You are on page 1of 310

Modul Pelatihan

Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender

Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender


ISBN 979-25-7391-7

Diterbitkan oleh Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)

Cetakan Pertama Edisi Revisi, Oktober 2008

Dilarang memperbanyak tulisan dalam buku ini, sebagian atau seluruhnya, dalam bentuk dan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit

Penulis

: Eva K. Sundari, Hana Satriyo, Lily Purba, Maya Rostanty, Susana Dewi R. dan Y. Hendra Penulis Edisi Revisi : Maya Rostanty, Mimin Rukmini, Maryati, Fitria, Dini Mentari Reviewer Edisi Revisi : Gondan P. Renosari Editor : Mimin Rukmini Tata Letak : Agus Wiyono

Penerbit Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Jl. Tebet Utara I F No. 6 Jakarta Selatan 12820 Telp. : (62-21) 8379 0541, 7098 6724 Fax : (62-21) 8379 0541 E-mail : pattiro@cbn.net.id pattiro@yahoo.com

ii

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Edisi Revisi

Modul Pelatihan

Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender


Eva K. Sundari Maya Rostanty Hana Satriyo Mimin Rukmini Lily Purba Maryati Fitria Dini Mentari Susana Dewi R Y. Hendra

iii

Kata Pengantar Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI


Assalamualaikum Wr. Wb.

Setelah 60 tahun Kemerdekaan Indonesia, tingkat kesejahteraan (kesehatan pendidikan, dan perekonomian) perempuan Indonesia masih rendah. Hal itu tercermin dari Human Development Index (HDI) dan Gender Development Index (GDT) Indonesia yang masih rendah. Demikian pula dalam Gender Empowerment Measurement (GEM), Indonesia belum berada pada posisi yang menggembirakan. Hal ini ditandai rendahnya tingkat kesejahteraan perempuan Indonesia, termarjinalisasinya sebagian besar perempuan, banyaknya jumlah kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, rendahnya akses perempuan terhadap faktor-faktor produktif, tingginya angka kematian ibu (AKI), rendahnya akses perempuan terhadap pelayanan publik yang adil dan berkualitas, dan berbagai permasalahan lainnya. Tingkat kesejahteraan perempuan yang rendah ini juga berakibat terhadap rentannya kehidupan keluarga. Karena itu, untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan Indonesia, perlu diupayakan cara-cara wilayah serta jaringan kerja baru untuk mempersempit kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan, dan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender yang lebih cepat. Salah satu cara yang diusulkan adalah tata kelola baru di bidang anggaran yang lebih transparan, akuntabel, serta lebih partisipatif dan responsif terhadap keadilan dan kesetaraan gender. Buku yang berupa modul pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender untuk multistakeholders ini merupakan upaya agar tata kelola pemerintahan lebih memperhatikan aspek gender dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya. Dengan demikian anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), dalam hal ini di tingkat Kabupaten/Kota, memiliki dampak untuk mewujudkan kesetaraan gender. Saya berharap buku ini menjadi resep ataupun `blue print untuk sebuah perubahan sosial. Di samping itu, buku ini menjadi sarana belajar untuk mengeksplorasi pemahaman serta mengadaptasi pengalaman dalam isu-isu yang berhubungan dengan gender, perencanaan kebijakan pembangunan, dan pengimplementasian penganggaran sesuai dengan konteks lokal. Buku ini juga hadir tepat, yakni ketika masyarakat sedang menjalankan reformasi tata pemerintahan, sehingga akan sangat berguna bagi para pelaku pembangunan dan pengambil keputusan di lapangan dan para penyusun kebijakan pembangunan. Kami juga yakin bahwa buku ini dapat menyebarkan gagasan-gagasan gender serta anggaran

iv

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Kata Pengantar

ke khalayak yang lebih luas. Di atas segalanya, kami berharap agar buku ini dapat mendorong perempuan untuk berjuang demi mendapatkan peran dalam pengambilan keputusan publik yang lebih besar.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI

Dr. Meutia Hatta Swasono

Kata Pengantar The Asia Foundation

he Asia Foundation menyambut baik diterbitkannya buku Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender sebagai intisari kegiatan pelatihan yang selama ini dilakukan oleh PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) dan sebagai jawaban atas kebutuhan di masyarakat tentang pentingnya mewujudkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang responsif gender. Sistem penganggaran di Indonesia di era desentralisasi telah mengalami beberapa perubahan. Sistem anggaran juga kini mengacu pada anggaran berbasis kinerja yang diharapkan bisa lebih mengoptimalkan penggunaan anggaran, baik membangun anggaran yang lebih efektif dan efisien maupun mendorong akuntabilitas pemerintah dalam meningkatkan kinerjanya. Namun demikian, pelaksanaan di tingkat daerah masih dirasakan belum tepat dan bias terhadap kebutuhan dan prioritas kebutuhan masyarakat miskin, khususnya kelompok perempuan yang marjinal. Selain itu, tidak serta-merta mengurangi kesenjangan gender yang ada di masyarakat. Alokasi anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan yang banyak melibatkan kelompok perempuan, di mana perempuan dan anak menjadi penerima manfaat terbesar misalnya, masih kurang bahkan di beberapa daerah jumlah alokasinya menurun. Secara umum, alokasi untuk keperluan biaya aparat pemerintah seperti gaji dan biaya operasional lebih besar dibandingkan untuk biaya pelayananan publik. Pemerintah daerah kini memiliki kewenangan mengelola anggaran yang sebelumnya tidak dimiliki dalam hampir semua sektor pembangunan. Dengan demikian, amatlah penting jika perspektif dan kebutuhan perempuan diperhatikan dalam proses pengambilan keputusan pembangunan dan anggaran. Kurangnya keterbukaan di kalangan aparatur pemerintah saat ini, membuat penyusunan anggaran tidak peka terhadap keterlibatan perempuan serta penentuan prioritas program bagi pemenuhan kebutuhan kelompok masyarakat miskin menjadi kurang jelas. Lemahnya akuntabilitas juga mendorong terjadinya penyimpangan penggunaan anggaran dan mengabaikan dampak anggaran terhadap perempuan dan laki-laki secara adil. Kami berpendapat, perempuan yang kerap terlupakan keberadaannya di ruang publik, harus menjadi peserta aktif dalam berbagai proses pembangunan di mana sumber daya dialokasikan, kebijakan ditentukan, dan hukum serta peraturan ditetapkan. Melihat pentingnya anggaran dan pengaruhnya pada perekonomian secara luas, maka semakin penting juga upaya untuk mendorong anggaran lebih responsif gender.

Dari berbagai pengertian yang dikembangkan di dunia tentang anggaran responsif gender, satu pengertian yang cukup komprehensif digunakan oleh mitra-mitra The Asia Foundation di Indonesia, termasuk PATTIRO adalah dengan merujuk pada analisis dari dampak anggaran belanja dan pendapatan pemerintah terhadap perempuan dan lakilaki secara adil. Anggaran responsif gender bukanlah merupakan anggaran yang terpisah bagi perempuan dan juga bukan ditujukan untuk mendorong peningkatan anggaran bagi

vi

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Kata Pengantar

program khusus untuk perempuan. Tujuan utamanya adalah mendorong pemerintah membuat kebijakan yang dapat disesuaikan dengan sumber daya yang ada dan dialokasikan ulang untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan gender. Dengan pengertian dan perhatian pada masalah-masalah tersebut di atas, maka upaya membangun good governance atau tata pemerintahan yang baik menjadi pilar penting dalam mengintegrasikan perspektif gender dalam proses penganggaran. Transparansi, akuntabilitas dan partisipasi menjadi prinsip-prinsip penting pendekatan dalam modul ini yang ditujukan bagi upaya membangun sinergi multipihak dalam proses penganggaran. Usaha PATTIRO sebagai organisasi yang peduli terhadap partisipasi masyarakat dan multipihak dalam pembuatan APBD, patut dihargai terutama dalam mengumpulkan pengalaman dan bahan-bahan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam perencanaan dan penganggaran yang responsif gender. Salah satu kekuatan dari Modul ini adalah rincinya pembahasan tentang hal-hal apa yang harus diperhatikan dalam upaya mengintegrasian gender ke dalam pembahasan anggaran. Modul ini sebagai bahan acuan tentunya tidak menjawab semua kebutuhan atas peningkatan keterampilan dan pengetahuan tentang proses pengambilan keputusan dan hasil anggaran. Masih diperlukan upaya strategis lainnya seperti pemberian bantuan teknis secara sektoral kepada pemerintah daerah, anggota parlemen dan multipihak lainnya; kegiatan advokasi untuk menciptakan mekanisme dan kebijakan yang mengarah kepada terwujudnya anggaran yang responsif gender dan; pelatihan di tingkat masyarakat, khususnya kelompok perempuan, yang memampukan mereka berperan serta dalam pengambilan keputusan publik. Akhir kata, kami berharap buku ini akan bisa menjadi bahan acuan, baik bagi aparat pemerintah, anggota parlemen, civil society, organisasi pemerintah, dan kelompok perempuan yang ingin secara aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat publik. Selamat, kami sampaikan kepada tim penulis dan juga para pembaca yang nantinya diharapkan dapat memberikan masukan perbaikan yang diperlukan untuk penyempurnaan modul ini.The Asia Foundation juga mengucapkan terima kasih kepada Canadian International Development Agency (CIDA) yang telah memberikan dukungan dana bagi penerbitan buku ini dan perkembangan Gender Budget Initiative di Indonesia.

Douglas E. Ramage

Country Representative The Asia Foundation

vii

Kata Pengantar Penulis

emerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mendorong tercapainya kesetaraan gender sebagai salah satu tujuan pembangunan. Hal ini bisa dilihat pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, terutama di Bab 16 yang memuat tentang peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak. Agar tujuan tersebut bisa terwujud, strategi pengarusutamaan gender dalam semua kebijakan dan program di semua sektor dan level menjadi kemestian yang harus dijalankan. Untuk mempercepat pelaksanaan strategi pengarusutamaan ini, pemerintah telah menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 2000, yang kemudian ditindaklanjuti oleh menteri dalam negeri dengan mengeluarkan Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah. Kepmendagri ini menjadi landasan hukum pelaksanaan PUG di daerah. Dalam Kepmendagri ini disebutkan bahwa perencanaan yang responsif gender harus diikuti dengan penganggaran yang responsif gender pula. Di sisi lain, tim penulis melihat bahwa masih sedikit sumber referensi mengenai implementasi strategi pengarusutamaan gender, mulai dari perencanaan sampai penganggaran yang sesuai dengan konteks Indonesia. Dari sinilah gagasan untuk menyusun modul ini hadir. Modul ini didesain dengan menggunakan pendekatan kemitraan (partnership) antara pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat sipil. Pendekatan ini dipilih bukan tanpa alasan. Pengalaman di Tanzania dan Kota Semarang menunjukkan bahwa strategi kemitraan cukup efektif mendorong terjadinya perubahan. Masing-masing pihak bisa memberikan kontribusinya secara optimal sesuai dengan peran masing-masing. Dari sisi proses, penyusunan modul ini membutuhkan waktu yang relatif lama. Diawali dengan diskusi tim penulis di kantor The Asia Foundation pada akhir Mei 2005, lalu ditindaklanjuti penulisan draf pertama. Setelah itu, dilakukan uji coba di Makassar pada tanggal 16-20 Juni 2005. Uji coba kemudian dilanjutkan di Kota Palu (Sulawesi Tengah), Kota Watampone (Bone, Sulawesi Selatan) dan Polman (Sulawesi Barat). Untuk memperkaya masukan demi perbaikan modul ini, dilakukan juga Uji Publik di Hotel Santika pada 26 September 2005. Jelas sudah, modul ini tidak mungkin bisa hadir ke hadapan Anda tanpa dukungan dan partisipasi dari banyak pihak. Untuk itu izinkanlah tim penulis mengucapkan terima kasih kepada:

Ibu Meutia Hatta, Menteri Pemberdayaan Perempuan, yang telah bersedia memberikan kata pengantarnya Bapak Saut Sihombing dan Bu Endang dari Depdagri yang telah banyak memberikan masukan atas materi modul ini Ani Sutjipto, dan Maria dari The Asia Foundation yang telah sabar mendampingi dan memberikan banyak masukan dalam proses penyusunan modul ini

viii

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Kata Pengantar

Arif Nur Alam (FITRA) yang telah menjadi teman diskusi teraktif dan berkontributor banyak dalam penyusunan modul ini Sri Mastuti dan Rinusu (CIBA), terima kasih atas masukannya Semua peserta pelatihan di Makassar, Watampone, Palu, dan Polman. Prosiding pelatihan telah memberikan banyak inspirasi bagi perbaikan modul Semua peserta Uji Publik di Hotel Santika, masukan dari Anda sungguh sangat berarti bagi penyempurnaan modul ini Teman-teman di PATTIRO (Adhe, Roi, Danar, Ilham, Sad, Pak Syahrir, Dini, dan juga Anto). Terima kasih untuk segala dukungannya Mimin, Rudi, dan Agus terima kasih atas kerja kerasnya Semua pihak yang tak bisa kami sebutkan satu per satu

Kami sadar bahwa modul ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari Anda semua selalu kami nantikan. Meski demikian, terimalah persembahan kami.

Jakarta, Agustus 2006

Tim Penulis

ix

Kata Pengantar Edisi Revisi


Dalam tempo dua tahun (2006-2008) banyak regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah pusat terkait dengan perencanaan dan penganggaran daerah, antara lain Permendagri No. 59 Tahun 2007 yang berisi revisi atas Permendagri No. 13 Tahun 2006, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Permendagri No. 16 Tahun 2007 tentang Tata Cara Evaluasi RAPBD, PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, dan Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Regulasiregulasi ini berdampak pada perubahan proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Revisi atas modul ini dilatarbelakangi keinginan untuk memutakhirkan pengetahuan tentang perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja responsif gender berdasarkan regulasi terbaru dan perkembangan internasional seputar isu gender dan good governance. Informasi terkini tentang isu gender dan good governance merupakan oleh-oleh dari teman kami (Mimin Rukmini) yang mendapat kesempatan mengikuti Workshop Making Governance Gender Responsive yang diselenggarakan oleh CAPWIP pada tanggal 1018 November 2007 di Manila, Filipina. Dalam edisi revisi ini setiap sesi diperbaiki. Namun ada beberapa sesi yang direvisi secara signifikan, antara lain Sesi 5, Sesi 6 dan Sesi 7 yang dilakukan untuk merespons perubahan regulasi. Akhir kata, kami tetap menanti kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca semua.

Tim Penulis Agustus 2008

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Kata Pengantar

xi

Daftar Isi
Kata Pengantar Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI ............................... iv Kata Pengantar The Asia Foundation .............................................................................. vi Kata Pengantar Penulis ................................................................................................... viii Kata Pengantar Edisi Revisi ............................................................................................... x Pengantar ...............................................................................................................................1 Sesi 1: Mengenal APDB Responsif Gender ....................................................................7 Sesi 2: Gender dan Kemiskinan ..................................................................................... 35 Sesi 3: Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara .......................................... 69 Sesi 4: Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan ......................................... 95 Sesi 5: Proses Penyusunan dan Penetapan APBD ................................................. 123 Sesi 6: Analisis APBD ..................................................................................................... 147 Sesi 7: Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender .................................. 179 Sesi 8: Pemetaan Kekuatan ........................................................................................ 219 Sesi 9: Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender ........................................ 235 Lampiran: Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 .................. 262 Daftar Pustaka ................................................................................................................ 272 Daftar Singkatan dan Akronim ..................................................................................... 274

xii

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Pengantar

Pengantar

Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender


1. Konsep dan Filosofi
Peserta sebaiknya berasal dari berbagai pemangku kepentingan. Komposisi jumlah peserta menggambarkan multipihak (stakeholders) dalam penyusunan anggaran. Peserta yang mewakili pemerintah daerah antara lain Pejabat Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan Kantor Pemberdayaan Perempuan; anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota; dan peserta yang mewakili masyarakat sipil antara lain kelompok masyarakat miskin dan marjinal, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, dan aktivis perempuan. Komposisi peserta memperhatikan perimbangan gender. Hal ini untuk memunculkan pengalaman dan pendapat yang beragam sekaligus mencegah terjadinya manipulasi forum oleh kelompok mayoritas. Pelibatan organisasi lokal. Melibatkan organisasi lokal dalam penyelenggaraan pelatihan amatlah penting. Mitra lokal ini tak hanya membantu mengidentifikasi calon peserta dan menyediakan logistik, namun juga membantu proses pembentukan jaringan stakeholders untuk mengembangkan koordinasi di daerahnya masing-masing dan antardaerah dalam jangka panjang. Pendekatan partisipatif. Modul pelatihan harus secara tulus menghormati kemampuan dan pengalaman para peserta sebagai ahli di bidangnya masing-masing. Oleh karena itu, sebagian besar sesi dalam pelatihan disusun sedemikian rupa yang memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan dan gagasan antarpeserta. Jadi bukan menggurui mereka.

2. Tujuan
Mengubah nilai dan perilaku. Pelatihan dapat mengubah nilai dan perilaku jika dirancang secara tepat dan menggunakan pendekatan partisipatif. Nilai dan perilaku yang diubah berkaitan dengan pemahaman tentang hak-hak masyarakat dalam pembangunan sebagai perwujudan hak-hak dasar di bidang sipil dan politik (Sipol) serta ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob); nilai-nilai yang dianut masyarakat terutama mengenai adanya perbedaan kepentingan perempuan dan anak-anak; pemahaman tentang jenis kelamin dan gender termasuk kepercayaan masyarakat mengenai tugas, peran, stereotip dan beban ganda; dan bagaimana semua itu dapat diakomodasi oleh pemerintah dalam menyusun perencanaan pembangunan dan penganggarannya. Perubahan kesadaran dan sikap diharapkan muncul secara serentak pada tiga pihak. Pada pemerintah daerah diharapkan tumbuh kesadaran bahwa kepentingan masyarakat merupakan tujuan utama pembangunan, sehingga muncul sikap profesional berupa orientasi kerja ke arah peningkatan pelayanan publik. Pada anggota DPRD, menjadi bertambah pengetahuan dan keterampilannya dalam melaksanakan fungsi pengawasan pembangunan dan penyusunan anggaran, yang akhirnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada masyarakat sipil, tumbuh kesadaran mengenai hak-hak mereka untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan, khususnya dalam proses perencanaan dan penganggaran. Secara umum, modul ini mengajak ketiga pihak tersebut untuk menegakkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) dalam pembangunan daerah mulai dari perencanaan pembangunan hingga penganggarannya. Harapannya, pembangunan daerah dapat terselenggara dengan memadukan perspektif gender, melalui pendekatan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas agar keadilan bagi masyarakat miskin dan marjinal dapat tercapai. Membangun komunikasi dan kerja sama. Nilai dan perilaku lain yang perlu dibangun adalah saling percaya dan kerja sama. Karena itu, modul ini juga menekankan pada upaya menjembatani dan menciptakan kerja sama antarpihak yang selama ini menolak berkomunikasi dan bekerja sama. Melalui strategi ini sikap saling curiga dan saling menyalahkan antara eksekutif, anggota DPRD dan masyarakat sipil dapat dihilangkan. Mengidentifikasi masalah yang tersembunyi dan menciptakan penyelesaiannya. Secara teoretis, setiap pelatihan akan menemukan serangkaian permasalahan. Ketika pemerintah daerah, anggota DPRD dan masyarakat sipil mulai berkomunikasi maka hambatan yang semula tidak nampak, mulai terlihat jelas. Sering kali permasalahan itu terlihat tidak penting, padahal ketika didiskusikan secara mendalam sebenarnya merupakan hambatan yang signifikan bagi terciptanya efektivitas pembangunan.

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Pengantar

3. Kelompok Sasaran
Pemerintah daerah. Tiap daerah memiliki aktor kunci yang berbeda dalam proses perencanaan dan penganggaran. Ada daerah yang Bappeda-nya memegang posisi kunci, di daerah lain Dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah(DPKD) yang lebih berpengaruh, sementara di daerah yang lain lagi, justru Sekretaris Daerah-lah yang paling berpengaruh. Mereka inilah yang menjadi sasaran pelatihan, termasuk pejabat pemerintah yang memiliki posisi strategis dan bersedia bekerja sama dengan pihak lain. Selain itu, focal point untuk pengarusutamaan gender juga penting diikutsertakan agar mereka dapat menyampaikan informasi dan menjadi motivator bagi lintas sektor.

DPRD. Setiap anggota DPRD merupakan peserta yang potensial karena berfungsi sebagai pengawas pembangunan. Apalagi DPRD juga memiliki kewenangan untuk membahas dan bahkan membatalkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang diajukan pemerintah daerah. Namun, tidak semua anggota DPRD memiliki kemauan untuk memperjuangkan perubahan dalam penganggaran. Karenanya, peserta yang hendak dilibatkan adalah mereka yang memperlihatkan kemauan untuk mendorong perubahan dan melakukan komunikasi politik yang baik dengan konstituen. Peserta pelatihan yang potensial adalah anggota DPRD yang memiliki peran strategis. Antara lain, ketua komisi, pimpinan DPRD, pimpinan fraksi dan anggota Panitia Anggaran.

Masyarakat sipil. Peserta yang potensial adalah aktivis yang mampu membangun jaringan kerja sama dengan kelompok masyarakat lainnya (seperti akademisi, media massa, dan kelompok perempuan) dan secara efektif dapat melakukan advokasi anggaran. Mereka ini diharapkan dapat menjadi motor penggerak advokasi. Selain itu, mereka yang bergerak dalam isu kemiskinan, isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan, juga dapat dipilih sebagai peserta. Kualifikasi pribadi juga menjadi prasyarat utama untuk dipilih. Kualifikasi pribadi yang dimaksud adalah: a. Berpihak pada perjuangan untuk keadilan gender dan Hak Asasi Manusia (HAM) terutama hak-hak Ekosob. Setidaknya bukan orang yang berpikiran tertutup terhadap isu-isu gender dan HAM;

b. Menunjukkan integritas moral yang mendukung penegakan good governance, seperti jujur, pro demokrasi, bertanggung jawab, dan yang paling penting memiliki keberanian membuat perubahan sekaligus menanggung konsekuensinya. Dalam advokasi anggaran ada pameo kawan pergi, musuh berdatangan; c. Memiliki kemauan untuk bekerja sama dan berkoordinasi dengan organisasi lain, termasuk pemerintah dan DPRD. Masyarakat sipil merupakan motor penggerak advokasi anggaran, maka mereka yang sudah pernah menjalin kerja sama dengan LSM lain, mempunyai kemampuan komunikasi yang baik, serta memiliki kemampuan teknis membaca anggaran dan kebijakan, merupakan calon peserta terbaik.

5. Isi
Modul pelatihan edisi revisi ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu: Bagian Pertama berkaitan dengan orientasi dasar melakukan advokasi. Bagian ini membahas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob), pemihakan pada masyarakat miskin/marjinal, dan pengenalan konsep kesetaraan gender. (Sesi 2, 3, dan 4) Bagian Kedua bertujuan memperkenalkan dan memperbaiki pemahaman tentang pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan penganggaran Anggaran Berbasis Kinerja serta bagaimana menerapkannya di berbagai sektor. (Sesi 1, 5, 6, dan 7) Bagian Ketiga menekankan pada advokasi menggunakan pendekatan multipihak. Melalui perbaikan pemahaman mengenai peran dan tanggung jawab masing-masing pihak serta bagaimana mereka dapat saling melengkapi. (Sesi 8 dan 9) Alur antarsesi adalah sebagai berikut:

Sesi 1: Mengenal APBD Responsif Gender


Tujuan: Peserta memahami logika dasar penganggaran dan memahami realitas APBD saat ini. Format: Simulasi penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Keluarga (APBK).

Sesi 2: Gender dan Kemiskinan


Tujuan: Membangun kepekaan peserta terhadap isu gender, memahami terjadinya kesenjangan gender dengan membaca Tabel Kesenjangan Gender. Format: Permainan stereotip, simulasi analisis gender dan diskusi kelompok.

Sesi 3: Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara


Tujuan: Menanamkan pemahaman kepada peserta bahwa peraturan perundangundangan dan kebijakan nasional sudah mengamanatkan pengintegrasian pengarusutamaan gender dalam pembangunan serta mengetahui masalahmasalah dalam penerapannya. Format: Diskusi panel.

Sesi 4: Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan


Tujuan: Memperkenalkan konsep pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan penganggaran sekaligus mempraktikkannya. Format: Diskusi kelompok untuk menyusun program-program pembangunan yang responsif gender.

Sesi 5: Proses Penyusunan dan Penetapan APBD


Tujuan: Peserta mengetahui titik-titik kritis pelaksanaan proses perencanaan dan penganggaran di daerahnya dengan membandingkan proses yang terjadi versus peraturan perundangan-perundangan dan kebijakan mengenai anggaran. Format: Simulasi dan diskusi pleno.

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Pengantar

Sesi 6: Analisis APBD


Tujuan: Peserta memahami struktur APBD dan dapat melakukan analisis terhadap APBD. Format: Diskusi kelompok dan presentasi.

Sesi 7: Anggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender


Tujuan: Memperkenalkan konsep Anggaran Berbasis Kinerja (ABK), dapat menganalisis RKA SKPD serta menyusun RKA responsif gender. Format: Diskusi kelompok dan presentasi.

Sesi 8: Pemetaan Kekuatan


Tujuan: Peserta mengetahui pemain kunci dalam mendorong perubahan, dan dapat mengumpulkan informasi mengenai pembuat kebijakan dengan cara yang sistematis. Format: Diskusi kelompok.

Sesi 9: Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender


Tujuan: membekali peserta dengan strategi advokasi untuk berbagai tahapan perencanaan dan penganggaran dengan menekankan pada optimalisasi peran masing-masing pihak. Format: Diskusi kelompok dan presentasi.

6. Prakondisi yang Diperlukan


Kondisi di masing-masing daerah pasti berbeda. Oleh karena itu, pelatihan haruslah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi khusus di daerah pelatihan, misalnya dengan memberi penekanan pada beberapa sesi secara khusus atau bahkan menghilangkan sebagian sesi tertentu. Modul ini disusun sedemikian rupa agar dapat digunakan secara menyeluruh di berbagai situasi. Artinya, materi pelatihan dapat dimodifikasi untuk menanggapi masalah khusus yang dihadapi peserta dari satu bidang tertentu yang ingin melaksanakan pelatihan secara terpisah. Misalnya, pejabat pemerintah lebih membutuhkan asistensi di Bagian Pertama dan Kedua, sementara sesi advokasi tidak diperlukan.

7. Kualifikasi Fasilitator
Tidak setiap orang yang berpendidikan tinggi dapat menjadi fasilitator yang baik. Mereka yang terbiasa dengan metode ceramah dalam perkuliahan akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri pada lingkungan pelatihan yang partisipatif. Pengalaman menunjukkan bahwa fasilitator yang baik memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: a. Percaya dan meyakini konsep serta filosofi yang mendasari modul ini, antara lain penghormatan pada kesederajatan manusia, dan memiliki kepekaan terhadap gender.

b. Percaya pada proses dan teknik partisipatif dalam pelatihan, termasuk percaya bahwa setiap orang adalah narasumber yang dapat berbagi pengalaman dan belajar. c. Percaya pada kebutuhan untuk mengubah perilaku daripada mengajari, menceramahi atau memamerkan pengalaman pribadi. Mampu memahami isu-isu yang dibahas dalam pelatihan sebaik mungkin. Mampu bekerja sama dengan orang lain secara baik serta dapat menerima kritik dan saran baik dari peserta maupun sesama fasilitator. Berpandangan luas, siap untuk belajar dan saling bertukar pengalaman dan pendapat. Menguasai peraturan perundangan yang terkait dengan proses perencanaan dan penganggaran, baik yang lama maupun yang baru. Antara lain Permendagri No. 15 Tahun 2008, UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 32 Tahun 2004, dan PP No. 58 Tahun 2005. Melakukan studi singkat mengenai daerah/tempat pelatihan yang meliputi: Kondisi sosial ekonomi; Konteks politik; Budaya setempat, terutama anggapan masyarakat terhadap status perempuan.

d. e.

f. g.

h.

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

SESI 1

Mengenal APBD Responsif Gender

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

Mengenal APBD Responsif Gender

Pengantar
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Permendagri No. 13 Tahun 2006). Pemerintah daerah (Pemda) memerlukan APBD untuk menciptakan keteraturan sosial, menjamin hak-hak masyarakat dan menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Penyusunan APBD idealnya mengacu pada prioritas kebutuhan masyarakat dan mengakomodasi perbedaan kebutuhan antarkelompok masyarakat, baik berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), kemampuan ekonomi, umur, lokasi geografis dan sebagainya. Penyusunan APBD selama ini dilakukan melalui proses perencanaan dan penganggaran. Pemda dan DPRD merupakan dua pihak yang berwenang menyusun APBD. Dalam proses perencanaan dan penganggaran inilah, Pemda dan DPRD dituntut partisipatif dan transparan. Partisipatif berarti penyusunan APBD melibatkan berbagai kelompok/lapisan masyarakat laki-laki dan perempuan secara langsung agar aspirasi dan kebutuhan mereka terakomodasi dalam APBD. Sementara itu, transparan berarti bahwa proses penyusunan APBD berlangsung secara terbuka (tidak tertutup) dan tersedia informasi/dokumendokumen APBD yang memadai bagi warga baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, ABPD pun menjadi responsif gender karena mengakomodasikan kebutuhan

masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan dan disusun melalui proses yang partisipatif dan transparan. Anggaran responsif gender adalah anggaran yang berpihak kepada masyarakat, memprioritaskan pembangunan manusia, dan merespons kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pada praktiknya, implementasi anggaran responsif gender dapat merespons kebutuhan berdasarkan lokasi geografis (desa-kota), kemampuan yang berbeda (normal-penyandang cacat), dan kelompok umur (anak, remaja, lansia).1

Tujuan:
Peserta memahami APBD melalui simulasi penyusunan APBK. Peserta memahami hak warga negara atas anggaran. Peserta memahami fungsi, asas umum dan prioritas anggaran. Peserta memahami konsep anggaran yang responsif gender. Peserta memahami pentingnya penerapan anggaran responsif gender. Curah pendapat Permainan APBK Presentasi

Metode:

Waktu:
120 menit

Alat dan Bahan:


Kalkulator Kertas plano Spidol Metaplan Lembar Bantu Belajar 1.1 Bahan Bacaan 1.1 Bahan Bacaan 1.2 Bahan Presentasi 1.1 Bahan Presentasi 1.2 Sesi ini secara implisit bertujuan menjalin keakraban antarpeserta, khususnya melalui simulasi permainan APBK. Fasilitator hendaknya aktif mendampingi peserta dalam simulasi permainan APBK karena biasanya proses diskusi ini amat dinamis. Fasilitator hendaknya memeriksa kembali perlengkapan teknis yang diperlukan, terutama kalkulator, agar tidak menganggu proses simulasi. Contoh hasil simulasi dapat dilihat di akhir sesi ini.

Media:

Catatan untuk Fasilitator:

Definisi ini dikembangkan oleh tim penulis modul berdasarkan konteks Indonesia, yakni kemiskinan terjadi di mana-mana , sehingga anggaran perlu berpihak kepada masyarakat. Pembangunan manusia yang responsif gender ini, harus merespons kebutuhan laki-laki dan perempuan yang berbeda, dikombinasikan dengan kebutuhan yang berbeda pula dari kelompok umur, lokasi geografis dan kemampuan masyarakat. Pemahaman atas kombinasi ini dibutuhkan karena pada dasarnya gender bersifat cross cutting atas semua faktor ketidaksetaraan. Menurut tim penulis modul, pembahasan mengenai model ketimpangan gender seperti inilah yang lebih tepat untuk konteks Indonesia.

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

Tahapan Proses:
Pembukaan (10 menit)
Fasilitator membuka sesi ini dan menjelaskan secara singkat tema yang dibahas. Fasilitator meminta peserta mengemukakan pendapatnya tentang apa yang mereka ketahui tentang APBD. Fasilitator mencatat inti pendapat masing-masing peserta tentang anggaran di kertas plano. Fasilitator mengulas secara singkat kata kunci APBD yang telah dicatat di kertas plano dan membangun kesepakatan bersama tentang pengertian APBD. Fasilitator menjelaskan bahwa kegiatan selanjutnya dalam sesi ini adalah simulasi permainan APBK. Simulasi permainan APBK dipilih karena ada kesamaan antara anggaran level keluarga dan level kabupaten/kota, yakni suatu kota/kabupaten dapat diibaratkan sebuah keluarga besar yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat. Fasilitator membagi peserta menjadi tiga kelompok dengan jumlah anggota masingmasing kelompok yang proporsional. Fasilitator membagikan Lembar Bantu Belajar 1.1 kepada semua peserta. Fasilitator menjelaskan aturan main simulasi permainan APBK yang terdapat dalam Lembar Bantu Belajar 1.1. Fasilitator memberi waktu 40 menit untuk masing-masing kelompok melakukan simulasi. Fasilitator mempersilakan ketiga kelompok bergiliran mempresentasikan hasil kerjanya. Fasilitator memberikan waktu kepada kelompok lain untuk memberikan komentar/ klarifikasi kepada kelompok yang melakukan presentasi. Fasilitator memandu diskusi dengan melemparkan beberapa pertanyaan kunci: Bagaimana proses diskusi yang terjadi dalam kelompok Anda? Seru atau biasabiasa saja? Bagaimana perasaan Anda selama mengikuti proses penentuan prioritas dan pembagian alokasi dana yang ada? Marah? Jengkel? Kecewa? Puas? Apakah setiap anggota keluarga memperoleh alokasi dana? Apakah setiap usulan anggota keluarga dapat dipenuhi? Mengapa? Siapa yang mendapat alokasi terbesar? Mengapa? Siapa yang mendapat alokasi terkecil? Mengapa? Bagaimana penentuan alokasi untuk anak/bayi yang belum bisa menyuarakan kepentingannya? Bagaimana pula dengan alokasi untuk kakek/nenek? Apakah ada upaya lain untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga, misalnya dengan utang? Jadi, bagaimana prinsip-prinsip yang baik dari APBK?

Simulasi Permainan APBK (45 menit)


Curah Pendapat (45 menit)


Fasilitator mencatat inti pendapat peserta atas pertanyaan kunci dan bersama peserta menyimpulkan beberapa hal berikut ini:

APBD mirip dengan APBK, yaitu ada sejumlah sumber pendapatan yang akan digunakan untuk mendanai berbagai pengeluaran yang didasarkan atas prioritas kebutuhan. Ada fenomena keterbatasan anggaran, yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi lebih banyak dibandingkan dana yang tersedia. Muncul pentingnya membuat prioritas kebutuhan. Proses munculnya prioritas kebutuhan adalah proses yang penuh dengan negosiasi antaranggota keluarga/kelompok masyarakat. Ada kelompok yang belum bisa menyuarakan kebutuhannya, yaitu anak kecil. Namun, kebutuhannya tetap terakomodasi ketika ibu dan bapak (sebagai pembuat keputusan) memperhatikan kesejahteraan seluruh anggota keluarganya dengan mengakomodasi kebutuhan yang khas masing-masing anggota keluarga. Adanya kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. APBD sebagaimana APBK seharusnya bisa memenuhi kebutuhan anggotanya karena APBD harus bisa menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara filosofis, anggaran diperlukan oleh negara untuk menjamin eksistensi dan membiayai pengelolaan negara. Sedangkan negara diperlukan untuk menciptakan keteraturan sosial, menjamin hak-hak masyarakat dan menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, APBD memiliki tiga fungsi utama, yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi. Ketiga fungsi itu harus dimainkan secara seimbang dan proporsional. Jangan sampai satu fungsi lebih dominan dimainkan dibandingkan fungsi lainnya. Fungsi distribusi merupakan salah satu fungsi anggaran untuk memenuhi hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) masyarakat, di mana pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhinya secara progresif. Apabila fungsi distribusi ini tidak optimal, maka akan terjadi persoalan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, terutama pada kelompok masyarakat miskin dan marginal. Ada keterkaitan antara anggaran dan persoalan hak ekosob di masyarakat, khususnya perempuan. Saat ini, anggaran belum menjalankan fungsinya dengan baik yang ditandai dengan banyaknya persoalan terkait hak ekosob yang belum terselesaikan, baik di bidang pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk mengakselerasi anggaran menjalankan fungsinya secara adil, yakni dengan menyusun anggaran yang berperspektif gender dan mengimplementasikannya secara konsisten.

Presentasi (15 menit)


Fasilitator menayangkan dan menjelaskan secara singkat Bahan Presentasi 1.1 dan 1.2, sedangkan Bahan Bacaan 1.1, Bahan Bacaan 1.2 dan Bahan Bacaan 1.3 dibagikan kepada peserta karena merupakan materi rujukan yang lebih lengkap dibandingkan bahan presentasi. Fasilitator menutup sesi dan meminta peserta untuk beristirahat sebelum melanjutkan ke sesi 2.

Penutup (5 menit)

10

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

Bahan Bacaan 1.1 Hak Warga Negara, Fungsi dan Asas Umum APBD
A. Hak Warga atas Anggaran Dasar hukum tertinggi negara kita yakni Undang-Undang Dasar 1945 mengatur secara jelas hubungan antara Negara dengan rakyatnya. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Rakyat sebagai warga negara memiliki hak-hak dasar seperti hak untuk memperoleh pendidikan , kesehatan, pekerjaan dan penghidupan yang layak (sandang, pangan, papan). Di sisi lain, negara berkewajiban memenuhi hak-hak dasar warga negara. Dan jika negara lalai dalam memenuhi kewajibannya, maka rakyat berhak untuk menuntut haknya. Secara filosofi, anggaran diperlukan untuk menjamin eksistensi negara dan untuk membiayai pengelolaan negara. Sementara itu, negara diperlukan karena tiga alasan, yaitu: 1) untuk menciptakan keteraturan sosial, 2) menjamin hak-hak masyarakat, dan 3) menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Ketiga alasan itu terkait dengan upaya menyelesaikan masalah-masalah masyarakat agar mereka bisa hidup aman, adil dan sejahtera. Pemerintah diberi amanat oleh rakyat untuk mengelola keuangan negara yang bersumber dari pajak, retribusi maupun pengelolaan kekayaan alam untuk digunakan sebesar besarnya bagi kemakmuran rakyat. Anggaran merupakan alat kebijakan negara untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak-hak rakyat, di mana rakyat memiliki hak yang besar terhadap anggaran. Rakyat berhak atas anggaran, karena: 1) Amanat UUD Tahun 1945: rakyat berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan anggaran. 2) Rakyat merupakan target utama untuk disejahterakan, sesuai dengan hakikat dan fungsi anggaran. 3) Rakyat sebagai penyumbang bagi pemasukan anggaran (APBD). Dengan demikian, hak-hak rakyat terhadap APBD adalah: 1) Mendapatkan alokasi anggaran yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan. 2) Terlibat dalam proses penganggaran (perencanaan, pembahasan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi). 3) Melakukan pengawasan terhadap APBD untuk memastikan bahwa anggaran berpihak pada rakyat dan tidak dikorupsi.

B. Fungsi Anggaran Di masa lalu penyusunan APBD lebih bersifat rutinitas. Besaran alokasi APBD tahun berikutnya akan naik secara bertahap (incremental) tanpa ada dasar yang jelas dan tanpa melihat berhasil tidaknya program-program yang dilakukan. Inilah yang dinamakan dengan Sistem Anggaran Tradisional. Namun, sistem tradisional tidak berlaku lagi dengan

11

dikeluarkannya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa sistem anggaran yang digunakan adalah anggaran berbasis kinerja. Dalam pasal 3 ayat 4, UU No.17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa APBN/APBD mempunyai enam fungsi, yaitu: 1. Fungsi otorisasi Anggaran harus menjadi dasar dalam melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. 2. Fungsi perencanaan Anggaran menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Fungsi pengawasan Anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 4. Fungsi alokasi Anggaran harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. 5. Fungsi distribusi Kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 6. Fungsi stabilisasi Anggaran menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. Di sinilah penting rasa keberpihakan dari pemerintah dan DPRD kepada kepentingan rakyat dengan tidak egois memperjuangkan alokasi anggaran yang menguntungkan dirinya sendiri. Di sisi lain, peran aktif masyarakat dibutuhkan untuk mengawal agar alokasi anggaran tepat sasaran. Dalam pasal 4, Permendagri No.13 Tahun 2006, telah jelas disebutkan tentang Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah, yang biasa disebut dengan 10 asas umum pengelolaan keuangan daerah, yaitu: 1. Tertib Keuangan daerah dikelola secara tepat waktu, tepat guna yang didukung dengan buktibukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Taat pada peraturan perundang-undangan Pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada peraturan perundang-undangan. 3. Efektif Membandingkan pengeluaran dengan hasil yang diperoleh. Melihat pencapaian hasil program dengan target yang telah ditentukan. 4. Efisien Pencapaian hasil maksimum dengan pengeluaran tertentu. 5. Ekonomis Memperoleh masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah.

12

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

6. Transparan Memakai prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas luasnya tentang keuangan daerah. 7. Bertanggung jawab Merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 8. Keadilan Keseimbangan distribusi dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. 9. Kepatutan Tindakan yang dilakukan harus proporsional dan wajar. 10. Manfaat untuk masyarakat Keuangan daerah diutamakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

13

Bahan Bacaan 1.2 Pengalaman Kabupaten Jembrana1 dan Provinsi Kalimantan Timur dalam Mengimplementasikan Kebijakan APBD
Keterbatasan anggaran akan selalu terjadi, yaitu anggaran atau sumber daya yang tersedia jauh lebih sedikit dibandingkan daftar kebutuhan yang harus dipenuhi berdasarkan pemetaan masalah di masyarakat. Penyusunan prioritas semestinya didasarkan pada hakikat anggaran, bahwa anggaran adalah uang rakyat yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, anggaran harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bentuk penyediaan layanan dasar, terutama pendidikan dan kesehatan dan upaya-upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat di sektor ekonomi. Pada praktiknya, proses penyusunan prioritas tidak selalu berjalan ideal karena kepentingan masyarakat tidak dijadikan dasar dalam menentukan prioritas. Berikut ini contoh praktik kebijakan alokasi anggaran yang telah dilakukan Pemda Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali dan Pemda Provinsi Kalimantan Timur. Satu hal yang ingin ditekankan di sini, kaya dan miskin anggaran suatu daerah tidak berbanding lurus dengan kondisi kemiskinan yang ada di daerah tersebut. Boleh jadi Kabupaten Jembrana terbatas anggaran mereka, namun mereka telah berhasil menjadi best practice pengelolaan APBD yang bermanfaat bagi kesejahteraan rakyatnya. Di sisi lain, Provinsi Kalimantan Timur yang kaya anggarannya, ternyata masih belum mampu mengoptimalkan anggarannya untuk mengangkat derajat kemiskinan masyarakatnya.

Boks 1.1 Kabupaten Jembrana: APBD Pro Rakyat


Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali adalah kabupaten dengan jumlah APBD di tahun 2001 hanya Rp 131,6 miliar dan pada 2003, menjadi Rp 193,1 miliar. Dengan jumlah penduduk sebesar 221.616 jiwa, maka APBD per kapita di tahun 2001 adalah Rp 593.820. Dengan anggaran sebesar itu, jelas Jembrana bukanlah kabupaten kaya sumber daya alam, namun dalam waktu yang tidak terlalu lama Jembrana bisa mengatasi keterbatasan anggaran yang dimilikinya dengan melakukan gebrakan di pelayanan dasar melalui biaya pendidikan dan kesehatan secara gratis. Komitmen pemerintah Kabupaten Jembrana untuk memenuhi dan melayani hak dasar masyarakat diwujudkan dalam beberapa program unggulan, yaitu: Bebas SPP seluruh siswa sekolah negeri, Beasiswa bagi sekolah swasta, Bebas biaya obat dan dokter bagi semua warga, Bebas biaya rumah sakit bagi keluarga miskin, Dana talangan untuk menjaga harga hasil panen, Dana bergulir untuk usaha kelompok masyarakat.

Dicukil dari presentasi hasil riset Diah Rahardjo tentang Kabupaten Jembrana, pada lokakarya FPPM, April 2005.

14

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

A. Kebijakan Anggaran Pendidikan Pembebasan SPP Dalam kurun waktu 4 tahun telah mensubsidi Rp 14,7 miliar atau hampir Rp 3,7 miliar per tahun untuk menggratiskan SPP siswa semua sekolah negeri. Dengan jumlah siswa SD SMU sekitar 44.000 orang, maka rata-rata subsidi per siswa sebesar Rp 85.000 per tahun. Jumlah siswa sebanyak 44.000 orang ini, merupakan 19% dari penduduk Jembrana. Dampak Program Pembebasan SPP Angka putus sekolah di tingkat sekolah dasar menurun drastis, dari 18,4% pada 2001, menjadi 14% pada 2002 dan 11% pada 2003. Meningkatnya jumlah siswa yang bersekolah sampai SLTA, dari 7.250 orang pada 2001, meningkat menjadi 7.685 orang pada 2002 dan 7.927 orang pada 2003.

B. Kebijakan Anggaran Kesehatan JKJ untuk Dokter dan Obat Gratis Puskesmas dan RS negeri dibiayai oleh masyarakat melalui pajak. Di Jembrana, biaya rutin untuk dinas Kesehatan dan Puskesmas serta RSUD di luar belanja pegawai, pada 2002 sebesar Rp 3,5 miliar. Subsidi yang semula dialokasikan untuk biaya obat-obatan RSUD dan Puskesmas, kemudian diubah menjadi biaya membayar premi atau iuran asuransi bagi seluruh rakyat dalam produk JKJ, mulai tahun 2003. Semua penduduk yang punya KTP langsung menjadi anggota JKJ secara gratis. Dana yang digunakan untuk pembayaran premi sebesar Rp 3 miliar atau Rp 12.500 per orang, meningkat pada tahun 2004 menjadi sebesar Rp 4,5 miliar. Dampak Program JKJ Tingkat pelayanan kesehatan meningkat, termasuk di Puskesmas dan RSUD. Masyarakat miskin tidak khawatir biaya obat karena sudah ada JKJ. Kesehatan perempuan meningkat.

C. Pengembangan Ekonomi Rakyat Dana Bergulir dan Dana Talangan Dana bergulir adalah pinjaman untuk modal usaha kelompok masyarakat dengan sistem bagi hasil. Pinjaman kelompok masyarakat yang telah dikembalikan kemudian dipinjamkam kembali ke kelompok masyarakat yang lain. Sejak 2001, jumlah dana bergulir Rp 20 miliar.

15

Pemda melibatkan lembaga-lembaga adat seperti Subak, Subak Abian dan Banjar, untuk memberikan sanksi sosial kepada kelompok masyarakat yang tidak mengembalikan pinjaman. Dana talangan adalah dana yang diberikan Pemda Kabupaten Jembrana untuk menanggulangi hasil panen petani. Contoh, pemda memberi dana kepada KUD agar segera membeli gabah petani pada saat panen raya dengan harga yang layak. Pemda kemudian membeli beras dari KUD untuk memenuhi kebutuhan pegawai negeri. Selain itu, dana talangan disediakan di Subak Abian untuk membeli hasil panen cengkeh. Dampak program Dana Bergulir dan Dana Talangan

Sumber riset tidak melaporkan sejauh mana dampak program dana bergulir dan dana talangan di Kabupaten Jembrana.

D. Capaian Kabupaten Jembrana Secara umum, Jembrana telah berhasil mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan kualitas pembangunan manusia yang terlihat dari grafik berikut:

Grafik 1. 1 Capaian Program Kabupaten Jembrana

Beberapa alasan yang menyebabkan Jembrana mampu mengalokasikan APBD pro poor, yakni: 1. Keberpihakan kepada kepentingan masyarakat miskin, dengan mengutamakan alokasi anggaran untuk bidang-bidang yang berhubungan dengan kebutuhan dasar masyarakat, yakni pendidikan, kesehatan dan peningkatan ekonomi. Keseriusan memberantas korupsi dan menjalankan roda pemerintahan sebaikbaiknya dengan anggaran yang ada, yakni: Membentuk tim standardisasi harga yang bertugas untuk mengecek harga pasar agar tidak terjadi penggelembungan harga dalam pengadaan barang.

2.

16

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

Membentuk tim independen dari Universitas Udayana untuk menentukan biaya dan membuat rincian biaya dengan menghitung ulang volume pekerjaan proyek berdasar gambar dan harga satuan sesuai harga standar Jembrana. Memperbaiki gedung sekolah dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan Komite Sekolah. Menata ulang berbagai dinas, kantor dan bagian berikut sistem kepegawaian, merampingkan dari 21 lembaga menjadi 11 lembaga. Jembrana tidak melakukan penerimaan pegawai baru dan tidak mengganti pegawai yang pensiun. Absensi pegawai memakai sistem sidik jari dan ada sanksi bagi yang tidak disiplin. Ada tunjangan tambahan bagi seluruh pegawai negeri dan penghargaan bagi mereka yang berprestasi.

Boks 1.2 Provinsi Kaltim yang Kaya, Rakyatnya Didera Kemiskinan1


Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan provinsi yang mendapat julukan provinsi kaya. Julukan ini tidak berlebihan karena kekayaan alamnya jauh sangat melimpah dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Tanah Air. Bayangkan saja, produksi emasnya tahun 2002 mencapai 16,7 ton, sedangkan produksi peraknya mencapai 10,8 ton. Produksi batubara Kaltim yang luasnya 1,5 kali Pulau Jawa itu mencapai 50,3 juta ton pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 53,7 juta ton tahun 2004. Belum lagi gas alam yang produksinya tahun 2002 mencapai 1.647 miliar meter kubik serta produksi minyak buminya mencapai 79,7 juta barel. Produksi metanolnya mencapai 223.357 ton pada tahun 2002. Kekayaan yang melimpah ini masih ditambah lagi dengan produksi kayu alam yang jatah tebangnya 1,5 juta meter kubik pada tahun 2004. Tidak heran, dengan kekayaan yang melimpah ini, produk domestik regional bruto Kaltim mencapai Rp 98,43 triliun pada tahun 2003 dan meningkat menjadi Rp 104,3 triliun pada tahun 2004. Provinsi dengan luas wilayah 245.237 kilometer persegi ini juga tidak perlu khawatir bakal jatuh miskin tiba-tiba karena cadangan kekayaan alamnya masih sangat melimpah. Cadangan minyak buminya, sebagai contoh, masih 1,3 miliar barel atau 13% dari cadangan minyak bumi nasional yang mencapai 9,6 miliar barel. Begitu juga gas alam yang masih tersedia 51,3 triliun meter kubik atau 30 persen dari cadangan gas alam nasional yang mencapai 170,3 triliun meter kubik. Mestinya dengan sumber daya alam yang melimpah, penduduknya yang hanya berjumlah 2,7 juta jiwa atau lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk Bandung, Bogor, apalagi Surabaya, bisa hidup makmur dan berkecukupan. Semestinya tidak

Disunting dari Harian Kompas, edisi 12 April 2005.

17

ada lagi penduduk Kaltim yang miskin. Namun kenyataannya, provinsi ini masih memiliki banyak warga miskin dan ratusan desa tertinggal. Menurut Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna Abdul Fatah, dari 2,7 juta penduduk Kaltim, sekitar 330.147 jiwa atau 12% tergolong miskin. Bahkan, dari 1.144 desa dan 191 kelurahan di Kaltim, sekitar 300 di antaranya masih merupakan desa tertinggal. Sementara itu, menurut Nusyirwan Ismail, Asisten II Bidang Pembangunan Pemerintah Provinsi Kaltim, persentase penduduk miskin di Kaltim masih di bawah tingkat nasional yang mencapai 16% dari total jumlah penduduk. Meski demikian, hal ini bukan sesuatu yang membanggakan karena Kalimantan Timur merupakan provinsi yang dikaruniai kekayaan alam lebih dari daerah lain di Indonesia. Kemiskinan yang terjadi di Kaltim hampir merata di semua kota dan kabupaten. Ironisnya, jumlah penduduk miskin terbesar justru terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara yang selama ini mendapat julukan kabupaten terkaya di Tanah Air dengan APBD tahun 2003 sebesar Rp 2,4 triliun dan tahun 2004 sebesar Rp 2,7 triliun. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah 68.796 jiwa atau 14,7% dari penduduknya yang berjumlah 468.000 jiwa. Menyusul kemudian Kota Samarinda yang merupakan ibu kota Kaltim dengan jumlah penduduk miskin 46.906 jiwa atau 9,2% dari jumlah penduduknya yang mencapai 505.995 jiwa. Urutan ketiga Kabupaten Pasir dengan jumlah penduduk miskin 44.906 jiwa atau 16,7% dari penduduknya yang 267.880 orang. Yang paling sedikit jumlah penduduk miskinnya adalah Kota Bontang: 8.700 jiwa atau 8,4% dari 102.850 jiwa. Namun, di Kaltim, bukan cuma penduduk miskinnya yang masih banyak. Fasilitas kesehatan dan pendidikan juga masih sangat terbatas. Untuk fasilitas kesehatan 2,7 juta warga Kaltim, misalnya, hanya tersedia 159 puskesmas dan 24 rumah sakit dengan 2.308 tempat tidur. Jumlah dokter hanya 27,8 per 100.000 penduduk, jumlah puskesmas 6,4 per 100.000 penduduk, dan tempat tidur rumah sakit 92,8 per 100.000 penduduk. Jumlah ini tentu saja sangat tidak layak, apalagi untuk sebuah provinsi kaya. Begitu pun di sektor pendidikan dasar. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kalimantan Timur, Syafrudin Pernyata, dari 2.094 bangunan sekolah dasar di Kaltim, sekitar 628 unit atau 30% dalam keadaan rusak. Dari 15.406 ruang kelas SD di Kaltim, sekitar 4.049 unit dalam keadaan rusak sedang dan rusak parah. Tragisnya, ruang kelas yang rusak tersebut sebagian besar berada di kabupaten-kabupaten kaya. Di Kabupaten Kutai Kartanegara, misalnya, dari 3.780 ruang kelas yang ada, sekitar 1.450 unit di antaranya dalam keadaan rusak. Di Kabupaten Kutai Barat yang merupakan daerah pertambangan emas terbesar di Kaltim, dari 1.477 ruang kelas yang ada, sekitar 754 unit dalam keadaan rusak. Ironisnya, di tengah keterbatasan sarana dan prasarana kemasyarakatan tersebut, sejumlah kabupaten di Kalimantan Timur berlomba-lomba membangun kawasan kantor bupati yang megah. Di Kabupaten Kutai Timur, misalnya, dibangun kawasan perkantoran dengan biaya sekitar Rp 650 miliar. Di Kabupaten Malinau yang berpenduduk 46.000 jiwa dibangun kawasan perkantoran seluas 100 hektare dengan biaya sekitar Rp 110 miliar.

18

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

Bahan Bacaan 1.3 Pembangunan Manusia dan Anggaran Responsif Gender


A. Kegagalan Pembangunan di Era Orde Baru Pembangunan yang dilaksanakan pada era Orde Baru adalah pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan paradigma yang berorientasi pertumbuhan ditandai dengan kenaikan GDP (Gross Domestic Product) dan GNP (Gross National Product) sebagai upaya untuk meningkatkan kue pembangunan. Kue pembangunan yang besar melalui mekanisme yang disebut the invisible hand, diasumsikan akan menetes ke bawah (trickle down effect) sebagai bentuk distribusi kekayaan kepada semua golongan atau dengan kata lain memeratakan kue pembangunan/kekayaan, sehingga kemiskinan akan berkurang.1 Namun, setelah berjalan puluhan tahun, yang berhasil adalah menumpuknya kue pembangunan di kalangan yang disebut konglomerat yang jumlahnya sedikit, sedangkan mayoritas masyarakat tidak menikmati peningkatan pertumbuhan pembangunan. Terjadilah kesenjangan ekonomi, di mana yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/ HDR) Tahun 1996 yang diterbitkan oleh Badan Pembangunan PBB menunjukkan bahwa ada dua temuan penting dari pembangunan yang selama ini dilakukan, yaitu: 1. 2. Pertumbuhan telah gagal selama lebih dari 15 tahun di sekitar 100 negara yang merupakan hampir sepertiga dari jumlah penduduk di dunia. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia telah gagal di banyak negara, ditandai dengan pembangunan yang berat sebelah. Terjadi pertumbuhan ekonomi yang baik, namun sedikit upaya pembangunan manusia.

Selain itu, Laporan Pembangunan Manusia 1996, menggambarkan kegagalan pembangunan yang dilakukan selama ini dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Jobless growth, mencirikan pertumbuhan yang tidak menghasilkan lapangan kerja. Angka pengangguran terus meningkat seiring meningkatnya investasi perusahaan raksasa. Sektor perbankan sebagian besar hanya melayani pengusaha besar tetapi tidak mendorong ekonomi rakyat, misalnya melalui kredit usaha kecil maupun mikro; tata ruang wilayah yang tidak mengakomodasi sektor informal, dan sebagainya. 2. Ruthless growth, pertumbuhan yang kejam karena justru semakin menghasilkan kesenjangan antara kaya dan miskin. 3. Rootless growth, pertumbuhan yang mencerabut manusia dari budayanya. 4. Voiceless growth, pertumbuhan yang membungkam masyarakat. Aspirasi masyarakat tidak tertampung secara baik oleh para perencana pembangunan atau bahkan oleh para wakil rakyat. Organisasi komunitas tidak diberi wewenang untuk menyalurkan aspirasi warga dalam pembangunan dan aspirasi perempuan paling tidak terdengar dalam pembangunan.

Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga, Michael P. Todaro, Erlangga, 1993.

19

5. Futureless growth, pertumbuhan yang tidak punya masa depan, pembangunan yang semakin menghancurkan sumber daya lingkungan. Refleksi PBB tersebut menunjukkan bahwa pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan telah gagal sehingga pembangunan yang semestinya dilakukan adalah pembangunan yang tetap memberikan ruang bagi pertumbuhan ekonomi dan sekaligus memberikan perhatian pada struktur dan kualitas dari pertumbuhan untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mendukung pembangunan manusia secara adil, mengurangi kemiskinan, menjaga kelestarian lingkungan dan menjamin keberlanjutan. Dengan demikian, paradigma baru pembangunan yaitu pembangunan berpusat manusia (people centered development) adalah jawaban atas kegagalan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan (pro growth). Pembangunan manusia didefinisikan sebagai upaya mengembangkan pilihan-pilihan untuk semua orang dalam masyarakat. Hal ini mengandung arti bahwa laki-laki dan perempuan (terutama yang miskin dan rentan) menjadi pusat dari proses pembangunan. Ini juga mengandung makna perlindungan terhadap kesempatan hidup bagi generasi mendatang.dan. sistem natural di mana seluruh kehidupan bergantung .2 Komitmen untuk melaksanakan pembangunan manusia dapat dilihat dari keikutsertaan Indonesia menandatangani deklarasi millennium yang menyepakati pencapaian delapan tujuan MDGs3 yang ditargetkan akan dicapai pada tahun 2015, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan Mencapai pendidikan dasar untuk semua Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan Menurunkan angka kematian anak Meningkatkan kesehatan ibu Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya Memastikan kelestarian lingkungan hidup Membangun kemitraan global untuk pembangunan

Jika pembangunan ingin memusatkan pada pembangunan manusia, maka penting untuk mengakui, mendengar dan memberikan ruang bagi keragaman manusia. Jika manajemen pemerintahan (governance) telah sesuai dengan tujuan ini, maka penting untuk mengakui daripada meniadakan penyebab dan simptom dari kondisi ketidaksetaraan yang terjadi saat ini4. B. Potret Pembangunan Manusia di Indonesia Keberhasilan pembangunan manusia suatu negara diukur melalui beberapa indikator, antara lain Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Ukuran Pemberdayaan Gender (UPG). IPM merupakan indeks yang mengukur pencapaian keseluruhan suatu negara, yang direpresentasikan oleh 3 dimensi, yaitu: umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kualitas hidup yang layak. IPM mengukur gabungan tiga dimensi tentang pembangunan manusia, yakni: 1) indeks kesehatan diukur dari usia

2 3 4

Laporan Pembangunan Manusia, 1996. Bahan presentasi Deputi Penanggulangan Kemiskinan Bappenas, www.p2kp.org. Modul Pelatihan Dasar Making Governance Gender Responsive, CAPWIP, 2007, hal. 81

20

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

harapan hidup, 2) indeks pendidikan diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi, dan 3) indeks daya beli diukur dari paritas daya beli dan penghasilan. Sedangkan, IPG merupakan IPM yang pengukurannya memakai data terpilah laki-laki dan perempuan. Ukuran Pemberdayaan Gender, yaitu indeks yang memperlihatkan peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik serta pengambilan keputusan. Jika diukur dengan menggunakan IPM, saat ini Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Filipina bahkan Vietnam yang selengkapnya dapat dilihat di tabel berikut:

Tabel 1.1 Perbandingan Peringkat IPM di Beberapa Negara


Nama Negara Australia Malaysia Thailand Filipina Vietnam Indonesia Tahun 2005 IPM Peringkat 0,955 3 0,796 61 0,778 73 0,758 84 0,704 108 0,697 110 Tahun 2006 IPM Peringkat 0,957 3 0,805 61 0,784 74 0,763 84 0,709 109 0,711 108 Tahun 2007/2008 IPM Peringkat 0,962 3 0,811 63 0,781 78 0,771 90 0,733 105 0,728 107

Sumber: Human Development Index-UNDP

Dari Tabel di atas terlihat bahwa meskipun mengalami perbaikan peringkat dalam kurun 2005-2007, namun secara umum Indonesia banyak mengalami ketertinggalan dibandingkan negara-negara tetangga, semisal Australia (peringkat 3), Malaysia (peringkat 63), Thailand (peringkat 78), Filipina (peringkat 90) dan Vietnam (105). Kondisi ini jelas memprihatinkan karena berakibat pada menurunnya kemampuan daya saing SDM Indonesia dibandingkan negara tetangga dan akan menjadi masalah serius seiring dengan era perdagangan bebas negara ASEAN yang memungkinkan pergerakan tenaga kerja profesional antarnegara anggota. Jika diukur dengan menggunakan IPG dan UPG, kondisi Indonesia lebih memprihatinkan lagi sebagaimana yang terlihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1.2 Perbandingan Peringkat IPG di Beberapa Negara


Nama Negara Australia Malaysia Thailand Filipina Vietnam Indonesia Tahun 2005 IPG Peringkat 0,954 2 0,791 50 0,774 57 0,755 63 0,702 83 0,691 87 Tahun 2006 IPG Peringkat 0,955 3 0,795 51 0,781 58 0,761 66 0,708 80 0,704 81 Tahun 2007/2008 IPG Peringkat 0,960 2 0,802 58 0,779 71 0,768 77 0,732 91 0,721 94

Sumber: Human Development Index-UNDP

21

Dari tabel di atas terlihat bahwa peringkat IPG Indonesia fluktuatif dari tahun ke tahun. Sementara itu, pada tahun 2007/2008, jauh tertinggal dibanding negara-negara tetangga, semisal Malaysia di peringkat 58, Thailand di peringkat 71, Filipina di peringkat 77, dan Vietnam di peringkat 91. Dengan situasi seperti ini, terlihat ada situasi yang kontradiktif antara capaian IPM dengan IPG. IPM Indonesia mengalami perbaikan peringkat selama tiga tahun terakhir, namun hal yang sebaliknya terjadi pada IPG. Capaian perbaikan peringkat IPM tidak diikuti dengan perbaikan peringkat IPG dan kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah atas isu kesetaraan gender masih minim. Kondisi ini harus dijadikan motivasi dan tantangan bagi semua pihak untuk memperbaiki peringkat IPG Indonesia sehingga perbaikan IPM Indonesia diikuti dengan perbaikan IPG. Dengan demikian pembangunan dapat memberikan manfaat yang adil bagi laki-laki dan perempuan. C. Urgensi Implementasi APBD Responsif Gender dalam Mengakselerasi Pembangunan Manusia Komitmen pemerintah untuk melaksanakan pembangunan manusia harus didukung oleh semua pihak, baik di pusat maupun di daerah. Hal ini terkait dengan kebijakan desentralisasi yang mengakibatkan kewenangan telah berpindah ke daerah. Urusan yang terkait dengan pembangunan manusia, terutama pendidikan dan kesehatan telah menjadi tugas pemerintah daerah. Oleh karena itu, adanya komitmen yang kuat dari pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan manusia menjadi prasyarat keberhasilan pembangunan manusia. Komitmen dan inovasi pembangunan manusia akan tercermin dalam kebijakan dan anggaran dari suatu daerah. Bercermin dari data IPM, IPG dan UPG yang dirilis UNDP, pemerintah daerah perlu memberikan perhatian serius pada problem kesenjangan gender karena perbaikan peringkat IPM tidak dibarengi dengan perbaikan IPG dan UPG berdasarkan data yang ada. Kesenjangan/ketimpangan gender merupakan perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebagai dampak dari pembedaan peran antara keduanya yang disebabkan oleh konstruksi budaya. Misalnya, di sektor pendidikan. Data tahun 2006 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan anak perempuan. Salah satu penyebab dari kesenjangan ini adalah kultur di masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan sebagai ratu rumah tangga sehingga pendidikan untuk anak laki-laki lebih dipentingkan daripada anak perempuan. Dalam konteks Indonesia, analisis kesenjangan gender dapat dikombinasikan dengan jenis ketimpangan lainnya yaitu ketimpangan berdasarkan kelompok usia, kemampuan ekonomi, ras, etnis, kemampuan yang berbeda, dan lokasi geografis. Kombinasi antara beberapa jenis ketimpangan dengan ketimpangan gender telah menjadikan perempuan mengalami diskriminasi berlapis. Misalnya, perempuan desa mengalami diskriminasi yang lebih berat karena terjadinya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota (fasilitas umum di kota lebih baik dibandingkan di desa) dan diskriminasi gender (beban mengurus rumah tangga disandangkan kepada perempuan) sehingga beban ganda perempuan desa lebih berat dibandingkan beban ganda perempuan kota. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi problem ketimpangan gender yang terjadi dengan mengintegrasikan isu gender ke dalam proses pembangunan melalui upaya pembentukan tata pemerintahan yang responsif gender. Dalam tata pemerintahan

22

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

yang responsif gender, komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender dioperasionalisasikan melalui mekanisme, kebijakan dan anggaran responsif gender. Pada titik inilah implementasi anggaran responsif gender menjadi penting untuk dilakukan, yaitu anggaran yang berpihak kepada masyarakat (memprioritaskan pembangunan manusia) dan merespons masalah gender yang terjadi. D. Pengertian dan Manfaat Anggaran Responsif Gender Anggaran responsif gender adalah anggaran yang berpihak kepada masyarakat, memprioritaskan pembangunan manusia, dan merespons kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pada praktiknya, implementasi anggaran responsif gender dapat merespons kebutuhan berdasarkan lokasi geografis (desa-kota), kemampuan yang berbeda (normal-penyandang cacat), dan kelompok umur (anak, remaja, lansia). Pada prinsipnya, anggaran responsif gender bukanlah anggaran yang terpisah bagi laki-laki dan perempuan, melainkan strategi untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam proses perencanaan dan penganggaran dan menerjemahkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam komitmen anggaran agar anggaran memberikan dampak dan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Ada beberapa manfaat yang akan diraih jika anggaran responsif gender diimplementasikan, antara lain5: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Mendukung implementasi strategi pengarusutamaan gender yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu strategi pembangunan. Memperbaiki alokasi sumber daya agar tepat sasaran pada kelompok-kelompok yang membutuhkan. Memperkuat hubungan antara hasil dari kebijakan ekonomi dan sosial. Menelusuri pengeluaran publik dengan komitmen kebijakan pembangunan dan gender. Mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Membantu pemerintah untuk mematuhi komitmen nasional dan internasional tentang kesetaraan gender. Berkontribusi dalam pencapaian Millennium Development Goals (MDGs).

