan Ilmu Kealaman dasar (IAD). Semua jenis matakuliah ini sudah harus diberlakukannya pada semester ganjil 2006/2007. b. Pengertian Ilmu Sosial dan Budaya dasar Seperti dijelaskan di atas bahwa matakuliah ini pada mulanya adalah matakuliah yang berasal dari dua matakuliah yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Namun dalam perjalanannya akhirnya berdasarkan surat keputusan Dirjen Dikti Depdiknas No. 30/Dikti/Kep.2003 kedua matakuliah (ISD dan IBD) digabung menjadi satu matakuliah dengan nama Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD). Sehubungan dengan itu untuk memahaminya kiranya perlu dikenali dari konsep awalnya masing-masing, yaitu sebagai Ilmu Sosial Dasar (ISD) dan Ilmu Budaya Dasar (IBD). Istilah Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, dan satu lagi Ilmu Alamiah dasar, sama sekali tidak mengatakan bahwa matakuliah dengan nama-nama tersebut masing-masing memperkenalkan dasar-dasar dari ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu budaya, dan ilmu-ilmu alamiah. Yang benar adalah bahwa masing-masing matakuliah tersebut ingin membuka pagar-pagar yang membatasi disiplin-disiplin yang membentuk masingmasing kelompok ilmu tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut yang dimaksudkan dengan disiplin ilmu adalah: scientific study of some aspect or segment of reality (penyelidikan ilmiah terhadap beberapa aspek atau segmen realita). Contoh disiplin ilmu misalnya: sosiologi, filsafat, fisika, dan lainnya. Biasanya disiplin-disiplin ilmu yang tergolong IAD adalah: fisika, kimia, astronomi, geologi, meteorologi, dan biologi. Lima ilmu yang mendahului ini mewujudkan ilmu-ilmu fisis, sedangkan yang terakhir ilmu-ilmu biotis dengan rincian utama: zologi, fitologi, dan fisiologi manusia. Adapun ilmu sosial dasar meliputi dua kelompok utama, yaitu: studi manusia dan masyarakat, dan studi lembaga-lembaga sosial. Yang terdahulu terdiri atas: psikologi, sosiologi, dan antropologi, sedangkan yang kemudian terdiri atas ekonomi dan politik. Ilmu Budaya dasar bisanya

dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama seni (sastra, musik, seni rupa, seni tari dan berpidato), sejarah, agama dan filsafat. Sejak manusia hidup dalam kondisi sederhana, seni menempati posisi yang penting dalam kehidupannya sehri-hari. Sejarah umat manusia juga menunjukkan bahwa di dalam seni itu terdapat beberapa dari kebanyakan ekspresi manusia yang menonjol dalam pengertiannya atas eksistensinya sendiri. Sastra yang diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi berpendekatan kritik literer, di dalamnya tercakup hakikat sastra, analisisnya, evaluasinya, dan tempatnya di dalam kehidupan manusia. Adapun seni rupa dan musik seringkali masih sekedar diajarkan untuk keterampilan seni belaka, jadi belumlah sebagai pemberian bekal pemerkaya pemilikan budaya intelek bersama. Sejarah yang diajarkan sebagai disiplin yang menelaah manusia di dalam dimensi waktu dengan mengutamaan telaahnya pada masa lampaunya. Manusia di situ dilukiskan sebagai ciptaan Allah, makhluk pencipta budaya dan makhluk pencipta peradaban. Melalui perubahan budaya dan perubahan peradaban pengajar sejarah bermaksud memahamkan isi pengalaman buat manusia di masa lampau serta kondisinya sekarang sebagaimana terdapat berbagai kelompok kehidupan. Mahasiswa yang mempelajari sejarah diharapkan menemukan identitasnya sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat agama, sebagai warga suatu bangsa, dan warga umat manusia. Sehubungan dengan sejarah kebudayaan haruslah lebih ditonjolkan dari sejarah politik dan sejarah ekonomi. Retorika yang ada terbagi menjadi jenis lisan dan yang tertulis seringkali dipandang sebagai suatu keterampilan belaka dengan akibat bahwa yang dicapai melalui retorika tertulis hanyalah materi obyektif atau mekanisme mengungkapkan berdasarkan tata bahasa melalaui komposisi tertulis. Pada hal tujuan yang sebenarnya dari retorika tertulis adalah melatih mahasiswa untuk menulis prosa dengan idiom yang baik dan gaya bahasa yang berlaku berdasarkan logika yang layak. Melalui latihan yang banyak di bawah bimbingan dosen yang cakap, retorika tertulis harus mampu memberikan keterampilan untuk meneruskan, berdalih, membuktikan dan menghimbau. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ditetapkan bahwa retorika sekedar diajarkan sebagai keterampilan itu harus lain dengan yang diberikan melalui sejarah sastra dan kritik sastra. Retorika tertulis dekat sekali pertaliannya dengan linguistik, sejarah bahasa, serta tata bahasa. Dalam mengajarkan retorika tertulis mahasiswa diajak bergaul dengan logika informal, khususnya bidang yang terkenal dengan sebutan logical fallacies atau logika semu.

10

Dalam kehidupan sehari-hari manusia berkomunikasi dengan sesamanya secara langsung sehingga membutuhkan retorika lisan. Ilmu Budaya Dasar jika memberikan retorika lisan haruslah pada praktek berpidato di muka umum menurut gaya bahasa yang berlaku, berdasarkan struktur bahasa yang logis dan syarat-syarat keterampilan mengungkapkan pikirannya secara lisan sama pentingnya yang secara tertulis. Setelah mengenali pembagian ilmu pengetahuan ke dalam tiga bidang lapangan ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu sosial, pengetahuan budaya, dan ilmu-ilmu alamiah) sebagaimana dikemukakan di atas, maka Ilmu Sosial Dasar bersama-sama dengan Ilmu Budaya Dasar dan Ilmu Alamiah Dasar pada dasarnya merupakan satuan-satuan pengetahuan yang didasarkan pada pembagian tersebut di atas, yang merupakan pengetahuan yang dikembangkan sebagai usaha pendidikan. Ilmu sosial dasar merupakan pengetahuan yang menelaah masalah-masalah sosial, khususnya masalah-masalah yang diwujudkan oleh masyarakat Indonesia, dengan menggunakan pengertian-pengertian (fakta, konsep, teori) yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan keahlian dalam lapangan ilmu-ilmu sosial (geografi sosial, sosiologi, antropologi sosial, ilmu politik, ekonomi psikologi sosial, dan sejarah) Dengan demikian Ilmu Sosial Dasar merupakan suatu pengetahuan dasar yang berusaha memberikan pengetahuan umum dan pengetahuan dasar tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji gejala-gejala sosial agar daya tanggap, persepsi dan penalaran mahasiswa dalam menghadapi lingkungan sosial dapat ditingkatkan. Dengan kemampuan tersebut kepekaan mahasiswa pada lingkungan sosialnya akan menjadi lebih besar, dan pada akhirnya mahasiswa terbantu perkembangan wawasan penalaran dan kepribadiannya, khususnya berkenaan dengan sikap dan tingkah laku dalam menghadapi manusia-manusia lain, serta sikap dan tingkah laku manusia-manusia lain terhadap manusia yang bersangkutan secara timbal balik. Dengan Ilmu Sosial Dasar mahasiswa diharapkan mempunyai tiga macam kemampuan, yaitu kemampuan personal, akademik, dan profesional. Kemampuan personal merupakan kemampuan kepribadian yang tampak dalam penampilannya sebagai pribadi bangsa Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai keagamaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan, serta memiliki pandangan dan kepekaan yang luas terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Selanjutnya kemampuan akademis merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan secara ilmiah, hasil lisan

11

maupun tulisan, menguasai teknik analisis, maupun berpikir logis, kritis, dan sistematis, memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasikan dan merumuskan masalah yang dihadapi serta mampu menawarkan alternatif-alternatif pemecahannya. Kemampuan profesional merupakan kemampuan di bidang profesi tenaga ahli yang bersangkutan. Dengan kemampuan ini para akademisi diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dalam bidang profesinya. Selanjutnya Ilmu Budaya Dasar sebagai matakuliah waib di perguruan tinggi merupakan terjemahan dari istilah Basic Humanities atau pendidikan humaniora. Humanior atau humanus dalam bahasa Latin berarti manusiawi, berbudaya, dan halus. Dengan mempelajari ilmu budaya dasar diharapkan seseorang menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya, dan lebih halus budi pekertinya. Ilmu Budaya Dasar atau Basic Humanities tidak identik dengan The Humanities (Ilmu tentang Budaya). Ilmu tentang budaya mencakup keahlian filsafat, agama, seni, dan sejarah. Sedangkan Ilmu Budaya Dasar bukanlah ilmu tentang berbagai budaya, melainkan mengandung pengertian umumnya tentang konsep-konsep dan teori-teori budaya yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah kebudayaan. Pendekatan terhadap berbagai masalah budaya tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai pengetahuan budaya (The Humanities), baik dengan menggunakan suatu keahlian disiplin ilmu tertentu maupun dengan menggunakan pendekatan berbagai keahlian atau inter, bahkan multidispliner. Dengan mempelajari Ilmu Budaya Dasar mahasiswa diharapkan dapat mengembangkan kepribadiannya dengan cara memperluas wawasan pemikiran dan kemampuan kritisnya terhadap masalah-masalah budaya, sehingga daya tangkap, persepsi dan penalarannya terhadap lingkungan budaya dapat menjadi lebih peka, halus dan manusiawi. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar pada dasarnya merupakan gabungan secara kolaboratif antara ISD dan IBD yang dilandasi SK Dirjen Dikti No, 30/Dikti/Kep/2003. Yang sedikit agak membedakan antara ISBD dengan ISD dan IBD sebelum dikolaborasi ialah terletak pada titik tekan dalam mencapai sasaran pembelajaran pada diri mahasiswa. Baik dalam ISD maupun IBD masing-masing diorientasikan pada usaha membantu perkembangan kepribadian mahasiswa. Dengan demikian aspek personal tampak menonjol. Berbeda dengan ISD dan IBD, sasaran pembelajaran mahasiswa dalam mempelajari ISBD lebih ditekankan kepada

12

aspek perkembangan sosialnya yaitu dalam kerkehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu kalau ISD dan IBD masuk dalam kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK), maka ISBD masuk dalam kelompok matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB). Titik persoalannya sekarang adalah dapatkah ISBD disebut sebagai ilmu pengetahuan ?. Seperti dijelaskan di atas, bahwa persyaratan suatu ilmu pengetahuan ialah pertama memiliki obyek, baik materia maupun forma. Kedua memiliki metode penyelidikan yang dipergunakan untuk mengkaji dan mengembangkan obyeknya, dan ketiga ialah sistematis. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) pada dasarnya masih belum termasuk kategori sebagai kelompok ilmu pengetahuan, karena belum secara spesifik memiliki obyek forma. Bahkan ISBD dapat digolongkan sebagai pengetahuan dasar yang relatif masih sangat muda. Dikatakan sangat muda, karena ISBD merupakan perpaduan antara kedua pengetahuan dasar yang ada sebelumnya, yaitu Ilmu Sosial Dasar, dan Ilmu Budaya dasar. Masing-masing memiliki kajian fenomental yang berhubungan secara langsung dengan kehidupan manusia. Ilmu Sosial Dasar banyak mengkaji masalahmasalah sosial dalam kehidupan manusia, sedangkan Ilmu Budaya Dasar mengkaji berbagai aspek kehidupan yang terkait dengan masalah budaya. Mengingat bidang kajian kedua kelompok pengetahuan dasar ini yang relatif dekat dengan kehidupan manusia, maka berdasarkan keputusan Dirjen Dikti No30 tersebut di atas, kedua ilmu pengetahuan dasar ini dikolaborasikan, dengan nama baru Ilmu Sosial dan Budaya Dasar atau disingkat ISBD. Jadi ISBD bukanlah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan hanyalah suatu pengetahuan mengenai aspek-aspek yang paling dasar yang ada dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya, dan masalah-masalah yang terwujud daripadanya. Oleh karena itu fungsi ISBD merupakan suatu usaha yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji gejala-gejala sosial kebudayaan agar daya tanggap, persepsi, dan penalaran mahasiswa dalam menghadapi lingkungan sosial budaya dapat ditingkatkan sehingga kepekaan mahasiswa pada lingkungannya menjadi lebih besar. c. Ruang lingkup ISBD Sebagai matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB) mata kuliah ISBD dirancang untuk membekali mahasiswa sebagai calon akademisi agar nantinya memiliki tiga kemampuan dasar yaitu: personal, akademis, dan kemampuan profesional.

13

Kemampuan personal yaitu kemampuan kepribadian, di mana para akademisi diharapkan memiliki wawasan pengetahuan dan kemampuan, sehingga mampu menunjukkan sikap, tingkah laku dan tindakan yang mencerminkan kepribadian Indonesia, memahami dan mengenal nilai-nilai keagamaan, kemasyarakatan dan kenegaraan, serta memiliki pandangan yang luas dan kepekaan terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Kemampuan akademis yaitu suatu kemampuan untuk berkomunikasi secara ilmiah baik lisan maupun tulisan, menguasai berbagai teknik analisis, maupun berpikir logis, kritis, sistematis, analitis, memiliki kemampuan konsepsional untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang dihadapi, serta mampu menawarkan alternatif pemecahan. Kemampuan profesional : kemampuan dalam bidang profesi tenaga ahli yang bersangkutan, para ahli diharapkan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi dalam bidang profesinya. Untuk mencapai ketiga kemampuan di atas, maka diperlukan sejumlah bahan kajian yang akan dioperasionalkan dalam bentuk pembelajaran. Bahan kajian tersebut meliputi : 1) Pendahuluan (pengantar ISBD) 2) Manusia sebagai Makhluk Budaya 3) Manusia dan Peradaban 4) Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial 5) Keragaman dan kesetaraan 6) Manusia, nilai, moralitas, dan hukum 7) Manusia, sains, teknologi dan seni 8) Manusia dan lingkungan 3. ISBD Sebagai Komponen MBB ISBD sebagai bagian komponen Mata Kuliah Berkehidupan bermasyarakat (MBB) mempunyai tema pokok, yaitu hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Manusia adalah makhluk yang membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Manusia tidak akan mampu hidup sendiri tanpa ada bantuan dari pihak lain. Dibandingkan dengan hewan, keberadaan manusia pada saat baru lahir sangat lemah, tidak berdaya dan tidak akan mungkin bisa bertahan hidup tanpa ada manusia lainnya. Naluri seorang ibu yang baru melahirkan anaknya akan otomatis tergerak untuk mau menyusui anaknya, walaupun sebelumnya belum pernah belajar bagaimana cara menyusui. Komunikasi antara anak dengan ibu melalui kontak menyusui sudah merupakan indikator ketergantungan antara satu manusia dengan lainnya. Hal ini

14

tentu agak berbeda dengan yang dialami oleh hewan. Seekor anak ayam yang baru menetas walaupun tanpa ada induknya, ia akan mampu berusaha mencari makanan untuk dirinya, sehingga ia mampu untuk bertahan hidup dan berkembang. 4. Pendekatan dan Metode Pembelajaran ISBD Seperti matakuliah yang lain matakuliah ISBD disajikan kepada mahasiswa untuk dikaji bersama melalui interaksi edukatif yang disebut dengan proses pembelajaran. Yang terpenting dalam proses pembelajaran tersebut ialah bagaimana dosen mampu menyediakan lingkungan belajar yang bisa membuat mahasiswa belajar. Untuk itu proses pembelajaran ISBD akan mempergunakan berbagai pendekatan dengan prinsip mahasiswa dapat belajar. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku, yaitu dari belum tahu menjadi tahu (kognitif), dari belum baik menjadi baik (afektif), dan dari belum terampil menjadi terampil (psikomotorik). Ketiga ranah ini yang menjadi sasaran belajar dengan titik tekan berada pada aspek sikap (afektif), yaitu sikap berkehidupan bermasyarakat. Semua proses pembelajaran akan diorientasikan kepada belajar yang berpusat pada aktivitas mahasiswa (student active learning). Untuk mengarah pada sasaran ini metode pembelajarannya adalah melalui: ceramah, diskusi, tanya jawab, bermain peran (demonstrasi), penelitian sosial budaya, pentas kreatifitas, apresiasi seni budaya, kolaborasi, dan problem solving. 5. Pemecahan Masalah Sosial Budaya Masalah sosial budaya merupakan suatu kondisi atau perkembangan yang terwujud dalam masyarakat dan budayanya yang berdasarkan atas studi, mempunyai sifat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan. Masalah ini meliputi hal-hal sebagai berikut. 1) Berbagai kenyataan yang bersama-sama merupakan masalah sosial budaya yang dapat ditanggapi dengan pendekatan sendiri maupun sebagai pendekatan gabungan (antar bidang). 2) Adanya keanekaragaman golongan dan kesatuan sosial lain dalam masyarakat, yang masing-masing mempunyai kepentingan kebutuhan serta pola-pola pemikiran dan pola-pola tingkah laku sendiri, yang didalamya terdapat persamaan, perbedaan, yang dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan maupun kerjasama.

15

ISBD menggunakan pendekatan secara komprehensif dari berbagai cabang ilmu untuk memecahkan masalah sosial, di antaranya : a) Sosiologi b) Antropologi Sosial dan Budaya c) Ilmu Sejarah d) Ilmu Ekonomi e) Ilmu Hukum f) Ilmu Politik g) Geografi h) Psikologi sosial 6. Sistem Evaluasi Pembelajaran ISBD Evaluasi hasil belajar keberhasilan mahasiswa akan diukur melalui dua tahap, yaitu evaluasi dalam proses dan produk. Evaluasi dalam proses dimaksudkan untuk mengukur kadar keterlibatan fisik, mental, dan emosional mahasiswa selama dalam proses pembelajaran. Evaluasi proses ini lebih dititikberatkan pada aspek pembentukan prilaku (afektif), dan keterampilan selama dalam proses pembelajaran. Proses evaluasi dilakukan melalui pengamatan sejak mahasiswa masuk di kelas; bagaimana ketepatan waktunya, sikap dan prilakunya selama di ruang kelas, aktivitas dan partisipasinya dalam proses pembelajaran. Sementara evaluasi produk lebih menitikberatkan pada pengukuran aspek kognitif melalui tes tulis. Tes tulis dapat berupa tes insidental, ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS). Secara rinci aspek yang dinilai baik yang menyangkut masalah penilaian proses maupun produk meliputi hal berikut. 1) Kedisiplinan dan partisipasi kuliah, termasuk dalam diskusi 2) Ujian tengah semester 3) Ujian akhir semester 4) Pertugasan. a. Pembuatan makalah (kelompok dan mandiri) b. Presentasi di kelas c. Partisipasi dalam perkuliahan 3) No 1. 2. 3. MATRIK EVALUASI Bentuk penilaian Bobot Pertugasan 30% a. pembuatan makalah b. presentasi di kelas 30% c. disiplin dan 40% partisipasi dalam perkuliahan Penilai Dosen

Dosen Dosen

16

Ujian tengah Semester (UTS) Ujian akhir semester (UAS) JUMLAH

100%

RINGKASAN

Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) sebagai komponen pengetahuan dasar diberikan di perguruan tinggi memiliki visi ; berkembangnya mahasiswa sebagai manusia terpelajar yang kritis, peka dan arif dalam memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia yang dilandasi nilai-nilai estetika, etika, dan moral dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan misinya ialah memberikan landasan dan wawasan yang luas, serta menumbuhkan sikap kritis, peka, dan arif pada mahasiswa untuk memahami keragaman, kesetaraan, dan kemartabatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat selaku individu dan makhluk sosial yang beradab serta bertanggungjawab terhadap sumber daya dan lingkungannya. Pada mulanya ISBD merupakan dua jenis matakuliah terpisah yang masing-masing berdiri sendiri dengan nama Ilmu Sosial Dasar (ISD) dan Ilmu Budaya Dasar (IBD). Dalam struktur kurikulum perguruan tinggi kedua matakuliah termasuk komponen matakuliah umum (MKU), yaitu matakuliah yang diorientasikan kepada upaya untuk membantu perkembangan kepribadian mahasiswa sebagai calon akademisi agar tidak terjebak ke dalam keahlian atau disiplin ilmu yang ditekuni Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan masyarakat terhadap lulusan perguruan tinggi juga semakin kritis. Kualitas lulusan menjadi bahan perbincangan kalangan calon penggunanya. Masyarakat menghendaki agar lulusan perguruan tinggi dapat secara langsung diterima di berbagai bidang lapangan pekerjaan yang dibutuhkan. Departemen Pendidikan Nasional dalam hal ini tanggap terhadap tuntutan masyarakat tersebut. Kurikulum nasional di perguruan tinggi yang berlaku saat itu terus diupayakan untuk dikembangkan agar mampu menjawab tuntutan masyarakat yang semakin kompleks. Upaya ini diawali dengan lahirnya Surat Keputusan Mendiknas No. 232 tahun 2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi, dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Kemudian ditindaklanjuti dengan SK Mendiknas No. 045 tahun 2002, tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Di dalam SK tersebut terdapat pengelompokan sejumlah matakuliah yang meliputi : matakuliah pengembangan kepribadian (MPK), matakuliah

17

keilmuan dan keterampilan (MKK), matakuliah keahlian berkarya (MKB), matakuliah prilaku berkarya, dan matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB). Kelompok matakuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB) adalah kelompok bahan kajian dan pembelajaran yang diperlukan mahasiwa untuk memahami kaidah kehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya (ISBD dan IAD). Kelompok matakuliah ini secara nasional telah disiapkan rambu-rambu pelaksanaannya yang dituangkan dalam SK Dirjen Dikti No. 30/ Dikti/Kep/2003. Di dalam surat keputusan tersebut kedua matakuliah (ISD dan IBD) yang semula berdiri sendiri dan termasuk matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) disatukan menjadi matakuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, dan masuk komponen Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Selanjutnya pelaksanaannya di atur dalam SK Dirjen Dikti No. 43/Dikti/ Kep/2006, tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengem-bangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi, dan No. 44/Dikti/ Kep/ 2006, tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) di Perguruan Tinggi. Berdasarkan kedua surat keputusan tersebut, semua kurikulum perguruan tinggi wajib memuat kedua kelompok matakuliah tersebut, yaitu Matakuliah Pengembangan Kepribadian yang terdiri atas; matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia, dan Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat yang terdiri atas; matakuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, dan Ilmu Kealaman Dasar (IAD). Semua jenis matakuliah ini sudah harus diberlakukannya pada semester ganjil 2006/2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) pada dasarnya masih belum termasuk kategori sebagai kelompok ilmu pengetahuan, karena belum secara spesifik memiliki obyek forma. Bahkan ISBD dapat digolongkan sebagai pengetahuan dasar yang relatif masih sangat muda. Dikatakan sangat muda, karena ISBD merupakan perpaduan antara kedua pengetahuan dasar yang ada sebelumnya, yaitu Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Budaya dasar.

Tugas Untuk Diselesaikan.


1. 2. Himpun sedikitnya 10 definisi tentang ilmu menurut pakar yang berbeda-beda. Lakukan suatu analisis terhadap masing-masing definisi ilmu tersebut sehingga dapat diklasifikasi perbedaan dan persamaan yang terdapat pada masing-masing definisi.

18

3.

Coba buat rumusan definisi ilmu menurut bahasa Saudara berdasarkan definisi-definisi yang telah Saudara himpun tersebut. Himpun pula definisi tentang ilmu sosial dan ilmu tentang budaya dari berbagai literatur. Lakukan suatu analisis di mana letak titik tekan antara ilmu sosial dan ilmu tentang budaya dalam hubungannya dengan kehidupan manusia. Tugas-tugas tersebut akan lebih berbobot pembahasannya apabila Saudara lakukan bersama dengan teman lain dalam suatu kelompok kecil antara 3 5 orang.

4. 5.

6.

Selamat Belajar
BAB II MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA
Oleh : Linda Dwi Eriyanti, S.Sos 1. Pengertian dan Fungsi Kebudayaan Kebudayaan adalah salah satu istilah teoritis dalam ilmuilmu social. Secara umum, kebudayaan diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang secara social diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian kebudayaan sehari-hari yang hanya merujuk pada bagian tertentu warisan social, yakni tradisi sopam santun dan kesenian. Istilah kebudayaan ini berasal dari bahasa latin Cultura dari kata dasar colere yang berarti berkembang atau tumbuh.i Dalam ilmu-ilmu social istilah kebudayaan sesungguhnya memiliki makna bervariasi yang sebagian diantaranya bersumber dari keragaman model yang mencoba menjelaskan hubungan natara masyarakat, kebudayaan dan individu. Fungsi Akal Dan Budi Bagi Manusia Akal adalah kemampuan pikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki manusia. Berpikir adalah perbuatan operasional yang mendorong untuk aktif berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fungsi akal adalah untuk berfikir. Kemampuan berfikir manusia mempunyai fungsi mengingat kembali apa yang telah diketahui sebagai tugas dasarnya untuk memecahkan masalah dan akhirnya membentuk tingkah laku.

19

Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan. Budi diartikan sebagai batin manusia, panduan akal dan perasaan yang dapat menimbang baik buruk segala sesuatu. Jadi jelas bahwa fungsi akal dan budi manusia adalah menunjukkan martabat manusia dan kemanusiaan sebagai pemegang amanah makhluk tertinggi di alam raya ini. Masyarakat manusia yang terdiri dari individu-individu yang terlibatdalam berbagai kegiatan yang mengharuskan mereka beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dan hal itu harus dilakukan secara terus menerus demi mempertahankan keberadaan masyarakat dan terpenuhinya kebutuhan individu yang menjadi anggotanya. Kegiatan-kegiatan ini dipelajari melalui peniruan dan pelajaran satu manusia dengan manusia lainnya, sehingga semuanya menjadi bagian dari warisan social atau kebudayaan dari suatu masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dipelajari dari satu generasi ke generasi berikutnya itu tidak mengalami perubahan yang berarti kecuali jika ada factor eksternal yang memperngaruhi pola tindak yang harus dilakukan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan social dan individual. Kegiatan-kegiatan yang dipelajari itu merupakan salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat secara keseluruhan. Didalamnya juga termasuk artefak dan berbagai kontruksi proporsi kompleks yang terekspresikan dalam system symbol yang kemudian terhimpun dalam bahasa. Melalui symbol-simbol itulah tercipta keragaman entitas yang sangat kaya yang kemudian disebut sebagai obyekkonstruksi cultural sepoerti uang, system kenegaran, pernikahan, permainan, hukum, dan sebagainya, yang keberadaannya sangat ditentukan oleh kepatuhan terhadap system aturan yang membentuknya.ii System gagasan dan simbolik warisan social itu sangatlah penting karena kegiatan-kegiatan adaptif manusia sedemikian kompleks dan beragam sehingga mereka tidak bisa mempelajari semuanya sendiri sejak awal. Manusia Sebagai Animal Simbolicum - Simbol : segala sesuatu (benda, peritiwa, kelakuan, tindakan manusia, ucapan) syang telah ditempati suatu arti tertentu menurut kebudayaannya - Adalah komponen utama perwujudan kebudayaan karena setiap hal yang dilihat dan dialami, diolah menjadi simbol - Kebudayaan : pengetahuan yang mengorganisasi simbolsimbol - Fungsi simbol : o Faktor pengembangan kebudayaan o Terbatas pada gugus masyarakat tertentu

20

Warisan social itu juga mengandung karakter normative. Artinya individu-individu dari suatu komunitas terikat oleh kebersamaan dan rasa memiliki atas warisan social mereka, yang terekspresikan sebagai kesamaan tata cara, atau persamaan persepsi mengenai dunia di sekelilingnya yang diwujudkan dalam symbol-simbol tertentu, yang didukung oleh seperangkat aturan sanksi. Artinya, bagi mereka yang mematuhinya akan ada puian, sedangkan bagi mereka yang menentangnya telah tersedia hukuman. Pengertian Budaya dan Kebudayaan Setiap individu menjalankan kegiatan dan menganut keyakinannya sesuai dengan warisan social atau kebudayaannya. Hal ini bukan semata-mata karena adanya sanksi tersebut, atau karena mereka merasa menemukan unsure-unsur motivasional dan emosional yang memuaskan dengan menekuni kegiatan-kegiatan dan keyakinan cultural tersebut. Dalam rumusan ini , istilah warisan social disamakan dengan istilah kebudayaan. Lebih jauh, model tersebut menyatakan bahwa kebudayaan atau warisan social lebih adaptif baik secara social maupun individual, mudah dipelajari, mampu bertahan dalam waktu lama, normative dan mampu menimbulkan motivasi. Namun tinjauan empiris terhadapnya memunculkan definisi terbaru tentang kebudayaan seperti yang diberikan EB Tayloriii, Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adapt, serta kemampuan dan kebisaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat Kebanyakan ilmuwan social membatasi definisi kebudayaan sehingga hanya mencakup aspek tertentu dari warisan social. Biasanya pengertian kebudayaan dibatasi pada warisan social yang bersifat mental atau non fisik. Sedangkan aspek fisik dan artefak sengaja disisihkan. Hanya saja definisi yang terlanjur berkembang adalah definisi sebelumnya dimana kebudayaan diartikan bukan sekedar istilah deskriptif bagi sekumpulan gagasan, tindakan dan obyek, melainkan juga merujuk pada entitas-entitas mentalyang menjadi pijakan tindakan dan munculnya obyek tertentu. Consensus yang kini dianut oleh para ilmuwan social masih menyisihkan aspek emosional dan motivasional dari istilah kebudayaan, dan mereka tetap terfokus maknanya sebagai himpunan pengetahuan, pemahaman atau proposisi. Namun mereka mengakui bahwa, sebagian proposisikultural membangkitkan emosi dan motivasi yang kuat. Dalam kasus ini proposisi tersebut dikatakan telah terinternalisasi.iv

21

Sebagian ilmuwan social bahkan berusaha membatasi lagi pengertian istilah kebudayaan tersebut hingga hanya mencakup bagian-bagian warisan social yang melibatkan representasi atas hal-hal yang dianggap penting, tidak termasuk norma-norma atau pengethauan procedural mengenai bagaimana sesuatu harus dikerjakan (Schneider, 1968)v Sementara itu ada pula yang membatasi pegertian kebudayaan sebagai makna-makna simbolik yang mengandung muatan representasi dan mengkomunikasikannya dengan peristiwa nyata. Geertz menggunakan makna ini secara eksklusif sehingga ia tidak saja mengesampingkan aspek-aspek afektif, motivasional, dan normative dari warisan social namun juga mempermasalahkan penerapan makna kebudayaan dalam individu. Menurutnya, kebudayaan hanya berkaitan dengan makna-makna public yang terus berlaku meskipun berada diluar jangkauan pengetahuan individu ; contohnya mungkin adala lajabar yang dianggap selalu benar dan berlaku, meski sedikit saja orang yang vi menguasainya. Perselisihan mengenai definisi kebudayaan itu mengandung argument-argumen implicit tentang sebab-sebab atau asal mula warisan social. Misalnya saja ada kontroversi mengenai koheren atau tidaknya kebudayaan itu sehingga lebih lanjut kita dapat mempertanyakan sifat alamiahnya. Disisi lain para ilmuwan social memendang keragaman dan kontradiksi di seputar pengertian atau definisi kebudayaan itu sebagai sesuatu yang wajar. Meskipun hamper setiap elemen kebudayaan dapat ditemukan pada hubungan-hubungan natar elemen seperti yang ditunjukkan oleh Malinowski dalam Argonauts of the Western Pacifis (1922)vii. Tidak banyak bukti yang mendukung dugaan akan adanya pola tunggal hubungan tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ruth Benedict dalam bukunya Pattern of Culture (1934)viii. Berbagai persoalan yang melingkupi upaya intergrasi definisi-definisi kebudayaan terkait dengan masalah lain, yakni apakan kebudayaan itu merupakan suatu entitas padu atau tidak. Jika kebudayaan dipandang sebagai suatu kumpulan elemen yang tidak memebentuk kesatuan koheren, maka yang harus diperhitungkan adalah fakata bahwa warisan social senantiasa melebur dalam suatu masyarakat. Sebaliknya jika kita menganggap kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan koheren, maka kumpulan elemen-elemennya bisa dipisahkan dan dibedakan satu sama lain.ix Kerancuan tersebut lebih jauh membangkitkan minat untuk menelaah koherensi dan integrasi kebudayaan, mengingat dalam kenyataannya pengetahuan anggota masyarakattentang kebudayaan mereka tidaklah sama. Hanya saja tidak ada

22

metodeyang telah terbukti handal untuk mengukur sejauh mana koherensi dan 8integrasi sebuah kebudayaan. Bahkan muncul bukti-bukti yang menunjukkan bahwa elemen-elemen budaya cenderung dapat digolongkan menjadi dua bagian besar. Pertama adalah sejumlah kecil elemen yang hampir dipunyai oleh semua anggota masyarakat sehingga diantara mereka dapat tercipta suatu consensus pengertian. (misalnya lampu merah berarti tanda berhenti), sedangkan yang kedua adalah elemen-elemenkultural yang hanya diketahui oleh sebagian anggota masyarakat yang menyandang status social tertentu. (misalnya, pelanggaran ketentuan kontrak tidak bisa diterima)x Dibalik kerancuan definisi ini terdapat masalah-masalah penting lainnya yang juga harus dipecahkan. Keragaman definisi kebudayaan itu sendiri dapat dipahami sebagai giatnya upaya mengungkap hubungan kausalitas antara berbagai elemen warisan social. Sebagai contoh , dibalik pembatasan definisi kebudayaan pada aspek-aspek presentasional dari warisan social itu terletak hipotesis yang menyatakan bahwa norma-norma, reaksi emosional, motivasi dan sebagainya sangat ditentukan oleh kesepakatan awal tentang keberadaan, hakekat dan label atas sesuatu hal. Misalnya saja norma kebersamaan dan perasaan terikat dalam kekerabatan hanya akan tercipta jika ada system kategori yang membedakan kerabat dan non kerabat. Demikian pula definisi cultural kerabat sebagai orang-orang yang memiliki hubungan darah mengisyaraktkan adanya kesamaan identitas yang memudahkan pembedaannya. Jika representasi cultural memang memiliki hubugan kausalitas dengan norma-norma, sentiment dan motif, maka pendefinisian kebudayaan sebagai representasi telah memusatkan perhatioan pada apa yang paling penting. Hanya saja keuntungan dari focus yang tajam itu dipunahkan oleh ketergantungan definisi itu terhadap asumsi-asumsi yang melandasinya, yang acapkali kelewat sederhana.xi Komponen utama kebudayaan : o Individu o Masyarakat o alam Dari catatan Supartono, 1992, terdapat 170 definisi kebudayaan. Catatan terakhir Rafael Raga Manan ada 300 buah, beberapa diantaranya : Ki Hajar Dewantara Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna

23

mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Robert H Lowie Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal Keesing Kebudayaan adalah totalitas pengetahuan manusia, pengalaman yang terakumulasi dan yang ditransmisikan secara sosial Koentjaraningrat Kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi pekertinya Rafael Raga Manan Kebudayaan adalah cara khas manusia beradaptasi dengan lingkungannya, yakni cara manusia membangun alam guna memenuhi keinginan-keinginan serta tujuan hidupnya, yang dilihat sebagai proses humanisasi. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardixii Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah. Fungsi kebudayaan Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan alam, maupun yang bersumber dari persaingan manusia itu sendiri untuk mempertahankan kehidupannya. Manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan baik dibidang materiil maupun spiritual. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas, untuk sebagian besar dipenuhi oelh kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat menghasikan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama melindungi masyarakat terhadap lingkungan. Pada masyarakat yang taraf kebudayaannya lebih tinggi, teknologi memungkinkan untuk pemanfaatan hasil alam bahkan munghkin untuk menguasai alam. Di sisi lain karsa masyarakat mewujudkan norma dan nilai-nilai social yang sangat perlu untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan masyarakatnya. Kebudayaan berguna bagi manusia untuk melindungi diriterhadap alam, mengatur hubungan antar manusia, dan

24

sebagai wadah dari segenab perasaan manusia. Kebudayaan akan mendasari, mendukung, dan mengisi masyarakat dengan nilai-nilai hidup untuk dapat bertahan, menggerakkan serta membawa masyarakat kepada taraf hidup tertentu yaitu hidup yang lebih baik, manusiawi, dan berperikemanusiaan 2. Jenis dan Ragam Kebudayaan di Masyarakat Mohammad Yusuf Melatoa dalam Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia menyatakan Indonesia terdiri dari 500 etnis suku bangsa yang tinggal di lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil. Mereka masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan itu dalam kita lihat dengan menelaah unsur-unsur kebudayaan seperti dibawah ini. Unsur-Unsur kebudayaan menurut C Kluckhohn dalam bukunya Universal Categories of Culture meliputi Cultural universals yaituxiii Peralatan dan perlengkapan hidup ( pakaian, perumahan, alat-alat produksi, transportasi) Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, distribusi ) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, perkawinan) Bahasa (lisan maupun tertulis) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dll) Sistem pengetahuan Religi (system kepercayaan) Cultural universals tersebut dapat dijabarkan lagi kedalam unsure-unsur yang lebih kecil. Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural activity.xiv Sebagai contoh cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, system produksi, dll. Kesenian misalnya meliputi kegiatan seni tari, seni rupa dll. Selanjutnya Ralph Linton merinci kegiatankegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsure-unsur yang lebih kecil lagi yang disebutnya trait-complex. Misalnya kegiatan pertanian menetap meliputi unsure-unsur irigasi, sistem pengolahan tanah dengan bajak, system hak milik atas tanah, dan sebagainya. Selanjutnya trait complex mengolah tanah dengan bajak akan dapat dipecah ke dalam unsure yang lebih kecil umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak, teknik pengendalian bajak, dan sebagainya. Akhirnya sebagai unsure kebudayaan yang terkecil membentuk trait adalah items. Bila diambil contoh alat bajak terdiri dari gabungan alat-alat yang lebih kecil yang dapat dilepaskan, tetapi pada hakekatnya merupakan satu kesatuan. Apabila salah satu bagian bajak

25

tersebut dihilangkan, maka tak dapat menjalankan fungsinya sebagai bajak. Ciri Kebudayaan : Bersifat menyeluruh Berkembang dalam ruang / bidang geografis tertentu Berpusat pada perwujudan nilai-nilai tertentu Wujud kebudayaan Ide : tingkah laku dalam tata hidup Produk : sebagai ekspresi pribadi Sarana hidup Nilai dalam bentuk lahir Sifat kebudayaan Beraneka ragam Diteruskan dan diajarkan Dapat dijabarkan : Biologi Psikologi Sosiologi : manusia sebagai pembentuk kebudayaan Berstruktur terbagi atas item-item Mempunyai nilai Statis dan dinamis Terbagi pada bidang dan aspek 3. Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan Manusia sebagai pencipta kebudayaan Manusia memiliki kemampuan daya sebagai berikut : Akal, intelegensia dan intuisi Dengan kadar intelegensia yang dimiliki manusia mampu belajar sehingga menjadi cerdas, memiliki pengetahuan dan mampu menciptakan teknologi. Intuisi menurut Supartono sering setengah disadari, tanpa diikuti proses berfikir cermat, namun bisa menuntun pada suatu keyakinan. Perasaan dan emosi Perasaan adalah kemampuan psikis yang dimiliki seseorang, baik yang berasal dari rangsangan di dalam atau diluar dirinya. Emosi adalah rasa hati, sering berbentuk perasaan yang kuat, yang dapat menguasai seseorang, tetapi tidak berlangsung lama Kemauan Kemauan adalah keinginan, kehendak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Kemauan dalam arti positif adalah dorongan kehendak yang terarah pada tujuan hidup yang dikendalikan oleh akal budi.

26

Fantasi Fantasi adalah paduan unsur pemikiran dan perasaan yang ada pada manusia untuk menciptakan kreasi baru yang dapat dinikmati. Perilaku Perilaku adalah tabiat atau kelakuan, merupakan jati diri seseorang yang berasal dari lahir sebagai factor keturunan yang kemudian diwarnai oleh factor lingkungannya. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia sendiri adalah produk kebudayaan. Peter L Berger menyebutnya sebagai dialektika fundamental yang terdiri dari tiga tahap yaitu : - Tahap eksternalisasi, yaitu proses pencurahan diri manusia secara terus menerus kedalam dunia melalui aktifitas fisik dan mental - Tahap obyektifitas, yaitu tahap aktifitas manusia menghasilkan realita obyektif, yang berada diluar diri manusia - Tahap internalisasi, yaitu tahap dimana realitas obyektif hasil ciptaan manusia dicerap oleh manusia kembali. Manusia sebagai makhluk budaya adalah pencipta kebudayaan. Kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia didunia. Memanusiakan manusia melalui pemahaman terhadap konsep budaya dasar 1. Keadilan Keadilan adalah salah satu moral dasar bagi kehidupan manusia. Keadilan mengacui pada suatu tindakan baik yang mesti dilakukan oleh setiap manusia. 2. Penderitaan Penderitaan adalah teman paling setia kemanusiaan. Ini melengkapi cirri paradoksal yang menandai eksistensi manusia didunia. 3. Cintakasih Cintakasih adalah perasaan suka kepada seseorang yang disertai belas kasihan. Cinta merupakan sikap dasar ideal yang memungkinkan dimensi sosial manusi menemukan bentuknya yang khas manusiawi 4. Tanggungjawab Tanggungjawab adalah kwajiban melakukan tugas tertentu yang dasarnya adalah hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk yang mau menjadi baik dan memperoleh kebahagiaan. 5. Pengabdian

27

Pengabdian diartikan sebagai perihal memperhamba diri kepada tugas-tugas yang dianggap mulia 6. Pandangan hidup Pandangan hidup berkenaan dengan eksistensi manusia didunia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesame dan dengan alam tempat kita berdiam. 7. Keindahan Eksistensi manusia didunia diliputi dan digairahkan oleh keindahan. Manusia tidak hanya penerima pasif tetapi juga pencipta keindahan bagi kehidupan. 8. Kegelisahan Kegelisahan merupakan gambaran keadaan seseorang yang tidak tenteram hati maupun perbuatannya, merasa khawatir tidak tenang dalam tingkah laku, dan merupakan salah satu ekspresi kecemasan.xv 4. Proses dan Perubahan Kebudayaan : Proses pembudayaan adalah tindakan yang menimbulkan dan menjadikan sesuatu lebih bermakna untuk kemanusiaan. Proses tersebut diantaranya : a. Internalisasi Merupakan proses pencerapan realitas obyektif dalam kehidupan manusia. b. Sosialisasi Proses interaksi terus menerus yang memungkinkan manusia memperoleh identitas diri serta ketrampilanketrampiulan sosial. Dalam keseharian sosialisasi bisa dikatakan sebagai proses menjelaskan sesuatu kepada anggota masyarakat agar mengetahui adanya suatu konsep, kebijakan, suatu peraturan yang menyangkut hak dan kwajiban mereka. c. Enkulturasi Enkulturasi adalah pencemplungan seseorang kedalam suatu lingkungan kebudayaan, dimana desain khusus untuk kehidupan kelihatan sebagai sesuatu yang alamiah belaka. d. Difusi Meleburnya suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain sehingga menjadi satu kebudayaan. e. Akulturasi Akulturasi adalah percampuran dua atau lebih kebudayaan yang dalam percampuran itu masing-masing unsurnya masih kelihatan. f. Asimilasi

28

Asimilasi adalah proses peleburan dari kebudayaan sat ke kebudayaan lain. Perubahan sosial dan kebudayaan merupakan segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suataau masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan polapola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan, perubahan bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ad pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, akan tetapi ada juga yang cepat. Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai social, pola-pola perilaku, organisasi, susunan, lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan seterusnya. Dengan diakuinya dinamika sebagai inti jiwa masyarakat, maka banyak sarjana sosiologi modern yang mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah perubahan social dan kebudayaan dalam masyarakat. Masalah tersebut menjadi lebih penting dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi yang diusahakan oleh banyak masyarakat dari Negara yang kemerdekaan politiknya setelah perang dunia kedua. Faktor-faktor penyebab perubahan sosial dan kebudayaanxvi a. faktor intern Bertambah atau berkurangnya penduduk Penemuan-penemuan baru (inovation discoveri [gagasan] invention [diterapkan dalam masyarakat] Pertentangan-pertentangan dalam masyarakat (konflik) Pemberontakan / revolusi b. faktor ekstern Perubahan lingkungan fisik manusia ( bencana alam ) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain Peperangan Faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan sosial : Faktor-faktor yang mendorong : Kontak dengan kebudayaan lain Sistem pendidikan yang maju

29

Sikap menghargai hasil karya orang lain dan keinginan untuk maju Toleransi terhadap perbuatan menyimpang Sistem lapisan masyarakat yang terbuka Penduduk yang heterogen Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu Orientasi ke depan Nilai meningkatkan taraf hidup Faktor-faktor yang menghambat : Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain Perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat Sikap masyarakat yang tradisional Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat (vested Interest) Rasa takut terjadinya kegoyahan dalam integrasi kebudayaan Prasangka terhadap hal baru Hambatan ideologis Kebiasaan Sikap pasrah 5. Problematika sosial kebudayaan Manusia dan Budaya Unggulxvii Buku Stephen R Covey berjudul The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness setidaknya menjadi pemicu diskusi tentang budaya unggul akhir-akhir ini. Para cerdik cendekia pun ribut mencari apa yang sebenarnya unggul dalam diri kita dan apa memang ada keunggulan itu. Tidak main-main, bahkan Bapak Presiden merasa perlu menyampaikan kepada rakyatnya untuk melahirkan budaya unggul dalam bangsa ini. Dalam maksud yang sederhana, budaya unggul akan bisa memulihkan harga diri dan martabat bangsa ini menjadi bangsa yang tidak mudah dilecehkan dan diharapkan mampu mengatasi krisis berkepanjangan dan seterusnya. Jika budaya unggul bisa didiskusikan bersama seiring dengan manusia unggul, setidaknya apa yang dinyatakan oleh Covey sebagai manusia dengan predikat greatness membawa ingatan kita pada apa yang oleh filosof Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche (18441900), dinyatakan sebagai uebermensch yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai superman. Kebudayaan merupakan identitas dari manusia. Untuk melahirkan budaya unggul, terlebih dahulu manusia harus bisa menjawab tantangan yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia unggul tidak lahir dari situasi statis, melainkan

30

dari proses dinamis. Tidak saja dalam pengertian bagaimana upaya menemukan talenta terbaik dalam diri seseorang, melainkan upaya untuk terus-menerus menjadi manusia yang lebih (over). Beberapa orang menafsirkan ajaran uebermensch Nietzsche sebagai anjuran untuk memproduksi jenis manusia yang unggul dalam mengatasi kemampuan manusia lain. Namun, dalam konteks ini saya kira lebih tepat membaca uebermensch Nietzsche sebagai anjuran untuk melahirkan manusia unggul dengan cara melahirkan dirinya untuk terusmenerus menjadi manusiawi. Kata ueber, dalam bahasa Jerman mempunyai dua pengertian yang dalam bahasa Inggris bisa diasosiasikan menjadi kata super atau over. Dalam pengertian ini, Ignas Kleden (2004) menyatakan bahwa manusia hanya akan berhasil menjadi manusia melalui proses ueberwindung atau overcoming (dalam bahasa Inggris). Anjuran untuk berproses menjadi manusia unggul sudah dinyatakan dengan amat jelas dalam Also Sprach Zarathustra. Jelas sekali ketika Nietzsche menulis bahwa pertanyaan pertama dan satu-satunya yang dianjurkan oleh Zarathustra adalah Wie Wird der Mensch ueberwubden (bagaimana caranya manusia mengatasi manusia). Pengertiannya, untuk lahir sebagai superman, manusia harus terus-menerus mengatasi dirinya sebagai manusia. Untuk menjadi manusia unggul, manusia harus bisa meningkatkan dirinya dari sekadar manusiawi (humanus) menjadi lebih manusiawi (humanior). Manusia unggul keluar dari proses dinamis dan penuh tantangan, manusia yang bisa menggunakan kehendak dan kuasanya untuk mengatasi rasa lemahnya. Nietzsche adalah filsuf yang begitu yakin bahwa manusia harus berdiri di atas sifat-sifat konkretnya. Manusia bukanlah suatu konsep abstrak sebagaimana dipahami oleh kaum idealis atau juga kaum materialis. Keduanya sering melahirkan pandangan-pandangan dunia yang bersifat statis. Padahal, hidup dan kehidupan itu sendiri merupakan sesuatu yang dinamis dan bergerak terus-menerus. Bukankah Nietzsche sendiri menyatakan, man is something that is to be surpassed (Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui). Atau dengan yakin ia menyatakan, what is great in man is that he is a bridge and not a goal; what is lovable in man is that he is an over- going and down-going (Apa yang agung dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah jembatan dan bukan tujuan; apa yang patut dicinta dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah perjalanan naik dan turun).