E. Kriteria Umum Anggaran Responsif Gender Kriteria umum anggaran responsif gender dibuat untuk memudahkan pemahaman atas pengertian anggaran responsif gender. Kriteria ini disusun berdasarkan target-target dalam MDGs dan CEDAW. Kriteria umum anggaran responsif gender mencakup: Kriteria Pertama: Memprioritaskan pembangunan manusia yang ditandai dengan: 1. 2. Adanya alokasi yang memadai untuk sektor pendidikan dan kesehatan dibandingkan sektor lainnya. Adanya alokasi yang memadai untuk mengatasi tingginya Angka Kematian Bayi (AKB).

Manual Gender Budgeting Malaysia, 2008, page 11

23

3. 4. 5. 6.

Adanya alokasi yang memadai untuk mengatasi tingginya Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI). Adanya alokasi yang memadai untuk mengatasi kasus gizi buruk. Adanya alokasi yang memadai untuk mengatasi penyakit menular (malaria, HIV, TBC, dst). Adanya alokasi yang memadai untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, baik laki-laki maupun perempuan, terutama untuk jenjang pendidikan SMP ke atas.

Kriteria Kedua: Memprioritaskan upaya-upaya untuk mengurangi kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan: 1. 2. 3. 4. Adanya alokasi yang memadai untuk meningkatkan tingkat partisipasi siswa perempuan di setiap jenjang pendidikan. Adanya alokasi yang memadai untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan. Adanya alokasi anggaran yang memadai untuk kapasitas pegawai perempuan di pemerintahan. Adanya alokasi yang memadai untuk meningkatkan TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan.

Kriteria Ketiga: Memprioritaskan upaya penyediaan pelayanan publik yang berkualitas bagi masyarakat yang ditandai dengan: 1. 2. 3. Adanya alokasi yang memadai untuk puskesmas, posyandu dan rumah sakit. Adanya alokasi yang memadai untuk penyediaan air bersih. Adanya alokasi yang memadai untuk institusi sekolah.

Kriteria Keempat, Memprioritaskan upaya-upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang ditandai dengan: 1. 2. Adanya alokasi yang memadai untuk bantuan modal keluarga miskin, dengan memberikan perhatian khusus pada perempuan kepala keluarga. Adanya alokasi yang memadai untuk pembinaan ekonomi rakyat.

Kriteria umum di atas dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam program dan kegiatan daerah sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

24

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

Lembar Bantu Belajar 1.1 Permainan Anggaran Pendapatan dan Belanja Keluarga
Alternatif I Ada keluarga dengan rincian anggotanya sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kakek (65 tahun), tidak bekerja Nenek (60 tahun ), pensiunan guru SD Ibu (49 tahun), guru SMU swasta Bapak (53 tahun), sopir angkot Anak Pertama, perempuan (25 tahun), sekretaris di perusahaan swasta Anak Kedua, laki-laki (23 tahun), asisten dosen Anak Ketiga, perempuan (19 tahun), mahasiswa Anak Keempat, perempuan (15 tahun), pelajar SLTP Anak Kelima, laki-laki (5 tahun), belum sekolah

Aturan Main: 1. 2. 3. 4. Masing-masing peserta memilih peran yang akan dimainkannya. Ada yang menjadi kakek, nenek, ibu, bapak, dan seterusnya. Masing-masing anggota keluarga menuliskan kebutuhannya di kertas (metaplan). Masing-masing anggota keluarga mempresentasikan kebutuhannya dalam rapat keluarga. Masing-masing kelompok membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Keluarga (APBK) untuk periode satu bulan melalui proses diskusi dan negosiasi agar kebutuhan keluarga dan masing-masing anggota keluarga dapat terakomodasi. Dalam menentukan kebutuhan masing-masing anggota keluarga juga harus mempertimbangkan adanya kebutuhan yang khas antara laki-laki dan perempuan, kebutuhan khusus balita, remaja dan lanjut usia. Jumlah pengeluaran keluarga tidak boleh melebihi jumlah pendapatan keluarga.

5.

Kelompok 1: Buatlah APBK jika penghasilan keluarga Rp 1.000.000 Kelompok 2: Buatlah APBK jika penghasilan keluarga Rp 1.500.000 Kelompok 3: Buatlah APBK jika penghasilan keluarga Rp 2.000.000 Keterangan: Belanja keluarga terbagi menjadi dua kategori: 1. 2. Pengeluaran rutin keluarga Pengeluaran masing-masing anggota keluarga

APBK dibuat dengan format berikut ini:

25

PENDAPATAN KELUARGA
Sumber Pendapatan Penerima Pendapatan Jumlah

Jumlah

BELANJA KELUARGA
A. Pengeluaran Rutin Keluarga No Jenis Belanja Jumlah

Jumlah

B. Pengeluaran Anggota Keluarga


No
1 2 dst Jumlah

Jenis Belanja

Kakek Nenek Ibu

Bapak Anak ke-1

Anak ke-2

Anak ke-3

Anak ke-4

Anak ke-5

Alternatif 2 Ada beberapa keluarga yang terdiri dari: a. Keluarga 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kakek (65 tahun), tidak bekerja Nenek (60 tahun), tidak bekerja Ibu (49 tahun), guru TK swasta Bapak (53 tahun), PNS di Pemerintah Kota Anak Pertama, perempuan (25 tahun), buruh perusahaan tekstil Anak Kedua, laki-laki (23 tahun), asisten dosen Anak Ketiga , perempuan (19 tahun), mahasiswi Anak Keempat, perempuan (15 tahun), pelajar SLTP Anak Kelima, laki-laki, 5 tahun, belum sekolah

26

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

b. Keluarga 2 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. Bapak (51 tahun), karyawan swasta Ibu (49 tahun), berjualan makanan kecil dengan membuka warung di depan rumah Anak Pertama, laki-laki (20 tahun), mahasiswa di universitas negeri Anak Kedua, perempuan (16 tahun), pelajar SMU negeri Anak Ketiga, laki-laki (10 tahun), pelajar SD negeri Nenek (57 tahun), pensiunan PNS Ibu (35 tahun), ibu rumah tangga Anak Pertama, perempuan (15 tahun), pelajar SMU swasta Anak kedua, laki-laki (10 tahun), pelajar SD Bapak (55 tahun), pedagang barang bekas di pasar tradisional Ibu (47 tahun), tukang cuci Anak Pertama, laki-laki (25 tahun), tidak bekerja (pengangguran) Anak Kedua, perempuan (20 tahun), penjaga toko Anak Ketiga, laki-laki (18 tahun), pelajar SMU swasta Anak Keempat, perempuan (14 tahun), pelajar SLTP swasta Anak Kelima, laki-laki (11 tahun), pelajar SD negeri Bapak (35 tahun), karyawan swasta Ibu (30 tahun), guru SD negeri Anak Pertama, perempuan (8 tahun), pelajar SD negeri Anak Kedua, laki-laki (3 tahun), belum sekolah

c. Keluarga 3

d. Keluarga 4

e. Keluarga 5

Aturan Main:
1. 2. 3. 4. Masing-masing anggota kelompok memilih peran yang akan dimainkannya. Ada yang memilih menjadi kakek, nenek, ibu, bapak, dan seterusnya. Masing-masing anggota keluarga menuliskan kebutuhannya di kertas (metaplan). Masing-masing anggota keluarga mempresentasikan kebutuhannya dalam rapat keluarga. Masing-masing kelompok membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Keluarga (APBK) untuk periode satu bulan melalui proses diskusi dan negosiasi agar kebutuhan keluarga dan kebutuhan masing-masing anggota keluarga bisa terakomodasi. Dalam menentukan kebutuhan masing-masing anggota keluarga juga harus mempertimbangkan adanya kebutuhan yang khas antara laki-laki dan perempuan, kebutuhan khusus balita, remaja dan lanjut usia.

27

5.

Jumlah pengeluaran keluarga tidak boleh melebihi jumlah pendapatan keluarga : Buatlah APBK jika penghasilan keluarga Rp 1.500.000 : Buatlah APBK jika penghasilan keluarga Rp 1.200.000 : Buatlah APBK jika penghasilan keluarga Rp : Buatlah APBK jika penghasilan keluarga Rp 900.000 700.000

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5

: Buatlah APBK jika penghasilan keluarga Rp 2.000.000

Keterangan: Belanja keluarga terbagi menjadi dua kategori: 1. 2. Belanja rutin keluarga Belanja masing-masing anggota keluarga

APBK dibuat dengan format berikut ini:

PENDAPATAN KELUARGA
Sumber Pendapatan Penerima Pendapatan Jumlah

Jumlah

BELANJA KELUARGA
A. Pengeluaran Rutin Keluarga
No Jenis Belanja Jumlah

Jumlah

B. Pengeluaran Anggota Keluarga


No Jenis Belanja 1 2 dst Jumlah Kakek Nenek Ibu Bapak Anak ke-1 Anak ke-2 Anak ke-3 Anak ke-4 Anak ke-5

28

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

Contoh Hasil Simulasi Permainan APBK dengan menggunakan Alternatif I Kelompok 1: Jumlah Penghasilan Keluarga Rp 1.000.000

PENDAPATAN KELUARGA
Sumber Pendapatan
Gaji Gaji Gaji Honor

Penerima Pendapatan
Ibu Bapak Anak ke-1 Anak ke-2 Jumlah

Jumlah
300.000 280.000 300.000 120.000 1.000.000

BELANJA KELUARGA
A. Pengeluaran Rutin Keluarga No
1 2 3 4 5 6 7 8

Jenis Pengeluaran
Listrik Beras Lauk dan sayur-mayur Sabun mandi dan sabun cuci Perawatan rumah Koran Menabung Biaya tak terduga Jumlah

Jumlah
15.000 40.000 200.000 20.000 20.000 30.000 5.000 25.000 355.000

29

B. Pengeluaran Anggota Keluarga


No Jenis Pengeluaran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Biaya kesehatan Mainan Sekolah Pakaian Kosmetik Biaya sosial Buku Biaya sekolah Uang jajan 50.000 20.000 15.000 20.000 20.000 50.000 10.000 40.000 45.000 20.000 190.000 75.000 150.000 75.000 40.000 50.000 50.000 10.000 10.000 10.000 25.000 20.000 30.000 20.000 10.000 30.000 10.000 30.000 60.000 10.000 10.000 10.000 5.000 10.000 10.000 10.000

Kakek Nenek Ibu

Bapak

Anak ke-1

Anak ke-2

Anak ke-3

Anak ke-4

Anak ke-5
15.000 10.000 5.000 10.000

10 Biaya transportasi 11 Alat tulis 12 Lain-lain 13 Kredit sepeda 14 Voucher HP Jumlah

Kelompok 2: Jumlah Penghasilan Keluarga Rp 1.500.000

PENDAPATAN KELUARGA
Sumber Pendapatan
Gaji Gaji Gaji Honor

Penerima Pendapatan
Ibu Bapak Anak ke-1 Anak ke-2 Jumlah

Jumlah
400.000 400.000 500.000 200.000 1.500.000

BELANJA KELUARGA
A. Pengeluaran Rutin Keluarga
No
1 2 3 4 5

Jenis Belanja
Listrik PAM Telepon Makanan Sabun, dll Jumlah

Jumlah
40.000 35.000 30.000 450.000 75.000 630.000

30

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

B. Pengeluaran Anggota Keluarga


No Jenis Pengeluaran
1 2 3 4 5 6 Uang saku Bedak, dll Uang transportasi Biaya sosial Biaya sekolah Susu Jumlah 35.000 100.000 100.000 40.000 75.000 20.000 35.000 35.000 200.000 50.000 100.000 100.000 200.000 100.000 50.000 30.000 35.000 35.000 20.000

Kakek Nenek Ibu

Bapak

Anak ke-1
20.000 30.000 50.000

Anak ke-2
30.000 30.000

Anak ke-3
75.000 50.000

Anak ke-4
50.000 30.000

Anak ke-5
15.000

Kelompok 3: Jumlah Penghasilan Keluarga Rp 2.000.000

PENDAPATAN KELUARGA
Sumber Pendapatan
Gaji Gaji Gaji Honor

Penerima Pendapatan
Ibu Bapak Anak ke-1 Anak ke-2 Jumlah

Jumlah
500.000 500.000 800.000 200.000 2.000.000

BELANJA KELUARGA
A. Pengeluaran Rutin Keluarga
No
1 2 3 4 5 6

Jenis Pengeluaran
Listrik PAM Telepon Makanan Sabun, dll Iuran (sampah dan RT) Jumlah

Jumlah
50.000 30.000 75.000 824.000 21.000 8.000 1.008.000

B. Pengeluaran Anggota Keluarga


No Jenis Pengeluaran
1 2 3 4 5 6 7 Uang saku Bedak, dll Uang transportasi Biaya sosial Biaya sekolah Susu Pakaian Jumlah 0 40.000 55.000 107.000 140.000 40.000 200.000 95.000 200.000 130.000 65.000 25.000 30.000 25.000 50.000 32.000 75.000 40.000 50.000 30.000 70.000

Kakek Nenek Ibu

Bapak Anak ke-1


75.000 50.000 35.000

Anak ke-2
60.000 35.000

Anak ke-3
75.000 50.000

Anak ke-4
50.000 40.000

Anak ke-5
25.000

31

Bahan Presentasi 1.1


1

ANGGARAN/APBD
Rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

Fungsi dan Asas Umum APBD

3 Fungsi Anggaran (Pasal 3 ayat 4 UU 17 tahun 2003) (1)


Fungsi otorisasi, bahwa anggaran harus menjadi dasar dalam melaksanakan pendapatan dan belanja. Fungsi perencanaan, bahwa anggaran menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan. Fungsi pengawasan, bahwa anggaran menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Fungsi Anggaran (Pasal 3 ayat 4 UU tahun 2003) (2)


Fungsi alokasi, bahwa anggaran harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi, bahwa kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi, bahwa anggaran menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.

Asas Umum APBD (Permendagri 13/2006) (1)


Tertib, keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti- bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Taat pada peraturan perundangan, bahwa APBD harus berpedoman pada peraturan perundangan.

Asas Umum APBD (Permendagri 13/2006) (2)


Efektif, pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. Efisien, pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.

Asas Umum APBD (Permendagri 13/2006) (3)

Asas Umum APBD (Permendagri 13/2006) (4)


Keadilan, adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. Kepatutan, tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional. Manfaat untuk masyarakat, mengandung makna bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Ekonomis, perolehan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. Transparan, prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluasluasnya tentang keuangan daerah. Bertanggung jawab, perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

32

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 1

Mengenal APBD Responsif Gender

Bahan Presentasi 1.2


1

Kegagalan Pembangunan
Jobless growth Ruthless growth Rootless growth Voiceless growth Futureless growth

Pembangunan Manusia dan Anggaran Responsif Gender

Pembangunan Berpusat pada Manusia


Paradigma baru pembangunan Laki-laki dan perempuan menjadi pusat dari proses pembangunan

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)


Ada peningkatan peringkat dari 110 (2005), 108 (2006) dan 107 (2007) Indonesia banyak mengalami ketertinggalan dibandingkan negara-negara tetangga, semisal Australia (peringkat 3), Malaysia (peringkat 63), Thailand (peringkat 78), Filipina (peringkat 90) dan Vietnam (105)

Indeks Pembangunan Gender (IPG)


Peringkat IPG Indonesia fluktuatif, 87 (2005), 81 (2006), 94 (2007) ada situasi yang kontradiktif antara capaian IPM dengan IPG implementasi anggaran responsif gender menjadi penting untuk dilakukan

Anggaran Responsif Gender (ARG) 6


Anggaran yang berpihak kepada masyarakat miskin dan kelompok rentan, serta mengakomodasikan adanya kebutuhan yang berbeda antara berbagai kelompok dalam masyarakat (laki-laki, perempuan, anak, remaja, lansia, penyandang cacat)

Manfaat Anggaran Responsif Gender


Penyusunan Anggaran Responsif Gender


Disusun sesuai dengan target MDGs dan Pemenuhan CEDAW Disusun sebagai upaya untuk mendeskripsikan dengan mudah makhluk APBD Responsif Gender kepada pihak terkait

Memperbaiki alokasi sumber daya agar tepat sasaran Memperkuat hubungan antara hasil dari kebijakan ekonomi dan sosial Menelusur i pengeluaran publik dengan komitmen kebijakan pembangunan dan gender Mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan ekonomi Membantu pemerintah untuk mematuhi komitmen nasional dan internasional tentang kesetaraan gender Berkontribusi dalam pencapaian Millennium Development Goals (MDGs)

33

Kriteria Umum ARG-(1)


Pertama: Memprioritaskan pembangunan manusia yang ditandai dengan: Adanya alokasi yang memadai untuk sektor pendidikan dan kesehatan dibandingkan sektor lainnya Adanya alokasi yang memadai untuk mengatasi tingginya AKB Adanya alokasi yang memadai untuk mengatasi tingginya AKI Adanya alokasi yang memadai untuk mengatasi kasus gizi buruk

Kriteria Umum ARG-(2)

10

5. Adanya alokasi yang memadai untuk mengatasi penyakit menular (malaria, HIV, TBC, dst) 6. Adanya alokasi yang memadai untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah Kedua: Memprioritaskan upaya-upaya untuk mengurangi kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan: Adanya alokasi yang memadai untuk meningkatkan tingkat partisipasi siswa perempuan di setiap jenjang pendidikan 2. Adanya alokasi yang memadai untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan

Kriteria Umum ARG-(3)

11

Kriteria Umum ARG-(4)


Keempat: Memprioritaskan upaya-upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang ditandai dengan: Adanya alokasi yang memadai untuk bantuan modal keluarga miskin (dengan memberikan perhatian khusus pada perempuan kepala keluarga) Adanya alokasi yang memadai untuk pembinaan ekonomi rakyat

12

3. Adanya alokasi anggaran yang memadai untuk kapasitas pegawai perempuan di pemerintahan 4. Adanya alokasi yang memadai untuk meningkatkan TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan Ketiga: Memprioritaskan upaya penyediaan pelayanan publik yang berkualitas bagi masyarakat yang ditandai dengan: 1. Adanya alokasi yang memadai untuk Puskesmas, Posyandu dan rumah sakit 2. Adanya alokasi yang memadai untuk penyediaan air bersih 3. Adanya alokasi yang memadai untuk institusi sekolah

34

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

SESI 2

Gender dan Kemiskinan

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Gender dan Kemiskinan

Pengantar
Upaya memahami keterkaitan antara gender dan kemiskinan bisa dimulai dengan memahami apa makna gender dan peran gender. Menurut Lorraine Corner1, gender merujuk pada perbedaan peran dan tanggung jawab sosial laki-laki dan perempuan, perilaku dan karakteristik sosial yang dianggap pantas untuk laki-laki dan perempuan, serta nilai atau penghargaan yang diberikan kepada aktivitas yang dilakukan laki-laki dan perempuan. Gender merujuk pada relasi antara lakilaki dan perempuan dan sanksi sosial yang diterima terkait peran masing-masing jenis kelamin tadi. Sanksi sosial berupa teguran misalnya, akan diterima oleh perempuan menikah yang membiarkan suaminya memasak dan mengasuh anak. Hal ini terjadi karena suami berdasarkan nilai sosial yang ada, berperan sebagai pencari nafkah. Peran gender laki-laki dan perempuan dibagi dalam tiga ranah: reproduksi, produksi dan masyarakat. Peran laki-laki: ayah, pencari nafkah utama, pimpinan politik yang sering kali formal dan biasanya dibayar. Sementara itu, peran perempuan: ibu dan istri, tidak mencari nafkah atau hanya pencari uang tambahan, bekerja sukarela sebagai perluasan peran reproduksi, sering kali informal dan biasanya tidak dibayar.
1

Lorraine Corner, mantan adviser program regional UNIFEM Asia Timur dan Asia Tenggara, Bangkok. Dalam Sex, Gender and Development. Diambil dari A Gender Approach to the Advancement of Women Handout and Notes for Gender Workshops.

35

Keterkaitan gender dan kemiskinan dapat dilihat dari konstruksi peran gender lakilaki dan perempuan di tiga ranah tadi yang menjadikan perempuan menjadi pihak yang dipinggirkan. Di mana saja, perempuan menikmati lebih sedikit keuntungan dalam gerak pembangunan global.

Tujuan:
Memahami arti dan perbedaan jenis kelamin (sex), gender dan stereotip gender, peran gender, serta implikasinya terhadap posisi perempuan dan lakilaki. Memahami peran laki-laki dan perempuan di ranah reproduksi, produksi dan masyarakat. Memahami implikasi ketimpangan peran gender antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan perempuan rentan terhadap kemiskinan dan eksploitasi ekonomi. Memperkenalkan konsep keadilan dan kesetaraan gender.

Metode:
Permainan kartu stereotip Curah pendapat Diskusi kelompok Pemutaran VCD Gender dan Kemiskinan Presentasi

Waktu:
120 menit

Alat dan Bahan:


Kertas plano Spidol Metaplan

Media:
Empat Set Kartu Stereotip VCD Gender dan Kemiskinan Lembar Bantu Belajar 2.1 Bahan Bacaan 2.1 Bahan Bacaan 2.2 Bahan Bacaan 2.3 Bahan Presentasi 2.1 Bahan Presentasi 2.2

Catatan untuk Fasilitator:


Sebelum sesi ini dimulai, fasilitator mempersiapkan kartu stereotip terlebih dulu. Contoh hasil simulasi kartu stereotip ada di akhir sesi. Perhatikan keragaman pandangan atau opini peserta mengenai peran gender dan implikasinya terhadap posisi laki-laki dan perempuan. Jika perdebatan sudah sampai ke masalah agama yang cenderung sensitif, hindari diskusi yang memancing emosi.

36

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Tahapan Proses:
Pembukaan (5 menit)
Fasilitator membuka sesi ini dan menjelaskan tujuan sesi secara singkat. Fasilitator menjelaskan dalam sesi ini akan dilakukan simulasi permainan stereotip. Fasilitator membagi peserta menjadi empat kelompok. Setiap kelompok mendapat satu set kartu stereotip dan diminta untuk mengkategorisasikan kartu-kartu yang ada ke dalam kolom perempuan dan laki-laki. Setiap kelompok diminta menganalisis karakteristik perempuan dan laki-laki yang ada di setiap kartu stereotip. Apakah stereotip atau karakteristik perempuan dan laki-laki itu masih aktual dan relevan? Tiap kelompok menuliskan hasil analisisnya di kertas plano. Fasilitator mempersilakan setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil analisisnya dan memberikan pandangan mengenai perkembangan gender dan peran gender yang aktual dan relevan. Fasilitator mencatat inti presentasi tiap kelompok dan bersama peserta menyimpulkan beberapa hal, antara lain: Karakter-karakter gender diciptakan oleh kebiasaan, budaya dan tradisi. Karakter gender laki-laki dan perempuan beragam dari satu budaya ke budaya lain, dari satu era ke era lain, dari satu tempat ke tempat lainnya. Peran gender perempuan dan laki-laki ternyata melahirkan ketidakadilan gender, seperti marjinalisasi, subordinasi, beban ganda, stereotip dan kekerasan terhadap perempuan. Isu kesetaraan gender yang meliputi akses, partisipasi, kontrol dan manfaat terhadap sumber daya dan gerak pembangunan akan terus menjadi isu yang populer. Agar lebih jelas, fasilitator menayangkan dan menjelaskan inti presentasi secara singkat dari Bahan Presentasi 2.1 dan 2.2.

Permainan Stereotip (20 menit)

Curah Pendapat (25 menit)

Pemutaran VCD Gender dan Kemiskinan (10 menit)


Fasilitator menjelaskan bahwa untuk memperjelas tema sesi yang sedang dibahas akan diputar VCD tentang gender dan kemiskinan. Setelah VCD selesai diputar, fasilitator menanyakan beberapa pendapat dari peserta tentang film yang baru saja dilihat. Fasilitator membagi peserta dalam empat kelompok. Bagikan Bahan Bacaan 2.1 (Relasi Gender) dan Bahan Bacaan 2.2 (Kepentingan Gender), Bahan Bacaan 2.3 (Ekonomi Pemeliharaan Rumah Tangga dan Kerja yang Tidak dibayar) serta Lembar Bantu Belajar 2.1 (Statistik Kesenjangan Gender). Masing-masing kelompok diminta mendiskusikan Lembar Bantu Belajar 2.1 dan menuliskan hasil analisis kelompok dalam kertas plano. Waktu diskusi kelompok 25 menit.

Diskusi Kelompok (30 menit)

37

Curah Pendapat (25 menit)


Fasilitator meminta setiap kelompok bergiliran mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dalam format pleno. Fasilitator bersama peserta menyimpulkan beberapa hal, yaitu: Ada fakta (disajikan dalam bentuk tabel) yang menunjukkan bahwa telah terjadi ketimpangan gender yang disebabkan oleh kemiskinan struktural. Ada keterkaitan sebab akibat antara gender, peran gender dan ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam berpartisipasi dan menikmati pembangunan. Secara umum, APBD belum mengakomodasi perbedaan kebutuhan praktis dan kepentingan strategis gender yang terefleksikan dalam dua hal: Pertama, sedikit program yang mengakomodasi kepentingan perempuan. Kedua, ada kebijakan dan program, tetapi jumlah anggaran tidak memadai. Kondisi ini berdampak negatif, seperti kasus busung lapar, gizi buruk, tingginya angka kematian ibu melahirkan, tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga hingga maraknya kasus perdagangan perempuan. Hal ini tak bisa lepas dari peran gender perempuan di tiga ranah yang bukan pencari nafkah, bekerja cenderung sukarela, informal dan biasanya tidak dibayar.

Penutup (5 menit)
Fasilitator menutup sesi dan meminta peserta untuk beristirahat sebelum melanjutkan ke sesi 3.

38

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Bahan Bacaan 2.1 Relasi Gender1


Jenis kelamin (sex) merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang tetap sejak lahir. Perbedaan jenis kelamin yang paling signifikan terkait dengan potensi menstruasi, hamil/mengandung dan menyusui untuk perempuan dan produksi sperma bagi laki-laki sebagai pribadi (individual).

Tabel 2.1 Karakteristik


Laki-laki Penis Zakar Sperma/mani Perempuan Vagina Sel telur Payudara

Perbedaan jenis kelamin lainnya dilihat di level populasi, tetapi tidak di level pribadi: semisal, meskipun rata-rata laki-laki secara fisik lebih besar dan kuat dibandingkan dengan perempuan, perempuan secara individu bisa saja lebih besar dan kuat dibandingkan laki-laki secara individu. Gender merujuk pada perbedaan peran dan tanggung jawab sosial dari perempuan dan laki-laki, perilaku dan karakteristik sosial yang dianggap pantas untuk perempuan dan laki-laki dan gagasan mengenai bagaimana berbagai macam aktivitas dinilai dan dihargai. Gender merujuk pada relasi antara laki-laki dan perempuan dan sanksi sosial yang diterima terkait peran dari masing-masing jenis kelamin tadi. Peran gender berbeda di antara masyarakat atau bahkan di dalam kelompokkelompok suatu masyarakat tertentu. Peran gender mewakili gagasan yang telah disepakati dalam masyarakat dan budaya tertentu mengenai apakah kepantasan dan kelaziman untuk jenis kelamin tertentu, kelompok dan masyarakat. Namun demikian, perempuan dan laki-laki sebagai individu dapat menjalankan peran gender yang biasanya diperankan oleh jenis kelamin lawannya. Sebagai contoh, seorang perempuan mungkin berlaku sebagai kepala rumah tangga meskipun hal ini biasanya merupakan peran gender laki-laki di mana perempuan itu hidup/tinggal. Peran gender secara sosial dan budaya menentukan aktivitas, pekerjaan, dan peran yang dianggap biasa atau pantas untuk masing-masing jenis kelamin, meskipun hal tersebut sebenarnya mampu dilakukan oleh jenis kelamin lawannya. Sebagai contoh, banyak orang menganggap bahwa pekerjaan sebagai insinyur, penambang dan astronot hanya pantas untuk laki-laki. Namun, ada pula perempuan yang menjadi insinyur, penambang dan astronot. Laki-laki bisa bekerja penuh mengurus bayi atau guru TK, meskipun umumnya menganggap profesi ini lebih pantas untuk perempuan. Peran-peran gender, baik untuk perempuan dan laki-laki dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe: reproduksi (domestik/keluarga), produksi dan peran dalam masyarakat (community):

Lorraine Corner, mantan adviser program regional UNIFEM Asia Timur dan Asia Tenggara, Bangkok. Dalam Sex, Gender and Development. Diambil dari A Gender Approach to the Advancement of Women Handout and Notes for Gender Workshops.

39

Tabel 2.2 Peran Gender


Reproduksi Perempuan Peran utama: Ibu Istri Produksi Sering kali diasumsikan tidak ada atau hanya sebagai penghasil/ pencari uang tambahan Masyarakat Pengelolaan masyarakat layanan sukarela (perluasan dari peran reproduksi, sering kali informal dan biasanya tidak dibayar) Kepemimpinan Politik Pertahanan (sering kali bersifat formal dan dibayar)

Laki-laki

Ayah

Peran utama: Pencari nafkah

Secara umum, peran gender utama perempuan adalah menjadi ibu dan istri. Peran ini digunakan oleh perempuan untuk mendefinisikan dirinya dan bahkan sering mengevaluasi tingkat kesuksesan seorang perempuan dengan melihat sesukses apa peran sebagai ibu dan istri ini dilakukan. Oleh karena itu, mereka mengalami beban ganda, pekerjaan domestik maupun pekerjaan yang dibayar. Pekerjaan sebagai ibu adalah pekerjaan yang dilakukan selama 24 jam penuh, maka perempuan sebenarnya menjalankan lebih dari satu peran dalam satu waktu. Meskipun perempuan dapat bekerja di sektor formal, namun perempuan terus-menerus menanggung tanggung jawab sebagai ibu dan istri. Jika anak mereka sakit, atau ada masalah di rumah tangga, maka perempuan yang bekerja tetap diharapkan dapat menanganinya. Sebaliknya, peran gender utama laki-laki adalah pencari nafkah bagi keluarga dan kesuksesan laki-laki juga diukur dari peran gender ini. Ketika laki-laki sedang bekerja, mereka terlalu sibuk atau perannya sangat penting sehingga tidak bisa diganggu dengan peran mereka sebagai suami atau ayah. Peran-peran gender yang dianggap lazim untuk perempuan dan laki-laki, berbeda di berbagai masyarakat. Sebagai contoh, di beberapa masyarakat, semua perdagangan dianggap sebagai peran gender laki-laki, tetapi di Kamboja dan banyak negara Afrika Utara, perdagangan terutama skala kecil, dianggap peran perempuan. Peran akan berubah seiring waktu untuk merespons perubahan ekonomi dan sosial. Gro Bruntland mencatat bahwa ketika dia menjadi perempuan pertama yang memimpin negaranya, banyak orang Norwegia yang terkejut karena seorang perempuan bisa menduduki jabatan perdana menteri. Pada 1995, setelah dia bekerja di kantor selama 15 tahun, anak-anak bertanya secara mengejutkan Bisakah seorang laki-laki menjadi perdana menteri?

Berbagai kegiatan yang dilakukan perempuan dan laki-laki berubah lebih cepat dibandingkan norma masyarakat, sehingga norma mengenai peran gender sering kali berbeda jauh dari kenyataan. Secara umum masih diasumsikan bahwa umumnya perempuan yang menikah di Asia-Pasifik menjadi istri dan ibu sepenuhnya, tidak sibuk dalam kegiatan ekonomi. Namun, riset menunjukkan bahwa banyak perempuan, khususnya perempuan miskin sibuk di kegiatan ekonomi. Situasi yang

40

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

sama juga terjadi di Indonesia. Banyak perempuan yang melakukan aktivitas ekonomi, menjadi petani, pedagang, berjualan di rumah, meskipun kebanyakan bergerak di sektor informal. Peran gender mempengaruhi kebutuhan. Pengalaman perempuan dan laki-laki berbeda yang disebabkan oleh peran gender masing-masing. Sebagai contoh, karena perempuan perawat utama anak, perempuan secara khusus memerlukan kemudahan akses untuk sekolah dan perawatan kesehatan. Sebagai istri, perempuan memerlukan akses ke air dan sebagai ibu memerlukan akses ke air minum bersih untuk melindungi kesehatan keluarganya. Sebaliknya, laki-laki sepertinya menempatkan prioritas yang lebih tinggi dalam akses ke pasar dan fasilitas terkait peran sebagai penghasil nafkah utama (akan dibahas lebih jauh dalam Bahan Bacaan 2.2)

Peran gender mengakibatkan ketidakadilan gender dalam berbagai bentuk, yaitu: 1. Marjinalisasi/Peminggiran Marjinalisasi adalah istilah negatif yang digunakan untuk menunjuk bagaimana beberapa pendekatan pembangunan cenderung untuk membatasi intervensi pada program-program tradisional dan membatasi partisipasi perempuan dalam pembangunan. Intervensi ini terkait dengan peran sebagai ibu, pusat pengurusan anak dan kegiatan pemberian nutrisi, dibandingkan kegiatan yang lain. Perspektif ini mempertahankan peran tradisional perempuan sehingga kebutuhan dan potensi perempuan di area yang lain, khususnya di sektor ekonomi tetap tidak diakui. Oleh karena itu, pengembangan perempuan secara penuh sebagai sumber daya masyarakat tidak akan tercapai. Contoh dari marjinalisasi antara lain: a. Perempuan tidak dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan. b. Perempuan pengusaha jika hendak mengajukan kredit ke bank harus seizin suami, tetapi suami tidak perlu izin istri. 2. Subordinasi/Menomorduakan Perempuan Subordinasi gender adalah istilah yang mendeskripsikan posisi perempuan yang dinomorduakan daripada laki-laki di masyarakat. Perempuan kurang mendapatkan akses dan kontrol atas sumber daya dan manfaat di masyarakat dibandingkan laki-laki. Contoh nyata dari subordinasi adalah: a. Perempuan adalah pelayan laki-laki yang hanya mengurus rumah tangga. b. Perempuan dinomorduakan dalam politik, jabatan, karier dan pendidikan. 3. Diskriminasi Adalah anggapan yang dituangkan dalam tindakan. Diskriminasi tertuang dalam praktik, kebijakan atau prosedur yang meniadakan perlakuan yang setara terhadap individu atau kelompok sebagai akibat dari anggapan/asumsi. Ini adalah perilaku jahat karena orang mendapat perlakuan yang berbeda dan tidak mengenakkan berdasarkan latar belakang kultur, ras atau jenis kelamin. Contoh diskriminasi: a. Rekrutmen pegawai yang mengutamakan laki-laki. b. Upah perempuan lebih rendah dibanding upah laki-laki, meski untuk pekerjaan yang sama.

41

4. Beban Ganda/Berganda Ini adalah kondisi yang dialami oleh seseorang (biasanya perempuan) dengan waktu dan energi terbatas namun harus menunaikan beberapa tugas/tanggung jawab. Pembagian wilayah produksi dan reproduksi telah mengakibatkan beban ganda bagi perempuan dalam kegiatan produksi. Selain harus menyediakan waktu penuh untuk kerja produktif (contohnya dalam kasus perempuan miskin), pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak tetap menjadi tanggung jawabnya. Perempuan, oleh karenanya menjalani double burden atau beban ganda dari kerja dibayar sebagai bagian dari angkatan kerja) dan kerja tak dibayar yang dikerjakan di rumah. Beban ganda ini juga menimbulkan kesulitan bagi perempuan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau mendapatkan pelatihan yang memadai dan untuk bergerak ke tingkat profesional. 5. Pelabelan/Stereotip Ini adalah kecenderungan yang diberikan oleh budaya untuk menganggap sifat, karakter dan peran khusus kepada perempuan dan laki-laki. Individu kemudian diberi label berdasarkan identitas kelompok. Asumsi di belakang stereotip adalah menganggap atribut dari laki-laki berlaku untuk semua lakilaki dan atribut perempuan berlaku untuk semua perempuan dalam satu masyarakat. Karakteristik biasanya diasosiasikan dengan perempuan dan lakilaki yang sering kali stereotip dan menjadi suatu harapan bahwa semua laki-laki seharusnya memiliki karakter maskulin dan semua perempuan berkarakter feminin. Sebagai contoh, di banyak budaya laki-laki distereoptipkan sebagai keras (strong), agresif, kuat (forceful), tegas (decisive). Sementara perempuan distereotipkan sebagai lemah (weak), pasif, patuh dan labil (indecisive). Stereotip gender untuk laki-laki sering kali merujuk pekerjaan sebagai penilaian karakteristik. Hasilnya, perempuan bekerja di lingkungan yang didominasi laki-laki sering kali tidak diuntungkan. Karakteristik seperti ketegasan dan kekuatan di pihak laki-laki akan dinilai dengan negatif kalau karakteristik itu ada di pihak perempuan sebagai perempuan meraja (bossy), ambisius (pushy). Harapan yang berdasarkan stereotip cenderung membuat perempuan menjadi tidak terlihat ketika mereka sibuk dalam pekerjaan atau kegiatan nontradisional. Sebagai contoh, meskipun data menunjukkan bahwa banyak petani perempuan, pegawai Departemen Pertanian melanjutkan asumsi bahwa program dan pelayanan mereka mempunyai sasaran laki-laki. Statistik yang lain menunjukkan harapan serupa yang menyebabkan badan pembangunan melanjutkan asumsi bahwa perempuan miskin akan mempunyai waktu untuk terlibat dalam program baru seperti proyek penghasilan tambahan, meskipun pada kenyataannya bahwa survei alokasi waktu menunjukkan bahwa perempuan miskin sudah berperan ganda dengan pekerjaannya. 6. Kekerasan (Violence) Kekerasan adalah tindakan kasar yang dilakukan terhadap perempuan karena dia perempuan. Kekerasan terjadi karena ada diskriminasi dan pelabelan yang merendahkan perempuan. Kekerasan gender terjadi di mana-mana yang berlangsung secara terus-menerus. Contoh kekerasan gender antara lain: a. c. Perkosaan, pelecehan seksual. Kata-kata dan permintaan suami harus dipatuhi. b. Penyiksaan dan pemukulan terhadap istri.

42

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Gender bersifat cross cutting issues atas semua faktor yang menentukan ketidaksetaraan di dalam masyarakat. Ketidaksetaraan di antara manusia dalam suatu masyarakat ditentukan oleh beberapa faktor: a. Kelas, yang dapat pula dilihat sebagai ketidaksetaraan dalam posisi, status, kesejahteraan, pengetahuan, hak dan kesempatan. b. Lokasi atau orientasi perkotaan/pedesaan. c. Etnisitas/ras. d. Usia. Gender berinteraksi dengan semua bentuk dari ketidaksetaraan ini2. Gender dan Kemiskinan. Apa keterkaitan gender dan kemiskinan? Ternyata akibat konstruksi peran gender laki-laki dan perempuan di tiga ranah (produksi, reproduksi dan komunitas), perempuan menjadi pihak yang dipinggirkan. Di mana saja, perempuan sebagai kelompok menikmati lebih sedikit keuntungan dalam gerak pembangunan global. Padahal perempuan bekerja dalam waktu yang lebih panjang dibandingkan laki-laki. Berikut data statistik PBB yang bisa menggambarkan keterpinggiran perempuan secara global3: - Perempuan melakukan kegiatan yang menyumbang 67% waktu kerja dunia, - Perempuan berpendapatan 10% dari pendapatan dunia, - Perempuan merupakan 2/3 penderita buta huruf dunia, dan - Perempuan memiliki kurang dari 1% kekayaan (property) dunia.

Perempuan menjadi pihak yang tak terlihat dalam proses pembangunan. Sebab, banyak pekerjaan mereka tidak dibayar dan dibayar murah dibandingkan pekerjaan lakilaki. Kontribusi perempuan tidak merefleksikan dalam penghitungan produk domestik brutto (PDB) nasional dan perempuan juga dimangkirkan dari perencanaan dan proses pengambilan keputusan di lembaga donor, LSM nasional, masyarakat dan keluarga4. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan SMERU mengenai SPKM (Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat) menunjukkan bahwa 8 dari 10 keluarga miskin dikepalai oleh perempuan 5. Penelitian dilakukan pada tahun 2006 di empat desa, yaitu Desa Cibulakan dan Parakantugu (Kabupaten Cianjur) dan Desa Kedondong dan Jungpasir (Kabupaten Demak). Dalam metode SPKM, kesejahteraan keluarga terpetakan menjadi 10% keluarga terkaya dan 10% keluarga termiskin. Temuan di Desa Kedondong menunjukkan bahwa keluarga terkaya dikepalai oleh laki-laki dengan tingkat pendidikan sarjana, istrinya juga berpendidikan sarjana dan bekerja di sektor jasa. Di lain pihak, keluarga termiskin dikepalai oleh perempuan yang tidak tamat SD dan menganggur. Secara umum, dari 10% keluarga terkaya, 99,28% dikepalai oleh laki-laki dan dari 10% keluarga termiskin, 80,44% dikepalai oleh perempuan. Situasi ini makin menunjukkan kaitan antara gender dan kemiskinan, bahwa sesungguhnya kemiskinan itu berwajah perempuan atau sering disebut dengan istilah feminisasi kemiskinan.

2 3 4 5

Modul Pelatihan Dasar Making Governance Gender Responsive, CAPWIP, 2007, hal. 123. Modul Pelatihan Dasar Making Governance Gender Responsive, CAPWIP, 2007, hal. 60. Dalam Gender and Development: an Alternative Approach, ibid hal. 61. Suryadarma, Daniel dkk. Ukuran Obyektif Kesejahteraan Keluarga untuk Kemiskinan:Hasil Uji COba Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat di Indonesia, SMERU, 2006.

43

Bahan Bacaan 2.2 Kebutuhan Praktis dan Kepentingan Strategis Gender


Peran gender mempengaruhi kebutuhan. Pengalaman perempuan dan laki-laki berbeda yang disebabkan oleh peran gender masing-masing. Sebagai contoh, karena perempuan perawat utama anak, perempuan secara khusus memerlukan kemudahan akses untuk sekolah dan perawatan kesehatan. Sebagai istri, perempuan memerlukan akses ke air dan sebagai ibu memerlukan akses ke air minum bersih untuk melindungi kesehatan keluarganya. Sebaliknya, laki-laki menempatkan prioritas yang lebih tinggi dalam akses ke pasar dan fasilitas terkait peran sebagai penghasil nafkah utama. Kebutuhan praktis gender (practical gender needs) merujuk pada kebutuhan dasar dalam rangka menjalankan peran gender perempuan. Kebutuhan dasar diperlukan oleh perempuan dan laki-laki. Tetapi, karena perempuan sering ditempatkan pada posisi untuk merawat keluarga, mereka akan lebih diuntungkan ketika kebutuhan dasarnya terpenuhi. Karena itu, kebutuhan dasar ini disebut kebutuhan praktis perempuan. Kebutuhan praktis gender relatif tidak kontroversial karena ini bukan menantang status quo dalam relasi antara perempuan dan laki-laki. Contoh: a. b. c. d. e. Penyediaan air. Perawatan kesehatan. Penyediaan pendapatan keluarga. Perumahan dan pelayanan dasar. Penyediaan makanan untuk keluarga.

Kepentingan strategis gender1 (strategic gender interests) menjawab kebutuhan jangka panjang untuk mengubah peran gender perempuan dan laki-laki untuk berbagi lebih setara, bertanggung jawab baik pekerjaan domestik dan reproduksi dan berbagi manfaat dari kegiatan ekonomi. Kepentingan strategis hanya bisa ditegaskan dalam sebuah perspektif perbandingan dalam hubungan dengan lakilaki. Kepentingan strategis perempuan didesain untuk mengangkat status relatif perempuan terhadap laki-laki. Contoh: a. Pengurangan beban pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak. b. Penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi seperti hak untuk memiliki tanah atau harta benda lainnya. c. Akses terhadap kredit dan sumber-sumber daya lainnya. d. Kebebasan memilih untuk pengasuhan anak. e. Kebijakan khusus untuk melawan kekerasan dan kontrol terhadap perempuan. Pertanyaannya: yang mana yang paling penting? Untuk perempuan, baik kebutuhan praktis gender dan kepentingan strategis gender adalah penting. Untuk banyak perempuan, khususnya kaum miskin dan negaranegara yang pembangunannya tertinggal, kebutuhan praktis gender adalah prioritas dasar. Perempuan tidak akan dianggap bisa melakukan aksi strategis untuk meningkatkan status mereka dibandingkan dengan laki-laki selama anak-anak mereka sekarat dan keluarga mereka kelaparan.

Istilah lain yang banyak digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah kebutuhan praktis gender. Kedua istilah ini memiliki esensi yang sama, yaitu ide tentang peran gender yang setara antara laki-laki dan perempuan.

44

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Strategi Menuju Kepentingan Strategis Gender Perempuan2 Banyak strategi mencoba meningkatkan status perempuan. Sebagai contoh, melalui penyediaan akses keterampilan dan pengetahuan. Strateginya bahwa upaya memperbaiki akses perempuan untuk pendidikan, pelatihan dan pengetahuan. Karyawan yang lebih baik dan pendapatannya lebih tinggi akan meningkatkan status dalam relasinya dengan laki-laki. Melalui peningkatan akses untuk dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi, keberhasilan pendapatan tambahan dan strategi antikemiskinan juga meningkatkan status perempuan. Beberapa strategi secara jelas menantang stereotip gender. Termasuk pendidikan kejuruan, pendidikan profesi, teknik dan pelatihan untuk perempuan di ranah nontradisional. Seperti pelatihan bagi perempuan dalam hal kapasitas untuk tenaga listrik, tukang ledeng atau insinyur. Juga program untuk mengurangi stereotip gender dalam materi-materi pendidikan dan di media. Berikut contoh berita media yang melihat keterkaitan kemiskinan, gender dan pembangunan di Indonesia:

Boks 2.1 Presiden Minta Kaum Perempuan Putus Rantai Kemiskinan


Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kalangan perempuan agar melakukan kegiatan nyata yang disertai etos kerja dan produktivitas tinggi, demi memutus mata rantai kemiskinan kaum perempuan. Saya meminta kaum perempuan meningkatkan tekad mengisi pembangunan di era kebangkitan, bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi juga menjadi yang utama memajukan kehidupan bangsa, kata Presiden Yudhoyono, saat memberi sambutan pada Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-79 Tahun 2007, di Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Selasa. Menurut Kepala Negara, untuk mencapai tujuan dan pengabdian kaum perempuan tersebut, pemerintah terus melakukan perlindungan, pemberdayaan, memajukan kaum perempuan (protection, empowerment and promotion). Dijelaskan oleh Kepala Negara, peran kaum perempuan dari masa ke masa terus terlihat dalam perjalanan bangsa, terutama di bidang sosial politik. Semua itu harus didorong dengan konstitusi yang tidak diskriminatif terhadap kaum perempuan, tidak bias gender dan adil, kata Presiden. Dalam perkembangannya, saat ini telah banyak perempuan yang berpendidikan tinggi. Tentu ini jadi modal atau aset membangun negeri ini, kata Presiden. Harus diakui saat sudah banyak perempuan yang memberdayakan diri sendiri bahkan menolong kaumnya, namun masih terus perlu pembelajaran kepribadian untuk meningkatkan kemampuan pribadinya (self improvement), tegas Presiden. Pada PHI tahun 2007 dengan Tema Kita Tingkatkan Persatuan, Etos Kerja dan Produktivitas Perempuan untuk Menanggulangi Kemiskinan dan Ketertinggalan

Lorraine Corner, mantan adviser program regional UNIFEM Asia Timur dan Asia Tenggara, Bangkok. Dalam Examples of Gender-Responsive Strategies. Diambil dari A Gender Approach to the Advancement of Women Handout and Notes for Gender Workshops.

45

Guna Mewujudkan Rakyat Indonesia yang Sejahtera itu Kepala Negara menyematkan tanda penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya. Anugerah Parahita Ekapraya adalah penghargaan untuk pejabat yang peduli terhadap keselamatan/kesejahteraan orang dalam konteks kebersamaan antara laki-laki dan perempuan. Penghargaan diberikan kepada para Gubernur atau kepala daerah, yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Lampung, Sumatra Utara, Sulawesi Utara. Selanjutnya kepada para Bupati, yaitu Bupati Kabupaten Brebes, Kab . Lampung Selatan, Kab. Wonosobo, Kab. Sragen, Kab. Probolinggo, dan kepada Walikota Magelang, Sementara itu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono memberikan penghargaan kategori Kecamatan Sayang Ibu yang dimenangi Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Kategori Pengelola RS Sayang Ibu dan Bayi, diberikan kepada RSUD Jend Ahmad Yani, Metro, Provinsi Lampung. Kategori Pengelola Perusahaan Pembina Nakerwan Terbaik, diraih PT Warahmah Biki Makmur, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Pengelola Bina Keluarga Balita (BKB), diberikan Hj Anita Amri Tambunan, Kec Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Kelompok Bina Keluarga Balita Terbaik, BKB Husada Kasih, Kecamatan Boyolali, Jawa Tengah. Sedangkan penghargaan peserta Keluarga Berencana (KB) Lestari diserahkan kepada Syahariah/Syahrial (KB selama 20 tahun), dari Desa Lopok, Kecamatan Lopok, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kategori Pemberian Akte Kelahiran Bebas Bea dimenangi Bupati Ogan Komering Ilir, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. Penghargaan sebagai mendorong prakarsa aktif dan menumbuhkan komitmen pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan program dan kegiatan yang responsif gender, kata Meutia. Di bidang pengentasan kemiskinan, kata Meutia, keterlibatan perempuan dalam upaya ekonomis produktif melalui payung kebijakan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan dan pengembangan model Desa Prima, yang dapat memutus rantai kemiskinan pada kaum perempuan. Di bidang pendidikan motivasi untuk menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun, mencegah drop-out bagi anak perempuan dan pemberantasan buta aksara perempuan usia produktif, demi peningkatan kualitas kesejahteraan, kata Meutia. (*).

46

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Bahan Bacaan 2.3 Ekonomi Pemeliharaan Rumah Tangga dan Pekerjaan yang Tidak Dibayar
Ekonomi pemeliharaan rumah tangga (care economy) adalah istilah untuk menggambarkan pekerjaan perempuan yang merupakan beban peran gendernya, di ranah reproduksi, produksi dan masyarakat. Sifat pekerjaan perempuan ini umumnya sukarela, informal dan tidak dibayar (unpaid care work). Ekonomi pemeliharaan rumah tangga saat ini nyaris tidak dihitung sebagai produk domestik bruto, kecuali di beberapa negara seperti Kanada. Kegiatan ekonomi pemeliharaan rumah tangga dalam pandangan ekonomi tradisional bersifat abstrak dan sulit diukur dibanding produksi perusahaan manufaktur. Tetapi menurut pakar gender budget, Debbie Budlender,1 kegiatan perempuan dalam konteks pemeliharaan rumah tangga pada dasarnya merupakan pekerjaan dan produktif. Artinya kegiatan seperti memasak, merawat orangtua, mengasuh anak adalah kegiatan yang secara teori dapat dikerjakan orang lain atas perintah dan upah. Latar belakang pekerjaan pemeliharaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang tidak dibayar dan diperhitungkan ada dua hal. Pertama, karena anggapan bahwa fungsi utama perempuan adalah reproduksi dan domestik. Dalam ranah ini, umumnya perempuan pelaku ekonomi pemeliharaan rumah tangga dinilai kurang pendidikan, keterampilan, aset tanah, aset produktif dan waktu untuk kerja produksi (yang diupah). Kedua, pekerjaan dan sektorsektor yang didominasi perempuan, gajinya lebih rendah. Pun di Indonesia, karena tidak bernilai ekonomi, maka masyarakat dan pemerintah tidak memberikan penghargaan yang semestinya untuk ekonomi pemeliharaan rumah tangga. Tidak heran jika perempuan yang berkiprah sebagai ibu rumah tangga kurang memiliki kebanggaan sama sekali atas pekerjaannya. Padahal ekonomi pemeliharaan rumah tangga berkontribusi besar dalam proses keberlanjutan suatu bangsa. Fakta tentang pekerjaan yang tidak dibayar memunculkan masalah-masalah, seperti subordinasi, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam memperbaiki keterpurukan perempuan akibat subordinasi, marjinalisasi dan diskriminasi, perlu gerakan bersama memajukan dan memperkuat posisi perempuan setara dengan laki-laki. Dimulai dengan pengakuan dan penghargaan atas ekonomi pemeliharaan rumah tangga yang dipikul perempuan. Kemudian mengurangi beban perempuan dan mengalihkan sebagian beban kepada laki-laki atau suami, masyarakat dan pemerintah. Di keluarga, perlu membangun kultur membagi kerja pemeliharaan rumah tangga antara suami dan istri atau joint parenting. Masyarakat bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap tumbuh kembang anak dan remaja. Pemerintah harus melakukan upaya sistematis mendorong ke arah pengurangan beban perempuan menuju kepentingan strategis gender perempuan. Misalnya pemerintah menganggarkan pembangunan tempat penitipan anak yang berkualitas dan merata di seluruh Indonesia untuk mendukung perempuan yang bekerja di luar rumah.

Kontribusi Pekerjaan Tidak Dibayar terhadap Perekonomian


Pekerjaan yang tidak dibayar penting artinya bagi perekonomian dan masyarakat. Tanpa ini, para pekerja tidak bisa pergi bekerja ke pabrik, kantor, toko dan melakukan kegiatan produktif lainnya. Pekerjaan tak dibayar membangun infrastruktur sosial di

Presentasi Debbie Budlender, dalam Advanced Workshop on Gender Responsive Budgeting, 14-15 Januari 2008, di Bandung.

47

masyarakat yang bahkan lebih penting dibanding infrastruktur fisik seperti jalan dan bangunan. Satu titik krusial dalam konsep ini, adanya pengakuan bahwa perempuan dan laki-laki memang berbeda. Segala perbedaan antara laki-laki dengan perempuan akan sulit dihilangkan. Perbedaan ini hanya akan bermasalah jika mengakibatkan ketidaksetaraan gender2. Artinya, konsep ini mengakui adanya peran perempuan untuk mengandung dan melahirkan anak sebagai konsekuensi tugas regenerasi suatu bangsa. Mengandung dan melahirkan anak adalah salah satu perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Dan ini tidak menjadi masalah sepanjang ada dukungan kepada perempuan untuk menjalankan peran gendernya dengan tetap memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya. Misalnya ada dukungan suami untuk merawat/memelihara anak dan transportasi nyaman, sehingga perempuan bisa bepergian bersama bayinya dengan rasa nyaman, tidak ada ancamaan dipecat dari pekerjaan karena cuti melahirkan. Pemerintah diharapkan berperan optimal sebagai pelayan masyarakat, dengan membantu meringankan beban ganda perempuan. Pemerintah menyediakan fasilitas pelayanan publik untuk pemenuhan kebutuhan praktis gender mereka sebagai ibu rumah tangga disertai alokasi anggaran memadai. Pada saat yang bersamaan, alokasi anggaran juga harus menjangkau pemenuhan kepentingan strategis gender berupa kebijakan/program terkait perubahan subordinasi perempuan terhadap laki-laki. Pola hubungan antara pengurangan beban perempuan dan penguatan posisi perempuan bisa dilihat pada skema berikut ini:

Ibid

48

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Bagan 2.1 Skema Pengurangan Beban Perempuan dan Pemberdayaan Perempuan


Alokasi anggaran tidak adil Rentan jadi korban trafficking Rentan jadi PSK, terutama untuk janda Rentan menjadi korban di luar negeri

Kebijakan netral gender

Rentan KDRT

Tingkat pendidikan anak perempuan rendah

Perempuan banyak yang menjadi TKW

Perempuan tidak dilibatkan dalam penentuan kebijakan, mulai dari tingkat kelurahan sampai nasional

Profesi ibu rumah tangga tidak dihargai

Upah perempuan lebih rendah dari laki-laki

Marjinalisasi perempuan

Subordinasi perempuan

Diskriminasi perempuan

Beban ganda perempuan

Kerja domestik tidak dihargai (unpaid work)

Pengakuan dari pemerintah tentang kontribusi kerja domestik

Pengurangan beban perempuan dalam bentuk kebijakan yang didukung oleh alokasi anggaran yang memadai

Perhatian terhadap isu anak & remaja, lansia, penyandang cacat, dll

Penyediaan sarana dan sarana yang memadai

Akselerasi pendidikan perempuan

Kebijakan yang mendukung kiprah perempuan sesuai potensinya

Dukungan terhadap peran reproduksi perempuan

Beban perempuan berkurang, sehingga bisa berkiprah sesuai potensi

Perempuan berdaya

49

Dari sini akan terlihat posisi penting anggaran sebagai sarana untuk memuluskan kebijakan mengurangi kesenjangan gender menuju pemberdayaan perempuan. Yaitu, ketika perempuan sudah bisa memilih berkiprah sesuai dengan minat dan potensinya, tidak ada lagi dikotomi antara peran publik dan peran domestik. Peran publik dan domestik sama dihargainya. Ketika hal tersebut terjadi, maka pemberdayaan perempuan telah menjadi kenyataan. Inti dari peningkatan penyadaran tentang gender di anggaran adalah mengembangkan satu pemahaman tentang peran ekonomi pemeliharaan rumah tangga. Diane Elson (1997) mendeskripsikan ekonomi pemeliharaan rumah tangga sebagai: Hal yang telah memberikan kontribusi dalam kesejahteraan individu yang menerimanya dan berkontribusi pada perekonomian barang dan perekonomian jasa publik dengan menyediakan sumber daya manusia dan dengan memelihara kerangka sosial, menyediakan apa yang disebut modal sumber daya manusia dan modal sosial bagi perekonomian barang dan perekonomian jasa publik.(Elson, 1997:8-9)3 Penghargaan terhadap ekonomi pemeliharaan rumah tangga juga bisa ditunjukkan dalam bentuk memasukkan pekerjaan tak dibayar dalam penghitungan GNP suatu negara, yang ditunjukkan dengan skema di bawah ini:

Bagan 2.2 Merevisi Ekonomi dengan Memasukkan Sumbangan Kegiatan Pemeliharaan Rumah Tangga4
Sektor Swasta Kerja Formal yang dibayar (dimasukkan dalam penghitungan GNP) Kerja Informal dan tak dibayar (tidak termasuk dalam penghitungan GNP) Sektor Publik Kerja Formal yang dibayar (dimasukkan dalam penghitungan GNP)

Barang dan jasa yang dijual dan pembayarannya

Input (masukan) dari tenaga kerja yang dibayar

Sektor NGO Kerja Formal yang dibayar (dimasukkan dalam penghitungan GNP) Kerja sukarelawan (tidak termasuk kerja di NGO)

Sektor Domestik Kerja yang tak dibayar (tidak termasuk dalam penghitungan GNP)

Pengabaian terhadap kemampuan manusia Barang dan jasa yang dijual dan tidak dijual, termasuk informasi dan advokasi Input dari tenaga kerja yang dibayar dan tenaga kerja sukarela Pelayanan publik, transfer pendapatan dan pembayaran, dikurangi pajak dan retribusi

3 4

Lihat Sharp, Ronda. 2003. Budgeting for Equity:Gender budget initiatives within a framework of performance oriented budgeting.hal. 12. Ibid, hal. 13-14.

50

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Bagan di atas menunjukkan revisi ekonomi dengan mengintegrasikan perspektif gender, dengan merevisi pandangan konvensional tentang ekonomi yang fokus pada alur pasar atau barang dan jasa yang dibayar menjadi ekonomi yang menunjukkan pentingnya aktivitas dan kerja pemeliharaan rumah tangga, yaitu: a. Produksi dari kerja yang tak dibayar sama nilainya dengan barang dan jasa di semua sektor perekonomian.

b. Adanya saling ketergantungan (interdependensi) antara sektor swasta, sektor publik, sektor masyarakat non-pemerintah (tidak mencari laba) dan sektor domestik rumah tangga. Ada empat sektor yang saling berkaitan, baik alur pasar maupun non-pasar yang membawa pesan-pesan dan nilai baik positif maupun negatif, di mana barang dan jasa sepenting uang dan manusia. a. Sektor domestik memasok orang-orang untuk bekerja di seluruh sektor lain dan aktivitas yang tidak dibayar umumnya membantu optimalisasi fungsi sektor lain. Penetapan nilai mengalir dari sektor domestik, dengan menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan manusia, namun menyerahkan tanggung jawab ini pada perempuan.

b. Sektor publik menghasilkan penerimaan dan membuat pendapatan berpindah ke sektor lainnya dan menyediakan barang dan jasa publik, termasuk jasa pemeliharaan yang dibayar seperti kerja sosial, pendidikan, dan kesehatan. Nilai-nilai yang terkait dengan hukum mengalir dari sektor publik yang menekankan pada kewarganegaraan, hukum dan undang-undang, meskipun pada praktiknya dapat menjadi birokrasi dan autokrasi dan menyingkirkan kelompok-kelompok masyarakat dari kewarganegaraan yang penuh. c. Sektor LSM menyediakan beragam layanan kepada sektor domestik, kadang dikontrak oleh sektor publik; dan beragam layanan termasuk kegiatan pemeliharaan rumah tangga (mengasuh anak, merawat orang tua lanjut usia, pekerja anak) yang tidak perlu dibayar atau dibayar dengan nilai kecil. Aliran nilai dari sektor LSM adalah kebersamaan dan kerja sama, namun sering merupakan hal eksklusif dan tidak partisipatif. Sektor swasta menjual barang dan jasa kepada sektor lainnya. Nilai-nilai yang ada adalah komersial, yang bisa membuat serakah dan korupsi.

d.

Pembagian kerja berdasarkan gender dalam pola pekerjaan dan kegiatan di empat sektor menunjukkan perempuan mengerjakan lebih banyak kegiatan yang tidak dibayar; mengerjakan lebih banyak pekerjaan dan kegiatan pemeliharaan; baik yang dibayar maupun yang tidak dibayar; dan perempuan dibayar lebih rendah dibanding laki-laki. Terdapat pula pembagian gender antara empat sektor ekonomi, kontribusi dari ketidakberuntungan relatif perempuan secara ekonomi dibandingkan dengan laki-laki. Model perekonomian yang sensitif gender dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran atas dampak gender, satu hal yang tidak terlihat jika menggunakan analisis ekonomi konvensional. Model ini bisa menunjukkan, sebagai contoh, bagaimana kebijakan dan anggaran yang tidak memperhitungkan kontribusi pekerjaan yang tidak dibayar, dapat meningkatkan kemiskinan dan merusak reproduksi sosial.

51

Bahan Bacaan 2.4 Mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan Gender


A. Fakta-fakta tentang Ketidaksetaraan Gender Berikut ini adalah fakta-fakta dari berbagai belahan dunia mengenai ketidaksetaraan gender, terutama dalam hak, sumber daya dan pengambilan keputusan. Ketidaksetaraan gender ini merupakan dampak dari praktik-praktik ketidakadilan gender, baik berupa diskriminasi, subordinasi, marjinalisasi, beban ganda, stereotip maupun kekerasan terhadap perempuan. 1. Hak Tidak ada negara yang memberikan hak, dari aspek hukum, sosial dan ekonomi yang setara antara perempuan dan laki-laki. Di sejumlah negara, perempuan belum memiliki kebebasan untuk memiliki tanah, mengelola properti, menjalankan bisnis, atau bahkan melakukan perjalanan tanpa didampingi oleh suami mereka. Kesenjangan gender dalam hak, membatasi pilihan-pilihan yang tersedia untuk perempuan di banyak aspek kehidupan, sering kali ditemukan membatasi kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dan mendapatkan manfaat pembangunan. 2. Sumber Daya Perempuan secara terus-menerus dimiskinkan secara sistematis karena kurang memiliki sumber daya produktif, mencakup pendidikan, tanah, informasi dan sumber daya finansial. Di Asia Selatan, lama sekolah perempuan hanya setengah dari lama sekolah laki-laki, dan rata-rata angka partisipasi perempuan di sekolah menengah hanya 1 berbanding 2 atau 3 anak laki-laki. Banyak perempuan yang tidak dapat memiliki tanah sendiri sehingga mereka hanya bisa menjadi pemilik lahan yang lebih sempit (command smaller landholding) daripada laki-laki. Di wilayah negara berkembang, perusahaan yang dimiliki perempuan cenderung kekurangan modal, kurang bisa mengakses teknologi produksi (mesin dan pendingin), informasi dan kredit dibandingkan perusahaan yang dimiliki laki-laki. Hambatan-hambatan ini memperkecil peluang perempuan berpartisipasi dalam pembangunan dan dalam meningkatkan standar kehidupan yang lebih baik bagi keluarga mereka. Hambatan ini juga mengakibatkan risiko dan kerentanan ketika terjadi krisis keluarga dan ekonomi. Meskipun terjadi peningkatan capaian pendidikan perempuan, namun perempuan mendapat gaji lebih rendah daripada laki-laki di pasar tenaga kerja, walaupun mereka memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama dengan laki-laki. Perempuan sering dibatasi untuk memasuki sektor tertentu di negara berkembang dan tidak banyak menduduki posisi manajemen di sektor formal. Di negara maju, gaji perempuan 77% dari apa yang diperoleh laki-laki, sedangkan di negara berkembang 73%. Sekitar 50% dari kesenjangan gaji dapat dijelaskan melalui perbedaan gender, baik di pendidikan, pengalaman kerja dan karakteristik kerja. 3. Pengambilan Keputusan Akses yang terbatas terhadap sumber daya dan kemampuan yang lebih lemah untuk meningkatkan penghasilan, baik melalui usaha mandiri maupun bekerja, telah membatasi kekuatan perempuan untuk mempengaruhi alokasi sumber daya dan

52

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

keputusan mengenai investasi di tingkat rumah tangga. Hak dan status sosial ekonomi yang tidak setara dengan laki-laki juga membatasi kemampuan mempengaruhi keputusan di tingkat komunitas dan nasional. Perempuan tetap belum terwakili di lembaga perwakilan tingkat lokal dan nasional. Perempuan menduduki rata-rata kurang dari 10% jumlah kursi di parlemen, terkecuali di Asia Selatan yang mencapai 18-19%. Tidak ada negara berkembang dengan persentase perempuan di posisi pemerintahan lebih dari 8%. Lebih jauh, kemajuan yang ada tidak berkembang secara signifikan sejak tahun 1970-an, dan di Eropa Timur representasi perempuan jatuh dari 25% menjadi 7% sejak terjadi transisi ekonomi dan politik.

B. Kesenjangan Gender yang Terbesar Terjadi di Kelompok Miskin Sering kali kesenjangan gender tertinggi dalam sektor pendidikan dan kesehatan terjadi pada kelompok masyarakat miskin. Studi terakhir tentang angka partisipasi siswa perempuan dan siswa laki-laki di 41 negara menunjukkan bahwa dalam kesenjangan gender di level negara, kesenjangan dalam angka partisipasi sekolah lebih besar di kelompok masyarakat miskin dibandingkan dengan non-miskin. Pola yang sama tentang penghargaan terhadap anak perempuan dan anak laki-laki terjadi pada angka kematian anak di bawah lima tahun. Pola yang sama juga terjadi ketika membandingkan antara negara kaya dan negara miskin. Meskipun angka partisipasi sekolah siswa perempuan meningkat secara nyata selama 30 tahun terakhir ini di negara-negara miskin, namun kesenjangan angka partisipasi sekolah antara laki-laki dan perempuan yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan negara-negara dengan penghasilan menengah dan tinggi. Meskipun ada kaitan antara pembangunan ekonomi dan kesetaraan gender, representasi perempuan di parlemen tetap sedikit. Di beberapa negara dengan penghasilan rendah, seperti China dan Uganda, upaya khusus dilakukan untuk memberikan kursi parlemen kepada perempuan, hingga mencapai tingkat representasi yang lebih tinggi daripada negara dengan penghasilan tinggi. Negara-negara ini memperlihatkan adanya potensi dampak positif terkait mandat kesetaraan gender.

C. Dampak dari Ketidaksetaraan Gender Dampak dari ketidaksetaraan gender yang terjadi mencakup: terancamnya kesejahteraan dan terganggunya proses pembangunan, berkurangnya produktivitas dan pertumbuhan ekonomi serta lemahnya tata pemerintahan. Penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut: 1. Terancamnya Kesejahteraan dan Terganggunya Proses Pembangunan Salah satu kerugian utama dari ketidaksetaraan gender adalah dampak negatifnya terhadap kehidupan manusia dan kualitas hidup manusia. Mengidentifikasi dan mengukur kerugian ini secara keseluruhan sulit untuk dilakukan, namun bukti-bukti dari negara yang sejahtera di seluruh dunia menunjukkan bahwa masyarakat dengan tingkat ketidaksetaraan gender yang tinggi yang berlangsung lama, akan merasakan akibat dalam bentuk lebih banyak kasus kemiskinan, gizi buruk dan penurunan kualitas hidup lainnya.

53

China, Korea dan Asia Selatan memiliki angka kematian anak perempuan yang tinggi karena norma sosial yang lebih menyukai anak laki-laki dan kebijakan satu anak di China. Beberapa estimasi mengindikasikan bahwa ada 60-100 juta perempuan yang akan bisa tetap hidup seandainya tidak ada diskriminasi gender. Angka buta huruf dan tingkat pendidikan yang rendah dari ibu telah mengakibatkan rendahnya kualitas pengasuhan anak yang kemudian mengakibatkan angka kematian yang lebih tinggi untuk bayi dan balita serta kasus gizi buruk. Ibu yang berpendidikan, akan lebih mudah mengadopsi perilaku hidup sehat, seperti memberikan imunisasi kepada anaknya. Terkait dengan pendidikan sekolah, rumah tangga dengan pendapatan yang lebih tinggi berelasi dengan tingkat ketahanan anak untuk tetap hidup dan nutrisi yang lebih baik. Memberikan tambahan penghasilan kepada perempuan akan berdampak positif dibandingkan jika diberikan kepada laki-laki sebagaimana yang ditunjukkan oleh studi di Bangladesh dan Brasil. Sayangnya, norma sosial yang ketat tentang pembagian kerja dan pembatasan perempuan untuk bekerja di sektor yang dibayar atau sektor formal, telah membatasi kemampuan perempuan untuk mendapatkan penghasilan. Pada saat perempuan dan anak perempuan menanggung akibat dari norma dan stereotip gender, hal yang sama juga terjadi pada laki-laki. Contohnya, di negaranegara Eropa Timur, angka harapan hidup laki-laki menurun tajam dalam beberapa tahun terakhir ini. Tingkat angka kematian laki-laki paling tinggi tercatat pada saat damai, yang terjadi karena meningkatnya stres dan kekhawatiran akibat sulit mendapatkan pekerjaan.

2. Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi Tidak Optimal Perhatian terhadap pembangunan manusia merupakan inti dari pembangunan, di mana kualitas hidup manusia adalah tujuan akhir. Ketidaksetaraan gender telah menimbulkan biaya atas produktivitas, efisiensi dan perkembangan ekonomi, berupa: Kehilangan dari sisi output karena inefisiensi dalam mengalokasikan sumber daya produktif antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Rumah tangga di Burkina Faso, Kamerun dan Kenya dengan kontrol atas input yang lebih setara telah menghasilkan hasil pertanian 20% lebih besar daripada output saat ini. Investasi yang rendah terhadap pendidikan perempuan mengurangi output pada tingkat negara secara keseluruhan. Satu studi mengestimasikan bahwa jika negara-negara di Asia Selatan, Afrika Sub Sahara, Timur Tengah dan Afrika Utara dengan tingkat kesenjangan gender rata-rata lama sekolah sama dengan Asia Timur di tahun 1960 dan menutup kesenjangan gender berdasarkan tingkat yang dicapai oleh Asia Timur pada periode tahun 1960-1992, maka pendapatan per kapita akan tumbuh 0,5 0,9 % lebih tinggi per tahunnya. Secara substansial, hal ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi aktual. Studi yang lain mengestimasikan bahwa untuk negara dengan pendapatan menengah dan tinggi dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, peningkatan 1% perempuan di pendidikan menengah akan meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 0,3%.

54

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

3. Lemahnya Tata Pemerintahan Pemberian hak yang lebih besar kepada perempuan dan partisipasi yang lebih setara antara laki-laki dan perempuan, ternyata berelasi dengan iklim bisnis yang lebih bersih, tata pemerintahan yang lebih baik, serta tingkat korupsi yang menurun. Ini bahkan terjadi ketika membandingkan negara yang memiliki kesamaan dalam hal pendapatan, kebebasan warga, pendidikan dan institusi hukum. Meskipun masih bersifat sugestif, temuan-temuan yang ada memberi tambahan argumen perlunya memberi ruang pada perempuan di ranah politik dan angkatan kerja, karena perempuan akan memberikan dorongan yang efektif bagi penegakan hukum dan pemerintahan yang baik. Dalam bisnis, perempuan kurang suka memberi suap kepada pegawai pemerintah karena perempuan memiliki standar yang lebih tinggi dalam etika perilaku atau cenderung menghindari risiko. Studi terhadap 350 perusahaan di Georgia menunjukkan bahwa perusahaan yang dimiliki laki-laki lebih berpotensi memberi bayaran tidak resmi kepada pegawai pemerintah 10% daripada perusahaan yang dimiliki perempuan. Studi ini tidak memperhitungkan karakteristik dari perusahaan, seperti berusaha di sektor apa dan seberapa besar skala usaha, dan karakterstik dari pemilik/manajer dalam pendidikan misalnya.

D. Mengapa Kesenjangan Gender Tetap Ada? Jika ketidaksetaraan gender mengancam kesejahteraan masyarakat dan keberhasilan pembangunan dari suatu negara, mengapa kesenjangan gender masih tetap berlangsung di banyak negara? Mengapa beberapa bentuk ketidaksetaraan gender lebih sulit untuk dihilangkan dibandingkan yang lainnya? Sebagai contoh, kemajuan telah terjadi secara cepat di beberapa dimensi, misalnya kesehatan dan akses terhadap sekolah, namun kemajuan dalam partisipasi politik dan hak dalam kekayaan berjalan lambat. Faktor-faktor apa yang dibutuhkan dalam mentransformasikan relasi gender dan mengurangi ketidaksetaraan gender? Jawabannya adalah institusi sosial, rumah tangga dan perekonomian. 1. Institusi Sosial Institusi-institusi sosial adalah: norma sosial, kebiasaan, hak, aturan hukum. Institusi ekonomi adalah: pasar, pembagian peran dan relasi antara laki-laki dan perempuan dan pengaruh terhadap sumber daya yang dapat diakses oleh perempuan dan lakilaki, aktivitas apa yang bisa/tidak bisa dilakukan dan dalam bentuk apa mereka dapat berpartisipasi di perekonomian dan di masyarakat. Hal-hal di atas telah membentuk insentif yang dapat mendorong atau mengecilkan anggapan tentang peran gender. Bahkan ketika institusi formal maupun informal tidak membedakan secara eksplisit antara laki-laki dan perempuan. Mereka biasanya diberi informasi, baik secara formal maupun informal, oleh norma sosial tentang peran gender yang pantas. Institusi sosial ini memiliki daya tahan tersendiri dan sulit untuk diubah, meskipun tidak bersifat statis.

55

2. Rumah Tangga Sama seperti institusi sosial, rumah tangga juga memainkan peran penting dalam membentuk relasi gender sejak lahir dan meneruskan hal ini dari satu generasi ke generasi berikutnya. Manusia banyak membuat keputusan di tingkat rumah tangga, seperti tentang bagaimana mengasuh dan membesarkan anak, bekerja atau santai, dan investasi di masa depan. Bagaimana tugas dan sumber daya produktif dialokasikan di antara anak laki-laki dan anak perempuan, seberapa derajat otonomi yang diberikan, apakah ada ekspektasi yang berbeda untuk keduanya. Kesemuanya ini membentuk, mendorong atau mengurangi kesenjangan gender. Namun keluarga tidak membuat keputusan dalam situasi yang hampa udara. Mereka membuat keputusan dalam konteks komunitas tertentu, dengan merefleksikan pengaruh dari insentif yang dibangun oleh institusi dan lingkungan kebijakan yang lebih besar. 3. Perekonomian Perekonomian menentukan banyak kesempatan orang untuk memperbaiki standar hidup mereka. Kebijakan ekonomi dan pembangunan sangat berdampak pada ketidaksetaraan gender. Pendapatan yang lebih tinggi berarti lebih sedikit rumah tangga memiliki keterbatasan sumber daya, yang mendorong mereka memilih investasi terhadap anak laki-laki atau anak perempuan. Tetapi, seberapa tepat lakilaki dan perempuan terkena dampak dari pembangunan tergantung pada kegiatan income generating apa yang tersedia, bagaimana mereka diorganisasikan, bagaimana upaya dan keterampilan dihargai dan apakah laki-laki dan perempuan setara untuk berpartisipasi. Bahkan, kebijakan pembangunan yang bersifat netral gender, ternyata dapat menghasilkan outcome yang berbeda berdasarkan gender. Hal ini, karena keputusan di tingkat institusi dan rumah tangga berkontribusi membentuk peran dan relasi gender. Pembagian kerja di rumah berdasarkan gender, norma sosial dan anggapan masyarakat dan sumber daya yang tidak setara, telah mencegah perempuan dan lakilaki untuk mendapat manfaat yang setara dari aspek ekonomi. Kegagalan untuk mengakui adanya perbedaan gender ini akan menjadi hambatan dalam menyusun kebijakan yang pada akhirnya dapat mengkompromikan, baik dari aspek keadilan maupun efektivitas. Dengan demikian, institusi sosial, rumah tangga dan perekonomian secara bersama telah menentukan kesempatan dan prospek kehidupan manusia yang ditentukan oleh gender. Aspek-aspek ini juga merepresentasikan entry point yang penting untuk kebijakan publik dalam rangka mengatasi ketidaksetaraan gender. 4. Menuju Keadilan dan Kesetaraan Gender Ketidaksetaraan gender telah terbukti menghasilkan sejumlah dampak negatif. Oleh karena itu, mengatasi permasalahan ketidaksetaraan gender adalah satu hal penting yang harus dilakukan agar terwujud kesetaraan gender. Istilah kesetaraan gender dapat didefinisikan dengan banyak cara dalam konteks pembangunan. Kesetaraan gender dapat diartikan sebagai kesetaraan dalam hukum dan kesetaraan dalam kesempatan. Termasuk kesetaraan penghargaan atas kerja yang dilakukan, kesetaraan dalam mengakses modal manusia (human capital) dan sumber daya produktif yang menyediakan kesempatan, dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan. Pengertian ini dalam jangka pendek mengubah definisi kesetaraan gender sebagai kesetaraan dari sisi outcome (hasil) karena dua alasan: pertama, perbedaan

56

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

budaya dan masyarakat dapat mengikuti pola yang berbeda dalam mencapai apa yang disebut dengan kesetaraan gender. Kedua, kesetaraan mengimplikasikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kebebasan untuk memilih peran yang berbeda maupun yang serupa sesuai dengan preferensi dan tujuan dirinya.

57

Lembar Bantu Belajar 2.1 Statistik Kesenjangan Gender


Kelompok 1: Peran di Rumah Tangga

Grafik 2. 1 Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama Tahun 2006

Sumber: BPS, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Februari 2006

Keterangan: 1. Berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain 2. Berusaha dibantu anggota rumah tangga/buruh tidak tetap 3. Berusaha dengan buruh tetap 4. Pekerja/buruh/karyawan 5. Pekerja bebas di pertanian 6. Pekerja bebas di non pertanian 7. Pekerja tidak dibayar

58

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Grafik 2. 2 Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas Menurut Jumlah Jam Kerja Seminggu, Tahun 2006

Sumber: BPS, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Februari 2006

Keterangan: Seseorang dikatakan bekerja penuh bila jam kerjanya mencapai 35 jam atau lebih dalam seminggu. Secara nasional persentase penduduk yang digolongkan bekerja penuh adalah sebesar 66,46%. Bila dilihat menurut jenis kelamin, sekitar 73% penduduk laki-laki bekerja penuh dalam seminggu, sementara perempuan hanya sekitar 54%.

Pertanyaan untuk Diskusi Kelompok 1: 1. 2. 3. 4. 5. Grafik 2.1 dan 2.2 di atas menggambarkan apa? Bagaimana perbandingan secara umum? Bagaimana jika dianalisis secara gender? Bagaimana hubungan antara definisi kerja yang digunakan dengan unpaid care work yang dilakukan oleh perempuan? Apa implikasinya bagi upaya pengentasan kemiskinan? Apa program-program pembangunan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan di atas? Kelompok 2: Pendidikan

59

Grafik 2.3 Persentase Penduduk Buta Huruf Usia 10 Tahun ke Atas Tahun 2000-2004

Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 2000-2004

Grafik 2.4 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk Usia 7-18 Tahun

60

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Grafik 2.5 Ijazah Tertinggi yang Dimiliki

Pertanyaan untuk Diskusi Kelompok 2: 1. 2. 3. 4. Bagaimana situasi pendidikan secara keseluruhan? Mana persentase terbesar dan terkecil? Bagaimana kesenjangan gender pada masing-masing jenjang pendidikan? Bagaimana perkiraan situasi yang akan datang? Apa program-program yang tepat untuk mengatasi situasi di atas? Apa hambatan dan tantangan terhadap program-program tersebut?

Kelompok 3: Lapangan Kerja

Grafik 2.6 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Tahun 2004-2006

Sumber: BPS, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 2004, Februari 2005 dan Februari 2006

61

Tabel 2.3 Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2006
Lapangan pekerjaan utama 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah Laki-laki Perempuan Total

44,40 1,30 11,11 0,32 6,87 16,43 8,52 1,35 9,71 100,00

44,59 0,42 14,12 0,04 0,38 25,19 0,60 0,95 13,71 100,00

44,47 1,00 12,16 0,22 4,60 19,50 5,74 1,21 11,11 100,00

Sumber: BPS, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2006

Catatan: 1. Pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan 2. Pertambangan dan penggalian 3. Industri pengolahan 4. Listrik, gas dan air 5. Bangunan 6. Perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel 7. Angkutan, penggudangan dan komunikasi 8. Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan 9. Jasa kemasyarakatan

Pertanyaan untuk Diskusi Kelompok 3: 1. 2. 3. 4. 5. Bagaimana perbandingan secara umum? Bagaimana jika dianalisis secara gender? Bagaimana menghubungkan kedua data di atas? Apa implikasinya bagi penyusunan program-program pembangunan? Bagaimana menciptakan program-program yang berkeadilan gender?

62

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Kelompok 4: Tingkat Upah

Grafik 2.7 Tingkat Upah

Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 2001-2002

Pertanyaan Diskusi Kelompok 4: 1. 2. 3. 4. Bagaimana situasi pengupahan di Indonesia secara umum? Bagaimana jika dianalisis dari perspektif gender? Di mana kesenjangan yang paling rendah dan paling tinggi? Bagaimana mengatasi situasi diskriminasi di bidang pengupahan? Apa programprogram sektoral yang mendukung?

63

Bahan Presentasi 2.1


1 2

Perbedaan Seks dan Gender


Seks merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang tetap sejak lahir Gender merujuk pada perbedaan peran dan tanggung jawab sosial dari perempuan dan laki-laki, perilaku dan karakteristik sosial yang dianggap pantas untuk perempuan dan lakilaki dan gagasan mengenai bagaimana berbagai macam aktivitas dinilai dan dihargai

Relasi Gender

Tiga Tipe Peran Gender


Reproduksi Produksi Masyarakat

Ketidakadilan Gender
Marjinalisasi Subordinasi Diskriminasi Beban Ganda Pelabelan Kekerasan

Kaitan Gender dan Kemiskinan


Akibat konstruksi peran gender laki-laki dan perempuan di tiga ranah (produksi, reproduksi dan komunitas), perempuan menjadi pihak yang dipinggirkan Data-data: - Perempuan melakukan kegiatan yang menyumbang 67% waktu kerja dunia; - Perempuan berpendapatan 10 % dari pendapatan dunia; - Perempuan merupakan 2/3 penderita buta huruf dunia; dan - Perempuan memiliki kurang dari 1 % kekayaan (property) dunia

64

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Bahan Presentasi 2.2


1 2

Peran Gender Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender


Peran gender mempengaruhi kebutuhan Perempuan dan laki-laki memiliki peran gender yang berbeda dan berdampak pada kebutuhan yang berbeda Kebutuhan gender dipilah menjadi kebutuhan praktis dan kebutuhan/kepentingan strategis

Kebutuhan Praktis Gender


Kebutuhan dasar dalam rangka menjalankan peran gender perempuan Dibutuhkan oleh perempuan dan laki-laki, contoh: - Penyediaan air - Perawatan kesehatan - Penyediaan pendapatan keluarga - Perumahan dan pelayanan dasar - Penyediaan makanan untuk keluarga

Kebutuhan Strategis Gender


Kebutuhan jangka panjang untuk mengubah peran gender perempuan dan laki-laki dalam rangka berbagi lebih setara dan bertanggung jawab, baik pekerjaan domestik dan reproduksi maupun berbagi manfaat dari kegiatan ekonomi

Contoh Kebutuhan Strategis Gender

a. Pengurangan beban pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak b. Penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi seperti hak untuk memiliki tanah atau harta benda lainny. c. Akses terhadap kredit dan sumber-sumber daya lainnya d. Kebebasan memilih untuk pengasuhan anak e. Kebijakan khusus untuk melawan kekerasan dan kontrol terhadap perempuan

65

Contoh Hasil Simulasi Stereotip:

Tabel 2.4 Presentasi Kelompok Stereotip


Laki-laki
Boros Logis Menjadi yang dituakan Bicara keras Kasar Merasa lebih berkuasa Tanggung jawab lebih besar

Perempuan
Hemat Pelit Gampang diperdaya Suka menawar Menomorsatukan keluarga Teliti Tidak berpendirian Sensitif Penggoda Emosional

Implikasi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Laki-laki lebih mudah untuk berbuat seenaknya Laki-laki lebih bisa berada di posisi kekuasaan Laki-laki lebih dominan menentukan pilihan Laki-laki pekerja keras dan bertanggung jawab Laki-laki cepat bosan, lebih kreatif, dan suka tantangan Laki-laki harus dihormati Laki-laki lebih bebas dalam segala hal Perempuan selalu mempercantik diri untuk mencari perhatian laki-laki Tidak pantas bekerja di luar rumah

10. Perempuan lebih cocok di rumah atau bekerja di tempat yang informal 11. Perempuan disalahkan kalau anaknya tidak beres 12. Perempuan tidak mengejar kekuasaan

66

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 2

Gender dan Kemiskinan

Tabel 2.5 Presentasi Kelompok Tugas Rumah Tangga


Perempuan
1. Mendampingi anak mengerjakan tugas sekolah 2. Membesarkan anak 3. Memasak 4. Mencuci pakaian 5. Menyetrika 6. Menjemur 7. Mengumpulkan bibit 8. Merawat orang sakit

Perempuan dan Laki-laki


1. Mengumpulkan uang 2. Memotong padi 3. Menanam bibit padi 4. Bercocok tanam 5. Membayar 6. Mencari makanan 7. Panen 8. Menjual

Laki-laki
1. Membajak sawah 2. Memberikan makan sapi 3. Berkebun 4. Memperbaiki rumah dan saluran air 5. Panjat kelapa 6. Memutuskan siapa anak yang harus sekolah

Implikasi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perempuan tidak punya posisi tawar Perempuan tidak percaya diri Bisa terjadi kekerasan fisik Pengambilan keputusan didominasi laki-laki Memasak, mengasuh anak, dan melayani suami adalah kodrat perempuan Munculnya peran ganda perempuan

67

68

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

SESI 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Pengantar
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif itu. (Pasal 28 I, ayat (2) UUD 1945 dan perubahannya) Diskriminasi adalah musuh yang paling mengancam dalam upaya pemenuhan hakhak dasar warga negara secara adil. Pemenuhan hak-hak dasar warga negara tidak boleh diskriminatif dalam arti pemenuhan hak-hak dasar warga negara Indonesia, sebagaimana amanat UUD 1945, tidak membedakan ras, agama, suku, warna kulit ataupun gender. Dari perspektif gender, pembangunan merupakan upaya yang tak terpisahkan untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara, laki-laki dan perempuan secara adil. Walhasil, proses dan manfaat pembangunan semestinya memberi peluang partisipasi dan manfaat yang adil bagi laki-laki dan perempuan. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women/CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia tahun 1984 mengartikan diskriminasi terhadap perempuan1 sebagai berikut:

Dalam Kompilasi Instrumen Hak Asasi Manusia, edisi revisi kedua 2004, editor edisi bahasa Indonesia: Temmanengnga, hal. 245.

69

Setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara lakilaki dan perempuan. Meskipun secara normatif peraturan perundangan di Indonesia sudah mengakui hakhak perempuan setara dengan laki-laki, namun pada kenyataannya masih terjadi kesenjangan antara aturan hukum dan praktik sehari-hari dalam masyarakat. Penyebabnya bersumber pada masalah struktur dan kultur yang belum memihak kepada perempuan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam pemenuhan hak-hak dasar warga negara ke depan, harus diupayakan perbaikan di tiga wilayah: kebijakan, struktur dan kultur.

Tujuan:
Peserta memahami dan menginternalisasikan konsep pembangunan berbasis hak dasar atau HAM (Rights Based Development) sebagai dasar praktik fungsi pelayanan publik. Peserta mengetahui dukungan peraturan perundangan di Indonesia yang sudah mengakomodasikan kesetaraan gender. Peserta mengetahui perkembangan aktual kebijakan strategi pengarusutamaan gender dalam pembangunan Indonesia. Peserta memahami masalah-masalah dalam penerapan kebijakan yang berkesetaraan gender, baik dalam hal isi kebijakan (content), struktur pelaksana (structure) kebijakan dan praktik/budaya sehari-hari (culture).

Metode:
Curah pendapat Diskusi kelompok Presentasi

Waktu:
90 menit

Alat dan Bahan:


Kertas plano Spidol Metaplan

Media Pembelajaran:
Lembar Bantu Belajar 3.1 Bahan Bacaan 3.1 Bahan Bacaan 3.2 Bahan Bacaan 3.3 Bahan Bacaan 3.4 Bahan Presentasi 3.1 Bahan Presentasi 3.2

70

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Catatan untuk Fasilitator:


Fasilitator hendaknya menguasai isi peraturan perundangan terkait penjaminan negara atas hak-hak dasar warga negara dan prinsip kesetaraan gender dalam pemenuhannya. Fasilitator hendaknya fokus pada penjelasan inti substansi peraturan perundangan terkait penjaminan negara atas hak-hak dasar warga negara dan prinsip kesetaraan gender dalam pemenuhannya. Perbanyaklah penjelasan mengenai contoh konkret implementasi peraturan perundangan. Hindarilah pembahasan yang bersifat normatif. Fasilitator hendaknya menyiapkan naskah (hard copy) dan sebaiknya juga bentuk soft copy naskah peraturan perundangan terkait penjaminan negara atas hak-hak dasar warga negara dan prinsip kesetaraan gender dalam pemenuhannya. Bagikanlah naskah peraturan perundangan tadi kepada peserta.

Tahapan Proses
Pembukaan (5 menit) Fasilitator membuka sesi dan menjelaskan secara singkat tema yang akan dibahas. Fasilitator menjelaskan bahwa sesi 3 ini akan dilaksanakan dengan teknik diskusi kelompok.

Diskusi Kelompok (30 menit) Fasilitator membagi peserta menjadi tiga kelompok. Fasilitator membagikan kertas warna (digulung) yang berisi cuplikan pernyataan peraturan perundangan yang terdapat di Lembar Bantu Belajar 3.1. Fasilitator meminta setiap kelompok mendiskusikan dan menganalisis pernyataan dari peraturan perundangan atau kebijakan dengan panduan pertanyaan berikut selama 20 menit: Apa makna peraturan di atas? Bagaimana pelaksanaannya? Mengapa demikian? Bagaimana mengatasi kesenjangan antara rumusan kebijakan dan praktik seharihari?

Curah Pendapat (45 menit) Fasilitator mempersilakan setiap kelompok bergiliran mempresentasikan hasil diskusinya dalam format diskusi pleno. Fasilitator mencatat inti presentasi masing-masing kelompok dan memandu curah pendapat tentang kebijakan nasional tentang pengarusutamaan gender dan kesetaraan gender dalam kebijakan pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Fasilitator menayangkan dan menjelaskan Bahan Presentasi 3.1 dan 3.2 secara singkat, sedangkan versi lengkap dari isi presentasi, yaitu Bahan Bacaan 3.1 dan Bahan Bacaan 3.2 dibagikan kepada peserta.

71

Penutup (10 menit) Fasilitator bersama peserta menyimpulkan sesi ini: Peraturan pemerintah yang mendorong kesetaraan gender cukup banyak, namun dalam pengimplementasiannya banyak mengalami hambatan dan kendala. Perlu ada komitmen bersama untuk mengubah pola pikir dan sikap dari para pengambil kebijakan agar hambatan struktur dan budaya semakin mengecil dalam rangka mencapai kesetaraan gender. Strategi pengarusutamaan gender merupakan pilihan untuk mempercepat proses tercapainya kesetaraan gender.

Fasilitator menutup sesi dan meminta peserta untuk beristirahat sebelum melanjutkan ke sesi 4.

72

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Bahan Bacaan 3.1 Pembangunan Berbasis HAM1 (Rights Based Development)


Pembangunan berbasis HAM adalah kerangka konseptual bagi proses pembangunan manusia yang secara normatif didasarkan pada standar internasional mengenai HAM dan diarahkan untuk mendukung dan melindungi HAM. Strategi pembangunan berbasis HAM, mengandung elemen-elemen: a. c. d. e. terkait langsung dengan HAM; pemberdayaan; partisipasi; tidak diskriminatif dan memberi perhatian kepada kelompok-kelompok rentan. b. akuntabilitas;

Pembangunan Berbasis HAM adalah pembangunan untuk manusia, dilaksanakan secara partisipatif dan mendukung pelestarian lingkungan. Pendekatan pembangunan ini harus mengupayakan sekaligus pertumbuhan ekonomi, pemerataan yang adil, pengembangan kemampuan rakyat dan perluasan pilihan-pilihan rakyat. Prioritas pembangunan terletak pada penghapusan kemiskinan, pengintegrasian perempuan ke dalam proses pembangunan, penguatan kemandirian dan penentuan pilihan sendiri oleh rakyat dan pemerintah, serta perlindungan bagi hak masyarakat adat. Hak untuk terlibat dalam pembangunan sendiri ditegaskan dalam pasal , Declaration on the Right to Development sebagai hak asasi yang melekat pada setiap orang. Seluruh rakyat berhak berpartisipasi, berkontribusi dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik, di mana seluruh HAM dan kebebasan dasar dapat dipenuhi secara utuh. Hak-hak atas pembangunan itu meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) Kedaulatan penuh atas sumber daya alam, Hak menentukan pilihan sendiri, Partisipasi dalam pembangunan, Kesempatan yang adil, dan Penciptaan kondisi yang nyaman agar rakyat dapat menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Pembangunan adalah proses yang menyeluruh dari ekonomi, sosial, budaya dan politik dengan sasaran berupa perbaikan secara teratur kesejahteraan rakyat dan seluruh anggota masyarakat berdasarkan partisipasi mereka secara aktif, bebas dan penuh makna dalam pembangunan sekaligus rakyat menerima pembagian hasil pembangunan yang adil sesuai kontribusinya. Karena itu, Pembangunan Berdasar HAM adalah proses yang terpadu dan menyeluruh.

Diterjemahkan dari Human Rights in Development, office of UN High Commissioner for HR Geneva dari www.unhcr.ch/development/approaches-04.htm.

73

Hal ini diperkuat oleh Deklarasi mengenai Pembangunan Berkelanjutan (Copenhagen Declaration 1995 on Sustainable Development) yang menyatakan, Adanya saling ketergantungan dan saling menguatkan antara pertumbuhan ekonomi, demokrasi dan lingkungan.

Konsep-konsep yang Relevan


A. Hak Asasi Manusia (HAM) Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia. Tanpa hak-hak ini, manusia tidak dapat menjadi manusia seutuhnya. HAM ada sejak manusia lahir dan tidak dapat diberikan maupun diambil oleh siapa pun. HAM juga bersifat universal, artinya semua manusia tanpa memandang asal-usul, tempat tinggal, agama dan warna kulit, pasti memilikinya. HAM sedikitnya meliputi: (1) hak sipil dan politik (Sipol); (2) hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Pemenuhan hak-hak Sipol akan membuka akses bagi pemenuhan hak-hak Ekosob. Jaminan pemenuhan hak Ekosob sendiri adalah untuk memastikan setiap manusia mempunyai akses terhadap sumber daya, kesempatan dan pelayanan yang diperlukan untuk kelayakan hidup terutama bagi kelompok yang rentan terhadap kemiskinan, yang sering menyebabkan mereka mengalami perlakuan tidak adil dan diskriminatif.2 Hak-hak Ekosob sendiri meliputi dua hak yaitu: (1) hak subyek, yaitu hak perempuan, anak, petani, buruh, nelayan dan sebagainya; (2) hak obyek, yaitu hak atas makanan, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas tempat tinggal, hak atas air dan lain-lain. Hukum HAM internasional menyatakan bahwa setiap orang merupakan penerima manfaat HAM3. Hal ini secara eksplisit dinyatakan dalam DUHAM, Pasal 22, yang berbunyi: Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, memiliki hak atas jaminan sosial dan berhak atas perwujudan hak ekonomi, sosial dan budaya yang diperlukan bagi martabatnya dan perkembangan kepribadiannya secara bebas. Namun dalam praktiknya, ada kategori kelompok penerima manfaat yang dianggap rentan daripada kelompok lainnya dan secara tradisional telah menjadi sasaran proses diskriminasi. Kelompok rentan ini mungkin membutuhkan perlindungan khusus terhadap haknya. Kadang-kadang melalui penggunaan tindakan afirmatif tertentu atau berbagai langkah khusus lainnya. Untuk kelompok rentan ini, lahir instrumen-instrumen khusus untuk mengupayakan terjaminnya kesetaraan hak dan statusnya. Misalnya Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang bertujuan menjamin kesetaraan perempuan.

2 3

Dikutip dari paper HES sebagai HAM, oleh Divisi Penguatan HESB LBH Surabaya. Dalam Buku Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, hal. 20-21.

74

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

B. Pembangunan yang Berpihak pada Kaum Miskin (Pro Poor Development) Kemiskinan merupakan isu penting dalam pembangunan. Ada dua pendekatan untuk menelaah kemiskinan, yaitu: 1. Kemiskinan sebagai gambaran dari langkanya hak-hak sosial (lack on entitlemen) Sudah terbukti bahwa kelangkaan atau kekurangan sumber daya merupakan cerminan kelangkaan hak orang miskin. Bukan karena tidak tersedianya kebutuhan bagi orang miskin itu sendiri. Misalnya, keberadaan tunawisma sebagai akibat tidak adanya akses orang miskin pada tanah atau perumahan, bukan karena kelangkaan perumahan. Kelaparan bukan akibat kelangkaan makanan, tetapi kurangnya daya beli. 2. Kemiskinan akibat adanya pengucilan (exclusion) Kemiskinan merupakan akibat pengaturan hubungan sosial di mana sebagian orang dipisahkan atau tidak dilibatkan dalam kehidupan masyarakat. Adanya pandangan tertentu yang negatif (stigmatisasi) dan penolakan dari masyarakat terhadap perempuan untuk terlibat dalam bidang atau pekerjaan di luar rumah tangga merupakan awal dari langkanya sumber daya yang dimiliki perempuan dan kontrol atas kehidupannya. Tekanan terhadap perempuan sendiri terjadi karena tiga faktor, yaitu: (a) Tekanan eksternal (external pressures) Kerentanan yang disebabkan kebijakan makro di mana orang-orang yang berasal dari kelompok miskin dan perempuan yang lemah tidak dapat bernegosiasi. Misalnya, kasus kenaikan harga BBM mengakibatkan melambungnya harga sembako, biaya transportasi dan kehidupan hidup lainnya. Kebijakan kenaikan BBM ditentukan pemerintah pusat dan dampaknya sangat dirasakan kelompok miskin dan perempuan. (b) Tekanan internal (internal pressures) Tekanan yang berasal dari dalam rumah tangga sendiri dalam bentuk hierarki kekuasaan tradisional, patriarkhi, kasta maupun agama. Termasuk praktik budaya dalam suku tertentu dan berimplikasi pada alokasi sumber daya. (c) Sesuatu yang dianggap takdir (given variables) Tidak ada kebijakan untuk membuka akses bagi perempuan, karena kondisi yang tidak menguntungkan perempuan ini, dianggap wajar atau takdir bagi perempuan. Ada kaitan erat antara perempuan dan kemiskinan, berupa feminisasi kemiskinan4 atau kemiskinan berwajah perempuan. Feminisasi kemiskinan merupakan masalah serius dalam perekonomian global di mana perempuan menghadapi eksploitasi sosial dan ekonomi yang terus meningkat. Perempuan menyumbang 67% waktu kerja dunia, namun hanya memiliki 1% dari kekayaan dunia (Strategy, 2004). Di Indonesia, data BPS (1999) menunjukkan bahwa sekitar 18% penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang dialami perempuan adalah akar penyebab diskriminasi terhadap perempuan yang menghambat kemampuan untuk berpartisipasi

Lihat Sundari, 2004. Pemberdayaan Ekonomi untuk Perempuan. Makalah disampaikan pada Kursus Strategis untuk Anggota Perempuan DPRD Provinsi, diselenggarakan Cetro dan The Asia Foundation, 28-30 September di Hotel Lido Lakes Resort, Bogor.

75

dalam pembuatan keputusan yang berdampak pada kesejahteraan hidup mereka. Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi juga membatasi perempuan berkontribusi di ruang publik dan menikmati hak-hak sipil dan politik secara penuh. Dengan demikian, mengatasi problem kemiskinan akan banyak berkontribusi dalam upaya mengatasi problem kesenjangan gender jika dibarengi dengan upaya-upaya nyata yang langsung mengatasi kesenjangan gender yang terjadi.

C. Kebijakan yang Berpihak pada Orang Miskin5 Untuk terciptanya kebijakan yang berpihak pada orang miskin, diperlukan prasyarat sebagai berikut: 1. Kehendak Publik Kehendak publik ini terlihat dari: a. Adanya komitmen dan tekad kuat pihak yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam penanggulangan kemiskinan.

b. Agenda pembangunan menempatkan upaya dan program penanggulangan kemiskinan pada skala prioritas utama. c. Adanya kemauan untuk secara jujur dan terbuka mengakui kelemahan dan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu, dan bertekad untuk memperbaikinya di masa kini dan masa akan datang. Hal ini terlihat dari: a. Adanya kesadaran kolektif menempatkan kemiskinan sebagai musuh bersama, kemudian diikuti dengan langkah-langkah kampanye sosial melalui berbagai saluran informasi untuk meningkatkan kepedulian, kepekaan dan partisipasi seluruh masyarakat.

2. Iklim yang Mendukung

b. Adanya peraturan daerah yang mendukung penanggulangan kemiskinan. Misalnya yang berkaitan dengan bantuan modal usaha kecil, akses terhadap kredit, keberadaan pedagang kaki lima dan penghapusan pungutan terhadap hasil pertanian.

D. Pemberdayaan Ekonomi Perempuan UNIFEM dalam website-nya mengemukakan pemberdayaan ekonomi perempuan sebagai Perluasan konsep pembangunan manusia dengan memadukan upaya pemberdayaan perempuan dan keadilan gender dalam kerangka mencapai tujuan transformasi sosial sebagai agen pembangunan dan kemajuan bagi perempuan. Pilihanpilihan bagi perempuan, khususnya perempuan miskin, tidak dapat diperbanyak dan diperluas tanpa mengubah pola relasi antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, harus ada perombakan di tataran ideologi dan kelembagaan yang selama ini justru melanggengkan bahkan memperkuat ketimpangan gender.

Dikutip dari Mawardi dan Sumarto, 2002. Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin.

76

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Memperkuat pendapat UNIFEM, penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa negaranegara yang mempromosikan hak-hak perempuan berhasil menikmati tingkat kemiskinan yang lebih rendah, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, dan tingkat korupsi yang lebih rendah dibanding negara-negara yang menganut kebijakan yang netral gender atau sebaliknya. Selain itu, ada bukti kuat bahwa kebijakan pendidikan, kesehatan, produksi, kredit dan tata pemerintahan akan berjalan lebih efektif apabila perempuan dilibatkan dalam pelaksanaannya. Sebagian besar organisasi pembangunan, antara lain Bank Dunia, Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan LSM international seperti Oxfam, CUSO dan Women in Progress percaya bahwa strategi paling efektif agar perempuan menikmati keadilan ekonomi dan sosial adalah dengan mewujudkan kemandirian ekonomi melalui wirausaha atau wiraswasta. Pemberdayaan perempuan melalui peningkatan pendapatan akan memperkuat rasa percaya diri sekaligus kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi hidupnya di rumah dan masyarakat. Perempuan sebagai pemain utama penjamin kesejahteraan keluarga, sepatutnya diberdayakan secara ekonomi untuk menjamin ketahanan dasar keluarga melalui peningkatan akses terhadap makanan, perumahan, keamanan, kesehatan, pendidikan dan keadilan.

77

Bahan Bacaan 3.2 Kebijakan yang Mendukung Kesetaraan Gender di Indonesia


A. Daftar Peraturan Perundangan yang Responsif Gender a. Peraturan perundangan yang mendukung advokasi kesetaraan gender di Indonesia UUD 1945, memuat prinsip kesetaraan gender. Perubahan UUD 1945, Pasal 27 ayat 1, tentang persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan. Perubahan UUD 1945, Pasal 28, tentang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di mana di dalamnya tercantum Hak Asasi Perempuan. UU No. 7 Tahun 1984, tentang Ratifikasi CEDAW. UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. UU No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak.

b. Landasan peraturan perundangan untuk pengarusutamaan gender UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di mana di dalamnya tercantum Hak Asasi Perempuan. UU No. 7 Tahun 1984, tentang Ratifikasi CEDAW (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). Inpres No. 9 Tahun 2000, tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009, Bab 12 dan Bab 16.

B. Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah Beberapa isi penting dari Permendagri No. 15 Tahun 2008 adalah: Permendagri No. 15 Tahun 2008 merupakan revisi dari Kepmendagri No. 132 Tahun 2003. Revisi dilakukan untuk merespons perkembangan aturan terkait dengan pemerintahan daerah. Aturan ini merupakan payung hukum pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah. Dengan adanya aturan ini, daerah tidak perlu ragu dalam mengimplementasikan strategi pengarusututamaan gender dalam pembangunan daerah. Pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender ini antara lain bertujuan untuk: 1. Memberikan acuan dalam menyusun strategi pengarusutamaan gender baik di tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan/ program/kegiatan pembangunan daerah.

78

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

2. 3. 4.

Mewujudkan perencanaan yang berperspektif gender. Mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Mewujudkan pengelolaan anggaran daerah yang responsif gender.

Perencanaan berperspektif gender tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan, yaitu RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Bappeda. Rencana Kerja berperspektif gender ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Kelompok kerja (pokja) PUG dibentuk ditingkat provinsi dan kabupaten sebagai upaya percepatan pelembagaan pengarusutamaan gender. Salah satu tugas dari Pokja PUG adalah menetapkan tim teknis untuk melakukan analisis terhadap anggaran daerah yang beranggotakan aparatur yang memahami analisis anggaran yang berperspektif gender. Hal ini memunculkan peluang keterlibatan akademisi dan LSM untuk terlibat dalam tim teknis ini.

79

Boks 3.1 Lima Argumen Dasar Pentingnya Partisipasi Perempuan dalam Pengambilan Keputusan
Alasan pertama, terkait dengan demokrasi dan kesetaraan Jumlah perempuan setengah dari populasi penduduk dan semestinya dapat direpresentasikan secara proposional. Pengakuan atas hak perempuan sebagai warga negara harus dibuktikan dengan partisipasi aktif perempuan dalam wilayah politik di semua tingkatan. Belum bisa disebut demokrasi jika perempuan belum terlibat dalam berbagai posisi kekuasaan. Perempuan = 50% populasi, seharusnya juga 50% dari kepemimpinan. Alasan kedua, terkait dengan keabsahan Kurang terepresentasikannya perempuan dapat membahayakan keabsahan dari sistem demokrasi karena jarak yang membentang antara wakil rakyat dengan para pemilih, khususnya para pemilih perempuan. Dengan demikian, nilai keabsahan dari pengambilan keputusan politik menjadi tidak sama antara perempuan dan laki-laki. Hal ini memunculkan potensi meningkatnya ketidakpercayaan publik atas sistem representasi. Konsekuensi akhir dapat mengarah pada penolakan dari perempuan untuk mematuhi undang-undang dan kebijakan yang telah dibuat tanpa keterlibatan mereka. Alasan ketiga, terkait dengan perbedaan kepentingan Partisipasi politik mencakup kegiatan mengartikulasikan, menyajikan dan mempertahankan kepentingan. Perempuan telah dikondisikan mempunyai peran, fungsi dan nilai sosial yang berbeda dengan laki-laki. Adalah masuk akal jika perempuan akan lebih aware terhadap kebutuhan mereka sendiri dan akan lebih baik dalam memperjuangkan kepentingannya. Perempuan akan lebih aware dalam hal memahami kebutuhan terkait kesehatan reproduksi termasuk dalam keluarga berencana, pembagian kerja untuk mengasuh anak dan anggota keluarga lainnya yang membutuhkan semisal lansia dan orang sakit, dan memberikan perhatian lebih untuk isu kekerasan terhadap perempuan. Komposisi yang ada saat ini dari para pengambil keputusan, di mana jumlah perempuan sangat sedikit, menunjukkan perempuan belum bisa mengartikulasikan dan membela kepentingan mereka. Argumen keempat, untuk mengubah politik Ada beberapa indikasi jika jumlah perempuan politisi lumayan cukup banyak, maka diasumsikan bisa mengubah fokus politik. Perempuan lebih kritis terhadap definisi tradisional dari politik. Efek pertama dari masuknya perempuan dalam dunia politik adalah memperluas cakupan dari politik. Isu seperti pengasuhan anak, seksualitas dan keluarga berencana adalah isu yang tadinya dianggap sebagai wilayah privat yang sekarang dapat dilihat juga di wilayah politik.

80

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Argumen kelima, terkait dengan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia Semua negara tentu ingin mengoptimalkan sumber daya manusia yang dimilikinya. Perempuan adalah setengah dari penduduk dunia yang memiliki kemampuan dan bakat. Peran perempuan dalam melaksanakan fungsi biologis untuk mengandung dan melahirkan dan peran sosial, sudah jelas. Dan input perempuan, meskipun sering belum dihargai, berkontribusi besar dalam perekonomian nasional melalui kerja yang dibayar maupun kerja yang tidak dibayar (unpaid work). Tidak melibatkan perempuan dalam posisi kekuasaan dan lembaga perwakilan akan memiskinkan kehidupan publik dan menghambat pembangunan suatu masyarakat yang adil. Dalam jangka pendek, tanpa partisipasi penuh dari perempuan dalam proses pengambilan keputusan akan menjadikan proses politik menjadi kurang efektif.
Sumber: Modul Pelatihan Dasar Making Governance Gender Responsive, CAPWIP, 2007, hal. 154 pasal 45.

81

Bahan Bacaan 3.3 Refleksi Perjuangan Mewujudkan Kesetaraan Gender1


Gender dan pembangunan muncul sebagai satu pendekatan progresif baik dari perspektif maupun pengalaman. Pendekatan ini berasal dari pembelajaran perempuan di dunia ketiga terkait upaya mereka mengintegrasikan gender ke arus utama pembangunan dan pengalaman perempuan baik di belahan dunia bagian utara maupun selatan untuk mengembangkan analisis dan tindakan alternatif. Mencari Solusi Identifikasi bahwa subordinasi perempuan adalah masalah akan membawa pada banyak upaya untuk mengatasi ketidakseimbangan. Solusinya adalah dengan mengorganisasi perempuan, mengesahkan aturan yang melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, dan menyediakan pelatihan dan teknologi. Tujuannya adalah mengintegrasikan perempuan dalam proses pembangunan sehingga manfaat yang diterima akan meningkat. Peneliti dan aktivis perempuan ingin memahami mengapa subordinasi terus berlanjut. Upaya untuk mendokumentasikan secara sistematik kontribusi dan hambatan yang dihadapi perempuan selama ini, telah mengubah gambaran tentang apa yang dilakukan perempuan dan laki-laki dan bagaimana hal tersebut berlangsung selama pembangunan. Perbaikan atas gambaran itu sudah dilakukan, namun 20 tahun kemudian ketidaksetaraan yang jauh antara laki-laki dan perempuan masih dijumpai. Solusi yang baru diperlukan karena upaya-upaya yang dilakukan belum cukup. Berikut empat area yang merefleksikan mengapa pembangunan tidak berhasil meningkatkan kualitas hidup perempuan:

1. Kesetaraan versus Keadilan Banyak faktor struktural yang mempengaruhi perempuan dan laki-laki mendapatkan manfaat yang setara. Tahun 1979, PBB mengesahkan CEDAW dan Indonesia meratifikasinya lima tahun kemudian. Sejak itu, di satu sisi, telah banyak kemenangan yang diraih perempuan, semisal mendapatkan hak atas kepemilikan tanah di Kenya dan aturan persamaan upah antara perempuan dan laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama di Kanada. Namun di sisi lain, praktik menunjukkan bahwa di Kanada perempuan hanya dibayar 66 sen dari setiap dolar yang diterima laki-laki. Perempuan Kenya mendapati harga tanah yang tidak terjangkau oleh mereka karena laki-laki tidak ingin menjualnya kepada perempuan. Situasi ini memperlihatkan adanya diskriminasi yang bersifat sistemik. Lebih jauh, dalam suatu inisiatif untuk mengurangi ketidakberuntungan, baik untuk perempuan maupun kelompok lainnya, ada kebutuhan untuk mempertimbangkan secara hatihati hambatan-hambatan kesetaraan dalam berpartisipasi, tidak hanya kesetaraan dalam kesempatan.

Modul Pelatihan Dasar Making Governance Gender Responsive, CAPWIP, 2007, hal. 123

82

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

2. Gender sebagai Konstruksi Sosial Kondisi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari dan posisi relatif antara keduanya dalam masyarakat menyatu dalam kerangka dan institusi sosial, kultural, politik dan ekonomi. Relasi gender dan identitas tidaklah universal,namun bervariasi dari satu budaya ke budaya lain dan dari satu komunitas ke komunitas lainnya, bersifat dinamis dan berubah seiring waktu. Masyarakat sering menolak praktik-praktik yang tidak sesuai dengan peran dan relasi gender. Contohnya, petani di daerah terpencil di Sudan menolak untuk mempercayai staf suatu program pembangunan karena dia adalah perempuan yang mengendarai mobil Land Rover. Begitu pula sebaliknya, lakilaki yang mencoba untuk membantu pekerjaan rumah tangga akan dilecehkan oleh temannya dan tidak didukung oleh istri dan ibunya karena dianggap mengambil pekerjaan perempuan, Pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana masyarakat menentukan dan mempertahankan apa yang disebut dengan maskulin dan feminin telah berakibat pada sejumlah tindakan yang harus dilakukan. Memahami nilai-nilai gender dan praktiknya adalah dasar untuk mengetahui bagaimana masyarakat diorganisir, bagaimana mereka berfungsi dan menjadi potensi perubahan gender dan sosial. Memisahkan antara nilai (values) and sikap (attitudes) dari praktik dan perilaku adalah satu hal yang bermanfaat karena mengubah nilai lebih mudah daripada mengubah perilaku. Terdapat pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Di kebanyakan budaya, perempuan memiliki tanggung jawab utama di kerja reproduktif (memasak, mencuci, mengasuh anak, membersihkan rumah), sedangkan laki-laki memiliki tanggung jawab utama di kerja produksi. Selain kedua peran tadi, keduanya melakukan aktivitas di komunitas, namun laki-laki cenderung memiliki peran lebih dengan banyak terlibat di proses pengambilan keputusan, sedangkan perempuan lebih banyak di bagian pendukung. Apa yang diakui secara sosial ini terefleksikan dalam sistem nasional, semisal GNP dan angkatan kerja. Jika seorang petani perempuan memproduksi tepung maizena atau menanam sayur-mayur untuk keluarganya, maka kegiatan ini tidak didefinisikan sebagai bekerja. Namun jika dia menjual produknya dan menggunakan uangnya untuk membeli makanan, kegiatan ini diperhitungkan sebagai kontribusi terhadap perekonomian dan masyarakat. Tidak ada pekerjaan reproduktif yang dinilai sebagai bekerja. Aktivitas di komunitas secara informal, baik yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan juga tidak dinilai. Oleh karena itu, kita perlu mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan bekerja. Upaya mengubah konstruksi sosial dan mengupayakan relasi gender yang strategis, bisa dilakukan dengan menetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek untuk mencapai saling menerima, bahwa pekerjaan yang biasanya disebut sebagai pekerjaan perempuan maupun pekerjaan laki-laki dapat dipertukarkan. Ini akan menimbulkan rasa hormat satu sama lain dan mengurangi kesenjangan. Melakukan pekerjaan non-tradisional yang disandangkan oleh kultur, akan lebih mudah dilakukan oleh orang kaya karena mereka memang ingin melakukannya atau orang miskin karena mereka harus melakukannya, daripada kelompok menengah. Pendidikan tentang kemampuan sosial untuk mentransformasikan peran gender dapat dilakukan di rumah, sekolah, komunitas maupun tempat kerja. Dalam jangka panjang, strategi ini akan membantu kita mendefinisikan kembali makna bekerja dan meningkatkan status pekerjaan yang saat ini tidak terlihat dan tidak dihitung. Wawasan bahwa gender

83

sebagai konstruksi sosial merupakan sesuatu yang kompleks akan membantu kita dalam memahami bentuk relasi kekuasaan yang lainnya (hitam/putih, kaya/miskin, etnis mayoritas/minoritas, kota/desa). 3. Pertanyaan tentang Kekuasaan Selama tahun 1960-an dan 1970-an, pemikiran yang muncul untuk mengatasi subordinasi perempuan adalah dengan meningkatkan kekuasaan (power) perempuan. Salah satu bentuknya adalah kemandirian ekonomi. Di negara-negara selatan khatulistiwa, program income generating menjadi populer, sedangkan di negara-negara utara khatulistiwa yang banyak dilakukan adalah job training. Setelah lebih dari 20 tahun, ada perkembangan yang terjadi namun kemajuan yang signifikan belum terealisasi. Satu elemen kunci untuk mengetahui mengapa hal ini terjadi adalah pemahaman mengenai kekuasaan (power). Banyak strategi perubahan yang gagal untuk melihat adanya variasi dari subordinasi yang dialami oleh perempuan yang berbeda dengan kelas, ras dan usia. Variasi ini dapat terlihat pada perbedaan dalam melihat seberapa penting subordinasi gender menjadi suatu masalah. Sebagai contoh, gender bisa dianggap kurang penting dibanding kelas. Misalnya pada perempuan yang memiliki kekuasaan penuh, menguasai dan mengeksploitasi kaum buruh laki-laki dan perempuan. Gender bisa dianggap kurang penting dibanding ras. Misalnya sikap ibu rumah tangga yang berkulit putih terhadap pembantunya yang berkulit hitam. Gender bisa dianggap kurang penting dibanding usia. Misalnya sikap istri tua terhadap istri muda dalam suatu keluarga yang berpoligami. Relasi dari dominasi ini bersifat multiple dan saling berkaitan. Asumsi bahwa setiap perempuan selalu memiliki kepentingan yang sama adalah salah. Di lain pihak, upaya-upaya untuk meningkatkan kekuasaan perempuan menunjukkan sifat kekusaan yang terbatas. Jika Anda punya kekuasaan lebih, maka kekuatan saya menjadi berkurang. Jika saya memiliki kekuasaan atas Anda, meningkatkan kekuasaan Anda akan merugikan saya. Jenis kekuasaan ini adalah relasi antara dominasi/subordinasi atau disebut dengan kekuatan-atas (power-over), yang pada akhirnya didasarkan pada ancaman sanksi sosial terkait kekerasan dan intimidasi, mengundang resistensi aktif dan pasif dan selalu membutuhkan kewaspadaan untuk mempertahankannya. Ada jenis kekuatan lain, yang dipahami sebagai kekuasaan-kepada (power-to), satu jenis kekuasaan yang kreatif dan memampukan, esensi dari pemberdayaan individu. Kebanyakan orang mendeskripsikannya sebagai situasi di mana mereka merasa powerfull yang kemudian digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah, mengetahui bagaimana sesuatu bekerja atau mempelajari suatu keterampilan. Kebanyakan orang merasa berdaya dalam kondisi terorganisasi dan disatukan oleh pemahaman atau tujuan bersama. Kekuatan-dengan ( power-with) mencakup perasaan bahwa jika bersama akan lebih kuat dibanding sendirian, khususnya ketika kelompok menghadapi masalah bersama. Jenis lain dari kekuasaan adalah kekuasaan-di dalam (power within), yaitu kekuatan spiritual dan keunikan yang dimiliki oleh setiap orang dan membuat kita menjadi manusia yang sebenarnya. Ini adalah basis menerima diri apa adanya dan penghargaan terhadap diri sendiri ini dapat diperluas untuk menghormati dan menerima orang lain setara.