31

Melahirkan manusia unggul jangan disalahpahami hanya dengan pengertian meloloskan siswa-siswa berprestasi yang mampu merengkuh juara olimpiade fisika, matematika, atau kimia. Menjadi manusia unggul biasa dialami oleh siapa saja yang mampu mengatasi kediriannya menuju kedirian yang lebih. Sifat serakah dan senang korupsi adalah manusiawi dan bahkan menjadi bagian tak terpisah dari manusia. Untuk lahir menjadi manusia unggul, seseorang harus bergerak untuk memperbarui kemanusiawiannya menjadi lebih manusiawi dengan menjelma menjadi manusia yang tidak serakah dan senang korupsi. Seorang pejabat akan bernilai lebih jika setiap saat dia berhasil mengawasi dan menekan nafsu korupsinya. Dalam mengarungi bahtera kehidupan yang nyata itulah manusia diberi kuasa untuk memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri. Dia harus menciptakan nilai-nilai untuk dirinya sendiri pada saat perjalanan kehidupan tersebut. Di sini dapat dipahami mengapa Nietzsche amat membenci pada mereka yang mudah menyerahkan diri pada skema nilai-nilai yang diciptakan di luar dirinya sendiri. Nietzsche menyebut mereka sebagai manusia bermoral gerombolan atau bermoral budak. Mereka adalah para pengecut yang hanya bisa berlindung di balik nilai-nilai yang menjerat kedigdayaannya. The ignorant, to be sure, the people-they are like a river on which a boat floateth along; and in the boat sit the estimates of value, solemn and disguised. Mereka seperti sebuah sungai yang di atasnya mengambang sebuah perahu; dan di dalam perahu itu duduk nilai yang dihargai, penuh kemeriahan dan samaran. Manusia unggul, jika mau merujuk pada Nietzsche, bisa lahir dan dilahirkan dari manusia yang tak lagi menggantungkan diri segala tekanan dari luar. Dengan tidak memperpanjang segala kontroversi pendapat Nietzsche, budaya unggul dalam perspektif ini bisa dijadikan rujukan untuk mengembalikan jati diri dan martabat kebangsaan yang hancur di tengah keserakahan modal, penguasa, utang luar negeri, bahkan terorisme.

Komodifikasi kebudayaan Ada kesan bahwa kebudayaan semakin mejadi komoditas. Kebudayaan seakan-akan diapropriasi oleh elite politik, elite intelektual, elite birokrat, elite system pendidikan atau elite budaya sendiri. Apropriasi itu berlangsung atas dua jalur. 32

Pertama, terungkap dalam pembicaraan tentang kebudayaan masyarakat yang dikatakan tidak cocok untuk pembangunan. Menurut jalur ini budaya masyarakat perlu direkayasa supaya sesuai dengan pembangunan. Yang merekayasa adalah elite yang berbeda dari masyarakat yang menganggap dirinya sudah mempunyai budaya yang sesuai dengan pembangunan. Jalur itu juga melegitimasi penundaan proses demokratisasi : selama masyarakat masih memiliki mentalitas yang tidak cocok dengan pembangunan, ia belum dapat ikut dalam proses penentuan arah perjalanan bangsa Indonesia. Kedua, berkebalikan dengan yang pertama, yaitu jalur keprihatinan terhadap budaya bangsa. Dia mendapat ekspresi dalam dua sub lagu yang bersama menghasilkan paduan suara atau duet harmoniselite yang prihatin. Sub lagu yang pertama disebut lagu museum ; unsure-unsur positif warisan budaya bangsa perlu dilestarikan. Disini termasuk pakaian nasional, taritarian, sopan santun ketimuran, kekeluargaan, gotong royong dan lain-lain. Dengan menetapkan apa yang termasuk budaya bangsa, elite menetapkan kelakuan masyarakat yang mana sesuai dan yang mana tidak sesuai. Sub-lagu yang kedua mau melindungi budaya nasional terhadap pengeruh buruk dari luar. Elite yang menganggap diri berwenang untuk menetapkan sikapsikap mana yang tidak sesuai dengan budaya bangsa. Disini kita mendengarkan bahwa bangsa Indonesia tidak mengenal oposisi, bahwa masyarakat kita bermusyawarah daripada memperjuangkan hak-haknya, tidak bersikap konfrontatif, bahwa bertindak berdasarkan keyakinan sendiri adalah individualisme, dan oleh karena itu asing.xviii Hal-hal diatas secara tegas menyatakan bahwa demi budaya bangsa elitelah yang sebaiknya menentukan arah pembangunan. Tantangan Kebudayaan Masyarakat kita yang berbudaya akan beruntung apabila mengenal dan akrab dengan beberapa kebudayaan barat. Sama dengan orang barat yang mengenal dan mencintai kebudayaankebudayaan Timur. Pertemuan dengan kebudayaan lain selalu memperkaya kita sendiri. Mengagumi karya karya seni Italia, atau menelusuri filsafat Perancis bagi orang timur pasti sangat rewarding. Yang pasti menarik, pelancongan ke dalam kebudayaan lain tidak cenderung memiskinkan persepsi tentang kebudayaan sendiri, melainkan memperkaya. Kebudayaan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah kebudayaan modern tiruan. Dia mengancam karena tidak sejati, tidak substansial, semu, dan ersatz. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastic, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.xix 33

Kebudayaan tiruan itu mempunyai daya tarik luarbiasa sehingga mampu menyedot pandangan kita tentang nilai, dasar harga diri, dan status. Ia menawarkan kemewahan, kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berpikir sendiri, dan berhenti membuat penilaian sendiri. Kebudayaan yang dikatakan modern itu membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita sendiri, dan sekaligus tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern yang sesungguhnya. Akhirnya kita hanya seolah-olah menjadi manusia modern. TUGAS 1. Carilah permasalahan budaya yang paling dekat dengan anda 2. Buatlah analisa berkaitan dengan permasalahan (5W +1H) 3. Carilah solusi dari permasalahan 4. berupayalah untuk benar-benar menerapkan solusi yang telah anda rumuskan untuk ikut serta menyelesaikan masalah tersebut.

Oleh : Tito Kusuma Wardhana, S.Sos 1. Pengertian Adab dan Peradaban. Para ilmuwan memiliki banyak konsep atau pengertian mengenai adab dan peradaban. Namun ada beberapa konsep atau pengertian mengenai adab dan peradaban yang mungkin relevan dan dapat membantu mahasiswa di Indonesia agar dapat memahami konsep atau pengertian tersebut. Adab berarti akhlak atau kesopanan dan kehalusan budi pekertixx. Manusia beradab dengan demikian adalah manusia yang mempunyai akhlak mulia, yang memiliki kesopanan dan kehalusan budi pekerti. Sedangkan manusia yang tidak mempunyai akhlak mulia, yang tidak memiliki kesopanan dan tidak halus budi pekertinya, maka kita akan menyebut manusia tersebut biadab. Tetapi masalah yang muncul kemudian adalah, siapa yang memberikan ukuran manusia tersebut beradab atau biadab ?. Norma menjadi suatu hal yang penting untuk dapat dijadikan sebagai konsep yang dapat mengukur bagi manusia yang mempunyai akhlak mulia, kesopanan dan budi pekerti atau manusia tersebut biadab. Norma adalah tingkah laku yang

BAB III MANUSIA DAN PERADABAN

34

dianggap wajar, yang dapat diterima oleh orang ramai dan yang sekaligus tentu saja diharapkan dari kita oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan realita bahwa manusia memerlukan kesopanan, akhlak, dan kehalusan budi pekerti dalam melakukan kontak sosial dengan masyarakat luas. Dalam konteks peradaban Huntington mendefinisikan peradaban sebagai the highest social grouping of people and the broadest level of cultural identity people have short of that which distinguish humans from other species. Sedangkan Ibnu Khaldun (1332-1406 M), melihat peradaban sebagai organisasi sosial manusia, kelanjutan dari proses tamaddun (semacam urbanisasi), lewat ashabiyah (group feeling), dan merupakan keseluruhan kompleksitas produk pikiran kelompok manusia yang mengatasi negara, ras, suku, atau agama, yang membedakannya dari yang lain, tetapi tidak monolitik dengan sendirinya. Pendekatan terhadap peradaban bisa dilakukan dengan menggunakan organisasi sosial, kebudayaan, cara berkehidupan yang sudah maju, termasuk sistem IPTEK dan pemerintahannyaxxi. Pengertian peradaban juga dikemukakan oleh Fairchildxxii, yang menyatakan peradaban adalah perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang diperoleh manusia pendukungnya. Dan Koentjaraningrat,xxiii juga memberikan definisi peradaban untuk menyebut bagian dan unsur kebudayaan yang halus, maju, dan indah seperti misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi dan masyarakat kota yang maju dan kompleks. Jika Huntington mendefinisikan peradaban (civilization) sebagai the highest social grouping of people and the broadest level of cultural identity people have short of that which distinguish humans from other species, dan Ibnu Khaldun (13321406 M) yang melihat peradaban (umran) sebagai organisasi sosial manusia, kelanjutan dari proses (semacam urbanisasi) lewat ashabiyah (group feeling), peradaban disini dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kompleksitas produk pikiran kelompok manusia yang mengatasi negara, ras, suku, atau agama, yang membedakannya dari yang lain, tetapi tidak monolitik dengan sendirinya. Salah satu ciri yang penting dalam definisi peradaban adalah berbudaya, yang dalam bahasa Inggris disebut cultured. Orang yang cultured adalah juga yang lettered (melek huruf) namun, pengertian lettered dalam hal ini tidak sekedar bisa membaca dan menulis hal yang sederhana. Orang yang sekedar bisa membaca karangan yang sederhana dan memahami

35

kesenian yang tidak kompleks misalnya, dianggap unlettered (tidak melek huruf). Akibatnya, pembaca sastra dan peminat seni picisan misalnya, dianggap uncultered (tidak berbudaya). Orang yang cultured adalah yang mampu menghayati dan memahami, hasil kebudayaan adiluhung, yang hanya bisa didapatkan dengan pendidikan yang tinggi tarafnya. Orang yang cultured pergi menonton orkes simfoni, membaca buku-buku yang berisi pemikiran dan renungan yang rumit, dan berdiskusi mengenai berbagai perkara yang abstrak dan rumit. Dalam pengertian yang demikian itu, kebutuhan akan adab berarti kebutuhan untuk masuk ke dalam cara hidup yang mungkin oleh kebanyakan anggota masyarakat dianggap elit dan tidak egaliterxxiv. 2. Wujud dan Perkembangan Peradaban. Wujud peradaban 1. Moral Berbicara soal moral berarti berbicara soal perbuatan manusia dan juga pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Karena norma moral merupakan standar prilaku yang disepakati, maka moral bisa dipakai untuk mengukur prilaku orang lain. Oleh karena itu, norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma moral kita betul-betul dinilai, apakah kita ini baik atau buruk, yang menjadi permasalahan bidang moralxxv. 2. Norma Kata norma sudah begitu memasyarakat dan bukan monopoli dunia moral. Kata ini telah lama digunakan dalam dunia meteologi, hukum, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam pengertian dasariah, kata norma berarti pegangan atau pedoman, aturan, tolok ukurxxvi. Dalam dunia etika moral atau hukum, kata ini biasanya menyangkut orientasi tingkah laku dan tindakan manusia sesuai dengan takaran-takaran objektif. Kata ini bernada menuntut perbuatan baik. 3. Etika Adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagimana sebaiknya manusia hidup dalam bermasyarakat, apa yang baik dan buruk. Etika hampir sama atau dekat dengan moral dalam arti pertama, etika adalah nilai-nilai dan norma-norma tentang apa yang baik dan yang buruk yang menjadi pegangan bagi seorang atau suatu kelompok dalam mengatur tinggkah lakunya. Arti kedua, Etika berarti juga kumpulan azas atau nilai moral atau kode etik. Arti ketiga, dalam kehidupan sosial terutama di Indonesia, etika lebih populer

36

dengan sebutan etiket yang berarti sopan santun, lebih dikenal dengan istilah etiket, seperti etika makan, etika berbicara, berpakaian dan sebagainya. 4. Estetika Berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam keindahan, mencakup kesatuan (unity), keselarasan (balance), dan kebalikan (contrast). Ada perbedaan antara nilai dengan norma. Misalnya: mengenai keadilan putusan pengadilan ada yang secara hukum, dari tinjauan norma yang ada sudah benar. Namun bisa jadi putusan tersebut belum memenuhi rasa keadilan bagi para pihak, juga masyarakat. yang acuannya adalah nilai keadilan dari masyarakat itu sendiri. Evolusi Budaya dan Tahapan Peradaban Newel Le Roy Sims menyatakanxxvii : Civilization is the cultural development, the distinctly human attributes and attainments of a particular society. In ordinary usage, the term imolies a fairly high stage on the culture evolutionary scale. Reference is made to civilized peoples. More civilized usage would refer to more highly and less highly civilized peoples, the refer to more highly and less highly civilized peoples, the determinative characteristic being intellectual, aesthetic technological, and spiritual attainments. Dari pernyataan Sims tersebut dapat dikatakan bahwa peradaban merupakan pengembangan budaya, atribut manusia secara jelas dan merupakan pencapaian masyarakat tertentu. Jika mengacu pada perbedaan manusia antara yang beradab dan biadab (manusia yang berbudaya), maka peradaban dapat pula berarti tahapan yang tingi pada skala evolusi. Karakteristik utama melekat pada perbedaan tingkat intelektual, perasaan keindahan, penguasaan teknologi, dan tingkat spiritual yang dimilikinya. Evolusi budaya, menurut Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wavexxviii, terjadi dalam 3 (tiga) gelombang, yaitu : Gelombang Pertama. Gelombang ini terjadi pada masa-masa tradisional, dimana tekhnologi masih belum ditemukan. Kehidupan sosial-budaya masyarakat pada gelombang ini pun masih dianggap tradisional. Dengan kata lain gelombang ini dianggap sebagai tahap peradaban pertanian, dimana dimulai kehidupan baru dari budaya meramu ke bercocok tanam. Toffler menyebutnya sebagai revolusi agraris. Gelombang Kedua. Gelombang kedua dari evolusi budaya adalah tahap peradaban industri. Yang ditandai dengan penemuan mesin

37

uap, energi listrik, mesin untuk mobil dan pesawat terbang. Toffler menyebutnya sebagai revolusi industri Gelombang Ketiga. Gelombang ini dianggap sebagai tahapan evolusi budaya yang lebih modern dan serba canggih atau dapat juga disebut sebagai tahap peradaban informasi. Penemuan-penemuan di bidang tekhnologi informasi dan komunikasi dengan komputer atau alat komunikasi digital dapat dijadikan tolok ukur dalam evolusi budaya gelombang ketiga oleh Toffler ini.

3. Peradaban dan Perubahan Sosial. Modernisasi. Manifestasi proses modernisasi pertama kali tampak di Inggris pada abad ke 18 yang kemudian dikenal dengan sebutan revolusi industri. Penyebaran gejala modernisasi pada awalnya hanya terdapat pada daerah-daerah yang kebudayaannya satu jenis, yaitu kebudayaan Barat yang direpresentasikan oleh Eropa dan Amerika Utara, dan kemudian menyebar lebih luas lagi kebeberapa daerah yang kebudayaannya jauh berbeda dengan kebudayaan barat (Eropa dan Amerika Utara). Penyebaran modernisasi ini dilihat sebagai suatu hal yang biasa atau wajar, karena modernisasi dianggap sebagai suatu hal yang baru dan sesuai dengan perkembangan jaman yang semakin maju, sehingga masyarakat dunia sering dibagi menjadi dua kategori negara yaitu negara maju dan negara yang sedang bekembang. Negara maju dianggap sebagai negara yang telah menerapkan modernisasi dalam setiap aspek bidang kehidupannya, sedang negara yang sedang berkembang dianggap sebagai negara yang sedang mengadakan modernisasi. Koentjaraningratxxix menyatakan modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang. Anthony D Smithxxx (1973:62) menyatakan modernisasi bukan semata-mata proses yang spontan dan tanpa perencanaan. modernization then is a conscious set of plant and policies for changing a particular society in the direction of contemporary societies which the leaders think are more advanced in certain respect. Modernisasi merupakan proses yang dilandasi oleh seperangkat rencana dan kebijakan yang didasari untuk mengubah masyarakat ke arah kehidupan masyarakat kontemporer yang menurut pemikiran para pemimpin lebih maju dalam derajat kehormatan tertentu. Modernisasi merupakan proses mengangkat kehidupan, suasana batin yang lebih baik dan maju daripada kehidupan sebelumnya, suasana kehidupan yang serasi dengan kemajuan zaman. Oleh karena itu, pada kehidupan modern, tercermin alam pikiran

38

rasional, ekonomis, efektif, efisien menuju ke kehidupan yang makin produktif. Modernisasi sebagai konsep dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dapat diartikan sebagai suatu sikap pikiran yang mempunyai kecenderungan untuk mendahulukan sesuatu yang baru daripada yang bersifat tradisi, dan satu sikap pikiran yang hendak menyesuaikan hal-hal yang sudah menetap dan menjadi adat kepada kebutuhan-kebutuhan yang baruxxxi. Adapun efek-efek prkatis dari pada sikap modern itu dapat bersifat konservatif maupun revolusioner. Dapat bersifat konservatif oleh karena sikap penyesuaian itu pada prinsipnya dan pada tujuannya yang terakhir masih hendak menyelesaikan yang lama, yang telah menjadi tradisi dengan menghindarkannya dari kerusakan dan sikap masa bodoh, sesudah datang perubahan dan pembaharuan. Sedang efek yang bersifat revolusioner adalah karena ada keinginan untuk sama sekali mengganti adat tradisi dengan cara meninggalkannya sama sekali. Adapun sikap modern yang berarti mendahulukan sesuatu yang baru dari pada yang sudah menjadi tradisi itu, terutama disebabkan oleh penggunaan ilmu pengetahuan positif, sehingga modernisasi dapat pula kita batasi sebagai sesuatu pikiran yang hendak berusaha untuk mengharmoniskan hubungan antara lembaga-lembaga yang telah lama ada dengan ilmu pengetahuanxxxii. Alex Inkeles memberikan pendapatnya mengenai modernisasi dalam upaya melengkapi uraian-uraian tentang modern dan modernisasi. Inkeles meninjau arti modernisasi sebagai sikap dan nilai-nilai yang ada pada manusia. Menurutnya ada sembilan unsur yang terdapat pada konsep tentang manusia modernxxxiii, yang antara lain yaitu : 1. Seorang manusia modern memiliki sikap untuk siap menerima ha-hal atau pengalaman-pengalaman yang baru dan terbuka untuk inovasi dan perubahan. Sebaliknya manusia tradisional kurang bersikap untuk menerima ide-ide baru, cara-cara baru untuk berperasaan dan bertindak. Sikap ini bukan suatu ketrampilan, melainkan suatu sikap batin. Oleh karena modern adalah suatu sikap pikiran, maka orang yang bekerja di sawah dengan bajak memiliki suatu sikap modern dan dapat membuka pikirannya terhadap perubahan dan pembaharuan dan bersedia mengganti alat kerjanya dengan yang baru yang lebih efektif. 2. Opini. Manusia dikatakan sebagai manusia modern apabila dia mempunyai disposisi untuk membentuk atau memiliki opini atau pendapat tentang berbagai masalah dan isu yang timbul tidak hanya yang berasal dari dalam lingkungannya namun juga yang berasal dari luar lingkungannya. Dengan kata lain,

39

3.

4.

5.

6.

7. 8. 9.

manusia modern memiliki sikap demokratis dengan tidak menolak opini-opini orang lain, dan menganggapnya sebagai sebuah keanekaragaman opini tetapi tidak mudah begitu saja menerima opini orang lain tanpa pertimbangan-pertimbangan yang cukup. Mampu berbeda pendapat dengan orang lain dan menyatakannya adalah sikap manusia modern. Faktor waktu. Manusia di nilai modern apabila dia lebih banyak berorientasi ke masa yang akan datang dari pada berorientasi ke masa yang silam. Manusia modern menghargai waktu dan manusia modern membuat rencana kerja berdasarkan waktu secara tetap. Perencanaan (Planning). Manusia modern dalam tata kerjanya mengadakan perencanaan dan pengorganisasian serta berpendapat bahwa cara-cara tersebut adalah baik untuk mengatur kehidupan. Manusia modern percaya bahwa manusia dapat belajar dalam batas-batas tertentu untuk menguasai lingkungannya guna mencapai dan memajukan tujuannya. Disini penekanannya bukan pada hasil yang dicapai tetapi lebih kepada kepercayaan bahwa suatu saat nanti dia dapat menguasai alam sekelilingnya. Sikap bahwa segala sesuatunya itu dapat dilaksanakan dengan perhitungan, bahwa lembaga-lembaga yang terdapat di dalam masyarakatnya akan mampu untuk memcahkan segala persoalan. Perbedaannya dengan manusia tradisional adalah dalam menghadapi permasalahannya manusia tradisional lebih banyak berorientasi pada nasib atau pada klasifikasi-klasifikasi kosmis, dimana segala sesuatunya sudah ditetapkan fungsi dan tempatnya. Manusia modern menghargai harkat manusia lain. Sikap modern ini tampak sekali pada sikap yang ditujukan kepada wanita dan anak-anak. Manusia modern lebih percaya pada ilmu dan tekhnologi. Manusia modern menjunjung tinggi suatu sikap bahwa pahala yang diterima oleh seseorang itu seharusnya seimbang dengan prestasinya dan kontribusinya di dalam serta kepada masyarakat dan tidak pada ukuran-ukuran lain yang tidak rasional.

Masyarakat Madani. Wirutomoxxxiv menerjemahkan kata civil society yang dikenal di Indonesia sebagai masyarakat sipil, masyarakat warga, masyarakat madani atau masyarakat adab. Pada dasarnya konsep ini sebenarnya sudah lama, berasal dari kata societas civilis atau political society. Tekanan konsep ini lebih kepada hubungan antara pemerintah dan rakyat, negara dan

40

masyarakat. Karena bidang politik pada masa lalu selalu dikaitkan dengan negara, maka muncul konsep civil society sebagai arena bagi negara yang aktif dalam politik. Tetapi lebih luas lagi konsep ini sering juga dikaitkan dengan peradaban masyarakat (civilization) yaitu suatu kualitas kebudayaan masyarakat yang ditandai oleh supremasi hukum. Safrudin Setia Budi membedakan pengertian antara masyarakat madani dan civil societyxxxv. Dia menjelaskan bahwa istilah masyarakat madani diperkenalkan pertama kali oleh Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Anwar Ibrahim, dalam ceramahnya di festival Istiqlal tahun 1991. Istilah masyarakat madani berdasarkan pada konsep negara kota Madinah pada tahun 622 masehi yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Konsep ini tertuang dalam piagam Madinah yang bernuansakan islami yang berisi wacana kebebasan beragama, persaudaraan antar umat beragama, perdamaian dan kedamaian, persatuan, etika politik, hak dan kewajiban warga negara, serta konsistensi penegakan hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan. Jadi, pada prinsipnya masyarakat madani mengarah kepada terciptanya masyarakat yang demokratis dan dapat menghargai hak-hak azasi manusia sebagai individu yang sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan atau ditentukan oleh AlQuran. Sedangkan istilah Civil Society, berasal dari kata latin yaitu Civilis Societas, yang merupakan pendapat dari Cicerio, yang hidup pada abad pertama sebelum kristus. Pengertian awalnya terkait dengan konsep tentang warga dan bangsa Romawi yang hidup di kota-kota yang memiliki kode hukum. Kode hukum itu merupakan ciri dari masyarakat atau komunitas politik yang beradab, yang berhadapan dengan masyarakat di luar Romawi yang (oleh bangsa Romawi dianggap) belum beradab. Konsep Cicerio ini mencakup kondisi individu maupun masyarakat secara keseluruhan yang telah memiliki budaya hidup di kota yang menganut norma-noram kesopanan. Pada perkembangannya, pada akhir abad 17 dan awal abad 18, istilah civil society lebih ditekankan kepada masyarakat politik, yang membedakan diri dari lingkungan keluarga atau masyarakat kecil yang dipimpin oleh bapak keluarga atau bapak masyarakat yang belum melek politik. Namun konsep masyarakat politik ini mendapat bantahan dari Hegel (1770-1871) yang mengatakan civil society bukanlah masyarakat politik dengan tekanan-tekanan moral yang mewarnai perilaku mereka, melainkan masyarakat ekonomi. Karl Marx (1818-1883) kemudian mengikuti pendapat Hegel dengan mengatakan bahwa civil society disebut juga masyarakat borjuis yang merupakan ciri masyarakat barat modern. Dengan kata lain bahwa civil society adalah aspek non-politis dalam masyarakat

41

modern yang sekarang kapitalis. Marx menyatakan bahwa negara dalam masyarakat kapitalis tidak lebih hanya badan pelaksana kepentingan borjuis. Sedang pengertian masyarakat madani di Indonesia adalah perpaduan antara pengertian masyarakat madani yang tercantum dalam Piagam Madinah dengan civil society yang berkembang dalam negara-negara industri. Ke dua pengertian tersebut dapat dianggap saling mengisi serta saling melengkapi, dan penerapannya disesuaikan dengan karakteristik manusia modern Indonesia yang bersifat Sosialis Religiusxxxvi. Dari pengertian masyarakat madani di Indonesia, muncul satu pertanyaan bagaimana dengan realitasnya di Indonesia ?. Menurut Sulardixxxvii, di Indonesia masyarakat madani masih berada pada tataran perdebatan, dan perdebatan mengenai konsep masyarakat madani di Indonesia tidak terlepas dari apa yang terjadi pada hubungan masyarakat dan negara. Lebih lanjut, Kunto Wijoyoxxxviii membahas mengenai hubungan antara negara dan masyarakat ke dalam 4 (empat) konsep, yaitu Pertama, berasal dari pikiran Hegel yang menyatakan bahwa yang rasional adalah aktual dan yang aktual adalah rasional, sedang keberadaan negara adalah aktual yang lahir karena di dalam masyarakat terjadi konflik. Oleh karenanya kemerdekaan sejati tidak akan ditemukan dalam masyarakat, dalam negaralah kemerdekaan itu terwujud. Kedua, berasal dari pandangan K. Marx, bahwa negara adalah alat represi dari negara, oleh karenanya harkat manusia dapat terwujud dengan hapusnya negara, oleh karenanya harkat manusia dapat terwujud dengan hapusnya negara, bersamaan dengan itu hapus pula represi. Ketiga, adalah pandangan A. Gramsci yang menyatakan bahwa negara adalah mewakili paksaan dan dominasi, sedang masyarakat mewakili budaya, konsensus dan ideologi. Dan keempat, menyatakan ada hubungan fungsional antara masyarakat dan negara, masyarakat terpecah antara kepentingan pribadi dan umum, antara individu dan masyarakat. Dan Indonesia berada pada suasana ketiga, yakni terpisahnya antara political society dan civil society. Dengan terpisahnya masyarakat dan negara, maka bila selama ini masyarakat madani yang lazimnya disetarakan dengan civil society belum terbentuk di Indonesia, kuncinya pada demokratisasi yang belum berjalan, sebab secara historis bisa dilihat bagaimana perjalanan bangsa ini yang tertatih-tatih dalam penegakan demokrasinya. 4. Masyarakat Yang Beradab. Beberapa ratus tahun yang lalu bangsa-bangsa Barat beranggapan bahwa banyak masyarakat lain di berbagai benua

42

tidak beradab. Bangsa-bangsa India dan Aborijin, misalnya, dianggap tidak beradab karena tingkah laku mereka tidak bisa diterima oleh orang ramai menurut ukuran Barat, karena mereka dianggap tidak memiliki kesopanan dan kehalusan budi menurut norma yang ditetapkan peradaban Barat. Situasi semacam itu pada dasarnya merupakan pemaksaan norma suatu bangsa terhadap bangsa lain. Sekarang tentu saja keadaan itu berangsur-angsur berubah, meskipun dimana-mana masih saja pemaksaan norma semacam itu. Mungkin, beradab atau tidaknya suatu masyarakat hanya bisa ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Namun, tentu harus ada norma jika kita tetap ingin membicarakan beradab tidaknya suatu masyarakat. Indonesia yang terdiri atas begitu banyak masyarakat tentu memiliki sejumlah norma-norma yang berbeda satu sama lain. Jika ada masyarakat yang biasa menggunakan jari tangan untuk makan, masyarakat bisa saja menganggap tidak beradab begitu juga jika ada masyarakat yang biasa makan ikan mentah atau melakukan ritual dengan cara memenggal kepala orang. Jika kita mengaitkan kebutuhan akan adab ini dengan peradaban, maka kita mengacu pada masyarakat yang memiliki organisasi sosial, kebudayaan, dan cara kehidupan yang sudah maju, yang menyebabkan berbeda dari masyarakat lain. Dalam pengertian ini jelas bahwa ada berbagai peradaban di dunia bahwa masyarakat memiliki peradaban yang barbeda satu sama lain. Peradaban juga mengacu pada cara kehidupan yang nyaman. Pendekatan terhadap peradaban juga berbeda-beda , namun dasarnya boleh dikatakan sama, yakni perkembangan masyarakat pada suatu kurun waktu dan tempat tertentu . Dalam pengertian ini kita mengenal, misalnya peradaban Suku Inca, Mesir Kuno, Asia Timur, Islam, Kristen, Hindu dan Barat. Contoh-contoh itu segera menunjukkan bahwa, meskipun tampaknya ditinjau dari berbagai pendekatan, ada suatu hal yang sama yakni (1). Organisasi sosial, (2). Kebudayaan, dan (3). Cara berkehidupan yang sudah majuxxxix. Bisa juga dikatakan bahwa masyarakat yang memiliki peradaban itu, disamping berkebudayaan tinggi, juga sudah mengembangkan tekhnologi dan sistem pemerintahan yang memungkinkan kebanyakan anggotanya menikmati kenyamanan hidup. Contoh-contoh yang kita sebut itu juga mengacu pada suatu taraf yang tinggi dari masyarakat yang memiliki kesatuan sejarah dan kebudayaan. Dalam kebudayaan Barat, misalnya, manusia beradab adalah yang berpendidikan, sopan, dan berbudaya. Konsepkonsep itu selintas tampak serupa, namun jika kita periksa lebih jauh ada hal-hal yang khas, yang membedakannya dari peradaban lain. Misalnya, pendidikan dalam pengertian ini tentu menuntut ukuran Barat, yang tentunya berbeda dengan

43

peradaban Asia Timur, misalnya. Di zaman lampau, peradaban Cina memiliki ciri penting, yakni keampuhan menguasai kesenian, membaca, dan menulis, oleh karena itu jabatan penting dalam pemerintahan ditentukan oleh hal-hal tersebut. Di Jepang, peradaban Asia Timur telah menghasilkan kebudayaan bushido di masa lampau, yang sampai sekarangpun masih terasa cirinya dalam masyarakat. Kesetiaan kepada atasan dan harga diri merupakan ciri khas. Dua hal antara lain menyebabkan bunuh diri menjadi ritual yang harus dilakukan jika harga diri seorang tidak ada lagixl. Ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian sebagai makna hakiki manusia beradab. Konsep masyarakat adab dalam pengertian lain adalah suatu kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum yang memperjuangkan penguatan posisi masyarakat terhadap negara. Manusia adalah ukuran bagi segala, manusia mempunyai kemampuan untuk menyempurnakan hidupnya sendiri, dengan syarat bertitik tolak dari rasio, intelektualitas, dan pengalamannya. Kualitas hidup manusia bukan hanya diukur dari materi dan sekedar gaya hidup. Tapi nilai kerohanianlah yang tertinggi dan menjadi penentu dari kwalitas hidup manusia, yang akhirnya melahirkan suasana kehidupan ideal berupa ketenangan, kedamaian, kesejahteraan, dan sebagainya. 5. Problematika Peradaban dalam Kehidupan Masyarakat. Kemajuan Iptek Bagi Peradaban Manusia Tekhnologi lahir karena adanya kebutuhan manusia pada masa terdahulu. Meskipun secara sederhana mereka dapat membuat alat-alat yang hasilnya dapat mereka gunakan untuk memudahkan pekerjaan mereka atau meningkatkan hasil kerja mereka. Hal ini berarti mereka telah melakukan kegiatan atau proses yang menghasilkan produk yakni alat-alat dan dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan kegiatan. Sedangkan sains atau ilmu pengetahuan berawal dari sifat ingin tahu manusia. Observasi yang sistematis terhadap peristiwaperistiwa yang terjadi di lingkungan sekitar manusia serta pemikiran atau perenungan tentang sebab-sebab terjadinya beberapa peristiwa di lingkungan manusia ini telah melahirkan suatu kesimpulan sementara yang pada zamannya telah dianut oleh sebagian besar masyarakat. Pada awalnya, persitiwaperistiwa di lingkungan manusia yang menjadi obyek perhatian adalah peristiwa-peristiwa yang bersangkutan dengan alam, misalnya, pergerakan matahari di siang hari, yang muncul dari arah timur dan hilang menuju ke arah barat bahkan terjadi setiap hari. Begitu juga dengan bintang di malam hari yang tampak bergerak mengelilingi bumi.

44

Di lihat dari awal lahirnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi memang tidak terdapat keterkaitannya sama sekali, namun dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan dan tekhnologi memiliki kaitan yang sangat erat. Hal ini dapat diambil contoh misalnya penggunaan mikroskop elektron dalam bidang geologi pada pertengahan abad ke-20 telah membawa kemajuan dalam penelitian terhadap fosil-fosil. Disamping itu, penggunaan mikroskop ini dalam bidang metalurgi amat berguna dalam penelitian tentang struktur suatu logam. Dari beberapa contoh tersebut dapat dikatakan bahwa, konsep ilmu pengetahuan, teori serta hukum yang dikemukakan oleh para ilmuwan membawa dampak pada penemuan tekhnologixli. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sendiri dapat membawa dampak positif maupun dampak negatif. Dapat diambil contoh yaitu dalam bidang telekomunikasi dan tekhnologi informasi. Segi positif dari adanya peralatan telekomunikasi dan peralatan tekhnologi informasi yang makin canggih atau modern, maka beberapa kelompok masyarakat dari beberapa negara dapat berinteraksi dengan mudah. Bahkan Indar Siswarinixlii mengatakan bahwa perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi membuat dunia menjadi sempit. Ruang dan waktu menjadi sangat relatif dan dalam banyak hal batas-batas negara sering menjadi kabur bahkan mulai tidak relevan. Bahkan budaya suatu negara akan lebih mudah diketahui dan bahkan di tiru oleh bangsa atau negara lain. Hal ini tentu akan berakibat pada adanya perubahan nilai budaya pada masyarakat tertentu. Sebagai contoh misalnya, banyak orang yang melihat dari tayangan televisi (yang merupakan kemajuan produk tekhnologi elektronika) melihat tayangan-tayangan kekerasan, yang berakibat pada terpengaruhnya orang-orang tertentu terhadap tayangan tadi yang kemudian melakukan tindakan-tindakan kekerasan seperti yang ia lihat di tayangan tersebut. Contoh lainnya adalah budaya sebagian masyarakat Amerika dengan kebebasannya, seksualitas maupun gaya hidup hedonisme mereka, bisa saja ditiru dan dapat dijadikan pedoman dalam berkehidupan oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama generasi mudanya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang semakin cepat dewasa ini, telah menumbuhkan cakrawala pandangan manusia. Teknologi yang sebenarnya merupakan alat bantu atau ekstensi kemampuan diri manusia, saat ini telah menjadi sebuah kekuatan yang justru (baik disadari ataupun tidak) telah membelenggu perilaku dan gaya hidup kita sendiri. Dengan daya pengaruhnya yang sangat besar, karena ditopang pula oleh sistem-sistem sosial yang kuat, dan dalam kecepatan yang makin tinggi, teknologi telah menjadi pengarah hidup

45

manusia. Masyarakat yang rendah kemampuan teknologinya cenderung tergantung dan hanya mampu bereaksi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kecanggihan teknologi. Dampak Globalisasi Bagi Peradaban Manusia Saat ini dunia sedang menghadapi arus perubahan besar, yang nantinya akan (bahkan telah) membuat konsep-konsep lama mengenai tata hubungan antar bangsa menjadi usang, di samping akan berkembangnya pandangan-pandangan baru. Arus ini didorong oleh kemajuan tekhnologi yang berkembang dengan cepat dalam abad ke-21 ini. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa era tekhnologi industri yang berkembang sejak abad ke18 akan digantikan oleh sebuah era baru yaitu era tekhnologi informasi, atau dengan kata lain proses perubahan yang sekarang berlangsung merupakan proses perubahan dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Jadi dapat dikatakan pula bahwa revolusi di bidang informasi dan komunikasi (yang menggeser bidang industri), terutama terjadi dalam awal abad ke-21, yang akan mempengaruhi kecenderungan perubahan mendasar dalam kehidupan manusia yang salah satu aspek diantaranya ialah kecenderungan globalisasi. Azyumardi Azra menyatakan bahwa disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya umumnya dikalangan masyarakat kita (masyarakat Indonesia) semakin bertambah dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi dari budaya Barat (khususnya Amerika) sebagai akibat proses globalisasi yang hampir tidak terbendungxliii. Berbagai ekspresi sosial-budaya yang sebenarnya asing, yang tidak memiliki basis dan presiden kulturalnya dalam masyarakat kita semakin menyebar pula dalam masyarakat kita, sehingga memunculkan kecenderungankecenderungan gaya hidup baru yang tidak selalu positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa. Arus informasi dan komunikasi telah membuat makin globalnya berbagai nilai budaya. Bahkan secara mendalam telah terjadi interaksi budaya yang sangat intensif yang menjurus ke arah terciptanya nilai budaya universal. Jadi, dapat dikatakan bahwa saat ini sedang tercipta sistem-sistem nilai global yang berlaku dimana-mana. Akibat lain dari globalisasi yaitu masyarakat mengalami anomi atau tidak punya norma atau heteronomy atau banyak norma, sehingga terjadi kompromisme sosial terhadap hal-hal yang sebelumnya dianggap melanggar norma tunggal masyarakat. Selain itu juga terjadinya disorientasi atau alienasi, keterasingan pada diri sendiri atau pada perilaku sendiri, akibat

46

pertemuan budaya-budaya yang tidak sepenuhnya terintegrasi dalam kepribadian kita. Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami dilematis karena globalisasi, dimana masyarakat Indonesia (secara langsung maupun tidak langsung) dituntut untuk terbuka terhadap globalisasi, namun di sisi lain masyarakat Indonesia mengalami ketakutan dengan dampak negatif dari globalisasi yang dapat merusak nilai-nilai (sosial-budaya) yang telah ada. Tetapi, jika masyarakat Indonesia ingin maju maka mengisolasi diri dari globalisasi dianggap sebagai kesalahan karena menolak peluang dan kesempatan untuk maju. Dan jika masyarakat Indonesia memutuskan untuk maju dan dengan sadar menerima globalisasi, maka untuk menghindari dampak negatif dari globalisasi salah satunya solusi alternatifnya adalah dengan penguatan nilai-nilai keagamaan. Benturan Peradaban (The Clash of Civilization). Selama Perang Dingin berlangung, keadaan dunia terbagiterbagi menjadi beberapa bagian yang bertujuan untuk membedakan-bedakan dunia menurut kemampuan sosial-ekonomi serta pertumbuhan ekonomi (bahkan ideologi) suatu negara. Ada tiga bagian di dunia selama Perang Dingin yaitu Dunia Pertama, yang merepresentasikan dunia-dunia maju secara sosial dan ekonominya seperti Amerika dan aliansi Eropa-nya. Dunia Kedua, merupakan representasi dari negara-negara maju tetapi secara sosial-ekonomi baru maju karena bantuan-bantuan yang diberikan oleh Barat seperti Jepang, Korsel, Australia dan lainlainnya. Dan Dunia Ketiga, yang mewakili dunia-dunia yang beru berkembang atau kemampuan sosial-ekonomi serta pertumbuhan ekonominya masih tertatih-tatih untuk maju, seperti Indonesia. Setelah Perang Dingin usai, pembagian dan pengelompokan dunia dalam bidang sosial-ekonomi sudah tidak relevan lagi. Konstelasi politik dunia internasional yang terjadi pasca perang dingin tidak lagi menjadikan isu-isu sosial-ekonomi serta pertumbuhan ekonomi (bahkan ideologi) sebagai tolok ukur dalam membagi dunia. Pembagian dunia saat ini mengarah kepada hal lain yaitu atas dasar budaya dan peradaban. Peradaban adalah suatu entitas budaya. Desa-desa, kawasan-kawasan, kelompok-kelompok etnis, nasionalitas, kelompok-kelompok keagamaan, semuanya memiliki budaya yang berbeda-beda pada tingkat keragaman budaya yang berbeda-beda pulaxliv. Dapat diambil contoh yaitu di Indonesia, budaya orang-orang di daerah-daerah di Indonesia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Budaya Jawa berbeda dengan budaya Sunda, budaya Sumatra atau Batak berbeda dengan dengan budaya Kalimantan atau Dayak, dan lain-lainnnya. Tetapi

47

kesemuanya sama-sama berbudaya Indonesia, sehingga membedakan dengan mereka yang dari Malaysia atau yang dari Brunei Darussalam. Budaya yang berbeda-beda antara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan sekitarnya di wilayah Asia, mempunyai satu budaya yang sama yaitu Budaya Asia. Begitu pula dengan budaya-budaya yang ada di Eropa. Perbedaan budaya antara Inggris, Italia, Prancis, Jerman dan lainlainnya tidak bisa menghapus identitas budaya mereka yaitu Budaya Barat (hal yang sama juga berlaku untuk Amerika). Pada masyarakat Arab juga memiliki identitas budaya yaitu Budaya Arab yang membedakan mereka dari masyarakat Cina dengan Budaya Cina. Tetapi satu hal yang pasti yaitu Barat (Eropa dan Amerika), Arab dan Cina, bukanlah menjadi bagian dari entitas budaya yang lebih luas. Mereka semua merupakan peradabanperadaban. Karena itu suatu peradaban adalah pengelompokan tertinggi dari orang-orang dan tingkat identitas budaya yang paling luas yang dimiliki orang sehingga membedakan dari spesies lainnya. Ia dibantu oleh unsur-unsur obyektif yang sama: seperti bahasa, sejarah, agama, adat-istiadat, institusi, dan juga dibatasi oleh unsur-unsur subyektif, identifikasi diri dari orang-orang ituxlv. Jadi dapat dikatakan bahwa peradaban adalah tingkat identifikasi yang luas yang dimiliki orang, dan dengan peradaban ia memberi identifikasi dirinya secara intens. Orangorang atau bangsa-bangsa bisa dan melakukan redefinisi identitas mereka. Tetapi, dengan adanya redefinisi ini, komposisi dan batas-batas peradaban berubah. Suatu peradaban meskipun dapat mencakup sebagian besar orang atau masyarakat, namun juga bisa mencakup tentang sejarah sebuah negara bangsa, seperti misalnya yaitu peradaban Barat, Eropa, Amerika, Arab, dan Asia serta lainlainnya. Di sini dapat dilihat bahwa peradaban bisa juga bercampur aduk dan tumpang tindih, tetapi yang pasti, ada juga peradaban yang mencakup beberapa peradaban atau sub-sub peradaban. Peradaban Barat misalnya, memiliki dua sub peradaban yaitu peradaban Eropa dan Amerika Utara atau Peradaban Islam yang memiliki tiga sub peradaban yaitu Arab, Turki, dan Melayu. Peradaban merupakan entitas yang jelas, dan kalaupun garis-garis pemisah antara peradabanperadaban itu biasanya tidak tajam, tapi nyata. Identitas peradaban dianggap suatu hal yang sangat penting di masa yang akan datang, dan interaksi dunia akan dibentuk oleh peradaban-peradaban besar yang beberapa diantaranya adalah peradaban Barat, Asia, Amerika Latin, Islam dan lain-lainnya. Namun, konflik yang mungkin akan terjadi di masa mendatang akan terjadi sepanjang garis pemisah budaya yaitu identitas peradaban itu sendiri, yang

48

saling memisahkan peradaban-peradaban tersebut. Menurut Huntington xlvi , hal ini bisa terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor yaitu Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tapi juga mendasar. Peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi adalah agama. Perbedaan peradaban melahirkan perbedaan dalam memandang hubungan manusia dengan Tuhan, individu dengan kelompok, warga dengan negara, orang tua dengan anak, suami dengan istri, hak dengan kewajiban, kebebasan dengan kekuasaan, dan kesejajaran atau kesamaan dengan hirarki. Perbedaan ini hasil proses berabadabad. Mereka tidak mudah hilang, jauh lebih mendasar daripada ideologi atau rezim politik. Perbedaan tidak mesti melahirkan konflik, dan konflik tidak dengan sendirinya melahirkan kekerasan. Tapi selama berabad-abad, perbedaan antara peradaban telah menimbulkan konflik yang paling keras dan yang paling lama. Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Interaksi yang meningkat ini mempertajam kesadaran dan rasa perbedaan peradaban antara orang-orang atau masyarakat yang berbeda peradaban tapi juga mempertajam kesadaran akan kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam peradaban-peradaban itu. Imigrasi dari Afrika Utara ke Perancis melahirkan kebencian di antara orang-orang Perancis terhadap para imigran dari Afrika Utara tersebut, tapi bersamaan dengan itu terjadi peningkatan penerimaan imigran Polandia, Katolik Eropa yang taat. Orangorang Amerika bereaksi lebih negatif terhadap penanaman modal dari Jepang daripada penanaman modal dari Canada dan negara-negara Eropa. Demikian juga halnya dengan, apa yang diungkapkan Donald Horowitz, Seorang Ibo mungkin... seorang Ibo Owerri atau seorang Ibo Onitsha di daerah Timur Nigeria. Di Lagos, ia hanya seorang Ibo. Di Inggris, ia adalah seorang Nigeria. Di New York, ia adalah seorang Afrika. Interaksi antara orang-orang atau bangsa-bangsa yang berbeda peradaban meningkatkan kesadaran peradaban mereka sehingga pada gilirannya memperkuat perbedaan dan kebencian yang merentang atau dipandang merentang jauh ke belakang dalam sejarah. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, di samping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. Banyak agama dunia yang telah dapat mengisi gap (jurang pemisah) ini, sering dalam bentuk gerakan yang dicap fundamentalis. Gerakan-gerakan, ini ditemukan pada agama Kristen Barat,

49

Judaisme, Buddhisme, Hinduisme, dan juga Islam. Di kebanyakan negeri dan agama, orang yang aktif dalam gerakan fundamentalis adalah orang-orang muda, berpendidikan universitas, kalangan profesional, teknisi kelas menengah dan pengusaha. Unsekularisasi dunia, kata George Weigel, adalah salah satu fakta kehidupan sosial dominan di penghujung abad 20 ini. Kebangkitan agama, atau apa yang disebut Gilles Kepel la revanche de Dieu, memberikan suatu basis identitas dan komitmen yang mentransendensikan batas-batas bangsa dan menyatukan peradaban-peradaban. Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi, Barat berada di puncak kekuatan. Dan di sisi lain, dan ini mungkin akibat posisi Barat tersebut, kembalinya ke fenomena asal sedang berlangsung di antara peradaban-peradaban non-Barat. Orang semakin banyak mendengar meningkatnya kecenderungan-kecenderungan untuk kembali ke dalam dan Asianisasi di Jepang. Berakhirnya warisan Nehru dan berlangsungnya Hinduisme India, kegagalan ide-ide Sosialisme dan Nasionalisme Barat dan kemudian reIslamisasi Timur Tengah, dan sekarang perdebatan tentang Westernisasi lawan Rusianisasi di negeri Boris Yeltsin. Barat yang berada di puncak kekuatannya berhadapan dengan non-Barat yang semakin berkeinginan untuk membentuk dunia dengan cara-cara mereka, dan menjadikan peradaban mereka sebagai sumber bagi pembentukan dunia tersebut. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa kompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Di negaranegara bekas Uni Soviet, orang-orang komunis bisa menjadi demokrat, yang kaya bisa menjadi miskin, dan sebaliknya yang miskin menjadi kaya. Tapi orang-orang Rusia tidak bisa menjadi orang Estonia dan orang-orang Azeris tidak bisa menjadi orangorang Armenia. Dalam konflik kelas dan ideologi, masalah kuncinya adalah Anda berada di pihak mana? dan orang dapat memilih mau berada di pihak mana, dan kemudian dapat berpindah ke pihak yang lain. Dalam konflik antara peradaban, masalahnya adalah Anda ini apa?. Ini merupakan ketentuan yang tak bisa berubah. Sebagaimana kita ketahui, dari Bosnia, Kaukasus, sampai ke Sudan, jawaban yang salah terhadap pertanyaan itu bisa berarti anda akan (bahkan dipastikan) kehilangan kepala. Bahkan lebih dari etnisitas, agama mendiskriminasi secara tajam dan ekslusif sesama manusia. Orang bisa menjadi separuh Perancis dan separuh Arab, dan dapat berwarga-negara ganda. Tapi sulit untuk menjadi setengah Katolik dan setengah Muslim. Keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat.

50

Proporsi perdagangan seluruhnya yang dulu bersifat intra-regional bangkit antara tahun 1980-1989. Pentingnya blok-blok ekonomi regional tampaknya terus meningkat pada masa yang akan datang. Di satu sisi, regionalisme ekonomi yang berhasil akan memperkuat kesadaran peradaban. Di pihak lain, regionalisme ekonomi hanya bisa berhasil jika ia berakar dalam budaya yang sama. Masyarakat Eropa bersandar pada landasan budaya Eropa yang sama dan agama Kristen Barat. Keberhasilan Wilayah Perdaganagan Bebas Amerika Utara tergantung pada konvergensi budaya Meksiko, Canada, dan Amerika. Sebaliknya Jepang, menghadapi kesulitan dalam menciptakan entitas ekonomi yang sebanding di Asia Timur karena masyarakat dan peradaban Jepang unik, berdiri sendiri. Bagaimanapun kuatnya perdaganagan dan hubungan-hubungan investasi yang mungkin dapat dikembangkan Jepang dengan negara-negara Asia Timur lainnya, perbedaan budaya Jepang dengan negara-negara tersebut menghambat dan mungkin menghalangi integrasi ekonomi regional yang terus meningkat seperti yang dialami Eropa dan Amerika Utara. Berakhirnya negara-negara yang berbasis ideologi di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet memungkinkan identitas dan kebencian etnik tradisional mencuat ke permukaan. Perbedaan budaya dan agama menciptakan perbedaan-perbedaan dalam masalah-masalah kebijakan, mulai dari hak asasi manusia sampai imigrasi, perdagangan, dan lingkungan. Yang paling penting, upaya-upaya Barat untuk mendukung nilai-nilai demokrasi dan liberalisme sebagai nilai-nilai universal, untuk mempertahankan kekuatan militernya dan untuk memajukan kepentingan ekonominya, melahirkan respon balik dari peradaban-peradaban lain. Semakin pemerintah tidak mampu memobilisasi dukungan dan membentuk koalisi atas dasar ideologi, hal ini mengakibatkan pemerintah dan kelompokkelompoknya akan semakin berusaha memobilisasi dukungan dengan daya tarik agama yang sama dan identitas peradaban.

Ringkasan

Banyak perbedaan pendapat dari para ahli tentang perbedaan antara peradaban dan kebudayaan yang berlangsung sejak lama. Namun dari perbedaan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan tentang peradaban yaitu peradaban merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan bagian-bagian atau unsur kebudayaan yang dianggap halus, indah dan maju. Misalnya perkembangan kesenian, IPTEK, kepandaian manusia dan sebagainya di mana tiap bangsa di dunia memiliki karakter kebudayaan yang khas.

51

Konsep peradaban sendiri tak lain adalah perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang tercermin dalam tingkat intelektual, keindahan, tekhnologi, spiritual yang terlihat dalam masyarakatnya. Dengan demikian, peradaban adalah merupakan tahapan tertentu dari kebudayaan masyarakat tertentu pula yang telah mencapai kemajuan tertentu yang dicirikan oleh tingkat ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni yang telah maju. Suatu masyarakat yang telah mencapai tahapan peradaban tertentu, berarti telah mengalami evolusi kebudayaan yang lama dan bermakna sampai pada tahap tertentu yang diakui tingkat iptek dan unsur-unsur budaya lainnya. Dengan demikian, masyarakat tersebut dapat dikatakan telah mengalami proses perubahan sosial yang berarti, sehingga taraf kehidupannya semakin kompleks. Atau dengan kata lain telah memasuki tahapan atau tingakatan peradaban tertentu. Wujud peradaban sendiri terdiri dari empat hal yaitu Moral, Norma, Etika dan Estetika. Keempat wujud peradaban ini juga dapat dijadikan acuan bagi perkembangan peradaban, hal ini karena peradaban tiap-tiap bangsa atau negara mempunyai standar dan parameter tersendiri untuk dapat dikatakan sebagai sebuah bangsa atau negara yang beradab. Dan jika ada nilai-nilai peradaban sebuah bangsa atau negara yang cenderung dipaksakan agar diterima oleh bangsa atau negara lain maka yang terjadi adalah benturan terhadap nilai-nilai tersebut atau seperti yang dikatakan oleh Samuel P. Huntington yaitu terjadinya Clash of Civilization (benturan peradaban). Peradaban yang merupakan perkembangan dari kebudayaan memiliki tahapan peradaban yang disebut dengan evolusi budaya yang terdiri dari tiga gelombang yaitu pertama, yang terjadi pada masa-masa tradisional, dimana tekhnologi masih belum ditemukan; kedua, tahap peradaban industri; dan yang ketiga, tahapan evolusi budaya yang lebih modern dan serba canggih atau dapat juga disebut sebagai tahap peradaban informasi. Salah satu bentuk peradaban adalah modernisasi. Modernisasi pertama kali muncul di Inggris pada abad ke 18 yang ditandai dengan adanya perubahan dalam secara besarbesaran dalam sector industri yang kemudian dikenal dengan sebutan revolusi industri. Modernisasi dianggap sebagai suatu hal yang baru dan sesuai dengan perkembangan jaman yang semakin maju, sehingga masyarakat dunia sering dibagi menjadi dua kategori negara yaitu negara maju dan negara yang sedang bekembang. Negara maju dianggap sebagai negara yang telah menerapkan modernisasi dalam setiap aspek bidang kehidupannya, sedang negara yang sedang berkembang

52

dianggap sebagai negara yang mengadakan modernisasi. Bentuk lainnya dari peradaban dapat juga dilihat dari konsep Masyarakat Madani yang ingin diterapkan di Indonesia atau dalam kancah dunia internasional disebut dengan Civil Society (Masyarakat Sipil). Dari sedikit pemaparan diatas dapat di ambil sebuah kesimpulkan yaitu ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian sebagai makna hakiki manusia beradab. Konsep masyarakat adab dalam pengertian lain adalah suatu kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum yang memperjuangkan penguatan posisi masyarakat terhadap negara. Manusia adalah ukuran bagi segala, manusia mempunyai kemampuan untuk menyempurnakan hidupnya sendiri, dengan syarat bertitik tolak dari rasio, intelektualitas, dan pengalamannya.

TUGAS UNTUK DISELESAIKAN


1. 2. 3. 4. 5. Jelaskan secara ringkas perbedaan antara peradaban dan kebudayaan serta berikan contohnya masing-masing ! Sebutkan dan jelaskan perkembangan peradaban ?. tahapan-tahapan dari

Jelaskan sembilan unsur yang terdapat pada konsep tentang manusia modern ?. Jelaskan dampak positif dan negatif perkembangan IPTEK bagi peradaban manusia ?. dari

Diskusikan dengan teman anda 3 - 5 orang tentang faktor-faktor penyebab terjadinya benturan peradaban dari Samuel Huntington ?. Apa yang dimaksud dengan : a. Modernisasi c. Civil Society b. Masyarakat Madani d. Clash of Civilization

6.

BAB IV MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL


Oleh : Drs H Misno A Lathief, M.Pd

1. Manusia Sebagai Makhluk Terbaik Ciptaan Allah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna kejadiannya. Manusia diciptakan oleh Allah dengan berbagai perangkat kelengkapannya yang 53

kompleks. Kesempurnaan kejadian manusia difirmankan oleh Allah dalam Surat At Tiin ayat 5, yang artinya: Sungguh Kami ciptakan manusia itu dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Harus diakui dan disyukuri bahwa kejadian manusia dilihat dari dimensi apapun apabila dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan Allah, maka keberadaan wujud manusia sungguh teramat baik. Selain unsur kelengkapan rohani yang berupa akal, rasa, dan kehendak, secara jasmani keberadaan tubuh manusia juga mengandung unsur-unsur nilai estetika (keindahan). Meurut teori keindahan suatu benda dikatakan indah kalau mengandung setidaknya 3 unsur, yaitu contrast (pertentangan), simetry/balance (keserasian/keseimbangan), dan unity (kesatuan) Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah memenuhi semua unsur tersebut. Secara anatomis mulai dari bentuk dan ukuran kepala badan, tangan dan kaki tidak ada yang terlepas dari unsur-unsur keindahan tersebut. Kepala dengan ukuran yang tentatif bagi setiap orang mengandung ketiga unsur keindahan, sehingga dapat menampakkan wajah seseorang memiliki daya tarik pada orang lain. Unsur kontras atau pertentangan ditampakkan antara lain dalam: rambut, mata, gigi, bahkan bentuk wajah. Sedangkan simetri dan keseimbangan terdapat pada keberadaan mata, telinga, hidung, dan lainnya. Bentuk kontras dari rambut misalnya, masing-masing rambut yang tumbuh di tubuh manusia ternyata memiliki tingkat pertumbuhan yang kontras antara satu dan lainnya. Rambut di kepala ternyata bisa tumbuh dengan subur dan bisa memanjang. Sementara rambut lainnya seperti, alis, bulu mata, kumis, dan jenggot tidak bisa tumbuh memanjang sebagaimana rambut di kepala. Hal ini merupakan indikator dari kekontrasan rambut manusia, sehingga membuat penampilan manusia menjadi indah. Kita bisa bayangkan seandainya rambut alis, bulu mata bisa memanjang seperti rambut di kepala, maka hal ini tentu akan mengurangi kualitas keindahan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah. Mata manusia mengandung unsur kekontrasan pula, yaitu dengan bola mata yang berwarna-warna. Manusia Indonesia dianugerahi oleh Allah bola mata berwarna putih dan hitam. Dengan kekontrasan warna bola mata seperti ini menjadikan penampakan wajah manusia menjadi indah pula. Bisa dibayangkan bagaimana seandainya bola mata manusia itu tidak mengandung kekontrasan, misalnya hanya berwarna hitam saja, atau sebaliknya hanya berwarna putih saja ?. Kalau ada manusia yang memiliki bola mata dengan hanya satu warna saja, maka penampilannya tidak lagi akan memiliki nilai keindahan,

54

mungkin sebaliknya yaitu bisa menakutkan kepada manusia lainnya. Nilai keindahan seperti dicontohkan di atas akan menjadi lebih konkrit jika ditambah dengan adanya unsur simetri dan keseimbangan. Bola mata ada dua biji, telingga juga dua bagian seimbang dan simetry, hidung walaupun satu tetapi lobangnya dua dan menghadap ke bawah, kesemuanya melengkapi betapa manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang indah. Keberadaan tangan dan kaki juga demikian. Unsur keindahannya berupa kontras sangat tampak sekalipun banyak manusia yang kurang menyadari. Coba perhatikan bagaimana pertentangan yang terjadi antara langkah kaki dan ayunan tangan ketika seseorang sedang berjalan?. Ketika kaki kanan melangkah ke depan, ternyata secara reflektif diikuti oleh ayunan tangan kiri yang ke depan, dan sebaliknya. Dengan gerakan reflektif seperti ini menjadikan penampilan manusia dalam berjalanpun tampak serasi dan indah. Unsur unity atau kesatuan sebagai bagian dari sifat keindahan yang juga terdapat pada diri manusia ditampakkan dalam wujud keberadaan manusia secara totalitas. Artinya semua sifat-sifat keindahan yang dimiliki oleh manusia baik secara fisik maupun psikis akan memiliki arti indah apabila unsur unity sebagai suatu sistem juga terpenuhi. Secara anatomis yang disebut sebagai manusia adalah wujud utuh adanya fisik dan psikis atau jasmani (badan) dan rohani (ruh). Manusia memiliki sifat indah tersebut apabila kedua unsur ini yaitu badan dan ruh berada dalam satu sistem, tidak hanya salah satu fisik saja, atau dalam kondisi tidak utuh. Sebab bagaimanapun baiknya bentuk fisik manusia dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan Allah apabila tidak dalam kondisi utuh (sistem), maka nilai keindahannya akan berkurang, bahkan hilang atau tidak ada sama sekali. Wajah misalnya dikatakan cantik atau tampan apabila wajah tersebut berada dalam satu sistem dengan bagianbagian tuhuh yang lain. Coba bayangkan kira-kira bagaimana cantiknya wajah seseorang kalau ternyata hanya tampak kepalanya saja di hadapan kita tanpa ada bagian tubuh lainnya ? 2. Manusia Sebagai Makhluk Individu Manusia sebagi makhluk individu memiliki identitas tersediri yang berbeda dengan manusia lainnya. Perbedaan ini meliputi berbagai aspek kehidupan yang melekat kepadanya. Mulai dari ukuran bentuk fisik, wajah, sifat, sampai pada identitas yang paling umum yaitu nama. Kalau ada nama yang sama antara satu individu dengan individu lainnya itu bukan berarti bahwa di antara kedua manusia tersebut benar-benar sama atau

55

identik. Nama yang sama yang dimiliki oleh masing-masing individu sifatnya hanyalaha kebetulan saja. Adakalanya seseorang agak sulit membedakan di antara dua orang yang kembar siam. Mana yang lebih tua atau sebaliknya. Sepintas kalau diamati mungkin di antara keduanya sepertinya tidak terdapat suatu perbedaan yang signifikan. Namun sebagai makhluk individu yang merupakan sunnatullah, pasti di antara keduanya memiliki perbedaan. Kondisi seperi ini sebenarnya sekaligus juga mengingatkan kepada manusia bahwa Allah itu betapa maha kuasa, maha besar, maha hebat mencipta makhluk tak pernah kehabisan bentuk-bentuk wajah baru. Bisa dibayangkan manusia di dunia yang sudah hampir mencapai dua milliard, tidak ada satupun yang memiliki wajah sama, baik di antara sesam lelaki maupun perempuan. Ketidak samaan tersebut juga sebagai kodrati yang membuat kehidupan manusia menjadi harmoni dan serasi dalam keseimbangan. Bagaimana kira-kira kehidupan di dunia ini seandainya ada manusia yang benar-benar sama antara satu dengan lainnya, terlebih lagi jika berjumlah banyak. Mungkin bisa terjadi istri orang akan diakui sebagai istrinya, dan sang istripun tidak menolak karena yang mengaku tersebut benar-benar seorang lelaki yang identik dengan wajah suaminya. Manusia sebagai makhluk individu memiliki karakteristik atau sifat-sifat seagai berikut. 1) Satu kesatuan yang utuh, terorganisir yang beraksi dan bereaksi 2) Dinamis, selalu berkembang baik karena pengaruh internal maupun eksternal. 3) Berbeda dengan pribadi-pribadi lainnya. 4) Memiliki nilai tersendiri, prilakunya tunduk dan menggambarkan nilai yang diakuinya. 5) Sulit dinilai, yang dapat diamati hanya manifestasinya dalam bentuk perbuatan. 3. Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Individu Pada dasarnya terjadinya perbedaan invidu satu dengan individu lainnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal lebih banyak berhubungan dengan hereditas, sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan lingkungan. Namun demikian keadaan dua faktor tersebut sebenarnya juga masih belum memberikan suatu gambaran yang jelas sebagai penyebab terjadinya perbedaan di antara individu-individu yang ada. Sebagai suatu contoh dua orang anak yang memiliki kemampuan hampir sama di dalam kelas tertentu, pada umumnya tidak disebabkan oleh faktor yang sama. Anak yang

56

satu mungkin memiliki bakat atau potensi yang baik sehingga walaupun dengan lingkungan yang kurang menguntungkan ia mampu mencapai taraf kepandaian atau kemampuan tersebut. Namun akan mustahil ia akan dapat mempunyai kemampuan tersebut tanpa ada suatu usaha belajar dari yang bersangkutan dalam lingkungan lain yang lebih baik. Sebaliknya individu yang kedua ia bisa mencapai tingkat kepandaian tersebut karena lingkungannya memberikan fasilitas ke arah itu. Misalnya orang tuanya termasuk keluarga terdi-dik (guru). Akan tetapi perlu disadari bahwa lingkungan yang baik belum merupakan suatu jaminan bagi seseorang untuk secara otomatis mau memanfaatkan lingkungannya. Seorang anak yang berasal dari keluarga dokter walaupun di rumah tempat prakteknya terdapat sejumlah peralatan kedokteran, kalau dalam dirinya tidak ada minat untuk untuk menjadi dokter ia tidak akan tertarik untuk menggunakan alat-alat tersebut. Demikian halnya dengan anak dari keluarga terdidik, ia tidak akan bisa menjadi anak pandai apabila ia tidak mempunyai perhatian terhadap pelajaran-pelajaran sekolahnya. Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa di antara kedua faktor tersebut baik internal maupun eksternal terdapat pola-pola kombonasi dan interaksi yang cukup kompleks, sehingga kadang-kadang tidak mudah bagi kita untuk membedakan akibat-akibat manakah yang benar-benar ditimbulkan oleh internal (hereditas) dan akibat mana yang ditimbulkan oleh faktor eksternal (lingkungan). Kadang-kadang masih ada orang memperdebatkan manakah yang lebih penting antara hereditas dan lingkungan ? Perdebatan mengenai pertanyaan semacam ini sebenarnya tidak akan membawa kepada suatu penyelesaian karena rumusannya masih terlalu kabur. Sama halnya kalau kita berdebat mengenai mana yang lebih penting pada sebuah mobil, mesinnya atau bahan bakarnya. Begitu juga tidak dapat kita katakan, manakah yang lebih penting pada seorang individu : hereditasnya atau lingkungannya karena kedua faktor itu sangat diperlukan. Kalau orang berbicara tentang perbedaan-perbedaan individu atau perbedaan antara kelompok-kelompok individu yang ingin diketahui orang sebenarnya adalah apakah manusia yang berbeda karena hereditasnya berbeda ataukah karena lingkungannya yang berbeda. Dengan rumusan semacam ini pertanyaan di atas lebih berarti untuk dipersoalkan, karena mungkin saja sebuah mobil jalannya lebih cepat karena mesinnya yang lebih baik atau karena bahan bakarnya yang lebih baik. Dua buah mobil yang sama kondisi mesinnya, satu diisi premium dan satu lagi bensin biasa, maka kedua mobil itu akan berbeda kecepatan larinya. Begitu juga halnya kalau dua

57

buah mobil yang berbeda kondisi mesinnya, meskipun samasama diisi premium tidak akan sama cepat larinya. Dua orang manusia sama halnya dengan dua mobil tadi. Mereka mungkin memiliki hereditas yang sama akan tetapi perkembangannya menjadi berbeda oleh karena diasuh dan dibesarkan dalam dua buah lingkungan yang berbeda. Sebaliknya dua orang yang diasuh dalam lingkungan yang sama mungkin akan memperlihatkan perkembangan yang berbeda, kalau dua orang tadi memiliki hereditas yang berlainan. Setiap individu adalah merupakan hasil dari hereditas dan lingkungan. Hubungan antara hereditas dan lingkungan lebih tepat kalau digambarkan sebagai suatu hasil perkalian dan bukan sebagai hasil penjumlahan. Jadi individu bukan hereditas ditambah lingkungan akan tetapi hereditas kali lingkungan. Hereditas dapat dilukiskan sebagai dasar dari suatu segi empat, lingkungan sebagai tinggi dan individu sebagai luas dari segi empat itu.

Gambar Interaksi Hereditas dan Lingkungan

Dengan gambar tersebut Individu yang jelas bahwa seorang individu tidak Sedang berkembang hanya ditentukan oleh hereditasnya saja atau oleh Iingkungannya saja, karena kalau salah satu bagian hilang, Hereditas maka tidak mungkin akan terbentuk luas yang merupakan individunya. Jadi kedua faktor tersebut sama pentingnya dan mutlak harus ada. Perhatikan gambar di bawah ini..

A C B Individu A potensi hereditasnya biasa-biasa saja, tetapi lingkungannya cukup bagus sehingga menghasilkan kondisi
Hereditas

Gambar Kondisi Lingkungan dan Hereditas terhadap Perkembangan Individu

Lingkungan

Lingkungan

58

perkembangan pribadi seluar kotak yang ada. Luas kondisi perkembangan pribadi B hampir sama dengan A walaupun potensi hereditasnya lebih baik daripada A. Namun potensi ini kurang mendapatkan dukungan dari lingkungan di mana B berada. Selanjutnya individu C perkembangan pribadinya jauh melebihi A dan B, karena pribadi C didukung oleh faktor potensi hereditas yang baik, dan kondisi lingkungan yang baik pula. Dengan dukungan yang positip dari kedua faktor tersebut, maka luas kotak C jauh lebih luas, yaitu duakali luas kotak A maupun B. Ilustari dari gambar di atas dalam dunia pendidikan dikenal dengan hukum dasar pendidikan, yaitu pandangan para pakar pendidikan yang melihat aspek perkembangan pribadi seseorang ditentukan oleh lingkungan (Empirisme), potensi bawaan dari lahir (Nativisme), dan perpaduan antara lingkungan dan potensi bawaan (Konvergensi) Pandangan Empirisme yang dipelopori oleh John Lock (1632-1704) mengatakan bahwa anak yang baru lahir bagaikan kertas putih yang tidak ada tulisan apa-apanya. Teori ini juga disebut sebagai Tabularasa (meja lilin). Karena kondisinya yang bersih belum ada tulisannya sama sekali, maka dalam perkembangan hidupnya anak akan menjadi apa sangat tergantung pada tulisan apa yang akan menggores pada kertas kosong tersebut. Kalau yang menggores tulisan yang baik, maka akan jadi anak yang baik, dan sebaliknya apabila yang menggores tersebut adalah tulisan yang jelek jadilah ia anak yang jelek. Tulisan yang akan menggores pada kertas kosong tersebut itulah yang dikategorikan sebagai lingkungan. Di sini pendidikan termasuk sebagai lingkungan, sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan bagi individu manusia. Nativisme memandang pribadi manusia yang baru lahir bertolak belakang dengan Empirisme. Nativisme memandang bahwa anak lahir sudah membawa suatu nativus (bakat), sehingga kelak ia akan menjadi apa sangat tergantung pada bakat yang dibawanya. Dengan demikian maka lingkungan tidak penting karena tidak akan memberikan kontribusi apa-apa terhadap potensi bawaan tertsebut. Oleh sebab itu faktor pendidikan menurut pandangan ini tidak diperlukan adanya. Pelopor teori ini ialah Arthur Schopenhuer (1788-1860) Pandangan ketiga tampaknya mengkompromikan kedua pandangan di atas. Bagaimanapun kuatnya alasan kedua pandangan tersebut, namun keduanya dianggap kurang realistik. Suatu kenyataan bahwa potensi hereditas yang baik saja tanpa pengaruh lingkungan (pendidikan) yang positip tidak akan membina kepribadian yang ideal. Sebaliknya meskipun lingkungan (pendidikan) yang positip dan maksimal tidak akan menghasilkan perkembangan kepribadian yang ideal tanpa

59

didukung potensi hereditas yang baik. Oleh sebab itu perkembangan pribadi seseorang pada dasarnya adalah perpaduan atau hasil proses kerja sama di antara faktor potensi hereditas (internal) dan kondisi lingkungan atau pendidikan (eksternal). Setiap pribadi adalah hasil konvergensi faktor internal dan eksternal. Teori ini dipelopori oleh William Stern (1871 1938). Teori tersebut diformulasikan dalam sebuah rumus sebagai berikut.

Keterangan: P = Personality (kepribadian) H = Heredity (hereditas) E = Environment (lingkungan) Pelajaran penting yang bisa diambil dari cara pelukisan semacam ini ialah bahwa memperbaiki keadaan lingkungan untuk sejumlah individu secara serentak tidak akan mengurangi perbedaan individu. Malahan sebaliknya, perbaikan lingkungan yang diberikan secara sama kepada sejumlah individu justru akan memperbesar perbedaan-perbedaan individu tersebut. Hal ini bisa kita terangkan dengan menggunakan effektivitas daripada lingkungan seperti yang sudah pernah kita singgung di muka. Suatu lingkungan tidak dengan sendirinya merangsang seorang individu untuk berbuat: Effektivitas dari lingkungan bergantung kepada bagaimana interprestasi individu yang bersangkutan terhadap nilai dari lingkungan tersebut. Untuk jelasnya baiklah kita berikan suatu contoh. Dalam suatu daerah yang terpencil di mana tidak ada sekolah, perpustakaan, televisi dan media pendidikan lainnya seorang anak yang cerdas akan tetap menjadi buta huruf seperti anakana,k lain di daerah itu. Akan tetapi dalam lingkungan yang lebih baik, misalnya jika kepada mereka diberikan kesempatan untuk bersekolah sampai setinggi-tingginya, anak yang lebih cerdas tadi akan berkembang jauh lebih pesat dar ri anak-anak lainnya. Kembali kepada gambar di atas. Kalau lingkungan individu A dan B dikalikan 2 (dua) maka perbedaan luas A dan B akan menjadi jauh lebih besar daripada perbedaan luas sebelumnya. Dengan demikian jika kita mewujudkan perbedaan individu yang disebabkan oleh faktorfaktor hereditas, dibutuhkan suatu lingkungan yang kaya yang penuh dengan rangsang-rangsang yang tepat. Lingkungan dapat mengurangi timbulnya perbedaanperbedaan individu. Menurut jalan pikiran yang telah dikemukakan di muka, individu-individu dengan hereditas yang 60

P = HxE

berbeda-beda tidak akan dapat dibentuk menjadi individu yang sama dengan jalan menempatkan mereka dalam lingkungan yang sama. Meskipun bukan maksudnya untuk membentuk individu yang sama, akan tetapi dalam praktek kadang-kadang kita memerlukan sekelompok individu yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang bersamaan. Sebagai suatu contoh dapat kita kemukakan pengajaran di sekolah-sekolah kita. Untuk tiap-tiap kelas seolah-olah sudah ditentukan sebelumnya, keterampilan-keterampilan atau pengetahuan apa yang seharusnya sudah dimiliki oleh anak-anak dalam kelas itu, lepas dari persoalan bagaimana hereditas yang mereka miliki. Untuk mencapai maksud ini harus kita adakan semacam Kompensasi : artinya terhadap anak yang satu yang sudah miliki kecerdasan, keberanian dan usaha yang lebih besar tidak perlu lagi kita curahkan perhatian yang terlalu besar, sedangkan terhadap anak-anak yang agak lemah kurang usahanya kita berikan perhatian dan bantuan yang lebih banyak. Dengan demikian ,pada akhir tahun ajaran bisa kita mengharapkan sejumlah individu dengan kecakapan dan pengetahuan yang relatif bersamaan. Kalau kita menengok kembali gambar di atas, keadaan semacam ini bisa dilukiskan sebagai individu B dan C. Mereka memiliki kualitas yang kira-kira bersamaan meskipun lingkungan dan hereditas mereka masing-masing berbeda. Dengan demikian dari lukisan ini kita bisa menarik suatu pelajaran bahwa kualitas yang bersamaan yang dimiliki oleh dua orang individu mungkin saja ditimbulkan oleh faktorfaktor yang berbeda. 4. Manusia Sebagai Makhluk Sosial Manusia pada umumnya dilahirkan seorang diri, namun demikian mengapa hidupnya harus bermasyarakat? Seperti diketahui, maka manusia pertama yaitu Adam telah ditakdirkan untuk hidup bersama dengan manusia yang lain yaitu istrinya yang bernama Hawa. Banyak cerita-cerita tentang manusia yang hidup menyendiri seperti misalnya cerita Robinson Crousoe yang diceritakan sebagai manusia yang hidup sendiri. Akan tetapi pengarangnya tak dapat membuat suatu penyelesaian tentang hidup seorang diri tadi, karena kalau dia mati maka berarti bahwa riwayatnya pun akan habis pula. Kemudian muncullah tokoh Friday sebagai teman Robinson Crousoe. Walaupun temannya pria itu juga, namun hal itu membuktikan bahwa pengarang sudah mempunyai perasaan tentang kehidupan bersama antar manusia. Begitu pula tokoh tarzan di dalam film yang diberi pasangan seorang wanita sebagai teman hidupnya, yang kemudian berketurunan pula, dan seterusnya.

61

Apabila kita membaca cerita-cerita dari dunia wayang maka tokoh-tokoh seperti Arjuna yang sering bertapa dan menyendiri pada akhirnya juga kembali pada saudarasaudaranya. Bertapa dan menyendiri itu, hanyalah untuk semntara waktu saja, dan bersifat temporer. Seorang Kiyai di Madura yang kontroversi juga gemar bertapa ketika masa mudanya. Bahkan tidak jarang sampai pingsan karena tidak pernah makan dan minum. Keluarganya dibuat kebingungan sehingga harus merawat dan membawanya pulang dari tempat pertapaannya. Ia dirawat, disuapi, dikasih minum hingga sadar atau siuman kembali. Begitu siuman ia berangkat lagi ke tempat semula di mana ia bertapa. Begitu seterusnya dan pada akhirnya iapun kembali pulang ke rumahnya. Di lingkungan tempat tinggalnya akhirnya iapun tidak lagi menyendiri, ia beristri dan karena sosialnya sekarang ia telah memiliki sepuluh orang istri. Hebatnya semua istrinya tinggal serumah dengan istri pertama sebagai manajernya. Memang apabila manusia dibandingkan dengan makhlukmakhluk hidup yang lainnya seperti misalnya hewan, dia tak akan dapat hidup sendiri. Seekor anak ayam misalnya, walaupun tanpa induknya, mampu untuk mencari makan sendiri; demikian pula hewan-hewan lainnya seperti kucing, anjing, harimau, gajah, atau yang lainnya. Manusia tanpa manusia lain takkan mampu bertahan hidup lama. Bayi misalnya, harus disusui, disuapi dimandikan, dirangsang untuk berlatih berjalan, bermain, makan, dan lain sebagainya. Jadi sejak manusia lahir, ia selalu akan berhubungan dengan manusia lainnya. Lagi pula, manusia tidak dikaruniai Tuhan dengan alat-alat fisik yang cukup untuk dapat hidup sendiri. Harimau misalnya, diberi kuku dan gigi yang kuat untuk mencari makan sendiri; burung diberi sayap untuk dapat terbang jauh. Katak diberi alat khusus untuk hidup di darat maupun di tempat-tempat berair; ikan diberi alat khusus untuk dapat hidup di air. Akan tetapi manusia tidak demikian; fisiknya tidak sekuat hewan-hewan besar, akan tetapi manusia dia diberi kelengkapan untuk hidup dan kehidupannya yang sangat luarbiasa ampuhnya, bahkan jauh lebih sempurna daripada makhluk-makhluk lain ciptaan Allah, yaitu akal. Akal tak dapat secara langsung digunakan sebagai alat hidup, akan tetapi dapat diberdayakan untuk membuat berbagai alat kebutuhan yang diperlukan untuk kehidupan. Hewan-hewan seperti sapi, keledai, beruang, kuda, sanggup hidup di udara dingin tanpa pakaian. Manusia tak mungkin mampu bertahan seperti hewan-hewan tersebut menghadapi cuaca dingin hingga -52o C seperti di daerah Chascaton Canada. Namun dengan kemampuan akal yang dimilikinya manusia mampu menciptakan pakaian dan

62

perlengkapan lainnya untuk melindungi diri dari ganasnya alam cuaca dingin, bahkan panas dari terik matahari sekalipun. Dalam menghadapi alam sekeliling, manusia harus hidup berkawan dengan manusia-manusia lain dan pergaulan tadi mendatangkan kepuasan bagi jiwanya. Apabila manusia hidup sendirian, misalnya dalam keadaan terkurung di dalam sebuah ruangan yang tertutup sehingga dia tidak dapat mendengarkan suara orang lain atau tidak dapat melihat orang lain, maka terjadi gangguan dalam perkembangan jiwanya. Naluri dari manusia untuk selalu hidup dengan orang lain, disebut gregariousness. Oleh karena itu manusia disebut juga sosial animal (=hewan sosial, hewan yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama). Di dalam hubungan antara manusia satu dengan manusia lain akan muncul suatu reaksi sebagai akibat dari hubungan tersebut. Reaksi ini menyebabkan tindakan seseorang menjadi bertambah luas. Misalnya, kalau ada seseorang menyanyi ia membutuhkan reaksi, entah yang berwujud pujian atau celaan yang merupakan dorongan bagi tindakan-tindakan selanjutnya. Di dalam memberikan reaksi tersebut ada suatu kecenderungan manusia untuk memberikan keserasian dengan tindakantindakan orang lain, karena sejak dilahirkan, manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yaitu: 1. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya (masyarakat) 2. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam disekelilingnya Untuk dapat menghadapi dan menyesaikan diri dengan kedua lingkungan nya, manusia mempergunakan akal pikiran, perasaan, dan karsanya. Dalam menghadapi lingkungan alam; misalnya udara dingin, panas yang menyengat, atau lainnya, manuia menciptakan rumah, pakaian, penghangat, penyejuk dan lain-lain. Manusia juga harus makan, agar badannya tetap sehat, untuk itu dia dapat mengambil makanan sebagai hasil dari alam sekitar, dengan mempergunakan akalnya. Di daerah pantai, manusia akan menjadi nelayan untuk menangkap ikan; apabila alam sekitarnya hutan, maka manusia akan berburu untuk mencari makanannya. Kesemuanya itu menimbulkan kelompokkelompok sosial atau sosial-group di dalam kehidupan manusia ini, karena manusia tak mungkin hidup sendiri. Kelompokkelompok sosial tersebut merupakan himpunan atau kesatuankesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal-balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong menolong. Dengan kondisi semacam ini akan terbentuklah suatu kehidupan

63

bersama atau yang dikenal dengan istilah kelompok sosial. Ciri dari suatu kelompok sosial yaitu: 1) Setiap anggota kelompok sadar bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan. 2) Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya. 3) Memiliki rasa senasib seperjuangan. 4) Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku. Abraham Maslow dalam teorinya mengatakan bahwa manuisa itu memiliki kebutuhan yang bersifat hirarkis. Maksudnya manusia akan berusaha mendapatkan kebutuhan lainnya apabila kebutuhan di bawahnya telah terpenuhi terlebih dahulu. Kebutuhan tersebut bila digambarkan adalah sebagai berikut. 1. Physical Needs
5 4 3 2 1

2. Safety Needs 3. Love Needs 4. Esteem Needs 5. Self Actualization Needs

Gambar Hirarki Kebutuhan Manusia

Kebutuhan fisik manusia dalam hidup diperuntukkan bagi keberlang-sungan kehidupannya bersama-sama dengan manusia lainnya. Kebutuhan ini diwujudkan dalam bentuk makan, minum dan lainnya. Tujuannya semata-mata agar survive. Selanjutnya apabila kebutuhan pokok ini terpenuhi maka manusia akan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan di atasnya, yaitu rasa aman. Rasa aman di sini adalah bagaimana diri manusia dapat terlindung dari berbagai ancaman bahaya dari luar. Dengan adanya kebutuhan ini manusia menciptakan pakaian, tempat tinggal, dan lainnya. Selanjutnya sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri. Ia membutuhkan orang lain sebagai bagian dari kehidupannya. Di sini letak kebutuhan manusia yang ketiga berupa kasih sayang. Dengan rasa kasih sayang manusia dapat hidup bersama dengan sejahtera. Bersama baik konteks kehidupan bermasyarakat maupun bersama dalam konteks kehidupan keluarga. Dengan kebutuhan kasih sayang pula manusia dapat melangsungkan garis keturunan ke generasi

64

berikutnya. Unsur cinta kasih yang perlu dipertahankan dalam kehidupan bersama meliputi; rasa tanggungjawab, pengorbanan, kejujuran, saling menghor-mati dan menghargai. Unsur-unsur kasih sayang ini sangat perlu dikembangkan dan dipertahankan baik dalam kehidupan berumahtangga maupun dalam bercinta kasih dengan sesama manusia lainnya. Sebagai pribadi manusia juga memiliki kebutuhan akan harga diri. Setiap orang tentu akan merasa senang apabila ia diperlakukan manusiawi oleh manusia lainnya. Sebaliknya seseorang akan merasa tersinggung apabila harga dirinya dilecehkan. Sebagai pribadi yang memiliki kebutuhan harga diri sangat penting untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap ini untuk tujuan introspeksi bahwa di luar diri itu ada diri-diri lain yang sama-sama memiliki kebutuhan untuk dihargai. Dengan selalu melakukan introspeksi akan tumbuh sikap positip yang akan melahirkan prilaku yang selalu akan memperhatikan kebutuhan orang lain. Namun demikian ada pula sifat yang harus dihindari melalui kebutuhan harga diri ini, yaitu sifat ingin selalu dihormati. Suburnya sifat ini akan membuat seseorang menjadi gila hormat. Gila hormat termasuk penyakit hati yang harus dihindari. Perlu disadari bahwa siapapaun orangnya apabila ia mau menghargai dan menghormati orang lain ia juga akan dihargai dan dihormati oleh orang lain. Selanjutnya kebutuhan puncak manusia ialah kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan ini tercermin dari sikap penampilan manusia yang selalu ingin lebih dari orang lain walaupun sebenarnya sangat tentatif. Namun yang penting bagi seseorang dalam menampakkan kebutuhan ini ialah ia akan merasa memperoleh suatu kepuasan apabila ia dapat melakukan sesuatu yang menurut perasaannya melampaui orang lain. Misalnya dalam hal pakaian, pergaulan, atau ketika tampil dalam forum-forum yang melibatkan banyak orang, ia akan selalu tampil dengan ciri dan sifatnya yang khas. 5. Fungsi Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Sosial Sepanjang peradaban manusia, tidak dapat dibuktikan bahwa manusia dapat hidup sendiri, tanpa kawan, tanpa komunikasi. Pada dasarnya terdapat dua keinginan pokok yang mendorong manusia untuk hidup mengelompok yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain dan keinginan menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang individu dalam bertingkah laku menurut pola pribadinya dalam tiga kemungkinan : 1) menyimpang dari norma kolektif ; terjadi bila kepribadian individu tidak dominan sedangkan dia tidak mampu atau tidak mau menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

65

2) Kehilangan individualitasnya (resesif) ; terjadi bila kepribadian individu tersebut lemah dan takluk terhadap lingkungannya. 3) Mempengaruhi masyarakat (dominan) ; terjadi bila kepribadian individu kuat dan mampu mempengaruhi dan menaklukkan lingkungannya. Satuan terkecil dari kehidupan sosial individu adalah keluarga, yang juga merupakan unsur terpenting pembentuk masyarakat. Keluarga merupakan salah satu cermin peran dimana manusia merupakan individu yang juga memiliki tanggungjawab sekaligus fungsi sebagai makhluk sosial. Menurut Biro Sensus Amerika Serikat istilah keluarga diartikan sebagai :a group of two or more persons residing together who are related by blood marriage, or adoption. Batasan yang pada hakekatnya sama dikemukakan oleh A.M. Rose. Menurut beliau, a family is a group of interacting persons who recognize a relationship with each other based on common parentage, marriage, and or adoption. Menurut kedua batasan tersebut, keluarga ialah kelompok sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang mempunyai ikatan darah, perkawinan, atau adopsi. The family is a small social group, normally commposed of a father, a mother, and one or more children, in which affection and responsibility are equitably shared to become self-controlled and socially-motivated persons, demikian batasan yang dikemukakan oleh Emory S. Bogardus. Dalam batasan tersebut, disamping sebagai kelompok sosial, juga ditunjuk ciri-ciri dan tujuan keluarga. Definisi yang serupa dikemukakan oleh Francis E. Merrill. In functional terms, the family may be viewed as an enduring relationship of parents and children that performs such functions as the protection, rearing, and socialization of children and the providing of intimate responses between its members. Dari beberapa definisi tersebut dapatlah dirumuskan intisari pengertian keluarga, yaitu: 1) keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang umumnya terdiri atas ayah, ibu, dan anak. 2) hubungan sosial di antara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan, dan atau adopsi. 3) hubungan antara anggota keluarga dijiwai oleh suasana afeksi dan rasa tanggung jawab. 4) fungsi keluarga ialah memelihara, merawat, dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial. Definisi-definisi tersebut di atas lebih menunjuk pada pengertian somah atau nuclear family, yaitu kesatuan sosial

66

yang terdiri atas suami istri dan anak-anaknya. Kerap kali keluarga itu tidak hanya terdiri atas suami istri dan anakanaknya, melainkan juga nenek, paman, bibi, kemenakan, dan saudara-saudara lainnya. Nuclear family yang yang diperluas ini disebut Extended family. Nuclear family dan extended family tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Ex te Fa nde mi d ly

Nuclear Family

Gambar : Extended family dan Nuclear Family

Keterangan: = laki-laki bersuami istri = perempuan bersaudara = beranakkan = =

Keluarga dalam mana individu dilahirkan dan mengalami proses sosialisasinya yang terpenting disebut keluarga orientasi. Sedangkan keluarga yang dibentuknya melalui perkawinannya dan anak-anak sebagai hasil perkawinannya itu disebut keluarga prokreasi. Keanggotaan individu mula-mula dalam keluarga orientasi, kemudian karena perkawinan beralih kepada keluarga prokreasi.

67

Kedudukan individu dalam keluarga orientasi prokreasi itu dapat digambarkan sebagai berikut:

dan

K L A G O IE T S D N EU R A R NA I A P ORAI R K ES

K lu rg e a a O n s rie ta i

K lu rg e a a P k ai ro re s

Gambar Keluarga Orientasi dan Prokreasi

Keluarga merupakan institusi sosial yang bersifat universal dan mulitifungsional. Fungsi pengawasan sosial, pendidikan, keagamaan, perlindungan, dan rekreasi dilakukan oleh keluarga terhadap anggota-anggotanya. Karena proses industrialisasi, urbanisasi, dan sekularisasi maka keluarga dalam masyarakat modern kehilangan sebagian dari fungsi-fungsi tersebut di atas. Namun dalam perubahan masyarakat, fungsi utama keluarga tetap melekat, yaitu melindungi, memelihara, sosialisasi, dan memberikan suasana kemesraan bagi anggotanya Berdasarkan penjelasan di atas keluarga merupakan satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhkluk sosial, yang ditandai adanya kerjasama ekonomi. Dengan demikian maka fungsi keluarga ialah : 1) Pengaturan 5) penempatan anak seksual dalam masyarakat 2) Reproduksi 6) Pemuas kebutuhan 3) Sosialisasi seseorang 4) pemeliharaan 7) Kontrol sosial Seiring perkembangan jaman, nilai-nilai ideal keluarga mengalami perubahan. Modernisasi, industrialisasi, kemamkmuran dalam sistem kapitalisme liberal merupakan faktor yang mempengaruhi perubahan nilai keluarga dalam masyarakat. Masri Singarimbun (1993) mengingatkan bahwa mobilitas penduduk yang semakin tinggi, nilai-nilai yang berubah, kontrak sosial yang longgar, manusia yang semakin individualistik, merupakan tantangan bagi keluarga masa kini dan yang akan datang.