84

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Power over membutuhkan pembentukan dualitas sederhana: baik/jahat, laki-laki/ perempuan, kaya/miskin, hitam/putih, kita/mereka. Jenis kekuasaan ini melihat adanya kelompok-kelompok yang berbeda dengan perbedaan kepentingan pula. Sementara power within mengakui adanya kekuatan dan kelemahan yang eksis pada semua orang dan tidak secara otomatis mempersalahkan adanya perbedaan. Power within menekankan pada penerimaan diri dan menghargai diri sendiri, yang dilengkapi (bukan dualitas) dengan penghargaan atas aspek yang sama pada orang lain. Dalam konteks gender, perempuan dan laki-laki disosialisasikan berbeda dan sering menjalankan fungsi di wilayah yang berbeda di komunitas, meskipun terjadi tumpang tindih dan saling ketergantungan. Sebagai akibatnya, perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan baik dalam pengalaman hidup, pengetahuan, perspektif dan prioritas. Yang satu tidak cukup untuk merepresentasikan yang lain dan tidak ada seorang pun yang secara penuh dapat menjadi representasi dari komunitasnya. Suatu masyarakat yang sehat akan mengapresiasi dan menghargai aspek perbedaan ini dan menggunakannya untuk kebaikannya. Secara strategis, kita perlu mentranformasikan pemahaman mengenai beberapa kekuatan ini dan menolak kekuatan atas (power-over). Kita perlu mengeksplorasi konsep dari power-to, power-with dan power-within dan hubungan antar kekuatan ini. Dalam area pembangunan, ini berarti membangun kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan resolusi konflik, memperkuat organisasi, dan membangun kemampuan dan solidaritas baik secara individu maupun kolektif. Kita perlu aware ketika tindakan yang dilakukan meningkatkan perbedaan dan konflik dan yakin bahwa ini merupakan bagian dari upaya untuk memahami situasi dan menerima risiko. 4. Keterbatasan Pembangunan Proses pembangunan menyisakan sedikit kue bagi orang miskin, dan membiarkan perempuan berjuang untuk mendapatkan bagian yang relatif besar karena kepercayaan (belief) yang meyakini bahwa perbaikan yang berkelanjutan dari ekonomi dan sosial perempuan mungkin dicapai dalam situasi ketidakadilan relatif yang meningkat asal tidak ada kemiskinan absolut baik pada laki-laki maupun perempuan, sangat sulit diwujudkan. Kesetaraan bagi perempuan adalah sesuatu hal yang mustahil dalam kondisi ekonomi, sosial dan politik saat ini karena sumber daya, kekuasaan dan kontrol hanya dimiliki oleh segelintir orang. Namun pembangunan juga mustahil tanpa keadilan yang lebih besar dan partisipasi bagi perempuan (Sen & Grown) Ketika perempuan ditargetkan dalam banyak inisiatif pembangunan, ada dua asumsi yang diberlakukan: a) bahwa mungkin bagi perencana pembangunan untuk mendefinisikan dan menyelesaikan problem pembangunan. b) bahwa pembangunan dilihat seluruhnya dari sisi pertumbuhan ekonomi dan atau redistribusi. Pembangunan adalah suatu proses kompleks yang mencakup perbaikan ke arah yang lebih baik dari individu dan masyarakat baik secara ekonomi, sosial dan kultural. Perbaikan ke arah yang lebih baik mengandung arti kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dari aspek fisik, emosional dan kreativitas pada level tertentu ...dan untuk mendapatkan kebebasan waktu. Ini mencakup peningkatan standar hidup (standards of living) namun bukan konsumsi yang berlebihan, dan ini mengimplikasikan bentuk masyarakat yang memungkinkan adanya distribusi yang setara dari kesejahateraan sosial (Kate Young).

85

Beberapa penelitian terdahulu tentang masalah ekslusi perempuan dari pembangunan menyebutkan bahwa kebanyakan dari proyek ini mencoba untuk meningkatkan produktivitas ekonomi secara langsung ( dengan transfer teknologi atau infrakstruktur) atau tidak langsung (misalnya dengan menyediakan air bersih untuk meningkatkan kapasitas income generating). Sering perempuan didorong ke kerja yang dibayar, dengan upah yang rendah dan situasi eksploitatif (seperti di Free Trade Zone). Ini membuat kehidupan mereka, menjadi tidak manusiawi dengan meningkatnya beban kerja.

Penutup Refleksi tentang perjuangan mewujudkan kesetaraan gender di tingkat global ini dapat dijadikan cermin dalam mengevaluasi advokasi yang selama ini dilakukan di Indonesia. Dari pengalaman tim penulis dalam melakukan advokasi anggaran responsif gender di beberapa Kota/Kabupaten di Indonesia2, salah satu yang sering muncul adalah resistensi dari para pihak terkait yang disebabkan oleh citra negatif, misalnya isu kesetaraan gender diartikan perempuan minta macam-macam, perempuan akan melupakan kodratnya dan perempuan akan merebut kekuasaan laki-laki. Dalam situasi seperti ini, mengevaluasi strategi dan pendekatan yang digunakan penting untuk dilakukan. Salah satu penyebab munculnya resistensi adalah digunakannya pandangan power over sehingga perempuan diasumsikan sebagai satu kelompok yang tertindas dan memiliki satu kepentingan yang sama sehingga pendekatan dualitas banyak digunakan dan cenderung menjadikan perempuan vis a vis berhadapan dengan laki-laki. Dari refleksi di atas ternyata asumsi bahwa semua perempuan memiliki kepentingan yang sama adalah salah dan sebaiknya kita lebih mengoptimalkan jenis kekuatan lain, dengan mengeksplorasi konsep dari powerto, power-with dan power-within dan hubungan antar-kekuatan ini agar semua pihak merasa nyaman dengan isu kesetaraan gender.

Kota Semarang, Tangerang, Surakarta, Parepare, Kabupaten Kendal, Semarang. Boyolali, Pekalongan, Bone.

86

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Bahan Bacaan 3.4 Tiga Strategi Mempromosikan Kesetaraan Gender


Ada tiga strategi untuk mempromosikan kesetaraan gender: 1. Reformasi Institusi atas Hak dan Kesempatan yang Setara antara Laki-laki dan Perempuan Institusi sosial, hukum dan ekonomi membentuk akses atas sumber daya, kesempatan dan kekuatan relatif perempuan dan laki-laki, maka satu elemen penting untuk mempromosikan kesetaraan gender adalah membangun di tingkat institusional ranah berkiprah/playing field antara laki-laki dan perempuan, yang mencakup: Menjamin kesetaraan dalam hak-hak dasar. Mengembangkan insentif yang dapat mengurangi diskriminasi gender. Merancang pelayanan publik untuk memfasilitasi akses yang setara.

2. Mengembangkan Pembangunan Ekonomi untuk Memperkuat Insentif atas Sumber Daya dan Partisipasi yang Lebih Setara Pembangunan ekonomi dapat dihubungkan dengan perbaikan lingkungan bagi perempuan dan anak perempuan dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender melalui beberapa cara: Keputusan di tingkat rumah tangga terkait pekerjaan, konsumsi dan investasi adalah bagian dari respons terhadap tingkat harga dan sinyal pasar lainnya. Perubahan sinyal ini cenderung mengarah pada realokasi sumber daya. Ketika pembangunan ekonomi meningkatkan ketersediaan dan kualitas dari pelayanan publik, misalnya klinik kesehatan dan sekolah, maka hal ini akan menurunkan biaya investasi modal manusia di tingkat rumah tangga. Jika biaya ini lebih rendah untuk perempuan dibandingkan laki-laki atau jika investasi untuk perempuan lebih sensitif terhadap perubahan harga dibandingkan investasi pada laki-laki sebagaimana yang telah dibuktikan, maka perempuan mendapatkan manfaat lebih besar. Jika pembangunan ekonomi meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan, ketidaksetaraan gender sering berkurang. Keluarga berpenghasilan rendah, di mana perempuan dan anak perempuan banyak menanggung biaya, memang terdorong untuk bertindak rasional di pendidikan, kesehatan dan nutrisi. Namun, jika pendapatan keluarga meningkat, kesenjangan gender dalam modal manusia cenderung berkurang.

Dampak pembangunan ekonomi terhadap kesetaraan gender tergantung dari pengakuan hak-hak oleh negara atas akses dan kontrol terhadap sumber daya produktif seperti tanah dan kredit, dan pengaruh politik. Kebijakan jaminan sosial yang mengakui adanya perbedaan gender baik dalam pekerjaan formal maupun pekerjaan rumah tangga dan risiko keduanya penting dalam melindungi perempuan (dan laki-laki) dari krisis ekonomi dan mencegah kemerosotan ekonomi.

87

3. Aktif Melakukan Kebijakan yang Mengarah pada Upaya Mengurangi Kesenjangan Gender atas Sumber Daya dan Pengambilan Keputusan Kombinasi efek dari reformasi institusional dan pembangunan ekonomi biasanya membutuhkan waktu. Oleh karena itu, aksi nyata dibutuhkan baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Aksi nyata ini merupakan tindakan konkret yang bertujuan mengatasi satu bentuk khusus dari diskriminasi dan eksklusi gender, baik di rumah, komunitas maupun tempat kerja. Tindakan ini biasanya bermanfaat untuk kelompok sasaran spesifik, misalnya kelompok miskin di mana kesenjangan gender terjadi secara akut. Kondisi dari ketidaksetaraan gender berbeda antarnegara, sehingga intervensi yang paling relevan juga berbeda antarnegara. Keputusan negara tentang apa yang akan diintervensi dan dengan tindakan apa semestinya didasarkan pada pemahaman dan analisis terhadap realitas lokal. Aksi nyata membutuhkan biaya sehingga pembuat kebijakan harus selektif memilih tindakan yang akan dilakukan dengan fokus pada intervensi yang memberikan manfaat sosial paling besar. Di samping mengidentifikasi area intervensi yang dibutuhkan, pilihan tentang bagaimana intervensi dapat dilakukan secara tepat, juga penting. Sebagai contoh, apakah penyediaan barang dan jasa publik secara langsung diperlukan? Atau untuk tujuan yang sama apakah akan lebih efektif jika melalui penyediaan informasi yang lebih banyak, upaya-upaya penegakan hukum atau melalui subsidi kepada swasta? Ada empat area inti kebijakan untuk aksi aktif menyetarakan gender, yaitu: 1. Mempromosikan Kesetaraan Gender untuk Akses terhadap Sumber Daya Produktif dan Kapasitas Penghasilan. Upaya-upaya untuk mempromosikan kesetaraan gender terhadap akses dan kontrol atas sumber daya produktif, baik pendidikan, sumber daya keuangan atau tanah dan untuk menjamin akses yang setara dan adil terhadap kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, perlu dilakukan untuk mempercepat kesetaraan gender dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Sejumlah intervensi sebagai entry point dapat diambil oleh pembuat kebijakan, antara lain: Mengurangi biaya sekolah, mengatasi perhatian yang berkaitan dengan orang tua, seputar kesopanan dan keamanan perempuan, dan meningkatkan dampak positif bagi keluarga dari investasi perempuan yang bersekolah melalui perbaikan kualitas sekolah yang dapat mengatasi hambatan ekonomi dan sosial dari anak perempuan, bahkan di masyarakat kelas atas. Merancang institusi keuangan yang memperhatikan keterbatasan karena gender, dengan cara menggunakan tekanan kelompok untuk menggantikan bentuk tradisional dari jaminan, dengan menyederhanakan prosedur perbankan atau dengan menyediakan layanan keuangan yang dekat dengan rumah, pasar dan tempat kerja, yang dapat meningkatkan akses perempuan untuk menabung dan mendapatkan kredit. Reformasi agraria yang menyediakan pemilikan bersama antara suami isitri atau menjadikan perempuan bisa memiliki tanah atas namanya sendiri sehingga meningkatkan kontrol perempuan atas tanah dalam situasi hukum berlaku secara dominan. Jika adat kebiasaan dan aturan hukum beroperasi secara seimbang, interaksi antara keduanya harus dilakukan untuk memperkuat akses perempuan terhadap tanah.

88

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Untuk negara yang pasar tenaga kerjanya relatif dikembangkan dan terjadi penegakan hukum, tindakan afirmatif dalam program penyediaan lapangan kerja dapat meningkatkan akses perempuan untuk mendapatkan pekerjaan sektor formal. Jika terdapat diskriminasi yang serius dalam rekrutmen dan promosi, tindakan afirmatif juga akan meningkatkan produktivitas di perusahaan dan perekonomian.

2. Mengurangi Biaya-biaya Personal Perempuan terkait dengan Perannya di Rumah Tangga. Hampir seluruh masyarakat memiliki norma gender bahwa perempuan dan anak perempuan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, termasuk merawat anak. Di negara berkembang kegiatan ini sering menghabiskan banyak waktu, sering membatasi kesempatan anak perempuan untuk melanjutkan sekolahnya dan membatasi ibu untuk berpartisipasi dalam kerja pasar (pekerjaan formal). Beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi biaya personal atas peran domestik perempuan dan anak perempuan adalah: Intervensi untuk meningkatkan pendidikan, upah dan partisipasi dalam pasar tenaga kerja. Intervensi ini jika dibarengi dengan akses yang memadai terhadap layanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi akan memperkuat peran perempuan dalam pengambilan keputusan terkait fungsi reproduktif. Karena perempuan dan laki-laki bisa jadi memiliki preferensi yang berbeda terkait dengan ukuran keluarga dan penggunaan alat kontrasepsi, maka layanan keluarga berencana perlu juga ditargetkan kepada laki-laki sebagaimana juga kepada perempuan. Menyediakan dukungan publik dengan menyediakan tempat penitipan anak agar biaya pengasuhan dapat berkurang dan memungkinkan kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi di kegiatan ekonomi dan aktivitas sekolah untuk anak perempuan dewasa. Di Kenya, mengurangi biaya pengasuhan anak telah meningkatkan secara signifikan penghasilan perempuan dan jumlah anak perempuan dewasa yang bersekolah. Aturan yang memproteksi pasar tenaga kerja agar perempuan yang bekerja di sektor formal bisa mendapatkan manfaat optimal. Contohnya, jika perusahaan yang menanggung semua biaya selama cuti melahirkan, perusahaan bisa bertindak bias terhadap perempuan pada saat rekrutmen. Jika perempuan yang menanggung seluruh biaya, maka insentif bagi perempuan untuk melanjutkan bekerja lemah. Tindakan yang membagi tanggung jawab biaya persalinan dan kegiatan pengasuhan anak lainnya antara pemilik perusahaan, pekerja dan bahkan negara akan meningkatkan manfaat relatifnya dibandingkan dengan biaya bagi perempuan dan keluarganya. Investasi selektif pada sarana air bersih, bahan bakar, transportasi dan infrastruktur lainnya untuk menghemat waktu agar dapat mengurangi beban pekerjaan rumah tangga dari perempuan dan anak perempuan, khususnya pada kelompok miskin, wilayah pedesaan, agar anak perempuan memiliki waktu untuk pergi ke sekolah dan perempuan dapat melakukan aktivitas lain, apakah yang terkait dengan aktivitas untuk mendapatkan penghasilan atau kegiatan komunitas.

89

3. Menyediakan Jaminan Sosial Berdasarkan Gender. Perempuan dan laki-laki menghadapi risiko spesifik gender selama krisis ekonomi dan reformasi kebijakan. Perempuan memiliki kekuasaan lebih sedikit terhadap sumber daya yang melindunginya dari krisis. Sedangkan laki-laki yang secara tradisonal merupakan pencari nafkah utama, rentan stres atau ketidakpastian di pekerjaan. Oleh karena itu, merancang jaminan sosial dengan memahami perbedaan gender dalam risiko dan kerentanan penting untuk dilakukan. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan: Program jaminan sosial harus memperhitungkan faktor yang mengakibatkan bias gender dalam partisipasi dan manfaat. Sebagai contoh, program jaring pengaman sosial sering mengucilkan perempuan karena gagal dalam memperhitungkna adanya perbedaan gender dalam perilaku angkatan kerja, akses terhadap informasi atau tipe pekerjaan di mana biasanya perempuan/ laki-laki dianggap lebih pantas. Program jaminan hari tua tidak memperhitungkan perbedaan gender dalam pekerjaan, penghasilan dan angka harapan hidup yang menempatkan risiko perempuan, khususnya janda yang rentan untuk miskin di usia tua. Studi yang dilakukan baru-baru ini Chili menunjukkan bahwa manfaat relatif pensiun bagi perempuan dibandingkan laki-laki adalah hal sensitif yang perlu direspons dalam rancangan sistem jaminan hari utama.

4. Memperkuat Partisipasi dan Pengaruh Politik Perempuan. Perubahan institusional dalam membangun kesetaraan gender merupakan landasan dari kesetaraan yang lebih besar di partisipasi dan pengaruh politik. Sejalan dengan ini, kebijakan dan program yang mempromosikan kesetaraan dalam pendidikan dan akses informasi (termasuk melek hukum) dapat memperkuat keterwakilan perempuan dan kapasitas mereka untuk terlibat dalam arena politik. Namun tidak seperti dampak dari pembangunan ekonomi yang lebih luas dirasakan, pendekatan ini membutuhkan waktu agar manfaat yang didapat dapat diketahui. Pengalaman terbaru di lebih dari 30 negara, mencakup Argentina, Ekuador, India, Filipina dan Uganda menunjukkan tindakan afirmatif bisa efektif meningkatkan representasi di lembaga perwakilan nasional dan lokal dalam jangka pendek. Aturan mengenai tindakan afirmatif berbeda di beberapa negara, namun secara umum mengarah pada jumlah minimum atau proporsi dari kandidat calon anggota legislatif atau kursi DPR/DPRD untuk perempuan.

90

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Lembar Bantu Belajar 3.1 Cuplikan Peraturan Perundangan untuk Dibagikan


Kelompok 1 Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. (Pasal 1, Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah) Kelompok 2 Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.(Pasal 27 ayat 1 Perubahan UUD 1945) Kelompok 3 Sasaran penanggulangan kemiskinan pembangunan dalam lima tahun ke depan adalah menurunnya jumlah penduduk miskin laki-laki dan perempuan. (Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Bab 16) Kelompok 4 Memajukankan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. (Millennium Development Goals No. 3)

91

Bahan Presentasi 3.1


1 2

Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia HAM minimal meliputi: - hak sipil dan politik (Sipol) - hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob)

Pembangunan Berbasis HAM

Dua Pendekatan untuk Menelaah Kemiskinan


Kemiskinan sebagai gambaran dari langkanya hak-hak sosial (lack on entitlemen) Kemiskinan akibat adanya keterkucilan (exclution)

Tekanan terhadap Perempuan


Tekanan eksternal Tekanan internal Sesuatu yang dianggap takdir

Kebijakan yang Berpihak pada Orang Miskin


Kehendak Publik Iklim yang Mendukung

Pemberdayaan Ekonomi Perempuan


Mewujudkan kemandirian ekonomi melalui wirausaha atau wiraswasta merupakan strategi paling efektif agar perempuan menikmati keadilan ekonomi dan sosial Memperkuat rasa percaya diri sekaligus kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi hidupnya di rumah dan masyarakat

92

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 3

Kesetaraan Gender dan Hak-hak Warga Negara

Bahan Presentasi 3.2


1

Peraturan Perundangan
UUD 1945, memuat prinsip kesetaraan gender Perubahan UUD 1945, Pasal 27, ayat 1, tentang persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan Perubahan UUD 1945, Pasal 28, tentang Hak Asasi Manusia UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di mana di dalamnya tercantum Hak Asasi Perempuan UU No. 7 Tahun 1984, tentang Ratifikasi CEDAW UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga UU No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak

Regulasi Kesetaraan Gender di Indonesia


Landasan Peraturan Perundangan PUG

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di mana di dalamnya tercantum Hak Asasi Perempuan UU No. 7 Tahun 1984, tentang Ratifikasi CEDAW (anti diskriminasi terhadap perempuan) Inpres No. 9 Tahun 2000, tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009, Bab 12 dan Bab 16

Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah
merupakan revisi dari Kepmendagri No.132 Tahun 2003 untuk merespons perkembangan aturan terkait dengan pemerintahan daerah Tujuan: 1. Memberikan acuan dalam menyusun strategi pengarusutamaan gender baik di tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan/ program/kegiatan pembangunan daerah 2. Mewujudkan perencanaan yang berperspektif gender 3. Mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender 4. Mewujudkan pengelolaan anggaran daerah yang responsif gender

Perencanaan Berperspektif Gender


Tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan, yaitu RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD Pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Bappeda Rencana kerja berperspektif gender ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Kelompok kerja (pokja) PUG dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten sebagai upaya percepatan pelembagaan PUG

93

94

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

SESI 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Pengantar
Pengarusutamaan gender adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan program dan kegiatan pembangunan di daerah.1 Syarat utama yang diperlukan untuk melaksanakan strategi pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan adalah kemauan politik dari pembuat kebijakan publik. Antara lain dengan memasukkan perspektif gender ke dalam semua kebijakan dan program yang mengarah pada kesetaraan gender yang didukung dengan data sensitif gender.
1

Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah.

95

Agar pelaksanaan PUG bisa berjalan efektif, kemitraan antara pemerintah daerah, anggota DPRD dan masyarakat sipil menjadi satu keniscayaan.

Tujuan:
Peserta memahami pengertian pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi pembangunan. Peserta mampu menggunakan strategi pengarusutamaan gender dalam penyusunan program pembangunan. Peserta mampu menciptakan program yang mendukung kesetaraan gender berdasarkan konsep Pembangunan Berbasis HAM. Peserta memahami pentingnya kerja sama antara tiga pihak (pemerintah, DPRD dan masyarakat sipil) dalam melaksanakan strategi pengarusutamaan gender.

Metode:
Curah pendapat Diskusi kelompok Presentasi Pemutaran VCD Strategi PUG

Waktu:
120 menit

Alat dan Bahan:


Kertas plano Spidol Metaplan

Media Pembelajaran:
Bahan Bacaan 4.1 Bahan Bacaan 4.2 VCD Strategi PUG Bahan Presentasi 4.1 Bahan Presentasi 4.2

Catatan untuk Fasilitator:


Fasilitator menekankan pentingnya data dan fakta mengenai problem gender, di antaranya melalui data kesenjangan gender sebagai dasar penyusunan program pembangunan di daerah masing-masing peserta. Fasilitator menegaskan kepada peserta bahwa program pembangunan di daerah disusun untuk menyelesaikan masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Fasilitator hendaknya mulai mendorong munculnya komitmen dan kesepakatan peserta untuk mengimplementasikan PUG dalam program pembangunan.

96

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Tahapan Proses:
Pembukaan (15 menit) Fasilitator membuka sesi 4 dengan menjelaskan tujuan sesi ini secara singkat. Fasilitator mengulang kembali hasil kerja kelompok pada sesi 2 dengan menekankan pada beberapa hal, yakni: Kaitan antara gender dengan kemiskinan. Strategi PUG yang telah menjadi kebijakan pemerintah.

Fasilitator mengajak perserta menonton tayangan VCD Strategi PUG untuk menguatkan pemahaman mengenai pentingnya strategi PUG.

Penayangan VCD Strategi PUG (10 menit) Fasilitator menayangkan VCD dan meminta tanggapan beberapa peserta secara singkat. Fasilitator menjelaskan bahwa peserta akan melakukan diskusi kelompok untuk memperdalam materi strategi PUG.

Diskusi Kelompok (40 menit) Fasilitator membagi peserta menjadi tiga kelompok. Peserta diminta untuk menyusun proyek berdasarkan tabel kesenjangan gender yang ada di Lembar Bantu Belajar 2.1, meliputi: Latar belakang Perumusan masalah Tujuan Keluaran (output) Strategi pelaksanaan Strategi monitoring dan evaluasi

Fasilitator membagikan Bahan Bacaan 4.2 dan menjelaskan kepada peserta bahwa bahan ini dapat digunakan untuk mengerjakan tugas diskusi kelompok. Waktu untuk diskusi kelompok 35 menit.

Curah Pendapat (45 menit) Fasilitator mempersilakan setiap kelompok secara bergiliran mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Fasilitator mengajak peserta untuk mendiskusikan lebih lanjut hasil presentasi mereka dengan mengajukan pertanyaan: Apakah proyek sudah responsif gender? Siapa yang diuntungkan oleh proyek dan siapa yang dirugikan? Apakah dampak proyek bagi laki-laki dan perempuan? Apakah potensi dampak proyek pada kesenjangan gender yang ada?

97

Indikator-indikator apa yang digunakan untuk menjaga adanya perspektif gender?

Fasilitator mengarahkan peserta untuk lebih memahami bahaya penyusunan proyek yang netral gender dan pentingnya strategi yang responsif gender dalam penyusunan proyek.

Presentasi (10 menit) Fasilitator menayangkan dan menjelaskan secara singkat Bahan Presentasi 4.1 dan 4.2 untuk lebih menajamkan pemahaman peserta.

Penutup (5 menit) Fasilitator bersama peserta menyimpulkan sesi 4, yakni: Pentingnya memasukkan strategi PUG dalam perencanaan pembangunan dan anggaran untuk mewujudkan kegiatan/program di berbagai sektor pembangunan yang responsif gender. Pentingnya komitmen bersama antarpihak yang berkepentingan untuk mengurangi kesenjangan gender melalui kebijakan pembangunan yang responsif gender.

Fasilitator menutup sesi 4 dan meminta peserta untuk beristirahat sebelum dilanjutkan ke sesi 5.

98

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Bahan Bacaan 4.1 Strategi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan


A. Urgensi Strategi Pengarusutamaan Gender Ketidaksetaraan gender adalah satu masalah serius yang perlu segera diselesaikan. Pemerintah merupakan salah satu aktor utama (selain swasta dan masyarakat) dalam mengatasi problem ketidaksetaraan gender. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah melaksanakan strategi pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Strategi pengarusutamaan gender adalah suatu strategi yang ditempuh untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan pengalaman laki-laki dan perempuan. Gambar berikut ini bisa menjelaskan mengapa dalam implementasi PUG titik pijak yang digunakan adalah memahami adanya kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Anjing dan angsa beranjak dari titik keberangkatan yang sama untuk mendapatkan makanan yang diletakkan di piring. Ternyata anjing bisa makan dengan enak, sementara angsa hanya memandang saja (tidak ikut makan). Mengapa? Ternyata, bentuk mulut yang berbeda adalah penyebab kejadian ini. Bentuk mulut yang berbeda (bentuk mulut anjing melebar, sementara bentuk mulut angsa memanjang) membutuhkan wadah makanan yang berbeda. Setelah diberi wadah yang berbeda, maka keduanya bisa sama-sama makan enak dan sama-sama kenyang. Kasus di atas bisa dianalogikan untuk menggambarkan adanya kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dengan perempuan, yang hendaknya bisa terakomodasikan ketika menyusun program-program pembangunan.

Pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan strategi pengarusutamaan gender sebagaimana terlihat dalam aturan perundangan, antara lain UU No. 7 Tahun 1984 tentang CEDAW, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, terutama tentang Hak Asasi Perempuan, PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, dan Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah.

99

B. Area Strategi Pengarusutamaan Gender


Stategi pengarusutamaan gender dilakukan di setiap tahapan dalam pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi pembangunan sebagaimana yang dijelaskan dalam bagan berikut ini:

Bagan 4.1 Strategi Pengarusutamaan Gender


Perencanaan

Monitoring & Evaluasi

Perencanaan Pengarusutamaan Advokasi & Training Mekanisme Institusi

Penyusunan Program & Pelaksanaannya

Data Terpilah

Pelaksanaan

C. Analisis Gender
Analisis gender adalah analisis untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor lainnya seperti kelas sosial, ras dan suku bangsa1. Analisis gender merupakan alat (tools) yang digunakan dalam menerapkan strategi pengarusutamaan gender, baik dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi dari kebijakan, program maupun kegiatan. Dengan analisis gender, diharapkan kesenjangan gender dapat diidentifikasi dan dianalisis, dicari faktor penyebab dan ditemukan cara-cara pemecahannya secara tepat melalui program/kegiatan pembangunan di semua sektor. Ada beberapa metode analisis gender yang biasa digunakan, antara lain Metode Gender Analysis Pathway (GAP) dan Metode Problem Based Approach (PROBA)2. 1. Metode GAP Metode GAP adalah metode analisis gender untuk mengetahui kesenjangan gender, dengan melihat aspek akses, peran, manfaat dan kontrol yang diperoleh laki-laki dan

1 2

Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah . Panduan dan Bunga Rampai Pengarusutamaan Gender,KPP,BKKBN,UNFPA,hal.107-111

100

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

perempuan dalam program-program pembangunan. Analisis gender dilakukan terhadap kebijakan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Alur kerja analisis gender dalam metode GAP dapat dilihat dalam bagan berikut ini:

Bagan 4.2 Perencanaan yang Responsif Gender


Analisis Kebijakan Gender
1. Tujuan kebijakan saat ini 2. Data pembuka wawasan (terpilah berdasarkan seks) Kuantitatif Kualitatif 3. Faktor-faktor kesenjangan Akses, Peran, Kontrol, Manfaat 4. Isu Gender Kesenjangan apa, di mana, mengapa?

Formulasi Kebijakan Gender


5. Tujuan Kebijakan Gender Apa yang harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan 6. Indikator Gender

Rencana Tindak Gender PE LAK SA NA AN

7. Kegiatan Operasional

PEMANTAUAN DAN EVALUASI

8. Sasaran

Periksa kembali: Apakah semua faktor kesenjangan telah tercakup?

Tahapan dalam metode GAP adalah sebagai berikut: Tahap 1: Analisis Kebijakan Responsif Gender Tahap ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pembangunan yang ada dan menggunakan data pembuka wawasan yang dipilah berdasarkan jenis kelamin, untuk selanjutnya mengidentifikasi kesenjangan gender (gender gap) dan permasalahan gender (gender issues). Langkah-langkah analisis kebijakan responsif gender, meliputi: a. Identifikasi tujuan kebijakan/program/kegiatan saat ini. b. Sajikan data kuantitatif dan kualitatif yang terpilah sebagai data pembuka wawasan. c. d. Analisis sumber terjadinya dan/atau faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender. Identifikasi masalah-masalah gender.

Tahap 2: Formulasi Kebijakan Responsif Gender Dalam tahap kedua ini, kebijakan/program/kegiatan yang sudah dianalisis, kemudian dirumuskan kembali sehingga responsif gender. Untuk mengetahui apakah kebijakan baru sudah responsif gender maka dibuat indikator gender. Langkah-langkah formulasi kebijakan responsif gender, meliputi:

101

a. Rumuskan kebijakan/program/kegiatan pembangunan yang responsif gender. b. Identifikasi indikator gender yang sesuai. Tahap 3: Rencana Aksi Responsif Gender Tahap ini merupakan tahap untuk menyusun rencana kegiatan yang sudah responsif gender. Langkah-langkah dalam rencana aksi responsif gender, meliputi: a. Penyusunan rencana aksi. b. Identifikasi sasaran, baik kuantitaif maupun kualitatif, untuk setiap rencana aksi. Tahap 4: Pelaksanaan Kegiatan Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan kegiatan yang sudah responsif gender. Tahap 5: Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi dilakukan pada semua tahapan dan menjadi masukan bagi proses di tahap pertama. 2. Metode PROBA Metode PROBA adalah analisis gender yang dilakukan dengan menganalisis masalah, sehingga metode ini sering pula disebut degan analisis berbasis masalah. Alur kerja metode PROBA dapat dilihat pada bagan berikut ini:

Bagan 4.3 Alur Kerja Metode PROBA

102

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Tahapan dalam metode PROBA adalah sebagai berikut: Tahap 1: Analisis Masalah Gender Analisis masalah gender merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menetapkan masalah gender yang terjadi di area yang dianalisis. Berikut beberapa langkah dalam menganalisis masalah gender: a. Identifikasi data terpilah Langkah ini bertujuan untuk menunjukkan kesenjangan gender yang terjadi di area yang dianalisis. Data bisa berbentuk kuatitatif maupun kualitatif. b. Penetapan masalah kesenjangan gender Langkah ini dilakukan dengan menetapkan masalah gender dalam bentuk kalimat yang jelas berdasakan data terpilah yang ada. c. Identifikasi faktor penyebab Langkah ini bertujuan untuk mencari faktor penyebab atas masalah kesenjangan gender yang telah dirumuskan. Faktor penyebab kesenjangan dapat bersumber dari beberapa faktor, antara lain faktor sosial/lingkungan, budaya, agama, ekonomi, kebijakan. Identifikasikan juga faktor ketidakseimbangan gender yang dilihat dari aspek akses, peran, kontrol dan manfaat.

Tahap 2: Telaah Kebijakan


Telaah kebijakan/program/kegiatan bertujuan untuk mengetahui apakah kebijakan yang ada saat ini netral, bias atau responsif gender. Hasil dari penelaahan ini menjadi dasar pada tahap selanjutnya, yaitu menformulasi kebijakan baru. Berikut beberapa langkah dalam menelaah kebijakan: a. Analisis kebijakan Tulis kembali bunyi kebijakan/program/kegiatan yang terdapat dalam dokumen perencanaan, baik RPJM, Rensta, maupun Renja baik di tingkat pusat maupun daerah. Kebijakan.program/kegiatan yang dianalisis ini mengacu pada data kesenjangan gender yang ada di tahap 1. b. Klasifikasi kebijakan. Klasifikasi kebijakan/program/kegiatan tersebut dalam klasifikasi netral, bias atau responsif gender. c. Penetapan kebijakan/program/kegiatan yang strategis Setelah kebijakan/program/kegiatan dituliskan, maka pilih kebijakan/program/ kegiatan yang strategis. Tahap 3: Formulasi Kebijakan Baru Tahap ini dilakukan dengan menyusun kembali kebijakan/program/kegiatan yang netral dan bias agar menjadi responsif gender. Berikut dua langkah memformulasikan kebijakan baru: a. Formulasi kebijakan baru responsif gender. b. Formulasi program/kegiatan pokok responsif gender.

103

Tahap 4: Penyusunan Rencana Aksi dan Kegiatan Intervensi Tahap ini dilakukan dengan menyusun rencana aksi dan kegiatan intervensi yang perlu dilakukan agar program/kegiatan responsif gender dapat diakomodasi dalam dokumen perencanaan yang ada. Tahap 5: Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan tahap-tahap analisis dan mengadakan perbaikan apabila diperlukan. Selanjutnya laporan monitoring dan evaluasi menjadi bahan masukan untuk analisis berikutnya. Tahap ini mencakup beberapa langkah: a. Penyusunan Indikator Kinerja Indikator kinerja ini diperlukan sebagai alat monitoring evaluasi untuk menentukan capaian pelaksanaan PUG. b. Pembentukan Gender Focal Point (GFP) dan pengembangan kelompok kerja (Pokja) PUG GFP dan Pokja PUG adalah pihak yang mengawal dan memantau pelaksanaan PUG di lembaga masing-masing dan membantu mengatasi masalah yang terjadi. Anggota GFP adalah mereka yang pernah mendapatkan informasi tentang gender baik melalui jalur formal maupun informal, sedangkan anggota Pokja PUG dipilih dari anggota GFP. c. Penyusunan Mekanisme Operasional Ini merupakan langkah akhir dari analisis PROBA. Pada tahap ini disusun mekanisme operasional yang lebih rinci di setiap usulan kegiatan intervensi yang telah disusun sebelumnya dan hasilnya dijadikan juklak dan juknis pelaksanaan kegiatan.

D. Prinsip Penerapan Pengarusutamaan Gender


Penerapan strategi pengarusutamaan gender di Indonesia berdasarkan pada beberapa prinsip, yaitu3: 1. Menghargai keragaman Menerima keragaman etnis budaya, agama dan adat istiadat karena bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat yang merupakan kekayaan potensial dan keragaman yang perlu dipertahankan di dalam pengarusutamaan gender tanpa harus mempertentangkan keragaman tersebut. 2. Bukan pendekatan dikotomis Pendekatan dalam PUG tidak melalui pendekatan dikotomis yang selalu menjadikan kepentingan laki-laki dan perempuan berada dalam dua kutub yang bertentangan.

Ibid, hal.121

104

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

3. Melalui proses pemampuan sosialisasi dan advokasi Prinsip yang penting dalam PUG di Indonesia adalah penerapan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi. 4. Menjunjung nilai hak asasi manusia dan demokrasi Pendekatan PUG di Indonesia tidak melalui pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan, sehingga tidak ada kelompok yang merasa dirugikan.

E. Prakondisi dan Mekanisme Pendukung


Agar strategi pengarusutamaan gender bisa diimplementasikan, maka dibutuhkan mekanisme pendukung sebagai berikut: Focal Point, yaitu orang di pemerintahan yang memiliki komitmen terhadap isu kesetaraan gender dan menjadi sumber informasi bagi pegawai lainnya. Data Terpilah, terutama data-data yang sudah dibuat terpilah antara laki-laki dan perempuan. Lembaga yang peduli dan mempunyai mandat terhadap upaya pengarus-utamaan gender. Misalnya organisasi perempuan, LSM maupun perkumpulan. Anggaran, sebagai sarana pengimplementasian strategi pengarusutamaan gender yang telah disusun.

Bagan 4.4 Mekanisme Pendukung

Focal Points

Data Terpilah

Anggaran

Lembaga
(organisasi perempuan, LSM, serikat)

Prakondisi yang Diperlukan: Adanya komitmen dan akuntabilitas dari pucuk pimpinan; Adanya kebijakan yang menyatakan secara eksplisit mengenai kesetaraan gender; Adanya penanggung jawab untuk mengarusutamakan gender; Tersedianya pakar analisis gender; Tersedianya sumber dan instrumen gender.

105

Boks 4.1 Landasan Hukum Analisis Gender dalam Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah
1. PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah mengatur bagaimana dokumen perencanaan pembangunan daerah disusun. Termasuk penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, Renja SKPD dan RKPD. Pasal 33 menyebutkan bahwa Bappeda menyusun kerangka studi dan instrumen analisis serta melakukan penelitian lapangan sebelum menyusun perencanaan pembangunan daerah. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kerangka studi dan instrumen analisis, dapat berupa analisis spesifik seperti analisis biaya dan manfaat (cost and benefit), analisis kemiskinan dan analisis gender. Dengan demikian, Bappeda tidak perlu ragu untuk melakukan analisis gender dan menjadikannya sebagai salah satu masukan dalam menyusun dokumen perencanaa pembangunan daerah. 2. Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah, mengatur bahwa analisis gender dalam menyusun Renja SKPD dilakukan oleh SKPD masing-masing, sedangkan analisis gender dalam menyusun RPJMD dan Renstra SKPD dapat bekerja sama dengan lembaga perguruan tinggi atau pihak lain yang memiliki keahlian. Dalam hal ini termasuk LSM.

106

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Bahan Bacaan 4.2 Menyusun Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah Responsif Gender1
Pasal 4, Permendagri No. 15 Tahun 2008, menyebutkan bahwa pemerintah daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program dan kegiatan pembangunan berperspektif gender yang dikonkretkan dalam penyusunan dokumen RPJMD, Renstra SKPD, Renja SKPD responsif gender. Aturan ini menjadi payung hukum implementasi strategi pengarusutamaan gender dalam dokumen perencanaan. A. Menyusun RPJMD Responsif Gender 1. Mengenal Dokumen RPJMD dan Renstra SKPD RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) adalah dokumen perencanaan pembangunan untuk periode lima tahunan. RJPMD merupakan tahapan untuk mencapai RPJPD. Selain itu, RPJMD merupakan perwujudan dari visi dan misi kepala daerah sebagai konsekuensi pemilihan kepala daerah langsung. RPJMD akan diterjemahkan oleh masing-masing sektor dalam bentuk Renstra (Rencana Strategis) SKPD sesuai dengan TUPOKSI masing-masing SKPD. 2. Langkah-langkah Penyusunan Dokumen RPJMD Ada tiga langkah peyusunan RPJMD, yakni: a. Penyusunan Rancangan Awal RPJMD b. Musrenbang RPJMD c. Penyusunan Rancangan Akhir RPJMD Ada dua langkah untuk menyusun RPJMD responsif gender, yaitu: a. Analisis gender yang dilakukan sebelum menyusun Rancangan Awal RPJMD SKPD. b. Mengeksplisitkan isu kesetaraan gender ke dalam isi dokumen yang dilakukan dengan meringkas hasil analisis gender ini ke dalam batang tubuh dokumen RPJMD/Renstra SKPD. 3. Mengintegrasikan Gender dalam Dokumen RPJMD

Tabel 4.1 Pengintegrasian Gender dalam RPJMD


Outline RPJMD
a. Pendahuluan b. Gambaran Umum Kondisi Daerah

Pengintegrasian Isu Gender


Cantumkan pernyataan kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu elemen penting dalam pembangunan daerah Cantumkan data IPM, IPG, UPG dan jelaskan problem-problem ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang terjadi

c. Gambaran Pengelo- 1. Cantumkan pernyataan tentang 10 asas umum pengelolaan laan Keuangan keuangan daerah: tertib, taat pada peraturan perundangan, Daerah dan Keefektif, efisien, ekonomis, transparan, bertanggung jawab, rangka Pendanaan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat

107

2. Berikan penjelasan untuk beberapa prinsip, yaitu keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat yang mengandung arti bahwa anggaran daerah mengakomodasi kebutuhan berbagai kelompok dalam masyarakat baik laki-laki maupun perempuan d. Analisis Isu-su Strategis Daerah e. Visi dan Misi Pembangunan f. Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan g. Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Daerah Cantumkan isu kesenjangan gender dalam berbagai bidang sebagai satu isu strategis Cantumkan peryataan kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu misi pembangunan daerah Cantumkan pernyataan strategi pengarusutamaan gender sebagai strategi pembangunan Cantumkan tiga strategi dasar mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender kebijakan umum dan program pembangunan daerah: 1. Reformasi institusi untuk membangun hak dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan 2. Mengembangkan pembangunan ekonomi untuk memperkuat insentif atas sumber daya dan partisipasi yang setara 3. Aktif melakukan aksi yang mengarah pada upaya mengurangi kesenjangan gender atas sumber daya dan pengambilan keputusan Keterangan: lihat kembali Bahan Bacaan 3.4 tentang Strategi Mempromosikan Kesetaraan gender Cantumkan program-program yang terkait aksi untuk mengurangi kesenjangan gender ke dalam program prioritas, antara lain: 1. Akses terhadap sumber daya produktif dan kapasitas penghasilan 2. Mengurangi biaya-biaya personal perempuan terkait dengan perannya di rumah tangga 3. Menyediakan jaminan sosial berdasarkan gender 4. Memperkuat partisipasi dan pengaruh politik perempuan Cantumkan indikator kinerja responsif gender dengan mengacu pada indikator Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Gender, antara lain: 1. Angka Partisipasi Kasar (APK) sekolah, baik laki-laki maupun perempuan 2. Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah, baik laki-laki maupun perempuan 3. Angka Kematian Bayi 4. Angka Kematian Ibu

h. Program Prioritas dan Kerangka Pendanaan

i. Indikator Kinerja Pembangunan Daerah

Berikut ini adalah beberapa contoh koreksi redaksional isu gender yang dinyatakan secara eksplisit dalam dokumen RPJMD:

108

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Tabel 4.2 Contoh Koreksi Redaksional dalam RPJMD


Redaksional Awal Tujuan Pembangunan: Peningkatan akses dan kualitas pendidikan Tambahan/Koreksi Redaksional tambahan redaksional menuntaskan wajib belajar sembilan tahun dengan menjamin kesempatan yang setara antara siswa laki-laki dan perempuan Tambahan tujuan: menurunkan angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi ( sangat penting karena terkait dengan pencapaian IPM) Tambahan tujuan: mendorong pertumbuhan ekonomi produktif kelompok perempuan

Tujuan Pembangunan: Peningkatan akses dan derajat kesehatan Tujuan Pembangunan: Pemantapan struktur ekonomi daerah

B. Menyusun Renstra SKPD Responsif Gender 1. Mengenal Dokumen Renstra SKPD Renstra SKPD adalah dokumen turunan dari RPJMD yang berisi apa yang akan dilakukan oleh masing-masing SKPD dalam mencapai visi dan misi yang ada di RPJMD sesuai dengan TUPOKSI masing-masing. Misalnya, jika dalam RPJMD tercantum bahwa salah satu prioritas pembangunan lima tahun ke depan adalah penuntasan wajib belajar sembilan tahun, maka Renstra SKPD dinas Pendidikan menempatkan penuntasan wajib belajar sembilan tahun sebagai prioritas program pendidikan lima tahun ke depan. Program ini akan dijabarkan dalam program dan kegiatan tahunan beserta pendanaan yang indikatif. Penjabaran program dan kegiatan penting dilakukan karena perlu upaya bertahap dalam mencapai wajib belajar sembilan tahun. 2. Menyusun Dokumen Renstra SKPD Ada dua langkah yang harus dilakukan dalam menyusun Renstra SKPD, yakni: a. Menyusun Rancangan Renstra SKPD berdasarkan rancangan RPJMD. b. Menetapkan Renstra SKPD oleh kepala SKPD. Dari kedua langkah ini, penyusunan Renstra SKPD responsif gender dilakukan melalui langkah-langkah: a. Melakukan analisis gender, yakni sebelum menyusun Rancangan Awal RPJMD/Renstra SKPD.

b. Mengeksplisitkan isu kesetaraan dan keadilan gender ke dalam isi dokumen, yang dilakukan dengan meringkas hasil analisis gender ini ke dalam batang tubuh dokumen Renstra SKPD. 3. Mengintegrasikan Gender dalam Dokumen Renstra SKPD Kerangka/Outline Renstra SKPD, paling sedikit mencakup:

109

Tabel 4.3 Kerangka Renstra SKPD


Outline Renstra SKPD a. Pendahuluan Pengintegrasian Isu Gender

Cantumkan pernyataan mempromosikan kesetaraan gender sebagai salah satu elemen penting dalam Renstra SKPD b. Gambaran pela1. Cantumkan pernyataan bahwa pelayanan SKPD disediakan yanan SKPD untuk seluruh lapisan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, tanpa ada diskriminasi 2. Cantumkan bagaimana capaian pelayanan SKPD saat ini, termasuk capaian pelayanan yang bisa diakses dan dinikmati oleh perempuan dan kelompok rentan lainnya (anak, lansia, penyandang cacat) c. Isu-isu strategis Cantumkan isu gender sesuai tupoksi sebagai salah satu isu berdasarkan strategis, misalnya: isu gender di pertanian, ekonomi, di tupoksi kesehatan d. Visi, misi, tujuan Cantumkan secara eksplisit bahwa visi, misi, tujuan dan dan sasaran, strate- sasaran, strategi dan kebijakan mengarah pada upaya gi dan kebijakan memajukan kesetaraan gender sesuai tupoksi e. Rencana program, 1. Rencana program/kegiatan: terdapat program/kegiatan kegiatan, indikator yang mengarah pada penyelesaian masalah gender yang kinerja, kelompok terjadi sasaran dan pen2. Indikator kinerja : cantumkan indicator output dan outcome danaan indikatif yang terpilah antara laki-laki dan perempuan 3. Kelompok sasaran: eksplisit menjamin kesempatan yang setara antara laki-laki dan perempuan f. Indikator kinerja Cantumkan indikator kinerja responsif gender sesuai dengan SKPD yang metupoksi SKPD, misalnya: ngacu pada tujuan Indikator pendidikan (terpilah): dan sasaran RPJMD 1. Angka Partisipasi Murni (APM) atau rasio kehadiran 2. Angka melek huruf untuk penduduk dewasa 3. Angka melek huruf untuk usia 15-24 tahun Indikator kesehatan : 1. Angka kematian bayi (di bawah satu tahun) 2. Angka kematian ibu melahirkan 3. Persentase jumlah penduduk (terpilah) yang dapat mengakses layanan kesehatan dasar 4. Angka prevalensi pemakaian kontrasepsi Indikator ekonomi: (terpilah) 1. Persentase rumah tangga miskin yang dikepalai oleh perempuan/laki-laki 2. Persentase angkatan kerja di sektor pertanian (terpilah) 3. Persentase perempuan yang mendapatkan akses kredit dibandingkan dengan laki-laki 4. Persentase upah rata-rata untuk pekerja di sektor pertanian (terpilah) Penyusunan Renja SKPD responsif gender akan dibahas di sesi 7.

110

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Bahan Bacaan 4.2 Menyusun Program Responsif Gender


1. Siapa yang terlibat? a. Siapa aktor yang terlibat dalam penyusunan program? Apakah mereka mengikutsertakan individu atau kelompok yang sudah berperspektif gender? Di manakah bisa memperoleh pakar gender?

b. Bagaimana perimbangan komposisi gender dalam lembaga yang terlibat? c.

Daftar Pihak-pihak yang Responsif Gender Apakah pihak-pihak di bawah ini dilibatkan dalam program? 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Focal point gender di lembaga-lembaga pemerintah. Lembaga mitra (donor) yang sudah menerapkan kebijakan khusus (affirmative policy). Ekonom yang memiliki keahlian khusus mengenai gender. LSM yang memperjuangkan kesetaraan gender. Kelompok pembela HAM. Kelompok pemikir yang sudah berpengalaman dan ahli di bidang gender. Akademisi dan peneliti dari pusat studi gender dan studi perempuan.

2. Apa isu atau masalah pembangunan yang dihadapi? a. Apa subyek dari program? b. Apakah isu tersebut akan mempengaruhi laki-laki dan perempuan secara berbeda? 3. Menuju kesetaraan gender: apa sebenarnya tujuan program? a. Apa yang ingin dicapai? Tujuan program harus merespons setiap perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dan mencari pemecahannya. Jika perempuan dan laki-laki mempunyai kepentingan yang berbeda, maka tujuan program harus memenuhi kepentingan keduanya, termasuk yang bertujuan untuk menyeimbangkan perbedaan misalnya untuk memenuhi kebutuhan praktis laki-laki dan perempuan. c. Apakah tujuan memasukkan komitmen yang lebih luas untuk memperbaiki kesetaraan gender? Tujuan program harus juga memperjuangkan kesetaraan gender secara lebih luas. Mungkin elemen kelembagaan, struktur atau bahkan asumsi-asumsi dasar yang memberi peluang munculnya ketidakadilan gender harus diuji dan diperbaiki. Jadi, tujuan bersifat transformatif, yaitu mentransformasikan lembaga dan struktur (sosial, politik, ekonomi, dan budaya) agar kesetaraan gender lebih berpeluang untuk dicapai. b. Apakah tujuan dibedakan menurut gender?

111

Kapan analisis gender diperlukan? 1. Pada penyusunan program Apakah program akan melanggengkan atau bahkan memperparah ketimpangan gender saat ini? Apakah program akan dapat menghilangkan ketimpangan gender saat ini? Apa pilihan-pilihan yang harus dipertimbangkan untuk memperkuat perspektif gender? Apakah pelaksanaan program sudah berkeadilan gender? Adakah kemajuan ke arah tujuan kesetaraan gender seperti yang ditunjukkan dalam penyusunan program? Adakah isu-isu gender yang tidak terindentifikasi pada tahap penyusunan, berhasil dimunculkan? Bagaimana solusinya? Pada cakupan apa tujuan kesetaraan gender telah terpenuhi? Adakah dampak-dampak gender yang tidak terduga dari program yang ada?

2. Pada saat monitoring program

3. Pada saat evaluasi program

Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur tujuan program adalah SMART yang terdiri dari: S = Specific (spesifik) M = Measurable (dapat diukur) A = Achievable (dapat dicapai) R = Result oriented (berorientasi hasil) T = Time-bound (ada jangka waktu) Contoh Pendekatan yang Responsif Gender dalam Kebijakan dan Program Sektoral 1. Sektor Tenaga Kerja Tujuan Meminimalisasi pengangguran dengan cara: a. Mengenali faktor-faktor sosial, budaya dan sejarah yang mempengaruhi pengangguran laki-laki dan perempuan dalam pembuatan kebijakan;

b. Mengembangkan penciptaan lapangan kerja dan pelatihan kembali yang merespons perbedaan kepentingan dan situasi antara laki-laki dengan perempuan. Justifikasi a. Sebagai bentuk akuntabilitas, karena adanya program penciptaan lapangan kerja seperti yang dijanjikan dalam kampanye pemilu.

b. Penciptaan lapangan kerja yang tidak sensitif gender mengakibatkan kesenjangan gender pada tingkat pengangguran yang menunjukkan adanya ketidakefisienan (berupa produktivitas yang rendah), sehingga mempengaruhi kehidupan pribadi dan rumah tangga.

112

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

c.

Upaya pengurangan kemiskinan harus juga merespons faktor-faktor sosial, budaya dan sejarah yang menyebabkan pengangguran dan tidak adanya daya dukung kesejahteraan yang berkelanjutan.

Tabel 4.4 Indikator Kemajuan di Sektor Tenaga Kerja


Indikator Pengukuran Dasar Ukuran Yang tidak Terukur
Tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan Nasional atau daerah - Alasan menganggur - Perbedaan kesuksesan dalam memasuki pasar tenaga kerja Kesenjangan gender pa- - Alasan sesungda tingkat pengangguran guhnya dari jangka panjang merupakegagalan menkan indikasi adanya cari kerja diskriminasi dalam penerimaan pegawai atau adanya kegagalan pada pelatihan kerja untuk memampukan laki-laki dan perempuan secara adil memasuki lapangan kerja Kesenjangan gender

Sumber Informasi
Badan Pusat Statistik

Perbandingan laki- Nasional atau laki dengan perem- daerah puan pada tingkat pengangguran jangka panjang (persentase mereka yang gagal mendapatkan pekerjaan dalam enam bulan terakhir)

Survei Tenaga Kerja

Intervensi a. Penerapan kebijakan antidiskriminasi. b. Riset. Melakukan survei mengenai perilaku pengusaha (pengguna tenaga kerja) dan kebutuhan-kebutuhannya terutama yang berkaitan dengan ketrampilan tenaga kerja. Hasil survei ini akan membantu memperbaiki skema pelatihan yang ada selama ini. Riset juga dapat mengidentifikasi preferensi gender dari pengusaha sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi mengenai pentingnya pelatihan penyadaran bagi mereka. c. Intervensi pada pelatihan kembali (retraining). Hal ini dilakukan untuk membantu mengorientasikan kembali pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja baik lakilaki maupun perempuan. Harapannya, pelatihan tidak memperlebar kesenjangan gender dalam pembagian pekerjaan, misalnya pelatihan teknologi informasi untuk laki-laki dan kursus menjahit atau memasak untuk perempuan. Program pelatihan kembali dapat berfungsi untuk memperbaiki kebijakan yang membagi jenis pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Kredit mikro, merupakan cara yang paling populer dan efektif untuk mendukung keberlanjutan kehidupan perempuan, meskipun tidak harus setiap perempuan menjadi pengusaha. Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan perempuan secara utuh, intervensi ini harus dikombinasikan dengan metode lainnya.

d.

113

2. Sektor Pendidikan: Kesetaraan dalam Pendaftaran dan Kelulusan Tujuan a. Kesetaraan dalam tingkat pendaftaran siswa (45%-55%) bagi laki-laki dan perempuan di setiap tingkat pendidikan dan program studi.

b. Kesetaraan dalam tingkat kelulusan antara laki-laki dengan perempuan di setiap tingkat pendidikan dan program studi. Justifikasi a. Keadilan. Merupakan amanat pelaksanaan HAM dan CEDAW. b. Kredibilitas dan akuntabilitas. Program harus menemukan alasan adanya ketimpangan gender dalam pencapaian kelulusan supaya kredibel dan dapat memenuhi sasaran yang ditentukan. c. Efisiensi. Beberapa penelitian menyimpulkan ketimpangan gender dalam pendidikan berakibat buruk bagi perekonomian (Bank Dunia, UNDP), karena potensi penduduk tidak maksimal digunakan. Pemisahan pendidikan menurut gender akan berakibat pemisahan lapangan kerja. Pemisahan gender di bidang pendidikan mengakibatkan pemisahan berdasarkan sektor di pasar tenaga kerja. Akibat lebih lanjut, muncul pengangguran dan pengangguran tidak kentara (underemployment rate) bagi perempuan. Misalnya perempuan didorong untuk mengambil jurusan pendidikan yang nantinya mendapat upah yang rendah, sehingga menimbulkan risiko kemiskinan yang parah bagi rumah tangga yang kepala keluarganya janda. Mengurangi ketimpangan gender di lapangan kerja harus dimulai dari sektor pendidikan.

d.

114

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Tabel 4.5 Indikator Kemajuan di Sektor Pendidikan


Indikator
Perbandingan lakilaki dengan perempuan dalam pendaftaran sekolah di seluruh tingkat (dasar, menengah, tinggi) Perbandingan lakilaki dengan perempuan dalam memilih jurusan/program studi di seluruh tingkat pendidikan (dasar, menengah, dan tinggi)

Pengukuran
Nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota

Dasar Ukuran
Ketimpangan gender dalam tingkat pendaftaran sekolah yang mungkin terjadi berdasarkan wilayah

Yang tidak Terukur


- Alasan gender gap - Kecenderungan pendaftaran sekolah di antara lakilaki dengan perempuan dari latar belakang ekonomi dan sosial yang berbeda - Alasan menganggur - Perbedaan kesuksesan memasuki pasar tenaga kerja

Sumber Informasi
Statistik pendaftaran siswa di sekolah pendidikan

Nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota

Perbandingan kelulusan laki-laki dengan perempuan di seluruh tingkat pendidikan (dasar, menengah, dan tinggi)

Nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota

Ketimpangan gender dalam tingkat pendaftaran sekolah yang mungkin terjadi berdasarkan wilayah di setiap jurusan/ program studi merupakan indikasi munculnya alasan pemisahan pekerjaan berdasarkan gender Ketimpangan gender dalam daftar lulusan (alumni)

Catatan kehadiran siswa di sekolah Statistik pendaftaran sekolah

- Alasan tidak lulus (perbedaan alasan antara laki-laki dengan perempuan)

Laporan kelulusan di sekolah

Intervensi a. Perubahan kurikulum. Ditujukan untuk menghapus penumpukan jenis kelamin tertentu dalam mata pelajaran yang secara tradisional hanya diperuntukkan bagi satu jenis kelamin tertentu.

b. Riset. Riset berbasis gender dan analisis gender harus menjadi dasar penyusunan kebijakan. Misalnya, survei sosiologis tentang alasan-alasan putus sekolah yang menunjukkan perbedaan alasan antara laki-laki dengan perempuan dapat menjadi alat untuk menyusun program-program yang dapat menyelesaikan masalah khusus ini. c. Menentukan sasaran penerimaan siswa. Jika data mengenai pemisahan jenis kelamin dalam pendidikan sudah diperoleh, harus ada upaya khusus untuk menyeimbangkan ketimpangan tersebut. Misalnya ketimpangan gender di bidang teknologi informasi, maka para guru dan kepala sekolah harus didorong untuk lebih banyak menerima siswa perempuan di bidang ini. Hal ini juga dapat dilakukan untuk menyeimbangkan gender di bidang-bidang yang secara tradisional menjadi monopoli laki-laki. Kampanye dan penyadaran. Para siswa harus diberikan penyadaran mengenai konsekuensi dari pilihan jurusan/program studi yang mereka ambil. Pemberian informasi dengan melibatkan berbagai pihak akan memperluas rentang pilihanpilihan itu bagi mereka.

d.

115

Boks 4.2 Contoh Program Responsif Gender versus Tidak Responsif Gender
Program responsif gender harus memperhatikan beberapa aspek berikut ini: a. Waktu kegiatan b. Lokasi kegiatan c. Akses dan kontrol perempuan atas sumber daya d. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan e. Berdampak/bermanfaat terhadap perempuan dan laki-laki Berikut ini, contoh program yang responsif dan tidak responsif gender yang telah dilaksanakan di berbagai area, termasuk di wilayah yang sering diasumsikan tidak ada relevansinya dengan gender: Contoh Program Tidak Responsif Gender 1. Jembatan Sering ada asumsi bahwa gender tidak relevan dengan proyek pembangunan jembatan. Satu jembatan penyeberangan di atas jalan tol yang memisahkan desadesa di luar Jakarta menunjukkan cara pandang yang salah tentang hal ini. Dalam mendesain jembatan, perlu dipertimbangkan kebutuhan dari pengguna. Berdasarkan ekspektasi para perencana, yang mencakup pula stereotip gender, kebutuhan yang diperhatikan adalah kebutuhan dari laki-laki dan perempuan muda yang sebagian besar bekerja di Jakarta dan anak sekolah yang butuh untuk menyeberang jalan tol untuk mendapatkan bus ke dan dari kota. Secara nyata diasumsikan bahwa perempuan yang telah menikah tinggal di rumah di desa dan hanya butuh untuk mendapatkan bus ketika pergi berbelanja. Oleh karena itu yang didesain adalah jembatan untuk pejalan kaki. Faktanya, di seluruh desa, perempuan yang telah menikah menanam sayur-mayur dan membutuhkan transportasi untuk mengangkut sayur-mayur ke pasar. Sayur-mayur ditaruh di keranjang besar dan kemudian diangkut dengan sepeda. Perempuanperempuan ini tidak dapat menggunakan jembatan penyeberangan yang ada karena tangganya curam sehingga susah dilalui oleh sepeda yang membawa beban sayur-mayur. Akibatnya, jembatan ini gagal memenuhi kebutuhan perempuan dan secara serius mengancam usaha perempuan dalam menyediakan pendapatan bagi keluarganya. Namun yang penting untuk dicatat, di pusat kota Jakarta, ada jembatan penyeberangan dengan jalur landai yang bisa dilalui oleh sepeda motor. 2. Saluran Irigasi Saluran irigasi di Filipina memunculkan dampak negatif karena kurangnya perhatian terhadap isu gender. Saat irigasi ini diperbaiki, satu tembok yang tinggi dibangun di saluran air. Saluran lama memiliki banyak cabang di banyak tempat yang digunakan penduduk desa untuk mengambil air untuk keperluan domestik dan tempat bagi perempuan untuk mencuci pakaian. Bagaimanapun, tembok baru ini telah menghalangi perempuan untuk mendapatkan air dengan mudah. Kondisi ini mengakibatkan ketidaknyamanan dan dibutuhkan tambahan waktu bagi

116

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

pekerjaan domestik perempuan karena mereka harus berjalan jauh untuk mendapatkan sumber air alternatif. 3. WC dan MCK Umum WC dan MCK umum yang memiliki jumlah bilik dan pancuran air untuk perempuan dan laki-laki sama. Padahal perempuan lebih banyak menggunakan fasilitas ini untuk mencuci baju, mencuci baju, mencuci sayuran dan lainnya. Jadi perempuan harus antre lama untuk menggunakan WC/MCK dibandingkan laki-laki. Contoh Program Responsif Gender 1. Program Pemrosesan Ikan Berbasis Rumah Tangga Perempuan di satu desa kecil di Vietnam dilatih melalui proyek UNIFEM untuk mengunakan teknologi yang lebih modern dalam memproduksi saus ikan. Setelah melalui proses diskusi dengan perempuan, ahli teknologi terkait ikan, yang adalah seorang perempuan, merancang satu pelatihan yang hanya dilakukan pada pagi hari. Perempuan di desa tersebut menyatakan bahwa mereka harus memiliki waktu di petang hari untuk menyelesaikan pekerjaan domestik. Staf dari Marine Research Institute(MRI) yang akan menyediakan teknologinya juga berpartisipasi dalam pelatihan gender. Selama pelatihan, peserta menjelaskan bahwa mereka memiliki kebutuhan agar industri pemrosesan ikan mereka dapat diselaraskan dengan tanggung jawab untuk mengurus anak dan keluarga. Oleh karena itu, staff dari MRI menyadari bahwa mereka membutuhkan teknologi baru yang aman terkait dengan adanya anak-anak yang bermain di rumah pada saat pemrosesan ikan dilakukan. Mereka juga mengakui pentingnya penghematan waktu dan hal ini menjadi satu prioritas penting terkait dengan pekerjaan domestik perempuan. 2. Pembangunan perkotaan yang responsif gender di Italia Perencanaan pembangunan di satu ibukota provinsi di Italia berkonsultasi dengan perempuan tentang proyek pembangunan yang akan dilakukan. Hasilnya, penerangan jalan harus diperbaiki untuk meningkatkan jarak pandang, keamanan dan keselamatan perempuan. Parkir mobil juga perlu berada di area yang nyaman bagi perempuan dengan satu pandangan perlunya meminimalisir perempuan harus berjalan di area yang terisolasi. 3. Contoh program responsif gender lainnya: a. Program pelayanan untuk ibu hamil dan anak balita yang beroperasi sesuai dengan waktu yang dimiliki perempuan (dibandingkan disesuaikan dengan waktu dari tenaga medis). Ini karena mempertimbangkan tanggung jawab domestik dan aktivitas ekonomi perempuan yang bekerja sebagai petani atau pedagang misalnya. b. Program pelayanan kesehatan anak yang mengakui bahwa keterlibatan ayah atau kakek (dan bukan hanya ibu) sebagai satu prinsip pengasuhan anak dan membiasakan pembagian tugas berdasarkan prinsip tersebut; mendorong tanggung jawab dan peran aktif ayah maupun anggota keluarga laki-laki sebagai pengasuh anak.