68

6. Interaksi Sosial Seorang sosiolog, di dalam menelaah masyarakat manusia banyak berhu-bungan dengan kelompok-kelompok sosial, baik yang kecil seperti keluarga, kelompok siswa di sekolah, maupun kelompok yang besar seperti masyarakat desa, masyarakat kota, bangsa, dan lainnya. Sebagai sosiolog, sekaligus ia adalah salah satu anggota dari salah satu kelompok sosial tesebut dan sekaligus sebagai peneliti kehidupan kelompok tersebut secara ilmiah. Semakin mendalam penelitiannya, semakin timbul kesadarannya bahwa sebagian dari kepribadiannya terbentuk oleh kehidupan berkelompok tersebut dan bahwa dia hanya merupakan unsur yang mempunyai kedudukan dan peranan dalam kelompok tersebut.. Hampir semua manusia, pada awalnya merupakan anggota kelompok sosial yang dinamakan keluarga. Walaupun anggota-anggota keluarga tadi selalu menyebar, pada waktuwaktu tertentu mereka pasti akan berkumpul seperti saat makan pagi, siang, dan malam. Setiap anggota mempunyai pengalaman masing-masing, karena hubungannya dengan kelompokkelompok sosial lainnya di luar rumah dan bila mereka berkumpul terjadilah tukar-menukar pengalaman di antara mereka. Pada saat demikian, tidaklah semata-mata terjadi pertukaran pengalaman, akan tetapi para anggota keluarga tersebut mungkin mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pertukaran pengalaman tersebut, walaupun sering kali hal itu sama sekali tidak disadarinya. Saling tukar-menukar pengalaman tersebut, disebut sebagai sosial-experiences . Dalam kehidupan berkelompok, sosial experience mempunyai pengaruh yang besar di dalam pembentukan kepribadian seseorang. Penelitian terhadap sosial-experiences sangat penting untuk mengeta-hui sampai sejauh mana pengaruh kelompok terhadap individu dan bagaimana reaksi reaksi individu terhadap pengaruh kelompok tersebut dalam proses pembentukan kepribadian. Suatu kelompok sosial cenderung tidak merupakan kelompok yang statis, akan tetapi selalu berkembang serta mengalami perubahan-perubahan baik dalam aktivitas maupun bentuknya. Kelompok tadi dapat menambahkan alat-alat perlengkapan untuk dapat melaksanakan fungi-fungsinya yang baru di dalam rangka perubahan-perubahan yang dialaminya atau bahkan sebaliknya dapat mempersempit ruang lingkupnya. Sesuatu aspek yang menarik dari kelompok sosial tersebut adalah bagaimana caranya mengendalikan anggota-anggotanya. Para sosiolog akan tertarik oleh cara-cara kelompok sosial tersebut dalam mengatur tindakan-tindakan anggotaanggotanya, agar supaya tercapai tata tertib di dalam kelompok

69

yang bersangkutan. Yang agaknya penting adalah bahwa kelompok tersebut merupakan tempat kekuatan-kekuatan sosial berhubungan, berkembang mengalami disorganisasi, memegang peranan dan selanjutnya. 7. Klasifikasi Tipe-tipe Kelompok Sosial Tipe-tipe kelompok-kelompok sosial dapat diklasifikasikan dari beberapa sudut berdasarkan berbagai criteria ukuran. Sosiolog Jerman yaitu Georg Simmel mengambil ukuran besar-kecilnya jumlah anggota kelompok, bagaimana individu mempengaruhi kelompoknya serta interaksi sosial dalam kelompok tersebut. Dalam analisisnya mengenai kelompok-kelompok sosial, Georg Simmel mulai dengan bentuk terkecil yang terdiri dari satu orang sebagai fokus hubungan sosial yang dinamakannya monad yang kemudian diperkembangkan dengan meneliti kelompokkelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang yaitu dyad serta triad dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Di samping itu sebagai perbandingan, ditelaahnya kelompok-kelompok yang lebih besar. Ukuran lain yang diambil adalah atas dasar derajat interaksi sosial dalam kelompok sosial tersebut. Beberapa sosiolog memperhatikan pembagian atas dasar kelompokkelompok di mana anggota-anggotanya saling kenal mengenal (face to face groupings), seperti keluarga, rukun tetangga dan desa, dengan kelompok-kelompok sosial seperti kota-kota, korporasi, dan Negara, di mana anggota-anggotanya tidak mempunyai hubungan yang erat. Ukuran tersebut oleh sosiolog lainnya, dikembangkan lebih lanjut dengan memperhatikan tinggi rendahnya derajat eratnya hubugan antara anggotaanggota kelompok sosial tersebut. Suatu ukuran lainnya ialah ukuran kepentingan dan wilayah. Suatu masyarakat misalnya merupakan kelompokkelompok atau kesatuan-kesatuan atas dasar wilayah yang tidak mempunyai kepentingan-kepentingan yang khusus. Suatu association sebagai suatu perbandingan, justru dibentuk untuk memenuhi kepentingan yang tertentu. Sudah tentu anggotaanggotanya sedikitnya sadar akan adanya kepentingankepentingan bersama walaupun hal itu tidak dikhususkan secara terinci atau dijabarkan lebih lanjut. Berlangsungnya suatu kepentingan, merupakan ukuran lain bagi klasifikasi tipe-tipe sosial. Suatu kerumunan misalnya, merupakan kelompok yang hidupnya sebentar saja, oleh karena kepentingannyapun tidak berlangsung dengan lama. Lain halnya dengan masyarakat yang kepentingan-kepentingannya yang secara relative bersifat tetap (permanent). Selanjutnya dapat dijumpai pula klasifikasi atas dasar ukuran derajat organisasi.

70

Kelompok-kelompok sosial terdiri dari kelompok-kelompok yang terorganisir dengan baik sekali misalnya Negara, sampai pada kelompok-kelompok yang hampir-hampir tak terorganisir seperti misalnya suatu kerumunan. Dasar yang diambil sebagai salah satu alternatif untuk mengadakan klasifikasi tipe-tipe kelompok sosial tersebut adalah jumlah atau derajat interaksi sosial atau kepentingan-kepentingan kelompok, atau oragnisasinya maupun kombinasi dari ukuran-ukuran tersebut. 7.1 Kelompok-kelompok Sosial Dipandang dari Sudut Individu Seorang warga dari masyarakat yang masih sederhana susunannya, secara relatif menjadi anggota pula dari kelompokkelompok kecil secara terbatas. Kelompok-kelompok sosial tersebut biasanya terbentuk atas dasar kekerabatan, usia, sex, dan kadang-kadang atas dasar perbedaan pekerjaan atau kedudukan. Keanggotaan masing-masing kelompok sosial tadi, memberikan kedudukan atau prestise tertentu yang sesuai dengan adat istiadat dan lembaga pemasyarakatan di dalam masyarakat; namun suatu hal yang penting adalah bagaimana keanggotaan pada kelompok-kelompok sosial (termasuk, pada masyarakat-masaarakat yang masih sederhana) tidak selalu bersifat sukarela. Dalam masyarakat yang sudah kompleks, individu biasanya menjadi anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu sekaligus, misalnya atas dasar sex, ras, dan lainnya. Akan tetapi, dalam hal lain seperti dibidang pekerjaan, rekreasi dan sebagainya keanggotaannya bersifat sukarela. Dengan demikian maka terdapat derajat tertentu serta arti tertentu bagi individu-individu tadi, sehubungan dengan keanggotaan kelompok sosial yang tertentu, sehingga bagi individu terdapat dorongan-dorongan tertentu pula sebagai anggota kelompok sosial. Suatu ukuran lainnya bagi si individu adalah bahwa dia merasa lebih tertarik oleh kelompok-kelompok sosial yang dekat seperti kehidupan keluarga, kelompok kekerabatan, dan rukun tetangga, daripada misalnya dengan suatu perusahaan besar atau Negara. Apabila kelompok sosial dianggap sebagai kenyataan dalam kehidupan manusia atau individu, juga harus diingat pada konsep-konsep dan sikap-sikap individu terhadap kelompok-kelompok sosial sebagai kenyataan subyektif yang penting untuk memahami gejala kolektivitas 7.2 In-group dan Out-grup Dalam proses sosialisasi seseorang mendapatkan pengetahuan kami-nya dengan mereka-nya dan bahwa

71

kepentingan-kepentingan suatu kelompok sosial serta sikapsikap yang mendukungnya terwujud dalam pembedaan kelompok-kelompok sosial tersebut yang dibuat oleh individu. Kelompok-kelompok sosial dengan mana individu mengidentifikasikan dirinya merupakan in-group-nya. Jelas bahwa apabila suatu kelompok sosial merupakan in-group atau tidak bagi individu, bersifat relatif dan tergantung pada situasisituasi sosial yang tertentu. Out-group diartikan oleh individu sebagai kelompok yang menjadi lawan in-group-nya yang sering dihubungkan dengan istilah-istilah kami atau kita dan mereka seperti misalnya; kita warga R.T 001 sedangkan mereka warga R.T 002, kami mahasiswa fakultas hukum sedangkan mereka mahasiswa Fakultas Ekonomi, kami pegawai negeri dan mereka pedagang. Sikap-sikap in-group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati dan selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompok. Sikap in-group selalu ditandai dengan kelainan yang berwujud suatu antagonisme atau antipati. Perasaan in-group dan out-group atau perasaan dalam serta luar kelompok dapat merupakan dasar suatu sikap yang dinamakan etnocentrisme. Anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu, sedikit banyaknya akan mempunyai suatu kecenderungan untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk kebiasaan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang terbaik apabila dibandingkan denga kebiasaan kelompok lainnya. Kecenderungan seperti ini disebut etnocentrisme, yaitu suatu sikap untuk menilai unsur-unsur kebudayaan lain dengan mempergunakan ukuran-ukuran kebudayaan sendiri. Sikap etnosentris ini sering disamakan dengan sikap mempercayai sesuatu, sehingga kadang-kadang sukar sekali bagi yang bersangkutan untuk mengubahnya, walaupun dia menyadari sikapnya itu salah. Sikap etnosentris tersebut diajarkan kepada anggota-anggota melalui proses sosialisasi, baik secara sadar maupun secara tidak sadar, bersama dengan nilai-nilai budaya. In-group dan out-group dapat dijumpai disemua masyarakat, walaupun kepentingan-kepentingannya tidak selalu sama satu dengan lainnya. Dalam masyarakat yang masih sederhana, mungkin jumlahnya tidak banyak apabila dibandingkan dengan masyarakat yang kompleks, walaupun dalam masayarakat yang sederhana tadi perbedaanperbedaannya tak begitu tampak dengan jelas. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa setiap kelompok sosial, merupakan in-group bagi anggota-anggotanya. Konsep tersebut dapat diterapkan baik terhadap kelompok-kelompok sosial yang relatif kecil samapi yang terbesar, selama para anggotanya mengadakan identifiasi dengan kelompoknya.

72

7.3 Primary Group dan Secondary Group Dalam klasifikasi kelompok-kelompok sosial, perbedaan yang luas dan fundamental adalah perbedaan antara kelompokkelompok kecil di mana hubungan antara anggota-anggotanya erat sekali di satu pihak, dengan kelompok-kelompok yang lebih besar di pihak lain. Primary Group dan Secondary Group mungkin dapat diterjemahkan dengan istilah kelompok utama dan kelompok sekunder. Menurut Cooley, primary groups adalah kelompok-kelompok yang ditandai ciri-ciri kenal-mengenal antara anggota-anggotanya serta kerja sama erat yang bersifat pribadi. Sebagai salah satu hasil hubungan yang erat dan bersifat pribadi tadi, adalah peleburan individu-individu dalam satu kelompokkelompok, sehingga tujuan individu menjadi juga tujuan kelompoknya. Kelompok-kelompok tersebut mempunyai makna utama dalam berbagai arti, terutama dalam pembentukan ataupun perwujudan cita-cita sosial individu. Hasil hubungan timbal balik antara anggota kelompok tersebut secara psikologis, sama dengan peleburan individu dengan cita-citanya masingmasing, sehingga tujuan dan cita-cita individu juga menjadi tujuan serta cita-cita kelompoknya. Sudah tentu secara mutlak tak dapat dikatakan bahwa kehidupan serta hubungan antara anggota-anggota kelompok tersebut selalu harmonis. Tentu ada kalanya terjadi perbedaan paham, bahkan pertentangan; namun kesemuanya itu untuk kepentingan kelompoknya juga. Secara singkat dapatlah dikatakan Primary Group adalah kelompokkelompok kecil yang agak langgeng (permanent) dan yang berdasarkan kenal-mengenal secara pribada antara sesama anggota kelompoknya. Konsep Cooley mengenai hubungan saling kenal mengenal, belum cukup untuk menerangkan persyaratan yang penting bagi adanya suatu primary group. Syarat-syarat yang sangat penting adalah ; pertama bahwa anggota-anggota kelompok secara fisik berdekatan antara satu dengan lainnya. Kedua, bahwa kelompok tersebut adalah kecil, dan ketiga adalah adanya suatu kelanggengan hubungan antara anggota-anggota kelompok yang bersangkutan. Supaya terjadi hubungan yang akrab di antara individu-individu yang ada mau tak mau secara fisik harus saling kenal mengenal. Saling berbicara dan saling melihat merupakan saluran utama untuk pertukaran pikiran, citacita, maupun perasaan. Kenal-mengenal secara fisik, memberi kemungkinan terbentuknya primary group, akan tetapi hal itu tergantung dari kemungkinan-kemungkinan yang ditentukan oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Setiap masyarakat mempunyai norma-norma yang mengatur hubungan fisik antara anggota-anggotanya yang kadang-kadang dapat

73

merupakan penghalang bagi terjadinya hubungan, seperti hubungan antara orang-orang dari kasta yang berbeda derajatnya, dalam masyarakat yang mempunyai system pelapisan masyarakat yang tertutup (misalnya di India.). akan tetapi hubugan antara mereka di tempat-tempat umum, misalnya di loket karcis kereta api tidak dilarang. Dalam keadaan demikian, norma-norma masyarakat seolah-olah memberikan suatu kelonggaran. Kecilnya kelompok juga merupakan salah satu syarat yang penting, oleh karena tidak mungkin seseorang pada waktu yang tertentu berhubungan dengan banyak orang sekaligus. Memang dalam keadaan-keadaan tertentu hal itu mungkin terjadi, misalnya apabila seorang guru memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa semakin kecil kelas yang bersangkutan, semakin akrab pula hubungan antara guru dengan muridmuridnya. Dalam suatu kelompok yang kecil, seorang anggota, secara pribadi, dapat ikut serta mengambil bagian dalam membentuk keputusan-keputusan kelompok tersebut. Selanjutnya, suatu sifat kelompok dan keakraban kelompok juga lebih mudah terwujud. Keakraban dalam hubungan antar individu, sebetulnya tergantung dari seringnya individu-individu yang bersangkutan berhubungan dan mendalamnya hubungan tadi. Semakin lama mereka berhubungan satu sama lain, semakin akrab pula hubungan tersebut. Walaupun misalnya sepasang suami istri yang telah berumah tangga selama 10 tahun seringkali bertengkar, namun sangat sukar bagi masingmasing untuk hidup lepas satu sama lainnya. Jadi suatu kontinyuitas tertentu merupakan pula suatu faktor dalam pembentukan primary group.

RINGKASAN

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan lainnya karena memiliki unsur rohani yang berupa akal, rasa, dan kehendak, secara jasmani yang mengandung nilai estetika (keindahan). Meurut teori keindahan suatu benda dikatakan indah jika mengandung 3 unsur, yaitu contrast (pertentangan), simetry/ balance (keserasian/keseimbangan), dan unity (kesatuan) Secara kodrati manusia adalah sebagai makhluk individu dan sosial. Sebagai makhluk individu manusia memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan manusia lainnya. Karakteristik manusia sebagai makhluk individu memiliki sifatsifat sebagai berikut.

74

1) Merupakan satu kesatuan yang utuh, terorganisir yang beraksi dan bereaksi 2) Dinamis, selalu berkembang baik karena pengaruh internal maupun eksternal. 3) Berbeda dengan pribadi-pribadi lainnya. 4) Memiliki nilai tersendiri, prilakunya tunduk dan menggambarkan nilai yang diakuinya. 5) Sulit dinilai, yang dapat diamati hanya manifestasinya dalam bentuk perbuatan. Manusia satu berbeda dengan manusia lainnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal banyak berhubungan dengan hereditas, sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan lingkungan. Antara faktor internal maupun eksternal terdapat suatu interaksi yang saling mempemgaruhi sehingga dapat membentuk keribadian tertentu bagi setiap orang. Jadi individu merupakan hasil dari hereditas dan lingkungan. Dalam dunia pendidikan pandangan terhadap kepribadian manusia sebagai hasil interaksi antara faktor internal dan eksternal melahirkan berbagai teori yang dikenal dengan hukum dasar pendidikan. Teori pertama menganggap bahwa aspek perkembangan pribadi seseorang ditentukan oleh faktor lingkungan. Teori ini dipelopori oleh John Lock (1632-1704). ia mengatakan bahwa anak lahir bagaikan kertas putih. Dalam perkembangan hidupnya anak akan menjadi apa tergantung pada tulisan apa yang akan menggores pada kertas tersebut. Kalau yang menggores tulisan yang baik, maka jadi anak baik, dan sebaliknya. Teori kedua disebut dengan Nativisme. Teori ini memandang bahwa anak lahir sudah membawa suatu bakat sehingga kelak ia akan menjadi apa sangat tergantung pada bakatnya. Dengan demikian maka lingkungan tidak penting karena tidak akan memberikan kontribusi apa-apa terhadap potensi bawaan tertsebut. Pelopor teori ini ialah Arthur Schopenhuer (1788-1860) Teori berpendapat bahwa potensi hereditas yang baik tanpa pengaruh lingkungan (pendidikan) yang positip tidak akan membina kepribadian yang ideal. Sebaliknya meskipun lingkungan (pendidikan) yang positip dan maksimal tidak akan menghasilkan perkembangan kepribadian yang ideal tanpa didukung potensi hereditas yang baik. Oleh sebab itu perkembangan pribadi seseorang pada dasarnya adalah perpaduan atau hasil proses kerja sama antara faktor potensi hereditas (internal) dan kondisi lingkungan atau pendidikan (eksternal). Teori ini dipelopori oleh William Stern (1871 1938).

75

Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan manusia lain dalam kehidupannya. Dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya kondisi manusia ketika baru lahir amat lemah, tidak berdaya sehingga membutuhkan pertolongan orang lain. Berbeda dengan seekor anak ayam misalnya, walaupun tanpa induk ia langsung mampu mencari makan sendiri. Demikian pula hewan-hewan lainnya Naluri dari manusia untuk selalu hidup dengan orang lain, disebut gregariousness. Oleh karena itu manusia disebut juga sosial animal (hewan sosial, hewan yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama). Keinginannya untuk hidup bersama dengan manusia lainnya menimbulkan kelompokkelompok sosial. Ciri dari suatu kelompok sosial yaitu: 2) Setiap anggota kelompok sadar bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan. 3) Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya. 4) Memiliki rasa senasib seperjuangan. 5) Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku. Satuan terkecil dari kehidupan sosial individu adalah keluarga, yang juga merupakan unsur terpenting pembentuk masyarakat. Keluarga merupakan salah satu cermin peran di mana manusia merupakan individu yang juga memiliki tanggungjawab sekaligus fungsi sebagai makhluk sosial. Intisari pengertian keluarga, yaitu: 1) merupakan kelompok sosial kecil yang umumnya terdiri atas ayah, ibu, dan anak. 2) terdapat hubungan sosial di antara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan, dan atau adopsi. 3) hubungan tersebut dijiwai oleh suasana afeksi dan rasa tanggung jawab. 4) berfungsi memelihara, merawat, dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial. Tipe-tipe kelompok-kelompok sosial dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kriteria. Pertama dipandang dari sudut individu. Kelompok-kelompok sosial ini biasanya terbentuk atas dasar kekerabatan, usia, sex, dan kadang-kadang atas dasar perbedaan pekerjaan atau kedudukan. Keanggotaan masingmasing kelompok sosial, memberikan kedudukan atau prestise tertentu sesuai dengan adat istiadat dan yang ada. Dalam masyarakat yang sudah kompleks, individu menjadi anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu sekaligus, misalnya atas dasar sex, ras, dan lainnya. Akan tetapi, dalam hal lain seperti dibidang pekerjaan, rekreasi dan sebagainya keanggotaannya

76

bersifat sukarela. Kedua In-group dan Out-grup. Dalam proses sosialisasi seseorang mendapatkan pengetahuan kami-nya dengan mereka-nya. Kelompok-kelompok sosial di mana individu mengidentifikasikan dirinya merupakan in-group-nya. Out-group diartikan oleh individu sebagai kelompok yang menjadi lawan in-group-nya yang sering dihubungkan dengan istilah-istilah kami atau kita dan mereka. Misalnya; kita warga R.T 001 sedangkan mereka warga R.T 002. Sikap-sikap in-group pada umumnya didasarkan pada faktor simpati dan selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota-anggota kelompok. Sikap out-group selalu ditandai dengan kelainan yang berwujud suatu antagonisme atau antipati. Perasaan in-group dan out-group atau perasaan dalam serta luar kelompok dapat merupakan dasar suatu sikap yang dinamakan etnosentrisme. Ketiga yaitu Primary Group dan Secondary Group. Primary Group dan Secondary Group mungkin dapat diterjemahkan dengan istilah kelompok utama dan kelompok sekunder. Primary groups merupakan kelompok sosial yang ditandai ciri-ciri kenal-mengenal antara anggotaanggotanya serta kerja sama erat yang bersifat pribadi. Kelompok ini cukup signifikan, terutama dalam pembentukan ataupun perwujudan cita-cita sosial individu. Hasil hubungan timbal balik antara anggota kelompok secara psikologis, sama dengan peleburan individu dengan cita-citanya masing-masing, sehingga tujuan dan cita-cita individu juga menjadi tujuan dan cita-cita kelompoknya. Syarat penting dalam primary group adalah ; anggota-anggotanya berdekatan, kelompok tersebut adalah kecil, dan adanya suatu hubungan kontinyu di antara mereka.

TUGAS UNTUK DISELESAIKAN


1. Coba jelaskan dengan disertai contoh mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna kejadiannya dibandingkan dengan makhlukmakhluk lainnya ? Jelaskan mengapa manusi sebagai makhluk individu memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan individu-individu lainnya ? Jelaskan bagaimana pandangan teori-teori pendidikan terhadap konsep perkembangan kepribadian seseorang, dan bagaimana menurut pandangan saudara sendiri ? Coba jelaskan dengan disertai contoh mengapa dikatakan sebagai makhluk sosial ?

2.

3.

4.

77

5.

Diskusikan dengan teman sekelompok antara 3 5 orang apa fungsi manusia sebagai makhluk individu dan sosial ? Jelaskan apa yang disebut dengan keluarga dan apa fungsinya ? Dalam kehidupan sosial terdapat proses sosialisasi. Coba jelaskan dengan disertai contoh apa maksud dari sosialisasi? Jelaskan apa arti istilah-istilah di bawah ini a) animal social b) in-group out group c) primary-secondary group d) animal symbolicum e) animal educandum f) hayawanun natiq

6. 7.

8.

Selamat Bekerja

BAB V MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN


Oleh : Tito Kusuma Wardhana, S.Sos 1. Pengertian Keragaman dan Kesetaran. Keragaman dapat diartikan dengan suatu hal yang banyak macamnya, beda antara satu dan yang lainnya dan sifatnya tidak tunggal. Sedang kesetaraan dapat diartikan sebagai sama, tidak berbeda atau sederajat. Beberapa istilah yang dianggap sesuai dengan keragaman salah satunya ialah pluralitas (plurality) yaitu suatu konsep yang mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satuxlvii. Sisi lain pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Karena itu, pluralitas tidak dapat terwujud atau diadakan atau terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas juga tidak dapat disematkan kepada kesatuan yang tidak mempunyai parsial-parsial, atau yang bagianbagiannya dipaksa untuk tidak menciptakan keutamaan, keunikan dan kekhasan tersendiri. Anggota suatu keluarga adalah bentuk pluralitas dalam rangka kesatuan keluarga dan sebagai antitesis darinya. Pria dan wanita adalah bentuk pluralitas dari kerangka kesatuan jiwa manusia. Bangsa-bangsa adalah bentuk pluralitas jenis manusiaxlviii. Tanpa adanya 78

kesatuan yang mencakup seluruh segi maka tidak dapat dibayangkan adanya kemajemukan, keunikan dan kekhasan atau pluralitas itu. Demikian juga sebaliknya. Pluralitas, sebagaimana halnya seluruh fenomena pemikiran, memiliki sifat pertengahan (moderat atau adil), keseimbangan, juga mempunyai sisi yang ekstrem, baik yang melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Sisi pertengahan (adil) serta keseimbangannyalah yang dapat memelihara hubungan antara kemajemukan, perbedaan dan pluralitas dan faktor kesamaan, pengikat dan kesatuan. Sementara itu disintegrasi dan kacau balau ditimbulkan oleh sikap ekstrem memusuhi yang tidak mengakui dan tidak memiliki faktor pemersatu atau pengikat. Juga oleh sikap penyeragaman (yang dianggap mengingkari adanya kekhasan dan perbedaan), yaitu sikap ekstrem represif dan otoriter yang menafikkan perbedaan masing-masing pihak dan keunikannyaxlix. Pluralitas juga bisa dianggap sebagai motivator dalam menghadapi ujian, cobaan, kesulitan berkompetisi, dan berlomba-lomba dalam berkarya dan berkreasi diantara masingmasing pihak yang berbeda dalam peradaban. Dan jika tidak ada pluralitas, perbedaan dan perselisihan, maka tidak akan ada motivasi untuk berkompetisi, berlomba dan saling dorong diantara individu manusia dan peradaban, hal ini tentunya akan berakibat pada hidup yang stagnan dan tawar, serta mati tanpa dinamika. Juga manusia tidak akan dapat mewujudkan tujuantujuan hidup, yaitu agar manusia membangun bumi dan mengembangkan wujud peradabannya. Sayyid Quthbl mengatakan bahwa adalah tabiat manusia untuk berbeda. Karena perbedaan ini adalah salah satu pokok dari pokok-pokok diciptakannya manusia, yang menghasilkan hikmah yang tinggi. Seperti penugasan makhluk manusia ini sebagai pemimpin di muka bumi, serta perbedaan mereka dalam persiapan dan potensi-potensi serta tugas yang diemban. Sehingga, pada gilirannya akan membawa kepada perbedaan dalam kerangka berfikir, kecenderungan metodologi yang dipegang, dan tekhnik-tekhnik yang ditempuh. Sementara, dengan perbedaan dan persaingan, manusia akan menggali potensi mereka yang terpendam, serta akan selalu terjaga dan berusaha mengeksplorasi kekayaan bumi ini, dengan menggunakan kekuatannya serta rahasia-rahasianya yang terpendam, yang pada akhirnya akan membawa kepada kebaikan, kemajuan dan pertumbuhan. Namun, tindakan saling dorong dan saling membela, yang menjadi motivator dan diperkuat oleh kemajemukan dan perbedaan itu, diharapkan senantiasa memiliki sifat membawa manfaat, berada dalam kerangka kesatuan nilai yang konstan,

79

serta pokok-pokok yang menyatukan diantara pihak-pihak yang berselisih dan saling membela diri tersebut. Karena harus ada timbangan yang konstan pula, yang dianggap dapat memuaskan seluruh pihak yang berselisih dan kata akhir rujukan dalam berdebat, serta ada tujuan yang sama dari manusia. Istilah lain yang digunakan untuk masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda, yakni keragaman (diversity) yang menunjukkan bahwa keberadaaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan tidak dapat disamakan. Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi. Serba tunggal, misalnya, satu ideologi, satu partai politik, satu calon pemimpin, dianggap sebagai satu bentuk pemaksaan dari negarali. Furnivall adalah yang pertama kali mengintroduksi konsep masyarakat majemuk pada waktu dia membahas kebijakan dan praktek-praktek pemerintahan jajahan di Indonesia. Dia menunjukkan bahwa sebuah masyarakat majemuk ditandai oleh penduduknya yang secara suku bangsa dan rasial saling berbeda yang hidup dalam satuan-satuan kelompok masing-masing, yang hanya bertemu di pasar. Ciri-ciri ini ada pada masyarakat jajahan yang merupakan produk dari politik ekonomi penjajahan untuk menguasai sumberdaya setempat yang ada. Produk dari politik ekonomi ini adalah adanya golongan penjajah yang mempersatukan secara paksa masyarakat-masyarakat pribumi kedalam sebuah masyarakat jajahan untuk diatur dan diperintah guna kepentingan ekonomi penjajah. Disamping golongan penjajah dan pribumi terdapat golongan pedagang perantara yang biasanya adalah orang-orang asing yang secara sosial dan rasial tidak tergolong sama dengan golongan penjajah ataupun golongan pribumi. Di Indonesia, tiga golongan ini terwujud secara vertikal sebagai orang Belanda dan Kulit Putih lainnya, orang Pribumi, dan orang Timur Asing (orang Cina dan Arab) yang masing-masing hidup dalam kelompokkelompok dan pemukimannya sendiri menurut kebudayaan dan pranata-pranata masing-masing, dan keteraturan serta ketertiban kehidupan mereka diatur oleh hukum yang masingmasing berbeda satu dari lainnyalii. Konsep Multikulturalisme juga dapat dianggap sesuai dengan masalah-masalah perbedaan, bahkan konsep ini juga mampu menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul dari kemajemukan. Apabila pluralitas sekedar mempresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama didalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru

80

terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitaskomunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan-perbedaan individual atau orang-perorang dan perbedaan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan mendorong upaya terwujudnya keanekaragaman atau pluralisme budaya sebagai sebuah corak kehidupan masyarakat yang mempunyai keanekaragaman kebudayaan, yaitu yang saling memahami dan menghormati kebudayaan-kebudayaan mereka yang berbeda satu dengan lainnya, termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai kelompok minoritasliii. Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat bangsa dilihat sebagai memiliki sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum (mainstream) di dalam kehidupan mesyarakat bangsa tersebut. Kebudayaan bangsa ini merupakan sebuah mozaik, dan yang didalam mozaik tersebut terdapat beranekaragam corak budaya yang merupakan ekspresi dari berbagai kebudayaan yang ada dalam masyarakt bangsa tersebut. Model multikulturalisme ini bertentangan dengan model monokulturalisme yang menekankan keseragaman atau kesatuan kebudayaan dengan melalui proses penyatuan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam sebuah kebudayaan yang dominan dan mayoritas. Disamping itu juga melalui proses asimilasi atau pembauran dimana jatidiri dari kelompok-kelompok atau sukubangsa-sukubangsa minoritas harus mengganti jatidiri warganya menjadi sama dengan jatidiri dari kelompok atau suku bangsa yang dominan, dan mengadopsi cara-cara hidup atau kebudayaan dominan tersebut menjadi cara-cara hidup dan kebudayaannya yang baru. Dan bila mereka yang tergolong sebagai minoritas tidak melakukannya akan diasingkan dari masyarakat luas, bahkan kalau perlu dimusnahkanliv. Dalam model multikulturalisme, penekanannya adalah pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang berbedabeda, pada pengkayaan budaya melalui pengadopsian unsurunsur budaya yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupannya tanpa ada hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena adanya batas-batas suku bangsa yang primodial. Dalam masyarakat multibudaya atau multikultural, menurut Nathan Glazerlv, setiap orang adalah multikulturalis, karena setiap orang mempunyai kebudayaan yang bukan hanya berasal dari kebudayaan asal atau suku bangsa tetapi juga mempunyai kebudayaan yang berisikan kebudayaan-kebudayaan dari suku bangsa atau bangsa lain.

81

Multikulturalisme dilihat sebagai pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan-perbedaan kesuku-bangsaan dan suku-bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Pengertian ini mengacu pada pengertian bahwa perbedaan-perbedaan tersebut terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsanya tetap dapat hidup dalam ruang lingkup atau suasana kesukubangsaanya. Tetapi didalam suasana-suasana nasional dan tempat-tempat umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah kebangsaan dengan pluralisme budayanya, dan bukannya sesuatu kesukubangsaan atau sesuatu kebudayaan suku bangsa tertentu yang dominan. 2. Makna Keragaman dan Kesetaraan dalam Kehidupan Sosial dan Budaya Makna keragaman seperti yang telah sedikit dibahas pada sub bab pengertian keragaman dan kesetaraan diatas, adalah sebagai motivator untuk menghadapi ujian, cobaan, kesulitan berkompetisi dan berlomba-lomba dalam berkarya dan berkreasi diantara masing anggota masyarakat (yang beda budaya). Dengan keragaman, kehidupan menjadi dinamis dan tidak stagnan karena terdapat kompetisi dari masing-masing elemen budaya untuk berbuat yang terbaik. Hal ini membuat hidup menjadi tidak membosankan karena selalu ada pembaruan menuju kemajuan. Selain itu keragaman yang terdapat di masyarakat dapat mewujudkan terciptanya manusia antar budaya. Manusia antar budaya adalah orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam proses antar budaya secara kognitif, afektif, dan perilakunya tidak terbatas, tetapi terus berkembang melewati parameter psikologis suatu budaya, memiliki kepekaan budaya yang berkaitan erat dengan kemampuan berempati terhadap budaya. Manusia antar budaya adalah orang yang identitas dan loyalitasnya melewati batas-batas kebangsaan dan komitmennya bertaut dengan pandangan bahwa dunia merupakan komunitas global, ia merupakan orang yang secara intelektual dan emosional terikat pada kesatuan fundamental semua manusia yang pada saat yang sama mengakui, menerima, dan menghargai perbedaan mendasar antara orang-orang yang berbeda budaya. 3. Problematika Keragaman Kehidupan Masyarakat dan Solusinya dalam

82

dan Negara. Struktur dunia internasional yang majemuk ditandai oleh adanya keragaman suku bangsa, agama dan budaya (bahkan peradaban). Namun, keragaman tersebut mengandung potensipotensi masalah bahkan konflik, baik pada tingkat regional maupun tingkat internasional, jika masyarakat tidak mau atau tidak bisa menerima adanya keragaman. Adalah Samuel P. Hutington yang meramalkan konflik antar peradaban dimasa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor faktor keragaman ekonomi, politik, dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalahmasalah keragaman suku bangsa, agama, ras, dan antar-golongan ( SARA ). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan dengan runtuhnya negaranegara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peistiwa sejarah yang terjadi sebelumnya (era 1980-an), yaitu yang terjadi perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia pasca pemerintahan Michael Joseph Bros Tito. Keragaman, yang di satu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadhership yang mengikatnya lengserlvi. Huntington melihat keragaman dan kekhasan peradaban terjadi karena keragaman dan kekhasan budaya-budayanya. Peradaban adalah bentuk budaya, tidak ada peradaban universal, namun yang terjadi adalah dunia dari peradabanperadaban yang berbeda. Dia melihat ada tujuh atau delapan peradaban besar di dunia saat ini yaitu Peradaban Barat, Peradaban Cina Konfusius, Peradaban Jepang, Peradaban Islam, Peradaban India, Peradaban Ortodox Slavik, Peradaban Amerika Latin dan barangkali Peradaban Afrikalvii. Peradaban-peradaban tersebut masing-masing berbeda satu sama lainnya karena faktor bahasa, sejarah, budaya dan tradisi. Dan yang paling penting diantaranya adalah agama. Anggota-anggota peradaban yang berbeda-beda itu mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda-beda pula atas pandangan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan lingkungannya seperti keluarga, masyarakat, negara bahkan alam sekitarnya. Juga terdapat pemikiranpemikiran yang berbeda tentang takaran hak-hak dan tangung jawab-kewajiban, kebebasan, kekuasaan dan persamaan. Huntington memfokuskan pandangannya pada faktorfaktor benturan antara peradaban-peradaban ini, tidak hanya pada masa lalu saja, namun juga pada masa yang akan datang. Sehingga, dia mensinyalir bahwa benturan adalah suatu keniscayaan dalam hubungan antar-beragam peradaban. Terutama antara peradaban Barat dan peradaban Islam (pada

83

awalnya) dan kedua adalah dengan peradaban Cina. Huntington tidak berkata tentang determinisme filosofi benturan-benturan peradaban tersebut. Sebaliknya, Huntington berkata tentang determinisme realitas benturan tersebut. Bahkan, benturan antara dua peradaban yaitu peradaban Barat dan peradaban Islam terjadi sepanjang 1300 tahun, dan kedua belah pihak melihat hubungan antara Barat dan Islam sebagai benturan peradabanlviii. Karena benturan ini merupakan suatu keniscayaan realitas dan determinisme realitas dalam pandangan strategis Huntington, maka dia merancang bagi barat, strategi kemenangan terhadap Islam (kaum Muslimin) dalam benturan ini. Huntington menyarankan untuk membagi fase benturan pada masa depan tersebut menjadi 2 (dua) fase, yakni fase jangka pendek dan fase jangka panjanglix. Pertama, fase jangka pendek. Pada fase ini Huntington merekomendasikan pihak Barat untuk menyatukan dunia peradabannya, dan mempergunakan seluruh perangkatnya, dari alat perang, hingga ekonomi, politik, budaya, nilai hingga lembaga-lembaga internasional, serta memfokuskan diri pada perseteruan melawan peradaban Islam dan Cina. Yang dituntut oleh Barat dalam jangka pendek perseteruan ini adalah sebagai berikut : 1. Menyatukan elemen peradabannya, memperkuat kerja sama di antara mereka, serta memasukkan Eropa Timur dengan bagian Baratnya dan seluruh Eropa bersama Amerika Utara dan Amerika Latin. Atau, Barat budaya dan yang dekat dengan budaya Barat Kristen dengan sekte-sekte yang beragam. 2. Kerjasama, memperkecil danmenekan perseteruan dalam seluruh lingkup peradaban Barat. Bahkan, memanfaatkan masalah-masalah perseteruan dalam masyarakat Barat untuk menjadi perseteruan bagi masyarakat non-Barat, sehingga perseteruan Barat nantinya akan terfokuskan untuk melawan Islam dan Cina. 3. Mengurangi kemampuan militer Islam (kaum Muslim) dan Cina, serta menambah kekuatan militer Barat, dan menjaga keunggulan militer Barat di Timur dan Barat Daya Asia. Atau, untuk menghadapi Cina dan Islam (kaum Muslimin). 4. Memperkuat lembaga-lembaga internasional yang berperan memperjuangkan kepentingan dan nilai-nilai Barat, serta memberikan justifikasi kepadanya, dan mengikutsertakan negara-negara non-Barat untuk bergabung dalam lembagalembaga ini. Kedua, adalah fase jangka panjang. Fase ini oleh Huntington dianggap sebagai fase penguasaan Barat atas

84

peradaban-peradaban non-Barat. Dia mengungkapkan, peradaban Barat adalah peradaban Barat dan modern sekaligus. Peradaban-peradaban non-Barat telah berusaha menjadi modern tanpa menjadi Barat (selain Jepang, tentunya). Peradabanperadaban non-Barat akan terus berusaha mencapai kekayaan, tekhnologi, keahlian, permesinan dan persenjataan, yang merupakan cermin dari elemen bangunan peradaban modern. Peradaban-peradaban itu juga akan terus berusaha menyelaraskan modernisme itu dengan budaya dan nilai-nilai tradisionalnya. Sedangkan, kekuatan ekonomi dan militernya akan mengalahkan Barat. Oleh karena itu, Barat dalam bentuk yang lebih besar, harus menguasai peradaban-peradaban modern non-Barat itu, yang kekuatannya sudah hampir mendekati kekuatan Barat, tetapi nilai-nilai dan kepentingannya berbeda dalam jarak yang sangat besar dari nilai dan kepentingan Barat. Oleh karena itu, Barat harus menjaga kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya yang diperlukan untuk menjaga kepentingannya yang berhubungan dengan peradaban-peradaban itu. Huntington mengilustrasikan masa depan peradaban dengan Barat sebagai peradaban yang memonopoli singgasana peradaban dunia, dan melihat perseteruan antar peradabanperadaban yang beragam, sebagai jalan untuk menghapus keragaman peradaban ini. Setelah barat menyatukan kesatuannya, mempersiapkan seluruh kemampuannya, serta menekan peradaban-peradaban non-Barat, maka ia harus menjalankan strategi fase jangka pendek. Dan yang pertama dari strategi perseteruan ini yaitu mematahkan kekuatan peradaban Islam dan peradaban Cina sambil mengikat seluruh peradaban lainnya dalam lembaga-lembaga internasional yang memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan Barat, dan memberikan justifikasi kepadanya. Sedangkan dalam jangka panjang, objek Barat selanjutnya adalah menguasai peradabanperadaban non-Barat lainnya, yaitu peradaban yang telah berhasil memodernisasi masyarakatnya secara militer maupun ekonomi. Dengan demikian maka Barat dapat memonopoli kekuatan, modernisme dan hegemoni atas dunia. Di Indonesia sendiri permasalahan mengenai keragaman suku bangsa, agama, ras, dan antargolongan, mengarah kepada kondisi konflik sejak era Reformasi. Parsudi Suparlanlx melihat konflik-konflik yang terjadi di Indonesia merupakan konflik suku bangsa yang kemudian bisa bergeser pada koflik-konflik bernuansa agama. Lebih lanjut Suparlan mengatakan, corak kesukubangsaan individual yang merupakan milik perorangan berubah menjadi kategorikal. Yang menjadi sasaran untuk dihancurkan oleh masing-masing anggota suku bangsa yang

85

mengalami konflik bukan lagi orang perorangan dan bukan pula kelompok, melainkan kategori suku bangsa. Suku bangsa itu menjadi musuh sesuai dengan ciri-ciri atau atribut- atribut yang menjadi acuan dari kesukubangsaannya. Apapun dan siapapun yang mempunyai atau ditempeli atribut-atribut kesukubangsaan yang menjadi musuh dalam konflik antar suku bangsa akan dihancurkan. Karena itu penghancuran terhadap kategori berdasarkan ciri-ciri kesukubangsaan tersebut tidak mengenal batasan umur, jenis kelamin, posisi sosial atau keyakinan keagamaan, dan tidak pula mengenal batasan nilai uang dari barang dan harta benda yang di hancurkan. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai sebuah masyarakat multiethnis atau bersuku bangsa banyak. Tetapi masyarakat Amerika bukanlah sebuah masyarakat majemuk, karena masyarakat tersebut terwujud sebagai bangsa tidak dengan cara mempersatukan suku bangsa-suku bangsa yang dilakukan oleh sistem nasionalnya. Pada masa kini yang ditonjolkan di Amerika bukanlah coraknya yang multietnis, melainkan beranekaragamnya kebudayaan yang dipunyai oleh bangsa Amerika. Kebudayaan Amerika yang beranekaragam itu bisa dimiliki oleh setiap individu atau komuniti, sehingga jati diri suku bangsa atau rasial dari individu menjadi tidak relevan. Seseorang atau kelompok orang kulit putih yang tergolong keturunan WASP bisa saja mempunyai kebudayaan India, Cina, Jepang, atau yang lainnya. Kebijakan untuk secara nasional dan sosial meredam atau menyimpan jati diri rasial atau suku bangsa, dan sebaliknya menonjolkan ide keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat multikulturalisme, dapat dilihat sebagai kebijakan yang bertujuan untuk meredam potensi-potensi pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekargaman kebudayaan yang memang sejalan dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Model masyarakat multikultural atau berkeanekaragaman kebudayaan ini yang telah berhasil meredam potensi-potensi konflik rasial dan kesukubangsaan perlu kita pelajari dengan seksama dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk dan yang akhir-akhir ini telah dilanda oleh berbagai bentuk konflik rasial, kesukubangsaan, dan keagamaan. Konflikkonflik itu sangat merugikan dan dapat mencabik-cabik integrasi bangsa dan kebangsaan Indonesia. Menggeser idiom masyarakat majemuk menjadi masyarakat beraneka ragam kebudayaan sebagai sebuah kebijakan politik kebudayaan pada tingkat nasional maupun lokal, dan akan memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi itu dilandasi oleh kesetaraan derajat individu atau warga, serta muncul dan

86

mantapnya hak budaya komuniti dalam kaitan keseimbangannya dengan kekuasaan negara atau masyarakat. Dalam masyarakat multikultural tersebut demokrasi dapat berkembang. Sebaliknya demokrasi dapat mengembangkan masyarakat yang multi kultural. Hal ini disebabkan berlakunya prinsip perbedaan dan saling menghargai perbedaan konflik atau persaingan berdasarkan atas hukum atau aturan main yang adil dan beradab, yang tidak dapat ditawar oleh seseorang yang mempunyai posisi tinggi atau kekuasaan yang besar. Permasalahan konflik-konflik bernuansa keragaman suku bangsa, agama, ras dan antar-golongan yang terjadi, baik konflik dalam skala regional maupun konflik berskala internasional, lebih terletak pada pemahaman akan budaya lain diluar budaya sendiri. Disini pamahaman ragam budaya yang ada yang diikuti dengan komunikasi antar budaya menjadi unsur yang sangat signifikan dalam menjembatani perbedaan-perbedaan. Adapun yang harus diperhatikan dari komunikasi antar budaya ini yaitu komunikasi antar budaya terjadi, bila pemberi pesan dan penerima pesan berasal dari komunitas budaya yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan tentang keragaman budaya yang harus disikapi dengan unsur persatuan dan kesatuan. Komunikasi antar budaya ini perlu dikembangkan sebagai upaya untuklxi : 1. Mencapai pertukaran dialektis antar budaya. 2. Mengembangkan kesederajatan dan menghapus diskriminasi. 3. Memupuk rasa solidaritas nasional dengan cara membiasakan diri dalam kehidupan bersama. 4. Mendorong terjadinya pembauran secara alamiah sehingga mampu mengatasi perbedaan budaya. Komunikasi antar budaya mempunyai cakupan, antara lainlxii : 1. Komunikasi antar ras yang bertujuan untuk menghilangkan prasangka rasial. 2. Komunikasi antar etnik bertujuan untuk mensosialisasikan dan membudayakan pertukaran informasi kebudayaan antar suku bangsa. 3. Komunikasi antar agama mempunyai tujuan yaitu memupuk perilaku keagamaan dan sosial yang akomodatif. 4. Komunikasi antar kelas mempunyai tujuan untuk menghindari ketidakseimbangan dan diskriminasi. 5. Komunikasi antar gender yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat antara kaum laki-laki dan perempuan Disini dapat dilihat bahwa komunikasi antar budaya mensosialisasikan ide pluralitas dan keberagaman dengan bahasa budaya.

87

4. Kesetaraan. Kesetaraan warga dan hak budaya komuniti adalah unsur-unsur mendasar yang ada dalam unsur demokrasi, yang menekankan pentingnya hak individu dan kesetaraan individu atau warga, dan toleransi terhadap perbedaan dan keanakaragaman. Pada hakikatnya masyarakat majemuk yang secara suku bangsa beranekaragam mempunyai potensi sebuah masyarakat otoriter-militiristis dengan corak paternalistis dan etnosentris yang primordial. Primordialitas kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat berpotensi menjadi pemecah belah bangsa pada saat primordialitas tersebut diaktifkan sebagai kekuatan politik. Potensi kekuatan primordialitas untuk memecah belah bangsa disebabkan oleh hakikat keberadaan masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk itu dihasilkan oleh upaya sistem nasional untuk mempersatukan kelompok-kelompok suku bangsa menjadi sebuah bangsa. Pemersatuan kelompok-kelompok suku bangsa itu dilakukan secara paksa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman kebudayaan atau ideologi multikulturalisme. Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam kesetaraan derajat, seperti yang diberlakukan dalam masyarakat-masyarakat Amerika dan Eropa Barat. Ideologi yang harus ditekankan adalah keanekaragaman kebudayaan. Kekuatan sosial dan politik dari keanekaragaman tersebut bukan berlandaskan pada kekuatan primordial kesukubangsaan yang lokal. Secara hipotesis, dalam wadah masyarakat Bhinneka Tunggal Ika Indonesia yang seperti inilah maka proses-proses demokrasi akan dapat diwujudkan. Pemahaman tentang hubungan keragaman dengan kesetaraan di dalam masyarakat dengan tujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul dari masyarakat dianggap sebagai suatu hal yang penting. Pemahaman tentang hubungan antara keragaman dan kesetaraan itu harus seiring dan sejalan dengan praktek-praktek hubungan sosial-budaya masayarakat. Untuk itu Suparlan mengatakan : 1. Perlu kebijakan secara nasional dan sosial untuk meredam atau menyimpan jati diri suku bangsa atau ras, dan sebaliknya menonjolkan ide keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat multikultural 2. Menempatkan individu dengan keragaman kebudayaannya yang setara derajatnya dalam mewujudkan kehidupan demokrasi

88

3.