117

c. Program keluarga berencana yang mendorong partisipasi aktif laki-laki sebagai peserta. d. Program penyediaan air bersih di daerah pedesaan yang berkonsultasi kepada perempuan terkait lokasi dan jenis fasilitas yang disediakan dan melatih perempuan sebagai penguna utama air, agar dapat merawat dan memperbaiki peralatan seperti pompa air. e. Program pembangunan pemukiman perkotaan yang berkonsultasi kepada perempuan untuk mengetahui kebutuhan prioritas mereka yang akan dijadikan masukan dalam pembuatan desain rumah. Misalnya jenis dan lokasi dari fasilitas mencuci dan memasak yang memberikan kemudahan bagi perempuan untuk mengawasi anak-anak pada saat mengerjakan pekerjaan rumah. Keamanan untuk anak-anak muda dan keselamatan di mana tersedia penerangan yang cukup(well-lit access) dan halte bus yang bukan di area yang terisolasi. Akses jalur yang landai untuk stroller dan sepeda. f. Program pelatihan kerja yang menyediakan pelatihan bagi perempuan dan akses untuk mendapatkan pekerjaan di area non-tradisional atau sektor yang biasanya tidak dimasuki perempuan. Training dengan waktu dan lokasi yang memungkinkan perempuan yang memiliki anak dapat ikut berpartisipasi dan tersedia fasilitas toilet. g. Program pelatihan dan transfer teknologi yang menyediakan perempuan teknologi tinggi dan mempertimbangkan perempuan ketika seleksi kandidat pada saat pelatihan untuk posisi supervisor. h. Program pelatihan yang memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki baik sebagai peserta maupun sebagai trainer. i. Program pembangunan dan pelayanan publik yang mengakui adanya keluarga dengan kepala keluarga perempuan (keluarga janda) dan ada pula keluarga yang dikepalai oleh laki-laki namun ditinggal dalam waktu yang relatif lama (misalnya pelaut) dan hal ini menjadi pertimbangan dalam memberikan pelayanan publik. j. Program penanggulangan bencana yang membiasakan distribusi bantuan berdasarkan peran gender perempuan. Sebagai contoh, di wilayah Pasifik menyediakan bantuan makanan dan kredit langsung kepada perempuan yang memiliki tanggung jawab terhadap penyediaan makanan keluarga, dibandingkan kepada laki-laki. Memasukkan barang kebutuhan perempuan dan bayi, seperti pembalut, popok dan makanan bayi dalam daftar bantuan untuk pengungsi. k. Kebijakan makro ekonomi yang: Secara eksplisit menguji dampak dari kebijakan moneter dan kebijakan yang terkait pasar terhadap non pasar, sektor yang menjadi sumber penghidupan masyarakat, dan rumah tangga dan mengakui adanya peran gender dari pemisahan antara pasar dengan rumah tangga. Mengakui adanya dampak dari pengurangan belanja pelayanan publik terhadap kerja domestik perempuan dan anak perempuan (adanya potensi anak perempuan keluar dari sekolah untuk membantu pekerjaan ibunya), lansia dan anggota keluarga lainnya dalam rumah tangga.

118

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

l. Kebijakan perdagangan yang mengakui dan menguji potensi dampaknya bagi perempuan melalui data terpilah di pekerjaan terkait jasa, perdagangan ritel dan jasa keuangan dan/atau industri (pariwisata, sektor ekspor industri rumah tangga dan sektor informal. Contohnya: Di Thailand, buruh perempuan yang bekerja di sektor yang berorientasi ekspor lebih dari 80% sehingga tarif, kredit dan kebijakan yang terkait dengan hal itu akan berdampak besar pada akses perempuan dalam mendapatkan pekerjaan. Di banyak tempat di Thailand dan Bali, kebijakan yang terkait dengan industri pariwisata akan berdampak pada perempuan muda berpendidikan untuk mendapatkan gaji yang lebih baik.

119

Bahan Presentasi 4.1


1 2

Strategi Pengarusutamaan Gender Strategi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan


Strategi yang ditempuh untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan pengalaman laki-laki dan perempuan.

Area Strategi Pengarusutamaan Gender


1. Perencanaan pembangunan, 2. Pelaksanaan pembangunan 3. Evaluasi pembangunan

Analisis Gender
Analisis untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses kontrol terhadap sumbersumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor lainnya seperti kelas sosial, ras dan suku bangsa

Metode Analisis Gender


1. Metode Gender Analysis Pathway (GAP) 2. Metode Problem Based Approach (PROBA)

Prinsip Penerapan Pengarusutamaan Gender


1. Menghargai keragaman 2. Menggunakan pendekatan tidak dikotomis 3. Menjunjung nilai hak asasi manusia dan demokrasi 4. Melalui proses pemampuan sosialisasi dan advokasi

120

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 4

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan

Bahan Presentasi 4.2


1 2

Permendagri No. 15 Tahun 2008


Pemerintah daerah berkewajiban mengintegrasikan gender dalam menyusun: RPJMD Renstra SKPD Renja SKPD

Perencanaan Pembangunan Responsif Gender

RPJMD
1. Dokumen perencanaan pembangunan untuk kurun waktu lima tahunan 2. Tahapan untuk mencapai RPJPD 3. Perwujudan dari visi dan misi kepala daerah (sebagai konsekuensi pemilihan kepala daerah langsung) 4. Akan diterjemahkan oleh masing-masing sektor dalam bentuk Renstra (Rencana Strategis) SKPD

Renstra SKPD
Dokumen turunan dari RPJMD yang berisi apa yang akan dilakukan oleh masing-masing SKPD dalam mencapai visi dan misi yang ada di RPJMD sesuai dengan TUPOKSI masing-masing

Langkah-langkah Penyusunan RPJMD


1. Menyusun Rancangan Awal RPJMD 2. Musrenbang RPJMD 3. Menyusun Rancangan Akhir RPJMD

Langkah-langkah Penyusunan Renstra SKPD


1. Menyusun Rancangan Renstra SKPD berdasarkan Rancangan RPJMD 2. Menetapkan Renstra SKPD oleh kepala SKPD

Pengintegrasian Isu Gender


1. Analisis gender, dilakukan sebelum menyusun Rancangan Awal RPJMD 2. Mengeksplisitkan isu kesetaraan gender ke dalam isi dokumen yang dilakukan dengan meringkas hasil analisis gender ini ke dalam batang tubuh dokumen RPJMD/Renstra SKPD

121

122

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

SESI 5

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

Pengantar
Siklus APBD terdiri dari empat tahapan. Pertama, tahap penyusunan yang terdiri dari perencanaan dan penganggaran. Kedua, tahap pembahasan dan penetapan. Ketiga, tahap pelaksanaan. Keempat, tahap pertanggungjawaban APBD. Dari keseluruhan tahapan ini, tahap pertama dan kedua sangat menentukan bentuk atau profil APBD dari suatu kota/kabupaten. Saat ini, implementasi aturan perundangan mengenai tahapan siklus APBD masih jauh dari kondisi ideal. Akibatnya banyak masalah yang terjadi, terutama di tahap penyusunan dan penetapan APBD. Salah satu masalah krusial yang belum banyak dibahas adalah minimnya partisipasi kelompok miskin baik laki-laki maupun perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam kedua tahap ini. Kelompok-kelompok ini masih dipinggirkan dalam proses formal perencanaan dan penganggaran, sehingga aspirasi dan kebutuhan mereka tidak terdengar oleh para pengambil kebijakan dan berakibat pada belum terwujudnya anggaran responsif gender. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan inovasi-inovasi daerah agar aspirasi dan kebutuhan kelompok-kelompok ini miskin baik laki-laki maupun perempuan dan kelompok rentan dapat diketahui dan diakomodasi oleh para pengambil kebijakan.

123

Tujuan:
Peserta memahami alur proses penganggaran berdasarkan peraturan perundang-undangan terbaru. Peserta memahami kesenjangan tahapan siklus APBD antara praktik dengan aturan perundangan. Peserta memahami adanya masalah-masalah di seputar proses APBD. Peserta dapat mengidentifikasi masalah dan solusi minimnya partisipasi kelompok miskin baik laki-laki maupun perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Metode:
Permainan kartu proses Curah pendapat Presentasi Diskusi kelompok

Waktu:
165 menit

Alat dan Bahan:


Kertas plano Spidol Metaplan

Media Pembelajaran:
Tiga set kartu: proses, pelaku dan output dalam tahap penyusunan dan penetapan APBD VCD Proses Proses Penyusunan dan Penetapan APBD Lembar Bantu Belajar 5.1 Bahan Bacaan 5.1 Bahan Bacaan 5.2 Bahan Bacaan 5.3 Bahan Bacaan 5.4 Bahan Presentasi 5.1 Peraturan mengenai proses penyusunan dan penetapan APBD, terutama UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 17 Tahun 2003, PP No. 8 Tahun 2008, Permendagri No. 13 Tahun 2006, Permendagri No. 59 Tahun 2007.

Catatan untuk Fasilitator:


Fasilitator hendaknya menyiapkan alat dan bahan telah siap pakai sebelum sesi dimulai, termasuk tiga set kartu: proses, pelaku dan output dari tahap penyusunan dan penetapan APBD. Fasilitator hendaknya menguasai dan selalu meng-update peraturan perundangan yang terkait dengan proses APBD, baik yang lama maupun yang baru. Antara lain UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 25 Tahun 2004, PP No. 8 Tahun 2008, Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan Permendagri No. 59 Tahun 2007. Perubahan yang terjadi misalnya pada tahapan proses, istilah dan substansi peraturan.

124

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

Tahapan Proses:
Pembukaan (5 menit)
Fasilitator membuka sesi 5 dan menjelaskan tujuan sesi. Fasilitator menjelaskan bahwa sesi ini akan dijalani dengan melakukan Permainan Kartu Proses Fasilitator membagi peserta menjadi tiga kelompok kecil. Kepada tiap kelompok, fasilitator membagikan satu set kartu: proses, pelaku dan output tahap penyusunan dan penetapan APBD. Fasilitator meminta peserta untuk mengurutkan tahapan-tahapan proses, pelaku dan output dalam perencanaan dan penganggaran dengan menempelkan kartu yang sudah dibagikan berdasarkan aturan perundangan yang mereka ketahui. Fasilitator memandu diskusi dengan melemparkan beberapa pertanyaan kunci: Mari kita cek satu per satu, apakah tahapan proses sudah tepat? Apakah pelaku di setiap tahapan sudah tepat? Apakah output di setiap tahapan sudah tepat? Mana tahapan-tahapan yang bisa diikuti oleh masyarakat dan mana yang tidak? Pada tahapan mana masyarakat tidak diikutsertakan? Apa alasannya? Bagaimana dengan partisipasi kelompok miskin dan perempuan? Apa akibatnya jika perempuan tidak terlibat dalam proses-proses tersebut? Apa yang terjadi ketika pelaku yang terlibat hanya eksekutif dan legislatif? Dari proses yang demikian, APBD seperti apa yang dihasilkan?

Permainan Kartu Proses (15 menit)

Curah Pendapat (30 menit)

Fasilitator mencatat inti pendapat peserta dan melanjutkan kegiatan dengan menayangkan VCD Proses Penyusunan dan Penetapan APBD. Penayangan bertujuan agar peserta lebih memahami proses yang diterjadi. Fasilitator menayangkan VCD dan meminta tanggapan beberapa peserta atas tayangan ini. Untuk memperjelas, fasilitator menayangkan Bahan Presentasi. Fasilitator menyajikan Bahan Presentasi 5.1, dengan terlebih dulu menjelaskan inti materi presentasi secara singkat. Versi lengkap dari sesi 5, yaitu Bahan Bacaan 5.1, 5.2, 5.3 dan 5.4 dibagikan kepada peserta. Fasilitator meminta pendapat peserta mengenai kondisi perencanaan dan penganggaran APBD di daerahnya masing-masing. Hal ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan: Apakah kasus yang sama juga terjadi, yaitu terjadi keterputusan antara perencanaan dengan penganggaran yang dibuktikan dengan sedikitnya usulan masyarakat hasil musyawarah perencanaan pembangunan yang masuk dalam APBD? Bagaimana dengan kondisi partisipasi perempuan? Apakah kendala-kendala yang sama seperti pada Bahan Bacaan 5.3 juga terjadi?

Pemutaran VCD Proses Penyusunan dan Penetapan APBD (15 menit)


Presentasi (30 menit)

125

Mengapa hal itu bisa terjadi? Bagaimana solusinya?

Fasilitator membagi peserta dalam beberapa kelompok dan mempersilakan mereka berdiskusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Fasilitator membagi peserta menjadi tiga kelompok dan membagikan Lembar Bantu Belajar 5.1 dan menjelaskan cara pengerjaannya. Fasilitator memberikan waktu 25 menit untuk diskusi kelompok. Fasilitator meminta setiap kelompok bergiliran mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya kemudian meminta tanggapannya dari kelompok lain. Fasilitator mencatat inti presentasi dan tanggapan peserta. Untuk memperdalam hasil diskusi, fasilitator menayangkan Bahan Presentasi 5.4 dan menjelaskan isi presentasi secara singkat. Versi lengkap dari presentasi, yaitu Bahan Bacaan 5.4 dibagikan kepada peserta. Fasilitator bersama peserta menyimpulkan beberapa hal dalam sesi ini: Terjadi keterputusan antara proses perencanaan dengan penganggaran. Yang terjadi sering kali hasil-hasil musrenbang yang merupakan aspirasi masyarakat (bottom up) tidak diakomodasi dalam anggaran karena harus bersaing dengan usulan dari dinas (top down). Kenyataannya, usulan dinaslah yang lebih banyak diakomodasi, sehingga tidak heran jika kepentingan kelompok miskin dan perempuan banyak yang tidak terakomodasi. Dalam anggaran berbasis kinerja, proses perencanaan dan penganggaran adalah dua hal yang sangat berkaitan. Penganggaran merupakan proses lebih lanjut dari perencanaan. Hal ini bisa dilihat dari UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), PP No. 8 Tahun 2008 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang disempurnakan dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Penting untuk melaksanakan amanat UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 25 Tahun 2004, yakni mengintegrasikan proses perencanaan dan penganggaran sebagai bagian dari pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Untuk memperkuat, fasilitator bisa mencuplik pasal 17 (2) UU No. 17 Tahun 2003 dan pasal 25 (2) UU No. 25 Tahun 2004. Pentingnya meningkatkan partisipasi kelompok miskin dan perempuan di setiap tahapan sebagai sarana mewujudkan anggaran responsif gender. Upaya ini perlu dibarengi dengan inovasi-inovasi untuk mendapatkan aspirasi dan kebutuhan kelompok miskin dan perempuan yang selama ini terpinggirkan dari proses formal, antara lain dengan kuota perempuan di musrenbang, musrenbang khusus perempuan, Citizen Report Card, optimalisasi ADD dan sebagainya.

Diskusi Kelompok (30 menit)


Curah Pendapat (30 menit)

Penutup (10 menit)

126

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

Bahan Bacaan 5.1: Proses Perencanaan dan Penganggaran (Studi Kasus Kota Tangerang)
Di Kota Tangerang, proses perencanaan untuk menyusun APBD 2005 didasarkan pada dua landasan normatif. Pertama adalah Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1354/M.PPN/03/2004 dan Nomor 050/744/SJ tanggal 24 Maret 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Perencanaan Pembangunan dan Perencanaan Partisipatif Daerah. Kedua, Instruksi Wali Kota Tangerang Nomor 01/2004 tanggal 26 April 2004 tentang Penyelenggaraan Forum Koordinasi dan Konsultasi Pembangunan (FKPP) atau yang sekarang dikenal dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Sementara proses penganggaran masih mengacu pada Kepmendagri No 29 Tahun 2002. Berdasarkan aturan tersebut, proses perencanaan dan penganggaran di Kota Tangerang meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tabel 5.1 Tahapan Perencanaan dan Penganggaran


No Tahapan
1 Forum Koordinasi dan Konsultasi Kelurahan

Deskripsi Proses
Tujuan: Menjaring aspirasi masyarakat dalam merumuskan masalah yang dihadapi dan solusinya Forum dipimpin langsung oleh lurah Peserta: Perwakilan RT/RW dan LPM (aparat kecamatan tidak terlibat) Output: Usulan kegiatan pembangunan tingkat kelurahan. Usulan sudah disiapkan terlebih dahulu. Forum tinggal membahas usulan-usulan tersebut. Tak jarang keputusan dibuat oleh lurah dan peserta langsung setuju

Keterangan
Peserta yang hadir kurang representatif karena kurangnya keterlibatan masyarakat biasa (bukan pengurus RT/RW) dan kelompok perempuan (non- pengurus PKK) Proses kurang partisipatif (belum sesuai dengan juklak dalam SEB Musrenbang 2004)

Forum Koordinasi dan Konsultasi Kecamatan

Tujuan: Sinkronisasi dan kompilasi program Tidak dilakukan evaluasi pembangunan dari SKPD dengan hasil dan verifikasi atas usulan FKPP tingkat kelurahan kelurahan Forum dipimpin langsung oleh camat/ Beberapa kecamatan tidak sekmat menetapkan prioritas Narasumber: Bappeda Kota dan dinas yang kegiatan yang disepakati menangani pembangunan fisik (DPU, DTK, bersama dalam forum Perkim) Dinas yang menangani kegiatan nonfisik (KPM, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Disnaker, Kantor Perpustakaan) jarang hadir Output: Daftar Usulan Kegiatan (DUK) kecamatan yang akan diajukan dalam Musrenbang Kota

127

No Tahapan 3 Pra Musrenbang Kota

Deskripsi Proses Forum tindak lanjut FKKP Kecamatan Proses: Dinas melakukan kompilasi hasil FKKP untuk dijadikan usulan dinas bersangkutan. Pra Musrenbang Kota dibagi dalam 4 diskusi kelompok, yaitu Bidang Sosial Budaya, Fisik dan Prasarana serta Ekonomi Diskusi kelompok dipimpin oleh para Asisten Daerah (Asda). Badan/dinas/ kantor/bagian masing-masing mempresentasikan usulannya dalam diskusi kelompok Output : Prioritas program dari masingmasing Badan/Dinas/Kantor/Bagian

Keterangan Dalam forum ini, tidak ada delegasi resmi dari masyarakat, padahal forum ini cukup menentukan apakah usulan masyarakat (dari hasil FKKP Kecamatan) diterima atau tidak

Musrenbang Kota

Format Acara: Terbagi menjadi 2 sesi Dalam sesi pertama, Sesi pertama adalah forum paripurna yang masyarakat masih terlibat dihadiri semua elemen stakeholders Kota Di sesi kedua, masyarakat Tangerang, antara lain wali kota, dan tidak terlibat, padahal sesi wakilnya, pimpinan dan anggota DPRD, kedua adalah sesi yang Sekda, Asda, kepala dinas, camat, delegasi menentukan, meski dari kecamatan, Bappeda Provinsi, Ormas, MUI, pihak Bappeda menyatakan KADINDA, Gapensi, LSM, KNPI, unsur bahwa masyarakat boleh perbankan. Sesi pertama membahas hal ikut diskusi di kelompok yang umum, antara lain penyampaian mana saja informasi dan koordinasi pembangunan dari Bappeda Provinsi, pokok-pokok pikiran DPRD untuk AKU , pemaparan rancangan AKU, pemaparan RKPD, pemaparan proyeksi anggaran Sesi kedua (sesudah makan siang) adalah diskusi kelompok yang dipimpin para Asda dan Bappeda Kota. Sesi ini bertujuan untuk membahas dan menetapkan program/ kegiatan prioritas Kota Tangerang tahun 2005 Output akhir dari Musrenbang Kota adalah bidang prioritas APBD, program/kegiatan proritas, rancangan AKU, draf akhir RKPD Dinas melakukan penajaman program/ kegiatannya pasca Musrenbang Kota Dinas menyusun RASK RASK Dinas diverifikasi oleh Tim Asistensi yang terdiri dari Bappeda, BKKD, Dalbang, dan Ortala sesuai dengan peran masingmasing. Tujuannya, untuk memastikan bahwa RASK sudah disusun sesuai aturan yang berlaku dan sesuai dengan prinsipprinsip dalam anggaran kinerja RASK Dinas dikompilasi oleh BKKD menjadi RAPBD yang akan diajukan kepada DPRD Tidak ada sosialisasi hasil Musrenbang kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak mengetahui apa alasan usulannya disetujui/ditolak. Kondisi ini berjalan selama bertahun-tahun Proses penganggaran di Panitia Anggaran Ekse-kutif bersifat tertutup Dari 1.197 usulan hasil FKKP Kecamatan, usulan yang terakomodasi dalam APBD adalah 147 usulan (12,28%)

Pembahasan Anggaran di tingkat dinas dan Panitia Anggaran Eksekutif (PAE)

128

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

No Tahapan
6 Pembahasan Anggaran di DPRD

Deskripsi Proses
Dimulai dengan penyampaian Nota Keuangan dan RAPBD oleh wali kota (14 Desember 2005) Tahap selanjutnya adalah pandangan umum dari fraksi-fraksi, yang ditindaklanjuti dengan Pembentukan Pansus RAPBD Setelah itu, Pansus melakukan hearing dengan dinas/SKPD dan meminta masukan dari masyarakat dengan melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan elemen masyarakat Hasil kerja Pansus dilaporkan kepada pimpinan Dewan dan didistribusikan kepada tiap fraksi Akhirnya, tiap fraksi menyampaikan pandangan akhirnya dan APBD pun ditetapkan pada 31 Desember 2005

Keterangan
Waktu pembahasan sangat singkat, hanya dua pekan. Hal ini mengakibatkan DPRD tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan analisis dan mengkritisi RAPBD yang disampaikan oleh Pemkot

Ada temuan menarik dari proses yang terjadi di Kota Tangerang, yaitu tidak terstrukturnya tahapan proses perencanaan dan penganggaran. Hal ini bisa dilihat dari tidak dijadikannya AKU sebagai pedoman dalam penyusunan RASK. Yang terjadi, justru proses terbalik karena penyusunan AKU berpedoman pada draf RAPBD yang hampir selesai. AKU yang merupakan kesepakatan antara Pemkot dan DPRD baru disahkan pada 29 November 2005, padahal seharusnya dilaksanakan paling lambat Juni-Juli 2005. Begitu juga dengan proses Musrenbang Kota, baru dilaksanakan pada bulan September 2005, seharusnya tahapan ini dilakukan pada bulan Mei 2005. Pada bulan September, penyusunan RASK Dinas sudah selesai dilakukan dan sudah diverifikasi oleh Tim Asistensi. Perlu diketahui bahwa di dokumen RASK-lah terdapat rincian anggaran dari suatu kegiatan/ program. Artinya, ketika RASK sudah disusun dan diverifikasi maka proses penganggaran sejatinya sudah selesai dilakukan. Temuan-temuan ini membuktikan terjadinya keterputusan antara proses perencanaan dengan penganggaran. Padahal secara ideal penganggaran dilakukan setelah proses perencanaan selesai dilakukan, yang biasa disebut dengan money follow function.

Pengintegrasian antara perencanaan dan penganggaran inilah sebenarnya roh dari sistem Anggaran Berbasis Kinerja yang saat ini berlaku di Indonesia.

129

Bahan Bacaan 5.2 Proses Penyusunan dan Penetapan APBD


Proses penyusunan (terdiri dari tahapan perencanaan dan penganggaran) dan penetapan APBD diatur dengan peraturan yang berbeda dan terjadi dinamika pergantian aturan dengan cepat. Aturan-aturan yang dijadikan pedoman pelaksanaan bagi daerah adalah: 1. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Tahapan perencanaan diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 sedangkan tahap penganggaran dan penetapan APBD diatur dalam UU No. 17 Tahun 2004. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, PP No. 8 Tahun 2208 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah, Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan revisinya, yaitu Permendagri No. 59 Tahun 2007.

2.

130

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

A. Proses Penyusunan dan Penetapan APBD menurut UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2003

Bagan 5.1 Tahapan Penyusunan dan Penetapan APBD Menurut UU


Bulan Bappeda SKPD BPKD Wali Kota DPRD

Januari

Rancangan Awal SKPD Rancangan RKPD

Renja SKPD

Februari Musrenbang Maret

April Penyusunan RKPD Mei RKPD

Juni

KUA, Prioritas, & Plafon

Juli

Agustus

Penyusunan RKA-SKPD dan Prakiraan Belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun angaran yang sudah disusun Kompilasi RKA-SKPD

Pembicaraan Pendahuluan RAPBD membahas RKA-SKPD

September

Raperda APBD

Oktober

Nota APBD

November

Pembahasan RAPBD

Desember
SK Prosedur Implementasi APBD

APBD

Sumber : Working Draft FPPM, 2005

131

Keterangan : 1. Bagan alur tahapan penyusunan dan penetapan APBD kota/kabupaten di atas merupakan bagan yang disusun dengan menggabungkan tahapan yang ada di UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Tahap Musrenbang (tingkat desa/kelurahan tingkat kota/kabupaten) dengan hasil akhir adalah dokumen RKPD diatur dalam UU No. 25 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada prinsipnya, UU No. 25 ini mengatur tentang proses perencanaan. Tahap Penyusunan KUA sampai dengan Tahap Penetapan APBD diatur dalam UU No. 17 No 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada prinsipnya UU No. 17 ini mengatur tentang proses penganggaran. Namun pada dasarnya semangat yang ada di UU ini menghendaki proses penyusunan APBD yang terintegrasi antara perencanaan dan penganggaran yang bisa dilihat dari UU No. 17 Tahun 2003, pasal 17 (2) dan UU No. 25 Tahun 2004, pasal 25 (2). UU No. 17, pasal 17 (2): Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.

2.

3.

4.

UU No. 25 Tahun 2004 pasal 25(2): RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD.

Kartu Proses, Pelaku dan Output


Kartu Proses: Musrenbangdes/kel, Musrenbangcam, Forum SKPD, Musrenbang RKPD Kabupaten/Kota, Penyusunan KUA & PPAS, Penyusunan RKA SKPD, Penyusunan RAPBD, Pembahasan RAPBD di DPRD, Pengesahan RAPBD, Evaluasi Gubernur, dan Penetapan Perda APBD. Kartu Pelaku: Masyarakat, Perempuan, Aparat Kelurahan, Aparat Kecamatan, Dinas, Bappeda, DPKD, Wali Kota/Bupati, DPRD. Kartu Output: Usulan kegiatan desa/kel, Usulan kegiatan kecamatan, Renja SKPD, RKPD, Dokumen KUA dan PPAS, Dokumen RKA SKPD, Dokumen RAPBD, APBD.

132

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

B. Tahapan Proses Penyusunan dan Penetapan APBD Aturan-aturan tentang penyusunan dan penetapan APBD (1) UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah PP No. 8 Tahun 2208 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan revisinya, yaitu Permendagri No. 59 Tahun 2007.

Tabel 5.2 Tahapan Penyusunan dan Penetapan APBD Menurut PP dan Permendagri
No Tahapan 1 Musrenbang Desa/ Kelurahan Pelaku Komponen masyarakat (ketua RT/ RW, kepala dusun, LPM, ketua adat, kelompok perempuan, kelompok pemuda, ormas, pengusaha, kelompok tani/nelayan, komite sekolah), kepala desa/lurah dan aparat desa/ kelurahan, BPD, camat dan aparat kecamatan, kepala Puskesmas, kepala sekolah, LSM Delegasi kelurahan/desa (terdapat perwakilan perempuan), organisasi masyarakat yang beroperasi di tingkat kecamatan), Bapeda, perwakilan SKPD, kepala cabang SKPD, kepala unit pelayanan di tingkat kecamatan, anggota DPRD dari DP kecamatan bersangkutan, camat dan aparat kecamatan, LSM, ahli/profesional (jika dibutuhkan) Delegasi kecamatan (terdapat perwakilan kelompok perempuan), organisasi sektoral (misal: Dewan pendidikan untuk Forum Pendidikan, IDI dan IBI untuk Forum Kesehatan), Kepala SKPD, kepala dan pejabat Bapeda, anggota DPRD dari mitra masing-masing SKPD, LSM dengan bidang kerja sesuai fungsi SKPD, ahli/profesion. Output Waktu

Usulan Januari kegiatan desa/ kelurahan

Musrenbang Kecamatan

Usulan kegiatan kecamatan

Februari

Forum SKPD

Renja SKPD

Maret

133

Musrenbang RKPD Kota/ Kabupaten

Pembahasan KUA dan PPAS Penyusunan RKA SKPD Penyusunan RAPBD (kompilasi dari RKA) Pembahasan RAPBD di DPRD Evaluasi oleh Gubernur

Delegasi musrenbangcam, delegasi Forum SKPD, SKPD, DPRD, LSM yang bekerja di tingkat kota/kabupaten, perguruan tinggi, perwakilan Bapeda provinsi, Tim Penyusun RKPD, Tim Penyusun Renja SKPD, Panitia/Tim Anggaran eksekutif maupun DPRD TAPD dan DPRD

Masukan terhadap dokumen RKPD

Maret

5 6

SKPD TAPD

Dokumen KUA Pertengahan dan PPAS Juni Akhir Juli Dokumen Agustus RKA SKPD Dokumen September RAPBD Oktober APBD APBD yang lolos evaluasi dan siap dibuat perda Perda APBD OktoberDesember Pertengahan Desember Akhir Desember

7 8

TAPD dan DPRD Tim Evaluasi Gubernur

Penerbitan Perda APBD

Pemda dan DPRD

Keterangan : 1. Istilah tiap daerah bisa saja berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Pada dasarnya substansinya sama, adapun pengertian dari tiap kartu proses adalah: Musrenbang Desa/Kelurahan adalah musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat kelurahan/desa. Musrenbang Kecamatan adalah musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat kecamatan. Forum SKPD adalah forum musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat perangkat daerah/dinas/kantor. Forum SKPD ini dilakukan untuk mengakomodasi usulan kegiatan hasil musrenbang kecamatan oleh masing-masing SKPD dalam rangka memberikan masukan terhadap rancangan Renja SKPD. Musrenbang RKPD Kabupaten/Kota1 adalah forum musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat kota/kabupaten untuk memadukan Rancangan Renja antar SKPD dan antar Rencana Pembangunan Kecamatan. Pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) adalah forum bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD untuk menyusun kebijakan umum, program prioritas dan pagu sementara program prioritas dari APBD yang akan disusun.

Istilah ini digunakan dalam PP No 8 Tahun 2008.

134

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD) adalah kegiatan menyusun rencana detail dari setiap kegiatan beserta anggarannya yang dilakukan oleh setiap SKPD. Penyusunan RAPBD, adalah proses kompilasi RKA SKPD dari seluruh SKPD oleh TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah). Pembahasan RAPBD di DPRD, adalah proses pembahasan RAPBD antara TAPD dan DPRD, dengan hasil akhir adalah Dokumen APBD yang disetujui Evaluasi oleh Gubernur, adalah proses evaluasi Dokumen APBD yang telah disetujui oleh TAPD dan DPRD untuk melihat kesesuaian dengan kepentingan umum dan peraturan di atasnya. Penerbitan Perda APBD, adalah proses diundangkannya Dokumen APBD yang telah dievaluasi oleh Gubernur dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).

Boks 5.1 Penyederhanaan Proses dalam Permendagri No. 59 Tahun 2007


Bila dilakukan perbandingan tahapan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan Permendagri No. 59 Tahun 2007, maka akan ditemukan penyederhanaan proses terkait pembahasan KUA dan PPAS. Jika dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 pembahasan bersifat serial (KUA dibahas dan disepakati terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan PPAS dan disepakati menjadi PPA), maka dalam Permendagri No. 59 Tahun 2009 pembahasan KUA dan PPAS bersifat paralel. Hal ini ditegaskan dalam pasal 88 yang menyatakan bahwa KUA dan PPAS yang telah disepakati masing-masing dituangkan dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD dalam waktu bersamaan.

135

Bahan Bacaan 5.3 Kendala-kendala Partisipasi Perempuan


Pada dasarnya, pemerintah telah menjamin keterlibatan (partisipasi) masyarakat dalam proses pembangunan. Hal ini bisa dilihat dari isi pasal-pasal berikut ini: Pasal 59 dari UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangan yang berbunyi Masyarakat berhak ikut serta memberikan masukan dalam proses penyusunan peraturan perundangan. Pasal 2 ayat 4 UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional adalah mengoptimalkan partisipasi masyarakat.

Terkait dengan partisipasi perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah, penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO di tiga Kota (Semarang, Surakarta, dan Tangerang) menunjukkan bahwa tingkat kehadiran perempuan dalam forum-forum musrenbang sangat minim (hanya 10% dari total peserta musrenbang). Bahkan di Kelurahan Karangayu (Semarang) tingkat partisipasi perempuan dalam Musrenbang tingkat kelurahan adalah 0%, artinya semua peserta yang hadir adalah laki-laki. Ketika ditelusuri lebih jauh penyebab minimnya partisipasi perempuan, ditemukan bahwa perempuan memiliki kendala-kendala berpartisipasi, baik berupa kendala internal maupun kendala eksternal. Kendala internal meliputi: 1. Rutinitas keluarga Hal ini terkait dengan beban ganda yang dialami perempuan, waktu tersita untuk mengurus rumah tangga, dan/atau mencari nafkah. Keterbatasan ekonomi Maksudnya, lebih baik waktu yang ada digunakan untuk mencari tambahan penghasilan dan tidak ada waktu untuk mengikuti proses penyusunan APBD. Kemampuan rendah Perempuan merasa tidak mampu mengikuti proses penyusunan APBD. Kurang berani/bias gender Perempuan khawatir akan ditertawakan oleh peserta lain dan takut salah omong. Tingkat kepedulian perempuan rendah Perempuan menganggap APBD bukan urusannya, sehingga tidak ada ketertarikan untuk terlibat. Miskin informasi penyelenggaraan kebijakan Hal ini terkait dengan kurangnya informasi yang sampai kepada masyarakat tentang penyelenggaraan kegiatan perencanaan, sejalan dengan kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah.

2.

3. 4. 5.

6.

Kendala eksternal meliputi: 1. Kepanitiaan (mayoritas laki-laki) yang tidak respek terhadap perempuan Kondisi ini menjadikan perempuan enggan terlibat aktif, karena akan dianggap aneh dan tidak biasa. Selain itu ada anggapan bahwa perempuan tidak mampu mengikuti proses penyusunan APBD.

136

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

2.

Tidak adanya kesempatan bicara Hal ini terkait dengan pembahasan materi yang bias gender/parsial. Biasanya perempuan diberi kesempatan bicara untuk program PKK saja, karena memang perempuan yang hadir adalah pengurus PKK. Sementara pembahasan tentang tema lainnya (misalnya pembangunan sarana dan prasarana), perempuan tidak pernah dimintai pendapat atau diberi kesempatan berbicara/bertanya. Tidak adanya undangan Hal ini terkait dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat bahwa yang diundang adalah kepala keluarga (laki-laki). Kebiasaan ini mengakibatkan perempuan tidak diundang dan aspirasi mereka dianggap cukup diwakilkan kepada bapak-bapak. Di sinilah terjadi simplifikasi dan tidak adanya pengakuan terhadap kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dengan perempuan. Representasi tidak mewakili Partisipasi perempuan minim, hanya sedikit perempuan yang bisa terlibat dalam proses perencanaan, terutama mereka yang duduk sebagai pengurus PKK. Padahal jika dikaji lebih mendalam, kelompok perempuan miskin adalah kelompok yang paling terkena dampak beban ganda perempuan dan kelompok ini sesungguhnya adalah kelompok yang paling perlu dibantu dan perlu didengar kebutuhan dan kepentingannya. Namun dengan kondisi seperti ini, suara kelompok perempuan miskin tidak tersalurkan karena tidak memiliki media dan tempat sehingga suara mereka hilang diterpa angin. Waktu pelaksanaan tidak ramah terhadap perempuan Sering kali pelaksanaan kegiatan dilakukan pada malam hari, yang menjadikan banyak perempuan tidak bisa ikut karena harus menjaga anak-anak. Alasan panitia, kalau siang hari bapak-bapak bekerja sehingga tidak bisa ikut.

3.

4.

5.

Sebagai bukti dari komitmen untuk memberdayakan perempuan, pemerintah harus berupaya untuk menghilangkan kendala internal dan eksternal yang dihadapi perempuan.

137

Bahan Bacaan 5.4 Strategi Meningkatkan Akomodasi Aspirasi Kebutuhan Perempuan dalam Anggaran Daerah
Fakta menunjukkan bahwa partisipasi kelompok perempuan dan kelompok miskin minim di setiap tahapan. Situasi ini menjadikan aspirasi dan kebutuhan mereka tidak tersuarakan dengan baik dan berakibat pada rendahnya tingkat akomodasi aspirasi dan kebutuhan mereka di APBD. Ketika ditelusuri lebih jauh, bagi kelompok perempuan, minimnya partisipasi ini disebabkan karena kendala-kendala berpartisipasi, baik yang bersifat internal maupun eksternal sebagaimana yang telah dipaparkan dalam Bahan Bacaan 5.3. Ada beberapa alasan mengapa mereka perlu terlibat, antara lain: 1. 2. 3. Kewajiban dari pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warganya, tanpa kecuali. Keterlibatan mereka merupakan kesempatan untuk mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengatasi masalah mereka. Peran ideal yang seharusnya diberikan kepada kelompok ini adalah menjadikannya pelaku (subyek) dan bukannya sasaran (obyek). Peran sebagai subyek tentu membutuhkan keterlibatan mereka, mulai dari identifikasi masalah, pelaksanaan program untuk mengatasi masalah, sampai dengan evaluasi pelaksanaan program.

Keadaan ini tidak bisa dibiarkan terus berlarut. Oleh karena itu, inovasi-inovasi baru dengan cara menerapkan strategi dan mengoptimalkan peluang yang ada untuk meningkatkan akomodasi aspirasi dan kebutuhan kelompok perempuan dan miskin harus dilakukan. Ada beberapa inovasi yang telah dan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, antara lain: 1. Kuota Perempuan di Musrenbang Kuota perempuan di musrenbang adalah affirmative action yang dilakukan di tahapan musrenbang, terutama pada penentuan delegasi dengan perimbangan satu dari tiga delegasi desa/kecamatan adalah perempuan. Kuota perempuan ini telah diinstitusionalisasikan dalam bentuk peraturan bupati (Perbup) maupun peraturan wali kota (Perwali) di beberapa wilayah, antara lain Surakarta, Magelang (Jawa Tengah) dan Lebak (Banten). 2. Musrenbang Khusus Perempuan Musrenbang khusus perempuan dilakukan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan adopsi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dilaksanakan oleh Bappenas dan Bank Dunia. Musrenbang khusus perempuan dilakukan di tingkat dusun dan desa. Penyelenggaraan Musrenbang Khusus Perempuan dapat mengakomodasi beberapa kendala, antara lain terkait dengan waktu penyelenggaraan dan kendala internal perempuan. 3. Optimalisasi ADD Alokasi Dana Desa (ADD) adalah bagian tertentu dari dana perimbangan yang diterima dari pemerintah pusat yang menjadi hak desa. Landasan hukum adanya ADD cukup kuat, yaitu PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa dan aturan turunanannya, yaitu

138

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Permendagri No. 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa yang menyebutkan bahwa ADD berasal dari APBD kabupaten/kota yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah paling sedikit 10%. ADD memiliki beberapa tujuan, antara lain untuk menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan. Penggunaan ADD telah diatur dalam pasal 22, yang menyebutkan bahwa 30% untuk belanja aparatur dan 70% untuk biaya pemberdayaan masyarakat, mencakup: a. c. d. e. f. g. h. Biaya perbaikan sarana publik dalam jumlah kecil. Biaya untuk pengadaan ketahanan pangan. Perbaikan lingkungan dan pemukiman. Teknologi tepat guna. Perbaikan kesehatan dan pendidikan. Pengembangan sosial budaya. Dan sebagainya yang dianggap penting. b. Penyertaan modal usaha masyarakat melalui BUMDes.

Terkait dengan aturan hukum di atas, optimalisasi ADD merupakan peluang yang perlu dilakukan semaksimal mungkin. Bagi kelompok perempuan dan miskin, keberadaan ADD dapat diartikan mendekatnya sumber daya karena advokasi tidak perlu dilakukan ke kota, tapi cukup di desa mereka sendiri karena peruntukan dana ADD dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan praktis dan strategis gender. 4. Pelaksanaan Survei Partisipasi masyarakat membutuhkan sikap pro aktif dari masyarakat untuk terlibat, terutama dalam proses musrenbang. Bagi kelompok perempuan dan miskin, hal ini tidak bisa dilakukan karena adanya kendala-kendala partisipasi. Oleh karena itu, sikap pro aktif perlu ditumbuhkan dari sisi pemerintah daerah untuk mengetahui aspirasi dan kebutuhan kelompok perempuan dan miskin. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah melakukan survei. Citizen Report Card (CRC) adalah satu bentuk survei penilaian masyarakat atas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah. CRC dapat diadopsi sebagai metode untuk mengetahui aspirasi dan kebutuhan kelompok perempuan dan miskin. Pada enumerator akan mendatangi perempuan dan orang miskin yang terpilih sebagai responden dan ini bisa menjadi solusi atas tidak terlibatnya mereka dalam musrenbang.

139

Boks 5.2 Hasil CRC Sektor Kesehatan di Kabupaten Lebak1


Profil Responden Responden proporsional, laki-laki 50% dan perempuan sebanyak 50% dengan total responden sebanyak 400 orang. Usia Responden 33% berusia 17-30 tahun, 34% berusia 31-40 tahun, 23% berusia 41-50 Tahun, 6% berusia 51-60 tahun, dan sisanya 4% lebih dari 60 tahun. Sebagaian besar responden atau 67% berpendidikan SD, 13% SLTP, dan 10 % SMA, Perguruan Tinggi hanya 2%, sedangkan yang tidak bersekolah atau tidak lulus SD sebanyak 8%. Sebagian besar pekerjaan responden adalah petani (36%), 24% responden wiraswasta, dan sisanya berprofesi sebagai guru, buruh, dan PNS. Rata-rata pengeluaran perbulan responden, 34% memiliki pengeluaran ratarata Rp 350.000-500.000, 33% Rp 500.000-1.000.000, dan 23% responden memiliki pengeluaran berkisar Rp 100.000.-300.000. CRC di sektor kesehatan dilakukan untuk beberapa jenis pelayanan, yaitu Puskesmas, Bidan Desa, Mantri Keliling dan Pemberantasan Penyakit Menular. Beberapa hasil penting dari CRC sektor kesehatan: 1. Bidan Desa masuk dalam lima besar pelayanan yang dianggap penting, berada di rangking dua setelah pelayanan SD. 2. Pelayanan Puskesmas Keliling dan Mantri Keliling diapresiasi baik oleh masyarakat, 91 % responden menyatakan bahwa kedua layanan ini memudahkan mereka dalam mendapatkan layanan kesehatan. 3. Tarif pelayanan Puskesmas masih memberatkan warga, yang ditunjukkan 51% responden keberatan dengan tarif Puskesmas yang berlaku saat ini. 4. Cakupan pelayanan Bidan Desa mencapai 77%, 23% desa belum terlayani Bidan Desa. 5. Tarif pelayanan Bidan Desa masih memberatkan warga. Hal ini terkait dengan rendahnya penggunaan jasa bidan dalam menolong persalinan (hanya 19%) sementara 77% responden memakai jasa Paraji, dan 4% gabungan paraji dan bidan. Temuan ini perlu menjadi perhatian terkait dengan upaya untuk menurunkan AKB dan AKI. Temuan-temuan di atas memberikan informasi berharga yang dapat digunakan dinas Kesehatan dalam menyusun kebijakan/program/kegiatannya. Beberapa tindak lanjut yang dapat dilakukan terkait dengan temuan diatas antara lain: Perlunya mempertahankan pelayanan Puskesmas Keliling dan Mantri Keliling dan meningkatkan pelayanan, antara lain dengan meningkatkan frekuensi kedatangan di tengah masyarakat. Puskesling dan Manling memang sesuai dengan lokasi geografis Lebak yang luas dan masih banyak daerah terisolir. Layanan ini juga sangat membantu kelompok perempuan dan miskin karena layanan kesehatan mendekat ke mereka.

CRC ini diselenggarakan oleh PAKAR (Pusat Advokasi Anggaran Rakyat) dan PATTIRO sebagai bagian dari Program PBET (Participatory Budgeting dan Expenditure Tracking) yang dilaksanakan pada bulan Januari-Maret 2008.

140

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

Perlu dipertimbangkan penurunan tarif Puskesmas karena banyaknya warga yang keberatan dengan tarif saat ini Perlu dipertimbangkan stimulan agar warga memakai jasa bidan dalam persalinan, misalnya voucher persalinan gratis sehingga problem tarif bidan yang memberatkan teratasi.

Boks 5.3 Upaya Pemerintah Kota Surakarta Meningkatkan Partisipasi Perempuan


Salah satu contoh upaya yang telah dilakukan Pemkot Kota Surakarta adalah dengan diterbitkannya Peraturan Wali Kota Surakarta No 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musrenbangkel, Musrenbangcam, Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Musrenbangkot. Peraturan Wali Kota tersebut memuat ketentuan tentang kuota keterwakilan perempuan minimal 30% di setiap level. Pada tingkat musrenbangkel, kuota berlaku untuk Panitia Pengarah, Panitia Penyelenggara, Peserta, dan Delegasi untuk ke Musrenbangcam, Tim Perencana Kegiatan Pembangunan, Tim Pelaksana Kegiatan Pembangunan, serta Tim Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Pembangunan. Pada tingkat musrenbangcam, kuota berlaku untuk Panitia Pengarah, Panitia Penyelenggara, Peserta dan Delegasi Forum SKPD serta Delegasi ke Musrenbangkot. Sementara pada tingkat musrenbangkot, kuota berlaku untuk Panitia Pengarah, Panitia Penyelenggara, dan Peserta. Selain itu, peraturan tersebut juga mengakomodasikan perspektif gender sebagai Indikator DSP, khususnya dalam poin F, yaitu memperhatikan kebutuhan perempuan. Langkah maju yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surakarta hendaknya bisa menjadi inspirasi bagi daerah lainnya sebagai langkah konkret untuk memajukan perempuan.

141

Boks 5.4 Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan


Perkembangan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Tahun 2003 Menteri Kesehatan mengeluarkan SK Menkes tentang Standar Pelayanan Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Pada tahun 2005, pemerintah mengeluarkan PP No. 65 Tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal. Kondisi ini menjadikan SPM Bidang Kesehatan perlu direvisi dan atas dasar inilah diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 741/PER/MENKES/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Secara umum SPM yang dimuat dalam aturan terbaru ini lebih sederhana dan realistis sehingga diharapkan lebih memotivasi Pemda untuk memenuhinya. Substansi SPM dalam Permenkes No. 741 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.3 Substansi SPM Kesehatan


No Jenis Pelayanan Standar Pelayanan Minimal Indikator Kinerja 1 Pelayanan Kesehatan Dasar 1) Cakupan kunjungan ibu hamil K4 2) Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 3) Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan 4) Cakupan pelayanan nifas 5) Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 6) Cakupan kunjungan bayi 7) Cakupan desa/kelurahan Universal Child Immunization (UCI) 8) Cakupan pelayanan balita 9) Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6-24 bulan keluarga miskin 10) Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 11) Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD atau yang setingkat 12) Cakupan peserta KB aktif 13) Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 14) Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin Target 2010-2015 95% pada 2015 80% pada 2015 90% pada 2015

90% pada 2015 80% pada 2010 90% pada 2010 100% pada 2010 90% pada 2010 100% pada 2010

100% pada 2010 100% pada 2010 70% pada 2010 100% pada 2010 100% pada 2015

142

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

Pelayanan Kesehatan Rujukan

Penyelidikan Epideologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Promosi Kesehatan Cakupan Desa Siaga Aktif dan Pemberdayaan Masyarakat

1) Cakupan rujukan pelayanan 100% pada 2015 kesehatan pasien masyarakat miskin 2) Cakupan pelayanan gawat darurat 100% pada 2015 level 1 yang harus diberikan sarana kesehatan (RS) di kabupaten/kota Cakupan desa/kelurahan mengalami 100% pada 2015 KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi < 24 jam

80 % pada 2015

Jenis pelayanan yang disebutkan adalah pelayanan minimal yang wajib disediakan oleh setiap kabupaten/kota. Selain jenis pelayanan di atas, kabupaten/ kota wajib menyelenggarakan jenis pelayanan sesuai kebutuhan, karakteristik dan potensi daerah, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3, Permenkes No. 741 Tahun 2008.

143

Lembar Bantu Belajar 5.1 Panduan Diskusi Kelompok


Fakta menunjukkan bahwa partisipasi kelompok perempuan dan kelompok miskin masih minim di setiap tahapan, baik di tahapan perencanaan (musrenbang) maupun penganggaran. Situasi ini menjadikan aspirasi dan kebutuhan mereka menjadi tidak tersuarakan dan berakibat pada minimnya akomodasi kebutuhan mereka di APBD. Diskusikanlah strategi dan peluang yang dapat dilakukan, baik untuk meningkatkan partisipasi kelompok miskin dan perempuan maupun untuk meningkatkan tingkat akomodasi aspirasi dan kebutuhan mereka dalam APBD. Hasil diskusi kelompok disarikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 5.4 Hasil Diskusi Kelompok


Tahapan Strategi dan peluang untuk meningkat- Keterangan kan partisipasi dan akomodasi kebutuhankelompok perempuan dan miskin

A. Penyusunan APBD 1. Perencanaan

2. Penganggaran

B. Pembahasan dan Penetapan APBD

144

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 5

Proses Penyusunan dan Penetapan APBD

Bahan Presentasi 5.1

Situasi
Partisipasi kelompok perempuan dan kelompok miskin minim di setiap tahapan Menjadikan aspirasi dan kebutuhan mereka tidak tersuarakan dengan baik Berakibat pada rendahnya tingkat akomodasi aspirasi dan kebutuhan kelompok perempuan dan miskin di APBD

Kendala-kendala Partisipasi Perempuan

Kendala-kendala Partisipasi Perempuan


Kendala Internal Rutinitas keluarga Keterbatasan ekonomi Kemampuan rendah Kurang berani Miskin informasi

Kendala Eksternal Kepanitiaan tidak respek kepada perempuan Tidak ada kesempatan bicara Tidak ada undangan Representasi tidak mewakili Waktu pelaksanaan malam hari

Inovasi Daerah untuk mengatasi masalah perencanaan dan penganggaran


Pagu indikatif kecamatan (Sumedang) Kuota untuk kelompok perempuan(Surakarta) Musrenbang khusus perempuan (Timor Tengah Selatan, NTT) Pelatihan fasilitator Musrenbang (Surakarta) Forum Delegasi Musrenbang (Sumedang)

145

146

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Analisis APBD
SESI 6

Sesi 6

Analisis APBD

Analisis APBD

Renovasi rumah dinas Wali Kota 460 juta!!!

BANDINGKAN DENGAN:

Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah di seluruh kota hanya 36 juta!!!

Pengantar
Pemda memiliki tugas utama menyelenggarakan pelayanan publik untuk masyarakat. Komitmen pemda memberikan pelayanan kepada masyarakat bisa dilihat dari besaran alokasi dana yang ada di APBD. Pasal 26, PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menegaskan bahwa belanja daerah diprioritaskan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan merupakan upaya pemenuhan kewajiban pemda menyediakan layanan dasar. Dengan demikian, jelas sudah bahwa muara dari setiap rupiah yang dikeluarkan dari dana APBD adalah untuk kepentingan masyarakat. Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, struktur APBD terdiri dari tiga komponen utama, yaitu Pendapatan Daerah, Belanja Daerah dan Pembiayaan Daerah. Sumber-sumber pendapatan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (pajak daerah dan retribusi daerah), Dana Perimbangan (bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, DAU, DAK), dan Lain-lain PAD yang sah. Belanja Daerah terdiri dari Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung. Sedangkan Pembiayaan Daerah terdiri dari Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan. Dengan analisis APBD ini, akan diketahui bagaimana selama ini dana publik dibelanjakan, siapa yang mendapatkan alokasi terbesar dan apakah kewajiban pemerintah sudah tertunaikan dengan baik.

147

Tujuan:
Peserta memahami struktur APBD, baik dari sisi penerimaan, pengeluaran maupun pembiayaan. Peserta memahami profil APBD saat ini melalui analisis terhadap struktur APBD. Peserta memiliki kemampuan menganalisis APBD secara umum. Peserta memiliki kemampuan menganalisis APBD dengan menggunakan perspektif gender.

Metode:
Presentasi Diskusi kelompok Curah pendapat

Waktu:
240 menit

Alat dan Bahan:


Kalkulator Metaplan Kertas plano Spidol

Media:
Lembar Bantu Belajar 6.1 Bahan Bacaan 6.1 Bahan Bacaan 6.2 Bahan Bacaan 6.3 Bahan Presentasi 6.1

Catatan untuk Fasilitator:


Fasilitator hendaknya memastikan bahwa di setiap kelompok tersedia kalkulator untuk memudahkan proses penghitungan. Fasilitator mengupayakan data yang akan dianalisis dalam sesi ini adalah APBD kota/kabupaten di mana pelatihan dilaksanakan, sehingga peserta langsung masuk pada kasus daerahnya sendiri. Fasilitator hendaknya mengarahkan peserta agar mampu menilai adil tidaknya pengalokasian anggaran dari perspektif gender. Selanjutnya, peserta menjadi tergerak dan bersepakat untuk mengubah APBD menjadi lebih adil dan responsif gender.

Tahapan Proses:
Pembukaan (5 menit)
Fasilitator membuka sesi 6 dan menjelaskan secara singkat tujuan sesi ini. Fasilitator meminta peserta menjelaskan apa yang mereka ketahui tentang struktur APBD dan mencatat inti pendapat peserta. Fasilitator membagikan Bahan Bacaan 6.1 yang berisi struktur APBD berdasarkan

Presentasi (30 menit)

148

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan revisinya (Permendagri No. 59 Tahun 2007) dan memaparkan secara singkat isi bahan bacaan dengan menayangkan Bahan Presentasi 6.1.

Diskusi Kelompok (120 menit)


Fasilitator menjelaskan bahwa dalam sesi ini, peserta akan diajak melakukan analisis APBD kota X pada tahun Y. Fasilitator membagi peserta menjadi tiga kelompok, kemudian membagikan Lembar Bantu Belajar 6.1 sebagai bahan diskusi dalam kerja kelompok. Setiap kelompok mendiskusikan Lembar Bantu Belajar 6.1 yang berisi data APBD kota X pada tahun Y. Waktu untuk berdiskusi 120 menit. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya secara bergiliran. Fasilitator kemudian mempersilakan peserta menambahkan analisis, kritik dan rekomendasi untuk setiap kelompok yang presentasi. Fasilitator memberikan pendapat atas presentasi masing-masing kelompok untuk menegaskan beberapa hal: pentingnya memperhatikan akurasi penghitungan angka, pentingnya memperhatikan kesesuaian antara proses analisis data yang ada, dam pentingnya fokus pada tujuan analisis. Fasilitator bersama peserta menyimpulkan hal-hal berikut ini: Sumber penerimaan APBD berasal dari uang rakyat, baik laki-laki maupun perempuan. Mengetahui siapa yang menikmati kue APBD terbanyak serta bagaimana pembagian alokasi anggaran di daerahnya. Adanya ketidakadilan dalam pembagian kue APBD di mana rakyat menjadi penerima manfaat yang paling kecil. Kebutuhan kelompok-kelompok rentan kurang terakomodasi (anak, remaja, lanjut usia, penyandang cacat, dan perempuan) yang dibuktikan dengan sedikitnya alokasi anggaran untuk mereka. Beberapa penyebab munculnya ketidakadilan dalam alokasi anggaran. Hasil analisis merupakan bekal/amunisi advokasi anggaran responsif gender, sehingga penyajian hasil analisis harus sesuai dengan tujuan advokasi.

Curah Pendapat (50 menit)

Penutup (20 menit)

149

Bahan Bacaan 6.1 Struktur APBD


Struktur APBD yang berlaku saat ini adalah struktur berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006. Permendagri No. 59 Tahun 2007 yang merupakan revisi dari Permendagri No. 13 Tahun 2006, tidak mengubah struktur APBD, hanya memberi tambahan penjelasan pada bagian-bagian dari struktur APBD yang akan dijelaskan dalam bahan bacaan ini. A. Struktur APBD berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 adalah sebagai berikut:

Tabel 6.1 Struktur APBD dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006


No.
1 1.1 1.1.1 1.1.2 1.1.3 1.1.4 1.2 1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.3 1.3.1 1.3.2 1.3.3 1.3.4 1.3.5 2 2.1 2.1.1 2.1.2 2.1.3 2.1.4 2.1.5 2.1.6 2.1.7 2.1.8 2.2 2.2.1 2.2.2 2.2.3

Uraian
PENDAPATAN DAERAH Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan Lain-lain PAD yang sah Dana Perimbangan Dana Bagi Hasil Pajak/ Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Hibah Dana Darurat Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya Dana Penyesuaian dan otonomi khusus Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya Jumlah Pendapatan BELANJA DAERAH Belanja Tidak Langsung Belanja Pegawai Belanja Bunga Belanja Subsidi Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Belanja Bagi Hasil kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa Belanja Belanja Bantuan Keuangan Kepada Provinsi/ Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa Belanja Tidak Terduga Belanja Langsung Belanja pegawai Belanja barang dan jasa Belanja modal Jumlah Belanja Surplus/(Defisit) PEMBIAYAAN DAERAH Penerimaan pembiayaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran sebelumnya (SILPA) Pencairan Dana Cadangan Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Penerimaan Pinjaman Daerah Penerimaan kembali pemberian pinjaman Penerimaan piutang daerah Jumlah Penerimaan Pembiayaan Pengeluaran Pembiayaan Pembentukan dana cadangan Penyertaan modal (investasi) daerah Pembayaran pokok utang Pemberian pinjaman daerah Jumlah pengeluaran pembiayaan Pembiayaan neto Sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan (SILPA)

Jumlah

3 3.1 3.1.1 3.1.2 3.1.3 3.1.4 3.1.5 3.1.6 3.2 3.2.1 3.2.2 3.2.3 3.2.4

3.3

150

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

B. Pokok-pokok Perubahan Permendagri No. 13 Tahun 2006 Permendagri No. 13 Tahun 2006 menuai banyak kritik dan protes dari daerah. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang ada dalam Permendagri ini. Kelemahan Permendagri N.o 13 Tahun 2006 diperbaiki pemerintah dengan diterbitkannya Permendagri No. 59 Tahun 2007. Secara umum, tidak banyak perubahan dalam Permendagri No. 59 Tahun 2007. Pasal dan ayat perubahan berisi penjelasan-penjelasan atas ketentuan yang sebelumnya menimbulkan multitafsir atau kesan memperlonggar, misalnya ketentuan tentang kriteria tambahan penghasilan.

Tabel 6.2 Pokok-pokok Perubahan Permendagri No. 13 Tahun 2006


Aspek Penghapusan ketentuan tentang Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) dan penggabungan tahapan pembahasan KUA dan PPAS Penerimaan dari BLUD Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan Penambahan dua urusan wajib, yaitu Ketahanan Pangan dan Perpustakaan Tambahan penghasilan Permendagri No. 13 PPA merupakan satu dokumen yang disepakati antara TAPD dan DPRD. Sebelum disepakati, PPA bernama PPAS. Pembahasan KUA dan PPAS berlangsung serial Belum diatur Masuk di lain-lain PAD Permendagri No. 59 Tidak ada lagi PPA. Pembahasan KUA dan PPAS berlangsung paralel Keterangan Lihat pasal 1, angka 33 dan pasal 87, Permendagri No. 59

Masuk di lain-lain PAD Dihapus

Lihat pasal 26, Permendagri No. 59 Lihat Pasal 26 Permendagri No. 59

Ada 26 urusan wajib

Ada 28 Urusan Wajib, Lihat pasal 32, termasuk Ketahanan Pangan Permendagri No. 59 dan Perpustakaan Persetujuan DPRD dilakukan Lihat pasal 39, ayat 1a pada saat pembahasan KUA Permendagri No. 59 Tambah satu kriteria, yaitu: lima kriteria yang ada di Permendagri No. 13 Tambahan kriteria: pertimbangan obyektif lainnya, misalnya dalam rangka peningkatan kesejahteraan umum pegawai seperti pemberian uang makan Tidak harus memenuhi belanja urusan wajib Lihat Pasal 39 ayat 7a Permendagri No 59. Tambahan kriteria ini memperlonggar ketentuan di Permendagri No. 13 karena kriteria ini lebih didasarkan pada kemauan politik, bukan pertimbangan rasional Lihat pasal 42, Permendagri No. 59: Ketentuan yang diperlonggar dan rawan penyimpangan

Mekanisme persetujuan DPRD tidak diatur

Tambahan Ada 5 kriteria, yaitu: penghasilan: kriteria Beban kerja diperlonggar Tempat bertugas Kondisi kerja Kelangkaan profesi Prestasi kerja

Prasyarat Belanja Harus memenuhi belanja Hibah Diperlonggar untuk urusan wajib terlebih dahulu

151

Belanja Sosial

Bantuan dalam bentuk uang dianggarkan jika belanja urusan wajib telah dipenuhi Penjelasan bahwa bantuan di berikan secara selektif, tidak terus-menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran dan jelas peruntukan penggunaannya Kode rekening program dan kegiatan mengacu pada Lampiran A.VII Permendagri No. 13 dan harus konsultasi dengan Mendagri jika menambah kegiatan diluar yang ada.

Tidak harus memenuhi belanja urusan wajib Penjelasan bahwa bantuan diberikan secara selektif, tidak terusmenerus/tidak berulang setiap tahun anggaran dan jelas peruntukannya penggunaannya lebih diperjelas lagi dalam dua ayat (2 dan 2a) Pemda dapat mengembangkan program dan kegiatan beserta kode rekeningnya berdasarkan kebutuhan objektif, nyata dan sesuai dengan karakteristik daerah dan Lampiran A.VII Permendagri No. 13masih bisa digunakan Lebih sederhana, karena Format RKA SKPD mencakup penerimaan dan belanja SKPD sedangkan pembiayaan hanya berlaku untuk SKPKD

Lihat pasal 45, Permendagri No. 59. Ketentuan yang diperlonggar dan rawan penyimpangan

Penyusunan Kode Rekening

Lihat pasal 77, Permendagri No 59. Perbaikan ini tepat dilakukan agar kreativitas daerah dalam menyusun kegiatan tetap diberi ruang Lihat pasal 99, Permendagri No. 59

Format RKA SKPD

Format RKA SKPD mencakup penerimaan, belanja dan pembiayaan untuk setiap SKPD

Penyebarluasan Informasi APBD

Tidak ada

Lihat pasal 116, Adanya ayat tambahan Permendagri No. 59 tentang pemenuhan asas transparansi, yaitu pasal 116, ayat 4a, yang berbunyi: Untuk memenuhi asas transparansi, kepala daerah wajib menginformasikan substansi Perda APBD kepada masyarakat yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah

152

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

Boks 6.1 Belanja Urusan Wajib dan Pilihan dalam Permendagri No. 59 Tahun 2007
Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri atas belanja urusan wajib dan pilihan berdasarkan Permendagri No. 59 Tahun 2007. Urusan wajib, mencakup: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum; d. perumahan rakyat; e. penataan ruang; f. perencanaan pembangunan; g. perhubungan; h. lingkungan hidup; i. pertanahan; j. kependudukan dan catatan sipil; k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; m. sosial; n. ketenagakerjaan; o. koperasi dan usaha kecil dan menengah; p. penanaman modal; q. kebudayaan; r. kepemudaan dan olah raga; s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; u. ketahanan pangan; v. pemberdayaan masyarakat dan desa; w. statistik; x. kearsipan; y. komunikasi dan informatika;dan z. perpustakaan. Urusan pilihan, mencakup: a. b. c. d. e. f. g. h. pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; pariwisata; kelautan dan perikanan; perdagangan; industri; dan ketransmigrasian.

Keterangan: Permendagri No. 59 Tahun 2007 merupakan revisi terbatas atas Permendagri No. 13 Tahun 2006. Terkait dengan klasifikasi urusan wajib, Permendagri No. 59 Tahun 2007 menambahkan dua urusan, yaitu ketahanan pangan dan perpustakaan.

153

Bahan Bacaan 6.2 Analisis APBD


A. Pengantar Proses penyusunan RAPBD memiliki beberapa titik kritis, antara lain ketika memasuki tahapan yang melibatkan DPRD dalam proses pengambilan keputusan. Tahapan yang dimaksud adalah pembahasan KUA dan PPAS dan pembahasan RAPBD. Pembahasan KUA dan PPAS dilakukan pada pertengahan Juni-Juli sedangkan pembahasan RAPBD dilakukan pada bulan Oktober-Desember. Di kedua tahapan ini, TAPD akan menyusun dokumen dan akan memberikan penilaian dan saran konstruktif untuk menyempurnakan isi dokumen sebelum disahkan, dalam proses pembahasan DPRD. Proses pemberian penilaian dan saran merupakan implementasi dari fungsi budgeting yang dimiliki DPRD. Optimalisasi fungsi budgeting DPRD membutuhkan kemampuan analisis dari anggota DPRD. DPRD dapat bermitra dengan elemen masyarakat sipil untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi. Dalam konteks inilah, baik DPRD maupun masyarakat sipil perlu memiliki kemampuan analisis. B. Pengertian Analisis Analisis APBD adalah mencari makna di balik angka-angka yang terdapat pada dokumen APBD. Makna yang diperoleh merupakan penggambaran sejauh mana APBD telah melaksanakan fungsi utama yang dimilikinya, yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Jika fungsi tersebut belum dilaksanakan oleh APBD, maka hasil analisis bisa menggambarkan kesenjangan antara fungsi yang seharusnya diemban APBD dengan praktik yang ada. Analisis APBD dilandaskan pada hakikat anggaran, yaitu anggaran adalah uang rakyat dan harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dari segala lapisan dan kelompok. Untuk itu, ada dua konsep dasar yang digunakan ketika melakukan analisis, yaitu: Manajemen Belanja Publik (Public Expenditure Management) dan Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting). Manajemen Belanja Publik Suatu pendekatan baru dalam alokasi sumber daya publik secara responsif, ekonomis, efisien dan efektif. Beberapa aspek yang yang harus diperhatikan dalam Manajemen Belanja Publik: Efisiensi Alokasi Efisiensi alokasi adalah salah satu elemen utama dalam Manajemen Belanja Publik, di mana: 1)pengeluaran harus didasarkan pada prioritas dan keberhasilan program, 2) sistem penganggaran harus mendorong realokasi dana dari program yang kurang mendapat prioritas pada program yang berprioritas tinggi, dan dari program yang kurang berhasil pada program yang lebih berhasil. Efisiensi Operasional Unit organisasi haruslah memproduksi barang dan jasa pada tingkat biaya (cost) yang mendorong tercapainya efisiensi dan pada tingkat biaya yang kompetitif dengan pasar. Anggaran Berbasis Kinerja Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja. Di dalamnya terkandung program dan kegiatan yang akan

154

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

dilaksanakan serta indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran. Anggaran berbasis kinerja fokus pada pemberian layanan. Jika anggaran tradisional hanya melaporkan jumlah dana yang dialokasikan dan dibelanjakan, maka anggaran kinerja melaporkan apa yang telah dilakukan dengan uang yang ada. Oleh karena itu, dalam ukuran keberhasilan tidak ditentukan oleh habis/tidaknya anggaran melainkan ditentukan oleh tercapai/tidaknya indikator kinerja yang telah ditetapkan. Dengan demikian, indikator kinerja merupakan elemen utama yang perlu diperhatikan. C. Tujuan Analisis Jika merujuk pada konsep dasar dan aturan perundangan yang ada, tujuan analisis diarahkan untuk: 1. 2. 3. Mengetahui kesesuaian antara KUA dan PPAS di dokumen penganggaran dengan RKPD di dokumen perencanaan. Mengetahui kesesuaian antara RAPBD dengan KUA dan PPAS. Mengetahui kewajaran besaran alokasi anggaran.

Tujuan analisis pertama dan kedua terkait dengan konsep efisiensi alokasi (allocative efficiency), sedangkan tujuan ketiga terkait dengan efisiensi operasional (operational efficiency). D. Tipe Analisis Dari sisi cakupan analisis yang dilakukan, ada dua tipe analisis, yaitu: 1. Analisis Umum, yaitu analisis yang bertujuan untuk melihat APBD secara keseluruhan. Analisis umum meliputi analisis terhadap penerimaan (pendapatan), analisis belanja APBD dan analisis pembiayaan. Analisis khusus, yaitu analisis yang bertujuan untuk melihat bagian tertentu dari APBD. Misalnya, analisis SKPD, analisis program, analisis pendapatan, analisis belanja, analisis pinjaman daerah. Dari sisi isu, setidaknya ada dua jenis analisis yang harus dilakukan, yaitu: 1. Analisis anggaran responsif gender, yaitu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana APBD telah mengakomodasi perspektif gender dalam program dan kegiatan karena program dan kegiatan yang didukung dengan alokasi anggaran yang memadai seharusnya merupakan upaya untuk mengatasi kesenjangan gender dalam rangka mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Analisis anggaran pro poor, yaitu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana APBD telah memperhatian isu pemberantasan kemiskinan. Pada dasarnya dua isu ini merupakan cross cutting issues, artinya apa pun analisis yang dilakukan, kedua tipe analisis ini ikut di dalamnya. Misalnya, analisis umum harus menyertakan analisis anggaran pro poor dan responsif gender. Begitu juga jika yang dilakukan adalah analisis program/kegiatan dan analisis pinjaman daerah. Dalam analisis tadi, maka analisis anggaran pro poor dan responsif gender harus dilakukan untuk melihat sejauh mana dampak pinjaman daerah selama ini kepada kelompok miskin dan kelompok rentan, baik laki-laki maupun perempuan, menguntungkan ataukah malah merugikan. Pada kenyataannya, kedua jenis analisis ini bisa digabung menjadi analisis anggaran yang pro poor dan responsif gender karena terdapat irisan yang cukup besar antara keduanya terkait dengan fenomena kemiskinan berwajah perempuan sebagaimana yang telah dibahas di sesi 2.

2.

2.

155

Secara umum, ada dua jenis analisis, yaitu analisis umum dan analisis khusus. Analisis umum untuk melihat bagaimana melihat kinerja APBD secara keseluruhan. Analisis umum untuk melihat penerimaan (pendapatan) dan belanja APBD secara keseluruhan. Sedangkan analisis khusus untuk melihat anggaran suatu sektor, program/kegiatan dan perspektif gendernya. E. Langkah-langkah Analisis Langkah pertama: menentukan tujuan analisis Analisis APBD merupakan sarana untuk melakukan advokasi dengan memberikan informasi kepada para aktor utama yang berperan dalam siklus APBD. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan sangat tergantung pada tujuan yang ingin dicapai, terutama dalam hal menentukan informasi apa yang akan disajikan, meringkas informasi yang berguna bagi kepentingan advokasi agar pemerintah mau mengubah prioritas dalam bentuk menambah anggaran untuk kegiatan yang sudah ada, mengurangi kegiatan yang tidak prioritas, menganggarkan kegiatan baru yang sebelumnya tidak ada, atau menghentikan kegiatan yang sedang dilakukan jika tidak rasional. Ikhtisar informasi sesuai dengan tujuan advokasi penting dilakukan karena sering kali banyak temuan yang dapat disajikan dalam laporan hasil analisis. Menyajikan semua temuan adalah hal yang tidak realistis dilakukan karena akan berakibat pada situasi overload information dan bisa membingungkan pembaca. Selain itu penyajian temuan yang terlalu banyak bisa berakibat rekomendasi tidak fokus sehingga sulit untuk dikawal tindak lanjutnya. Langkah kedua: mengumpulkan aturan perundangan Berikut ini daftar peraturan perundangan yang terkait dengan APBD: 1. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 4. UU. No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 7. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 8. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangan. 9. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. 10.Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. 11.Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah. 12.Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. 13.Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. 14.Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah. 15.Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. 16.Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

156

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

17.Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 18.Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah 19.Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerin-tahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 20.Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi Perangkat Daerah. 21.Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan perubahannya menjadi Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006. Langkah ketiga: mengumpulkan dokumen APBD Pengumpulan dokumen APBD merupakan satu tahapan kritis yang menentukan sukses/ tidaknya proses analisis, karena tanpa dokumen, analisis tidak bisa dilakukan. Pada praktiknya, masyarakat sipil masih mengalami kesulitan dalam mengakses dokumen APBD. Padahal dilihat dari sisi aturan perundangan, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Memperoleh Informasi Publik, menjamin setiap warga negara untuk mengakses dokumen badan publik, termasuk APBD. Jika pemda tidak memberikan dokumen yang diminta, maka masyarakat bisa mengadukan hal tersebut ke Komisi Informasi yang dibentuk di tingkat pusat dan provinsi. Jika kesulitan masih dihadapi, kombinasi strategi antara mengajukan permintaan secara formal dan informal perlu dilakukan agar dokumen APBD sudah tersedia pada saat dibutuhkan. Berikut dokumen-dokumen yang diperlukan untuk analisis:

Tabel 6.3 Dokumen APBD untuk Analisis


No Jenis dokumen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12 13 RAPBD/APBD/APBD Perubahan RPJPD dan RPJMD RKPD dan KUA Renstra SKPD Renja SKPD PPAS RKA-SKPD SHB (standar harga barang) Hasil Musrenbang Laporan hasil Pemeriksaan BPK Laporan Hasil Pemeriksaan Bawasda Perda terkait APBD Sumber Dokumen Bapeda, DPRD, BPKD Bapeda Bapeda SKPD SKPD Bapeda/BPKD SKPD Bapeda/BPKD Bapeda/Kecamatan BPK Bawasda Bagian Hukum, Sekretariat Dewan

157

Langkah keempat: melakukan analisis Setelah dokumen APBD berhasil didapatkan, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis. Modal awal yang harus dimiliki adalah jangan takut dengan angka. Dalam dokumen APBD terdapat angka-angka yang nominalnya cukup besar, dari ratusan juta sampai dengan triliunan rupiah. Tidak perlu keder dengan angka-angka tersebut karena dalam menganalisis APBD, angka-angka tersebut akan diperlakukan sederhana, yaitu dijumlahkan, dikurangi, dibagi, dikali atau dibuat persentasenya. Analisis APBD adalah metode untuk menilai APBD dengan mengaitkan antara isi APBD, fungsi yang dimiliki dengan realita yang terjadi. Analisis APBD berlandaskan pada hakikat anggaran, yaitu anggaran adalah uang rakyat dan harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dari segala lapisan dan kelompok. APBD berisi sederetan angkaangka nominal, maka ketika menganalisis APBD, kita akan berkutat dengan angka-angka tersebut. Analisis dilakukan sebelum RAPBD disahkan menjadi APBD. Hasil analisis akan digunakan sebagai dasar penyusunan rekomendasi atas rancangan dokumen yang akan disampaikan kepada pemerintah daerah dan DPRD, agar APBD yang disahkan mengakomodasi masukan dari kalangan masyarakat sipil. Langkah kelima: menyusun laporan hasil analisis Laporan hasil analisis disusun setelah proses analisis selesai dilakukan. Penyusunan laporan hasil analisis perlu mempertimbangkan siapa target dari pembaca laporan, karena masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda. Langkah keenam: mendiseminasikan laporan hasil analisis Laporan hasil analisis yang telah selesai disusun kemudian didiseminasikan kepada berbagai pihak, baik pemerintah daerah, DPRD, media maupun masyarakat luas. Penyebarluasan hasil analisis merupakan bagian dari advokasi APBD.

158

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

Boks 6.2 Penyesuaian Anggaran terhadap Inflasi


A. Mengenal Inflasi Sepuluh tahun yang lalu, uang Rp 100.000 dapat digunakan untuk membeli lima unit barang dengan harga per unit Rp 20.000. Namun, saat ini uang yang sama hanya mampu untuk membeli barang yang sama sebanyak tiga unit saja. Hal ini dikarenakan harga yang cenderung terus meningkat atau yang disebut dengan istilah inflasi. Dalam definisi inflasi tercakup tiga aspek penting, yaitu: 1. Adanya kecenderungan harga-harga untuk meningkat, yang berarti mungkin saja tingkat harga yang terjadi/aktual pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Peningkatan harga tersebut berlangsung terus-menerus atau tidak terjadi pada suatu waktu saja, yakni akibat adanya kenaikan harga bahan bakar minyak pada awal tahun misalnya. Mencakup pengertian tingkat harga umum, yang berarti tingkat harga yang meningkat bukan hanya pada satu waktu atau beberapa komoditi saja.

2.

3.

Inflasi mengakibatkan daya beli uang dengan nominal tertentu akan semakin menurun seiring waktu. Dengan demikian, nilai uang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu nilai nominal dan nilai riil. Nilai nominal adalah besaran nilai uang tertentu yang belum dikaitkan dengan nilai inflasi (belum dikaitkan dengan daya beli). Dalam contoh di atas, nilai nominal adalah Rp 100.000. Sedangkan nilai riil adalah besaran nilai uang tertentu yang telah dikaitkan dengan nilai inflasi, sehingga nilai riil akan lebih kecil daripada nilai nominal. Rumus untuk menghitung nilai riil adalah sebagai berikut 1: Nilai Riil = Nilai Nominal Deflator Sedangkan rumus deflator tahun tertentu adalah sebagai berikut: Deflator tahun ini = (Deflator tahun lalu) x (1 + tingkat inflasi tahun ini) Contoh2: 2006 6,60% 1 2007 6,59% 1,066 2008 9,40% 1,166

Tingkat Inflasi Deflator

Keterangan: tahun 2006 dijadikan tahun dasar Deflator tahun 2007 = 1 x (1+0,0659) = 1 x 1,0659 = 1,066 (dibulatkan) Deflator tahun 2008 = 1, 066 x (1+0,094) = 1, 066 x 1,094 = 1,166 Berikut contoh:

1 2

Mendahulukan Si Miskin: Buku Sumber bagi Anggaran Pro Rakyat, Prakarsa, 2008. Data Inflasi Indonesia 2005-2008. Tingkat inflasi di tahun 2005 tinggi terkait dengan kenaikan harga BBM sebanyak dua kali dalam setahun.

159

URAIAN
BELANJA DAERAH

APBD 2007

RAPBD 2008 (Nominal)

RAPBD 2008 (Riil)

SELISIH

381.137.228.106 362.870.749.775 311.209.905.467 (69.927.322.639) -19% 10% 8% 16% 86% -6% -14%

BELANJA TI125.693.295.968 164.866.621.000 141.395.043.739 15.701.747.771 DAK LANGSUNG Belanja Pegawai Belanja Bunga Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Tidak Terduga BELANJA LANGSUNG Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal 114.458.413.168 5.589.682.800 5.295.200.000 350.000.000 146.557.146.000 125.692.234.991 11.233.821.823 8.003.300.000 4.180.375.000 5.775.800.000 350.000.000 6.863.893.654 3.585.227.273 4.953.516.295 300.171.527 1.274.210.854 3.585.227.273 (341.683.705) (49.828.473)

255.443.932.138 198.004.128.775 169.814.861.728 (85.629.070.410) -43% 25.838.182.120 65.781.538.175 163.824.211.843 20.005.317.434 58.907.982.036 17.157.219.069 (8.680.963.051) 50.521.425.417 (15.260.112.758) -43% -26% -52%

119.090.829.305 102.136.217.243 (61.687.994.600)

Dari contoh ini terlihat bahwa penurunan belanja langsung lebih besar jika sudah disesuaikan dengan tingkat inflasi, yaitu sebesar 43%. Sementara jika menggunakan angka nominal, penurunan hanya sebesar 29%3. B. Inflasi dan Anggaran Daerah Inflasi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap daya beli. Oleh karena itu, nilai yang tercantum di APBD perlu disesuaikan dengan inflasi untuk mengetahui apakah kenaikan anggaran sudah memadai. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis APBD yang telah disesuaikan dengan nilai inflasi adalah sebagai berikut: 1. 2. Jika ingin mempertahankan pelayanan sama seperti tahun lalu, maka kenaikan anggaran minimal sama dengan tingkat inflasi. Jika anggaran tahun ini turun dibandingkan tahun lalu, maka tingkat pelayanan akan menurun (kecuali jika ada informasi bahwa penurunan anggaran tersebut memiliki dasar argumentasi yang jelas, misalnya karena ada satu proyek besar yang dianggarkan di tahun lalu sudah selesai pengerjaannya). Jika anggaran tahun ini naik, namun kenaikannya tidak signifikan, maka tingkat pelayanan akan menurun karena terjadi penurunan daya beli (dengan perkecualian seperti no. 2).

3.

Menyesuaikan nilai di APBD dengan tingkat inflasi akan meningkatkan akurasi analisis dan terhindar dari misinterpretasi atas angka-angka yang ada. Jika ingin mempertahankan pelayanan yang sama, maka anggaran perlu disesuaikan dengan tingkat inflasi. Untuk menghitungnya, ada dua data yang dibutuhkan, yaitu Indeks Harga Konsumen (IHP) dan nilai anggaran yang akan dibandingkan. IHP adalah angka yang menunjukkan perbandingan harga dalam dua waktu yang berbeda. Contoh Indeks Harga Konsumen adalah sebagai berikut:

Angka 29% diperoleh dari (198.004.128.775 - 255.443.932.138) / 255.443.932.138 X 100%.

160

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

Tabel 6.4 Contoh Indeks Harga Konsumen


1998 1999 2000 2001 2002 2003 Contoh penghitungan: Tahun Anggaran Pendidikan 1998 2003 Rp 37,4 miliar ??? Indeks Harga Konsumen 88,4 112,7 88,4 91,6 97.8 101,4 106,2 112,7

Berapa nilai anggaran di tahun 2003 yang setara dengan anggaran tahun 1998 sebesar Rp 37,4 miliar? Anggaran 2003 = 112,7/88,4 x Rp 37,4 miliar = Rp 47,7 miliar Kesimpulan: Untuk mempertahankan pelayanan, anggaran yang dibutuhkan di tahun 2003 sebesar Rp 47,7 miliar. Jika nilai yang tercantum dalam dokumen APBD kurang dari Rp 47,7 miliar, maka bisa diprediksi bahwa pelayanan sektor pendidikan akan menurun karena tidak didukung dengan anggaran yang memadai. Praktik di Indonesia, justru banyak pos anggaran yang nilainya turun dibandingkan dengan nilai tahun lalu. Jika sudah disesuaikan dengan tingkat inflasi, tingkat penurunannya tentu lebih besar dan situasi ini tentu saja sangat memprihatinkan jika yang turun adalah alokasi untuk program/kegiatan yang penting untuk masyarakat. Contoh dapat dilihat dari Data RAPBD 2008 Kota Parepare berikut ini: Tahun Anggaran Pendidikan 2007 2008 29.001.328.650 ??? Indeks Harga Konsumen 147,4 158,3

Agar pelayanan dapat dipertahankan, maka semestinya nilai anggaran tahun 2008 adalah: Anggaran 2008 = 158,3/147,4 x Rp 29.001.328.650 = Rp 31.145.931.651. Setelah di cek ke dokumen RAPBD, ternyata angka yang tercantum hanya Rp 22. 165.531.650. Dari sini terlihat bahwa alokasi anggaran pendidikan mengalami kekurangan sebesar Rp 8.980.400.001 (Rp 31.145.931.651 - Rp 22. 165.531.650), sementara jika menggunakan angka nomimal, kekurangan alokasi anggaran hanya Rp 6.835.797.000.

161

Bahan Bacaan 6.3 Analisis Anggaran Responsif Gender


Analisis anggaran responsif gender adalah analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana komitmen pemerintah dalam mendukung upaya terwujudnya kesetaraan gender. Hal ini penting dilakukan terkait dengan fungsi anggaran sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan dan kesetaraan gender. Ada empat kerangka kerja fungsional yang digunakan oleh prakarsa anggaran responsif gender1 di berbagai negara: 1. Lima langkah anggaran responsif gender 2. Pernyataan belanja responsif gender dari anggaran lembaga atau sektoral 3. Analisis gender dari empat dimensi anggaran 4. Analisis Uji Cepat Anggaran Responsif Gender (UC ARG)2 A. Lima Langkah Anggaran Responsif Gender Alat analisis ini merupakan salah satu alat analisis yang populer, digunakan untuk menguji sejauh mana program/kegiatan sektoral sudah responsif gender. Analisis dilakukan pada tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Berikut lima langkah analisis anggaran responsif gender: 1. 2. 3. 4. 5. Uraikan masalah untuk perempuan dan laki-laki, dewasa dan anak-anak, dan subkelompok lain, dalam sektor tertentu. Periksa apakah ada kebijakan/program untuk merespons isu gender yang digambarkan di langkah pertama. Periksa apakah ada anggaran memadai yang dialokasikan untuk menjalankan kebijakan/program responsif gender yang ada di langkah kedua. Periksa apakah pembelanjaan sesuai seperti rencana, secara finansial dan fisik. Periksa dampak kebijakan dan pembelanjaan, lalu nilai apakah sudah mendukung komitmen keadilan gender dan menyelesaikan masalah.

B. Pernyataan Belanja Responsif Gender dari Anggaran Lembaga atau Sektoral Alat analisis ini banyak digunakan dalam proses teknokratis penyusunan rinci kegiatan. Alat analisis ini merupakan operasionalisasi dari langkah kedua dan ketiga dari total lima langkah anggaran responsif gender. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi pengeluaran, apakah pembelanjaan 1) khusus ditargetkan ke perempuan atau laki-laki, dewasa atau anak-anak di masyarakat, atau 2) pembelanjaan untuk kesempatan kerja yang setara pada pegawainya yang dirancang untuk mengubah profil gender dan keterampilan angkatan kerja publik

1 2

Sharp, Ronda,Budgeting for Equity,UNIFEM 2003, page 54. Alat analisis ini dikembangkan oleh tim penyusun modul.

162

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

atau 3) pembelanjaan umum atau gender yang membuat barang dan jasa tersedia di masyarakat (output) dan perlu dinilai dampak gendernya (outcome). 2. 3. Lakukan analisis gender untuk menilai dampak gender dari berbagai kategori pembelanjaan. Kembangkan pernyataan anggaran dengan menggunakan analisis gender yang telah dilakukan pada langkah kedua, yang memuat: a. Tujuan kegiatan/program anggaran. b. Sumber daya yang dialokasikan dan terealiasasi tahun lalu dan yang direncanakan untuk tahun depan. c. d. e. Isu gender. Dampak gender, termasuk ukuran dan indikator output dan outcome. Rencana perubahan di tahun mendatang akibat hasil penilaian dan indikator kinerja

Prinsip dasar yang digunakan alat ini adalah semua kegiatan bisa diresponsifgenderkan, sehingga target yang ingin dicapai bahwa semua program/kegiatan responsif gender 100%. Masing-masing kategori dianalisis dan kemudian disusun rekomendasi agar kegiatan yang belum responsif gender menjadi responsif gender, yang tercermin dalam pernyataan tujuan, output dan outcome. Secara khusus alat analisis ini akan dibahas secara detail dalam sesi 7 dari modul ini.

C. Analisis Gender dari Empat Dimensi Anggaran Alat analisis ini digunakan untuk menilai realisasi dan dampak gender dari suatu program/sektor. Alat analisis ini merupakan operasionalisasi dari langkah keempat dan kelima dari lima langkah anggaran responsif gender. Langkah yang dilakukan adalah memilih menteri atau program, dan selama siklus anggaran memeriksa rencana dan realisasi dari: input finansial, kegiatan yang didanai, output yang disampaikan, dan dampaknya pada kesejahteraan manusia.

D. Uji Cepat Anggaran Responsif Gender (UC ARG) Alat analisis ini muncul karena ada kebutuhan untuk mengembangkan satu analisis sederhana terkait dengan APBD responsif gender sesuai dengan konteks Indonesia. Kebutuhan ini muncul berdasarkan situasi lapangan di mana pihak terkait sering menanyakan apa yang dimaksud dengan anggaran responsif gender. Jika dikaitkan dengan empat tahapan yang ada dalam siklus APBD (penyusunan, pembahasan dan penetapan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban), tiga alat analisis yang sudah dijelaskan di atas merupakan alat yang dapat digunakan dalam tahap penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Sementara itu, belum ada alat analisis yang dapat digunakan dalam tahap pembahasan dan penetapan APBD. Kriteria sederhana anggaran responsif gender dibutuhkan untuk mengatasi kekosongan ini, untuk menguji draf RAPBD yang diserahkan oleh TAPD kepada DPRD dan pada saat evaluasi APBD Kota/Kabupaten oleh Tim Evaluator Provinsi. Kriteria umum anggaran responsif gender disusun berdasarkan target-target dalam MDGs dan CEDAW yang mencakup empat kriteria utama, yaitu: 1) memprioritaskan

163

pembangunan manusia, 2) memprioritaskan upaya-upaya untuk mengurangi kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan, 3) memprioritaskan upaya penyediaan pelayanan publik yang berkualitas bagi masyarakat, dan 4) memprioritaskan upaya-upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Empat kriteria ini kemudian diturunkan menjadi daftar pertanyaan.

Tabel 6.4 Daftar Pertanyaan Uji Cepat Anggaran Responsif Gender (UC ARG)
No Daftar Pertanyaan
Kriteria 1: Memprioritaskan pembangunan manusia 1 2 3 Apakah alokasi untuk sektor pendidikan mencapai 20%? Apakah alokasi untuk sektor kesehatan mencapai 5%? Apakah ada kegiatan untuk mengatasi tingginya Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI)? Apakah anggarannya memadai? Apakah ada kegiatan untuk mengatasi tingginya Angka Kematian Bayi (AKB)? Apakah anggarannya memadai? Apakah ada kegiatan untuk mengatasi kasus gizi buruk)? Apakah anggarannya memadai? Apakah ada kegiatan untuk mengatasi penyakit menular (malaria, HIV, TBC, dst)? Apakah anggarannya memadai? Apakah ada kegiatan untuk untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, baik laki-laki maupun perempuan, terutama untuk jenjang pendidikan SMP ke atas? Apakah anggarannya memadai?

Ya

Tidak

Keterangan

5 6

Kriteria Kedua: Memprioritaskan upaya-upaya untuk mengurangi kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan 8 Apakah ada kegiatan untuk meningkatkan tingkat partisipasi siswa perempuan di setiap jenjang pendidikan? Apakah anggarannya memadai? Apakah ada kegiatan untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan? Apakah anggarannya memadai?

10 Apakah ada kegiatan untuk peningkatan kapasitas pegawai perempuan di pemerintahan? Apakah anggarannya memadai? 11 Apakah ada kegiatan untuk meningkatkan TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan? Apakah anggarannya memadai?

164

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

Kriteria Ketiga: Memprioritaskan upaya-upaya penyediaan pelayanan publik yang berkualitas bagi masyarakat 12 Apakah ada alokasi yang memadai untuk Puskesmas, Posyandu dan rumah sakit? 13 Apakah ada kegiatan untuk penyediaan air bersih? Apakah anggarannya memadai? 14 Apakah ada alokasi yang memadai untuk institusi sekolah? Kriteria Keempat: Memprioritaskan upaya-upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat 15 Apakah ada kegiatan untuk bantuan modal keluarga miskin, dengan memperhatikan secara khusus perempuan kepala keluarga? Apakah anggarannya memadai? 16 Apakah ada anggaran yang memadai untuk pembinaan ekonomi rakyat?

Keterangan: 1. Daftar pertanyaan UC ARG dibuat sesederhana mungkin dengan mengambil hal-hal yang paling pokok dari MDGs dan CEDAW yang berkontribusi pada pencapaian IPM dan IPG. Ukuran memadai atau tidaknya suatu alokasi dapat dikomparasikan dengan kebutuhan berdasarkan data maupun komparasi dengan anggaran kota/ kabupaten tetangga.

2.

165

Contoh Hasil Analisis RAPBD Perubahan Tahun Anggaran 2008 Kabupaten Tasikmalaya A. Pendahuluan
Anggaran publik adalah instrumen penting untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dalam anggaran publiklah, prioritas kebijakan dan pengalokasian sumber daya akan tertampung. Dengan menganalisis anggaran, bisa diketahui sejauh mana prioritas kebijakan dan pengalokasian sumber daya telah sesuai dengan tujuan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Idealnya, APBD harus berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor) dan dapat mengatasi ketimpangan gender. Keberpihakan APBD menunjukkan sejauh mana pemerintah daerah menunjukkan komitmennya untuk mensejahterakan masyarakat. Untuk melihat sejauh mana komitmen pemerintah Kabupaten Tasikmalaya terhadap upaya mensejahterakan masyarakatnya, PATTIRO bersama FORPAT melakukan kajian cepat terhadap RAPBD Perubahan 2008. Hasil dari kajian ini diharapkan menjadi rekomendasi bagi eksekutif maupun legislatif pada saat pembahasan, dalam kerangka terwujudnya anggaran yang responsif gender dan pro poor.

B. Hasil Analisis RAPBD Perubahan 2008


1. Analisis Umum a. Analisis Pendapatan Pendapatan daerah Kabupaten Tasikmalaya yang terbesar bersumber dari dana perimbangan, yaitu dari Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 789.565.360.000 atau 78,70%. Sementara, sumber pendapatan dari Pendapatan Asli Daerah(PAD) hanya sebesar Rp 37.695.483.605 atau 3,26%. Penyumbang PAD terbesar berumber dari Retribusi yang di dalamnya termasuk retribusi kesehatan sebesar Rp 9.723.428.978 atau 30,35%. Perbandingan Pendapatan Daerah dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 6.5 Pendapatan Daerah Kabupaten Tasikmalaya di RAPBD 2008


Sumber Pendapatan PAD DAU DAK Lain-lain pendapatan yang sah Total Pendapatan Jumlah 37.695.483.605 789.565.360.000 67.305.000.000 54.323.927.795 1.003.283.707.167 % 3,76 78,70 6,71 5,41

166

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

Grafik 6.1 Pendapatan Daerah Kabupaten Tasikmalaya di RAPBD 2008

PAD Kabupaten Tasikmalaya ke depan bisa dinaikkan targetnya karena pertimbangan potensi dan populasi pajak yang ada, seperti keberadaan hotel, papan iklan dan pertanian. Jadi sangat memungkinkan bagi Kabupaten Tasikmalaya meningkatkan target PAD-nya setiap tahun lebih besar lagi dibanding saat ini. b. Analisis Belanja Belanja tidak langsung mencapai 69,11% atau Rp 801.958.407.108 dari total belanja langsung sebesar Rp 1.160.446.090.727. Sedangkan, belanja langsung hanya dialokasikan Rp 358.487.683.618 atau 30,89%. Dengan demikian, anggaran di RAPBD Perubahan 2008 masih banyak dialokasikan untuk penerima manfaat aparat pemerintah. Perbandingan belanja tidak langsung dan belanja langsung dapat dilihat pada gambar berikut:

Grafik 6.2 Perbandingan Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung

167

Selanjutnya, penelusuran dan analisis masih harus dilakukan untuk mengetahui mengapa belanja tidak langsung lebih besar dibanding belanja langsung. Misalnya, menelusuri data jumlah pegawai PNS dan TKK di Kabupaten Tasikmalaya. c. Analisis Pembiayaan Dalam RAPBD Perubahan 2008 Kabupaten Tasikmalaya, penerimaan pembiayaan hanya bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Tahun Lalu (SILPA) sebesar Rp 182.391.575.310. Ini berati serapan belanja pada tahun lalu masih belum optimal. Adapun pengeluaran pembiayaan diperuntukkan: 1. 2. 3. 4. Pembentukan dana cadangan sebesar Rp 2.500.000.000. Penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah sebesar Rp 10.000.000.000. Pembayaran pokok utang sebesar Rp 12. 729.191.750. Pembiayaan neto (defisit belanja) sebesar Rp 157.162.383.560.

Adanya pembayaran pokok utang yang mencapai Rp12,7 miliar, masih perlu penelusuran lebih lanjut. 2. Analisis Khusus Per Sektor a. Perbandingan Alokasi Antarsektor Dari 27 urusan pemerintahan atau SKPD yang ada, terdapat 5 SKPD yang mendapatkan alokasi lebih besar dibandingkan dengan SKPD yang lainnya. Kelima SKPD tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel 6.6 Lima SKPD Terbesar Penerima Alokasi APBD 2008


No. 1 2 3 4 5 Nama SKPD Dinas Pendidikan Dinas Kesehatan Dinas Pekerjaan Umum Dinas Permukiman Tata Ruang dan LH Sekretariat Daerah Sebelum Perubahan(Rp) 381.558.969.200 46.703.790.300 62.310.383.200 31.194.575.200 357.341.944.910 Setelah Perubahan (Rp) 482.628.840.250 54.532.826.800 86.956.292.275 59.832.537.000 269.726.856.112 Kenaikan (%) 26,49 16,75 39,55 91,80 (24,52) % dari Total Belanja 41,59 4,70 7,49 5,16 23,24

168

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

Grafik 6.3 Lima SKPD Terbesar Penerima Alokasi APBD 2008

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa dinas Pendidikan menempati peringkat pertama (41,59%), peringkat kedua Sekretariat Daerah (23,24%), peringkat ketiga DPU (7,49%), peringkat keempat dinas Permukiman Tata Ruang dan LH (5,16%), dan peringkat kelima dinas Kesehatan (4,7%). Alokasi untuk dinas Kesehatan sebesar Rp 54.532.826.800, terdiri dari komposisi Belanja Tidak Langsung sebesar Rp 35.246.130.700 atau 64,63% yang seluruhnya diperuntukkan untuk belanja pegawai. Sedangkan Belanja Langsung sebesar Rp 19.277.696.100 atau 35,35 %. Berikut gambar perbandingan belanja pada dinas Kesehatan:

Grafik 6.4

169

b. Program/Kegiatan Responsif Gender pada sektor Dinas Kesehatan Berikut ini beberapa program responsif gender di dinas Kesehatan:

Tabel 6.7 Program Responsif Gender di Dinas Kesehatan


No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Nama Program/Kegiatan Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Peningkatan Kesehatan Masyarakat Peningkatan pelayanan dan Penanggulangan Masalah Kesehatan Peningkatan Kesehatan Anak Sekolah Pemberian Tambahan Makanan dan Vitamin Pemberdayaan Masyarakat untuk Pencapaian Keluarga Sadar Gizi Pelayanan Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin Pembinaan dan Pengembangan Posbindu c. Potensi Pemborosan Beberapa temuan hasil analisis, ditemukan di beberapa mata anggaran yang diindikasikan melebihi kebutuhan, sehingga jika dibiarkan akan berpotensi menimbulkan pemborosan. Berikut hasil temuan yang diindikasikan sebagai pemborosan: Jumlah Anggaran (Rp) 2.073.585.000 4.800.000 70.000.000 10.000.000 379.360.000 86.022.00 166.000.000 83.000.000 10.720.000

Tabel 6.8 Temuan Indikasi Pemborosan RAPBD Perubahan 2008


No Program/Kegiatan
1 2 Rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah Program peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah/wakil a Dialog/audiensi dengan tokoh masyarakat/pimpinan/ anggota organisasi sosial dan kemasyarakatan b Penerima kunjungan kerja pejabat negara/departemen/ lembaga pemerintah non-departemen/luar negeri c Rapat koordinasi unsur Muspida d Rapat koordinasi pejabat pemerintahan daerah e Kunjungan kerja/inspeksi kepala daerah/wakil kepala daerah f Koordinasi dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintah lainnya g Menghadiri rapat dan undangan di luar daerah h FGD

Jumlah Anggaran (Rp)


1.000.000.000 5.000.000.000 350.000.000 400.000.000 370.000.000 200.000.000

Pos Anggaran
Sekda Sekda Sekda Sekda Sekda Sekda Sekda Sekda Sekda Sekda

2.186.340.000 633.840.000 439.320.000

170

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

d. Ketimpangan Anggaran Dalam RAPBD Perubahan 2008, terdapat beberapa ketimpangan alokasi anggaran antara penerima manfaat masyarakat dengan aparat. Berikut beberapa contoh ketimpangan:

Tabel 6.9 Ketimpangan Alokasi untuk Penerima Manfaat Aparat dan Masyarakat
SKPD Penerima Manfaat Aparat Nama Kegiatan Jumlah (Rp) Penerima Manfaat Masyarakat SKPD Nama Kegiatan Jumlah(Rp) Pembinaan dan pengembangan Posbindu Pelayanan kesehatan penduduk miskin Peningkatan kesehatan masyarakat 10.720.000

Sekretariat Kunjungan kerja/ Daerah inspeksi bupati/wakil

420.000.000 Dinkes

Sekretariat Koordinasi dengan 2.186.340.000 Dinkes Daerah pemerintah pusat dan pemerintah lainnya Sekretariat Rapat-rapat koordinasi 1.000.000.000 Dinkes Daerah dan konsultasi ke luar daerah

83.000.000

4.800.000

Dari tabel di atas dapat dilihat program peningkatan kesehatan masyarakat hanya dialokasikan sebesar Rp 4.800.000. Dengan jumlah yang sangat kecil ini, kita patut mempertanyakan seperti apa bentuk programnya dan output apa yang ingin dicapai dari kegiatan ini. Begitu pula dengan kegiatan pelayanan kesehatan penduduk miskin, berapa masyarakat miskin yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan di 29 kecamatan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya, dengan alokasi anggaran Rp 83 juta. e. Program/Kegiatan yang Belum Mengarah pada Penyelesaian Persoalan Dalam RAPBD 2008, ditemukan beberapa kegiatan yang belum mengarah pada penyelesaian persoalan yang terjadi di masyarakat. Misalnya untuk penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan (KDRT), kegiatan yang dilakukan baru sosialisasi sistem pencatatan dan pelaporan KDRT dianggarkan sebesar Rp 50 juta. Padahal berdasarkan data PUSPITA Puan Amal Hayati Cipasung dalam Laporan Kegiatan Meeting to Discuss First of Draft KDA tahun 2007, kerja sama BPS dengan UNFPA, KDRT pada tahun 2007 berjumlah 36 kasus. Jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun 2006 yang mencatat 31 kasus. Semestinya dengan banyaknya kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, kegiatan lebih mengarah pada penyelesaian persoalan, seperti penyediaan shelter dan pendampingan bagi korban. Berikut beberapa kegiatan yang belum mengarah pada penyelesaian persoalan yang terjadi di masyarakat:

171

Tabel 6.10 Program dan Kegiatan Terkait Gender


No Nama Program/Kegiatan
1

Jumah Anggaran Pos Anggaran (Rp) (Rp)


Sekda

2 3

Program keserasian kebijakan peningkatan kualitas anak dan perempuan Pelaksanaan sosialisasi yang terkait dengan 50.000.000 kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Program peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan Sosialisasi sistem pencatatan dan pelaporan KDRT 26.000.000 Program peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak Pendataan sasaran KIA 106.080.000 Monitoring, evaluasi, dan pelaporan 19.080.000

Sekda Dinkes Dinkes

3. Perbandingan Anggaran Dinas Kesehatan dalam PPAS dengan RAPBD


Dengan membandingkan antara dokumen Plafon dan Anggaran Sementara(PPAS) dengan RAPBD, kita dapat mengetahui mana saja program/kegiatan responsif gender dan yang berpihak kepada masyarakat yang diusulkan dinas Kesehatan yang, tapi tidak diakomodir dalam RAPBD. Berikut tabelnya:

Tabel 6.11 Usulan Program Responsif Gender Dinas Kesehatan


Nama Kegiatan
Pengembangan desa siaga KMS Balita Pencegahan dan pemberantasan malaria Pencegahan dan pemberantasan filaria Pencegahan penyakit (imunisasi) Pencegahan dan pemberantasan HIV Surveilans epidemologi penyakit Penyelenggaraan operasi katarak Rehabilitasi berat/sedang Pustu Pelatihan kegawatdaruratan bagi perawat Pelatihan PHN tentang asuhan keperawatan Transtor petugas pelayanan asuhan kesehatan gigi Pelayanan kesehatan masyarakat miskin di luar tanggungan Depkes Kemitraan bidan dan paraji

Jumlah (Rp)
50.000.000 48.000.000 11.000.000 40.000.000 25.000.000 50.000.000 25.000.000 100.000.000 750.000.000 60.000.000 28.000.000 12.000.000 750.000.000 100.000.000

Semua program/kegiatan yang ada dalam PPAS dan tidak masuk dalam RAPBD Perubahan 2008 merupakan program/kegiatan yang berpihak kepada masyarakat. Hilangnya program/kegiatan tadi tidak terlepas dari persoalan klasik, yaitu keterbatasan anggaran. Keterbatasan anggaran sebetulnya dapat disiasati dengan memilih prioritas pembangunan yang lebih berpihak kepada publik.

172

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

Seperti kegiatan Kemitraan bidan dan paraji di dinas Kesehatan yang diusulkan dalam PPAS Perubahan 2008, sebetulnya tidak musti hilang kalau Pemda Kabupaten Tasikmalaya memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang berpihak kepada perempuan dan masyarakat miskin. Alternatifnya adalah mengurangi jumlah anggaran untuk kegiatan Koordinasi kepala daerah dan wakilnya dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya yang dianggarkan sangat besar mencapai Rp 2,186 miliar. Dengan anggaran sebesar itu, berarti bupati dan wakilnya per bulan mengahabiskan dana sebesar Rp 182 juta hanya untuk koordinasi dan konsultasi. Selain itu, dianggarkan juga Rp 1 miliar untuk kegiatan Rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah pada pos yang sama di Sekda. Bandingkan dengan kegiatan Peningkatan kesehatan masyarakat yang hanya dianggarkan sebesar Rp 4,8 juta. Padahal penerima manfaatnya masyarakat. Selain itu, agar kegiatan-kegiatan prioritas di atas tidak hilang dalam RAPBD Perubahan 2008, pemda juga dapat mengurangi Pembelian kendaraan dinas yang dianggarakan sebesar Rp 2,5 miliar. Selain itu, setiap tahun selalu dianggarkan pembelian kendaraan dinas ini. Jika pemerintah Kabupaten Tasikmalaya berkomitmen untuk mencapai tujuan 8 prioritas pembangunan yang tertuang dalam KUA dan PPAS, ketimpangan alokasi anggaran di atas tidak harus terjadi. Pemerintah harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah yang ada dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006, di mana salah satu prinsipnya adalah bermanfaat bagi masyarakat.

4. Analisis Anggaran Responsif Gender Sektor Kesehatan


Analisis dilakukan dengan 4 langkah, yaitu: 1. 2. 3. 4. Analisis situasi berdasarkan data terpilah. Identifikasi permasalahan gender dan faktor penyebab. Menganalisis kebijakan yang telah ada. Menyusun rekomendasi.

Langkah 1: melakukan analisis situasi berdasarkan data terpilah 1. Angka Harapan Hidup (AHH) Angka Harapan Hidup (AHH) di Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6.12 Angka Harapan Hidup Kabupaten Tasikmalaya


Tahun 2004 2005 2006 Angka Harapan Hidup 66,72 67,05 67,45

AHH ini sangat terkait dengan Angka Kematian Ibu (AKI) saat ibu bersalin. Berikut situasi persalinan dan persentase kematian ibu melahirkan antara tahun 2000 2005:

173

Tabel 6.13 Persentase Kematian Ibu Melahirkan Periode 2000-2005


Variabel 2000 Bulin Nakes % Bulin Nakes terhadap Total Bulin % Bulin Paraji terhadap Total Bulin Kematian Ibu Bersalin 32.257 63,76% 36,24% 66 2001 Tahun 2002 2003 28.858 64,21% 35,79% 42 2004 2005

33.830 23.779 66,87% 62,76 % 33,13% 41 37,24% 47

24.329 24.270 74,59% 48,2% 25,41% 51,8% 32 30

Sumber : Bidang Binkesmas Dinkes Tasikmlaya.

Sementara persentase penolong persalinan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2007 adalah 33,82%. Ini berarti persalinan oleh paraji/dukun masih lebih tinggi. (Sumber: dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya dalam laporan kegiatan meeting to discuss first of draf KDA Kabupaten Tasikmalaya tahun 2007). Fakta lainnya menunjukkan, sebaran tenaga kesehatan terutama bidan desa belum merata. Bahkan di satu kecamatan, ada jumlah bidan melebihi jumlah desa yang ada. Untuk mendekatkan akses masyarakat dengan pelayanan kesehatan, seyogyanya pemerintah membuat kebijakan menempatkan bidan-bidan desa, terutama di daerahdaerah terpencil yang sulit menjangkau Puskesmas. Penempatan bidan-bidan di desa juga perlu diimbangi dengan adanya kebijakan pemberian insentif yang lebih tinggi bagi bidan-bidan desa agar kesejahteraan mereka lebih terjamin, sehingga mereka tidak memasang tarif persalinan yang mahal bagi masyarakat miskin. 2. Tingkat Kematian Bayi Secara umum, tingkat kematian bayi cenderung menurun lambat, sehingga AKB Kabupaten Tasikmalaya masih di AKB angka Jawa Barat. Penyebab AKB di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2005: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. BBLR 72( 29,02%), Cacat Bawaan 63 (22,83%), Infeksi 54 (19, 56%), Aspiksia 38 (13,77%), Aspirasi 31 ( 11,23%), Meningitis 10 ( 3,62%), Diare 4 ( 1,45%), Kecelakaan 3 (1,09%), dan KP 1 (0,36%).

Total AKB : 276 bayi.


(Sumber data : Renstra dinas Kesehatan 2006 2010)

Adapun penyebab AKB di Tasikmalaya pada 2007 adalah BBLR 76 orang, Aspiksia 39 orang, ISPA/Pneumonia 28 orang, aspirasi 22 orang, TN 1 orang, lain-lain 62 orang, sehingga total AKB: 228 bayi (Sumber data: dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya dalam laporan

174

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

kegiatan meeting to discuss first of draft KDA Kabupaten Tasikmalaya tahun 2007). 3. Kasus Gizi Buruk Jumlah gizi buruk di Kabupaten Tasikmlaya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6.14 Gizi Buruk di Kabupaten Tasikmalaya


Tahun 2006* 2007**
Keterangan tabel : *: Sumber data: Profil Kesehatan tahun 2006 ** : Sumber data: dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya dalam laporan kegiatan meeting to discuss first of draf KDA Kabupaten Tasikmalaya 2007. ***: tidak tercantum Jika dilihat dari tabel di atas, jumlah gizi buruk mengalami kenaikan pada tahun 2007 menjadi 0,78%.

Balita Gizi Kurang 11,19% ***

Balita Gizi Buruk 0,44% 0,78%

Kesimpulan dari data-data di atas sebagai berikut: AHH masih rendah, padahal AHH merupakan salah satu komponen IPM. Meningkatkan AHH berarti menurunkan AKB. Persentase penolong persalinan yang masih rendah oleh tenaga kesehatan, yakni 33, 82%. Penyebab AKB terbesar adalah BBLR. Kasus gizi buruk meningkat dari 0,44% menjadi 0,78. Kasus gizi kurang yang juga harus mendapat pengawasan, karena apabila tidak ditangani akan menjadi kasus balita gizi buruk.

Langkah 2: mengidentifikasi permasalahan gender dan faktor penyebabnya Jika dilihat dari kebutuhan, permasalahan kesehatan tadi merupakan kebutuhan praktis gender yang merujuk pada kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar diperlukan oleh perempuan dan laki-laki. Tetapi, karena perempuan sering ditempatkan pada posisi untuk merawat keluarga, mereka akan lebih diuntungkan ketika kebutuhan dasarnya terpenuhi. Persoalan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan dasar perempuan belum optimal terpenuhi. Tentu saja permasalahan kesehatan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti yang terdapat dalam tabel di bawah ini:

175

Tabel 6.15 Penyebab Permasalahan Kesehatan


Faktor Penyebab Tingginya AKI, AKB dan Gizi Buruk Faktor lingkungan Faktor ekonomi Faktor budaya Faktor kebijakan
Kesadaran masyarakat Masih rendahnya daya beli tentang kesehatan masih masyarakat. Mata pencarendah. Lingkungan belum harian masyarakat adalah mendukung terciptanya bertani dan sebagian buhidup sehat melalui ma- ruh. Rendahnya daya beli kanan bergizi. Ibu hamil masyarakat ini mengakidan balita banyak yang batkan mereka tidak mengalami gizi buruk. mampu memenuhi kebutuhan gizi mereka dan anak-anak. Perempuan ketika akan melahirkan harus menunggu keputusan suami dulu, belum bisa menentukan keputusannya sendiri akan melahirkan di mana. Belum ada kebijakan komprehensif yang dilakukan pemerintah untuk menangani masalah ini.

Langkah 3: menganalisis kebijakan yang ada Untuk mengatasi masalah AKI dan AKB, pemerintah Kabupaten Tasikmalaya belum melakukan kebijakan yang komprehensif. Perda yang mengatur hal ini, baru akan digagas oleh Tim Ad Hoc KIBBLA. Selain itu, kebijakan melalui program/kegiatan-kegiatan yang ada, belum didukung anggaran yang memadai. Berikut program/kegiatan yang ada dalam APBD 2008 menyangkut permasalahan penyelesaian AKI dan AKB yang diakibatkan oleh gizi buruk:

Tabel 6.16 Program Terkait AKI dan AKB


No Nama Kegiatan
1 Pemberian tambahan makanan dan vitamin

Anggaran (Rp)
44.640.000

Keterangan
Minimnya alokasi anggaran (belum memadai) untuk pemberian makanan tambahan bagi Bumil dan Balita. Ada kesepakatan untuk melakukan advokasi peningkatan alokasi anggaran kegiatan ini. Belum dapat diketahui bentuk/metode kegiatan ininya. Jumlah anggaran ini sangat tidak masuk akal untuk sebuah kegiatan. Output apa yang ingin dicapai dengan kegiatan yang hanya didanai anggaran Rp 4,8 juta ?

Pemberdayaan masyarakat 86.022.000 untuk pencapaian keluarga sadar gizi Peningkatan kesehatan 4.800.000 masyarakat

Langkah 4: menyusun rekomendasi Dari permasalahan dan kebijakan di atas, berikut rekomendasi yang diusulkan: a. Dalam meningkatkan AHH melalui penurunan AKI dan AKB, penanggulangan gizi buruk merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan. Oleh karenanya, dari kegiatan yang sudah ada yaitu Pemberian Tambahan Makanan dan Vitamin, anggaran yang dialokasikan pun harus memadai. Saat ini, dalam APBD 2008, alokasi anggaran untuk mengatasi persoalan tadi senilai Rp 44.640.000. Berapa alokasi yang dibutuhkan untuk penanganan gizi buruk bagi balita dan ibu hamil, berikut adalah hasil analisis biaya yang dibuat oleh FORPAT :

176

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 6

Analisis APBD

Kasus gizi buruk di kab. Tasikmalaya sebanyak 646 (data Dinkes 2006) khusus untuk balita saja. Perhitungan JPS untuk PMT balita gizi buruk adalah: 5.000,-/balita/hari/ bulan (selama 3 bulan), maka Dana untuk PM: 646x5.000x30x3 = Rp 290.700.000. Alokasi dalam APBD= Rp 44.640.000, maka dana yang perlu ditambahkan adalah sebesar = Rp 246.060.000. b. Untuk menambahkan jumlah anggaran tadi, maka ada beberapa anggaran yang dapat direalokasi, mengingat jumlah anggaran tersebut sangat besar dan penerima manfaatnya adalah pejabat. Pemerintah dapat melakukan penghematan anggaran dari pos alokasi di bawah ini:

Tabel 6.17 Pos Anggaran yang Dapat Dihemat dan Menjadi Sumber Realokasi Anggaran
No Nama Kegiatan
1

Anggaran

SKPD
Sekda

Keterangan
Setiap bulan pejabat (Sekda) menghabiskan dana Rp 83 juta hanya untuk koordinasi. Begitu pula dengan bupati/ wakilnya, setiap bulan menghabiskan dana sebesar Rp 182 juta untuk konsultasi dan koordinasi. Bahkan untuk menghadiri rapat dan undangan dari pusat dan provinsi pun, masih harus dianggarakan. Alokasi ini bisa dihemat sekecil mungkin, mengingat maksud dan tujuan ketiga kegiatan ini sama.

Rapat-rapat koordinasi 1.000.000.000 dan konsultasi ke luar daerah

Koordinasi dengan 2.186.340.000 pemerintah pusat dan dengan pemerintah lainnya Menghadiri rapat dan 633.840.000 undangan di luar daerah (pusat/provinsi) Pengadaan kendaraan 2.500.000.000 dinas

Sekda

Sekda

Sekda

Anggaran ini bisa dihemat, berdasarkan kebutuhan jumlah kendaraan yang akan dibeli, karena setiap tahunnya pasti ada alokasi untuk pembelian kendaraan dinas.

c.

Program persalinan gratis bagi ibu hamil sangat penting untuk menurunkan AKI dalam upaya pencapaian MDGs. Usulan program ini kaarena kematian ibu hamil biasanya dialami kalangan kurang mampu. Untuk mencapai visi dan misi serta tujuan prioritas pembangunan, pemda hendaknya dapat menyusun rencana anggaran berdasarkan kebutuhan dan prioritas pembangunan. Dari beberapa temuan di atas, berikut beberapa rekomendasi: 1. 2. 3. 4. Program yang responsif gender harus didukung dengan alokasi anggaran yang memadai. Dalam menyusun program/kegiatan perlu adanya prioritisasi program/kegiatan berdasarkan kebutuhan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Meminimalisasi anggaran yang penerima manfaatnya bukan publik. Alokasi anggaran harus memperhatikan asas pengelolaan keuangan daerah, yaitu bermanfaat bagi masyarakat berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006.

d.

C. Rekomendasi Umum

177

Bahan Presentasi 6.1


1 2

Analisis APBD
Merupakan metode untuk menilai APBD, yaitu menilai kaitan antara isi APBD, fungsi APBD dan realita di masyarakat Landasan analisis APBD adalah hakikat anggaran sebagai uang rakyat yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat

Analisis APBD

Tahapan Analisis APBD


1. Menentukan tujuan analisis 2. Mengumpulkan aturan perundangan yang relevan 3. Mengumpulkan dokumen APBD 4. Melakukan analisis 5. Menyusun laporan hasil analisis 6. Mendiseminasikan laporan hasil analisis

Tipe Analisis
Analisis Umum: melihat kinerja APBD secara keseluruhan, baik dari sisi penerimaan, belanja maupun pembiayaan Analisis Khusus: analisis terhadap suatu sektor/program/kegiatan Analisis Cross-cutting issues: analisis anggaran pro poor dan responsif gender

178

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Pengantar
Salah satu bentuk nyata dari reformasi pengelolaan keuangan negara adalah diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menerapkan sistem Anggaran Berbasis Kinerja (ABK), menggantikan anggaran tradisional. Sistem ABK menuntut penyusunan anggaran lebih transparan dan akuntabel dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Pemberlakuan sistem ABK juga telah menciptakan momentum bagi implementasi pengarusutamaan gender dalam program-program pembangunan. Pengarusutamaan gender sangat penting dilakukan dalam kegiatan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD). Langkah ini mutlak dilakukan sebagai upaya nyata mewujudkan anggaran responsif gender. Dokumen RKA SKPD merupakan dokumen yang berisi rincian suatu program/ kegiatan yang dilengkapi dengan anggaran.

179

Tujuan:
Peserta memahami mengenai prinsip Anggaran Berbasis Kinerja. Peserta memiliki kemampuan mengintegrasikan perspektif gender dalam setiap program/kegiatan SKPD. Peserta memiliki kemampuan menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA SKPD) responsif gender.

Metode:
Curah pendapat Diskusi kelompok Presentasi

Waktu:
150 menit

Alat dan Bahan:


Kertas plano Spidol Metaplan

Media:
RKA SKPD dari beberapa dinas Lembar Bantu Belajar 7.1 Bahan Bacaan 7.1 Bahan Bacaan 7.2 Bahan Presentasi 7.1 Bahan Presentasi 7.2

Catatan untuk Fasilitator:


Akan lebih baik jika RKA SKPD yang dianalisis berasal dari kabupaten/kota masing-masing peserta. Dokumen RKA SKPD yang ada dalam modul ini hanya digunakan sebagai cadangan. Sesi 7 merupakan sesi kunci pelatihan. Di sesi ini peserta akan diajak memahami bagaimana strategi PUG diturunkan secara operasional dalam program/kegiatan SKPD dan anggarannya, sehingga responsif gender. Fasilitator hendaknya mendampingi proses diskusi kelompok secara intensif karena pada saat inilah perdebatan tentang program/kegiatan yang responsif gender terjadi. Fasilitator harus memastikan bahwa setelah mengikuti sesi 7, peserta memiliki keterampilan menyusun RKA SKPD responsif gender.

Tahapan Proses
Pembukaan (10 menit)
Fasilitator membuka sesi 7 dan menjelaskan tujuan sesi secara singkat. Fasilitator me-review hasil diskusi di sesi 4 tentang materi menyusun materi program responsif gender.

180

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Presentasi (25 menit)


Fasilitator mempresentasikan Bahan Presentasi 7.1 secara singkat. Versi lengkap bahan presentasi, yaitu Bahan Bacaan 7.1 dibagikan kepada peserta. Fasilitator meminta tanggapan singkat peserta atas isi presentasi dan kemudian mengajak peserta melakukan diskusi kelompok. Fasilitator membagi peserta menjadi empat kelompok dan membagikan Lembar Bantu Belajar 7.1 dan Bahan Bacaan 7.2. Fasilitator menjelaskan aturan main diskusi kelompok yang terdapat di Lembar Bantu Belajar 7.1 dan menginformasikan Bahan Bacaan 7.2 menjadi pedoman untuk mengerjakan tugas kelompok. Waktu yang disediakan untuk diskusi kelompok 45 menit. Fasilitator mempersilakan kelompok 1 dan 2 untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dan meminta kelompok 3 dan 4 untuk menanggapi. Fasilitator mencatat inti presentasi kelompok 1 dan 2 dan tanggapan peserta serta menyampaikan review secara singkat. Fasilitator mempersilakan kelompok 3 dan 4 mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dan meminta kelompok 1 dan 2 untuk menanggapi. Fasilitator mencatat inti presentasi kelompok 3 dan 4 dan tanggapan peserta serta menyampaikan review secara singkat. Untuk memperdalam pemahaman peserta, fasilitator menayangkan Bahan Presentasi 7.2 dan menjelaskan isinya secara singkat. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanggapi hasil diskusi maupun isi presentasi seputar penyusunan RKA SKPD responsif gender. Fasilitator bersama peserta menyimpulkan sesi ini, yaitu: Penyusunan RKA responsif gender merupakan satu tuntutan mutlak dalam upaya mewujudkan anggaran responsif gender. RKA SKPD responsif gender yang telah dibuat perlu dikawal dalam implementasinya untuk memastikan bahwa program atau kegiatan berjalan sesuai dengan rencana. Kesulitan menyusun RKA SKPD responsif gender muncul karena adanya keterbatasan format 2.2.1 dalam Permendagri No. 59 Tahun 2007. Kesulitan ini dapat diatasi dengan membuat dokumen pendukung dalam bentuk ToR Kegiatan.

Diskusi Kelompok (45 menit)


Curah Pendapat (45 menit)

Presentasi (15 menit)


Penutup (10 menit)

181

Bahan Bacaan 7.1 Anggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender


A. Urgensi Anggaran Berbasis Kinerja UU No. 17 Tahun 2003 merupakan peraturan yang menandai perubahan sistem anggaran dari anggaran tradisional ke anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). UU No. 17 ini kemudian diturunkan dalam peraturan di bawahnya, yaitu PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan revisinya, yaitu Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Perubahan anggaran tradisional menjadi anggaran berbasis kinerja dilakukan karena beberapa alasan, antara lain: 1. Lebih berorientasi pada masukan (input) daripada keluaran (output) Kinerja dinilai dari tingkat penyerapan penggunaan dana, bukan dari tingkat efisiensi dan efektivitas penggunaan dana. Kelemahan ini mengakibatkan adanya fenomena menghabiskan anggaran menjelang berakhirnya tahun anggaran. Hal ini dilakukan agar unit kerja dipandang memiliki kinerja yang baik karena telah menyerap (baca: menghabiskan) seluruh anggaran yang tersedia. 2. Menggunakan pendekatan inkremental Penentuan jumlah anggaran tahun ini ditentukan dengan cara menaikkan sebesar n% dari total anggaran tahun lalu. Namun penentuan persentase kenaikan ini tidak jelas dasarnya. Yang penting, anggaran tahun ini harus lebih besar daripada anggaran tahun sebelumnya. 3. Terputusnya hubungan antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan Acuan penyusunan anggaran pada era Orde Baru adalah Repelita yang sifatnya nasional sehingga isinya sangat umum sebagai konsekuensi dari sistem sentralisasi. Akibatnya tidak tersedia ruang yang cukup bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kreativitas dalam rangka mengatasi permasalahan yang khas di daerahnya masingmasing. Kelemahan-kelemahan dalam anggaran tradisional dapat diatasi oleh anggaran kinerja yang berorientasi pada capaian kinerja yang dihasilkan sebagai wujud akuntabilitas pemakaian sumber daya (APBD). B. Elemen-elemen Utama Anggaran Berbasis Kinerja Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) adalah penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja. ABK terdiri dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan serta indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran. Anggaran berbasis kinerja fokus pada pemberian layanan. Jika anggaran tradisional hanya melaporkan jumlah dana yang dialokasikan dan dibelanjakan, maka anggaran kinerja melaporkan apa yang telah dilakukan dengan uang yang ada. Oleh karena itu, dalam ukuran keberhasilan tidak ditentukan oleh habis/tidaknya anggaran melainkan ditentukan oleh tercapai/tidaknya indikator kinerja yang telah ditetapkan. Dengan demikian, indikator kinerja merupakan elemen utama yang perlu diperhatikan.

182

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Secara umum, ada tiga indikator kinerja yang biasa digunakan, yaitu input (masukan), output (keluaran) dan outcome (hasil) dan ada tiga kriteria yang biasa digunakan untuk menilainya, yaitu ekonomis, efisien dan efektif. Model anggaran berbasis kinerja dapat dilihat pada bagan berikut ini:

Bagan 7.1 Model Anggaran Berbasis Kinerja


Tujuan kebijakan Input Output Outcome

Ekonomis

Efisien

Efektif

Masukan (Input) Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menghasilkan keluaran, berisi tingkat atau besarnya sumber daya ekonomi, seperti: dana, SDM, material, waktu dan teknologi. Keluaran (Output) Barang dan jasa yang dihasilkan, baik direncanakan maupun tidak untuk disampaikan ke publik, seperti murid terdidik, pasien terobati, tempat penitipan anak, serta data finansial dan riset. Produksi atau penyampaian output adalah usaha inti badan pemerintah dan fokus kegiatan para pegawai pemerintah. Output adalah tahap antara tujuan yang dimiliki pemerintah dan outcome yang dicapai. Tolok ukur kinerja dikembangkan dengan menggunakan berbagai klasifikasi output. Empat klasifikasi yang sering digunakan adalah1: a. c. d. Kuantitas (jumlah), mengacu pada volume layanan. Ketepatan waktu, mengacu pada waktu tanggapan. Ongkos/biaya, mengacu pada biaya untuk menghasilkan output. b. Kualitas, mengacu pada standar palayanan.