Menjamin hak komuniti sebagai satuan kehidupan berskala kecil yang menempati suatu wilayah 4. Manusia sebagai individu, hidup dalam komuniti, dibesarkan, dan dijadikan manusia sehingga dapat berperan sebagai warga masyarakat dan negara yang berguna. Gender. Selanjutnya, dalam usaha memahami kesetaraan juga dapat dilihat dari perspektif gender. Kesetaraan gender adalah suatu frase suci yang diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tatanan praktis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi ketidak-setaraan yang diterima dan dialami oleh kaum perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, sub-ordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut memang dapat membangkitkan emosi, kekesalan dan memicu rasa simpati yang besar kepada kaum perempuan. Banyak pemahaman yang keliru ketika orang mengartikan seks dan gender, karena gender dalam bahasa Inggris hanya diartikan sebagai jenis kelamin. Untuk itu perlu dipahami terlebih dahulu bahwa seks merupakan suatu hal yang merupakan kodrat berupa ciri-ciri fisik/ biologis yang tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan yang mengalami haid, hamil dan melahirkan yang ini tidak mungkin bisa dilakukan laki-laki. Dan sebaliknya laki-laki memiliki jakun, sperma dan alat vital berupa penis. Seks bersifat kodrati yang tidak mengenal batas ruang dan waktu, bersifat alamiah dan tidak akan berubah dalam kondisi apapunlxiii. Sedangkan gender, merupakan pelabelan yang pada kenyataannya dibentuk oleh budaya, tidak bersifat permanen, dan oleh karenanya bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Gender tergantung pada nilai-nilai yang dianut masyarakat, hasil konstruksi tradisi, budaya, agama dan ideologi tertentu yang mengenal batas ruang dan waktu yang langsung membentuk karakteristik laki-laki dan perempuan. Saat ini di dalam kehidupan bermasyarakat ada pemilahan sifat manusia yaitu feminim dan maskulin. Sifat-sifat feminim dan maskulin dapat dikategorikan sebagai berikutlxiv : Sifat maskulin Sifat feminim 1. Aktif / 1. Pasif / nonagresif agresif 2. Dependen 2. Indepe 3. Emosional nden 4. Subyektif

89

3. Rasion 5. Kurang tegas al 6. Lemah lembut 4. Obyek 7. Sering menangis tif 8. Mudah tersinggung 5. Tegas 9. Kurang kompetitif 6. Keras 10.Tidak suka berpetualang 7. Jarang 11.Berorientasi ke rumah menan 12.Kurang ambisius gis 13.Kurang percaya diri 8. Tidak 14.Pengasuh, pemelihara muda 15.Dsb h tersin ggung 9. Lebih kompe titif 10. L ebih suka berpet ualang 11. L ebih mend unia 12. A mbisiu s 13. P ercaya diri 14. P emimp in, pelind ung 15. D sb Sifat feminin seringkali dilekatkan pada diri perempuan dan sifat maskulin seringkali dianggap sebagai sifat laki-laki. Sehingga bila ada seorang yang bersikap tidak sesuai dari sifatsifat yang sudah dilekatkan pada dirinya oleh masyarakat maka dia diangggap menyimpang atau salah. Padahal pada riilnya, potensi yang dimiliki laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia adalah relatif. Tidak semua laki-laki mampu bersikap

90

tegas. Demikian pula tidak semua perempuan bersikap cengeng, dan seterusnya. Persoalannya kemudian, dari pelabelan yang ada di masyarakat ini memunculkan ketidakadilan yang berkaitan dengan relasi antara perempuan dan laki-laki. Setidaknya ada lima isu gender yang dialami perempuan akibat ketidakadilan genderlxv yaitu : 1. Kekerasan terhadap perempuan. 2. Beban ganda perempuan 3. Marginalisasi perempuan 4. Subordinasi perempuan 5. Stereotype terhadap perempuan Sedangkan manifestasi ketidakadilan gender bagi perempuan dapat dirumuskan sebagai berikutlxvi : 1. Pada sektor budaya, perempuan terkungkung dengan stereotype yang dilekatkan pada dirinya untuk tidak keluar dari peran domestiknya. 2. Dalam sektor publik maupun domestik perempuan seringkali menjadi korban tindak kekerasan 3. Dalam bidang ekonomi, perempuan mengalami marginalisasi dan harus menanggung beban ganda jika ingin berkiprah di ruang publik. 4. Dalam bidang politik, perempuan selalu menempati posisi sub-ordinan, baik di struktur pemerintahan, maupun di tingkat perwakilan rakyat. Sebagai warga negara. Perempuan juga hanya ditempatkan sebagai obyek dalam setiap kebijakan pemerintah yang memang seringkali menjadi monopoli laki-laki. Feminisme secara konsisten senantiasa memperjuangkan kesetaraan gender, yakni posisi dan peran yang setara antara laki-laki dan perempuan yang tidak dipengaruhi oleh bias gender. Sesungguhnya feminisme sedang mencoba membawa perubahan pada kultur ptriarki yang monolitik dan, dengan demikian, secara tidak langsung merupakan komponen dari agenda-agenda multilkultural. Pada awalnya feminisme dikritik keras karean ideologi pukul ratanya yang menggeneralisasi bagitu saja persoalanpersoalan perempuan secara semesta tanpa melihat bahwa goegrafi, demografi, tingkat pengetahuan, serta perkembangan tekhnologi dan informasi telah membuat perempuan sendiri tidak monopolitik, dalam perkembangannya, menjadi semakin hirau atau peduli dengan adanya sejumlah kesenjangan antara persoalan perempuan di Barat dan di Dunia Ketiga. Ini juga nerupakan isyarat penting bahwa gerakan feminisme semakin menampakkan semangat multikulturallxvii.

91

Adapun beberapa aliran feminisme yang ada di dunia saat ini adalah : Feminisme Liberallxviii. Feminisme liberal berkembang di Barat pada abad ke-18 bersamaan dengan semakin populernya arus pemikiran baru Zaman Pencerahan. Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin John Lock tentang Natural Right (HAM), bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu hak untuk hidup, mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan. Menurut feminis liberal, agar persamaan hak antara pria dan wanita dapat terjamin pelaksanaannya, maka perlu ditunjang dengan dasar hukum yang kuat. Oleh karen aitu feminis liberal kebih memfokuskan perjuangan mereka pada perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga yang patriakhat. Usaha pertama yang cukup dramatis untuk mengaplikasikan doktrin HAM pada perempuan , tertuang dalam satu deklarasi yang terkenal, yaitu declaration of Sentiments, yang disusun oleh Elizabeth Cady Stanton yang dikeluarkan di Seneca Falls, New York yang dihadiri sekitr 100 orang. Dalam deklarasi tersebut dituliskan sebanyak 15 protes mengenai nasib perempuan , mulai dari masalah lembaga perkawinan yang menempatkan laki-laki sebagai akepala keluarga, masalah hak wanita terhadap kepemilikan properti, hingga masalah politik dan sosial seperti partisipasi perempuan dalam bidang kedokteran, teologi, dan hukum. Feminisme Sosialislxix. Ketika Karl Marx dan Friederich Engels memformulasikan teori dan ideologinya, mereka melihat kaum perempuan yang kedudukannya identik dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalis barat. Mereka dalam teorinya mempermaslahakan konsep kepemilikan pribadi, dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasi pria memiliki istri secara pribadi. Menurut mereka, karena istri dimiliki oleh suami, maka ini merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan. Perempuan hanya dapat dibebaskan dari penindasan ini, kalau sistem ekonomi kapitalis diganti dengan masyarakat sosialis, yaitu masyarakat egaliter tanpa kelas-kelas.ini harus dimulai dari keluarga, dimana para istri dibebaskan dahulu agar dia dapat menjadi diri sendiri, dan kalau sistem egaliter dalam keluarga dapat tercipta maka ini akan tercermin pula dalam kehidupan masyarakat.praktek feminisme sosialis memang berbaur dengan berbagai jenis aliran feminisme. Tetapi secara teori, bermacam bentuk penyadaran pada kaum perempuan merupakan orientasi praksisnya. Feminisme sosialis adalah gerakan untuk membebaskan para perempuan melalui perubahan struktur

92

patriarkat.feminisme sosialis mengadopsi teori praksis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar para wanita sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi, agar para perempuan bangkit untuk mengubah keadaan.Dengan demikian diharapkan perempuan yang telah bangkit kesadaran dan emosinya, secara berkelompok mengadakan konflik langsung dengan kelompok dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat konflik , diharapkan akan mampu meruntuhkan sistem patriarkat yang ada. Teologi Feminislxx. Teologi feminis bersumber dari mazhab teologi pembebasan yang dikembangkan James Cone pada akhir 1960an.paham teologi pembebasan tetap ingin mempertahankan agama. Namun agama ini bukan untuk melegitimasi penguasa melainkan sebagai alat untuk membebaskan golongan yang dianggap tertindas. Teologi feminis berkembang dalam berbagai agama diantaranya Islam, kristen dan yahudi. Menurut para feminis, agama-agama serring ditafsirkan dengan memakai ideologi patriarkat yang menyudutkan perempuan.para teolog feminis yang berkembang dalam Islam, berusaha mencari konteks dan latar belakang ayat-ayat Al Quran dan hadis yang berkenaan dengan perempuan. Tujuannnya adalah untuk membantahpenafsiran dan fikih yang merugikan perempuan, seperti yang dilakukan Fatima Mernissi, Ali Asghar Engineer, Rifat Hasan, Amina Wadua, dan dari Indonesia Masdar F. Masudi. Feminisme Radikallxxi. Teori feminisme radikal berkembang pesat di AS pada 1960-1970-an. Tidak seperti teori feminis sosialis, dimana maslaah ekonomi dan struktur sosial yang menciptakan sub ordinasi perempuan, feminisme radikal berpendapat bahwa kertidakadilan gender bersumber dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan itu sendiri. Perbedaan biologis ini terkait dengan peran kehamilan dan keibuan yangs elalu diperankan perempuan. Semua ini termanifestasikan bilamana perempuan menikah dengan laki-laki, maka perbedaan nbiologis ini akan melahirkan peran gender yang erat kaitannya dnegan masalah biologis. Manifesto feminis radikal yang diterbitkan dalam Notes From The Second Sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas para feminis adalah menolak institusi keluarga baik pada tataran teori maupun praktis. Apabila lembaga perkawinan tidak dapat dihindari, maka perlu diciptakan teknologi untuk mengurangi beban biologis perempuan seperti kontrasepsi, dan bahkan artificial devices atau alat-alat tiruan,

93

seperti tiruan placenta dan bayi tabung, sehingga perempuan tidakl perlu lagi mnegalami proses kehamilan. Feminis radikal cenderung membenci makhluk laki-laki sebagai individu maupun kolektif, mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan mereka, salah satu alternatifnya adalah dengan hubungan heteroseksual (lesbian), hidup melajang, ataupun menjanda. Ekofeminismelxxii. Ekofeminisme timbul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok.teori ekofeminisme mempunyai konsep yang bertolakbelakang dengan teori-teori feminisme modern yang berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Teori ekofeminisme adalah teori yang melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya. Ekofeminisme yang ingin mengembalikan identifikasi perempuan dengan alam, adalah usaha untuk membebaskan perempuan dari perangkap sistem maskulin yang membuat perempuan menjadi bimbang akan perannya. Sistem maskulin yang telah mewarnai peradapan modern dianggap merusak dan menutupi nilai sakral kualitas feminin yang merupakan fitrah perempuan.

Ringkasan

Berdirinya negara Indonesia di latarbelakangi oleh masyarakat yang demikian majemuk, baik secara etnis, geografis, kultural, maupun religius. Kita tidak dapat mengingkari sifat pluralistic bangsa kita. Sehingga kita perlu memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan beragama yang dianut oleh warga negara Indonesia. Masalah suku bangsa dan kesatuan-kesatuan nasional di Indonesia telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu negara yang multietnik memerlukan suatu kebudayaan nasional untuk menginfestasikan peranan identitas nasional dan solidaritas nasional di antara warganya. Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai suatu bangsa telah di rancang saat bangsa kita belum merdeka. Manusia secara kodrat diciptakan sebagai makhluk yang mengusung nilai harmoni. Perbedaan yang mewujud baik secara fisik ataupun mental, sebenarnya merupakan kehendak Tuhan yang seharusnya dijadikan sebagai sebuah potensi untuk menciptakan sebuah kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi. Di kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan

94

kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarisi perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu beriringan, saling melengkapi, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam kehidupan sehari-hari. Tidak seperti sebaliknya yaitu perbedaan-perbedaan dapat menyebabkan ketegangan hubungan antar-anggota masyarakat. Salah satu model keragaman dan kesetaraan dapat dilihat dari konsep Multikulturalisme. Dalam konsep multikulturalisme, sebuah masyarakat bangsa dilihat memiliki sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum (mainstream) di dalam kehidupan mesyarakat bangsa tersebut. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat beranekaragam corak budaya yang merupakan ekspresi dari berbagai kebudayaan yang ada dalam masyarakat bangsa tersebut. Model multikulturalisme ini bertentangan dengan model monokulturalisme yang menekankan keseragaman atau kesatuan kebudayaan dengan melalui proses penyatuan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam sebuah kebudayaan yang dominan dan mayoritas. Dalam model multikulturalisme, penekanannya adalah pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang berbedabeda, pada pengkayaan budaya melalui pengadopsian unsurunsur budaya yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupannya tanpa ada hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena adanya batas-batas suku bangsa yang primodial. Dalam masyarakat multibudaya atau multikultural, setiap orang adalah multikulturalis, karena setiap orang mempunyai kebudayaan yang bukan hanya berasal dari kebudayaan asal atau suku bangsa tetapi juga mempunyai kebudayaan yang berisikan kebudayaan-kebudayaan dari suku bangsa atau bangsa lain. Multikulturalisme dilihat sebagai pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan-perbedaan kesuku-bangsaan dan suku-bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Pengertian ini mengacu pada pengertian bahwa perbedaan-perbedaan tersebut terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsanya tetap dapat hidup dalam ruang lingkup atau suasana kesukubangsaanya. Tetapi didalam suasana-suasana nasional dan tempat-tempat umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah kebangsaan dengan pluralisme budayanya, dan

95

bukannya sesuatu kesukubangsaan atau sesuatu kebudayaan suku bangsa tertentu yang dominan.

TUGAS UNTUK DISELESAIKAN


9. Jelaskan mengapa keragaman dan kesetaraan harus dipahami oleh manusia Indonesia terutama oleh mahasiswa

10. Jelaskan konsep tentang masyarakat majemuk yang anda ketahui ?. 11. Apa yang anda ketahui tentang manusia antar budaya dan menurut anda, apakah manusia Indonesia termasuk dalam konteks manusia antar budaya tersebut ?. 12. Di dalam masyarakat yang multi budaya, perlu dikembangkan komunikasi antar budaya yang sangat intens. Apa yang dimaksud dengan komunikasi antar budaya dan apa yang harus dikembangkan dari komunikasi antar budaya tersebut ?. 13. Diskusikan dengan teman anda 3 - 5 orang tentang permasalahan keragaman dan kesetaraan di Indonesia ?. 14. Apa yang dimaksud dengan : a. Pluralitas c. Gender b. Multikulturalisme d. Feminisme

BAB VI MANUSIA, MORALITAS DAN HUKUM


Oleh : Tito Kusuma Wardhana, S.Sos

1. Pengertian Nilai, Moral dan Hukum. Nilai. Nilai dianggap penting dalam kehidupan manusia, hal ini disebabkan seseorang di dalam hidupnya tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai. Oleh karena itu, nilai-nilai ini implementasinya sangat luas, dapat ditemukan pada berbagai perilaku yang terpilih dalam berbagai kehidupan yang luas di alam semesta ini. Jadi, pemahaman akan konsep nilai dianggap penting dalam upaya untuk mengerti dan memahami pentingnya nilai bagi kehidupan manusia. Nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusialxxiii. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau 96

kelompok. Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Contohnya adalah baju itu indah, maka arti indah adalah sifat atau kualitas yang melekat pada baju. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan yang lainnya. Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapanharapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Maka apabila kita berbicara tentang nilai, sebenarnya kita berbicara tentang hal yang ideal, tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan, dambaan dan keharusan. Jika berbicara tentang nilai berarti masuk pada bidang makna normatif, bukan kognitif, masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian diantara keduanya, antara yang makna normatif dan kognitif, antara dunia ideal dan real, itu saling berhubungan atau saling berkait erat. Artinya yang ideal harus menjadi real dan yang bermakna normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta. Sebagai bahan perbandingan dan untuk menambah wawasan pengertian tentang nilai, ada beberapa pendapat sebagai berikutlxxiv : 1. Peper (1958) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk. 2. Perry (1954) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi manusia sebagai subyek. 3. Kohler (1938) mengatakan bahwa manusia tidak berbeda di dunia ini, semua tidak dapat berhenti hanya dengan sebuah pandangan (maksud) faktual dari pengalaman yang berlaku. 4. Kluckhon (1951) mengatakan bahwa definisi nilai yang diterima sebagia konsep yang diiinginkan dalam literatur ilmu sosial adalah hasil pengaruh seleksi perilaku. Batasan nilai yang sempit adalah adanya suatu perbedaan penyusunan antara apa yang seharusnya dibutuhkan dan apa yang diinginkan dengan apa yang seharusnya dibutuhkan; nilai-nilai tersusun secara hierarkis dan mengatur rangsangan kepuasan hati dalam mencapai tujuan kepribadiannya. Kepribadian dari sistem sosio-budaya merupakan syarat dalam susunan kebutuhan rasa hormat terhadap keinginan yang lain atau kelompok sebagai suatu kehidupan sosial yang besar. Terdapat batasan nilai (tentatif) dari beberapa pendapat mengenai konsep nilai yaitu nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau segala sesuatu yang buruk sebagai

97

abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat. Dalam memahami lebih jauh mengenai konsep nilai, maka Notonagoro membagi nilai menjadi 3 (tiga) macamlxxv, yaitu : 1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia. 2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. 3. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerokhanian ini dapat dibedakan atas empat macam : a. Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia. b. Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia. c. Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, would, karsa) manusia. d. Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia. Dari macam-macam nilai diatas, dapat dikemukakan bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau immaterial. Bahkan sesuatu yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material lebih relatif mudah diukur, yaitu dengan menggunakan alat indera maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, luas dan sebagainya. Sedangkan nilai kerokhanian/ spiritual lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal kerokhanian/ spiritual yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indera, cipta, rasa, karsa dan keyakinan manusia. Jika nilai ingin dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praktis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara, maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas, sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi ; Pertama, Norma Moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik dan buruk serta benar dan salah, sopan atau tidak sopan, dan susila atau asusila. Sehingga etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegera dapat berjalan dengan baik. Kedua, Norma Hukum yaitu yang berkaitan dengan sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara.

98

Nilai memiliki kaitannya yang erat dengan etika, karena etika pada pokoknya merupakan kajian mengenai nilai baik dan buruk serta benar dan salah. Istilah etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu eqos-ethos dan eqiqos-ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Sedangkan ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Etika sendiri dapat dibagi menjadi dua bagianlxxvi yaitu : 1. Etika Deskriptif. Etika desriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa ada fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah, seperti yang dapat dilakukan terhadap fenomena spiritual lainnya, misalnya religi dan seni. Oleh karena itu, etika deskriptif digolongkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. 2. Etika Normatif. Etika normatif dapat juga disebut filsafat moral (moral philoshopy). Etika normatif sendiri dibagi dalam dua teori, yaitu teori-teori nilai (theories of value) dan teori-teori keharusan (theories of obligation). Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori-teori keharusan membahas tingkah laku. Nilai Barat dan Timur. Barat dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga hasil pola pemikirannya membuahkan sains dan tekhnologi. Dalam cara berfikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan hidup sehingga tidak cocok dengan cara berfikir untuk meninjau mkana dunia dan makna hidup. Barat hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat tradisional dan pemahaman agama muncul sebagai suatu sistematik ide-ide abstrak tanpa hubungan dengan yang nyata dan praktek hidup. Akibatnya, pengaruhnya atas hidup dan pikiran orang makin berkurang karena Barat mengunggulkan cara berfikir analitis rasional, maka mereka menganggap pikiran nilai-nilai hidup yang meminta kepekaan hati sebagai sesuatu yang subjektif dan tidak bermutu. Nilai penting yang mendasari semua nilai di Barat adalah martabat manusia, kebebasan dan tekhnologilxxvii. Dalam hal manusia, Barat beranggapan bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Maksudnya, manusia mempunyai

99

kemampuan untuk menyempurnakan hidupnya sendiri, dengan syarat bertitik tolak dari rasio, intelek dan pengalaman. Manusia oleh Barat dipandang sebagai pusat segala sesuatu yang mempunyai kemampuan rasional, kreatif dan estetik, sehingga kebudayaan Barat menghasilkan nilai dasar seperti demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteraan ekonomi, yang kesemuanya berpangkal demi penghargaan mutlak bagi manusia. Dari sini dapat dilihat bahwa manusia itu dianggap memiliki nilai diukur dari kemampuannya, bukan dari kebijaksanaan hatinya. Nilai Timur pada intinya banyak bersumber dari agamaagama yang lahir di dunia Timur. Pada umumnya manusiamanusia Timur menghayati hidup yang meliputi seluruh eksistensinya. Berfikir secara Timur tidak bertujuan menunjang usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab manusia Timur lebih menyukai intuisi dari pada akal budi. Inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan instuisi serta intelegensi dan perasaan. Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya. Dalam hal menegakkan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama saja, tetapi juga bersumber dari ide-ide abstrak atau simbolik yang dapat terwujud kongkret dalam praktek kehidupannya. Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi mencari kebijaksanaan. Jelasnya, dalam menghadapi kenyataan, orang Timur memadukan pengetahuan, intuisi, pemikiran kongkret, simbolik dan kebijaksanaan. Moralitas. Berbicara soal moral berarti berbicara soal perbuatan manusia dan juga pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Karena norma moral merupakan standar prilaku yang disepakati, maka moral bisa dipakai untuk mengukur prilaku orang lain. Oleh karena itu, norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma moral kita betul-betul dinilai, apakah kita ini baik atau buruk, yang menjadi permasalahan bidang morallxxviii. Bahkan K. Bertens mengatakan Moralitas merupakan ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lain di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dilakukan dan tidak pantas

100

dilakukanlxxix. Keharusan dapat dibedakan antara keharusan alamiah dan keharusan moral. Keharusan alamiah adalah keharusan yang didasarkan atas hukum alam, alam telah mengaturnya sedemikian rupa sehingga berjalan secara otomatis, tidak perlu ada instansi yang mengawasi agar hal itu terjadi, hal itu akan terjadi dengan sendirinya dan tidak mengandaikan adanya kebebasan (keharusan alamiah inilah yang terjadi pada binatang). Sedangkan keharusan moral dijalankan berdasarkan hukum moral. Hukum moral tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi merupakan himbauan pada kemauan manusia dengan menyuruh untuk melakukan sesuatu. Jadi hukum moral merupakan kewajiban. Keharusan moral didasarkan pada kenyataan bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau norma-norma itu. Manusia harus menerima dan menjalankannya (keharusan moral semacam ini hanya ada pada manusia). Keharusan moral mengandaikan adanya kebebasan. Lawrence Kohlberg mengatakan bahwa orientasi moral seseorang yang dijadikan dasar pertimbangan nuraninya berbeda-beda bagi setiap orang. Ada 4 orientasi moral yang Kohlberg kemukakanlxxx, yaitu : 1. Orientasi normatif yaitu mempertahankan hak dan kewajiban dan taat pada aturan yang telah baku. 2. Orientasi kejujuran yaitu menekankan pada keadilan dengan fokus pada : a) Kebebasan. b) Kesamaan. c) Pertukaran hak. d) Kesepakatan. 3. Orientasi utilitarisme menekankan konsekuensi kesejahteraan dan kebahagiaan tindakan moral seseorang pada orang lain. 4. Orientasi perfeksionisme menekankan pencapaian : a) Martabat dan otonomi. b) Kesadaran dan motif yang baik. c) Keharmonisan dengan orang lain. Orientasi moral ini dipandang penting karena akan menentukan arah keputusan dan tindakan seseorang. Sehingga dapat dikatakan salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah orientasi; tujuannya agar kita tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap perbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita dapat mengerti sendiri mengapa kita harus begini atau begitulxxxi. Oleh karena itu orientasi moral akan sangat berpengaruh terhadap moralitas dan pertimbangan moral seseorang, karena pertimbangan moral merupakan hasil proses penalaran yang

101

dalam proses penalaran tersebut ada upaya memprioritaskan nilai-nilai tertentu berdasarkan orientasi moral serta pertimbangan konsekuensinya. Karena banyaknya istilah moral, moralitas, immoral dan amoral dalam makalah ini, akan lebih baik bila dipertegas lebih dahulu pengertian istilah tersebut. Kata dan istilah moral sering juga dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik lewat percakapan, tulisan maupun berita. Istilah moral ini bisa digunakan untuk maksud yang berbeda, tentu saja sesuai dengan konteks dan makna pembicaraan yang dimaksud. Akan tetapi bila ditelusuri asal-usul katanya, istilah moral berasal dari bahasa latin mos (jamaknya mores) yang berarti adat, kebiasaan. Moral secara istilah adalah nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas/ pilar dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Sedangkan istilah amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis atau non moral, sedangkan immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik atau secara moral buruk atau tidak etis. Dalam kamus yang berkembang di Indonesia amoral berarti immoral dalam pengertian di atas dan pengertian immoral sendiri kurang dikenal. Hukum Pemahaman mengenai hubungan manusia dengan hukum yaitu bahwa setiap saat manusia dikuasai oleh hukum. Hukum mencampuri urusan manusia sebelum ia lahir dan masih mencampurinya sesudah manusia meninggal. Hukum melindungi benih di kandungan ibu dan masih menjaga jenazah orang yang sudah mati. Hukum berlaku pada seorang individu ketika baru dilahirkan, memberikan hak-hak terhadap orang tua dan meletakkan kewajiban atas orang tua terhadap anak-anaknya. Pergaulan hidup manusia yang terjadi karena hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya, baik hubungan yang langsung (asal-usul/ keturunan), perkawinan, perdagangan, tempat tinggal, kebangsaan, dan lain-lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa semua hubungan itu diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum, bahkan jika dipikirkan lebih lanjut maka terasalah bahwa hukum itu tidak terbatas melainkan terdapat dimana-mana. Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi masyarakat, seperti kaidah agama, kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah moral. Kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut, bahkan antar kaidah hukum dengan kaidah lain tersebut saling

102

berhubungan yang satu memperkuat lainnya, meskipun adakalanya kaidah hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah tersebut. Hukum itu sungguh-sungguh merupakan hukum apabila benar-benar dikehendaki diterima oleh kita sebagai anggota masyarakat; apaila kita juga betul-betul berfikir demikian seperti yang dalam undang-undang, dan terutama juga betul-betul menjadi realitas hidup dalam kehidupan orang-orang dalam masyarakatlxxxii. Dengan demikian hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Selanjutnya Mochtar Kususmaatmadja mengatakan Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebutlxxxiii. Oleh karena itu hukum kemudian dapat juga diartikan sebagai serumpun peraturan yang bersifat memaksa, yang diadakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Hukum tidak lain hanyalah merupakan sarana bagi penyelenggara hukum untuk mengerahkan cara berfikir dan bertindak dalam rangka kebijakan (policy) tujuan nasional. Dalam kediriannya, secara inheren, tidak ada sangkut pautnya dengan keadilan dan kebenaran dalam makna yang hakiki. Dalam rangka konseptualisasi, hukum selalu berpihak, selalu berwarna dan memang dirancang ,dalam kamus hukum, hanya dirasakan dan dialami, bermakna dan berwujud relatif berakar dari sosial, budaya, struktural dan bahkan agama. 2. Fungsi Nilai, Moral dan Hukum dalam Kehidupan Manusia. Nilai, moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat sekali. Nilai yang dianggap penting oleh manusia itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Setiap individu harus memahami nilai dan kebernilaian dirinya, sehingga akan menempatkan diri secara bijak dalam pergaulan hidup serta akan mengakui dan bijak terhadap keberadaan nilai dan kebernilaian orang lain. Pemahaman akan nilai dan kebernilaian diri akan membawa implikasi pada permasalahan moralitas. Moralitas diidentikan dengan perbuatan baik dan perbuatan buruk (etika), yang mana cara mengukurnya adalah melalui nilai-nilai yang terkandung dalam perbuatan tersebut. Sedangkan perbuatan-perbuatan manusia agar tidak merugikan orang lain atau masyarakat dan dapat menciptakan ketertiban serta dapat menjaga keutuhan

103

masyarakat, maka dibuatlah hukum yang mengatur tentang hubungan sosial masyarakat. Pada dasarnya nilai, moral dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. Setidaknya dapat dikemukakan tiga fungsi eksplisitnya dalam kehidupan manusia. Pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini mengingatkan manusia agar memperhatikan kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup. Kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Hal ini menunjuk dimensi moral dari permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat. Terjadinya kekacauan atau ketidakberesan dalam masyarakat selalu berhubungan dengan longgarnya penerapan moralitas dan hukum. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian manusia kepada gejala pembiasaan emosional. Maksudnya, dapat menggiring manusia kepada faktor-faktor emosional sehingga manusia dapat saja salah atau keliru pada saat memilih sesuatulxxxiv. Selain itu fungsi dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian dan pengaturan. Pengendalian dan pengaturan dilakukan berdasarkan sistem hukum. Pentingnya sistem hukum ialah sebagai perlindungan bagi kepentingankepentingan yang telah dilindungi kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan. Meskipun kaidah-kaidah tersebut ikut berusaha menyelenggarakan dan melindungi serta menjamin kepentingan orang dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi maka diperlukanlah sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan nyata berlaku dalam masyarakat, disebut hukum positif. Istilah hukum positif dimaksudkan untuk menandai diferensi (perbedaan) dan hukum terhadap kaidah-kaidah lain dalam masyarakat tampil lebih jelas, tegas dan didukung oleh perlengkapan yang cukup agar diikuti oleh anggota masyarakat. Sebagai atribut positif ini ialah : 1. Bukanlah kaidah sosial yang mengambang atau tidak jelas bentuk dan tujuannya sehingga dibutuhkan lembaga khusus yang bertujuan merumuskan dengan jelas tujuan yang hendak dicapai oleh hukum. 2. Dibutuhkan staf (orang/ personalia) yang menjaga berlakunya hukum, seperti polisi dan pengadilanlxxxv. Sifat dan peraturan hukum tersebut adalah memaksa dan menghendaki tujuan yang lebih dalam. Pengertian memaksa bukanlah senantiasa dipaksakan, apalagi dengan tindakan

104

sewenang-sewenang. Sebab hukum itu merupakan konkritisasi dari sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang perlu mempertimbangkan tiga hal penting yaitu sebagai sistem norma, sebagai sistem kontrol sosial dan sebagai social enginering (pemegang kekuasaan memelopori proses lxxxvi pengkaidahannya) . Bahkan tatkala terjadi dilema di dalam hukum itu sendiri, yang dapat disebabkan karena adanya konflik, baik dari lembaga-lembaga hukum, sarana prasarana hukum bahkan rendahnya budaya hukum dalam masyarakat, maka setiap orang (masyarakat dan aparatur hukum) harus mengembalikannnya pada rasa keadilan hukum masyarakat, artinya harus mengutamakan moralitas masyarakat. 3. Proses terbentuknya Nilai, Moral dan Hukum dalam Masyarakat dan Negara. Dengan semakin banyaknya permasalahan-permasalahan sosial dewasa ini, yang banyak diwarnai dengan masalah pertumbuhan penduduk yang demikian cepat, revolusi industri, perkembangan tekhnologi serta modernisasi, secara tidak langsung telah menimbulkan suatu tatanan baru atau gambaran sosial yang baru di dalam masyarakat saat ini. Perkembangan yang demikian ini membawa serta peranan dan pengaturan melalui berbagai bidang, umumnya di bidang moralitas dan di bidang hukum secara khusus. Permasalahan-permasalahan sosial selalu ada dalam suatu masyarakat ataupun negara. Bahkan sejak jaman dahulu sampai jaman sekarang permasalahan-permasalahan sosial itu akan tetap selalu ada di dalam masyarakat dan negara. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial tersebut dibutuhkanlah yang dinamakan dengan moralitas dan hukum, baik moralitas dan hukum dalam artian masing-masing maupun moralitas dan hukum sebagai satu kesatuan. Dalam artian moralitas dan hukum sebagai satu kesatuan maka di kenal suatu istilah yang dinamakan Hukum Moral. Hukum moral ini berbeda dengan hukum-hukum yang lainnya. Umumnya, hukum moral dimengerti sebagai tatanan pengarah kegiatan manusia untuk mencapai tujuan yaitu ketertiban dan keadilanlxxxvii. Hukum moral sendiri meliputi rangkaian aturan permanen, seperti kewajiban menghormati kontrak antar pribadi (kontrak sosial), peraturan hidup, larangan untuk melakukan tindakan yang merugikan orang-orang lain. Terdapat 5 (lima) fungsi perumusan hukum morallxxxviii antara lain : Pertama, mewariskan himpunan kebijakan dari jaman dulu kepada generasi sekarang dan yang akan datang. Sebagai individu dan makhluk sosial, manusia selalu

105

mempertimbangkan dampak tindakan yang diperbuatnya. Kedua, Mengusahakan keamanan secara psikologis dan sosial. Secara sosial, hukum ini membantu tatanan hidup masyarakat untuk menghadapi kekuatan-kekuatan khaotik dan anarkis. Ketiga, membantu manusia dalam pengambilan keputusan dan mencegah terjadinya paralisis moral. Keempat, membantu manusia untuk mengenal kekurangan-kekurangan dan kegagalan-kegagalan sehingga manusia dapat memperbaiki diri. Kelima, Membagikan pengalaman supaya bisa tercipta tingkah laku personal dan sosial. Hukum moral ada untuk melayani cinta kasih dan berada di bawah cinta kasih dan membantu untuk menuntun manusia menuju kebaikan secara otentik. Supaya hubungan manusia dalam masyarakat dan negara terlaksana sebagaimana yang diharapkan, maka diciptakanlah norma-norma yang bersumber pada nilai-nilai dan moral masyarakat melalui tahapan sebagai berikut, (1). Cara (usage) yaitu menunjuk pada suatu kegiatan. (2). Kebiasaan (folkways) yaitu perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. (3). Tata kelakuan (mores) yaitu kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan diterima norma-norma pengatur. (4). Adat istiadat (custom) yaitu tata kelakuan yang kekal seta kuat integrasinya dengan pola-pola masyarakat, disertai dengan sanksi tertentulxxxix Dalam rangka pembentukannya sebagai lembaga kemasyarakatan, norma-norma itu mengalami beberapa proses. Pertama, Institusionalisasi yaitu proses dimana norma itu dikenal, diakui, dihargai, dan ditaati dalam kehidupan sehari-hari, dan secara resmi dilembagakan berbentuk suatu hukum tertulis dalam konteks kenegaraan. Kedua, Internalisasi yaitu suatu proses dimana norma tersebut telah mendarah-daging dalam masyarakat. 4. Perwujudan Nilai, Moral dan Hukum dalam Masyarakat dan Negara. Perwujudan nilai, moral dan hukum dalam masyarakat dan negara dapat diartikan dengan makna kesadaran hukum dalam masyarakat. Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Dengan kata lain, kesadaran hukum manusia menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Untuk menggambarkan keterkaitan antara kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terdapat suatu hipotesis yang dikemukakan oleh Berl Kutchinskyxc, yaitu a strong legal consciousness is sometimes considered the cause of adherence to law (sometimes it is just another word for that) while a weak legal consciousness is considered the cause of

106

crime and evil. Kuatnya kesadaran tentang undang-undang (hukum) kadang-kadang dipertimbangkan menjadi penyebab kesetiaan atau ketaatan hukum (meskipun kadang-kadang hanya sebatas pada kata-kata saja), sedangkan lemahnya kesadaran tentang undang-undang (hukum) dipertimbangkan menjadi penyebab terjadinya kejahatan dan malapetaka. Kesadaran hukum memiliki perbedaan dengan perasaan hukum. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilanxci. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada atau dengan perkataan lain kesadaran hukum merupakan persepsi seseorang atau masyarakat tentang hukum. Dengan demikian yang ditekankan dalam hal ini adalah nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan bukan terhadap kejadian-kejadian konkret dalam masyarakat yang bersangkutan. Bila demikian, kesadaran hukum menekankan tentang nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa hukum ada di dalam masyarakat. Tentang faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum, antara lain adalahxcii : 1. Compliance. Diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum, baik hukum formal/ positif ataupun hukum berdasarkan normas-norma masyarakat (sanksi sosial). Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya, kepatuhan hukum akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut. 2. Identification. Terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum ada bukan karena nilai instrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok serta hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut tetap terjaga. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, sehingga kepatuhan pun tergantung pada baik-

107

buruknya interaksi tadi. Walaupun seseorang tidak menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi terhadapnya berjalan terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif terhadapnya. Hal ini disebabkan, oleh karena orang yang bersangkutan berusaha untuk mengatasi perasaanperasaan kekhawatirannya terhadap kekecewaan tertentu, dengan jalan menguasai obyek frustasi tersebut dengan mengadakan identifikasi. Penderitaan yang ada sebagai akibat pertentangan nilai-nilai diatasinya dengan menerima nilai-nilai penegak hukum. 3. Internalization. Pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah-kaidah hukum dikarenakan secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya dari pribadi yang bersangkutan atau oleh karena dia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik. Titik sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya. 4. Society Interest. Maksudnya ialah kepentingan-kepentingan para warga masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada. Kesadaran hukum berkaiatan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat menaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap dalam diri masyarakat. Terdapat 4 (empat) indikator kesadaaran hukum, yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnyaxciii, yaitu : 1. Pengetahuan Hukum. 2. Pemahaman Hukum. 3. Sikap Hukum. 4. Pola Perilaku Hukum. Pengetahuan Hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang sudah diatur oleh hukum. Sudah tentu bahwa hukum yang dimaksud di sini adalah hukum tertulis (hukum formal) dan hukum tidak tertulis (normanorma atau aturan-aturan dalam masyarakat). Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun

108

perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang mengetahui bahwa membunuh, mencuri, merampok dan lainlainnya itu dilarang oleh hukum. Pemahaman Hukum dalam arti di sini adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman hukum tidak diisyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur semua hal. Akan tetapi yang dilihat di sini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku seharihari. Sikap Hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sebagaimana terlihat disini bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di masyarakat. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya. Pola Perilaku Hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat. Bila dianggap bahwa hukum merupakan konkritisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, maka dengan demikian suatu keadaan yang dicitacitakan adalah adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau dilain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Nyatalah bahwa kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai, jadi kesadaran hukum adalah konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya.

109

Dalam dimensi lain, sebagai perwujudan nilai, moral dan hukum dalam masyarakat dan negara adalah jika masyarakat tidak memiliki kesadaran hukum atau melanggar hukum, maka dapat dikatakan bahwa seseorang itu telah melanggar nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Disini berlaku konsep reward and phunisment , yaitu siapa yang menghargai dan tidak melanggar hukum serta nilai-nilai dalam masyarakat maka ia akan mendapat penghargaan dalam bentuk penerimaan diri oleh masyarakatnya, akan tetapi sebaliknya jika siapa yang melanggar hukum serta nilai-nilai dalam masyarakat maka ia akan menerima hukuman, baik moral maupun fisik, baik itu berupa pengucilan atau tidak diterima oleh masyarakat dan maupun hukuman fisik yaitu pemenjaran. Hukuman adalah akibat mutlak dari suatu tindakan atau balasan dari kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, dengan kata lain, orang dijatuhi hukuman karena orang berbuat kejahatan. Menurut L.J. van Apeldoorn, tujuan hukuman adalah untuk memperbaiki penjahat, hukuman harus mendidik penjahat menjadi orang yang baik dalam pergaulan hidupxciv. Jika dipandang demikian, maka hukuman itu bukan sesuatu yang buruk, melainkan sesuatu yang baik bagi masyarakat juga untuk pelaku kejahatan, dan karena itu hukuman dapat dibenarkan. Untuk macam-macam hukuman dapat terdiri dari hukuman tahanan (sifatnya hukuman fisik) yang bertujuan untuk merampas kebebasan pelaku kejahatan (ini biasanya terjadi pada tindak hukum pidana). Dapat juga berupa kompensasi yang biasanya dalam bentuk ganti rugi, dimana pihak yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak yang merugikan (terjadi pada tindak hukum perdata). 5. Keadilan, Ketertiban, dan Kesejahteraan Masyarakat Sebagai Wujud Masyarakat yang Bermoral dan Mentaati Hukum. Disepakati bahwa manusia adalah makhluk sosial, yaitu mahluk yang selalu berintraksi dan membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dalam konteks hubungan sesama seperti itulah perlu adanya keteraturan sehinga setiap individu dapat berhubungan secara harmonis dengan individu lain disekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut oleh kita hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tampa atau diluar masyarakat. Maka, manusia, masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pameo Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat disana ada hukum adalah tepat.

110

Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan kepastian hukum, dll. Akan tetapi dalam kaitan dengan masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat direduksi untuk ketertiban (order). Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur, ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknyaxcv. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi mempertegas lembagalembaga hukum mana yang melaksanakannya. Imanuel Kant, seorang filsuf moral, menggambarkan secara jelas hubungan antara masyarakat bermoral yang harus mentaati hukum. Kant mengatakan Jika seseorang, yang suka mengganggu dan mengesalkan masyarakat yang cinta damai, akhirnya menerima cambukan secukupnya, hal ini menyakitkan, tetapi tiap orang menyetujui dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya, ... xcvi. Dia mengatakan hal tersebut karena Kant melihat adanya realita-realita baru di dunia, dimana hukum saat ini tidak lagi mengikuti asas kesetimpalan. Bahkan, acapkali hukum melahirkan ironi. Ironi merupakan kecenderungan yang dicirikan dengan berbagai cakupan sifat : kontradiktif, inkonsistensi, anomali, janggal, abnormalitas, berlebihan dan ada di luar garis. Hukum tidak dianggap ironi jika diberlakukan apa yang oleh para filsuf moral disebut Pay Back (Pembayaran Kembali). Maksud dari pay back ini adalah bagi mereka yang terbukti melakukan kejahatan layak dikenai pembayaran kembali atas tindakannya yang mengabaikan kepantasan moralxcvii. Seperti pepatah kuno yang mengatakan mata dibalas mata, darah dibalas darah. Hal ini bisa membenarkan permasalahan tentang hukuman yang setimpal bagi pelaku kejahatan. Meskipun disadari bahwa, menghukum orang bisa menambah jumlah kemalangan di dunia, tetapi hal itu seharusnya dianggap sebagai suatu hal yang wajar karena seorang terhukum (yang terbukti melakukan kejahatan) layak menanggung penderitaan tambahan. Banyak orang dalam masyarakat dewasa ini yang setuju terhadap pendapat Imanuel Kant tersebut, bahwa orang harus dihukum karena melakukan kejahatan, bukan karena alasan lain.

111

Dalam kapasitas ini, sanksi hukum tetap menganut proportionately (setimpal), sesuai dengan kadar beratnya kejatahan. Jika hal ini tidak diberlakukan (hukuman tidak setimpal dengan perbuatan kerjahatan) maka masyarakat akan mengalami degradasi moral, atau lebih tepatnya hilangnya kesadaran moral akibat dari rasa ketidak adilan hukum. Orang yang hilang kesadaran moralnya adalah mereka yang tidak mempunyai suara hati, begitu juga sebaliknya, jika orang memiliki kesadaran moral dapat dikatakan mereka adalah orangorang yang masih memiliki hati dan mau mendengarkan suara hatinya serta mempertimbangkan segala sesuatunya dengan hati. Dalam kehidupan sosial atau bermasyarakat, kita wajib melakukan yang baik dan benar serta berani menolak yang tidak baik dan yang tidak benar (menurut ukuran masyarakat). Jika kita mampu melaksanakannya, maka dapat dikatakan bahwa kita memiliki hati. Dan jika kita mengikutinya, akan membuat kita merasa bernilai di dalam masyarakat dan merasa aman. Bagi orang yang bersuara hati, ia akan malu jika melakukan perbuatan tidak bermoral atau yang bertentangan dengan hatinya. Disini norma hukum menjadi suatu hal yang penting dan jika norma hukum tidak dijalankan dengan tidak semestinya, maka dampaknya adalah hukum menjadi tidak berwibawa. Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali, ada pepatah Roma mengatakan Quid leges sine moribus? . Apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas?. Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja, kalau tidak diundangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. Meskipun tidak semua harus diwujudkan dalam bentuk hukum, karena hal itu mustahil. Hukum hanya membatasi diri dengan mengatur hubungan antar manusia yang relevanxcviii. Meskipun hubungan hukum, dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataan mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidak cocokan antara hukum dengan moral. Namun demikian perbedaan hukum dengan moral tetap jelas, setidaknya seperti diungkapkan oleh K. Bertensxcix yang menyatakan bahwa selain itu ada empat perbedaan antara hukum dan moral. Pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya

112

dibukukan secara sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibandingkan denghan norma moral, sedangkan norma moral bersifat lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak diganggu oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis dan tidak etis. Kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukumannya. Tetapi norma etis tidak dapat dipaksakan, sebab paksaan hanya akan menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang. Keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas berdasarkan pada normanorma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat merubah hukum, tapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya. Prof. Dr. Achmad Ali memberikan gambaran menarik tentang fenomena hubungan antara hukum dan moralitas dengan membedakan penegakan hukum pada masyarakat barat dengan penegakan hukum di Jepangc. Yang menarik adalah fenomena hukum di Jepang, dimana kalau tersangka mengakui kejahatan yang didakwakan terhadap dirinya, biasanya tersangka itu tidak ditahan, karena dianggap telah menunjukkan rasa penyesalannya, tetapi meskipun sudah mengaku, jika nilai kejahatannya melebihi 300 juta Yen, biasanya tersangka tetap ditahan. Alasan hukum untuk menahan seorang tersangka di Jepang hampir sama di Indonesia, yaitu (1). Tersangka dianggap dapat merusak atau menghilangkan alat bukti. (2). Tersangka dikhawatirkan melarikan diri. (3). Tersangka mempersulit pemeriksaan. Umumnya seorang tersangka juga ditahan jika tidak mengaku atau jumlah nilai kejahatannya 300 juta Yen atau lebih. Tetapi meski secara yuridis alasan penahanan yang diatur oleh undang-undang Jepang dan Indonesia sama, tetapi pelaksanaannya berbeda karena di Jepang, secara moral siapapun tersangka yang tidak mengaku, dianggap mempersulit pemeriksaan sehingga harus ditahan. Dan jika sudah mengaku

113

dan mengembalikan hasil kejahatannya, umumnya tersangka di Jepang tidak lagi ditahan. Bahkan Hukum Positif Jepang memungkinkan seorang tersangka dalam kasus pidana tidak diteruskan perkaranya ke pengadilan, dengan banyak didasari pertimbangan non-hukum serta moral. Seorang tersangka tidak sampai dituntut di muka pengadilan : 1. Dengan alasan menunjukkan sikap yang baik. 2. Lingkungan kehidupannya menunjukkan kemungkinan si tersangka dapat merubah cara hidupnya menjadi baik. 3. Masih di bawah umur atau anak-anak. 4. Mengembalikan hasil kejahatannya atau meletakkan jabatan (tetapi khusus jika kasusnya bukan kasus yang nilai kejahatannya sangat besar). Lebih lanjut yang menarik menurut Achmad Ali adalah mengenai simbol atau lambang hukum yaitu Dewi Keadilan di Jepang. Simbol Dewi Keadilan di Jepang tidak sama dengan simbol Dewi Keadilan dimanapun juga, bahkan di Barat ataupun di Indonesia sendiri, yang mana mata dewi keadilan tertutup dengan kain hitam. Di Jepang, mata dewi keadilan tidak tertutup dengan kain hitam, melainkan terbuka, dan hanya memegang pedang dengan tangan kanan dan timbangan dengan tangan kiri. Menurut masyarakat Jepang (terutama aparat penegak hukumnya), hukum dan penegak hukum di Jepang membuka mata terhadap faktor-faktor moral dalam setiap kasus hukumnya, tidak seperti hukum di barat (bahkan hukum di Indonesia) yang menutup mata dari faktor-faktor non-hukum termasuk moral. Lalu bagaimana di Indonesia sehubungan dengan Patung Dewi Keadilan itu, untung saja Dewi Keadilan Indonesia tertutup matanya, yang secara jelas mengesampingkan faktor moralitas, karena meskipun sudah tertutup matanya tetap masih bisa membedakan mana rupiah dan dollar, bayangkan seandainya Dewi Keadilan Indonesia sama dengan di Jepang yang matanya terbuka, tentu akan lebih serakah lagi.