Contoh output: perencanaan dan kebijakan ekonomi

Tabel 7.1 Contoh Output Perencanaan dan Kebijakan Ekonomi


Dimensi Kuantitas Kualitas Ketepatan waktu Ongkos/biaya Deskripsi Jumlah paper analisis, lokakarya, training dan konsultasi dengan para pihak terkait isu makro ekonomi Kedalaman analisis, penggunaan data dan teknik terbaik yang ada dan penyertaan konsultasi dengan para pihak Waktu penyelesaian publikasi Biaya total dan rata-rata per unit

Sharp, Ronda,Budgeting for Equity,UNIFEM,2003, page 32.

183

Output relatif mudah untuk diukur karena dua alasan.2Pertama, output terjadi di tahun anggaran bersangkutan sehingga pemerintah dapat segera melaporkan setelah tahun anggaran berakhir. Kedua, masing-masing output dapat dikaitkan langsung dengan kegiatan tertentu. Hasil (Outcome) Dampak yang terjadi dan direncanakan, hasil akhir atau akibat yang dirasakan masyarakat dari kegiatan pemerintah. Misalnya tingkat kemiskinan berkurang, angka buta huruf turun, angka harapan hidup naik, partisipasi ekonomi meningkat, pendapatan naik, polusi berkurang, keamanan nasional meningkat. Fokus outcome adalah perubahan dan akibat yang timbul dari dampak yang diharapkan oleh input dan output pemerintah. Jenis indikator outcome dapat berupa: a. Jumlah, mengacu pada cakupan yang ingin dicapai oleh pelayanan atau kebijakan pemerintah. b. Kualitas, mengacu pada kesesuaian kebijakan atau layanan dengan tujuannya. c. Akses dan keadilan, mengacu perwakilan berbagai kelompok dan dasar ketepatan waktu dan biaya untuk berbagai kelompok yang dilayani oleh akses. d. Kelayakan, kelayakan mengacu pada sebaik apa penyampaian layanan langsung memenuhi kebutuhan klien. Outcome lebih sulit untuk diukur karena dua alasan. Pertama, outcome sering membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapainya atau tidak dapat diukur dalam satu tahun anggaran. Kedua, outcome sering tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan satu program/kegiatan. Tidak semua outcome di bawah kendali satu departemen atau pemerintahan. Tingkat kemiskinan misalnya, mencerminkan pengaruh pasar dan masyarakat. Bukan sekedar akibat kegiatan pemerintah. Output dan outcome penganggaran berorientasi kinerja juga dipengaruhi oleh faktor luar. Oleh karena itu, dalam praktiknya, negara-negara lebih mengandalkan indikator output daripada outcome Input, output dan outcome harus dapat diukur dan hasilnya dinilai menurut 3E. Kriteria kinerja ekonomis digunakan untuk menilai input, efisiensi untuk menilai output, sedangkan kriteria kinerja efektivitas digunakan untuk menilai outcome. Ekonomis (Hemat) Ekonomis adalah hubungan antara pasar dan masukan (cost of input)3. Suatu alokasi disebut ekonomis jika barang/jasa input dengan kualitas tertentu dibeli dengan harga terbaik yang dimungkinkan. Misalnya, ada kertas yang kualitasnya sama namun harganya berbeda, maka yang harus dilakukan adalah membeli kertas yang harganya lebih murah. Efisien Pengertian efisiensi berhubungan erat dengan produktivitas. Pengukuran efisiensi dilakukan dengan membandingkan antara output yang dihasilkan dengan input yang digunakan (cost of output). Proses kegiatan operasional dikatakan efisien jika suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya (spending well).4 Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa penilaian efisiensi harus dilakukan dengan membandingkan antara input dengan output.
2 3 4

Budlender, Debbie, Budgeting to Fulfill International Gender and Human Rights Commitments,UNIFEM,2004,page 12. Mardiasmo, Dr. Akuntansi Sektor Publik. 2002:131. Ibid:132

184

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Efektif Pengertian efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna). Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran (output) dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Proses kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir (spending wisely)5. C. Mengintegrasikan Gender dalam Anggaran Berbasis Kinerja Ada tiga metode yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan gender dalam anggaran berbasis kinerja, yaitu:6 1. Menyertakan komponen gender pada input, output dan outcome. 2. Secara eksplisit mengidentifikasi keadilan (equity) sebagai indikator kinerja. Jadi, perlu ada E keempat yaitu equity (keadilan) setelah pertimbangan ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Menyertakan indikator kesadaran gender pada input, output dan outcome dan membuat keadilan sebagai indikator eksplisit adalah nilai tambah signifikan bagi kerangka kerja penganggaran output dan outcome yang ada. Kedua dimensi ini menggambarkan bahwa penganggaran responsif gender dapat menggunakan sarana penganggaran berbasis kinerja dengan hanya sedikit penyesuaian. Mengubah secara signifikan kerangka penganggaran berbasis kinerja saat ini. Padukan secara tepat indikator kinerja yang bisa mengenali perkembangan yang terjadi, baik yang mendekati maupun menjauhi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Secara khusus, hal itu membutuhkan penilaian ulang terhadap pemaknaan ekonomi, efisiensi dan efektivitas yang ada.

3.

Metode pertama: menyertakan komponen gender dalam input, output dan outcome. Metode ini dilakukan dengan menyusun pernyataan anggaran yang responsif gender, terutama pada output maupun outcome.

5 6

Ibid:132 Opcit,page 53-68

185

Tabel 7.2 Contoh Indikator Output Responsif Gender


Dimensi
Kuantitas

Deskripsi

Mengacu pada volume atau level output 1. Jumlah penderita kanker payudara menurut umur dan lokasi 2. Jumlah pinjaman dan hibah untuk perempuan dan laki-laki dari inisiatif usaha kecil 3. Jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga yang diberi rumah darurat setelah dianggap perlu Kualitas Mengacu pada akses dan cakupan layanan, kesesuaian antara spesifikasi layanan dengan dokumennya, penargetan konsumen, perlindungan terhadap risiko, pemenuhan standar dan kepuasan konsumen. Contoh: 1. Persentase dokumen-dokumen kebijakan ekonomi keuangan yang termasuk ekonomi pelayanan 2. Jumlah dan persentase klien yang merasa memiliki akses ke tempat penitipan anak 3. Kepuasan penghuni perumahan rakyat yang memiliki anak terhadap fasilitas yang ada, sepert air, listrik dan pembuangan sampah Ketepatan Mengacu pada satuan waktu untuk menyelenggarakan output Waktu 1. Jumlah hibah yang disetujui untuk kelompok LSM perempuan dalam jangka waktu yang ditentukan 2. Lamanya tanggapan waktu untuk pengadaan subsidi transportasi khusus, yaitu taksi bagi penderita cacat, relatif terhadap pengadaan taksi umum 3. Persentase target penyelesaian kontrak dan program penyelenggaraan layanan dibandingkan terhadap waktu penyelenggaraan yang disepakati Ongkos/Biaya Biaya bisa berupa biaya total, rata-rata, biaya per unit, suku bunga dan varian biaya pada tender dan penyelesaian. Contoh: 1. Rasio biaya pembangunan pemukiman rakyat oleh pemerintah untuk untuk keluarga miskin terhadap biaya untuk pemukiman yang dibangun oleh swasta di wilayah miskin 2. Biaya rata-rata untuk pendidikan dasar negeri untuk perempuan dan laki-laki 3. Biaya per anak yang menggunakan tempat penitipan anak

Tabel 7.3 Contoh Indikator Outcome Responsif Gender


Dimensi
Kuantitas

Deskripsi
Menunjukkan sejauh mana tujuan suatu layanan atau kebijakan tercapai. Contoh: 1. Jumlah gelandangan yang mendapat rumah 2. Persentase perempuan dan laki-laki yang merasa aman dari kejahatan Mengacu pada sebaik apa penyelenggaraan layanan memenuhi kebutuhan penggunanya. Contoh: 1. Jumlah pemukiman padat pada rumah tangga yang dikepalai perempuan 2. Jumlah laki-laki dan perempuan penderita sakit jiwa yang tidak dirawat atau tinggal bersama keluarganya 3. Proporsi laki-laki dan perempuan penghuni desa yang menerima air ledeng

Kualitas

186

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Metode kedua: menambahkan equity (keadilan) sebagai indikator kinerja Hal ini dilakukan dengan mengeksplisitkan equity (keadilan) sebagai E yang keempat setelah ekonomis, efisiensi dan efektivitas. Beda signifikan antara anggaran responsif gender dengan model penganggaran berorientasi kinerja konvensional dengan kriteria kinerja 3E-nya (ekonomis, efisiensi dan efektivitas) adalah pada fokusnya yang sempit. Dimensi pengukuran kinerja yang penting bagi inisiatif anggaran responsif gender adalah keadilan. Riset pada gender juga menunjukkan bahwa ketidakadilan menambah biaya dan oleh karenanya efisiensi terabaikan (Elson 2002a; Himmelweit 2002). Terlebih lagi, penekanan yang diberikan pada efisiensi oleh penyesuaian struktural dan kebijakan anggaran neoliberal lainnya berisiko mengorbankan keadilan. Strategi awal yang diperlukan untuk hal ini adalah fokus pada akses atau keterwakilan penerima manfaat laki-laki dan perempuan. Penambahan keadilan sebagai indikator kinerja memodifikasi model anggaran berbasis kinerja sebagaimana terlihat dalam bagan berikut :

Bagan 7.2 Modifikasi Model Anggaran Berbasis Kinerja Plus Keadilan


- Kuantitas - Kualitas - Biaya - Waktu - Equity

- Biaya - Equity

- Outcome actual - Equity

Tujuan kebijakan

Input

Output

Outcome

Ekonomis

Efisien

Efektif

Metode ketiga: menilai kembali makna ekonomis, efisien dan efektif dari perspektif anggaran responsif gender Penganggaran berorientasi kinerja berdasar pada asumsi bahwa kegiatan merawat/ melayani yang tanpa bayaran tidak relevan dengan pengukuran kinerja. Pada pendekatan konvensional, hanya kegiatan yang dibayar yang diperhatikan, sehingga secara sistematis tidak menganggap kegiatan merawat yang tanpa dibayar dan tidak memasukkannya sebagai sektor ekonomi. Kegagalan penganggaran kinerja untuk memadukan kegiatan perawatan tidak dibayar dengan kualitas kegiatan perawatan yang dibayar menimbulkan pertanyaan apakah hasil anggaran pemerintah telah dinilai dengan selayaknya menurut kriteria kinerja ekonomi, efisiensi dan efektivitas yang komprehensif karena adanya aspek problematik dari kriteria kinerja tersebut sebagaimana dijelaskan berikut ini: Ukuran ekonomis Ukuran ekonomis anggaran berorientasi kinerja dapat menyesatkan karena hanya mengukur ongkos moneter, bukan ongkos total. Jika ongkos input jatuh, maka kinerja

187

menurut konteks ekonomi, akan dianggap baik. Namun jika ongkos total berupa ongkos uang dan non-uang dipertimbangkan, maka hasilnya pada besar ukuran ekonomi berbeda. Misalnya, jika pengurangan anggaran berakibat pegawai negeri harus bekerja lembur dan dalam keadaan stres yang lebih berat, maka bisa berakibat timbul ongkos yang tidak bisa dihitung seperti banyak pegawai membolos, tekanan keluarga dan masalah kesehatan. Ongkos ini tidak hanya berdampak secara ekonomi melalui berkurangnya produktivitas dan tingginya ongkos untuk kesehatan. Namun juga, berdampak pada ekonomi rumah tangga tak dibayar terkait tuntutan waktu dan kualitas hidup dari anggota rumah tangga. Jadi mengabaikan ongkos non-moneter adalah langkah salah dalam kriteria ekonomi, dan kegiatan tak dibayar dapat menjadi sumber signifikan dari ongkos nonuang dari total ongkos input. Ukuran efisien Ukuran efisiensi penganggaran berorientasi kinerja dapat menjerumuskan karena tidak memperhatikan multiaspek dan kompleksnya dimensi kualitas dari kegiatan perawatan yang dapat dikorbankan untuk mengejar output maksimal relatif terhadap input. Misalnya mengurangi rasio guru terhadap murid, tanpa ada perubahan pada jumlah murid baru, seperti pada kasus di mana tidak ada alternatif sekolah untuk keluarga miskin, adalah meredupkan arti peningkatan pada efisiensi. Hal itu meniadakan transfer ongkos ke sektor tak dibayar, yakni dalam bentuk lembur yang tak dibayar, guru yang stres, tingkat kepuasan kerja turun, orangtua perlu ekstra input, perlu relawan untuk membantu murid yang mengalami kesulitan belajar pada saat program penyembuhan, dsb. Syarat minimum untuk menghindari langkah efisiensi yang salah, bahwa peningkatan efisiensi perlu memelihara standar kualitas. Ukuran efektif Ukuran efektif bisa menyesatkan karena ketika menilai sebaik apa output mencapai outcome yang diinginkan tidak memperhatikan semua output. Khususnya, tidak ada kontribusi tak dibayar dari kegiatan pelayanan terhadap outcome yang dihitung. Misalnya, peningkatan jumlah melek huruf adalah outcome penting dari penyelenggaraan sekolah. Namun kontribusi orangtua, anggota rumah tangga lain dan masyarakat dalam mengajari anak membaca, mendorong kegemaran membaca, mendengarkan anak belajar membaca, mendeteksi masalah buta huruf pada anak-anak dan mencari solusinya serta memberi gizi pendukung juga merupakan output penting yang mempengaruhi efektivitas alokasi sumber daya pemerintah dalam meningkatkan angka melek huruf. Dari perspektif anggaran responsif gender, jelas bahwa ukuran kinerja ekonomis, efisien dan efektif memberi dasar yang meragukan bagi pembuatan keputusan anggaran dan alokasi sumber daya. Namun tanpa mengabaikan sama sekali ukuran kinerja, perlu dikembangkan pendekatan bermata dua untuk memberi wawasan lebih dalam pada kerangka kerja dalam memadukan kerja pelayanan (Meagher 2002b). D. Peluang Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender UU No. 17 Tahun 2003 dan peraturan turunannya Permendagri No. 58 Tahun 2005, Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan revisinya Permendagri No. 59 Tahun 2007, menegaskan komitmen untuk menerapkan anggaran dengan pendekatan prestasi kerja (anggaran berbasis kinerja) dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework/MTEF) dan penganggaran terpadu (unified budget). Dalam aturan-aturan ini disebutkan bahwa:

188

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

1. Pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah Pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, di mana pengambilan keputusan terhadap kebijakan dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang tadi pada tahun berikutnya, dituangkan dalam prakiraan maju (forward estimate). 2. Prakiraan Maju (Forward Estimate) Perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan. 3. Penganggaran Terpadu (Unified Budgeting) dilakukan dengan memadukan seluruh proses perencanaan dan penganggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan di Iingkungan SKPD untuk menghasilkan dokumen rencana kerja dan anggaran. 4. Pendekatan Penganggaran Berdasarkan Prestasi Kerja Dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran yang diharapkan dari kegiatan dan hasil serta manfaat yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Contoh operasionalisasi dari pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah dapat dilihat dari RKA SKPD (form 2.2.1), di mana terdapat kolom yang berisi anggaran program/kegiatan tahun n-1, tahun n, dan tahun n+1. Selain itu, pasal 93 ayat (1), Permendagri No. 13 tahun 2006 menyebutkan penyusunan RKA SKPD didasarkan pada 5 hal, yaitu: 1. Indikator kinerja Indikator kinerja adalah ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program dan kegiatan yang direncanakan. 2. Capaian atau target kinerja Capaian atau target kinerja adalah ukuran prestasi kerja yang akan dicapai yang berwujud kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan. 3. Analisis standar belanja Analisis standar belanja adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan. 4. Standar satuan harga Standar satuan harga adalah harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku di suatu daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. 5. Standar pelayanan minimal (SPM) SPM adalah tolok ukur kinerja dalam menentukan capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. SPM terkait dengan pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sesuai dengan asas desentralisasi, yaitu adanya urusan wajib dan urusan pilihan yang dilaksanakan oleh daerah.

Berdasarkan aturan di atas, peluang untuk mengintegrasikan gender sangat besar, terutama dengan melaksanakan cara pertama (memasukkan komponen gender dalam input, output dan outcome) dan cara kedua (memasukkan equity sebagai indikator kinerja) yang akan dibahas secara rinci dalam Bahan Bacaan 7.2.

189

Bahan Bacaan 7.2 Panduan Menyusun Renja SKPD dan RKA SKPD Responsif Gender
Setiap tahun, masing-masing SKPD menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran. Dokumen perencanaan berupa Rencana Kerja (Renja) SKPD dan dokumen penganggaran berupa Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Upaya mewujudkan anggaran responsif gender oleh SKPD dilakukan dengan menyusun Renja SKPD dan RKA SKPD Responsif Gender. I. Panduan Menyusun Renja SKPD Responsif Gender1 Renja SKPD merupakan dokumen kompilasi dari usulan kegiatan responsif gender SKPD2. Dengan kata lain, usulan kegiatan responsif gender merupakan bahan utama penyusunan Renja SKPD responsif gender. A. Dokumen yang diperlukan 1. 2. 3. 4. 5. RPJMD Renstra SKPD Renja SKPD tahun sebelumnya Standar Pelayanan Minimal Data-data pendukung, sebagaimana yang dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 7.4 Data Pendukung Renja SKPD Responsif Gender


Sektor/Bidang Pendidikan Data yang Diperlukan Sumber Data

Kesehatan

Jumlah laki-laki dan perempuan yang tidak dapat BPS mengakses pendidikan Jumlah siswa putus sekolah laki-laki dan perempuan di jenjang SD, SMP dan SMA Jumlah laki-laki dan perempuan yang tidak melanjutkan ke SMP dan SMA Jumlah bayi yang meninggal BPS, Puskesmas Jumlah bayi dan balita yang kurang mendapatkan gizi baik Jumlah bidan yang ditempatkan di desa Jumlah Puskesmas dan Pustu yang mudah diakses masyarakat Jumlah ketersediaan obat dengan jumlah kunjungan setiap Puskesmas Jumlah sebaran dokter di Puskesmas Jumlah kematian ibu yang melahirkan

1 2

Disarikan dari Fitria,Menyusun Kegiatan Responsif Gender,2008,hal 51-62. Berdasarkan pasal 40, PP No. 8 Tahun 2008, Dokumen Renja SKPD memiliki outline minimal sebagai berikut: a)Pendahuluan, b) Evaluasi Pelaksanaan Renja SKPD tahun lalu, c) Tujuan, Sasaran, Program dan Kegiatan, d) Indikator Kinerja dan Kelompok Sasaran yang menggambarkan pencapaian Renstra SKPD, e) Dana Indikatif beserta sumbernya serta prakiraan maju berdasarkan pagu indikatif, f) Sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan kegiatan, g) Penutup.

190

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

B. Langkah-langkah Menyusun Kegiatan Responsif Gender Berikut ini langkah-langkah dalam kegiatan responsif gender: 1. Lihat data terakhir dari sektor terkait, misalnya pendidikan dan kesehatan. Data ini berupa data kuantitatif terpilah dan data sensitif gender3. Data berupa sensus penduduk, sistem informasi manajemen kesehatan, hasil penelitian dan lainlain. Dari data tersebut, buatlah rumusan permasalahan isu gender atau buatlah situasi yang berbeda antara perempuan, laki-laki, dewasa dan anak-anak (termasuk subsub kelompoknya, misalnya desa/kota, berdasar umur, dan sebagainya) di sektor ini. Buatlah analisis penyebab terjadinya kesenjangan gender berdasarkan rumusan permasalahan gender pada langkah kedua, baik faktor sosial, ekonomi, budaya dan kebijakan. Cek apakah telah ada kegiatan di APBD untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan gender yang telah digambarkan pada langkah kedua dan ketiga, termasuk masalah dan capaian kegiatan pada tahun sebelumnya. Buatlah kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan data dan hasil analisis gender pada langkah kedua, ketiga dan keempat. Kegiatan yang dibuat bisa berupa kegiatan baru maupun kegiatan lama (lanjutan). Kriteria yang dapat digunakan dalam menyusun kegiatan responsif gender adalah sebagai berikut: 6. Sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan yang ada dalam RPJMD dan RKPD serta dokumen perencanaan lainnya. Relevan dengan kebutuhan dan permasalahan yang ada di masyarakat. Berdasarkan pada kebijakan umum APBD. Menggunakan data terpilah gender. Visi, misi dan sasaran kebijakan daerah bertujuan untuk mengurangi ketidakadilan gender.

2.

3.

4.

5.

Buatlah indikator dari kegiatan tersebut dengan menggunakan empat indikator anggaran berbasis kinerja yaitu: input, proses, output dan outcome. Hal ini untuk memudahkan pengisian RKA SKPD pada form 2.2.1. Permendagri No. 13 Tahun 2006. Menyusun ToR Kegiatan Responsif Gender Hasil dari langkah-langkah selanjutnya diformulasikan dalam bentuk ToR kegiatan yang nantinya akan sangat berguna bagi SKPD sebagai bentuk argumentasi bahwa satu usulan kegiatan penting dan prioritas, sehingga usulan tersebut disetujui dan tidak dicoret/dihapus oleh Bapeda, TAPD maupun DPRD. Salah satu contoh format ToR adalah sebagai berikut4:

7.

Data terpilah adalah data yang dipilah berdasarkan jenis kelamin, sedangkan data sensitif gender adalah data mengenai isu penting dari perspektif gender, misalnya jumlah kematian ibu akibat melahirkan (AKI), jumlah kekerasan terhadap perempuan. Format ini dikembangkan oleh tim penyusun modul dengan mempertimbangkan informasi yang ada dalam Form 2.2.1 Permendagri No. 13 Tahun 2006. Modifikasi atas format ini dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan lokal.

191

Tabel 7.5 ToR Kegiatan Responsif Gender


Nama SKPD
Program Kegiatan Kode Rekening Lokasi Waktu Pelaksanaan Kegiatan Dasar Hukum/Kebijakan Tujuan

Nama SKPD yang mengusulkan kegiatan


Nama program (tulis nama salah satu program yang sesuai yang ada dalam menu Permendagri No. 13 Tahun 2006) Nama kegiatan yang akan diusulkan (boleh di luar nama kegiatan yang terdapat dalam menu Permendagri No. 13 Tahun 2006) Nama kode rekening program dan kegiatan Tempat pelaksanaan kegiatan Perkiraan bulan pelaksanaan kegiatan Dasar hukum yang mendukung kegiatan, seperti: UU, RPJMD, Renstra SKPD, Permen, Perda Tujuan harus fokus pada kebutuhan untuk menyelesaikan masalah berdasarkan capaian dampak dan harus diarahkan pada penyelesaian problem ketidakadilan gender Tuliskan hasil analisis situasi/analisis gender yang telah dilakukan Tuliskan penerima manfaat yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan Tuliskan jumlah dana yang dibutuhkan Output akhir minimal harus memuat informasi tentang:a. Output kuantitas, mengacu pada volume atau level output b. Output kualitas, mengacu pada standar pelayanan Tuliskan hasil dari bekerjanya output secara langsung Informasi mengenai bentuk kegiatan Informasi kegiatan serupa tahun lalu dan capaiannya

Analisis Kebutuhan Dasar Kelompok Sasaran Input Output

Outcome Proses Capaian tahun sebelum

C. Catatan Kritis Penyusunan Renja SKPD Responsif Gender Menyusun ToR Kegiatan di awal, yaitu pada saat SKPD mengusulkan kegiatan belum menjadi praktik yang biasa dilakukan oleh para perencana di SKPD. ToR biasanya dibuat jika usulan kegiatan telah disetujui di APBD. Padahal, menyusun ToR ketika mengusulkan kegiatan di awal tahun banyak memberikan manfaat, antara lain: 1. Memberikan informasi kepada Bappeda, selaku pihak yang pertama kali menyeleksi usulan SKPD tentang justifikasi pentingnya kegiatan. Informasi awal ini penting untuk mengatasi masalah yang sering dikeluhkan oleh SKPD tentang pencoretan usulan kegiatan. Memberikan informasi kepada DPRD dalam proses pembahasan RAPBD di DPRD tentang justifikasi pentingnya kegiatan. Informasi ini penting bagi anggota DPRD agar mereka lebih mengetahui urgensi dan tujuan kegiatan sehingga proses pencoretan usulan SKPD bisa dilakukan dengan lebih rasional (tidak ada coret). Mengatasi keterbatasan ruang yang ada di dokumen RKA SKPD, khususnya form 2.2.1. Form RKA-SKPD 2.2.1 sebagai form paling rinci yang memuat informasi kegiatan memiliki keterbatasan, baik dari sisi cakupan informasi maupun dari dari sisi ruang. Keterbatasan cakupan informasi berupa tidak ada adanya informasi tentang analisis kebutuhan berupa informasi mengenai latar belakang munculnya kegiatan beserta data pendukungnya (bandingkan dengan Format ABM-2 Malaysia). Padahal informasi

2.

3.

192

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

tersebut penting sebagai justifikasi suatu kegiatan diusulkan dan merupakan ruang untuk memasukkan hasil analisis gender. Keterbatasan dari sisi ruang terjadi dalam bentuk minimnya informasi yang diberikan karena ruang hanya memuat beberapa kalimat, sehingga informasi yang disajikan tidak memadai. Oleh karena itu, ToR harus dijadikan lampiran, baik di dokumen Renja SKPD maupun RKA SKPD (untuk menambah informasi yang penting namun belum tercantum dalam form 2.2.1). 4. Memudahkan proses pelaksanaan kegiatan, termasuk jika terjadi mutasi pegawai. Adanya ToR menjadikan pegawai baru dapat mengetahui latar belakang dan tujuan kegiatan, sehingga kegiatan akan dapat terlaksana dengan baik. Pasal 40, PP No. 8 Tahun 2008 memberikan peluang dijadikannya ToR sebagai salah satu isi dari dokumen Renja SKPD karena pasal ini mengatur outline minimal. Meski sederhana, penyusunan ToR pada saat mengusulkan kegiatan membutuhkan perubahan paradigma, dari melakukan sesuatu yang kurang bermanfaat (karena belum tentu usulan diakomodasi di APBD) menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat (karena memberikan basis argumen mengapa usulan harus diakomodasi di APBD).

II. Panduan menyusun RKA SKPD yang Responsif Gender Dokumen RKA SKPD merupakan dokumen penganggaran yang memuat informasi tentang kegiatan yang akan dilaksanakan beserta rincian anggarannya. Penyusunan dokumen RKA SKPD merupakan proses teknokratis di masing-masing SKPD yang dilakukan setelah KUA dan PPAS disepakati oleh DPRD. Keterkaitan antara dokumen Renja dan RKA SKPD dapat dijelaskan dalam bagan berikut ini.

Bagan 7.3 Alur Dokumen Renja dan RKA SKPD


Renja SKPD

RKPD

KUA dan PPAS

RKA SKPD Keterangan: 1. 2. 3. Renja SKPD menjadi salah satu bahan untuk memutakhirkan dokumen RKPD. KUA dan PPAS disusun berpedoman pada RKPD. Setelah disepakati oleh DPRD, Kepala Daerah menyusun Surat Edaran Penyusunan RKA SKPD. Masing-masing SKPD menyusun RKA SKPD berdasarkan SE Penyusunan RKA SKPD.

Informasi yang dalam ToR Kegiatan akan digunakan kembali ketika menyusun RKA SKPD, terutama form 2.2.1 dan ToR akan kembali menjadi lampiran dari dokumen RKA SKPD agar

193

tersedia informasi rinci dari setiap kegiatan untuk pihak-pihak yang membutuhkan. A. Dokumen yang Diperlukan Sebelum menyusun RKA SKPD, dokumen-dokumen berikut ini harus disiapkan terlebih dahulu, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Surat Edaran (SE) Kepala Daerah tentang penyusunan RKA SKPD. Form pengisian RKA SKPD5. SK Kepala Daerah tentang standardisasi indeks harga, barang, jasa, kegiatan, dan honorarium pada tahun bersangkutan. Renja SKPD untuk tahun bersangkutan. Nota kesepakatan Kepala Daerah dan DPRD tentang KUA dan PPAS. Data pendukung sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Panduan Menyusun Renja SKPD Responsif Gender. Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan urusan wajib yang menjadi tugas dan fungsi masing-masing SKPD.

B. Aturan mengenai Penyusunan RKA SKPD Pasal 93 ayat (1), Permendagri No. 13 tahun 2006, menyebutkan penyusunan RKA SKPD berdasarkan pada 5 hal, yaitu: 1. Indikator kinerja Indikator kinerja adalah ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program dan kegiatan yang direncanakan. 2. Capaian atau target kinerja Capaian atau target kinerja adalah ukuran prestasi kerja yang akan dicapai yang berwujud kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan. 3. Analisis standar belanja Analisis standar belanja adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan. 4. Standar satuan harga Standar satuan harga adalah harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku di suatu daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. 5. Standar pelayanan minimal (SPM) SPM adalah tolok ukur kinerja dalam menentukan capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. SPM terkait dengan pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sesuai dengan asas desentralisasi, yaitu adanya urusan wajib dan urusan pilihan yang dilaksanakan daerah. C. Langkah-langkah Teknis 1. Siapkan Form RKA SKPD yang menjadi format resmi pemerintah daerah, yaitu:

Sesuai dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007, Form yang perlu disusun oleh tiap SKPD adalah Form 1, 2, 2.1, 2.2.1 dan 2.2. Form 3.1 dan 3.2 khusus untuk SKPKD selaku Bendahara Umum Daerah.

194

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Kode RKA SKPD 1 RKA SKPD 1 RKA SKPD 2.1 RKA SKPD 2.2 RKA SKPD 2.2.1

Nama Formulir Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Rincian Anggaran Pendapatan Satuan Kerja Perangkat Daerah Rincian Anggaran Belanja Tidak Langsung Satuan Kerja Perangkat Daerah Rekapitulasi Anggaran Belanja Langsung Satuan Kerja Perangkat Daerah (rekapitulasi RKA SKPD 2.2.1) Rincian Anggaran Belanja Langsung menurut Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah

2.

Pelajari isi dari SE Kepala Daerah tentang penyusunan RKA SKPD. Bagan alir penyusunan RKA SKPD adalah sebagai berikut:

Bagan 7.4 Penyusunan RKA SKPD A3. Penyusunan RKA-SKPD Uraian


1. SKPD menerima Surat Edaran KDH tentang Pedoman Penyusunan RKASKPD. Berdasarkan SE tersebut, SKPD mulai menyusun RKA masingmasing 2. SKPD menyusun Rincian Anggaran Pendapatan untuk menghasilkan RKA-SKPD 1. Form RKA-SKPD 1 disiapkan hanya oleh SKPD pemungut pendapatan. 3. SKPD menyusun Rincian Anggaran Belanja Tidak Langsung untuk menghasilkan RKA-SKPD 2.1. 4. SKPD menyusun Rincian Anggaran Belanja Langsung masing-masing kegiatan untuk menghasilkan RKASKPD 2.2.1 untuk kemudian digabung dalam rekapitulasi Rincian Anggaran Belanja Langsung untuk menghasilkan RKA-SKPD 2.2.
SE-KDH Tentang Pedoman Penyaluran RKA-SKPD

SKPD

RKA SKPD1

RKA SKPD 2.1

RKA SKPD 2.2.1

RKA SKPD 2.2

RKA SKPD

3.

Pengisian Form 2.2.1 adalah sebagai berikut: a. Lihat kembali ToR masing-masing kegiatan yang terdapat di dokumen Renja SKPD.

b. Isilah form 2.2.1 ini berdasarkan informasi yang ada dalam ToR kegiatan. Cara pengisian adalah sebagai berikut:

195

Tabel 7.6 Informasi Isian Form 2.2.1


Elemen Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran Urusan Pemerintahan Deskripsi Isi dengan nama provinsi/kabupaten/kota Isi dengan tahun anggaran yang direncanakan Isi dengan nomor kode urusan pemerintahan dan nama urusan pemerintahan daerah yang dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi SKPD Organisasi Isi dengan nomor kode perangkat daerah dan nama satuan kerja perangkat daerah Program Isi dengan nomor kode program dan nama program Kegiatan Isi dengan nomor kode kegiatan dan nama kegiatan Lokasi Kegiatan Isi dengan nama lokasi/tempat kegiatan akan dilaksanakan, bisa berupa nama desa/kelurahan, kecamatan Jumlah Tahun n-1 Isi dengan jumlah perkiraan belanja kegiatan berkenaan untuk 1 (satu) tahun sebelumnya Jumlah Tahun n Isi dengan jumlah perkiraan belanja kegiatan berkenaan untuk 1 (satu) tahun yang direncanakan Jumlah Tahun n + 1 Isi dengan dengan jumlah perkiraan belanja kegiatan berkenaan untuk 1 (satu) tahun berikutnya Indikator Capaian Program: Kondisi akhir yang ingin dicapai dari kelompok sasaran Tolok Ukur Kinerja Indikator Masukan: Segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menghasilkan keluaran, berisi Tolok Ukur Kinerja tingkat atau besarnya sumber daya ekonomi, seperti: dana, SDM, material, waktu, teknologi Jumlah dana yang dibutuhkan Indikator Keluaran: Barang dan jasa yang dihasilkan, baik direncanakan maupun tidak untuk Tolok Ukur Kinerja disampaikan ke publik. Tolok ukur dapat berupa : a. Kuantitas (jumlah), mengacu pada volume layanan b. Kualitas, mengacu pada standar palayanan c. Ketepatan waktu, mengacu pada waktu tanggapan d. Ongkos/biaya, mengacu pada biaya untuk menghasilkan output Indikator Hasil: Dampak yang terjadi dan direncanakan, hasil akhir atau akibat yang Tolok Ukur Kinerja: dirasakan masyarakat dari kegiatan pemerintah. Misalnya tingkat kemiskinan berkurang, angka buta huruf turun, angka harapan hidup naik, partisipasi ekonomi meningkat, pendapatan naik, dan lain sebagainya Tolok ukur dapat berupa: a. Jumlah, mengacu pada cakupan yang ingin dicapai oleh pelayanan atau kebijakan pemerintah b. Kualitas, mengacu pada kesesuaian kebijakan atau layanan dengan tujuannya c. Akses dan keadilan, mengacu perwakilan berbagai kelompok dan dasar ketepatan waktu dan biaya untuk berbagai kelompok yang dilayani oleh akses d. Kelayakan, mengacu pada sebaik apa penyampaian layanan langsung memenuhi kebutuhan klien Kelompok Sasaran Penjelasan mengenai karakteristik kelompok sasaran, seperti status ekonomi dan gender. Sajikan data terpilah untuk kelompok sasaran (komposisi laki-laki dan perempuan), kecuali untuk kegiatan dengan target tertentu (misalnya, kelompok sasaran laki-laki 100% atau perempuan 100%)

196

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Keterangan: 1. Isi dari indikator capaian program, input, output dan outcome dapat langsung dipindahkan dari informasi yang terdapat dalam ToR kegiatan. 2. Informasi lengkap substansi dari masing-masing indikator dan pengintegrasian isu gender dapat dilihat pada Bahan Bacaan 7.1. Kolom 1 (kode rekening) Isi dengan kode rekening akun, kelompok, jenis, objek, rincian objek belanja langsung Kolom 2 (uraian) Isi dengan uraian nama akun, kelompok, jenis, objek, rincian objek belanja langsung Kolom 3 (volume) Isi dengan jumlah satuan, dapat berupa jumlah orang/pegawai dan barang Kolom 4 (satuan) Isi dengan satuan hitung dari target rincian objek yang direncanakan, seperti unit, waktu/jam/hari/bulan/tahun, ukuran berat, ukuran luas, ukuran isi, dan sebagainya Kolom 5 (harga satuan) Isi dengan harga satuan, dapat berupa tarif, harga, tingkat suku bunga, nilai kurs Kolom 6 (jumlah) Isi dengan jumlah perkalian antara jumlah volume dengan harga satuan Kolom 7 (jumlah total) Merupakan penjumlahan dari seluruh jenis belanja langsung yang tercantum dalam kolom 7 Catatan: untuk kolom 1 kolom 7, pengisian rincian perhitungan tidak diperkenankan mencantumkan satuan ukuran yang tidak terukur, seperti paket, pm, up, lumpsum demi memenuhi asas transparansi dan prinsip anggaran berdasarkan prestasi kinerja.

D. Catatan Kritis Penyusunan RKA SKPD6 Ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam proses penyusunan RKA SKPD Form 2.2.1, antara lain: 1. Adanya keterbatasan cakupan informasi dan ruang dalam form 2.2.1. Keterbatasan ini menjadikan Form 2.2.1 membutuhkan ToR Kegiatan sebagai lampiran, sebagaimana yang telah dijelaskan di Panduan Menyusun Renja SKPD Responsif Gender. 2. Kurang memadainya penjelasan mengenai indikator kinerja, baik dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 maupun Permendagri No. 59 Tahun 2007. Penjelasan hanya berupa contoh dan kurang memberikan banyak gambaran tentang masing-masing indikator. Misalnya saja tentang tolok kinerja output dan outcome. Contoh dalam Permendagri hanya menyebutkan dimensi kuantitas, dan tidak menyebut dimensi lainnya, baik kualitas, waktu maupun keadilan. Akibat dari hal ini, banyak SKPD yang belum memahami tentang substansi dan cara menyusun indikator kinerja, membedakan antara input, output dan outcome. Perhatikan Contoh RKA SKPD belum responsif gender yang diambil dari Form 2.2.1 satu Pemda di Indonesia.

Catatan ini dibuat berdasarkan pengalaman mendampingi SKPD Kota/Kabupaten dalam penyusunan RKA SKPD baik melalui pelatihan maupun asistensi teknis.

197

Boks 7.1 Contoh ToR Kegiatan


1 Nama SKPD 2 Nama Program 3 Kegiatan 4 Kode Rekening Program Kegiatan 5 Dasar Hukum/ Kebijakan : Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tasikmalaya : Pengembangan Industri Kecil dan Menengah : Bantuan Stimulan Peralatan Produksi Industri Kecil Bordir, Pandan dan Makanan

: 2.07.16 : 2.07.16.08 : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 tentang Perindustrian 2. RPJMD Misi ke-4 :Meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui pengembangan agribisnis dengan dukungan sektor lain 3. Perda Kabupaten Tasikmalaya Nomor 17 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM 2006 2010) 4. Program Renstra SKPD : Pembinaan dan pengembangan Industri Kecil dan Menengah 6 Tujuan : 1. Meningkatkan motivasi dan kreativitas perajin/pelaku usaha Industri Kecil Bordir, Pandan dan Makanan, baik laki-laki maupun perempuan. 2. Menciptakan inovasi produk baru dalam melaksanakan proses produksi. 3. Memperlancar dan Meningkatkan kapasitas produksi perajin/ pelaku usaha Industri Kecil Bordir, Pandan dan Makanan, baik laki-laki maupun perempuan. 4. Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. 7 Analisis Kebutuhan : Salah satu masalah yang dihadapai oleh industri kecil bordir, Dasar pandan, dan makanan adalah terbatasnya peralatan produksi/ mesin yang dimiliki. Peralatan produksi/mesin merupakan hal yang sangat penting dalam suatu proses produksi, dalam menunjang peningkatan kualitas dan kuantitas produk. Sementara tingkat daya beli perajin/pelaku usaha untuk memperoleh mesin rendah karena harga alat produksi sangat tinggi. Karena itu Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan, khususnya bidang perindustrian perlu mengadakan kegiatan untuk membantu kelancaran proses produksi para perajin/ pelaku usaha Industri Kecil Bordir, Pandan dan Makanan, baik laki-laki maupun perempuan Data Pendukung: - Jumlah Industri Kecil Bordir, Pandan dan Makanan cukup banyak dan merupakan komoditi unggulan Kabupaten Tasikmalaya, yang terdiri dari :

198

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

8 Kelompok Sasaran

9 Input 10 Output

11 Outcome

12 Proses

13 Capaian Tahun Sebelumnya

a. Industri Kecil Bordir - Unit Usaha: 1829 - Tenaga Kerja: 16.109 - Nilai Investasi: 12.960.647.000 - Jumlah Produksi: 9.511.160 b. Industri Kecil Pandan - Unit Usaha: 670 - Tenaga Kerja:14.206 - Nilai Investasi: 3.319.332.000 - Jumlah Produksi: 1.354.570 c. Industri Kecil Makanan - Unit Usaha: 663 - Tenaga Kerja: 3111 - Nilai Investasi: 1.473.539.000 - Jumlah Produksi: 2.179.586 - Komoditi tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan karena memiliki pangsa pasar di dalam dan luar negeri, namun terdapat kendala dalam proses produksi yang disebabkan keterbatasan alat/mesin. : Calon penerima bantuan ini sebanyak 150 orang, yang terdiri dari: - Industri Kecil Bordir sebanyak 75 orang: 50 perempuan dan 25 laki-laki - Industri Kecil Pandan sebanyak 50 orang: 10 perempuan dan 40 laki-laki - Industri Kecil Makanan sebanyak 25 orang: 15 perempuan dan 10 laki-laki : Rp. 500.000.000 : Kuantitas: Tersalurkannya peralatan produksi/mesin untuk 150 perajin/pelaku usaha Industri Kecil Bordir, Pandan dan Makanan, baik laki-laki maupun perempuan.Kualitas: Terlaksananya kegiatan Bantuan Stimulan Peralatan Produksi Industri Kecil Bordir, Pandan dan Makanan sesuai dengan rencana dan waktu yang telah ditetapkan dan tepat sasaran. : Meningkatnya pendapatan pengrajin melalui peningkatan kapasitas produksi perajin/ pelaku usaha Industri Kecil Bordir, Pandan dan Makanan, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga order dapat dilaksanakan tepat waktu. Pemberian Bantuan Stimulan Peralatan Produksi Industri Kecil Bordir, Pandan dan Makanan kepada Perajin/Pelaku Usaha, baik laki-laki maupun perempuan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. - Pernah memberikan bantuan alat berupa mesin bubut kayu sebanyak 1 paket untuk kelompok industri pengolahan kayu pada tahun 2008. - Pemberian Mesin Bata merah sebanyak 2 Unit untuk 2 Kelompok pada 2008. - Pemberian Mesin pengolahan kelapa sebanyak 7 unit untuk kelompok IK (Industri Kecil) pengolahan kelapa pada tahun 2008.

199

Check List Penganggaran dan Pengarusutamaan Gender


Jika dianalisis dari perspektif gender, pengeluaran/belanja pemerintah terbagi menjadi tiga kategori, yaitu : 1. 2. 3. Pengeluaran Spesifik Gender Pengeluaran untuk Kesetaraan Kesempatan Kerja Pengeluaran Umum

Dengan mendasarkan pada ketiga kategori di atas, pihak yang menyusun program beserta anggarannya harus memperhatikan check list berikut ini:

A. Pengeluaran Spesifik Gender


Pengeluaran spesifik gender yaitu pengeluaran yang penerima manfaatnya menunjuk pada gender tertentu, bisa perempuan, laki-laki, anak perempuan, anak laki-laki, lansia, dan sebagainya. Pada kenyataannya, jika melihat program pembangunan yang ada saat ini, pengeluaran spesifik gender diidentikkan dengan pengeluaran dengan penerima manfaat perempuan. Untuk mengidentifikasi pengeluaran ini dapat dilakukan pada tahap: 1. Perencanaan dan Penganggaran a. Membuat daftar kebijakan dan program yang spesifik gender. b. Memeriksa sekilas kegiatan-kegiatan yang dilakukan di bawah program-program untuk perempuan tersebut. c. Memeriksa indikator keluaran (output) yang diharapkan seperti jumlah perempuan penerima manfaat; peningkatan jumlah pekerja perempuan; peningkatan pendapatan, keterampilan dan sumber daya setelah terselenggaranya kegiatan/proyek. Menghitung alokasi sumber daya yang digunakan dalam APBD dan target fisiknya. Memeriksa kecukupan alokasi sumber daya itu dikaitkan dengan jumlah penduduk penerima manfaat yang ditargetkan, yaitu mereka yang membutuhkan intervensi sistematis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghubungkannya dengan data tentang kecen-derungan pendapatan di masa yang lalu. Me-review kinerja aktual secara fisik dan keuangan dibandingkan dengan sasaran yang ditetapkan. Identifikasi pula hambatan-hambatan yang dihadapi untuk mencapai sasaran itu (misalnya perlunya memperkuat distribusi infrastruktur, pengembangan kapasitas, dan lain-lain).

d. e.

2. Audit Kinerja a.

b. Melaksanakan evaluasi mengenai kondisi lapangan (realitanya) dari program yang telah dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan terhadap besarnya manfaat dan indikator-indikator dampak dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya program. c. Menyusun analisis kecenderungan dari pengeluaran dan indikator-indikator dari keluaran dan dampak.

200

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

3. Perencanaan Mendatang dan Tindakan Perbaikan a. Merespons hambatan-hambatan yang sudah teridentifikasi pada langkah 2a di atas.

b. Menentukan besarnya sumber daya yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah penduduk yang ditargetkan sebagai penerima manfaat dan intensitas permasalahannya seperti angka kematian ibu, tingkat kematian penduduk, dan tingkat buta huruf. c. Memeriksa ulang apakah sumber daya yang tersedia sudah mencukupi, baik secara keuangan maupun fisik, misalnya jumlah pelatihan/fasilitator yang handal. Melakukan perencanaan untuk memodifikasi kebijakan dan program berdasarkan temuan yang diperoleh dalam pemeriksaan ulang.

d.

B. Pengarusutamaan Sektor-sektor
Pengarusutamaan sektor-sektor seperti sektor pertahanan dan keamanan; telekomunikasi; industri; dan perdagangan dilakukan guna menentukan dampak gender dari pengeluaran pada masing-masing sektor tersebut. Hal ini dilakukan dengan cara: 1. 2. 3. 4. Membuat daftar dari program-program dalam kelompok pengeluaran publik beserta gambaran ringkas dari kegiatan-kegiatan di dalamnya. Mengidentifikasi kelompok penerima manfaat dari program atau kegiatan tersebut. Menentukan apakah penerima manfaat saat ini sudah dikategorikan berdasar jenis kelamin. Bila belum bagaimana caranya agar hal tersebut dapat dilakukan. Mengidentifikasi kemungkinan untuk membuat kebijakan atau tindakan khusus untuk memfasilitasi akses perempuan terhadap pelayanan publik melalui kebijakan khusus seperti kuota perempuan atau daftar prioritas perempuan, atau melalui perluasan pelayanan yang khusus ditujukan untuk perempuan seperti ruang khusus perempuan di kereta api, transportasi malam khusus untuk perempuan, atau tempat menyusui anak di terminal dan stasiun. Melakukan analisis mengenai pola pekerjaan yang ada ke dalam kerangka interpretasi pelayanan dilihat dari perspektif gender dan menguji sektor-sektor yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah penerimaan pekerja perempuan. Memfokuskan perhatian pada inisiatif-inisiatif khusus untuk memajukan partisipasi perempuan, baik sebagai pekerja maupun sebagai penerima manfaat. Menjajaki seberapa luas perempuan dapat dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan di suatu sektor dan organisasi, serta tindakan yang diperlukan untuk mulai memperbaiki adanya bias dan ketimpangan gender.

5.

6. 7.

Berdasarkan dari analisis dari nomor 1 sampai 7 di atas, maka kita dapat melembagakan pelaksanaan penganggaran sebagaimana digambarkan dalam Check List I tentang Pengeluaran Spesifik Gender (lihat kembali halaman 202).

201

C. Pengeluaran untuk Pengarusutamaan Gender


Gambaran ringkas mengenai contoh-contoh inisiatif untuk pengarusutamaan gender dalam berbagai sektor dapat dilihat di bawah ini: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Prioritas untuk memberikan sambungan listrik kepada perempuan pengusaha dan rumah tangga yang kepala keluarganya perempuan. Prioritas dalam alokasi izin industri atau pembangunan pompa bensin untuk perempuan, koperasi perempuan, dan kelompok swadaya perempuan lainnya. Pemberian dana khusus untuk ekspor bagi perempuan pengusaha. Insentif pajak untuk unit-unit industri yang banyak mempekerjakan perempuan. Insentif untuk mereka yang memperkenalkan asuransi kesehatan untuk perempuan, terutama di sektor-sektor informal. Gerbong kereta khusus perempuan pada jam sibuk dengan tujuan melindungi perempuan dari pelecehan ketika berdesak-desakan. Pemberian lebih banyak fasilitas transportasi bagi perempuan pekerja yang bertempat tinggal di pinggiran/luar kota Skema khusus pinjaman bank untuk perempuan.

Hal-hal penting yang perlu diingat dalam melakukan pengarusutamaan gender di berbagai sektor: Pengarusutamaan gender bukanlah merancang program khusus untuk perempuan. Yang dilakukan adalah merancang program dengan penerima manfaat laki-laki dan perempuan, namun program sudah dirancang sedemikian rupa sehingga keduanya bisa berpartisipasi, mengakses, mendapatkan manfaat, dan memiliki kontrol yang sama antara laki-laki dengan perempuan. Pencantuman kata prioritas dalam contoh-contoh di atas menunjukkan adanya kebijakan khusus untuk kelompok perempuan sebagai upaya percepatan mengurangi kesenjangan gender.

202

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Boks 7.2 Kreativitas Daerah Diakomodasi dalam Permendagri No. 59 Tahun 2007
Salah satu keluhan yang muncul terhadap Permendagri No. 13 Tahun 2006 adalah pemasungan kreativitas daerah dalam menyusun kegiatan. Hal ini disebabkan telah disusunnya kode rekening kegiatan untuk setiap urusan dan adanya pasal yang menyebutkan bahwa penambahan usulan kegiatan di luar itu harus mendapat persetujuan Mendagri. Padahal kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak usulan kegiatan yang belum termuat dalam Permendagri No. 13. Kelemahan ini pada akhirnya diperbaiki dalam Permendagri No. 59, pasal 77 ayat (12) menyebutkan bahwa daftar nama rekening dan kode rekening yang ada bukan merupakan acuan baku penyusunan kode rekening. Lampiran A.VII.a sebagai penjelasan lebih lanjut dari pasal 77 ini, menyebutkan bahwa pemerintah daerah dapat mengembangkan program dan kegiatan beserta kode rekeningnya sesuai kebutuhan objektif, nyata dan sesuai karakteristik daerah. Urutan kode rekening mengikuti ketentuan sebagai berikut: Kolom Kolom 1 Kolom 2 Kolom 3 Kolom 4 Kolom 5 Keterangan Kode Urusan Wajib/Pilihan Kode Urusan Kode Organisasi Kode Program Kode Kegiatan

Daftar program dan kegiatan dibagi menjadi dua kategori: 1. 2. Program 1-14 untuk menampung program-program yang bersifat umum dan terdapat di setiap SKPD. Program yang diberi kode 15 dan seterusnya untuk program-program yang bersifat spesifik untuk setiap urusan. 1.01.01 01 1.01.01 01 01 Program Pelayanan Administrasi Perkantoran Kegiatan Penyediaan Jasa Komunikasi, Air dan Listrik

Contoh untuk kategori pertama: 1 1 01 01

Contoh untuk kategori kedua: 1 1 01 01 1.01.01 15 1.01.01 01 01 Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Kegiatan Penambahan Ruang Kelas

Dengan demikian, kode rekening yang ada di Permendagri No. 13 Tahun 2006 (Lampiran A.VII) masih dapat digunakan dan pemda dapat menambah kode kegiatan yang belum ada dengan menggunakan pedoman penyusunan kode rekening untuk kategori kedua sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

203

Boks 7.3 Format Anggaran Responsif Gender Malaysia


Kementrian Perempuan, Keluarga dan Pengembangan Komunitas bekerja sama dengan UNDP Malaysia mengembangkan format anggaran responsif gender. Berikut ini contoh format anggaran responsif gender yang dikembangkan oleh Malaysia. Format yang diambil adalah Format ABM-2 sebagai format paling rinci informasinya.
Nomer Nama Departemen/Kementrian Nama Program Nama Kegiatan Kode Rekening Keputusan Kabinet, Tata Tertib DPR atau instruksi Bendahara Negara (yang memberikan otoritas) 7. Objektif Tujuan kegiatan yang telah disetujui sebelumnya. Harus fokus pada masalah yang perlu untuk diselesaikan atau berdasar pada dampak yang ingin dicapai 8. Analisis Keperluan/Dasar Secara spesifik berupa: (i) Problem/kebutuhan kelompok sasaran, mencakup data empiris untuk mendukung tingkat keseriusan problem/ kebutuhan (ii) Alasan utama munculnya problem/kebutuhan (iii) Strategi untuk mengatasi problem/kebutuhan, mencakup: (a) kebijakan alternatif dan kegiatan pemerintah lainnya untuk mengatasi masalah (b) strategi jangka pendek dan jangka panjang beserta relevansinya dengan keuangan 9. Pelanggan Kelompok sasaran yang mendapatkan manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan 10. Fungsi Fungsi utama yang harus dijalankan untuk mendapatkan output final dari kegiatan. Diferensiasi fungsi akan menfasilitasi idetifikasi pengeluaran dari sumber lain 11. Sumber-sumber Informasi terkait sumber daya yang dialokasikan untuk tiap kegiatan 12. Spesifikasi Output Output final yang dihasilkan. Informasi mengenai: (i) Kuantitas dari output (ii) Kualitas dari output (iii) Ketepatan waktu dari output (iv) Biaya dari output (v) Keadilan (tambahan dari aspek gender)Untuk masing-masing informasi di atas mencakup data tentang: * target yang disepakati untuk tahun sebelumnya *target untuk tahun sekarang *target untuk tahun selanjutnya 13. Petunjuk Impak Indikator dari kegiatan, berdasar sistem yang ada 14. Rancangan Penilaian Pernyataan tentang: Program (i) Tahun dimulainya program/kegiatan (ii) Waktu evaluasi terakhir dilakukan dan rencana evaluasi selanjutnya (iii) Kriteria utama yang akan dinilai dalam review selanjutnya (iv) Rancangan metodologi pengumpulan data 1. Maksud Bekalan 2. Agensi 3. Program 4. Aktiviti 5. Kod 6. Punca Kuasa

204

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Dari format di atas, isu gender diintegrasikan. Penting dicatat bahwa pengintegrasian isu gender tidak menambah form apa pun. Namun, hanya menambah isu gender dalam pernyataan-pernyataan yang ada. Oleh karena itu yang perlu dilakukan penyusun anggaran berpikir dan menuliskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki dalam menyelesaikan format. Berikut beberapa contoh pernyataan responsif gender: Pernyataan Tujuan Departemen Tenaga Kerja Memberikan kesempatan yang setara baik laki-laki maupun perempuan putus sekolah untuk mengikuti pelatihan keterampilan yang diselenggarakan oleh ILTM (Institut Latihan Jabatan Tenaga Manusia). Pernyataan Analisis Keperluan Departemen Kesehatan: Pembangunan Kesehatan Keluarga Ibu dan pasangan sasaran diberi pendidikan tentang perawatan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran tentang risiko selama kehamilan dan pentingnya memprioritaskan kesehatan ibu dan anak dalam pelayanan. Pernyataan Pelanggan Departemen Kesehatan: Pembangunan Kesehatan Keluarga Upaya diarahkan untuk meningkatkan kesadaraan laki-laki agar lebih bertanggung jawab dan berperan dalam KB. Satu proyek percontohan yang bernama Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif dilaksanakan mencakup empat klinik kesehatan yang memberikan layanan konseling pasangan suami istri. Pendidikan kesehatan mengenai alat kontrasepsi semisal pil, kondom, spiral disampaikan kepada pasangan suami istri dan keputusan alat kontrasepsi apa yang dipilih diserahkan kepada keduanya. Tanggung jawab dari petugas medis adalah mengetahui informasi berbagai metode KB dan menyampaikannya kepada pasien. Perhatian khusus perlu dilakukan terkait beberapa isu, semisal menopause dan defisiensi androgen sebagian (terjadi pada laki-laki). Pentingnya meningkatkan kesadaran laki-laki dan perempuan terkait perubahan yang terjadi karena menopause maupun defisiensi androgen sebagian, sehingga kekhawatiran lakilaki dan perempuan yang mengalami dapat dikurangi. Pernyataan Output Departemen Kesehatan: Orthopedi

205

Indikator Jumlah pasien rawat jalan Jumlah pasien rawat inap Jumlah operasi Bed Occupancy Rate Rata-rata lama inap (hari)

Target Total 386.596 182.441 217.732 81,4 6,5 416.357 80.595 200.696 64,9 5,9

Capaian Laki-laki Perempuan

Varian

Pernyataan Petunjuk Impak Departemen Kesehatan: Pembangunan Kesehatan Keluarga Indikator Impak % kelahiran hidup dengan berat lahir kurang dari 2,5 kg (1996) Angka Kematian perinatal untuk setiap 1.000 kelahiran Angka kematian bayi untuk setiap 1.000 kelahiran Angka kematian bayi laki-laki Angka kematian bayi perempuan Angka kematian balita (1-4 tahun): - berdasarkan jenis kelamin (laki-laki/perempuan) - berdasarkan etnis - berdasarkan wilayah (kota/desa) Angka kematian ibu melahirkan untuk setiap 100.000 kelahiran (1997): - Peninsular Malaysia - Sarawak - Sabah Capaian Tahun sebelumnya (2002) 7,5 10 7,7 ? ? ? ? ?

30 30 70

Format ABM-2 digunakan untuk tipe belanja operasi. Selain belanja operasi, terdapat pula belanja modal yang banyak berupa pembangunan fisik dan pengintegrasian isu gender juga dilakukan dengan cara yang sama, yakni menambahkan isu gender dalam pernyataan dan proposal naratif. Mencakup informasi tentang latar belakang proyek, komponen-komponen proyek, estimasi biaya, output, manfaat yang diharapkan sebagai justifikasi pentingnya proyek. Contoh peryataan responsif gender dalam proposal naratif adalah sebagai berikut. Pernyataan Latar Belakang Proyek Kementrian Pemukiman dan Pembangunan Pedesaan: Proyek Bantuan Perumahan Rumah yang lengkap, minimal dengan tiga ruangan (untuk orang tua, anak perempuan dan anak laki-laki) adalah satu komponen dari fasilitas dasar yang dibutuhkan oleh keluarga miskin. Prioritas diberikan kepada perempuan kepala keluarga sebagai satu kebijakan untuk ibu tunggal dan tanggungannya.

206

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Pernyataan Tujuan Proyek Departemen Kesehatan: Fasilitas Kesehatan Perkotaan Menyediakan fasilitas kesehatan primer untuk penduduk perkotaan dan untuk memajukan kesehatan dan memfasilitasi proses penyembuhan dari sakit secara maksimal dengan memberi perhatian khusus pada kelompok berikut: ibu hamil dan bayi baru lahir, lansia, anak sekolah dan remaja, bayi dan balita, dan anakanak dengan kebutuhan khusus. Pernyataan Komponen Proyek Departemen Kesehatan: Fasilitas Kesehatan Pedesaan Fasilitas tambahan akan dibangun dalam rangka menyediakan ruangan yang cukup untuk pelayanan baru, semisal kesehatan remaja berupa konseling untuk anak alaki-laki dan anak perempuan, pelayanan rehabilitasi untuk penyandang cacat, dan pelayanan untuk lansia laki-laki dan perempuan. Implementasi Format Anggaran Responsif Gender Malaysia dapat menjadi inspirasi pelaksanaan Anggaran Responsif Gender di Indonesia dengan melakukan penyesuaian- agar selaras dengan sistem penganggaran di Indonesia. Penyesuaian yang perlu dilakukan tidak terlalu banyak karena sistem dasarnya sama, yaitu anggaran berbasis kinerja.

207

RENCANA KERJA DAN ANGGARAN


SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH Provinsi/Kabupaten/Kota . Tahun Anggaran ...