Ringkasan

Telah menjadi sebuah kesepakatan bersama bahwa manusia adalah makhluk sosial yaitu mekhluk yang selalu berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lainnya atau sesamanya. Dalam konteks hubungan dengan sesamanya seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga setiap individu dapat behubungan secara harmonis dengan individu lain di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut oleh kita yaitu hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak

114

mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pameo Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat di sana ada hukum) adalah tepat. Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan kepastian hukum dan lain-lain. Akan tetapi dalam kaitan dengan masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat direduksi untuk ketertiban (order), dengan kata lain, ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu hukum kemudian dapat juga diartikan sebagai serumpun peraturan yang bersifat memaksa, yang diadakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Nilai, moral dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. Terdapat tiga fungsi eksplisit dalam kehidupan manusia. Pertama, mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. Kedua, menarik perhatian pada permasalahanpermasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian manusia kepada gejala pembiasaan emosional. Selain itu fungsi dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian dan pengaturan. Pengendalian dan pengaturan dilakukan berdasarkan sistem hukum. Pentingnya sistem hukum ialah sebagai perlindungan bagi kepentingankepentingan yang telah dilindungi kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan. Meskipun kaidah-kaidah tersebut ikut berusaha menyelenggarakan dan melindungi serta menjamin kepentingan orang dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin, mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi

115

lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi maka diperlukanlah sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan nyata berlaku dalam masyarakat, disebut hukum positif. Perwujudan nilai, moral dan hukum dalam masyarakat dan negara dapat diartikan dengan makna kesadaran hukum dalam masyarakat. Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Kesadaran hukum memiliki perbedaan dengan perasaan hukum. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilan. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada atau dengan perkataan lain kesadaran hukum merupakan persepsi seseorang atau masyarakat tentang hukum. Dengan demikian yang ditekankan dalam hal ini adalah nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan bukan terhadap kejadian-kejadian konkret dalam masyarakat yang bersangkutan.

TUGAS UNTUK DISELESAIKAN

116

15. ?.

Jelaskan hubungan antara nilai, moralitas dan hukum

16. Jelaskan perbedaan antara nilai-nilai yang dianut oleh barat dengan nilai-nilai yang dianut oleh timur ?. 17. Hukum pada dasarnya dibuat untuk di patuhi oleh masyarakat. Sebutkan dan jelaskan faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum ?.

18. Jelaskan dengan ringkas tiga fungsi eksplisit dari hukum ?. 19. Diskusikan dengan teman anda 3 - 5 orang tentang permasalahan penerapan hukum (produk dan perangkat hukum) di Indonesia ?. 20. Apa yang dimaksud dengan : a. Hukum Moral c. Pay Back kembali) b. Kesadaran Hukum d. Hukum Positif (pembayaran

BAB VII MANUSIA, SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI


Oleh : Linda Dwi Eriyanti, S.Sos 1. Pengertian sains, teknologi dan seni Sains Sains berasal dari bahasa latin Scire, artinya mengetahui dan belajar. Kata sains diindonesiakan menjadi ilmu pengetahuan. Sains adalah pengetahuan yang sistematis. Lebih jauh sains dapat dirumuskan sebagai himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengkajian dan dapat diterima oleh ratio. Dalam pemikiran barat, sains memiliki karakteristik yaitu, obyektif, netral dan bebas nilai, sekalipun diakui berpijak dari system nilai, tetapi sains bebas dari pertimbangan-pertimbangan nilai.ci Ilmu selalu tersusun dari pengetahuan yang teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan (obyek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional, logis, empiris, umum, dan akumulatif. Untuk membuktikan apakah isi pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan. Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, dimana pengetahuan dianggap benar apabila dalil (preposisi) itu mempunyai hubungan dengan preposisi yang terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan kenyataan. Teori ketiga menyatakan, bahwa pengetahuan itu benar apabila mempunyai konsekwensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.cii 117

Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan obyek yang merupakan bahan dalam penelitian, meliputi obyek material sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian bulat dan utuh, serta obyek formal, yaitu sudt pandang yang mengarahkan kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dantindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk sistemasi, kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berfikir analitis, sintesis, induktif, dan deduktif. Yang terakhir ialah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran. Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan obyektif diperlukan sikap ilmiah yang meliputi empat hal : 1. Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif 2. Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada. 3. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tidak dapat diubah maupun terhadap alat indera dan budi yang digunakan mencapai ilmu 4. Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali.ciii Permasalahan ilmu pengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran pengatahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar untuk langkah selanjutnya. Ilmu pengetahuan itu sendiri mencakup ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa yang disebut generic meliputi segala usaha penelitian dasar dan terapan serta pengembangannya. Penelitian dasar bertujuan utama menambah pengetahuan ilmiah, sedangkan penelitian terapan adalah untuk menerapkan secara praktis pengetahuan ilmiah. Pengembangan diartikan sebagai penggunaan sistematis dari pengetahuan yang diperoleh penelitian untuk keperluan produksi bahan-bahan, cipta rencana sistem metode atau proses yang berguna, tetapi yang tidak mencakup produksi atau engineeringnya.civ Bagi para sarjana studi sains (science studies), sains adalah produk sosial. Dia diproduksi melalui mekanisme interaksi dan negosiasi yang terbentuk dari suatu sistem sosial yang sarat dengan bentukan-bentukan imajinatif, seperti nilai, makna, cara pandang, ideologi, dan kepercayaan. Memahami sains melalui dimensi sosial secara epistemologis menarik sekaligus menantang. Menarik karena sains adalah karya manusia, di mana manusia itu sendiri adalah spesies yang tidak pernah lepas dari dunia sosial. Menantang karena pengetahuan ilmiah selama ini dipahami sebagai hasil murni kemampuan logika manusia yang lepas dari faktor sosial. Generasi awal Berkembangnya sains modern di Eropa yang dipicu oleh semangat Enlightenment telah menjadi perhatian banyak pemikir sosial abad ke-19. Dalam catatan Sal Restivo, sains telah menjadi salah satu kajian dalam karya Karl Marx. 118

Bagi Marx, tidak hanya material dan bahasa yang digunakan para saintis dalam mengamati fenomena alam adalah produk sosial, keberadaan para saintis juga merupakan suatu fenomena sosial. Beberapa kontribusi terpenting Marx dalam studi sains antara lain pemahaman relasi antara praktik matematika dan sistem produksi. Bagi Marx, sains adalah produk kaum borjuis. Karena itu, apa yang dilakukan Marx dalam memahami sains berlanjut pada agenda politik untuk melakukan perubahan fundamental dalam sains modern. Pada titik ini, dalam analisis Restivo, Marx bersikap inkonsisten. Pada satu sisi dia mengkritik sains sebagai alat eksploitasi kaum pemilik modal, tetapi di sisi lain dia mendukung penggunaan sains bagi tujuan-tujuan politik kaum proletar. Cikal bakal studi sains dibentuk oleh Emile Durkheim dan Max Weber. Seperti Marx, keduanya memahami sains dari sudut pandang sosiologis. Bagi Durkheim, konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan dalam sains memiliki status representasi dan elaborasi kolektif. Weber sendiri memberi perhatian serius pada keterkaitan antara kapitalisme, Protestanisme, dan sains modern. Pemikiran Weber dan Durkheim memberi jalan bagi terbentuknya sosiologi sains sebagai suatu disiplin dalam tradisi akademik di Eropa Barat dan Amerika Utara. Mertonian vs Kuhnian Munculnya sosiologi sains sebagai suatu disiplin pada awal abad ke-20 banyak dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Robert Merton adalah sosok sentral dalam bidang ini dan dapat disebut sebagai bapak sosiologi sains. Merton menyelesaikan studinya di Harvard pada tahun 1934 dengan disertasi yang menjadi buku berjudul The Sociology of Science. Buku ini menjelaskan relasi antara sains dan institusi sosial di mana sains itu berada. Tesis Merton mengatakan bahwa sains modern hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi sosiokultural tertentu. Hingga dekade 1970-an, paradigma Mertonian mendominasi perkembangan sosiologi sains. Gagasan besar dalam sosiologi sains Mertonian dapat dirangkum dalam norma sains (norms of science) yang terdiri atas empat nilai fundamental yang membentuk etos sains. Pertama universalisme, yakni kepercayaan bahwa klaim kebenaran lepas dari kriteria personal seperti ras, kebangsaan, atau agama. Kedua komunisme (bukan dalam makna ideologi), yakni setiap penemuan dalam sains menjadi milik bersama dalam komunitas sains tersebut. Ketiga ketiadaan kepentingan, yakni pengetahuan bersifat bebas nilai dan kepentingan. Keempat skeptisisme yang terorganisasi, yakni bahwa perkembangan pengetahuan muncul dari sikap skeptis kolektif para saintis terhadap setiap pemahaman atas fenomena alam. Sosiologi sains Mertonian berlandaskan pada satu asumsi bahwa sifat dan perkembangan sains ditentukan oleh faktor sosial dan faktor imanen. Yang dimaksud dengan faktor imanen adalah perkembangan logika dalam sains (inner logic). Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam sosiologi sains Mertonian, pengetahuan ilmiah masih lepas dari analisis sosial. Belakangan norma sains Mertonian mendapat kritik tajam karena keempat norma tersebut tidak lebih dari representasi ideologi sains itu sendiri.

119

Pada tahun 1962, Thomas Kuhn, seorang fisikawan yang kemudian berkarier sebagai sejarawan sains, menerbitkan The Structure of Scientific Revolution. Lewat buku ini Kuhn melontarkan istilah paradigma yang mengacu pada cara pandang kelompok ilmiah tertentu terhadap suatu fenomena. Walaupun tidak memiliki latar belakang sosiologi, karya Kuhn memberi kontribusi penting dalam sosiologi sains. Kuhn memberi penjelasan alternatif terhadap apa yang dilakukan Merton selama beberapa dekade sebelumnya. Karena itu, paradigma Kuhnian sering diasosiasikan sebagai anti-Mertonian. Karya Kuhn menarik banyak orang karena dia menggunakan model politik dalam menjelaskan perkembangan sains. Kuhn memakai istilah revolusi untuk menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi penekanan serius pada aspek wacana ilmiah. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah dan revolusi politik memiliki karakter yang sama. Keduanya terbentuk dari persepsi yang ada di masyarakat bahwa institusi di mana mereka berada sudah tidak bekerja dengan baik. Persepsi ini lalu menstimulus lahirnya krisis yang menuju pada revolusi dengan tujuan perubahan institusional. Orientasi anti-Mertonian bagaimanapun tidak menjadikan Kuhn sepenuhnya bertolak belakang dengan Merton. Kuhn masih menerima penjelasan Merton tentang norma sains. Walaupun telah memicu perubahan dalam pemahaman sains, Kuhn sendiri tidak lepas dari kritikan. Studi empiris yang dilakukan Sal Restivo dan Randal Collins tentang paradigma sains Kuhnian menyimpulkan bahwa pola perubahan dalam sains secara substansial berbeda dengan apa yang dilontarkan oleh Kuhn. Model Kuhnian juga dikritik karena mengacu pada revolusi sistem politik modern yang semata-mata terjadi melalui sirkulasi kaum elite. Genre konstruktivisme Jika Max Weber membuka jalan bagi terbentuknya disiplin sosiologi sains, khususnya paradigma Mertonian, pemikiran Emile Durkheim tentang representasi kolektif memberi inspirasi bagi gerakan sosiologi sains pascaMertonian atau yang disebut sebagai the new sociology of science. Sosiologi sains baru tidak hanya mengkaji aspek institusional dalam sains, tetapi masuk ke dalam wilayah yang lebih dalam. Di sini pengetahuan ilmiah dijadikan obyek analisis sosial, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Merton dan para muridnya. Karena itu, sosiologi sains baru sering diidentikkan dengan sosiologi pengetahuan ilmiah (sociology of scientific knowledge). Ciri kuat dari sosiologi sains baru adalah penggunaan kerangka konstruktivisme. Konsep konstruktivisme sosial yang menjelaskan produksi pengetahuan ilmiah pertama kali digunakan Ludwik Fleck dalam bukunya, The Genesis and Development of a Scientific Fact. Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1935 dalam bahasa Jerman. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1979, barulah pemikiran Fleck mendapat perhatian serius dari para sarjana studi sains. Fleck memperkenalkan konsep gaya berpikir (thought style) yang menyerupai konsep representasi kolektif Durkheimian. Gaya berpikir mengacu pada perilaku berpikir, asumsi kultural dan keilmuan, pendidikan dan pelatihan 120

profesional, serta minat dan kesempatan, yang mana kesemuanya membentuk persepsi dan cara menghasilkan teori (theorizing). Strong Programme adalah salah satu kubu studi sains yang kental dengan pendekatan konstruktivisme. Tokoh sentral Strong Programme adalah David Bloor. Bagi Bloor, sains tidaklah berkembang secara linier seperti yang dipahami secara luas. Sains berkembang membentuk cabang-cabang yang kompleks sesuai dengan heterogenitas dalam sistem sosial. Diterimanya suatu konsep ilmiah sebagai paradigma tunggal dalam memahami suatu fenomena tidak lain karena adanya faktor dan konteks sosial tertentu yang bekerja dalam proses penerimaan itu. Karena itu, pengetahuan dalam sains dapat berbeda mengikuti bentukan sosial. Tokoh lain dalam gerakan sosiologi sains baru adalah Bruno Latour. Latour adalah salah satu penggagas actor-network theory (ANT) yang menjelaskan lahirnya suatu pengetahuan melalui relasi antara masyarakat (konstruktivisme sosial) dan alam (realisme). Dalam ANT, sosiolog sains memberikan perhatian tidak semata-mata pada manusia (actant), tapi juga pada benda dan obyek (non-actant) secara simetris. Bersama Steve Woolgar, Latour melakukan studi etnografi di laboratorium endocrinology Salk Institute. Hasil studi ini menghasilkan Laboratory Life: The Social Construction of Scientific Facts. Dalam buku ini Latour dan Woolgar mengungkap budaya dalam laboratorium yang membentuk korespondensi antara kelompok peneliti sebagai suatu jaringan dengan seperangkat kepercayaan, perilaku, pengetahuan yang sistematis, eksperimen, dan keterampilan yang terkait satu sama lain secara kompleks. Menurut Latour dan Woolgar, dalam suatu laboratorium, kegiatan observasi bersifat lokal dan memiliki budaya spesifik. Andrew Pickering patut disebut dalam khazanah sosiologi sains baru. Dalam Constructing Quarks, Pickering yang memiliki latar belakang fisika teori menjelaskan secara sosiologis lahirnya konsep quark. Bagi kalangan fisikawan, quark lahir dari bukti empirik yang didapatkan melalui eksperimen. Eksperimen itu sendiri dapat dipahami secara sempurna karena bekerja dalam suatu sistem yang tertutup (closed system). Permasalahannya, menurut Pickering, eksperimen bukanlah suatu sistem yang tertutup. Dia sangat tergantung pada teori yang menjadi landasannya. Di lain pihak, pemilihan teori sebagai raison detre suatu eksperimen tergantung dari penilaian (judgment) para saintis. Pada titik inilah praktik sains dibangun melalui tiga elemen yang saling mempengaruhi satu sama lain, yakni eksperimen, teori, dan penilaian. Karena itu, menurut Pickering, realitas quark adalah hasil dari praktik fisika partikel, bukan sebaliknya. Konsep quark lahir dari proses penilaian dan pemilihan teori dan tidak muncul begitu saja dari serangkaian eksperimen. Kerangka konstruktivisme dalam studi sains telah memicu konflik intelektual antara para saintis dan para sarjana studi sains. Penjelasan konstruktivisme sosial dianggap ancaman terhadap integritas, legitimasi, dan otonomi sains. Konstruktivisme, yang sering diasosiasikan sebagai relativisme, dianggap menafikan apa yang telah dicapai sains dalam memahami fenomena alam. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Restivo, para konstruktivis dalam studi 121

sains bukanlah antirealisme. Tidak sedikit dari mereka yang mempertahankan metode dan cara pandang dalam sains. Sebagai contoh adalah Strong Programme yang secara epistemologis menggabungkan metode sains dan sosiologi dalam memahami sains sebagai konstruksi sosial. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bloor sendiri bahwa hanya dengan metode sains, para sosiolog dapat memahami sains. Kasus Latour juga tak kalah menarik. Dalam edisi kedua Laboratory Life, kata social dalam subjudul dihilangkan. Tidak lama setelah itu tuduhan sebagai pengkhianat konstruktivisme ditujukan kepada Latour. Belakangan Latour sendiri menolak untuk disebut sebagai konstruktivis. Bagi Latour, sains adalah media untuk memahami masyarakat, bukan sebaliknya. Sains dan budaya Memasuki dekade tahun 1990-an, studi sains menjadi lebih semarak dengan bergabungnya para antropolog dalam tradisi intelektual ini. Selama lebih dari satu dekade terakhir, para sarjana studi sains dari disiplin ini memberi kontribusi dalam memahami bagaimana pengetahuan dalam sains diproduksi melalui proses pemaknaan dan praktik budaya. Pemahaman budaya dalam sains dijelaskan oleh Timothy Lenoir. Lenoir berargumen bahwa pengetahuan adalah hasil interpretasi di mana obyek pengetahuan dan pengamat (interpreter) tidak berdiri secara terpisah satu sama lainnya. Aktivitas interpretasi adalah praktik budaya yang melibatkan faktor kognitif dan faktor sosial yang saling berimplikasi satu sama lain. Kedua faktor ini senantiasa melekat pada para pelaku produksi pengetahuan (saintis). Dengan pemahaman sains sebagai praktik budaya, Lenoir menolak klaim Merton tentang universalisme dan disinterestedness dalam sains karena pengetahuan selalu bersifat lokal, parsial, dan dilandasi kepentingan. Secara antropologis, sistem pengetahuan terbentuk dari upaya manusia untuk bertahan hidup melalui pemahaman regularitas yang terjadi di alam. Sandra Harding mengidentifikasi empat jenis elemen budaya yang membentuk inti kognitif dari sistem pengetahuan. Pertama, karena alam tidak bersifat seragam (uniformly organized), regularitas alam yang berbeda yang dialami oleh sistem kebudayaan yang berbeda lokasi akan menghasilkan sistem pengetahuan yang berbeda pula. Kedua, bentuk kepentingan sosial berbeda dalam setiap sistem budaya. Karena itu, setiap sistem budaya menghasilkan perbedaan dalam pola pengetahuan. Ketiga, sistem budaya membentuk wacana dalam proses produksi pengetahuan yang selanjutnya mempengaruhi cara pandang dan pola intervensi masyarakat dalam sistem budaya tersebut. Terakhir, bentuk-bentuk organisasi sosial dalam penelitian ilmiah yang berbeda secara kultural akan mempengaruhi isi dari sistem pengetahuan. Catatan Harding di atas mengindikasikan bahwa sains dikonstruksi melalui budaya. Artinya, wacana sistem pengetahuan tidak pernah lepas dari konteks budaya di mana sistem pengetahuan tersebut berada. Studi Pamela Asquith dapat dijadikan satu contoh menarik. Asquith melakukan studi komparasi kultural dan intelektual antara primatologi Barat (Eropa dan Amerika) dan primatologi Jepang. Asquith mencari heterogenitas dalam sains dengan membandingkan cara pandang, bentuk pertanyaan, dan metode penelitian

122

primatologi di kedua sistem budaya tersebut. Dari studi ini, Asquith mengamati satu hal yang menarik. Dalam pandangan Kristen yang mempengaruhi para primatologis Barat, hanya manusia yang memiliki jiwa. Pandangan ini menghalangi primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang membentuk perilaku sosial primata yang kompleks. Sebaliknya, sistem kepercayaan masyarakat Jepang mempercayai bahwa setiap hewan memiliki jiwa. Hal ini membuat primatologis Jepang memberi perhatian serius pada atribut motivasi, perasaan, dan personalitas yang ditunjukkan oleh hewan primata yang mereka amati. Perbedaan sistem kepercayaan tentang posisi manusia di dunia ini menjadikan pengetahuan yang dihasilkan oleh primatologis Barat berbeda dengan rekan sejawatnya di Jepang. Primatologi Barat cenderung bersifat fisiologis, sementara primatologi Jepang lebih bersifat sosiologis dan antropormorfis. Perbedaan ini berdampak pada perbedaan pengetahuan yang dihasilkan dalam kedua tradisi primatologi tersebut walaupun mereka mengamati obyek yang sejenis. Studi komparasi kultural juga dilakukan Sharon Traweek yang membandingkan praktik fisika energi tinggi di Amerika Serikat dan Jepang. Jika Asquith mencari pengaruh budaya terhadap bentuk pengetahuan, Traweek mengamati bagaimana nilai budaya direpresentasikan melalui model organisasi sains. Pada studi ini, Traweek melihat nilai individualisme dan persaingan yang melandasi sistem organisasi riset Amerika. Adapun di Jepang, nilai-nilai komunalisme dan kerja sama sangat dominan. Perbedaan dalam nilai budaya ini terefleksi dalam banyak hal yang mencakup proses pembelajaran dan pengajaran, organisasi laboratorium dan kelompok, gaya kepemimpinan, dan proses pengambilan keputusan. Walaupun Traweek tidak menjelaskan apakah perbedaan nilai budaya ini mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan, setidaknya studi Traweek menunjukkan bahwa nilai budaya melekat erat pada sistem organisasi ilmiah. Jika Asquith dan Traweek mengamati praktik sains dalam dua sistem budaya, Karen Knorr-Cetina membandingkan dua praktik sains modern, yaitu fisika partikel dan biologi molekuler. Knorr-Cetina mengamati bagaimana fragmentasi dan diversitas dalam sains modern membentuk dua budaya pengetahuan (epistemic culture) yang berbeda dalam aspek cara mengetahui (machineries of knowing). Dari hasil studinya selama beberapa tahun di laboratorium-laboratorium di Eropa dan Amerika Utara, Knorr-Cetina mengungkap perbedaan struktur simbolik dari kedua bidang ilmiah tersebut. Struktur simbolik ini terepresentasi melalui cara pendefinisian entitas, sistem klasifikasi, dan cara di mana strategi epistemik, prosedur empirik, dan strategi sosial dipahami. Analisis ini menghasilkan pemahaman bahwa dalam proses produksi pengetahuan, proses tanda, pengerjaan eksperimen, relasi antara waktu dan ruang, dan relasi antara tubuh dan mesin secara kultural berbeda antara praktik fisika partikel dan biologi molekuler. Melalui studi komparasi silang disiplin ini, Knorr-Cetina mengatakan bahwa sains modern tidaklah menyatu seperti yang diklaim kaum positivis. Sains dan Studi Sains

123

Konsep dan teori yang dikembangkan dalam studi sains berangkat dari pemahaman sains sebagai institusi sosial dan pengetahuan ilmiah sebagai produk sosial. Melalui pemahaman ini, studi sains membuka suatu jendela baru di mana kita bisa memandang perkembangan sains dari perspektif yang lebih luas. Dalam perspektif ini, sains tidak lagi muncul sebagai suatu entitas yang integratif, rigid, dan berkembang secara linier, melainkan bagai suatu tanaman bercabang-cabang yang tumbuh di atas tanah sosial. Pemahaman sains melalui dimensi sosial yang ditawarkan studi sains berdampak pada demistifikasi sains secara institusional ataupun epistemologikal. Ini merupakan implikasi politis yang tidak dapat dihindari. Ketergantungan masyarakat kontemporer terhadap sains telah menempatkan sains pada posisi sakral dan bersifat ideologis. Mistifikasi sains yang begitu kental dalam masyarakat ini memungkinkan praktik hegemoni kekuasaan dan kepentingan bersembunyi dengan rapi di balik jargon-jargon ilmiah. Tanpa menafikan apa yang telah dihasilkan sains bagi umat manusia, studi sains memberi penyadaran kepada diri kita bahwa sains adalah hasil karya manusia dalam berinteraksi dengan alam. Sains bukanlah sekumpulan ayat-ayat suci yang turun dari langit. Pengetahuan ilmiah adalah wujud kreativitas dan imajinasi manusia dalam memahami ruang dan waktu di mana dia berada. Pemahaman dimensi sosial sains dapat menjadi lensa untuk melihat bahwa pengetahuan tidaklah tunggal dan monolitik. Kepercayaan bahwa hanya ada satu cara melihat alam justru melawan hakikat manusia sebagai makhluk multikultural. Lalu, apakah studi sains menawarkan relativisme? Donna Haraway memberi jawaban menarik. Haraway menolak relativisme sekaligus universalisme yang diklaim para saintis. Haraway berargumen bahwa obyektivitas dalam sains tidaklah tunggal. Karena itu Haraway menawarkan praktik difraksi, di mana obyektivitas dan realisme agensi dalam produksi pengetahuan memiliki posisi yang sama pentingnya. Ini yang disebut Ron Eglash sebagai obyektivitas ganda (multiple objectivity). Haraway mengajak kita untuk menggunakan domain budaya lain dalam sains yang selama ini termarginalisasi oleh dominasi narasi budaya Barat. Hawaray menginginkan adanya suatu budaya sains yang lebih kompleks dan beragam tanpa harus menjadi antirealisme. Selama beberapa dekade, studi sains telah memberi kontribusi pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang sains dan relasinya dengan masyarakat. Lepas dari konflik antara para saintis dan sarjana studi sains dalam episode Science Wars, apa yang dihasilkan dalam studi sains sedikit banyak telah mempengaruhi perjalanan sains secara dinamis. Sebaliknya, sains pun telah memberi banyak kontribusi bagi studi sains untuk tumbuh dan berkembang sebagai suatu disiplin. Karena tanpa sains, studi sains tidak berarti apa-apa.cv Teknologi dan Seni Istilah teknologi sebenarnya sudah mengandung sains dan teknik atau engineering sebab produk teknologi tidak mungkin ada tanpa didasari sains. Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis dari sains. Dalam kenyatannya teknologi tidak 124

bisa netral karena memerlukan sentuhan estetika yang bersifat subyektif, yang disebut sebagai seni. Secara konvensional, teknologi telah menjadi pusat perhatian ilmu sosial dan melihat dampaknya terhadap masyarakat, atau secara lebih spesifik, atas dampaknya pada tenaga kerja dan organisasi. Ini sejalan dengan pendapat determinisme teknologi yang dihubungkan dengan beberapa bentuk Marxisme : teknologi amiliki kapasitas untuk menentukan jalannya evolusi sejarah. Dalam pandangan ini, yang seharusnya menjadi perhatian ilmu sosial adalah pengaruh teknologi bagi masyarakat. Pandangan ini melahirkan pendapat bahwa evolusi teknologi adalah sebuah proses dimana perkembangan-perkembangan baru diilhami oleh penemuan (teknis) yang telah ada. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teknologi tidak terlepas dari masyarakat, bahwa masyarakat juga bisa mempengaruhi jalannya perkembangan teknologi; dan bahwa tesis dari kelompok determinis dapat dijatuhkan oleh banyak sekali contoh dimana efek teknologi yang menyimpang dari yang dikehendaki semula, atau bahwa keseluruhan efek yang berbeda itu lahir dari sebuah teknologi yang sama.cvi Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia mnejadi lingkup teknis. Jacques Ellulcvii tidak menyebut teknologi, tetapi teknik, meskipun arti dan maksudnya sama. Menurut Ellul istilah teknik digunakan tidak hanya untuk mesin, teknologi, atau prosedur untuk memproleh hasilnya, melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang aktifitas manusia. Batasan ini bukan bentuk teoritis, tetapi perolehan dari aktifitas masing-masing dan observasi dari apa yang disebut manusia modern dengan perlengkapan tekniknya. Jadi teknik menurut Ellul adalah berbagai usaha, metode, dan cara untuk memperoleh hasil yang sudah distandarisasi dan diperhitungkan sebelumnya. Fenomena teknik pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedjacviii memiliki cirri-ciri sebagai berikut : Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional. Artificial, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan, tidak alamiah Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu mengeliminasi kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan Monisme, artinya semua teknik bersatu saling berinteraksi, dan saling bergantung Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri. 2. Makna Sain, Teknologi, dan Seni Bagi Manusia Sains dan teknologi saling membutuhkan, karena sains tanpa teknologi bagai pohon tanpa buah, sedangkan teknologi tanpa sains bagaikan pohon tak

125

berakar. Sains hanya mengajarkan fakta dan non fakta pada manusia, ia tidak mampu mengajarkan apa yang harus atau tidak boleh dilakukan oleh manusia. Jadi fungsi sains hanya mengkoordinasikan semua pengalaman-pengalaman manusia dan menempatkannya kedalam suatu system yang logis, sedangkan fungsi seni memberi semacam persepsi mengenai suatu keberaturan dalam hidup dengan menempatkan suatu keberaturan padanya. Sedangkan tujuan sains dan teknologi adalah untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Teknologi bagi Perkembangan Sosial dan Ekonomi Pentingnya teknologi bagi perkembangan sosial dan ekonomi tidak diragukan lagi. Namun upaya-upaya analitis dan pemahaman di bidang ini sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan bidang-bidang lain. Hal ini untuk sebagian disebabkan kompleksitas proses perubahan teknologi serta kesulitan dalam menemukan pengukuran dan definisi yang tepat. Schumpeter, salah seorang ahli ekonomi terkemuka yang meletakkan kemajuan teknologi dalam analisisnya, menekankan pentingnya produk-produk, proses, dan bentuk-bentuk organisasi atau produksi baru- factor-faktor yang telah terbukti berhubungan dengan perubahan besar dalam struktur ekonomi di negaranegara maju sejak terjadimya revolusi industri. Munculnya industri-industri besar seperti baja dan kereta api pada abad 19, mobil, bahan-bahan sintetis dan elektronik pada abad 20, tergantung pada interaksi dari penemuan, inovasi, dan aktivitas kewirausahaan, yang digambarkan dengan tepat oleh Freemancix sebagai sistem teknologi. Sejak permulaan masa pasca resesi 1973, pemikiran bahwa teknologi pasca kapitalis maju sedang menghadapi gelombang panjang periode bolak-balik antara kemakmuran dan stagnasi, yang masing-masing menerjang bergantian dalam waktu sekitar 50-60 tahun, telah diperbaharui. Beberapa komentar mengatakan bahwa sistem teknologi baru adalahpenyebab utama terjadinya gelombang naik, yang kemudian mulai menurun seiring dengan tercapainya kematangan industri. Sementara ahli ekonomi lain mengatakan bahwa kemajuan teknologi adalah sebuah konsekwensi, buka penyebabnya. Diluar literature, sedang terjadi perdebatan mengenai arah dari kausalitas dari hubungan-hubungan statistic yang diamatiantara pertumbuhan industri dan langkah inovasi teknis. Pada level ekonomi makro, model pertumbuhan neoklasik tradisional menganggap kemajuan teknologi sebagai bagian dari factor residu dalam menerangkan peningkatan output, setelah mempertimbangkan efek-efek perubahan dalam volume dari factor-faktor produksi. Residu ini biasanya besat dan secara implisit mempersatukan factor-faktor seperti pendidikan dari angkatan kerja dan keahlian manajemen yang memberi sumbangan bagi perbaikan efisiensi, sebagai pelengkap dari kemajuan teknologi. Dalam pendekatan ini perubhan teknologi benar-benar dilepaskan yaitu dianggap tidak berkaitan dengan variable-variabel ekonomi yang lain. Aliran yang disebut model capital vintage, yang digunakan secara luas pada awal 1970-an, menganggap kemajuan teknnologi paling tidak secara sebagian ditambahkan dalam investasi tetap yang baru. Pabrik dan mesin-mesin membawa perbaikan produktifitas dan hasil dari kemajuan teknologis tergantung pada tingkat investasinya. Pendekatan yang terakhir inipun tidak melangkah terlalu jauh dalam menangkap proses-proses dan kekuatan-kekuatan

126

dimanateknik-teknik baru diserap ke dalam sistem produksi. Model evolusioner yang dipimpin oleh Nelson dan Winter berusaha menggali kondisi dimana entrepreneur akan berusaha memakai teknik-teknik yang telah disempurnakan. Tetapi pendekatan-pendekatan semacam ini baru memasuki masa awal perkembangannya. Perdebatan tentang bagaimana teknik-teknik baru ditemukan dan dipakai biasanya terjadi pada level kajian kasus ekonomi mikro. Penemuan bisa berupa produk baru atau penyempurnaan dari produk sebelumnya, atau sebuah prosedur baru dalam pengolahan produk yang telah ada, yang punya kemungkinan dianggap sebagai penemuan, yaitu, dipakainya ide itu untuk pertamakalinya secara komersial. Dalam banyak kasus, penemuan ilmiah membuka jalan bagi penemuan-penemuan lain yang, jika diyakini memiliki potensi permintaan pasar, dipakai secara komersial ; pada abad 19 seorang innovator seringkali adalah seorang independent, tetapi setelahnya penekanannya telah bergeser kearah karya ilmiah dan teknologi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Jika sebuah penemuan sukses, lalu diikuti oleh periode penyebaran, dimana perusahaan lain memakai atau memodifikasi inovasi tersebut dan memasarkan produk atau prosesnya. Seringkali pada tahap inilah terjadi benturan ekonomi yang dahsyat. Freeman menggambarkan proses ini dengan kasus plastic, dimana karya riset ilmiah dasarnya di Jerman pada awal tahun 1920-an atas molekulmolekul rantai panjang langsung menghasilkan polystyrene dan karet styrene, dan secara tidak langsung atas penemuan sejumlah produk baru pada tahun 1930-an. Penemuan-penemuan lebih lanjut dan penyebarannya secara besar-besaran ke seluruh dunia terjadi setelah PD II, dengan dibantu oleh terjadinya pergeseran dari batu bara ke minyak sebagai bahan baker industri. Pada tahun 1970-an industri mulai mengalami kematangan dengan terjadinya penurunan permintaan dan laju perkembangan teknologi. Pengukuran kegiatan inovatif dan penemuan mengalami banyak kesulitan. Ukuran-ukuran input mencakup pegawai yang dipekerjakan serta pengeluaran financial, meskipun ada kesewenangan dalam mendefinisikan perbatasan antara tindakan riset dan perkembangan. Ukuran-ukuran output dari penemuan meliputi statistic paten, tetapi ini perlu ditafsirkan dengan hati-hati mengingat adanya perbedaan dalam kecondongan untuk mematenkan antara perusahaan-perusahaan, industri, negara, dengan persepsi yang berbeda tentang amankan mereka dengan perlindungan paten, dan perbedaan dalam perundangan paten nasional. Penggunaan sejumlah inovasi sebagai ukuran output biasanya membutuhkan beberapa penaksiran dari nilai penting relative dari inovasi itu masing-masing. Meskipun terdapat keterbatasan, dengan menggunakan beberapa indicator bisa dipakai sebagai landasan perbandingan antar industri atau antar negara. Selepas periode pasca perang, pemerintah semakin mengakui pentingnya mencapai atau mempertahankan daya saing internasional atas teknologi. Munculnya Jepang sebagai kekuatan ekonomi besar sebagian besar disebabkan oleh kebijakan yang secara sadar berusaha mengimpor teknologi modern asing serta menyempurnakannya di dalam negeri. Kebanyakan negara memiliki cara yang berbeda dalam mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan dan mempergunakan teknologi baru, dan kebijakan untuk melatih tenaga kerja

127

dalam menggunkan teknik-teknik baru tersebut. Dalam konteks ini perhatian diberikan terutama pada teknologi mikro elektronik dan ketakutan bahwa teknologi ini bisa memperburuk permasalahan pengangguran yang biasanya datang setelah ketakutan-ketakutan akan konsekwensi tertinggal dalam bidang teknologi, di mata pemerintah dan juga di mata serikat perdagangan. Ramalan-ramalan tentang dampak teknologi baru sangat tidak dapat dipercaya. Potensi penghematan biaya dari tenaga nuklir telah didramatisasi seperti yang disinggung di atas, senetara potensi terpendam computer dulunya sangat diremehkan. Apapun yang terjadi bisa dikatakan bahwa kemajuan teknologi tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.cx Alvin Tofflercxi mengumpamakan teknologi sebagai mesin yang besar atau sebagai akselerator yang dahsyat dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan kualitatif, maka kian meningkat pula proses akselerasi yang ditimbulkan oleh mesin pengubah, terlebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Luasnya berbagai bidang teknik digambarkan Ellulcxii sebagai berikut : 1. teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik mampu mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi. Bahkan ilmu ekonomi sendiri terserap oleh teknik. 2. teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum, dan militer. Contohnya dalam organisasi negara, bagi seorang teknisi, negara hanyalah merupakan ruang lingkup untuk aplikasi alat-alat yang dihasilkan teknik. Negara tidak sepenuhnya bermakna sebagai ekspresi kehendak rakyat tetapi dianggap perusahaan yang harus memberikan jasa dan dibuat berfungsi secara efisien. 3. teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olehraga, hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai seluruh sector kehidupan manusia. Manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik. Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takhluk pada teknik. 3. Manusia Sebagai Subyek dan Obyek Ipteks Sumber ilmu adalah wahyu sedangkan akal merupakan instrument untuk menggali dan membuktikan kebenaran wahyu. Dengan potensi akal, manusia diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan potensinya, manusia dapat menggali rahasia alam semesta, yang hasil pengembangannya disebut sains, teknologi, dan seni. Atas dasar itu ilmu ada yang bersifat abadi (perennial knowledge) yang tingkat kebenarannya mutlak (absolute), karena bersumber dari Tuhan, dan ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge) yang tingkat kebenarannya bersifat nisbi (relative) karena hanya penafsiran dan dugaan-dugaan sementara oleh manusia.

128

Manusia diciptakan sebagai subyek dan obyek IPTEKS. Manusia satusatunya makhluk Tuhan yang mampu merangkaikan fenomena alam beserta prosesnya secara kreatif, sehingga menjadi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemudahan dalam menjalani hidupnya. Krisis Dunia Modern Menurut E.F Schumachercxiii, dalam Kecil itu indah, dunia modern yang dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang tidak berperikemanusiaan, yang terasa menyesakkan nafas dan melemahkan badan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan, seperti bahan baker, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut. Fenomena Pengaruh IPTEK Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknologi muncul fenomena diantaranya : 1. Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerangan teknik-teknik mekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme teknik, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan mekanisme teknik menuntut kualitas manusia, tetapi manusia itu sendiri tidak hadir di dalamnya. Contoh pada sistem industri ban berjalan, buruh yang sakit, atau keluarganya meninggal, tidak dapat begitu saja meninggalkan pekerjaannya, karena akan membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikian akan menghilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi. 2. Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan dan hakekat manusia. Contoh yang sederhana manusia dalam hal makan atau tidur tidak ditentukan lapar atau mengantuk, tetapi diatur oleh jam. Alat-alat transportasi telah mengubah jarak dan pola komunikasi manusia.lingkungan manusia menjadi terbatas, tidak berhubungan dengan padang rumput, pantai, pohon-pohon atau gunung secara langsung, yang ada hanyalah bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi hari tidak sempat lagi menyentuh kulit manusia. 3. Perubahan waktu dan gerak manusia Akibat teknik manusia terlepas dari hakikat kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan kongkret. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit, dan detik. Waktu hanya mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga irama kehidupan harus tunduk pada waktu yang mekanistis dengan mengorbankan nilai kualitas manusiawi dan sosial. 4. Terbentuknya masyarakat massa Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada perubahan norma dalam masyarakat maka akan muncul kegoncangan. Masyarakat kita masih memegang nilai-nilai asli (primordial) seperti agama atau adat istiadat

129

secara ideologis, akan tetapi struktur masyarakat ataupun dunia norma pokoknya tetap saja hukum ekonomi, politik atu persaingan kelas. Proses ekularisasi sedang berjalan secara tidak disadari. Proses massafikasi yang melanda kita dewasa ini, telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas. Padahal individu membutuhkan hubungan sosial.terjadi neurosa obsesional atau gangguan syaraf menurut beberapa ahli, sebagai akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial, yaitu kegagalan adaptasi dan penggantian relasi-relasi komunal dengan relasi yang bersifat teknik. Struktur sosiologis missal dipaksakan oleh kekuatankekuatan teknik dan kebijaksanaan ekonomi (produk industri), yang melampaui kemampuan manusia. 5. Teknik-teknik manusiawi dalam arti ketat. Teknik-teknik manusiawi harus memberikan kepada manusia suatu kehidupan manusia yang sehat dan seimbang, bebas dari tekanan-tekanan. Teknik harus menyelaraskan diri dengan kepentingan manusia bukan sebaliknya. Melalui teknik bukan berarti menghilangkan kodrat manusia itu sendiri, tetapi poerlu memanusiakan teknik. Kondisi sekarang sering manusia menjadi obyek teknik dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik. 4. Pembangunan dan Perkembangan Ipteks Pengaruh IPTEK pada tatanan kehidupan masyarakat Perkembangan IPTEK yang sedemikian pesatnya mampu menciptakan perubahan-perubahan yang mempengaruhi langsung pada tatanan kehidupan masyarakat, khususnya dalam empat bidang berikut : a. perubahan dibidang intelektual, masyarakat meninggalkan kebiasaankebiasaan lama atau kepercayaan-kepercayaan tradisional dan mengambil kebiasaan dan kepercayaan baru, setidaknya melakukan reaktualisasi b. perubahan dalam organisasi-organisasi sosial yang mengarah pada kehidupan politik c. perubahan dan benturan-benturan terhadap tata nilai dan tata lingkungannya d. perubahan di bidang industri dan kemampuan di medan perang. Alvin Tofflercxiv menyatakan saat ini negara-negara teknologi maju telah memasuki tahap superindustrialisme, melalui inovesi teknologi tiga tahap, yaitu ide kreatif, penerapan praktisnya, dan difusi atau penyebarannya dalam masyarakat. Ketiga tahap ini merupakan siklus yang menimbulkan bermacammacam ide kreatif baru sehingga merupakan reaksi berantai yang disebut proses perubahan. Dengan semakin meningkatnya teknologi, tempat proses perubahan itu tidak dapat dipandang normal lagi, dan tercapailah akselerasi ekstern maupun intern (psikologis) yang merupakan kekuatan sosial yang kurang mendalam dipahami. Accelerasi dan Trancience Dalam hal akselerasi, apabila masa depan itu menyerbu masa kini dengan kecepatan yang terlampau tinggi, maka masyarakat atas dapat mengidap penyakit progeria, yakni tingkat menua yang lanjut sekalipun secara kronologis usianya belum tua. Bagi masyarakat semacam itu, perubahan tersebut seolah-olah tidak dapat dikendalikan lagi, kemudian dicari semacam kekebalan diplomatic

130

terhadap perubahan. Tak mustahil pula akan timbul future shock atau kejutan masa depan, yaitu suatu penderitaan fisik dan atau mental yang timbul apabila sistem adaptif fisik dari organisme manusia itu, beserta proses pembuat keputusannya, terlampau banyak dilewati daya dukungannya. Akselerasi perubahan secara drastic dapat mengubah mengalirkan situasi. Dalam hal ini situasi dapat dianalisis menurut lima komponen dasar, yaitu benda, tempat, menusia, organisasi, dan ide. Hubungan lima komponen itu, ditambah dengan factor waktu, membentuk kerangka pengalaman sosial. Toffler juga menyatakan ada kekuatan lain yang dapat mengubah wajah dan eksistensi manusia selain akselerasi, yaitu transience (keadaan bersifat sementara). Transience merupakan alat kasar yang berguna dalam mengukur laju mengalirnya situasi, dan menjembatani teori-teori sosiologis tentang perubahan psikologi insasi perseorangan. Masyarakat menurut transience, dibagi kedalam dua kelompok, high transience dan low transience. Eksplorasi mengenai kehidupan masyarakat high transience menghasilkan : 1. Benda : hubungan manusia-benda tidak awet dan masyarakatnya merupakan masyarakat pembuang. Bandingkan misalnya vulpen yang bertinta yang permanent dengan ball point yang dibuang setelah habis. 2. tempat : hubungan manusia-tempat menjadi lebih sering, lebih rapuh, dan lebih sementara, jarak fisik semakin tidak berarti, masyarakat amat mobil dengan nomad baru. Secara kiasan tempat pun seolah-ilah cepat terpakai habis, tidak berbeda dengan minuman atau makanan dalam kaleng. 3. manusia, hubungan manusia-manusia pun pada umumnya menjadi sangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antar manusia tidak menyagkut secara keseluruhan personalitas, melainkan bersifat dangkal dan terbatas secara kiasan terdapat orang yang dapat dibuang. 4. organisasi, organisasi ada kecenderungan menjadi superbirokrasi di masa depan. Manusia dapat kehilangan individualitasnya dan personalitasnya dalam mesin organisasi yang besar, namun hakekat sistemnya sendiri telah banyak mengalami perubahan. Hubungan manusia-organisasi pun seolah-olah mengalir dan beraneka ragam, menjadi sementara, baik hubungan formalnya maupun informalnya. 5. ide, hubungan manusia-ide bersifat sementara karena ide dan image timbul dan menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi gelombang ide menyusupi hampir segala bidang aktifitas manusia. Counter play normative Untuk itu semua diperlukan counter play yang bersifat normative bagi manusia. Tuhan, keadilan, dan perikemanusiaan, hendaklah mulai berfungsi dalam situasi manusia yang kongkret, artinya jelas, langsung dapat dilihat, menyangkut hal urgen, berpijak pada kenyataan. Demikian pula pandangan terhadap teknologi harus menekankan pada keserasian antara teknologi dengan kepentingan manusia dan integritas ekosistem. Hal ini dapat berlangsung dengan cara : - memberikan banyak alternative pilihan teknologi - adanya interaksi yang serasi antara manusia, mesin-mesin, dan biosfer agar ekosistem terpelihara.

131

- Teknologi harus baik secara termodinamis demi tercapainya keseimbangan energi, ekonomi, dan ekologi. - Teknologi harus menopang hidup manusia, bukan sebaliknya.

IPTEK, Globalisasi dan Kemiskinan Wajah Mendua Teknologi Ketika teknologi belum dikenal dalam alam budaya tradisional, orang hidup hanya kawatir akan resiko yang berasal dari alam (eksternal), seperti banjir, gempa bumi, tsunami, yang disebut sebagai resiko alamiah. Namun ketika teknologi menjadi bagian dari hidup manusia modern, ada resiko lain yang muncul, yaitu, bobolnya rekening bank, hilangnya file karena virus, kecelakaan mobil, pesawat, sampai meledaknya reactor nuklir. Giddens (1999) menyebutnya sebagai manufactured risk, yaitu resiko yang melekat pada teknologi. cxv Demikian kompleksnya resiko ini, hingga kadang nampak alamiah seperti pemanasan global yang kini diributkan, atau banjur dan tanah lonsor yang penyebabnya bukanlah bencana alamiah semata. Ketika teknologi mendorong menggelindingnya roda globalisasi, roda itu melindas sisi-sisi yang lain. Satu sisi adalah manufactured risk, sisi lainnya adalah keterasingan (alienasi) yang semakin besar antara manusia dengan teknologi yang diciptakannya sendiri. artinya, walaupun bisa menggunakannya, kita tidak kemudian berarti paham bagaimana sebenarnya teknologi itu brkrtja dan apa dampak-dampaknya, baik langsung maupun tudak langsung, baik bagi penggunanya maupun orang lain, juga bagi lingkungan. Pada 19 Mei 1994, Calgene Inc., satu perusahaan bioteknologi modern, diberi ijin oleh badan pengawas obat dan makanan AS (FDA) untuk memasarkan sayuran jenis baru bernama Falvr Savr. Flavr Savr adalah tomat yang sudah dimodifikasi secara genetic, sehingga menjadi lebih awet. Caranya dengan membalik rengkaian rantai genetic sehingga tomat diperintah untuk tetap awer. Sayangnya gen yang dibalik ini tidak stabil. Untuk menstabilkan, disisipkanlah satu gen bakteri. Itulah kenapa ia disebut transgenik karena secara genetic, gen yang dipunyai sudah melintasu gen tumbuhan. Fakta adanya gen bakteri dalam tomat itu membuat tomat tidak bisa lagi sepenuhnya dikatakan tumbuhan, tetapi jelas pula bahwa ia bukan hewan atau bakteri. Donna Haraway (1997)cxvi mencatat tangga 19 Mei itu sebagai hari yang akan mengubah perjalanan hidup ilmu pengetahuan dan masyarakat. Dia menempatkan tomat transgenic dalam satu deret bersama nilon dan plutonium yang terbukti sudah mengubah sejarah manusia dalam menggunakan bahan-bahan sisntetis. Sesudah pakaian (nilon) dan barang produksi (plutonium), kini pangan (tomat transgenic) yang disintetiskan. Ada argument bahwa Bioteknologi mencakup budidaya selektif, hybrid, hingga tumbuhan dan organisme yang dimodifikasi secara genetic. Kelebihannya adalah bahwa prose situ memungkinkan produksi lebih tinggi, namun diharapkan tetap akarab dengan lingkungan, penggunaan m,inim pestisida, pupuk kimia, dan efek rumah kaca. Argument lainnya adalah penyelamatan keragaman hayati dan

132

percepatan proses evolusi tumbuhan lewat seleksi karakteristik gen yang baik dan dominant. Tentu saja hal positif ini hanyalah separuh dari cerita karena ada hal lain yang tidak bisa diabaikan. Pertama, pertanian modern yang bersifat monokultural sangat rawan terhadap masalah lingkungan. Keanekaragaman hayati treancam hilang. Demikian juga dengan bahaya kerusakan dan pencemaran tanah, ait, dan udara. Ekosistem menjadi lebih rentan pada hama dan penyalut. Muncullan efek domino manufactured risk yang makin hari makin bertambah panjang proses genetisasi memang mencakup lokalisasi mutasi gen, tetapi tetap tak terelakkan proses perpindahan dan bahkan mutasi gen antar tumbuhan transgenic Kedua, perkembangan bioteknologi ini sebagian besar didominasi oloeh perusahaan besar multinasional seperti halnya industri software. Perusahaanperusahaan ini mendominasi pasar dan tentu busa dipahami jika mereka membangun visi global di industri pertanian dan pangan. Para pakar bioetika boleh saja terus mempertanyakan klaim alamiah vs non alamiah dari tumbuhtumbuhan sejenis Flavr Savr dan bahkan binatang yang dikloning. Bioteknologi pada ujungnya memang mengubah pertanian dari proses produksi untuk konsumsi menjadi produksi untuk perdagangan. Untuk itulah dibutuhkan tomat dan sayuran lain yang awet, dibutuhkan ayam potong yang lebih besar, sapi perah yang menghasilkan susu lebih banyak, juga tanaman dan ternak yang lebih cepat menghasilkan panenan. Untuk tujuan-tujuan itulah Fukuyama cxvii menyebut bahwa bioteknologi nampaknya lebih mengabdi kepada kepentingan dagang daripada sains. Teknologi informasi. Sosiolog ternama Anthony Giddenscxviii pernah berujar ..teknologi komunikasi elektronik yang serba segera ini bukan sekedar alat untuk menyampaikan berita dan informasi secara cepat. Ia mengubah selueuh hidup kita sampai yang sekecil-kecilnya. Globalisasi serta perkembangan Iptek yang luar biasa telah membuat dunia serba terbuka. Namun hanya yang siap yang bisa meraih kesempatan. Singapura yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam misalnya, telah sejak lama memilih mengembangkan sumber daya manusia dan bidang jasa. Salah satunya lewat sistem pendidikan yang tidak hanya dwibahasa, tapi juga dwikultural sejak SD. Mereka sadar betul, dalam dunia datar dimana manusia sedemikian mudah bermigrasi yang diperlukan adalah manusia yang bisa mengelola, memimpin, sekaligus mudah beradaptasi dalam budaya berbeda. Contoh lain adalah India yang sudah lama menguasai pangsa pasar sumberdaya di bidang teknologi informasi, dan Filipina dibidang akuntansi. Bandingkan dengan Indonesia yang sampai sekarang hanya mampu mengirim sumberdaya manusia tingkat pembantu dan buruh. Disamping persiapan sumber daya manusia, Hollywood melalui film-film futuristiknya juga berulangkali menggambarkan kondisi masa depan dimana robotpun bisa berperasaan dan berpikiran independent. Demikian pula Michael Chricton yang terkenal dengan fiksi ilmiahnya, membuat novel berjudul Prey (2002) tentang sisi lain kemajuan teknologi nano. Kelalaian menjalankan prosedur operasional di laboratorium ternyata mengubah teknologi yang dipuja menjadi bencana.

133

Teknologi nano Teknologi nano sebenarnya merujuk pada suatu materi yang berukuran -9 meter atau satu dibagi semiliar meter. Ibaratnya sehelai rambut ukuran materi nano dibayangkan sebagai rambut yang dibelah 50.000. dengan kemampuan manusia merekayasa materi sekecil itu tentu saja banyak sekali dampak perubahannya. Tahun 2006-1008, misalnya dikembangkan superchip yang bila dipasang pada ban atau kulkas, sehingga ban yang kurang angin atau kulkas yang terlalu penuh akan memberi tanda. Kehadiran kawat nano juga membuat computer makin kecil, makin hemat energi, namun dengan kemampuan 10 100 kali lipat sekarang. Tahun 2013 -2019 teknik pengobatan akan berubah total d berkat teknologi nano dalam wujud biologi molekuler. Tahun 2030 berbagai penyakit bisa disembuhkan sehingga hidup manusi diasumsikan kian sejahtera. Teknologi nano pula yang telah mempengaruhi empat ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebut Joseph F Coates, John B Mahaffie, dan Andy Hines dalam bukunya 2025 : Scenarios of US and Global Society Reshaped by Science and Tecnology yang diterbitkan Oakhill Press (1996) sebagai kunci pendorong perubahan sampai 2025. keempatnya adalah teknologi informasi, material, genetika dan energi. Ditengah gegap gempita perkembangan inilah bangsa Indonesia harus siap berkompetisi. Meski kondisinya terngah terpuruk saat ini, namun perjalanan sejarah menunjukkan masih ada jalan terang. Kamboja misalnya, tahun 1200 termasuk negara terkaya. Demikian juga Peru dan Meksiko yang sangat mencengangkan pada tahun 1500, atau Lebanon yang makmur pada tahun 19601n. sebaliknya Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura yang dulu miskin kini menjadi negara kaya yang mempengaruhi dunia. Mengapa? Jawabannya pengelolaan sumber daya manusia. Kamboja, Peru, Meksiko, dan Lebanon mengabaikan sumber daya manusia, sedangkan Jepang, Amerika dan Singapura terus mengembangkannya. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia pula yang kini ditempuh Taiwan, Irlandia dan China. Begitu Taiwan berupaya menghapus buta sains dan membebaskan ujian masuk universitas, massa kritikal yang berpendidikan berkembang pesat. Irlandia dalam waktu kurang dari satu generasi berhasil menjadi negara kaya di Eropa. Caranya dengan menggratiskan sekolah menengah awal 1960-an sehingga anak-anak kelas bawah bisa mengakses pendidikan dan kemudian menggratiskan pendidikan tinggi sejak tahun 2996. Kini sembilan dari sepuluh perusahaan farmasi terbesar dunia memiliki pabrik disana, juga 16 dari 20 industri peralatan medis dan 7 dari 10 perusahaan piranti lunak. China pada tahun 1980-an menyeleksi mahasiswa-mahasiswanya yang berbakat fisika. Mereka dikirim keluar negeri melalui program yang dipelopori oleh Tsung Dao Lee, peraih nobel Fisika dari China. Dalam waktu hamper 10 tahun sudah 915 mahasiswa dikirim untuk program doctor, lalu membangun sistem pendidikan dan riset begitu pulang ke negaranya. Disamping fisikan negara ini juga mengirim ribuan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu ke berbagai negara. Fenomena di Indonesia

134

Dengan standar pengajaran yang masih buruk karena kurangnya pelatihan, rendahnya gaji guru, dan terutama rendahnya pemahaman untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Indonesia sebenarnya pantas bersyukur karena msih saja ditemukan manusia unggulan. Tim olimpiade fisika Indonesia misalnya, dalam kurun waktu 12 tahun telah mengirim 70 siswa yangberasal dari berbagai daerah. Dari jumlah itu sudah diperoleh 22 medali emas, 11 perak dan 34 perunggu. Para pemenang olimpiade ini sekarang tersebar diberbagai perguruan tinggi terbaik dunia dan menunjukkan prestasi luar biasa. Ada yang PhD pada usia 23 tahun, lulus S1 pada usia 16 tahun, dan menjadi professor usia 25 tahun. Semua itu menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia yng tinggi. Sayang sekali potensi yang baik ini belum dieksplorasi dengan baik. Padahal, bila jumlah penduduk Indonesia diasumsikan 250 juta, akan ada 12,5 juta (5% dari populasi) yang memiliki IQ superior diatas 120. mereka ini berpotensi menjadi manajer atau professor. Selain itu seharusnya masih ada 250.000 (0,1%) yang ber-IQ diatas 150 sehingga berpotensi menjadi pemimpin besar sekaliber Abraham Lincohn dan Thomas Jefferson, serta 25.000 (0,01 %) yang ber-IQ diatas 160 sekelas Albert Einstein. Masalahnya, bagaimana mencari dan mengasah mereka? Yang pertama, perlu sistem seleksi yang ketat namun transparan dan terorganisasi baik sehingga anak-anak yang berbakat dapat diidentifikasi sedini mungkin. Pencarian anak berbakat juga bisa dilakukan dengan memperbanyak kegiatan lomba sain dan matematika. Mereka yang menang ditampung di pusatpusat pelatihan khusus sehingga kemampuannya makin terasah. Kedua, menyiapkan sekolah unggulan dengan guru-guru yang kompeten dan kurikulum yang mengoptimalkan kemampuan anak. Semua ini untuk mengarahkan mereka menjadi pemimpin di berbagi bidang. Ketiga, mengirim siswa-siswa unggul keluar negeri. Indonesia bisa mencontoh Kazakhtan yang tiap tahun mengirim 3000 siswanya keluar negeri. Merekalah yang 10-20 tahun lagi diharapkan membangun negaranya setelah pulang. Keempat , memperbaiki kesejahteraan guru dan memberi kesempatan belajar seluas-luasnya sehingga bisa mendoromg anak-anak pintar memilih profesi guru. Di Taiwan misalnya, menjadi guru sangat diminati karena gaji guru yang bekerja hingga pukul 15.00 sama dengan insinyur yang bekerja hingga pukul 21.00. Kelima menterjemahkan berbagai buku ilmiah popular, menyebarkan hingga ke pelosok, dan menjualnya dengan harga sangat murah. Karena hnya dengan buku yang baik para siswa dapat mengoptimalkan kemampuannya. 5. Dampak Penyalahgunaan Ipteks Bagi Kehidupan Konsekwensi negative yang tidak diharapkan dari pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan reaksi romantis yang mengajak kembali kea lam yang berbeda. Sebuah restorasi atas kemurnian alam yang tidak terkontaminasi dan teralienasi oleh intervensi manusia. Semua sikap terhadap ala mini mewakili pola dominasi hirarkis dan penaklukan, dominasi melalui

135

pemilikan dan control, ataupun melalui pencemaran nama baik, eksploitasi serta identitas dengan memelihara alam sebagai surga untuk banyak orang.cxix Kemajuan teknologi serta dampaknya pada pembangunan dan ekspansi ekonomi telah mengubah kehidupan dan pikiran manusia, pergerakan sosial telah menggeser tata hierarkhi organis, rahim bumi, dan sumber daya yang dimiliki bersama menjadi dasar untuk ekonomi pasar yang intensif. Reduksionisme Ilmu pengetahuan yang modern memiliki dasar pijakan pada reduksionisme.cxx Reduksionisme merupakan suatu keyakinan dalam ilmu pengetahuan yang mereduksi kemampuan manusia yang menolak kemungkinan adanya cara produksi pengetahuan lain maupun pengetahuan orang lain. Paham ini dasar ontologinya adalah homogenitas, bertentangan dengan paham pluralitas atau dialektika. Ilmu pengetahuan modern yang dimitoskan sebagai universal, bebas nilai, dan obyektif pada dasarnya sangat berakar pada budaya barat dan sangat patriarkhis. Yang menjadi persoalan adalah bahwa pengetahuan dibangun berdasarkan kesenjangan natara yang tahu (spesialis) dengan yang awam(bukan spesialis). Reduksionis menghendaki adanya keseragaman dalam hal pendekatan, yaitu hanya ada satu cara dan tidak mentolerir yang lain. Reduksionis mencabut kemampuan alam dan potensi manusia serta menggantinya dengan teknologi. Rekayasa Teknologi Penerapan IPTEK dalam rekayasa pertanian berupa revolusi hijau, rekayasa kelautan berupa revolusi biru, industrialisasi, merupakan bukti kemampuan manusia dalam mengembangkan daya dukung lingkungan alam. Tetapi disisi lain hal ini juga menimbulkan dampak negative berupa kerusakan ekosistem, ketidakseimbangan lingkungan bahkan pencemaran yang akhirnya menjadi bencana bagi umat manusia. Disamping itu imbas dibidang sosial berupa semakin melebarnya kesenjangan sosial. Orang kaya yang menguasai IPTEK akan semakin kaya dan si miskin yang tidak mampu menguasai IPTEK akan semakin terpuruk dan menjadi korban penindasan kelompok yang kaya. Ini terjadi bukan hanya dalam konteks suatu Negara, tapi di percaturan dunia, Negara yang tidak menguasai IPTEK akan terus dieksploitasi oleh Negara-negara maju, diambil SDA-nya, juga tenaga kerjanya yang murah, selanjutnya dijadikan pasar hasil industri oleh mereka. Relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan bahwa teknologi adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah bersikap pasif terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai interaksi timbal balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu melibatkan dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara manusia dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik karena kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari setiap episode sejarah manusia. Dilema determinisme. Bagi para praktisi teknologi, fungsi teknologi tidak perlu dipertanyakan lagi. Teknologi diciptakan untuk membantu mengatasi keterbatasan fisik manusia. 136

Dia berperan sebagai media untuk mencapai kepuasaan material. Teknologi dibentuk oleh parameter efisiensi dan efektivitas sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pemahaman demikian berangkat dari asumsi bahwa teknologi modern muncul dari rasionalitas dan kemampuan logika manusia dalam mengadopsi prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah sains ke dalam artifak teknologis. Pandangan instrumentalis di atas mungkin bisa diterima dalam tingkat pragmatis, tapi tidak dalam tingkat filosofis karena pandangan ini tidak cukup untuk menjelaskan makna dan implikasi teknologi bagi manusia. Lebih penting lagi, pandangan instrumentalis memiliki kecenderungan untuk mendewakan teknologi dan meletakkannya sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan simbol kemajuan peradaban manusia. Sikap ini melahirkan pandangan determinisme teknologi yang bersifat ideologis. Determinisme teknologi dalam pandangan instrumentalis ini mesti dicermati karena dia menafikan aspek moral dan etika dalam relasi antara manusia dan teknologi. Determinisme teknologi itu sendiri bukan hal yang baru. Dalam catatan Merritt Roe Smith, paham determinisme teknologi telah muncul sejak awal revolusi industri. Gagasan ini memikat para pemikir era Pencerahan dan semakin tumbuh subur di budaya masyarakat Amerika Utara di mana semangat kemajuan melekat dengan kuat. Determinisme teknologi berangkat dari satu asumsi bahwa teknologi adalah kekuatan kunci dalam mengatur masyarakat. Dalam paham ini struktur sosial dianggap sebagai kondisi yang terbentuk oleh materialitas teknologi. Paham ini begitu dominan dalam masyarakat kontemporer, termasuk dalam lingkungan akademik. Selama tiga dekade terakhir, para sarjana studi sosial teknologi telah memberi respons kritis terhadap paham determinisme teknologi. Dalam analisis Andrew Feenberg, setidaknya dua premis dalam determinisme teknologi yang bermasalah. Pertama adalah asumsi bahwa teknologi berkembang secara unilinear dari konfigurasi sederhana ke yang lebih kompleks. Kedua adalah asumsi bahwa masyarakat harus tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia teknologi. Kedua premis tersebut sulit diterima karena pola-pola teknologi itu sendiri banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial, kultural, dan politik di mana teknologi itu berada. Kritik terhadap determinisme teknologi merupakan respons terhadap implikasi politis ideologis yang dihasilkan oleh paham ini. Ini terjadi karena determinisme teknologi cenderung memaksakan suatu bentuk universalitas struktur institusional teknologi ke dalam masyarakat. Universalisasi institutional ini menjadi media hegemoni modernitas. Seperti yang diwaspadai oleh Rosalind Williams, determinisme teknologi memungkinkan motivasi politis, ekonomi, dan ideologis para pemilik modal masuk ke dalam sistem teknologi dan mengurangi otoritas masyarakat dalam memilih arah teknologi. Bagi David Noble, determinisme teknologi tidak hanya memberi penjelasan yang tidak akurat tentang relasi antara manusia dan teknologi, tetapi juga terlalu menyederhanakan dan bahkan mematikan makna dalam kehidupan manusia. Menurut Noble, pada satu sisi determinisme teknologi menawarkan janji-janji modernitas, tetapi di sisi lain memaksakan suatu bentuk fatalisme.

137

Fenomenologi teknologi Bagaimanakah relasi antara manusia dan teknologi terjadi? Fenomenologi adalah kendaraan untuk mencari jawabannya. Studi fenomenologi teknologi mengeksplorasi pengalaman manusia dan secara spesifik menjelaskan bagaimana struktur pengalaman yang bersifat multidimensi tersebut tersusun. Setidaknya itu yang dilakukan Don Ihde untuk memahami relasi antara manusia dan teknologi secara komprehensif. Berangkat dari eksistensialisme Heideggerian, Ihde mengembangkan ontologi relativistis untuk memahami keberadaan manusia dalam wilayah teknologi. Ontologi relativistis bukan relativisme, melainkan lebih sebagai media untuk menganalisis relasionalitas antara manusia yang mengalami (human experiencer) dan wilayah yang dialami (the field of experience). Analisis relasionalitas ini dilakukan melalui dua kategori persepsi, yakni persepsi mikro yang bersifat indrawi dan persepsi makro yang bersifat kultural atau hermeneutik. Bagi Ihde, kedua jenis persepsi ini saling terikat satu sama lain. Persepsi mikro tidak pernah lepas dari konteks persepsi makro. Sebaliknya, persepsi makro tidak akan pernah ada tanpa dorongan persepsi mikro. Melalui fenomenologi persepsi ini, Ihde menawarkan konsep multistabilitas untuk menggali lebih dalam ke wilayah kompleksitas budaya teknologi. Konsep multistabilitas menekankan bahwa relasi antara manusia dan teknologi tidak tunggal. Relasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk walaupun dengan artefak teknologi yang sama. Multistabilitas meletakkan teknologi tidak dalam satu posisi hermeneutik, tapi dalam berbagai titik relasi dengan manusia. Karena itu, teknologi bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural di mana dia berada. Dengan kata lain, makna sebuah artefak teknologi akan selalu berubah sesuai dengan masyarakat yang memaknainya. Bentukan sosial teknologi Prinsip-prinsip dalam fenomenologi teknologi tidak menjadi barang eksklusif dalam studi filsafat. Jika kita menilik secara saksama, fenomenologi menjadi dasar metodologi studi sosial teknologi, khususnya sosiologi teknologi dalam memahami relasi antara teknologi dan masyarakat. Bagi para sosiolog teknologi, teknologi merupakan cermin dari proses imbal-balik yang kompleks yang terjadi di masyarakat. Dalam perspektif ini, berhasil atau gagalnya teknologi bukanlah hal yang penting karena pada dasarnya teknologi adalah hasil sebuah kompromi. Proses-proses sosial yang membentuk teknologi adalah refleksi dari cara kita hidup dan mengatur masyarakat. Kekuasaan dalam konfigurasi Relasi kekuasaan dan teknologi adalah sebuah tema besar dalam studi sosial teknologi. Setidaknya tiga kasus menarik bisa kita amati dalam domain ini untuk melihat bagaimana kekuasaan dan teknologi saling bereproduksi satu sama lain. Kasus pertama adalah analisis Langdon Winner tentang jembatan di Long Island, New York, yang ditulis dalam artikelnya Do Artifacts Have Politics? Di sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island terdapat sekitar puluhan

138

jembatan penyeberangan. Selintas tidak ada hal yang istimewa dari jembatanjembatan tersebut. Tetapi, jika diamati dengan saksama, proporsi jembatan tersebut tidaklah normal. Tinggi jembatan tersebut hanya sekitar 2,7 meter sehingga hanya mobil sedan yang dapat lewat di bawahnya. Menurut Winner, keganjilan desain tersebut bukanlah karena alasanalasan teknis, misalnya efisiensi material atau efektivitas sistem konstruksi. Jembatan-jembatan tersebut di desain dan dibangun dengan konfigurasi demikian untuk menghasilkan suatu dampak sosial tertentu. Ini dilakukan dengan sengaja oleh pendesainnya, yakni Robert Moses, seorang tokoh sentral dalam pembangunan kota New York di awal abad ke-20. Dari investigasinya, Winner menemukan suatu agenda rasialis dan diskriminatif di balik desain jembatan Long Island. Jembatan-jembatan tersebut dibangun sesuai dengan spesifikasi yang diberikan oleh Moses untuk menghalangi masuknya bis ke wilayah tersebut. Hal ini untuk membatasi akses kaum kelas bawah kulit hitam dan hispanik yang biasanya menggunakan bis umum menuju ke Jones Beach, sebuah pantai cantik berpasir putih di sebelah timur Long Island. Secara materialistis, jembatan Long Island, adalah artefak yang terdiri dari elemen-elemen yang netral. Namun, ketika elemen-elemen ini membentuk suatu konfigurasi, dengan serta-merta netralitas tersebut sirna. Dengan konfigurasi tertentu, artefak teknologi berubah menjadi media hegemoni, dominasi, dan kontrol untuk memenuhi kepentingan sang pencipta konfigurasi tersebut. Dari perspektif ini kita bisa melihat tiga artefak di atas sebagai refleksi dari relasi manusia dan teknologi melalui kekuasaan yang meliputi tiga tujuan. Pada kasus jembatan Long Island, teknologi berfungsi sebagai media praktik kekuasaan. Pada kasus mesin kontrol numerik, teknologi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Adapun pada kasus penjara Panopticon, teknologi berfungsi untuk memproduksi kekuasaan. Budaya dan teknologi Kekuasaan tidak lahir dari kondisi vakum. Dia muncul dari suatu konsteks budaya tertentu sehingga kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan lokal. Karena itu, seperti yang dikatakan Bryan Pfaffenberger, penjelasan praktik kekuasaan dalam teknologi tidak akan pernah memuaskan jika kesadaran tentang sistem budaya diabaikan. Pfaffenberger berargumen bahwa fungsi politis dari suatu teknologi baru dapat tercapai jika teknologi tersebut dibungkus dalam mitos dan ritual dan menjadi alat kontrol produksi dan resepsi makna. Argumen Pfaffenberger didukung oleh David Hess melalui konsep relasi kekuasaan dan budaya. Hess menggunakan konsep ini untuk memahami kompleksitas operasi kekuasaan di masyarakat. Menurut Hess, tanpa adanya perspektif budaya, analisis kekuasaan akan menjadi tumpul dan hanya hanya terfokus pada sejumlah kategori sosial yang terbatas. Hasilnya adalah pengamatan dimensi kekuasaan yang sempit. Mendekati kekuasaan melalui budaya dalam teknologi mengantarkan kita ke konsep konstruksi budaya. Konstruksi budaya tersusun melalui proses interpretasi-reinterpretasi dan produksi-reproduksi simbol, identitas, dan makna di

139

dalam masyarakat. Aliran dari keluaran proses ini lalu ditransformasikan ke dalam artefak teknologi. Dalam kerangka konstruksi budaya ini, pengembangan teknologi menyerupai apa yang disebut Claude Levi-Strauss sebagai bricolage. Bricolage adalah aktivitas penggabungan elemen-elemen yang ada untuk memenuhi suatu tuntutan lingkungan. Menurut Hess, teknologi modern tidak berbeda jauh dengan prinsip bricolage di mana interpretasi budaya membentuk versi teknologi di masyarakat. Dalam pola ini, seorang praktisi teknologi adalah seorang bricoleur. Dia menghasilkan suatu teknologi baru melalui rekonstruksi elemen-elemen yang sudah ada untuk dibentuk menjadi suatu teknologi baru dalam konteks budaya di mana dia berada. Dalam kata lain, orisinalitas teknologi ditentukan oleh konsep makna yang digunakan. Pada tingkat praksis, konsep konstruksi budaya dalam teknologi tidak hanya untuk memahami lebih mendalam bagaimana teknologi berinteraksi dengan makna, ritual, dan nilai. Oleh Linda Layne, konstruksi budaya dapat dijadikan tool untuk membuat teknologi lebih manusiawi dan dapat diterima dengan baik di masyarakat. Di sini Layne menawarkan apa yang dia sebut sebagai cultural fix di mana nilai-nilai budaya di adopsi ke dalam konfigurasi teknologi. Hal ini dapat dilakukan melalui pemahaman makna dalam masyarakat untuk mengidentifikasi kesenjangan antara teknologi dan masyarakat dan mencari solusinya. Kompleksitas teknologi modern telah melampaui batas dimensi indrawi manusia dalam mencerna. Kondisi ini membentuk sikap taken for granted dalam masyarakat kontemporer terhadap teknologi, suatu sikap yang menerima teknologi dengan mata tertutup. Tragisnya, sikap ini secara perlahan menggali jurang dalam yang dapat menjebloskan manusia ke dalam bencana kemanusiaan. Namun demikian, kita tidak perlu menjadi paranoid dan bersikap antiteknologi. Alasan untuk menolak sikap ini jelas karena manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi. Yang dibutuhkan adalah suatu tingkat pemahaman teknologi yang lebih mendalam. Pada tingkat ini, teknologi tidak lagi dilihat pada aspek materialitasnya yang sering bersifat ilusif melainkan sebagai suatu bentuk upaya penyingkapan daya yang tersembunyi di alam seperti yang dilontarkan Martin Heidegger. Penyingkapan ini bagai pedang bermata dua. Dia mengantarkan manusia kepada bentuk kebenaran tentang potensi-potensi yang tersembunyi di alam. Di sisi lain dia memancing nafsu dan keserakahan manusia untuk terus melakukan dominasi dan kontrol terhadap alamcxxi.

TUGAS - bentuk kelompok yang terdiri dari lima orang mahasiswa. - Buatlah portofolio berkaitan dengan fenomena teknologi dalam kehidupan manusia yang meliputi 1. permasalahan seputar teknologi dan kehidupan manusia 2. dampak negatif dan positif teknologi 3. pencarian solusi dari permasalahan yang ada

140

BAB VIII MANUSIA DAN LINGKUNGAN


Oleh : Linda Dwi Eriyanti, S.Sos 1. Hakekat Lingkungan Sosial Dan Alam Bagi Manusia Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama makhluk lain, yaitu tumbuhan, hewan dan jasad renik. Makhluk hidup yang lain bukan sekedar kawan hidup yang hidup bersama secara netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat pada mereka. Tanpa mereka manusia tidak dapat hidup. Kenyataan ini dapat dengan mudah kita lihat dengan mengandaikan jika di bumi ini tidak ada tumbuhan dan hewan. Dari manakah kita mendapatkan oksigen dan makanan? Sebaliknya seandainya tidak ada manusia, tumbuhan, hewan, dan jasad renik akan tetap dapat melangsungkan kehidupannya, seperti terlihat dari sejarah bumi sebelum ada manusia. Einsteins konon pernah mengartikan lingkungan sebagai segala sesuatu kecuali saya. Aforisme ini menyiratkan salah satu dilemma dalam konsepsai lingkungan. Tidak seperti makhluk hidup lainnya, manusia dapat melihat dunia sekelilingnya sebagai sesuatu yang terpisah dari dirinya. Toynbeecxxii mengaitkannya dengan daya pikir rasional dan kekuatan emosi manusia. Manusia adalah penakluk alam, sekaligus pihak yang paling merasa terancam olehnya. Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup, seperti udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup didalamnya diseebut lingkungan hidup makhluk tersebut. Sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam factor. Pertama, oleh jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup tersebut. Dengan mudah dapat kita lihat, suatu lingkungan hidup dengan 10 orang manusia, seekor anjing, tiga ekor burung perkutut, sebatang pohon kelapa dan sebuah bukit batu akan berbeda sifatnya dari lingkungan yang sama besarnya tetapi hanya ada seorang mnausia, 10 ekor anjing, tertutup rimbun oleh pohon bamboo dan tidak berbukit batu. Dalam golongan jenis unsure lingkungan hidup termasuk pula zat kimia. Kedua, hubungan atau interaksi antara unsure dalam lingkungan hidup itu. Misalnya dalam ruangan terdapat delapan kursi, empat meja, dan empat pot tanaman bunga. Dalam ruangan itu delapan kursi diletakkan sepanjang satu dinding dengan sebuah meja didepan setiap dua kursi dan sebuah pot bunga diatas masing-masing meja. Sifat ruangan berbeda jika dua kursi dengan sebuah meja diletakkan ditengah masing-masing dinding dan sebuah pot di masing-masing sudut.

141

Ketiga, kelakuan atau kondisi unsure lingkungan hidup, misalnya suatu kota yang penduduknya ktif dan bekerja keras merupakan lingkungan hidup yang berbeda dari kota yang serupa tetapi penduduknya santai dan malas. Keempat, factor non materiil suhu, cahaya, dan kebisingan. Kita dapat dengan mudah merasakan ini. Lingkungan yang panas, silau dan bisingsangatlah berbeda dengan lingkungan yang sejuk, cahaya yang cukup, tapi tidak silau dan tenang. Manusia dan alam semesta adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan manusia telah mampu mengungkap sebagian kecil rahasia alam semesta ini. Lingkungan alam adalah kondisi alamiah baik biotik ( tumbuhan, hewan ), maupun lingkungan abiotik (tanah, air, mineral, udara) yang belum banyak dipengaruhi oleh tangan manusia, yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Lingkungan sosial yaitu suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya hubungan interaksi individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Lingkungan budaya adalah segala kondisi, baik yang berupa materi maupun non materi, yang dihasilkan oleh manusia melalui aktivitas, kreatifitas, dan penciptaan yang berpengaruh terhadap lingkungan alam. Lingkungan budaya yang berupa materi meliputi bangunan, peralatan, senjata, pakaian, dll. Sedangkan yang non materi berupa tata nilai, norma, pranata, peraturan, hokum, system politik, system ekonomi, system pemerintahan, dll. Lingkungan alam dan lingkungan sosial saling berpengaruh dan berinteraksi secara aktif. Lingkungan alam dapat mempengaruhi lingkungan sosial dan sebaliknya. Manusia yang tingkat budaya dan peradabannya sudah maju, mampu mempertahankan lingkungan alamnya, dan sebaliknya. Oleh karena itu kita semua wajib memiliki wawasan yang luas tentang lingkungan, serta memiliki kemampuan untuk melihat dan menganalisis perspektif ruang muka bumi yang meliputi perubahan serta perkembangan hari ini untuk menatap amsa depan. Sebagai akibat tuntutan kebutuhan manusia yang multi aspek, perubahan ruang dan tata ruang sudah menjadi tuntutan alamiah. Namun yang perlu diperhatikan disini adalah agar masalah dengan lingkungan tadi tidak menimbulkan ketimpangan ruang, ketimpangan lingkungan, atau ketimpangan ekologi. Manusia sebagai makhluk dinamis, dinamika kehidupannya dipengaruhi factor dominant yang berupa lingkungan sosial-budaya dan lingkungan alamnya. Ekologi dan manusia Kata eko dalam ekologi berasal dari bahasa Yunani Oikos, yang berarti rumah tempat tinggal : tempat tinggal semua manusia, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan matahari.cxxiii Ekologi mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungan hidup; mengkaitkan ilmu kemanusiaan dan ilmu alam-bersifat interdisipliner. Kesadaran ekologi hendak melihat kenyataan dunia ini secara integral holistic, bahwa dunia yang satu itu ternyata mengandung banyak keanekaragaman.cxxiv Ia sekaligus merupakan reaksi kritis atas pandangan terhadap dunia yang dualistis, dikotomis. Usaha pelestarian lingkungan dimengerti sebagai kesediaan manusia mengakui keterbatasannya, bahwa ia tidak pernah dapat memahami sepenuhnya kerja dunia dan semua unsurnya. Maka ia mau bekerjasama dengan alam lingkungan untuk mengarahkan hidup ini secara

142

bersama-sama kepada kesejahteraan seluruh anggota komunitas dunia ini.itu berarti mengakui dan menghargai hak hidup setiap makhluk sebagai subyek yang mandiri dan bermartabat dalam dunia yang kongret integral.cxxv Alam merupakan guru terbaik, ia menstimulasi kapasitas untuk menangani lingkungan tak terduga dan kejadian yang tidak diperkirakan dengan maksud dan kemurahan hati dari roh, memercikkan momen transenden dan menginspirasikan tindakan yang kreatif. Hukum alam membangkitkan pola hidup yang kaya dengan kesederhanaan dan kerendahan hati, kemurnian, kebenaran, kemurahan hati, dan cinta kasih.cxxvi Menurut Hanne Strong, kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada penghormatan pada hukum alam yang dipahami masyarakat asli dan tradisional. Masyarakat ini berbicaraberbicara dengan kumpulan instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh sang pencipta. Mereka mengetahui dan menghidupi hukum ini, yang menuntun relasi manusia dengan 4 elemen pemberi kehidupan yaitu tanah, air, udara, dan api (energi), serta mengajarkan penghormatan pada kesatuan dan kesalingketergantungan dari seluruh kehidupan. Hanya jika kita memahami Hukum Kesalingtergantungan, kita dapat memperbaiki kerusakan keempat elemen pemberi kehidupan kita. dan hanya jika kita mengalami kesalingterkaitan satu sama lain, kita dapat memulai mengubah sumbernya : hati dan pikiran manusia. Ini disepakati Fukuoka, yang mengatakan : tidak ada jalan lain untuk perdamaian kecuali semua orang harus meninggalkan gerbang istana persepsi yang relative, turun ke padang rumput, dan kembali ke jantung alam yang non aktif. Marilah kita katakan bahwa kunci perdamaian terletak dekat di bumi.cxxvii 2. Pandangan manusia terhadap lingkungan Faham dan pandangan manusia terhadap lingkungan alam sangat tergantung dari penguasaan manusia terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Setidaknya ada 3 aliran tentang faham hubungan manusia dengan lingkungannya, yaitu : Faham determinisme, memandang bahwa manusia sangat tergantung pada alam, artinya kapasitas manusia dan aktifitasnya sangat ditentukan oleh alam dimana dia berada, sedangkan upaya manusia untuk mengkreasi lingkungan sangat terbatas kemampuannya. Tokoh faham ini diantaranya : Charles Darwin (1809-1882) yang terkenal dengan teori evolusinya, Frederich Ratzel (18441904) dengan teori Antrhropography yang menyatakan bahwa bahwa manusia berkembang dan hidup sangat ditentukan oleh lingkungan geografis dimana ia tinggal. Tokoh lainnya Elsworth Huntington yang menekankan pada kekuatan pengaruh iklim pada perkembangan dan kehidupan manusia. Faham Posibilisme atau Probabilisme, memandang lingkungan alam berpengaruh terhadap manusia tetapi tidak menentukan melinkan hanya memberi peluang dan kemungkinan pada manusia untuk berkembang. Tokohnya : EC Semple dan Paul Vidal de la Blace yang menyatakan bahwa perkembangan hidup dan kebudayaan manusia bukan dipengaruhi langsung oleh alam, tetapi oleh proses produksi yang dipilih seseorang yang berasal dari kemungkinan yang disediakan oleh tanah, iklim, dan ruang yang ada disekitarnya.

143

Faham Optimisme teknologi, memandang bahwa manusia dengan kemempuan IPTEK yang dimilikinya dapat menciptakan kebudayaan dan mengkreasi lingkungan alam sesuai yang diinginkannya. Lingkungan adalah metafora yang melanggengkan kontradiksi kondisi dasar manusia. Ia memiliki kekuatan untuk menaklukkan, namun ia juga diliputi berbagai kelemahan yang membuatnya terancam. Disatu sisi manusia membuat berbagai perbaikan, disisi lain ia membuat kerusakan. Konflik antara individualisme konsumerisme dan solidaritas tidak pernah lepas dari masyarakat manusia. Hal ini sangat ditekankan oleh Atkinson (1991), Dickens (1992), Dobson (1990), Eckersley (1992), dan Sachs (1993). Dari waktu kewaktu manusia memandang alam dengan nafsu penaklukan sekaligus rasa bersalah. Hal ini diuraikan secara cemerlang oleh Glacken (1967). Manusia sejak lama menyadari betapa uniknya kehidupan di bumi. Kosmos dimana kita hidup merupakan anugerah tak terperi, dan juga tak tergantikan, yang terbentuk dari jutaan proses kimiawi, biologis, dan fisik secara terus menerus. Pengagungan alam ini diantaranya diungkapkan Lovelockcxxviii. Dikatakannya bahwa biosfer yang menyangga kehidupan manusia dilukiskan sebagai suatu zona yang disebut Gaia, yang mempunyai mekanisme pengaturan sendiri, yang justru sering terusik oleh perilaku manusia. Gaia tidak punya sosok tertentu, tidak dibebani moralitas, namun memberi batasan-batasan yang tak terlampaui bagi kehidupan manusia. Jika manusia tak mau menyesuaikan diri, maka alam akan memaksanya. Inti pandangan environmentalisme yang kini terus diminati ada tiga, yakni pandangan teknosentrik, ekosentrik, dan deep green. Mode teknosentrik yang diungkapkan ORiordancxxix menggambarkan hakekat manusia sebagai manipulator alam, yang harus membatasi perilakunya agar ia dapat terus memanipulasinya itu. Pandangan konservasionis ini berkembang luas di AS (Hays 1959), cenderung optimistic dan bersifat maskulin. eksploitasi dan teknologi dipandang positif, sejauh itu tidak merusak alam fisik dan sosial secara berlebihan. Pandangan ekosentrik (Dobson 1990, ORiordan 1981, Pepper 1986) juga optimis, namun ia lebih jauh lagi dalam menganjurkan pelestarian lingkungan. Kalau dalam pandangan terdahulu alam dijadikan sebagai factor pengimbang sekunder, maka dalam pandangan ini kelestarian harus selalu dinomorsatukan. Semua tindakan manusia sedapat-dapatnya harus didasarkan pada usaha pelestarian alam. Contoh konsepsi pelaksanaannya ada lima : i Konsep pembangunan berkesinambungan (sustainable development), yang tertuang dalam laporan Komisi Bruntland (1987) dan Konferensi Lingkungan dan Pembangunan PBB (UNCED) di Rio Janeiro di tahun 1992 yang menghasilkan agenda 21, suatu program integrasi pembangunan dan lingkungan. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang ungkapkan ORiordan dan Cameroncxxx menyatakan hanya menerima segala iptek selama itu tidak merusak lingkungan. Prinsip itu kemudian mengembangkan civic science (integrasi semua ilmu konvensional dengan dan proses demokrasi alamiah) serta ecological space yang dibarengi dengan prinsip altering the burden of proof. Ini adalah argument ilmiah yang mendesak negara maju

144

memberi kelonggaran dan bantuan kepada negara berkembang agar dalam pembangunannya tidak mengorbankan kelestarian lingkungan ii Ilmu ekonomi ekologis (ecological economics) yang menggali berbagai keuntungan bagi manusia jika alam dibiarkan apa adanya (critical natural capital), atau jika kegiatan pembangunan dilakukan secara hati-hati sehingga tidak mengganggu lingkungan (natural resource account) ; istilah lainnya kesejahteraan lingkungan (environmental welfare). Hal ini diungkapkan oleh Pearcecxxxi iii Penilaian dampak lingkungan (environtmental impact assessment), atau anjuran bagi dilakukannya analisis menyeluruh tentang dampak lingkungan dari setiap proyek atau kebijakan, yang diungkapkan ORiordan dan Sewellcxxxii. Ini khususnya ditujukan bagi perusahaan-perusahaan, sehingga memunculkan bidang bisnis jasa baru, yakni biro-biro konsultan lingkungan yang di negaranegara maju sangat berperan bagi turunnya izin resmi, khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang dianggap peka terhadap lingkungan. iv Ecoauditing, yakni pemeriksaan atas semua usaha, kegiatan atau kebijakan yang ada, demi memastikan bahwa semua itu tidak merusak lingkungan. Tekniknya sendiri berfariasi, misalnya life cicle analisys dan environmental burden analysys. Semuanya merupakan bagian dari sistem manajemen lingkungan terpadu, yang standar-standarnya dibakukan secara internasional. Konsepsi ini dikampanyekan kepada pemerintah di setiap negara yang standar lingkungannyya diniolai memprihatinkan. Semuanya pada hakekatnya merupakan kompromi antara hasrat membanguna secara ekonomis, dengan keinginan untuk memelihara alam sejauh mungkin. Para penganjurnya yakin bahwa pelaksanaan langkah-langkah diatas tidak bisa ditunda-tunda lagi, dan harus segera dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun pandangan ini tidak lepas dari kritik, Sachscxxxiii misalnya, meragukan bahwa pengutamaan lingkungan akan menciptakan aneka kendala ekonomis yang pada akhirnya bisa berakibat pada perusakan lingkungan alam itu sendiri. Terakhir, pandangan deep green bertumpu pada struktur etika dan sosial yang radikal (isrilah lainnya deep ecology atau steady-state economics). Pandangan ini menganjurkan ditinggalkannya pola hidup masal yang dianggap tidak bisa tidak merusak lingkungan, dan menghimbau masyarakat untuk hidup dalam pola komunal yang dekat dengan alam. Teknologi yang harus dipilih adalah yang paling canggih, tetapi yang tidak perlu aneka perangkat penduduk berskala besar. Pandangan ini menentang globalisme ekonomi dan ketergantungan politik. Dalam waktu bersamaan ia mempromosikan pasifisme (hidup serba damai dan bersahaja), ecifeminisme, penegakan hak-hak konsumen demi mengontrol produsen, serta pengakuan atas hak hidup makhlik lain diluar manusia. Pandangan ini berakar pada tradisi anarkhisme dan pemberdayaan komunitas. Meskipun demikian, pandangan ini juga mengakui bahwa semua usulnya tak mungkin diterapkan seketika. Karena itu ia menyambut baik konsepsi pembangunan berkesinambungan, yang dianggap sebagai batu loncatan menuju kondisi serba lebih baik, jauh dari hingar bingar politik atau militer yang pada akhirnya akan menghancurkan lingkungan.cxxxiv

145

Ekonomi Lingkungan Ekonomi lingkungan bermula dari tulisan Gray (awal 1900-an), Pigou (1920-an) dan Hotelling (1930-an), namun baru muncul sebagai studi koheren pada tahun 1970-an. Ada tiga unsur pokok dalam ekonomi lingkungan ini yaitu : Pertama, adanya pandangan bahwa kesejahteraan manusia sedang terancam oleh degradasi lingkungan dan penyusutan sumber daya alam. Tidaklah sulit untuk menemukan bukti-buktinya, mulai dari banjir akibat penggundulan hutan, aneka macam penyakit mematikan akibat pencemaran air dan udara. Studi ini tidak mempersoalkan terganggunya kesehatan, tetapi menekankan kerugiannya secara ekonomis. Kedua, kerusakan lingkungan secara umum diyakini sebagai akibat dari penyimpangan atau kegagalan tertentu dalam sistem ekonomi, yang kebanyakan bersumber dari pasar. Contohnya, motif keuntungan terkadang mendorong perusahaan tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan mengakibatkan kerugian bagi pihak-pihak lain.ini bukan hanya terjadi dalam lingkup nasional, tetapi juga internasional. Misalnya relokasi industri menempatkan pebrik-pebrik dati negara maju ke hutan-hutan perawan di engara berkembang. Kebijakan tertentu seperti Common Agriculture Policy di eropa, yang memberi subsidi harga produk pertanian, mendiring petani memakai aneka pipik dan obat tanaman secara berlebihan, serta menggali saluran irigasi lebih banyak dari seharusnya, untuk memaksakan hasil panen semaksimal mungkin. Ketiga, solusi atas berbagai masalah lingkungan harus dilakukan dengan mengireksi unsur-unsur ekonomi yang menjadi penyebabnya. Kebijakan subsidi, relokasi industri, dan sebagainya, yang telah terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan harus segera diakhiri. Jika suatu kegiatan sulit dihentikan begitu saja secara hukum, maka ekonomi lingkungan menyerankan penerapan pajak ekstra atau penerbitan lisensi khusus demi meredam kegiatan tersebut. Secara umum, penggunaan instrument ekonomi guna mengatasi masalah lingkungan yang bersumber dari kegiatan ekonomi, sangat menarik dan memiliki logika yang kuat. Dalam ekonomi sumberdaya alam, batas-batas pencemaran dan kerusakan alam, serta standar kelestarian lingkungan juga dihitung berdasarkan variable-variabel ekonomi. Bahkan berbagai masalah global seperti penipisan lapisan ozone juga hendak diatasi melalui langkah-langkah ekonomis.cxxxv 3. Perkembangan Demografi dan Kesejahteraan Hidup Sebagian besar penduduk Indonesia masih berpendapatan rendah karena produktifitas kerjanya rendah. Hal ini disebabkan rendahnya alat-alat produksi yang dimilikinya, seperti sempitnya bidang tanah yang diusahakan, peralatan kerjanya yang terbatas pula. Juga karena tingkat pendidikan dan ketrampilan yang masih rendah, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang lebih produktif. Juga tenaga energi yang mampu dikeluarkan rendah karena kadar gizi makanan dan menderita kekurangan kalori sehingga rawan penyakit. Dalam keadaan serba kekurangan, banyak penduduk Indonesia bersifat mobil, bergerak dari pedesaan ke perkotaan, dan dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari kesempatan kerja. Sementara itu jumlah penduduk Indonesia kian bertambah dengan ratarata 2,5-3 juta pertahun, sehingga jumlah penduduk Indonesia naik dari 207 juta

146

(2000) menjadi 222 juta (2005), 235 juta (2010) dan 257 juta pada tahun 2020 nanti. Mereka bisa dilihat sebagai peluang pasar yang sangat besar untuk produksi jasa dan manufaktur. Katakanlah penduduk usia 0-14 tahun pada tahun 2015 mencapai 63,6 juta. Inilah potret ABG masa depan yang memerlukan begitu banyak pakaian yang otomatis akan menghidupkan mesin-mesin industri tekstil, produk tekstil, garmen, sepatu, tas, dan sebagainya. Dapat pula disebut sebagai modal (human capital), akan tetapi juga bisa sekaligus sebagai ancaman. Misalnya akan terjadi ledakan pengangguran kalau penciptaan lapangan kerja tidak tertangan secara serius dari sekarang. Dengan 170,8 juta angkatan kerja tahun itu, jika lapangan kerja produktif tersedia mamadai, mereka akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang dahsyat, baik dari sisi investasi maupun konsumsi. Tak kalah besar tantangannya 24,3 juta penduduk usia lanjut (60 th keatas) yang memerlukan aneka macam obat dan makanan suplemen. Tentu kebutuhan mereka menciptakan permintaan barang dan jasa yang pasti mendorong industri farmasi Dari jumlah penduduk, dengan skenario pesimistis, betapa hidup mungkin tidak akan nyaman lagi. Dijalan, dipemukiman, di kantor, manusia Indonesia akan berdesakan. Lahan untuk pemukiman kian susah dan mahal. Lahan untuk pertanian semakin sempit, menyusut, dan kian kerontang karena terkonversi untuk kebutuhan non pertanian. Banjir dan tanah longsor datang meneror setiap saat dimana-mana karena pohon-pohon raksasa penahan banjir sudah kian menipis jumlahnya dan kurus-kurus pula. Ketersediaan pangan, kelestarian alam menjadi tantangan dan potensi bisnis yang luar biasa. Masalah sosial a. Kwalitatif kebutuhan pangan tingkat pendidikan pelayanan kesehatan, nutrisi perumahan pendapatan perkapita kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam tenaga kerja (lapangan kerja dan pengangguran. b.Kwantitatif pertumbuhan penduduk yang tinggi yang dipengaruhi natalitas, mortalitas dan migrasi penyebaran penduduk yang tidak merata dan mobilitas penduduk komposisi penduduk dengan angka ketergantungan tinggi c. Lain-lain pembangunan yang dilaksanakan pemerintah selama ini berorientasi pada penduduk. Penduduk berjumlah besar di pulau jawa, maka tidak saja tenaga buruh yang banyak tersedia, tetapi pasar untuk barang industri pun lebih besar di pulau jawa ketimbang di pulau lain. Pembangunan sumber alam mineral, minyak dan gas yang banyak terdapat diluar pulau jawa dilakukan dengan modal besar dan teknologi canggih, sehingga melibatkan masyarakat setempat.

147

Maka muncullah pulau-pulau modern ditengah-tengah lautan penduduk tradisional. Konflik yang bermunculan dengan berbagai penyebab diantaranya ketimpangan ekonomi, yang dipicu dengan perbedaan suku, ras maupun agama. Perspektif masa depan Bagaimana perspektif perkembangan penduduk masa depan dan apa pengaruhnya terhadap pembangunan bangsa kita? a. faktor pertama yang tidak ada di masa lalu adalah desentralisasi, yang berakibat lebih banyak dana keuangan mengalir ke daerah, juga pelimpahan wewenang otoritas pembangunan lebih banyak dari pusat ke daerah. Dengan demikian mobilitas horisontal antar daerah makin meningkat. Migrasi penduduk lebih terpusat ke kota-kota di daerah ketimbang ke pedesaan. Sehingga muncul mikro politan di aerahdaerah. Hal ini berakibat sifat patembayan lebih menonjol daripada paguyuban. Demikian pula semangat yang mengutamakan putra daerah baik dalam pemerintahan maupun bisnis semakin meningkat. Bahkan persaingan antar suku-suku di daerah memperoleh peluang untuk tumbuh kembali. - Solusinya perlu penguatan simbol persatuan bangsa melalui pendidikan dan pembudayaan bangsa. b. faktor kedua adalah tantangan munculnya kawasan perdagangan bebas ASEAN (FTA). Hal ini mendorong dibukanya jalur perdagangan antara daerah-daerah yang berbatasan dengan Malysia, Brunei Darussalam, Philipina dan Singapura. Akhirnya kota-kota sepanjang selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa dan Laut perbatasan Philipina Selatan akan tumbuh lebih pesat. Persaingan kian meningkat dan dimenangkan oleh mereka yang memiliki kemampuan produktifitas yang tinggi dan sumber daya alam dengan daya komparatif yang lebih unggul. Solusinya ; kemampuan produktifitas dapat ditingkatkan apabila pemerintah memangkas habis belukar birokrasi administrasi yang menghambat kebebasan berusaha dan mengutamakan investasi pada infrastruktur keras (jalan, pelabuhan, listrik, telekomunikasi) dan infrastruktur lunak ( pendidikan, latihan ketrampilan, fasilitas perdagangan) c. faktor ketiga, dampak pertumbuhan, mobilitas dan kepadatan penduduk pada lingkungan yang cenderung menderita tekanan sehingga rusak dan tercemar. Tekanan pembangunan pada sumber alam hutan sangat terasa saat ini. Jumlah permintaan akan papan kayu melebihi kemampuan hutan menghasilkannya secara lestrai. Luas area tanah yang ditimpa erosi sudah tidak terkendali, sehingga banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Jumlah volume air tanah yang disedot sudah melewati ambang batas. Solusinya ; untuk mengatasi hal ini pembangunan perlu mengendalikan: 148

1. Besar penduduk per luas areal 2. suasana aktifitas penduduk menghasilkan barang dan jasa 3. degradasi sumber daya alam dan pencemaran lingkungan per satuan produksi barang dan jasa. 4. Hubungan Kualitas Lingkungan Dengan Kehidupan Manusia Secara garis besar, kualitas hubungan manusia dengan alam lingkungannya dapat dikelompokkan ke dalam 3 tingkatan yaitu : Kelompok yang hidupnya sangat tergantung pada lingkungan Kelompok yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya Kelompok yang mampu mempengaruhi dan memanfaatkan lingkungannya bagi kesejahteraan hidupnya. Dalam konsep ekologi, terdapat dua komponen utama, yaitu makhluk hidup dan ekologi lingkungan. Mengingat pentingnya kedudukan lingkungan pada konsep ekologi, kadang-kadang bila orang berbicara tentang ekologi sering diidentikkan dengan pengertian lingkungan. Pendekatan ekologi Pendekatan ekologi yang menelaah hubungan antar makhluk hidup yang satu dengan lainnya pada suatu ekosistem, dapat diadaptasikan dalam menelaah kehidupan manusia. James A Quinn menyatakan bahwa ekologi manusia pada bidang ilmu-ilmu sosial, meliputi geografi manusia yang menelaah hubungan antara kelompok manusia dengan lingkungan alamnya. Sedangkan Barrows menjelaskan bahwa geografi adalah ekologi manusia yang memberikan penjelasan tentang hubungan keberadaan lingkungan alam dengan persebaran dan aktifitas manusia. Pada konsep ekologi secara umum, lingkungan dibedakan atas lingkungan biotic dan abiotik, sedangkan pada konsep ekologi manusia lingkungan dibedakan atas lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Krisis ekologis, sosial, dan politik dewasa ini disebebkan tidak adanya keadilan, perdamaian, dan khususnya penghormatan dan penghargaan terhadap ciptaan. 5. Problematika Pembangunan Lingkungan Sosial Budaya Dan Lingkungan Alam Pada Masyarakat Beradab. Keterbatasan daya dukung alam Daya dukung lingkungan bersifat relatif dan memiliki keterbatasan. Bila pemanfaatan dan populasi yang dapat didukung oleh lingkungan tersebut telah melewati batas kemampuan, akan terjadi berbagai bentuk ketimpangan yang kemudian menjadi masalah bahkan bencana yang menimpa kehidupan makhluk dimuka bumi terutama manusia. Keseimbangan pemanfaatan dengan pemeliharaan Penerapan teknologi bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia selain secara jelas berdampak positif juga membawa dampak negative. Penerapannya merupakan tekanan terhadap lingkungan. Eksploitasi hutan, sungai, laut, dan lainnya yang diluar daya kemampuan lingkungan yang bersangkutan,

149

merupakan tekanan yang megubah keseimbangan sehingga menimbulkan masalah lingkungan. Demikian juga lingkungan sosial budaya, prestasi yang gemilang manusia dalam IPTEK telah merubah pola piker, pola hidup dan perilaku yang berbudaya menuju budaya baru yang didasari oleh hawa nafsunya sehingga terjadi pergeseran nilai ditengah masyarakat. Peranan manusia secara ekologis dalam lingkungan : Manusia sebagai mahkluk yang dominant secara ekologi Manusia sebagai maklhuk pembuat alat Manusia sebagai makhluk preampok Manusia sebagai makhluk penyebab evolusi Manusia sebagai makhluk pengotor Lingkungan yang ideal bagi manusia. Setiap makhluk hidup ingin agar tempat hidupnya memberikan rasa nyaman, aman dan menyenangkan untuk kelangsungan hidup individu dan makhluk sejenisnya. Suatu ekosistem mempunyai stabilitas lingkungan tertentu. Semakin besar keanekaragaman ekosistem, makin besar pula stabilitasnya. Hutan hujan tropis yang terdiri dari banyak tumbuhan dan binatang walaupun tanpa perawatan tetap akan dapat melangsungkan hidupnya. Sebaliknya lading atau sawah yang hanya terdiri dari satu jenis tumbuhan saja akan memiliki stabilitas yang kecil. Pembangunan dan lingkungan Sebagian belahan bumi yang sangat luas telah berubah menjadi medan peperangan dahsyat. Jutaan spesies sedang dimusnahkan di planet kecil ini. Sementara orang-orang miskin dicerabut dari tempat asalnya dan dipindahkan secara paksa. Lebih dari itu, lebih dari satu setengah juta orang disisihkan demi kelancaran proyek-proyek pembangunan yang didanai oleh Bank Dunia. Bahkan, di atas kertas telah ada beberapa rencana proyek semacam itu yang mungkin akan menggusur orang-orang miskin, setidak-tidaknya satu setengah juta manusia lagi (gambaran yang mengerikan itu didapat dari catatan kemiskinan Bank Dunia dalam kaitannya dengan masalah pemukiman kembali orang-orang yang terkena proyek pembangunan). Di India, pembangunan yang disponsori Bank Dunia telah menggusur lebih dari 20 juta orang dari tanah dan tempat tinggal mereka. Penggusuran itu sering tanpa disertai kompensasi. Dan jika dirunut sejak masa kemerdekaan pada tahun 1947, orang-orang yang tergusur telah mencapai 2,5 persen dari jumlah penduduk India saat ini (1993). Demikianlah, kaum tergusur yang memainkan tokoh penentang semakin banyak bermunculan dalam drama yang berpanggungkan bumi, sementara Bank Dunia tetap menjadi aktor utama yang memainkan tokoh protagonis tentunya. Pada awal tahun 1990-an, perusakan hutan telah menjadikan hutanhutan itu tinggal separonya saja bila dibandingkan dengan kondisi hutan pada tahun 1980-an (antara tahun 1978 dan 1988 telah terjadi penggundulan. Setiap tahun, lahan hutan seluas 22.000 meter persegi digunduli. Luas itu sama dengan luas wilayah Massachusetts). Meski demikian, perusakan hutan itu belum merupakan tragedi sosial dan lingkungan dalam dimensi global.cxxxvi (Penggundulan itu masih sangat mungkin terjadi lagi. Seorang ilmuwan

150

pemerintah Brasil Philip M. Fearnside mengatakan, Penggundulan itu untuk membayar krisis ekonomi Brasil.)cxxxvii Sepanjang tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an penggundulan terjadi sangat intens di dua wilayah hutan utama, yaitu di sebelah barat laut Brasil (Rondonia di utara Mato Grosso) dan wilayah hutan di sebelah tenggara hutan Amazon, yaitu di negara bagian Para. Namun, bukan kebetulan bahwa hampir semua aktivitas perusakan hutan di wilayah-wilayah tersebut berkaitan erat dengan dana proyek raksasa yang didanai Bank Dunia, yaitu proyek pembangunan infrastruktur Polonoroeste dan Carajas. Proyek Polonoroeste berupa pembangunan jalan dan pengembangan permukiman untuk pekerja perkebunan, sedangkan proyek Carajas adalah pembangunan jaringan transportasi kereta api dan pembangunan daerah pertambangan. Kedua proyek itu benar-benar telah menjadi pemicu malapetaka kemanusiaan dan ekologis yang masih saja berlanjut, bahkan setelah pinjaman bertahap Bank Dunia selesai diberikan.cxxxviii Proyek Polonoroeste telah mengubah Rondonia wilayah yang luasnya kira-kira sama dengan luas Oregon atau Inggris menjadi wilayah dengan kerusakan hutan terluas di Amazon. Sejak beroperasinya Proyek Polonoroeste, kerusakan hutan terus meningkat, yaitu dari 1,7 persen pada tahun 1978 menjadi 16,1 persen pada tahun 1991.6 Pada pertengahan tahun 1980-an, kebakaran hutan Rondonia menjadi fokus utama riset NASA. Sedemikian luas kebakaran hutan itu, yang disebabkan ulah manusia, sehingga areal yang rusak dapat dilihat dari angkasa luar. Penyakit mulai mengancam nyawa orang-orang yang tergusur dan penduduk asli. Hampir seratus persen penduduk di beberapa tempat terjangkit malaria, dan lebih dari 250.000 orang telah tertular. Beberapa suku Indian terancam pelbagai penyakit, mulai dari wabah campak sampai influensa. Selain itu, angka kematian bayi mencapai 50 dan 25 persen di dua suku yang sempat dihubungi.cxxxix Pada tahun 1987 Bank Dunia melaporkan (fakta yang sempat dibocorkan pers Brasil), di Rondonia telah terjadi penjarahan tanah Indian secara sistematis, korupsi besar-besaran, penggelapan uang di badan pemerintah yang memberi perlindungan terhadap suku Indian (yaitu FUNAI), wabah TBC, campak, dan malaria yang semakin merajalela di permukiman penduduk asli.cxl Sampai tahun 1993, banyak permukiman suku Indian yang termasuk dalam wilayah kerja Proyek Polonoroeste tidak menerima perlindungan penuh seperti yang dijanjikan. Sementara itu, di ujung lain lembah Amazon, tepatnya di sebelah tenggara negara bagian Para, selama tahun 1980-an terjadi perusakan hutan yang lebih luas dibandingkan dengan perusakan hutan di Rondonia. Sampai akhir tahun 1990, hutan seluas sekitar 150.000 kilometer persegi telah dirusak demi kelancaran sebuah proyek raksasa: Greater Carajas Program. Dan lebih dari tiga perempat perusakan hutan itu terjadi di salah satu sisi rel kereta api sepanjang 780 kilometer, yang pembuatannya didanai Bank Dunia pada tahun 1982. Kisah tragis perusakan hutan itu dimulai saat 304 juta dolar AS pinjaman Bank Dunia diberikan kepada Companhia Vale do Rio Doce (CVRD), sebuah perusahaan pertambangan milik pemerintah Brasil. Kemudian jaringan transportasi kereta api pun dibangun dengan memakai dana pinjaman itu, yang membentang dari pusat cadangan bijih besi sampai pelabuhan laut di negara bagian Sao Luis. Selain

151

pembangunan jaringan transportasi kereta api, proyek Bank Dunia juga mendukung pembangunan penambangan bijih besi Carajas di salah satu ujungnya, dan konstruksi pangkalan bawah air Sao Luis sebagai ujung lain jaringan transportasi kereta api itu. Ketika proyek peleburan berlangsung, tanah-tanah hutan orang Indian dan cagar alam yang ada pun terancam, karena proyek tersebut telah menarik perhatian para pengejar laba di bidang arang kayu. Sampai dengan tahun 1987, enam proyek industri telah didirikan, empat di antaranya adalah proyek peleburan pig iron. Jika semua proyek itu berlangsung, maka akan terjadi perusakan hutan seluas 1.500 kilometer persegi per tahun. Dengan demikian, bisa dipastikan dalam waktu 10 tahun areal hutan yang luasnya melebihi luas wilayah Wisconsin akan gundul. Proyek-proyek tersebut merupakan contoh proyek ceroboh dan berpandangan sempit, karena hanya mengandalkan subsidi pajak besar-besaran dan eksploitasi hutan tropis untuk dijadikan bahan arang kayu. Dan, tentu saja, dengan proyek semacam itu sumber arang kayu akan habis dalam kurun waktu belasan tahun.cxli Transmigrasi Proyek pemindahan penduduk sebagai bagian dari proyek pertanian yang dibiayai Bank Dunia tidak hanya terjadi di Brasil. Antara tahun 1976 dan 1986, Bank Dunia mengucurkan pinjaman 630 juta dolar AS) untuk menopang proyek pemindahan penduduk yang paling ambisius di dunia: transmigrasi di Indonesia.cxlii Tujuannya sederhana, yaitu memindahkan jutaan orang miskin dari daerah berpenduduk padat Jawa, Lombok, Bali, dan Madura (yang selanjutnya disebut daerah asal) ke pulau-pulau seperti Kalimantan, Irian Jaya, dan Sumatra (selanjutnya dipakai istilah daerah tujuan). Di daerah tujuan terdapat 10 persen hutan hujan dunia. Selain itu, di daerah-daerah tersebut juga berdiam berbagai suku asli non-Jawa. Program transmigrasi di Indonesia mempunyai banyak kesamaan dengan proyek Polonoroeste. Pada mulanya, proyek pemindahan penduduk itu (diharapkan) dilakukan secara sukarela. Mereka yang bersedia pindah paling tidak dalam proyek berikutnya menerima bantuan fasilitas pertanian dan pelayanan-pelayanan lain, terutama untuk menanam tanaman perkebunan seperti cokelat, kopi, dan minyak kelapa sawit untuk diekspor. Pinjaman Bank Dunia sebesar 630 juta dolar AS itu ternyata merupakan pancingan bagi donor lainnya, baik dari pemerintah negara lain maupun lembaga keuangan internasional. Pemerintah Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Asian Development Bank (ADB), UNDP, dan Food and Agriculture Organization (FAO) pun turut memberikan bantuan. Sepanjang tahun 1983, tambahan bantuan dana itu mencapai 743 juta dolar AS. Dana itu digunakan untuk pengembangan proyek perkebunan inti rakyat (nucleus astate project),c) yang merupakan bagian dari program pemindahan penduduk ke hutan tropis di Indonesia.cxliii Menurut Bank Dunia, transmigrasi di Indonesia bertujuan untuk mengatasi ledakan penduduk dan pengangguran di Jawa dan pulau-pulau padat lainnya. Transmigrasi juga menjadi alasan untuk memacu pembangunan ekonomi di daerah tujuan. Dan memang, Pulau Jawa yang luasnya sama dengan luas wilayah negara bagian New York telah menjadi salah satu tempat terpadat di bumi karena dihuni sekitar 105 juta jiwa (1993).

152

Namun, para aktivis dan kritisi hak asasi manusia dan lingkungan memandang proyek transmigrasi itu sebagai bentuk siasat politik yang disamarkan dalam wujud pembangunan. Menurut mereka, tujuan utama transmigrasi lebih bersifat geopolitis. Di Indonesia, 90 persen tanahnya telah dihuni oleh penduduk non-Jawa. Kondisi populasi yang demikian, bagi pemerintahan Soeharto dianggap tidak bisa diandalkan. Oleh karena itu dibuatlah program transmigrasi. Namun program itu mendapat reaksi keras di daerah-daerah tujuan. Di Irian Jaya, banyak suku asli telah bergerilya selama lebih dari 20 tahun, sebagai bentuk penolakan mereka terhadap kebijakan aneksasi Indonesia sejak tahun 1969 di wilayah mereka. Sebagai bentuk penolakan lainnnya, suku-suku asli tetap menyebut wilayahnya dengan nama Papua Barat, sementara pemerintah Indonesia menggunakan nama Irian Jaya. Transmigrasi di Indonesia, salah satu sistem pengamanan negara yang dilakukan pemerintah Indonesia,cxliv telah menjadi proyek perang bintang Jenderal Soeharto.d) Program transmigrasi di Indonesia telah mewariskan kerusakan lingkungan. Bahkan, dokumen Bank Dunia pun menyatakan, sejak awal keterlibatan mereka pada akhir tahun 1970-an, program tersebut telah mengorbankan 15.000 sampai 20.000 kilometer persegi hutan tropis. Pada kenyataannya, paling tidak 40.000 sampai 50.000 kilometer persegi hutan tropis yang menjadi korban (4 persen dari hutan di Indonesia dan 3 persen dari hutan tropis yang tersisa di dunia).cxlv Riset pemerintah Indonesia pada tahun 1989 menyebutkan, perpindahan penduduk baik yang didanai maupun tidak ke daerah hutan bakau dan rawa-rawa di Indonesia (dikenal paling luas di dunia ) telah mengubah 35.000 kilometer persegi tanah basah. Riset Bank Dunia pada akhir 1980-an menyatakan, setiap tahun sekitar 10.000 kilometer persegi hutan di Indonesia telah mengalami perusakan, dan seperempatnya disebabkan oleh proyek pembangunan baik yang dilaksanakan oleh negara maupun swasta. Dan, separo dari hutan-hutan itu telah diubah menjadi tanah pertanian demi kelancaran program transmigrasi.cxlvi Perusakan lainnya disebabkan oleh berbagai proyek penebangan kayu dan kebakaran hutan. Jika dilihat baik dari segi sosial maupun dari segi keberhasilan pembangunannya, program transmigrasi di Indonesia ternyata sama-sama menunjukkan bayangan yang suram. Pada akhir 1980-an, program transmigrasi itu justru lebih memiskinkan jutaan orang miskin. Tempat-tempat pemukiman transmigran, yang berasal dari hutan bakau dan tanah basah, selalu dibayangbayangi berbagai bencana lingkungan: tanah yang kandungan asamnya tinggi, bahaya banjir, ladang pertanian yang tidak berguna, wabah serangga, tikus, dan babi liar. Kondisi buruk itu masih ditambah beberapa persoalan yang muncul akibat kelemahan perencanaan proyek seperti jeleknya jalan menuju pasar terdekat. Situasi yang mirip dengan Polonoroeste, Brasil, juga terjadi dalam program transmigrasi di Indonesia: bantuan pertanian tidak kunjung datang. Akan tetapi, karena sudah telanjur, banyak transmigran akhirnya mencoba tetap bertani di tanah-tanah yang tidak subur sekadar untuk bertahan hidup. Ada pula yang memilih pindah ke kota-kota kumuh di sekitar daerah tujuan. Sekitar 40-50 persen transmigran yang mendapat permukiman di daerah bekas tanah basah dan rawarawa memilih pindah dari lokasi permukiman ke kota.cxlvii

153

Menurut laporan Bank Dunia, tahun 1986, 50 persen keluarga transmigran hidup di bawah garis kemiskinan. Diperkirakan, pada tahun itu pendapatan mereka 540 dolar AS per tahun, sementara 20 persen transmigran lainnya berada di bawah garis subsisten (sangat miskin).cxlviii Fakta itu jelas mengherankan, karena sebenarnya biaya rata-rata untuk merelokasi sebuah keluarga transmigran dapat menjamin kehidupan keluarga tersebut di atas garis kemiskinan selama paling tidak 13 tahun. Pada akhir tahun 1980-an, survei yang dilakukan oleh pemerintah Prancis menyatakan bahwa 80 persen dari daerah transmigrasi di Indonesia gagal memperbaiki standar kehidupan transmigran.cxlix Kondisi paling buruk terjadi di Irian Jaya. Bantuan yang kelima dari Bank Dunia telah dimanfaatkan untuk memindahkan sekitar 15.000 keluarga atau lebih dari 75.000 orang ke Pulau Cendrawasih. Dalam program transmigrasi itu, pemerintah Indonesia berharap dapat merekrut transmigran yang mendapat sponsor yang sama jumlahnya dengan transmigran swakarsa. Dan sampai tahun 1990, lebih dari 300.000 orang Jawa telah pindah ke Irian Jaya.cl Irian Jaya sebenarnya merupakan cagar alam terluas di dunia, tempat keanekaragaman hayati berkembang biak dengan bebas. Seluas 417.000 kilometer persegi wilayahnya merupakan tanah basah dan hutan hujan. Irian Jaya berpendukuk 1,2 juta jiwa yang menggunakan 224 bahasa, dan 800.000 penduduknya merupakan suku Melanisia. Banyak kritikus menyatakan, transmigrasi di Irian Jaya tak lebih dari program jawanisasi ke daerah-daerah basis para gerilyawan yang menentang pemerintah Indonesia sejak tahun 1969. Banyak permukiman transmigran dibangun di dekat perbatasan Papua Nugini. Pemilihan tempat pemukiman yang demikian agak mencurigakan karena Organisasi Papua Merdeka (OPM) memusatkan aktivitasnya di daerah-daerah terpencil Papua Nugini sebagai tempat pengungsian yang aman dari kejaran pasukan Indonesia.cli Kota-kota di Irian Jaya Merauke dan Jayapura akhirnya dipenuhi pengungsi yang berasal dari daerah transmigran yang gagal. Fenomena pengungsi itu membuat komposisi penduduk di Merauke pun berubah. Di Merauke, penduduk asli Irian hanya sepertiga dari total jumlah penduduk kota tersebut. Sementara itu, kaum pengungsi atau bekas transmigran di Merauke akhirnya bernasib sama seperti penduduk miskin di Jawa: menjadi pekerja seksual dan pelinting rokok. Jadi, transmigrasi di Indonesia telah mengusir penduduk asli Irian dari tanah mereka dan menimbulkan konflik yang disertai kekerasan. Sebagai contoh, pada tahun 1988 di sebelah utara Arso IV, sebuah permukiman transmigran, terjadi kerusuhan. Pada insiden tersebut penduduk asli Irian membantai 13 transmigran dan melukai banyak orang lainnya. Pada tahun 1989 juga terjadi pembunuhan di dua permukiman transmigran, yaitu Arso I dan Arso II.clii Revolusi Hijau Dampak revolusi hijau menurut Vandana shiva revolusi hijau telah menyebabkan berkurangnya keanekaragaman genetika, meningkatnya kerawanan terhadap hama, terjadinya erosi tanah, kekurangan sumber air, menurunnya kesuburan tanah, terkontaminasinya lapisan tanah, kurangnya makanan bergizi bagi penduduk setempat, penggusuran secara besar-besaran petani gurem dari lahan pertanian, terjadinya kemiskinan di daerah pedesaan, meningkatkan kecemburuan sosial dan konflik. Yang mendapatkan keuntungan dari revolusi

154

hijau ini adalah industri agrokimia, perusahaan-perusahaan petrokimia, pembuat mesin-mesin pertanian, pembuat bendungan dan para tuan tanah (Ecology for beginners, Croall and Williams) Khususnya di Indonesia kebijakan pangan pada fase produksi meminta perluasan lahan pertanian. Korban pertama adalah hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, bahkan rawa-rawa. Akibatnya jelas kerusakan ekosistem disertai punahnya ribuan spesies endemic di wilayah tersebut. Selain itu fakta menunjukkan FAO melarang penggunaan 57 jenis pestisida karena membahayakan kesehatan. Namun ternyata sebagian besar pestisida tersebut beredar di Indonesia dan digunakan oleh petani. Beberapa pestisida berbasis klorin atau organoklorin seperti DDT, dioxin, aldrin, dieldrin, endrin, chlordane, heptachlor, mirex, hexachlorobenzen, toxaphene, furans adalah pestisida atau polutan yang dapat menyebabkan penyakit kanker. Zat-zat kimia tersebut juga mempengaruhi sistem metabolisme, kekebalan tubuh, dan mempengaruhi fungsi otak manusia.cliii Menurut laporan UNDP tahun 1998, sebanyak 2,7 juta orang setiap tahun meninggal akibat pencemaran lingkungan lewat polusi udara karena emisi-emisi industri, gas buang kendaraan bermotor dan bahan bakar fosil yang dibakar di rumah-rumah. Karenanya, manusia menderita kerusakan pernafasan, penyakit jantung dan paru-paru serta kanker. Sebanyak 2,2 juta manusia yang meninggal berada di pedesaan terkena polusi udara di ruangan karena pembakaran bahan baker tradisional. Laporan UNDP ini semakin mengerikan lagi manakala ditemukan sebanyak 2 juta anak pertahunmeninggal akibat air kotor. Aliran-aliran beracun seperti dioksin, pestisida, organoklorin, minyak, asam, alkali, dan logam-logam berat seperti cadmium dan timbale dari pabrik, pertambangan dan pabrik kimia telah mengkontaminasi saluran air utama di seluruh bagian dunia. Di Indonesia sendiri eksploitasi alam dan degradasi sumber daya alam sangat memprihatinkan. Sebagai contoh, kebakaran dan penebangan hutan besar-besaran di Indonesia di tahun-tahun silam telah mengakibatkan degradasi tanah, sehingga menempatkan berjuta-juta rakyat miskin dalam resiko kelaparan. Beberapa puluh tahun silam, masyarakat agraris di tepi Bengawan Solo mulai Jawa Tengah hingga Jawa Timur mengenal musim Pladu (ikan mabuk akrena air keruh akibat hujan) sebagai andalan menutupi kebutuhan gizi keluarga sekaligus rezeki. Panen alami ikan ramai-ramai itu merupakan kearifan tradisional yang kini tidak dikenal lagi. Berkah pladu tidak lagi mereka nikmati karena sungi berubah fungsi menjadi saluran limbah ribuan industri. Ladang tepi bengawan yang mengharap kesuburan Lumpur kiriman tidak lagi produktif dan ikut menghitam mengeluatkan bau limbah. Situasi di luar Jawa juga tidak jauh berbeda. Sungi tidak lagi menghasilkan ikan, hutan tidak lagi menjadi penopang hidup karenatelah menjadi padang ilalang. Pohon terus ditebang, baik secara legal maupun illegal.sebagian tanah dikeruk secara sewenang-wenang untuk diambil hasil tambangnya, dan tidak direklamasi, karena itu bencana terjadi dimana-mana. Data Forest Watch Indonesia (2001)cliv menyatakan bahwa dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan hutan seluas 60 juta hektar. Pada tahun 1985-1997, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,4 juta hektar pertahun. 155

Muhtadi (2003)clv menyatakan bahwa di Jawa, tingkat kerusakan kawasan hutan yang dikelola oleh PT Perhutani, sampai tahun 2001 sudah mencapai 350.000 hektar. Diperkirakan tingkat kerusakan hutan di Jawa akan meningkat hingga 500.000 hektar pada tahun 2002. Kerusakan ini tidak hanya terbatas pada kawasan hutan produksi, tetapi juga hutan lindung dan hutan alam. Sabarnudin (2001)clvi menyatakan pula bahwa eksploitasi berlebih (over exploitation), pembalakan tak leggal (illegal logging) dan merebaknya perambahan kawasan melengkapi proses destrukturisasi hutan di Indonesia. Keadaan ini makin diperparah pula oleh adanya tabrakan kebijakan-kebijakan perekonomian, sosial dan politik menyangkut sumberdaya hutan hasil rumusan berbagai pihak berdasarkan kebutuhan masing-masing, yang pada akhirnya memicu adanya persoalan kemiskinan dan ketidak adilan yang dirasakan oleh masyarakat desa hutan. Forest Watch Indonesia juga memprediksikan hutan hujan dataran rendah Kalimantan akan hilang tahun 2010. hutan-hutan lain di Sulawesi dan Sumatera diyakini akan lebih dulu hilang. Sisa-sisa hutan pegunungan dan hutan rawa-rawa di pulau-pulau akan lenyap tidak terlalu lama. Hanya Irian Jaya diperkirakan masih memiliki hutan tersisa. Setelah sungai menjadi saluran limbah, dan hutan hanya tinggal nama, baru disadari terjadi kesenjangan dan ketidakadilan. Picu konflik horisontal pun tersulut diam-diam di hampir seluruh wilayah Indonesia yang kaya sumber daya alam

TUGAS. 1. Bentuk kelompok maksimal 10 mahasiswa 2. Identifikasi masalah masalah lingkungan disekitar anda 3. buatlah analisa secara menyeluruh dari permasalahan yang anda anggap paling krusial untuk segera diselesaikan 4. rumuskan solusinya dan terapkan solusi yang telah anda rumuskan untuk permasalahan tersebut dan upayakan untuk mengikutsertakan dan bekerjasama dengan masyarakat dan pihak-pihak terkait.

156

Kroeber A.L. dan Kluckhon, C (1963), Culture : A Critical Review of Concepts and Definitions, New York. ii DAndrade, R. (1984) Culture Meaning System, dalam R.A. Shweder dan R.A LeVine (eds) Culture Theory : Essays of Mind, Self, and Emotion, Cambridge, UK iii Taylor, E.B (1958/1871) Primitive Culture : Researches in the Development of Mythologi, Religion, art and Custom, Gloucester, MA. iv Spiro, M.E (1987) Culture and Human Nature, Chocago v Schneider, D. (1968) American Kinship : A Cultural Account, Englewood Cliffs, NJ. vi Geertz, C. (1973) The Interpretation of Culture, New York. vii Malinowski, B (1922) Argonouts of The western Pasific, London. viii Benedict. R (1934) Pattern of Culture, Boston, MA. ix DAndrade, R, Culture dalam Jessica Kuper, & Adam Kuper,, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, 2000 x Swartz, M. (1991) The Way The World is : Cultural Processes and Social Relations among the Mombassa Swahili, Berkeley, CA. xi DAndrade, R, Ibid xii Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi pertama, yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1964, hal 155 xiii Kluckhohn C, dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar, edisi ke-4, Rajawali Pers, 1990 xiv Linton, R, A Study of Man, an introduction, Appleton Century-Croft. Inc., New York, 1936, hal 397 xv ..........., Ilmu Budaya Dasar,................ xvi Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi 4, Rajawali Pers, 1986 xvii Saiful Arif, Kompas, Jumat 17 Februari 2006, HTML xviii Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, butir-butir Pemikiran Kritis, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1992, hal 29-30 xix Ibid, Hal 51 xx Supardi Damono, Manusia dan Kebutuhan Adab. Makalah dalam semilokakarya, dosen ISBD, Dirjen Dikti 5-8 November 2001, hal 2. xxi Dalam, Indar Siswarini, Manusia dan Peradaban, Makalah pelatihan dosen MBB ISBD, Denpasar, Bali, 7-9 Desember, 2003, hal. 3 xxii H.P. Fairchild, Dictionary of Sosiology, Littlefield, Adam dan co, New York, 1980, hal. 41 xxiii Koentjaraningrat, Kebudayaan,Mentalitas dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta, 1990, hal. 182 xxiv Ibid. xxv F. Magnis Suseno, Etika Dasar, Kanisius, Jakarta, 1989. xxvi William Chang, Pengantar Teologi Moral, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal 83. xxvii Dalam, H.P. Fairchild, Op.Cit. xxviii Alvin Toffler, The Third Wave, William Morrow, Co., Inc, New York, 1981, hal. 10 xxix Koentjaraningrat, Op.Cit. xxx Anthony D. Smith, The Concept of Social Change, Routledge & Kegan Paul, London, 1973, hal. 62 xxxi Harsojo, Pengantar Antropologi, Binacipta, Bandung, 1967, hal 265. xxxii Encyclopaedia of The Social Sciences, Edwin Seligman (ed), dalam Ibid. xxxiii Alex Inkeles, The Modernization of Man, dalam, Ibid. xxxiv Dalam Indar Siswarini, Op. Cit. xxxv Safrudin Setia Budi, Mewujudkan Masyarakat Madani Melalui Pendidikan Dalam Perspektif Gender, Makalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, Jakarta, September 2004. xxxvi Ibid. xxxvii Sulardi, Tata Negara Indonesia Menuju Pembaruan, IKIP Malang, Malang, 1990, hal 57 xxxviii dalam Ibid.
i

Supardi Damono, Op.Cit. Ibid. xli Anna Poedjiadi, Sains Tekhnologi Masyarakat, kerjasama anatara Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal. 63. xlii Indar Siswarini, Fenomena Peradaban Indonesia Menghadapi Peradaban Dunia, Makalah pelatihan dosen MBB ISBD, Denpasar, Bali, 7-9 Desember, 2003, hal. 3. xliii Azyumardi Azra, makalah dalam rangka seminar Hari Kebangkitan Tekhnologi Nasional ke-9. Kementerian Riset dan Tekhnologi, Juni 2004. xliv F. Fukuyama dan Samuel P. Huntington, Iyubenu (Ed), The Future of The World Order : Masa Depan Peradaban dalam Cengkraman Demokrasi Liberal versus Pluralisme, Ircisod, Yogyakarta, hal. 76 xlv Ibid. xlvi Ibid. xlvii Indar Siswarini, Manusia, Keragaman dan Kesetaraan, makalah lokakarya penataran dosen MBB, proyek pendidikan tenaga akademik, Dirjen Dikti, Depdiknas, Denpasar, September 2004. xlviii M. Imarah, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Gema Insani, Jakarta, 1999, hal. 9. xlix Ibid. l dalam Ibid. li Indar Siswarini, Op.Cit. lii Parsudi Suparlan, Multikulturalisme, Semilokakarya Dosen ISBD, Dirjen Dikti, Yogyakarta, 2001. liii Parsudi Suparlan, Ibid. liv Parsudi Suparlan, Kemajemukan Amerika : Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme. Jurnal Studi Amerika, Vol. 5, Agustus- Desember 1999, Hal. 191205. lv Dalam, Parsudi Suparlan, Op.Cit. lvi Indar Siswarini, Op.Cit. lvii M. Imarah, Op.Cit. lviii Ibid. lix Ibid. lx Supardi Suparlan, Kesetaraan Warga Dan Hak Budaya Komunitif Dlam Masyarakat Majemuk Indonesia, makalah Dirjen Dikti, Jakarta lxi Sumanto, Komunikasi Antar Budaya, Makalah Dirjen Dikti, Jakrta lxii Ibid. lxiii Nurul Huda. Dkk, Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender, INPI Pact, Yogyakarta, 1998, hal. 4. lxiv Ibid. lxv Ibid. lxvi Ibid. lxvii Manneke Budiman, Feminisme Multikultural : Refleksi Sekaligus Proyeksi, dalam, Edi Hayat dan M. Surur (Ed), Perempuan Multikultural : Negosiasi dan Representasi, Desantara, Jakarta, 2005, hal. 75. lxviii Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda ? : Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, Mizan Pustaka, Bandung, 1999, hal. 118. lxix Ibid, hal. 128. lxx Ibid, hal. 150. lxxi Ibid, hal. 178. lxxii Ibid, hal. 182. lxxiii Kaelan, Pendidikan Pancasila , Edisi Reformasi 2001, Paradigma, Yogyakarta, 2001, hal. 174 lxxiv Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar, PT. Refika Aditama, Bandung, 1998, hal. 19. lxxv Kaelan, Op. Cit, hal. 176
xxxix xl

Bambang Suprijadi dan Totok Djuroto, Pendidikan Pancasila, Kajian Bersama 2004, LP3 Jatim dengan UWK Surabaya, 2004, hal. 117-119. lxxvii Munandar Sulaeman, Op.Cit, hal. 35. lxxviii F. Magnis Suseno, Etika Dasar, Kanisius, Jakarta, 1989, hal. 9 lxxix K. Bertens, Etika, Gramedia, Jakarta, 2000, hal. 13 lxxx Dalam, Bunyamin dan Kama A.H., (1997), Perkembangan Pertimbangan Moral di Kalangan Santri, IKIP, Bandung lxxxi F. Magnis Suseno, Op.Cit. hal. 17. lxxxii Dahlan Thaib, Moralitas dan Hukum, Makalah Dirjen Dikti, Jakarta, 2002 lxxxiii Muchtar Kusumaatmadja, Konsen-Konsen Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hal. 10. lxxxiv William Chang, Pengantar Teologi Moral, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal. 87 lxxxv Munandar Sulaeman, Ilmu Sosial Dasar, PT. Refika Aditama, Bandung, 2001, hal. 267. lxxxvi Ibid. lxxxvii William Chang, Op.Cit, hal. 102 lxxxviii Hanigan, dalam Ibid. lxxxix Muandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar, Op.Cit. xc Berl Kutchinsky, dalam bukunya, The Legal Consciusness, dalam Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 2004, hal. 53. xci Ibid. xcii Ibid. xciii Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, dalam, Ibid, hal. 56 xciv L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hal. 342 xcv Muchtar Kusumaatmadja, Op.Cit. xcvi Imanuel Kant, dalam Toto Suparto, Negara Tanpa Retributivisme, Kompas, 6 Nov 2006. xcvii Ibid. xcviii Kamal A. Hakam, Manusia Moral dan Hukum, Makalah Pelatihan Nasional Dosen Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat di Yogyakarta, Depdiknas, Dirjen Dikti, 2003. xcix Dalam Ibid. c Achmad Ali, Hukum dan Moralitas, Makalah Dirjen Dikti, Jakarta, 2001 ci Zen MT., Sains, Teknologi, dan hari depan manusia, PT Gramedia, Jakarta, 1982 cii Soelaeman M Moenandar, IR, MS, Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung, PT Eresco) 1995 ciii Ibid, hal 159 civ Bachtiar Rifai, Tb.H., Ketahanan nasional dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Berita LIPI No. 4, 1975 cv Sulfikar Amir, Membuka Kotak Hitam Teknologi, amirs3@rpi.edu cvi MacKenzie, D, Inventing Accuracy : A Historical Sociology of Nuclear Missile Guidance, Cambridge, 1987 cvii Ellul Jacques, The Tecnological Society, Terj John Wilkinson, New York, 1964 cviii Sastrapratedja, Teknologi dan Akibatnya Pada Manusia, Ceramah di UI Jakarta 24 september 1980 cix Freeman, C. the Economics of Industrial Innovation, 2nd edn, London, 1982
lxxvi

Clark, J.A, dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000 cxi Alvin Toffler, Future Shock, Bantam Books.,New York, 1971 cxii ibid cxiii Schumacher, Kecil itu Indah, terj LP3Es, Jakarta, 1979, hal 139 cxiv Ibid cxv Giddens, A (1999), Globalization : The Reith Lectures, London : BBC News Online. Versi Elektronik (April 2003)
cx

Haraway, D, (1970, Modest_Witness@Second_Millenium.FemaleMan_Meets_OncoMouse: Feminism & Technoscience, London: Roedledge cxvii Fukuyama, F, Our Posthuman Future : Consequences of thr Biotechnology Revolution, London : Profil Book, 2002. cxviii Giddens, A. (1999), Globalization: The Reith Lectures, London : BBC News Online. Versi Elektronik (April 2003( bisa diakses di http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm cxix Margaret Farley, Feminist Theology and Bioethics dalam Loades, Ann, Feminist Theology : A Reader (London : SPCK&W/JKP,1990) hal 246. cxx Vandana Shiva, Bebas Dari Pembangunan (Jakarta : YOI & KONPHALINDO, 1997), hal 6 cxxi Sulfikar Amir, Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial amirs3@rpi.edu cxxii Toinbee, A., Mankind and Mother Earth, Oxford, 1976 cxxiii Yoshiko Isshiki, Eco-Feminism in the 21 st Century, dalam In God,s Image Vol.19 No.3 September 2000, hal 27 cxxiv Freddy Buntaran, Saudari Bumi Saudara Manusia, (Yogyakarta, Kanisius) 1996 cxxv Ibid,. cxxvi Hanne Strong, Ecological and Spiritual Revolusion, dalam Our Planet Vol.7 No.3.1995, hal 25 cxxvii Lihat tulisan Fukuoka, tanpa judul (tanpa penerbit,1991) hal 153 cxxviii Lovelock, J. , Gaia : The Practical science of Planetary Medicine, Stroud (1992) cxxix ORiordan, T., Environmentalism, Londod (1981 cxxx ORiordan, T. dan Cameron , J, Intepreting The Precautionary Principle, London, 1994 cxxxi Pearce, D.W., Turner, R.K., dan Bateman, I. En Introduction to environtmental Aconomics, London, 1993. cxxxii ORiordan, T. dan Sewell, W.R.D, From Project Appraisal to Policy Review, Chichester, 1981 cxxxiii Sachs, W. The Politics of Global Ecology, London, 1993. cxxxiv ORiordan, T, dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000 cxxxv Pearce, D.W, dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000 cxxxvi Philip M. Fearnside, Deforestation in Contemporary Brazilian Amazonia: The Effect of Population and Land Tenure, naskah untuk dipublikasikan dalam Ambio , vol. 22, akhir 1993, hal. 7. cxxxvii Philip M. Fearnside dan Judy M. Rankin, Jari and Carajas: The Uncertain Future of Large Silvicultural Plantations in the Amazon, Interciencia, vol. 7, no. 6 (NovemberDesember 1982), 326. cxxxviii Jean Paul Malingreau dan Compton J. Tucker, Large Scale Deforestation in Southwestern Amazon Basin of Brazil,Ambio, vol. 17, no. 1, hal. 49-55; cxxxix Linda Greenbaum, The Failure to Protect Tribal Peoples: The Polonoroeste Case in Brazil, Cultural Survival Quarterly, vol. 8 (Desember 1984), 76-77. cxl Kido Guerra dan Cleber Praxedes, Bird Relata Incompetencia da Funai no Polonoroeste, Journal do Brasil (Rio de Janeiro), 23 Juli 1987, caderno 1,5. cxli Bruce Rich, Menggadaikan Bumi: Bank Dunia, Penghancuran Lingkungan, dan Krisis Pembangunan (Mortgaging the Earth: The World Bank, Environmental Impoverishment and the Crisis of Development), Beacon Press, Boston, Massachusetts, USA, 1994, Edisi Indonesia diterbitkan oleh INFID cxlii Bank Dunia, Indonesia Transmigration Sector Review (Washington D.C.: Bank Dunia, 24 Oktober 1986), 157. cxliii Ibid, 162; IBRD, Statement of Loans, 31 Agustus 1991, vol. 1 (Afrika dan Asia), 165206.
cxvi

Indonesias Transmigration Programme: A Special Report in Collaboration with Survival International and Tapol, Ecologist, vol. 16, no. 2/3 (1986). Dalam....................... cxlv Lihat Bank Dunia, Indonesia Transmigration Sector Review, 94-97, 102. Selama periode 1980-1985 (termasuk Pelita III) Bank Dunia memperkirakan sekitar 10.000 kilometer persegi hutan telah dirusak (op. cit., 96). Dokumen Bank Dunia untuk Indonesia Januari 1990 yang dikutip di atas memperkirakan bahwa lahan yang sudah dibuka pada dekade 1980-an sudah mencapai 20.000 kilometer persegi, lahan itu dulunya tidak sepenuhnya hutan. Angka yang dikedepankan Bank Dunia itu sangat rendah karena rata-rata tiap keluarga mendapat tiga perempat hektare lahan yang sebelumnya berupa hutan. Sebuah studi yang dilakukan oleh tiga kementerian Indonesia yang bekerja sama dengan London-based Intenational Institute for Environment and Development (IIED) mencatat, jumlah areal hutan yang diubah menjadi lahan pertanian adalah sangat kecil. Kegagalan program transmigrasi dalam mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan mengakibatkan banyak keluarga meninggalkan tempat transmigran setelah dua sampai tiga tahun menjadi peladang berpindah atau penebang liar. cxlvi Bank Dunia, Indonesia: Sustainable Development of Forests, Land, and Water (Washington D. C.: Bank Dunia, 1990), xx-xxi. cxlvii NDRC dan WALHI, Bogged Down, 7. cxlviii Bank Dunia, Indonesia Transmigration Sector Review, xiv-xv. cxlix Carolyn Marr, Uprooting People, Destroying Cultures, Indonesiasosial Transmigration Program Multinational Monitor, Oktober 1990, 12-15. cl Jumlah transmigran di Irian Jaya berasal dari tulisan George Monbiot, The Transmigration Fiasco, Geographical Magazine, Mei 1989, 30 (artikel ini memberikan gambaran ringkas tentang problem pokok pada program transmigrasi di Irian Jaya); dan Bank Dunia untuk Indonesia, Transmigration in Indonesia. cli Lihat Marcus Colchester, The Struggle for Land: Tribal Peoples in the Face of the Transmigration Program, Ecologist, vol. 16, no. 2 dan 3 (1986), 11-116. Mengenai laporan kritis tentang transmigrasi di Irian Jaya, lihat George Monbiot, Poisoned Arrows (London: Michael Joseph, 1989). clii Amnesti Internasional, Indonesia: Continuing Human Rights Violations in Irian Jaya (April 1991), Amesti Internasional, sekretariat London. cliii Pesticide Monitor, Vol 6 no 3, Oct 1998 PSRs Environment & Health Program : Pesticides and Kids : A Primer for Primary Care Physicians cliv Forest Watch Indonesia, 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch, Bogor. clv Muhtadi, D., 2003. Derita Sepanjang Masa Rakyat Jawa. Harian KOMPAS, 9 Pebruari. PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta. clvi Sabarnudin, S., 2001. Rekonsiliasi Nasional untuk Menyelamatkan Hutan. Makalah Presentasi Kelompok pada Konggres Kehutanan Indonesia III, Jakarta: 1-11.
cxliv

You might also like