Formulir RKA - SKPD

2.2.1

UrusanPemerintahan:2.01 Urusan Pilihan Pertanian . Organisasi : 2.01.02 Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Program : 2.01.02.24 Peningkatan penerapan teknologi peternakan Kegiatan : 2.01.02.24.04 Penyuluhan teknologi peternakan tepat guna Lokasi kegiatan Kecamatan Z Jumlah Tahun n-1 Rp 0,00 ( nol rupiah .) Jumlah Tahun n Rp 190,847,425.00.(seratus sembilan puluh juta delapan ratus empat puluh tujuh ribu empat ratus dua puluh lima rupiah) Jumlah Tahun n+1 Rp 0,00 ( nol rupiah .) Indikator Capaian Program Masukan Keluaran Hasil Indikator & Tolok Ukur Kinerja Belanja Langsung Tolok Ukur Kinerja peserta penyuluhan TTG bagi laki2 & prp Jumlah dana yang dibutuhkan jumlah peserta baik laki-laki dan prp yang ikut penyuluhan tersosialisasinya teknologi tepat guna di petani laki2 & prp Target Kinerja 500 peserta 190.847.425 100 peserta (20% dr 75 org (15% capaian program)

Kelompok Sasaran Kegiatan : petugas penyuluh kecamatan, 50% laki-laki 50 % perempuan Rincian Anggaran Belanja Langsung menurut Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah Kode Rekening 1 2 2 1 2 1 01 2 1 01 Uraian Rincian Penghitungan Volume Satuan Harga satuan 3 4 5 Jumlah (Rp) 6=(3x5) 53.500.000 10.800.000 10.800.000 900.000 900.000 42.700.000 42.700.000 3.600.000 9.600.000 5.000.000 1.500.000 10.000.000 3.000.000 10.000.000 137.347.425 45.727.425 13.800.000 13.800.000 31.927.425 1 1000 1000 10 5 5 5 2000 50 100 pkt kg kg liter buah buah psg kg kg m 19.302.425 2.000 1.500 200.000 30.000 25.000 60.000 400 100.000 7.500 19.302.425 2.000.000 1.500.000 2.000.000 150.000 125.000 300.000 800.000 5.000.000 750.000

5 5 5 5

01

5 2 1 02 5 2 1 02

01

2 BELANJA LANGSUNG BELANJA PEGAWAI Honorarium PNS Honorarium Panitia Pelaksana *insentif kegiatan TTG (6 org x 2 kab/kota) *insentif kegiatan sosialisasi pelarangan pemotongan ternak betina produktif (6 org x 4 kab/kota) Honorarium Non PNS Honorarium Tenaga Ahli/Instruktur/Narasumber * penyuluhan TTG (12 JPL x 2 kab) *Sosialisasi pelarangan pemotongan ternak betina produktif (16 JPL x 4 kab) *Uang saku peserta penyuluhan TTG (2 hari x 25 org x 2 kab/kota) *Biaya transport peserta penyuluhan TTG (2 hari x 25 org x 2 kab/kota) *Uang saku peserta sosialisasi pelarangan pemotongan ternak betina produktif (2 hari x 25 org x 4 kab/kota) *Biaya transport peserta sosialisasi pelarangan pemotongan ternak betina produktif (2 hari x 25 org x 4 kab/kota) *Honor tenaga ahli BELANJA BARANG DAN JASA Belanja Bahan/Material Belanja Tas kegiatan *Training Kit peserta (25 org x 2 kab/kota)+(25 org x 4 kab/kota) Belanja bahan percontohan Bahan kegiatan penyuluhan TTG *biogas *pupuk urea *dedak *Dubora *cangkul *Gembor *Sepatu Boat *Jerami *Probiotik *Plastik hitam

3 3

Org Org

300.000 300.000

24 64 100 100 200 200 4

JPL JPL OH OH OH OH OH

150.000 150.000 50.000 15.000 50.000 15.000 2.500.000

5 2 2 5 2 2 02 5 2 2 02 5 2 2 02

06 19

208

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

5 2 2 06 5 2 2 06

02

5 2 2 07 5 2 2 07

03

5 2 2 11 5 2 2 11

04

5 2 2 15 5 2 2 15

01

Belanja Cetak dan Penggandaan Belanja Penggandaan Penggandaan untuk penyuluhan TTG *Fotocopi dan penggandaan *Biaya dokumentasi dan pelaporan kegiatan *Biaya spanduk Penggandaan untuk sosialisasi pelarangan pemotongan ternak betina produktif *Fotocopi dan penggandaan *Biaya dokumentasi dan pelaporan kegiatan *Biaya spanduk Belanja Sewa Rumah/Gedung/Gudang/Parkir Belanja sewa ruang rapat/pertemuan *Sewa tempat olahan hasil peternakan dan peralatan kegiatan penyuluhan TTG *Sewa tempat dan peralatan kegiatan sosialisasi pelarangan pemotongan ternak betina produktif Belanja Makanan dan Minuman Belanja Makanan dan Minuman Kegiatan Kegiatan Penyuluhan TTG *Konsumsi dan Snack (2 hari x 35 org x 2 kab) Kegiatan Sosialisasi Pelarangan Pemotongan Ternak Betina Produktif *Konsumsi dan Snack (2 hari x 35 org x 4 kab) Belanja Perjalanan Dinas Belanja perjalanan dinas dalam daerah Perjalanan Dinas Kegiatan Penyuluhan TTG Golongan IV (2 Kab/Kot x 4 hari x 1 Org) *Lumpsum *Transport Golongan III (2 Kab/Kot x 4 hari x 3 Org) *Lumpsum *Transport Perjalanan Dinas Kegiatan Sosialisasi Pelarangan Pemotongan Ternak Betina Produktif Golongan IV (4 Kab/Kot x 4 hari x 2 Org) *Lumpsum *Transport Golongan III (4 Kab/Kot x 4 hari x 3 Org) *Lumpsum *Transport

4.000.000 4.000.000 1 1 4.00 keg keg buah 400.000 600.000 250.000 400.000 600.000 1.000.000

1 1 4

keg keg buah

400.000 600.000 250.000

400.000 600.000 1.000.000

4 8.00

hari hari

1.500.000 1.500.000

6.000.000 12.000.000 17.220.000 17.220.000

140

OH

41.000

5.740.000

280

OH

41.000

11.480.000 52.400.000 52.400.000

8 2 24 6

OH OT OH OT

450.000 200.000 400.000 200.000

3.600.000 400.000 9.600.000 1.200.000

32 8 48 12

OH OT OH

450.000 200.000

14.400.000 1.600.000 19.200.000 2.400.000 190.847.425

400.000 OT 200.000 Jumlah Belanja Langsung

..,tanggal .. Kepala SKPD (tanda tangan) (nama lengkap) NIP. Keterangan : Tanggal Pembahasan : Catatan Hasil Pembahasan : 1. 2. Dst Tim Anggaran Pemerintah Daerah: No 1 2 dst Nama Nip Jabatan Tandatangan

209

Lembar Bantu Belajar 7.1 Panduan Diskusi Menyusun Renja dan RKA Responsif Gender
Peserta dibagi menjadi menjadi 4 kelompok, yakni: Anggur, Mangga, Jeruk dan Apel 1. Kelompok Anggur dan Mangga menyusun Renja SKPD Responsif Gender. 2. Kelompok Jeruk dan Apel menyusun RKA SKPD Responsif Gender. A. Panduan Diskusi Menyusun Renja SKPD Responsif Gender 1. 2. 3. Lihat kembali Tabel Kesenjangan Gender yang ada di Lembar Bantu Belajar 2.1. Buatlah satu usulan kegiatan berdasarkan tabel kesenjangan gender yang ada di Lembar Bantu Belajar 2.1. Susun ToR Kegiatan berdasarkan format berikut ini:
Nama SKPD yang mengusulkan kegiatan

Nama SKPD Program

Nama program (tulis nama salah satu program yang sesuai dan terdapat dalam menu Permendagri No. 13 Tahun 2006) Kegiatan Nama kegiatan yang akan diusulkan boleh di luar nama kegiatan yang terdapat dalam menu Permendagri No. 13 Tahun 2006) Kode Rekening Nama kode rekening berdasarkan program Dasar Hukum Dasar hukum yang mendukung kegiatan, seperti: UU, Permen, Perbup/ Perwal, Perda Tujuan Tujuan harus fokus pada kebutuhan untuk menyelesaikan masalah berdasarkan capaian dampak dan harus diarahkan pada penyelesaian problem ketidakadilan gender Analisis Kebutuhan Dasar Tuliskan hasil analisis situasi antara perempuan dan laki-laki berdasarkan analisis gender yang telah dilakukan Kelompok Sasaran Tuliskan penerima manfaat yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan Input Tuliskan jumlah dana yang dibutuhkan Output Output akhir minimal harus memuat informasi tentang: a. output kuantitas b. output kualitas Outcome Tuliskan hasil dari bekerjanya output secara langsung

Catatan selama diskusi: Nyatakan secara eksplisit isu gender yang relevan dengan usulan kegiatan, baik di pernyataan tujuan, analisis kebutuhan dasar, kelompok sasaran, output maupun outcome. B. Panduan Diskusi Menyusun RKA SKPD Responsif Gender 1. 2. 3. Contoh RKA SKPD Form 2.2.1 telah dibagikan. Diskusikan dan kritisi apakah penulisan RKA SKPD ini sudah dilakukan sebagaimana mestinya berdasarkan Bahan Bacaan 7.2. Revisi RKA SKPD berdasarkan Bahan Bacaan 7.2, agar menjadi responsif gender. Nyatakan secara eksplisit isu gender dalam pernyataan Indikator (capaian program, keluaran dan hasil) dan Kelompok Sasaran. Gunakan prinsip ekonomi dalam menyusun anggaran belanja untuk kegiatan ini.

Catatan selama diskusi:

210

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Formulir yang Terdapat dalam RKA-SKPD:

a. Fomulir RKA-SKPD
RENCANA KERJA DAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH Provinsi/Kabupaten/Kota . Tahun Anggaran Urusan Pemerintahan : Organisasi : Formulir RKA - SKPD x. xx. . x. xx. xx. .

Ringkasan Anggaran Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan Satuan Kerja Perangkat Daerah Kode Rekening 1 Uraian 2 Jumlah (Rp) 3

Surplus/ (Defisit)

Pembiayaan neto

..,tanggal. Kepala SKPD (tanda tangan) (nama lengkap) NIP.

211

b. Fomulir RKA-SKPD 1
RENCANA KERJA DAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH Provinsi/Kabupaten/Kota . Tahun Anggaran Urusan Pemerintahan : Organisasi : Formulir RKA - SKPD 1 x. xx. . x. xx. xx. .

Rincian Anggaran Pendapatan Satuan Kerja Perangkat Daerah Kode Rekening 1


x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x xx xx xx xx xx xx xx xx xx

Uraian

Rincian Perhitungan Volume Satuan Tarif/ Harga 3 4 5

Jumlah (Rp) 6 = (3 x 5)

Jumlah ..,tanggal. Kepala SKPD (tanda tangan) (nama lengkap) NIP. Keterangan Tanggal Pembahasan Catatan Hasil Pembahasan 1. 2. Dst : : :

Tim Anggaran Pemerintah Daerah: No 1 2 dst Nama NIP Jabatan Tanda tangan

212

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

c. Fomulir RKA-SKPD 2.1


RENCANA KERJA DAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH Provinsi/Kabupaten/Kota . Tahun Anggaran Urusan Pemerintahan Organisasi : : x. xx. . x. xx. xx. . Formulir RKA - SKPD 2.1

Rincian Anggaran Belanja Tidak Langsung Satuan Kerja Perangkat Daerah Kode Rekening 1
x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x xx xx xx xx xx xx xx xx xx

Uraian

Tahun n Volume Satuan Tarif/ Harga Harga (Rp) 3 4 5 6=(3x5)

Tahun n + 1

Jumlah ..,tanggal. Kepala SKPD (tanda tangan) (nama lengkap) NIP. Keterangan Tanggal Pembahasan Catatan Hasil Pembahasan 1. 2. Dst : : :

Tim Anggaran Pemerintah Daerah: No 1 2 dst Nama NIP Jabatan Tanda tangan

213

d. Fomulir RKA-SKPD 2.2.1


RENCANA KERJA DAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH Provinsi/Kabupaten/Kota . Tahun Anggaran Urusan Pemerintahan Organisasi Program Kegiatan Lokasi Kegiatan Jumlah Tahun n-1 Jumlah Tahun n Jumlah Tahun n+1 Formulir RKA - SKPD 2.2.1

: x. xx. . : x. xx. xx. . : x. xx. . : x. xx. xx. . : . Rp. .................................................. (..................................................) Rp. .................................................. (..................................................) Rp. .................................................. (..................................................) Indikator & Tolok Ukur Kinerja Belanja Langsung

Indikator Capaian Program Masukan Keluaran Hasil

Tolok Ukur Kinerja

Target Kinerja

Kelompok Sasaran Kegiatan : .................................. Rincian Anggaran Belanja Langsung menurut Program dan Per Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah Kode Rekening 1
x x x x x x x x x x x x x x x x xx xx xx xx

Uraian

Rincian Perhitungan Volume Satuan Tarif/ Harga 3 4 5

Jumlah (Rp) 6 = (3 x 5)

Jumlah ..,tanggal. Kepala SKPD (tanda tangan) (nama lengkap) NIP. Keterangan Tanggal Pembahasan Catatan Hasil Pembahasan 1. 2. Dst No 1 2 dst Nama : : :

Tim Anggaran Pemerintah Daerah: NIP Jabatan Tanda tangan

214

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

e. Fomulir RKA-SKPD 2.2


RENCANA KERJA DAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH Provinsi/Kabupaten/Kota . Tahun Anggaran Urusan Pemerintahan Organisasi : : x. xx. . x. xx. xx. . Formulir RKA - SKPD 2.2

Rekapitulasi Anggaran Belanja Langsung Berdasarkan Program dan Kegiatan Kode


ProgramKegiatan

Uraian

Lokasi
Kegiatan

Target
Kinerja

Jumlah
Tahun n+1 10

Tahun n (Kuantitatif ) Belanja Barang Modal Jumlah Pegawai & Jasa 5 6 7 8 9=6+7+8

1 xx

3 Program...

xx xx xx xx xx xx xx xx xx xx xx xx xx

Kegiatan... Kegiatan... dst... Program... Kegiatan... Kegiatan... dst... Program... Kegiatan... Kegiatan... dst... dst... dst...

Jumlah

..,tanggal. Kepala SKPD (tanda tangan) (nama lengkap) NIP.

215

Bahan Presentasi 7.1


1

Anggaran Berbasis Kinerja


Penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja Terdiri dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan serta indikator kinerja yang ingin dicapai Fokus pada pemberian layanan Uukuran keberhasilan ditentukan oleh tercapai/tidaknya indikator kinerja yang telah ditetapkan

Anggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender

Tiga Indikator Kinerja


Input (Masukan) Output (Keluaran) Outcome (Hasil)

Tiga Kriteria untuk Menilai Indikator Kinerja


Ekonomis Efisien Efektif

Mengintegrasikan Gender dalam Anggaran Berbasis Kinerja


Metode Pertama: menyertakan komponen gender dalam input, output dan outcome Metode kedua: menambahkan equity (keadilan) sebagai indikator kinerja Metode ketiga: menilai kembali makna ekonomi, efisiensi dan efektivitas dari perspektif anggaran responsif gender

216

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 7

Anggaran Berbasis Kinerja yang Responsif Gender

Bahan Presentasi 7.2


1

Program/Kegiatan
Merupakan upaya sistematis yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat Penyusunan program/kegiatan harus didasarkan pada data

Menyusun Renja dan RKA SKPD Responsif Gender

Prinsip Penyusunan Program/ Kegiatan


S = Specific M = Measureable A = Achievable R = Result oriented T = Time-bond

Penentuan Prioritas Kegiatan


Penting dilakukan karena keterbatasan anggaran Perlu ada indikator penentuan prioritas

Menyusun Renja SKPD Responsif Gender


Terbagi menjadi dua langkah utama: Menentukan prioritas kegiatan yang akan diusulkan perlu kriteria untuk menyeleksi daftar usulan kegiatan karena keterbatasan anggaran Mengintegrasikan isu gender di semua usulan prioritas kegiatan diformulasikan dalam bentuk ToR Kegiatan

ToR Kegiatan
Bentuk keseriusan dalam mengusulkan program/kegiatan Sebagai informasi kepada para pihak (Bappeda, TAPD, DPRD) Di dalamnya secara eksplisit menyatakan problem gender yang terjadi

RKA SKPD Responsif Gender


Elemen-elemen dalam Form 2.2.1: Capaian program Input Output Outcome Kelompok sasaran --> Perlu pernyataan eksplisit adanya akses, peran, kontrol, manfaat yang setara antara laki-laki dan perempuan

217

218

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Pemetaan Kekuatan

SESI 8

Sesi 8

Pemetaan Kekuatan

Pemetaan Kekuatan

Pengantar
Advokasi anggaran responsif gender merupakan upaya memperjuangkan anggaran agar lebih berpihak kepada masyarakat serta dapat mengakomodasikan adanya kebutuhan yang berbeda antara berbagai kelompok dalam masyarakat, baik laki-laki, perempuan, anak, remaja, lansia, maupun penyandang cacat. Dalam proses advokasi anggaran responsif gender, penggerak perubahan akan dihadapkan pada proses politis dari kekuasaan. Mereka merupakan beberapa kelompok dalam masyarakat, baik kelompok formal maupun informal, yang berperan penting dalam pengambilan keputusan sumber daya publik. Keberhasilan advokasi anggaran responsif gender membutuhkan adanya bekal pemahaman mengenai peta politik pada penyusunan dan penetapan APBD. Pemetaan politik berguna untuk memetakan aktor, kepentingan, serta relasi dan pengaruh para aktor dalam proses penyusunan dan penetapan APBD. Pemetaan politik juga akan membekali penggerak perubahan mengenai pihak-pihak mana saja yang mendukung atau sebaliknya, pihak-pihak mana saja yang menghambat advokasi. Dengan adanya peta kekuatan politik, penggerak perubahan bisa menyusun strategi advokasi yang tepat untuk mencapai tujuan advokasi.

219

Tujuan:
Peserta memiliki kemampuan mengidentifikasi pemain kunci yang harus diperhitungkan dalam advokasi anggaran responsif gender. Peserta memiliki kemampuan mengidentifikasi kepentingan dan insentif yang dapat diberikan kepada pemain kunci agar mendukung advokasi anggaran responsif gender. Peserta memahami fenomena kekuatan yang tampak (visible), tersembunyi (hidden), dan tak tampak (invisible power), serta pendapat masing-masing pihak pemangku kepentingan terhadap isu perubahan.

Metode:
Curah pendapat Diskusi kelompok Presentasi

Waktu:
120 menit

Alat dan Bahan:


Kertas plano Spidol

Media Pembelajaran:
Lembar Bantu Belajar 8.1 Bahan Bacaan 8.1 Bahan Bacaan 8.2 Bahan Presentasi 8.1

Catatan untuk Fasilitator:


Fasilitator hendaknya mendampingi proses pembahasan dan analisis yang terjadi dalam kelompok karena pada proses inilah perdebatan antarpeserta tentang siapa pihak pendukung, penentang, dan target terjadi. Ini penting sebagai bekal pemahaman fasilitator untuk memandu proses curah pendapat dalam sesi ini. Sesi ini bisa menjadi rawan atas ketidaknyamanan psikologis peserta karena sangat dimungkinkan posisi peserta dari pihak eksekutif dan legislatif, oleh NGO atau masyarakat, dianggap sebagai pihak yang menghambat dan sebaliknya. Perlu kearifan dan kreativitas fasilitator untuk menjaga forum tetap kondusif dan semua peserta merasa nyaman. Ini penting untuk pengkondisian sesi selanjutnya. Contoh peta kekuatan politik untuk satu isu tertentu dapat dilihat di akhir sesi ini.

Tahapan Proses:
Pembukaan (5 menit)
Fasilitator menjelaskan tujuan sesi 8 secara singkat. Fasilitator meminta pendapat peserta tentang apa yang dimaksud dengan advokasi dan mengapa advokasi anggaran perlu dilakukan.

Curah Pendapat (15 menit)

220

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 8

Pemetaan Kekuatan

Fasilitator merangkum pendapat peserta tentang advokasi dan mengapa advokasi penting untuk dilakukan. Selanjutnya fasilitator mempresentasikan materi advokasi untuk menajamkan pemahaman peserta. Fasilitator menayangkan Bahan Presentasi 8.1 dan menjelaskan isi presentasi secara singkat. Versi lengkap dari bahan presentasi, yaitu Bahan Bacaan 8.1 dibagikan kepada peserta. Fasilitator menjelaskan kepada peserta bahwa di sesi 8 ini akan dilakukan diskusi kelompok. Fasilitator membagi peserta menjadi tiga kelompok, kemudian membagikan Lembar Bantu Belajar 8.1. Fasilitator menjelaskan aturan main diskusi kelompok dan selanjutnya meminta peserta untuk mengerjakan Lembar Bantu Belajar 8.1. Waktu berdiskusi 40 menit. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya secara bergiliran. Setiap kelompok menggambarkan masing-masing pihak yang telah diidentifikasi menjadi lingkaran-lingkaran dengan warna yang berbeda atau sesuai kategori. Besar kecilnya lingkaran menunjukkan kuat lemahnya pengaruh. Gambar garis penghubung antarlingkaran menunjukkan arah relasi antarpihak. Tebal tipisnya lingkaran dan garis tebal atau titik-titik menunjukkan penting tidaknya relasi yang ada. Fasilitator memberikan waktu kepada peserta dari kelompok lain untuk menanggapi presentasi kelompok penyaji. Fasilitator bersama peserta mengambil kesimpulan sesi 8, sebagai berikut: Dalam setiap tahap proses perencanaan dan penganggaran, terdapat tokohtokoh kunci yang berperan. Pengenalan tokoh kunci penting sebagai dasar menyusun strategi advokasi. Tokoh kunci terdiri dari tokoh-tokoh yang secara kasat mata terlihat (visible) dan tokoh-tokoh yang tidak terlihat (hidden dan invisible). Dalam proses advokasi, ada pihak yang mendukung dan ada juga yang menghambat. Ini perlu dikenali sejak dini untuk mengetahui solusi dari persoalan yang mungkin akan muncul dalam advokasi. Mengenali kepentingan masing-masing pemain kunci dan insentif yang mungkin untuk ditawarkan kepada mereka menjadi dasar dalam menyusun strategi advokasi yang akan dibahas dalam sesi 9.

Presentasi (15 menit)

Diskusi Kelompok (40 menit)


Curah Pendapat (40 menit)

Penutup (5 menit)

221

Bahan Bacaan 8.1 Peta Kekuatan dan Istilah-istilah Kunci


Advokasi sering dimaknai sebagai tindakan terorganisir. Peta kekuatan akan menjadi masukan penting untuk menegosiasikan tujuan advokasi kita, yaitu adanya perubahan dalam penganggaran di daerah. Ini merupakan alat untuk mengidentifikasi siapa pemain kunci yang harus diperhitungkan secara serius sekaligus alat untuk mewujudkan perubahan yang menjadi tujuan advokasi. Negosiasi akan lebih mudah dilakukan ketika kita punya informasi memadai tentang target negosiasi kita. Tanpa analisis yang jelas dari seluruh kekuatan atau institusi yang mungkin mengharap sesuatu dari proses penganggaran, upaya kita dapat saja terhalang oleh seseorang atau kelompok yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya. Terkait dengan identifikasi pemain kunci, VeneKlasen menyebutkan ada tiga tingkatan kekuatan yang dimiliki, yaitu kekuatan yang tampak (visible), tersembunyi (hidden), dan tak tampak (invisible). Lebih jelasnya seperti berikut: 1. Kekuatan yang tampak: pengambilan keputusan dapat diamati Yang termasuk tingkat ini adalah aspek-aspek kekuasaan politik yang tampak dan terdefinisi, yaitu aturan-aturan formal, struktur, wewenang, institusi dan prosedur pengambilan keputusan. Contohnya adalah pemilu, partai politik, hukum, legislator, anggaran, kebijakan perusahaan, peraturan daerah. Ada dua cara membedakan kepentingan dan organisasi/masyarakat pada tingkat kekuatan jenis ini: Hukum dan kebijakan yang bias yang nampaknya netral tetapi jelas melayani satu kelompok masyarakat atas pengorbanan masyarakat lain, misalnya kebijakan kesehatan yang tidak mencukupi kebutuhan khusus perempuan, atau bentuk eksklusi yang lebih jelas seperti pembatasan umur dan jenis kelamin untuk persyaratan kerja. Struktur pengambilan keputusan yang tertutup, korup atau tidak representatif (yang tidak melibatkan suara atau kepentingan masyarakat yang seharusnya dilayani).

Warga dan donor secara alamiah menganggap penting pengaruh untuk menanggapi ekspresi nyata kekuasaan, seperti memilih lebih banyak perempuan dan kelompok minoritas untuk duduk dalam pemerintahan, atau mereformasi hukum atau aturan yang diskriminatif. Strategi-strategi tersebut penting, tetapi tidak cukup untuk mengatasi aturan tidak tertulis di masyarakat dan dinamika kekuasaan yang sering kali mengalahkan aturan sistem formal. Meskipun ada hukum dan struktur pengambilan kebijakan, politik tidak pernah terjadi di lapangan. Kekuatan di balik layar, politik, ekonomi, sosial dan budaya menentukan siapa yang duduk di kursi pengambil kebijakan dan isu apa yang menjadi perhatian. 2. Agenda tersembunyi: menyusun agenda politik Tingkat kekuatan jenis ini kurang jelas, sehingga lebih sulit dimasuki. Orang dan lembaga tertentu mempertahankan kekuasaan mereka dengan mengendalikan siapa yang duduk di kursi pengambil keputusan dan isu apa yang diangkat di sana. Dinamika

222

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 8

Pemetaan Kekuatan

ini mengabaikan dan meremehkan kepentingan dan perwakilan dari kelompok yang lebih lemah, misalnya kelompok perempuan dan miskin. Masalah yang dihadapi kelompok-kelompok yang dipinggirkan, seperti isu limbah beracun, hak atas tanah dan kekerasan dalam rumah tangga, adalah masalah yang jelas terlihat di masyarakat namun tidak tersentuh agenda politik. Sulitnya memperoleh liputan media semakin mempersulit keadaan karena media sering kali menganggap masalah kelompokkelompok tersebut bukan arus utama atau tidak bernilai berita. Pada beberapa hal, kepentingan politik dan ekonomi yang berkuasa cenderung mendiskreditkan kelompok yang kurang beruntung sehingga mustahil bagi warga yang tidak memiliki sumber daya ataupun hubungan dengan penguasa dapat didengar suaranya. Bahkan meskipun mereka mewakili populasi yang cukup potensial. Dalam beberapa kasus bahkan pemimpinnya disiksa atau dibunuh. Menutup saluran atau membungkam suara mereka agar tak didengar publik yang lebih luas membuat pengambilan keputusan beralih untuk menguntungkan sebagian kecil masyarakat atas pengorbanan kelompok masyarakat lain yang jumlahnya lebih besar. Untuk menentang perlakuan seperti ini dilakukan advokasi, dengan membentuk konstituen berbasis luas. Hal ini untukmengubah kebijakan dan institusi dalam rangka mengurangi diskriminasi sistemik. Untuk membangun organisasi yang kuat dan akuntabel, mereka menggunakan pihak lain menuju ke meja pengambilan keputusan. Mereka membuat dan menyebarkan analisis dan perspektif alternatif mengenai masalah-masalah mereka dan politik. Mereka juga berusaha menjalankan hubungan dengan kelompok-kelompok berkuasa untuk meningkatkan suara dan kehadiran mereka dalam politik. Strategi tersebut dilakukan dengan efektif oleh kelompok-kelompok pecinta lingkungan hidup, AIDS, perempuan, HAM. 3. Kekuatan tak nampak: membentuk makna Mungkin inilah yang paling tersembunyi dari ketiga dimensi kekuatan. Tingkat ini beroperasi dengan menggunakan cara-cara yang bukan hanya menghalangi kepentingan pesaing dan masalahnya masuk ke meja pengambil kebijakan, tetapi bahkan menghalangi masuk ke pikiran dan alam sadar berbagai pemain politik yang terlibat, termasuk orang-orang yang terkena dampak langsung masalah tersebut. Dengan mempengaruhi cara berpikir orang mengenai tempatnya di dunia, tingkat kekuasaan ini membentuk kepercayaan masyarakat, rasa kedirian dan penerimaan atas nasib lebih berkuasa atau lebih lemah dalam masyarakat. Contoh yang banyak ditemukan dalam masyarakat misalnya, laki-laki dan perempuan diajarkan untuk menerima peran dan hubungan antar- mereka sebagai kodrat atau hukum alam. Kesadaran yang tersosialisasi membuat mereka tidak mempertanyakan atau membayangkan kemungkinan lain untuk mengubah bentuk hubungan tersebut atau menyebutnya sebagai ketidakadilan.1 Melalui perencanaan dan analisis yang tepat, kita dapat mengidentifikasi stakeholders dan mengembangkan strategi yang dapat menetralisir penentang tersebut dan meminimalkan serangan balik yang tidak terduga. Perencanaan semacam ini juga membantu kita mengevaluasi tingkat risiko yang dihadapi ketika mencoba menciptakan perubahan, sesuatu yang penting tetapi sering terlewatkan dalam perencanaan advokasi.
1

VeneKlasen, Lisa dan Valerie Miller dalam A New Wave of Power, People & Politics : The Action Guide for Advocacy and Citizen Participation. 2002.Washington DC, hal 47-48.

223

Peta kekuatan ini juga memberi kesempatan untuk menguji pandangan dari masing-masing stakeholders tentang isu anggaran. Pada sebagian besar kasus, peta ini akan membantu aktivis memperoleh informasi siapa sebenarnya pengambil keputusan yang penting dan bagaimana posisi mereka serta strategi apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapinya. Dengan demikian, peta ini dapat digunakan sebagai alat untuk memeriksa dan alat perencanaan dan pengumpulan informasi. Misalnya jika isu anggaran diubah menjadi isu penyusunan Perda Perizinan Usaha atau Antikekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), maka peta ini juga akan berubah dan masing-masing stakeholders dapat bertukar kategori sesuai posisi mereka terhadap isu baru tersebut. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan strategi yang dapat digunakan untuk masing-masing tingkatan kekuatan: 2

Ibid, hal 50.

224

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 8

Pemetaan Kekuatan

Kekuasaan, partisipasi politik dan perubahan sosial Mekanisme dan strategi


MEKANISME Mekanisme: Berbagai ekspresi dan bentuk kekuasaanpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik menyentuh langsung ke permukaan. Ditentukan oleh konteks politik, pengaruh, sumber daya dan keahlian berbagai pelaku politik. Namun mekanisme kekuatan tak tampak dan tersembunyi juga membentuk efektivitas warga.. Mekanisme ini bisa menyebabkan ketidak-berdayaan, konflik, peminggiran, dan perlawanan. Perlu beberapa strategi untuk menghadapi mekanisme ini supaya partisipasi politik dapat lebih inklusif dan rakyat bisa menggunakan hak dan kewajiban sebagai warga. STRATEGI Strategi: Strategi utama advokasi untuk menghadapi ketidakberdayaan dan eksklusi.Advokasi keadilan sosial membutuhkan strategi tindakan komprehensif yang membahas berbagai bentuk kekuatan yang tampak, tersembunyi maupun tidak tampak dengan melacak sumber kekuasaan alternatif.

Kekuatan yang tampak


Institusi, pejabat dan instrumen formal : Mekanisme kekuasaan formal untuk membentuk aturan dalam masyarakat.

Kekuatan yang tersembunyi

Kekuatan yang tak tampak


Sosialisasi dan kontrol informasi: Proses, praktik norma-norma budaya dan adat membentuk pemahaman masyarakat akan kebutuhan, peran, kemungkinan dan tindakan yang menghambat tindakan efektif menuju perubahan. Di antara kelompok-kelompok marjinal, sosialisasi meresapkan rasa rendah diri, apathis, menyalahkan diri, tak berdaya, tak berharga, memusuhi, amarah. Informasi penting ditutupi atau dihalangi aksesnya. - Pendidikan untuk membangkitkan rasa percaya diri, kewargaan, kolaborasi, kesadaran politik, analisis politik dan menggunakan media alternatif. - Berbagi kisah, bicara dan berhubungan dengan orang lain, memperkuat pertahanan, mengaitkan masalah konkret sehari-hari dengan hak. - Investigasi, riset tindakan, dan penyebaran informasi yang disembunyikan.

Eksklusi dan diskriminasi: Kelompok tertentu dan masalahnya dipinggirkan dari pengambilan keputusan oleh peraturan yang tak tertulis, praktik-praktik, Institusi dan pejabat dan lembaga dalam formal: presiden, masyarakat. Media perdana menteri, sering tidak menglegislator, peradilan, anggap masalah mereka departemen, sebagai arus utama atau kepolisian, militer, dll; bernilai berita. PBB, IMF, Bank Dunia; Mereka dan keluhan Sektor swasta: mereka ditiadakan oleh industri, perusahaan intimidasi, penghamultinasional, kamar langan informasi dan dagang, bisnis, dll. kooptasi. Pemimpinnya dianggap tukang Instrumen : kebijakan, membuat masalah atau hukum, anggaran, tidak representatif. peraturan, konvensi, Misalnya isu-isu seperti mekanisme KDRT dianggap terbatas pelaksanaan, dll. dalam lingkup rumah Bentuk diskriminasi: tangga sehingga tak hukum/kebijakan perlu perlakuan publik.. yang bias (misal, pelayanan kesehatan yang mengabaikan - Membangun konstikebutuhan tuensi aktif sekitar isu/ reproduktif kepedulian bersama. perempuan); struktur - Memperkuat organipengambilan kepusasi, koalisi, tusan yang tertutup pergerakan dan dan tidak represenpemimpin yang tatif (di parlemen, akuntabel. peradilan, dll.) - Mobilisasi sekitar agenda bersama: menunjukkan pengaruh melalui tindakan langsung. - Riset partisipatoris dan penyebaran informasi yang melegi-timasi isu-isu kelompok yang tersisih.

225

Istilah-istilah Kunci:
Pihak yang mendukung adalah individu dan organisasi pendukung yang dapat dibagi dalam tiga kategori (yang sering tumpang tindih): 1. 2. 3. Mereka yang mendukung upaya kita untuk mengadakan perubahan karena mengharapkan keuntungan dari upaya tersebut. Mereka yang dengan mudah diyakinkan untuk bergabung dengan upaya kita karena keprihatinan dan nilai-nilai yang sama. Mereka yang akan secara langsung bekerja sama dengan kita dan berbagi tanggung jawab dalam advokasi karena memiliki kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya.

Pihak yang menentang adalah individu atau organisasi yang menentang upaya-upaya advokasi. Mereka dapat dibagi dalam tiga kategori: 1. 2. 3. Penentang utama, yaitu mereka yang akan kehilangan sesuatu (dalam bentuk moral maupun material) jika advokasi berhasil. Penentang potensial, yaitu penentang yang mungkin tidak akan mengambil tindakan hingga kita benar-benar menjadi ancaman mereka secara langsung. Penentang oportunis, yaitu mereka yang mungkin dapat diyakinkan oleh satu atau dua argumen dari kita.

Target. Tidak mudah mengidentifikasi seseorang sebagai target. Akan lebih mudah kita memikirkan siapa target utama dan siapa yang target tambahan. Misalnya, target utama adalah bupati sedangkan target tambahan adalah orang-orang yang pendapatnya didengar bupati. Sehingga, upaya advokasi dapat difokuskan pada orang-orang tersebut. Memang ini bukanlah hal yang mudah, sebab mungkin saja target ini meleset. Contohnya, ketika aktivis LSM di Amerika Serikat mengadvokasi perubahan Undang-Undang tentang Ranjau Darat. Mereka melakukan lobi kepada para anggota Kongres, namun ternyata keputusan Presiden AS (target utama) dipengaruhi oleh para jenderal Angkatan Darat. Konstituen. Merupakan orang-orang yang mempunyai keprihatinan mendalam atau terpengaruh secara langsung dengan advokasi dan berkeinginan untuk bergabung dalam advokasi. Dari sisi organisasi perencana advokasi, konstituen adalah orang-orang yang sudah aktif di organisasi atau mereka yang terlibat langsung dengan isu yang akan diorganisir. LSM dapat menjadi pendorong bagi gerakan dan partisipasi rakyat. Yang terpenting, tujuan advokasi adalah memperbanyak kelompok-kelompok masyarakat agar mampu mengambil inisiatif dan melakukan kampanye atau advokasi untuk isu yang mereka perjuangkan.

226

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Bahan Bacaan 8.2 Relasi Para Aktor APBD dalam Teori Pilihan Publik
A. Fakta-fakta Seputar Proses Pengambilan Keputusan APBD Secara formal, institusi utama pengambil keputusan APBD adalah DPRD dan Pemda. Aktor-aktor utama yang berperan, terdiri dari kepala daerah, ketua TAPD, kepala Bappeda, kepala DPRD, ketua Panitia Anggaran dan ketua Fraksi. Para aktor utama ini berperan penting dalam menentukan APBD untuk, menjadi pro rakyat atau tidak. Banyak situasi di mana APBD tidak menunjukkan kepekaannya terhadap kepentingan rakyat. Antara lain ditunjukkan dengan anggaran yang besar untuk kendaraan dinas, makan minum, listrik, telepon, pemeliharaan, perjalanan dinas. Dapat dikatakan, anggaran untuk kepentingan pemerintah dan DPRD selalu tersedia , sedangkan anggaran untuk masyarakat terbatas. Selain itu, realita yang juga banyak terjadi adalah besarnya alokasi anggaran untuk pembangunan fisik, yang terbagi menjadi proyek-proyek infrastruktur dalam berbagai bentuk. Pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur diserahkan kepada pihak ketiga atau kontraktor, sehingga menarik untuk ditelusuri lebih lanjut bagaimana relasi antaraktor dalam proses pengambilan keputusan APBD. Pengetahuan mengenai relasi antaraktor sangat bermanfaat untuk kelompok penggerak perubahan dalam menyusun strategi advokasi anggaran yang pro poor dan responsif gender. B. Interaksi Para Aktor dan Teori Pilihan Publik Fenomena APBD yang tidak pro rakyat dapat dijelaskan oleh teori pilihan publik (public choice theory), yang diperkenalkan oleh James Buchanan1. Public choice theory merupakan perpaduan antara disiplin ilmu ekonomi dan ilmu politik dengan menggunakan konsepkonsep dasar dalam ilmu ekonomi untuk menjelaskan proses-proses politik dalam penyusunan kebijakan publik. Secara umum ada dua konsep dasar yang digunakan, yaitu catallaxy dan homo economicus. Dalam ilmu ekonomi, catallaxy digunakan untuk menjelaskan bahwa pasar terbentuk karena adanya proses pertukaran yang bersifat sukarela (voluntary exchange) antara penjual dan pembeli. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan konsep pasar politik (political market)2. Pasar dalam ekonomi diatur oleh hukum dasar, yakni tatanan yang spontan. Sedangkan pasar politik dipakai sebagai konsep untuk menjelaskan pertukaran antara partai politik dengan pemilih dan antara pemerintah yang berkuasa dengan rakyat. Dasar pijakan dari pasar politik adalah aturan main yang konstitusional dan demokratis (constitutional games), bukan atas dasar kekuasaan (power game). Proses pemilu itu sendiri selanjutnya dilihat sebagai instrumen yang memungkinkan penyebaran preferensi dikombinasikan ke dalam pola atau keluaran (output) dalam bentuk realisasi janji-janji program dari partai politik atau kepala daerah terpilih. Politisi dan pemerintah dapat dianalogikan sebagai produsen atau penjual, sedangkan pemilih dapat dianalogikan sebagai konsumen atau pembeli. Dalam konteks desentralisasi, pasar politik hadir di dua momentum, yaitu pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Pemilihan legislatif yang dilakukan lima tahun sekali merupakan aturan main yang konstitusional bagi masyarakat
1 2

Pemenang nobel ekonomi tahun 1992. Rachbini, Didik Prof Dr,Ekonomi IPolitik dan Teori Pilihan Publik,Ghalia Indonesia, 2006, hal 73.

227

memilih secara sukarela wakil mereka yang akan duduk di lembaga legislatif. Dengan harapan, wakil rakyat yang terpilih akan melakukan fungsi-fungsi mereka secara optimal dalam menyuarakan aspirasi masyarakat. Sedangkan pemilihan kepala daerah langsung merupakan aturan main konstitusional di mana masyarakat memilih pemimpin yang akan menduduki pucuk pimpinan di lembaga eksekutif. Proses ini merupakan proses sukarela karena masyarakat memilih calon yang sesuai dengan ekspektasi mereka yang tercermin dalam janji-janji kepala daerah yang disampaikan selama kampanye. Konsep homo economicus digunakan oleh ilmu ekonomi untuk menjelaskan kecenderungan umum individu dalam mengambil keputusan ekonomi bagi dirinya, ketika dihadapkan pada kelangkaan sumber daya di mana individu terus berusaha untuk memenuhi kepentingan pribadinya (self interest). Arti sebenarnya dari konsep ini, manusia cenderung memaksimalkan manfaat kegunaan untuk dirinya karena dihadapkan pada kenyataan akan keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Manusia terus berusaha untuk memenuhi kepentingan pribadinya dan juga secara tidak sengaja mengisi tujuan-tujuan serta kepentingan sosial atau kelompok (social interest).3 Konsep ini ditranformasikan untuk menjelaskan eksistensi suatu kelembagaan kolektif, semisal pemda dan DPRD, di mana pelaku-pelakunya juga bersifat rasional untuk memaksimalkan self interest. Individu selalu memaksimalkan kepentingan dan manfaat bagi dirinya sendiri di dalam pasar (market). Konsumen dengan uang yang terbatas mencari barang yang diperlukan dengan harga yang termurah, kualitas barang yang paling baik dan seterusnya. Produsen juga memaksimalkan kepentingannya sebagai produsen, yakni menjual dengan harga yang bersaing dan meningkatkan kualitas barangnya agar dibeli sebanyak mungkin oleh konsumen. Hal yang sama juga terjadi pada politisi, birokrat dan pemilih, di mana ketiganya selalu membawa kepentingan sesuai dengan peran yang dimainkannya di dalam sistem pasar politik4. Kepentingan pelaku-pelaku di pasar maupun pasar politik: Politisi agar dipilih kembali: memaksimalkan regulasi, kebijakan, program, anggaran dan suara (vote maximizer). Birokrat agar bisa bertahan pada posisinya maka selalu memaksimalkan anggaran. Pemilih memaksimalkan preferensi agar memperoleh manfaat bagi diri dan kelompoknya dari politisi yang terpilih. Kelompok kepentingan memaksimalkan kepentingan anggotanya.

Politisi merupakan representasi aktor dari partai yang berkuasa. Birokrat adalah aktor yang membantu politisi merealisasikan janji-janji kepada pemilih. Pemilih merupakan representasi dari rakyat. Kelompok kepentingan merupakan kelompok di dalam masyarakat yang bertujuan memenuhi kebutuhan anggotanya. Dalam perspektif public choice theory, politisi bertindak sebagai vote maximizer agar sukses di pemilihan umum. Kelompok kepentingan memiliki posisi di antara politisi dan pemilih. Kelompok kepentingan bisa mewakili orang-orang tertentu, kelompok bisnis atau kelompokkelompok tertentu yang mempunyai kepentingan cukup besar di ruang politik suatu negara. Kehadiran dan kemajuan dari kelompok ini sangat tergantung kepada suasana dukungan politik dari pemerintah yang berkuasa. Oleh karenanya, kelompok ini sering bekerja atas dasar lobi yang menjadi pasar politik kedua yang biasanya diatur transparan

3 4

Ibid, hal. 81 Ibid, hal 84

228

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 8

Pemetaan Kekuatan

dan adil untuk publik. Namun dalam banyak kasus, kegiatan lobi tidak transparan, sehingga kekuatan politik yang dimiliki kelompok ini sering berada jauh di atas basis dukungan masyarakat pemilihnya secara kuantitatif. Jika politisi dianalogikan sebagai produsen dan pemilih sebagai konsumen, maka birokrat dianalogikan sebagai distributor, yaitu membantu produsen menyerahkan barang kepada konsumen. Dalam konteks pemerintahan, birokrat membantu politisi memenuhi janji-janji kepada pemilih melalui pelayanan publik yang disediakannya. Dengan posisi sebagai distributor, birokrat selalu berusaha untuk memaksimalkan anggaran yang dimiliknya (budget maximizer). Masing-masing pelaku dalam pasar politik saling berinteraksi. Ada yang dominan, ada yang tidak. Proses interaksi antaraktor ini dapat menjadi jawaban atas kualitas kebijakan publik yang dihasilkan. Dengan demikian, teori pilihan publik memberikan kerangka atau penjelasan bagaimana pemerintah membuat keputusan tentang perpajakan, pengeluaran, peraturan-peraturan ekonomi dan kebijakan-kebijakan lainnya. C. Teori Pilihan Publik dalam Konteks Proses Penyusunan APBD Kritik mendasar yang diberikan teori pilihan publik, pemerintah yang terdiri dari sekumpulan politisi dan birokrat akan membuat pilihan yang cenderung menghasilkan inefisiensi. Proses di pasar politik dipandang sebagai perilaku individu, bukan perilaku kolektif, sehingga hasil yang diperoleh dalam pasar politik bukanlah pertemuan antara kepentingan para pelaku. Pasar politik yang seharusnya bertumpu pada tujuan memaksimalkan manfaat untuk publik, berubah menjadi pasar ekonomi untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, banyak pasar politik gelap yang tidak transparan terjadi dalam proses politik. Tindakan dan perilaku politik di pasar gelap berujung pada kebijakan publik yang sering kali tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat pada umumnya. Kebijakan publik digiring sebagai ajang untuk mementingkan diri-sendiri dan kelompok, sehingga manfaat sumber daya publik untuk masyarakat luas berkurang. Proses politik seperti ini terjadi sangat meluas di dalam pasar politik anggaran dengan skala yang masif di bawah tanah.5 Fenomena ini dijelaskan dalam rent seeking theory, yaitu teori yang menjelaskan hubungan antara pengusaha dengan birokrasi atau pemerintah. Pengusaha selalu mencari preferensi dan keistimewaan dari pemerintah dalam bentuk lisensi, kemudahan, proteksi, dan sebagainya, untuk kepentingannya. Praktik ini menimbulkan biaya sosial dan ekonomi publik yang besar dan kepentingan masyarakat luas pun terabaikan. Upaya memaksimalkan self interest ini terlihat nyata dalam proses penyusunan APBD. RAPBD yang sesungguhnya adalah sumber daya publik justru digunakan untuk memenuhi kebutuhan para politisi dan birokrat yang tercermin dari tingginya belanja tidak langsung dibandingkan dengan belanja langsung. Maksimalisasi self interest ini membawa konsekuensi tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan pada akhirnya APBD tidak bisa menjadi sarana untuk memberikan pelayanan publik yang baik dan berkualitas bagi masyarakat. Keadaan ini karena praktik kolusi yang melibatkan tidak hanya pemerintah dengan pengusaha swasta, tetapi juga anggota DPRD dengan pengusaha swasta maupun antara pemerintah daerah dengan DPRD. Kolusi antara pemerintah daerah dengan DPRD merupakan proses kolusi politik untuk memperebutkan kekuasaan dan anggaran yang tersedia di APBD.
5

Rachbini, Didik Prof Dr,Teori Bandit,RMBOOKS, 2008, hal 17.

229

Praktik perburuan rente ekonomi dan kolusi politik dalam proses penyusunan APBD, mengakibatkan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah hanya akan berujung pada inefisiensi, yaitu satu kondisi tidak adanya titik temu kepentingan para pelaku, yaitu pemilih (masyarakat) serta pemerintah (yang terdiri dari politisi dan birokrat). Kondisi ini mencerminkan terjadinya distorsi di pasar politik. Selain inefisiensi, distorsi di pasar politik juga menimbulkan ketidakadilan. Sumber daya publik tidak dapat terdistribusi secara luas untuk masyarakat karena adanya pasar gelap yang menyebabkan penerima manfaat terbatas untuk pada pelakunya.6 D. Strategi Kelompok Penggerak Perubahan Realita adanya interaksi yang intens antara berbagai kelompok dalam proses pengambilan keputusan APBD menjadi dasar bagi kelompok penggerak perubahan berperan aktif, misalnya yang dimotori LSM, membawa kepentingan masyarakat. Jika diam, maka kelompok-kelompok kepentingan lainlah yang akan mewarnai proses pengambilan keputusan APBD. Menyatukan langkah kelompok penggerak perubahan menjadi penting dilakukan. Langkah awal yang perlu dilakukan, yakni memetakan siapa pendukung dan siapa penentang sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Bahan Bacaan 8.1. Satu hal yang perlu dipahami, bahwa aktor pendukung penggerak perubahan, juga dapat ditemui di kalangan pemerintahan, baik di eksekutif maupun di legislatif. Mereka sering disebut dengan champion. Mencari dan bekerja sama dengan champion menjadi satu hal penting yang perlu dilakukan agar kelompok penggerak perubahan memiliki kekuatan yang memadai. Hal ini diperlukan, karena kelompok-kelompok kepentingan lain juga menggunakan segala kekuatan untuk memperjuangkan agar kepentingan mereka terakomodasi di APBD. Setelah itu, kelompok penggerak perubahan dapat memperluas jaringannya dengan mengajak media massa, akademisi maupun ormas dengan menggunakan strategi kemitraan. Masing-masing elemen dalam kelompok penggerak perubahan dapat berkontribusi sesuai dengan peran dan posisi yang dimilikinya.

Ibid, hal 18.

230

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 8

Pemetaan Kekuatan

Lembar Bantu Belajar 8.1 Peta Kekuatan


1. Langkah Pertama: Buatlah peta kekuatan terkait dengan isu perencanaan dan penganggaran daerah, dengan beberapa pertanyaan kunci di bawah ini: Siapa pengambil keputusan yang sesungguhnya dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah tersebut? Siapa yang menjadi individu kunci (langsung ke nama tertentu)? Siapa pihak lain yang peduli atau mungkin peduli terhadap isu tersebut? Apa posisi mereka pada isu tersebut? Mengapa mereka mengambil posisi demikian? Apakah mereka akan mengambil posisi berbeda secara pribadi? Seberapa besar sesungguhnya kekuasaan dan pengaruh yang mereka punya? Apa pandangan individu kunci terhadap isu pentingnya perubahan dalam anggaran daerah?

Tuliskan jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut dengan mengisi tabel berikut ini: Pemain Utama Institusi/ Struktur Individu Kunci Pendapat/Pandangan tentang Isu

PEMERINTAH/ DEPARTEMEN/ DINAS DinasA Dinas B Biro C Sekda DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR/DPRD) Fraksi A Fraksi B Komisi 1 Komisi 2 AKTOR-AKTOR BERPENGARUH LAINNYA Pengusaha Media Akademisi LSM Tokoh Agama Tokoh Masyarakat Tokoh lainnya

2. Langkah Kedua: Kategorisasikan masing-masing pihak ke dalam tabel sebagai pihak yang mendukung, pihak yang menghambat, target, dan konstituen. 3. Langkah Ketiga: Buatlah diagram yang menggambarkan pola relasi antarpihak yang telah terpetakan dalam langkah pertama dan kedua, dalam bentuk lingkaran dan garis. Lingkaran diberi warna berbeda sesuai dengan kategorinya. Misalnya pendukung diberi warna hijau, penghambat diberi warna merah, dan seterusnya.

231

Lingkaran: Besar kecilnya lingkaran menunjukkan kuat lemahnya pengaruh. Jika pengaruhnya kuat, maka lingkarannya juga besar, atau sebaliknya. Garis penghubung antarlingkaran: Menunjukkan arah relasi antarpihak, bisa berupa garis tebal (menunjukkan relasi yang penting antarlingkaran) maupun garis putusputus (menunjukkan relasi yang kurang penting antarlingkaran).

232

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 8

Pemetaan Kekuatan

Bahan Presentasi 8.1


1 2

Tiga Tingkatan Kekuatan Peta Kekuatan


1. Kekuatan yang tampak (Visible) 2. Kekuatan yang tersembunyi (Hidden) 3. Kekuatan yang tak tampak (Invisible)

Istilah-istilah Kunci
Pihak yang mendukung Pihak yang menentang Target Konstituen (Pemahaman terhadap pihak pendukung dan penentang penting, untuk menyusun strategi advokasi yang tepat)

Pendukung
Tiga motivasi pendukung: 1. Mengharapkan keuntungan 2. Kesamaan nilai 3. Memiliki kesempatan untuk menyelesaikan masalah mereka

Penentang
Tiga kategori penentang: 1. Penentang utama 2. Penentang potensial 3. Penentang oportunis

233

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

SESI 9

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

Pengantar
Advokasi anggaran responsif gender bertujuan melahirkan kebijakan anggaran yang lebih berpihak kepada masyarakat, terutama yang lemah, terpinggirkan dan tidak terperhatikan. Pada akhirnya ini akan memberikan solusi bagaimana anggaran bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat secara adil. Keberhasilan advokasi anggaran responsif gender menggunakan indikator berupa perubahan APBD menjadi lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat dan mengakomodasikan kebutuhan yang berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, yang tercermin pada program- dan besaran anggaran. Agar proses advokasi berjalan sukses, pelaku perubahan harus memilih strategi advokasi yang tepat pada saat menyusun rencana advokasi.

235

Tujuan:
Peserta memahami perlunya kerja sama/berjaringan antarpihak yang berkepentingan dalam menjalankan advokasi anggaran responsif gender. Peserta mampu menyusun rencana advokasi dan rencana tindak lanjut menggunakan pendekatan kemitraan yang sesuai dengan kondisi masingmasing daerah. Peserta mampu menyusun rencana advokasi dan rencana tindak lanjut yang realistis sesuai kebutuhan.

Metode:
Curah pendapat Diskusi kelompok Presentasi

Waktu:
180 menit

Alat dan Bahan:


Kertas plano Spidol Metaplan

Media:
Lembar Bantu Belajar 9.1 VCD dengan tema Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender Bahan Bacaan 9.1 Bahan Bacaan 9.2 Bahan Bacaan 9.3 Bahan Bacaan 9.4

Catatan untuk Fasilitator:


Fasilitator hendaknya kreatif dalam membangun suasana forum yang segar. Bangkitkanlah motivasi peserta saat menyusun rencana advokasi dan rencana tindak lanjut di sesi ini. Perlu disadari bahwa sesi 9 merupakan sesi terakhir yang diharapkan mampu mengukur keberhasilan pelatihan dalam rangka mengubah sikap, pengetahuan dan keterampilan peserta melalui penyusunan advokasi dan rencana tindak lanjut oleh mereka. Rencana advokasi adalah optimalisasi kontribusi masing-masing pihak baik pemda, DPRD dan masyarakat sipil dalam advokasi (termasuk kontribusi dari media). Sedangkan, rencana tindak lanjut menekankan pada rencana kerja untuk tim advokasi. Fasilitator hendaknya memperhatikan berbagai kemungkinan RTL sebagai hasil diskusi kelompok di sesi ini. Kemungkinannya antara lain: - Jika tim advokasi multipihak (stakeholders) dibentuk di tingkat kota/ kabupaten, sementara peserta pelatihan adalah elemen pemda, DPRD dan masyarakat sipil dari suatu kota/kabupaten, maka RTL bisa disusun dalam forum pleno. - Jika tim advokasi multipihak dibentuk di tingkat kota/kabupaten, sementara peserta pelatihan adalah utusan elemen pemda, DPRD dan

236

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

masyarakat sipil dari beberapa kabupaten/kota yang berbeda karena pelatihan dilakukan di tingkat provinsi, maka RTL disusun dengan diskusi kelompok dan hasilnya langsung menjadi RTL kota/kabupaten masingmasing yang siap diimplementasikan setelah mereka tiba di kota/ kabupaten masing-masing.

Tahapan Proses
Pembukaan (5 menit)
Fasilitator membuka sesi 9 dan menjelasan tujuan sesi secara singkat. Fasilitator memulai sesi ini, dengan memutar VCD bertema Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender. Fasilitator meminta tanggapan beberapa peserta atas VCD yang ditayangkan. Fasilitator membagikan Bahan Bacaan 9.1 dan 9.2 untuk menambah wawasan peserta. Kemudian meminta peserta untuk membaca secara cepat. Fasilitator memandu diskusi untuk menekankan beberapa inti dari bahan bacaan tersebut, antara lain: Dari pengalaman di Semarang dan Parepare, kemitraan antarpihak, baik eksekutif, legislatif dan NGO merupakan strategi yang terbukti efektif untuk mendorong tersusunnya anggaran yang responsif gender dan berpihak kepada rakyat. Kemitraan yang dibangun dilandasi kesamaan visi, bahwa APBD yang ada saat ini perlu diubah dan proses perubahan akan bergulir cepat jika pihak-pihak yang memiliki visi perubahan ini bersatu. Ibarat seperti pepatah, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Agar advokasi anggaran responsif gender bisa berjalan efektif, sinergi antarpihak harus dibangun dengan cara, masing-masing pihak memberikan kontribusi secara optimal sesuai dengan peran yang dimilikinya. Perlu disusun rencana advokasi untuk mewujudkan komitmen menjadi konkret. Perlu diingat bahwa dalam menyusun rencana advokasi, peta kekuatan yang sudah dibahas di sesi 8 harus dipertimbangkan agar rencana advokasi menjadi realistis dan sesuai dengan kebutuhan suatu daerah. Setelah itu, rencana advokasi yang disusun akan didetailkan lagi dalam bentuk rencana tindak lanjut.

Pemutaran VCD (10 menit)

Curah Pendapat (45 menit)

Diskusi Kelompok (60 menit)


Fasilitator membagi peserta menjadi tiga kelompok. Setiap kelompok terdiri dari aparat pemda, anggota DPRD dan masyarakat sipil. Kemudian fasilitator membagikan dan menjelaskan Lembar Bantu Belajar 9.1 yang berisi formulir rencana advokasi dan formulir rencana tindak lanjut. Waktu untuk berdiskusi 55 menit.

237

Curah Pendapat (45 menit)


Fasilitator meminta kepada masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi dan meminta peserta menanggapi dan mengkritisi hasil kerja kelompok penyaji. Fasilitator memberikan saran perbaikan rencana tindak lanjut kelompok saat mereka presentasi berdasarkan hasil rangkuman pendapat/tanggapan peserta. Fasilitator menutup sesi dengan menegaskan beberapa hal: Setiap kelompok sudah mempunyai rencana advokasi dan RTL. Kesepakatan yang dihasilkan dalam bentuk rencana advokasi dan RTL bukan sekedar dokumen formalitas belaka. Kesepakatan yang dihasilkan mencerminkan komitmen setiap pihak untuk kemudian diaplikasikan dalam kerja nyata.

Penutup (15 menit)

238

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

Bahan Bacaan 9.1 Belajar dari Seberang: Pengalaman Tanzania Gender Networking Programme1
Tanzania Gender Networking Programme (TGNP) adalah satu LSM di Tanzania yang menjadi motor advokasi anggaran yang responsif gender sejak pertengahan tahun 1987. Saat itu Tanzania sedang menjalankan program penyesuaian struktural (Structural Adjusment Program/SAP) dari Bank Dunia yang secara drastis memangkas program-program sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, mayoritas LSM di Tanzania terpinggirkan dalam proses penyusunan kebijakan, termasuk anggaran. Berdasarkan pada situasi yang ada, advokasi anggaran yang responsif gender difokuskan agar strategi pembangunan lebih berorientasi pada pembangunan manusia dan adanya alokasi sumber daya yang adil untuk berbagai kelompok masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara mempengaruhi proses perencanaan dan penganggaran agar partisipatif dan mengakomodasi kepentingan praktis dan strategis dari kelompok marjinal, terutama perempuan, laki-laki miskin, dan remaja. Konsep yang dikembangkan bukanlah menginginkan adanya anggaran yang terpisah untuk kelompok-kelompok di atas, namun lebih pada upaya mengintegrasi-kan distribusi sumber daya yang adil dalam setiap tahapan proses penganggaran. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan di atas adalah sebagai berikut:

A. Persiapan:
1. 2. 3. Membuat jaringan Inisiatif Anggaran Responsif Gender antara TGNP dengan koalisi LSM yang bergerak pada isu perempuan (FemAct Structures) Mengidentifikasi dan membangun hubungan dengan aktor kunci di pemerintahan Membangun jaringan dengan Inisiatif Anggaran Responsif Gender di negara lain seperti Afrika Selatan, Australia dan negara-negara Persemakmuran

B. Riset Aksi: 1. Riset dilakukan di tingkat nasional (departemen) dan tingkat kota. Riset dilakukan pada Komisi Perencanaan dan Evaluasi (semacam Bappeda di Indonesia) yang merupakan pemain kunci pada proses perencanaan dan penganggaran; Departemen Kesehatan dan Pendidikan sebagai penyedia layanan vital, Departemen Pertanian yang berperan penting untuk kelangsungan hidup rakyat Tanzania, dan Departemen Industri dan Perdagangan yang berperan penting dalam liberalisasi perdagangan Data dikumpulkan dan dianalisis dengan fokus gender dalam proses perencanaan dan penganggaran; komposisi pegawai, teknokrat, dan pembuat keputusan; sumber pendapatan; alokasi sumber daya di setiap sektor dalam perencanaan dan keluaran aktualnya Di setiap sektor, data dikumpulkan oleh satu tim yang terdiri dari tiga peneliti, yaitu satu dari akademisi (pakar ekonomi atau sosiolog), satu dari LSM dan satu lagi dari aparat pemerintah di sektor yang terkait. Aparat pemerintah dilibatkan

2.

3.

Disarikan dari Tanzania Gender Networking Programme

239

sebagai peneliti untuk membuka akses data yang rahasia atau sulit diperoleh. Kondisi ini juga membantu hubungan antara TGNP dengan departemen terkait. Keberadaan akademisi menambah kuat riset kuantitatif dan latar belakang akademis, sedangkan peneliti LSM berkontribusi dalam isu gender, teknik partisipasi dan analisis dampak sosial C. Penyebarluasan Hasil Riset 1. 2. Laporan hasil riset disebarluaskan ke beberapa elemen; mulai dari aktivis, lembaga pemerintah maupun lembaga luar Temuan hasil riset dipaparkan melalui lokakarya dan konsultasi publik dengan kalangan masyarakat sipil, lembaga donor, pembuat kebijakan dan teknokrat yang terkait dengan sektor yang diteliti, termasuk juga Komisi Anggaran Parlemen (semacam Panitia Anggaran di DPR/DPRD)

D. Mengembangkan Strategi Lobi dengan Parlemen dan Masyarakat 1. Salah satu strateginya adalah mempublikasikan buku Budgeting with a Gender Focus yang berisi gambaran besar mengenai kesenjangan gender dalam anggaran dengan bentuk yang sederhana dan mudah dibaca Hubungan juga dibangun dengan parlemen melalui lobi dan membangun kontak dengan anggota parlemen dan komisi-komisi kunci, seperti Komisi Keuangan dan Ekonomi

2.

E. Pengembangan Kapasitas tentang Isu Gender dan Anggaran 1. Pengembangan kapasitas (capacity building) dilakukan untuk LSM dan organisasi masyarakat di tingkat nasional dan lokal untuk mendukung upaya lobi dalam isu gender dan anggaran Pengembangan kapasitas juga dilakukan untuk mitra dan aktor kunci di pemerintahan, terutama keterkaitan antara gender dengan perencanaan dan penganggaran partisipatif Kegiatan ini menjadi lebih sistemik, terlebih ketika pemerintah telah memiliki komitmen untuk mengarusutamakan gender dalam anggaran

2.

3.

F. Menyusun Instrumen untuk Anggaran Responsif Gender 1. 2. 3. Menyusun panduan merancang anggaran alternatif, misalnya, panduan yang menjadikan gender sebagai arus utama dalam anggaran Check list juga disusun sebagai panduan bagi penyusun anggaran dan teknokrat untuk mengarusutamakan gender dalam seluruh proses penganggaran Saat ini, salah satu instrumen telah dikembangkan untuk digunakan sebagai panduan pengumpulan data terpilah

G. Penyebarluasan Informasi, Pembangunan Koalisi dan Jaringan 1. 2. Informasi disebarluaskan dengan menggunakan media massa, situs internet dan forum-forum Anggota koalisi juga berperan untuk menyebarluaskan informasi di tingkat nasional, regional, dan internasional

240

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

3.

Pembangunan koalisi dan jaringan di setiap tingkatan juga digunakan untuk membangun sekutu, hubungan dan solidaritas dengan kelompok lain dan mempromosikan gerakan bersama

H. Lobi kepada Pemerintah dan Lembaga Donor TGNP juga mencoba mempengaruhi proses penyusunan Public Expenditure Review (PER), Poverty Reduction Strategy Paper (PRSP) dan Tanzania Assistance Strategy (TAS) yang dilakukan oleh pemerintah Tanzania dan negara donor.
Sumber : A Taste of Success: Examples of the Budget Work of NGOs.International Budget Project.

241

Bahan Bacaan 9.2 A. Belajar dari Negeri Sendiri: Realokasi Anggaran di Kota Semarang
PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) melakukan advokasi anggaran responsif gender sejak tahun 2003. Dalam kurun waktu tersebut, cukup banyak strategi advokasi yang dijalankan, baik strategi litigasi maupun nonlitigasi. Secara umum, advokasi difokuskan pada upaya meningkatkan jumlah alokasi anggaran yang bisa dinikmati langsung oleh masyarakat, termasuk kelompok perempuan dengan cara realokasi. Hal ini dilandasi oleh beberapa alasan berdasarkan analisis terhadap proses penyusunan APBD dan content APBD yang dihasilkan, antara lain: 1. Terlihat nyata bahwa sebagian besar anggaran tersedot untuk aparat pemerintah daerah yang tidak diimbangi dengan peningkatan pelayanan publik. Jelasnya, telah terjadi inefisiensi besar-besaran. Terjadi ketimpangan anggaran yang dibuktikan dengan kecilnya anggaran dengan penerima manfaat kelompok marjinal dan kelompok rentan, sementara jika penerima manfaat pejabat, anggaran yang dialokasikan cukup besar. Misalnya, alokasi untuk anak jalanan hanya Rp 15.000.0000, sementara alokasi untuk parfum ruang kerja wali kota mencapai Rp 80.000.000. Maraknya kasus korupsi, misalnya kasus double anggaran DPRD, kasus asuransi fiktif DPRD dan kasus pembelian gedung BDNI. Dari sisi proses, partisipasi masyarakat sangat minim, termasuk partisipasi kelompok perempuan.

2.

3. 4.

Untuk mencapai tujuan advokasi, maka serangkaian tahapan kegiatan dilaksanakan, yang meliputi dua kegiatan utama yaitu pengorganisasian basis dan pengorganisasian politik. 1. Pengorganisasian Basis Kegiatan-kegiatan yang dilakukan: a. Diskusi terfokus di kelurahan-kelurahan miskin untuk perempuan basis (menyusun daftar kebutuhan perempuan basis di kelurahan miskin).

b. Membentuk koalisi stakeholders RUMPUN KARANG (Forum Perempuan Kota Semarang), Komite Advokasi Gender Budget, SMS untuk Pemberantasan Korupsi Isu Pendidikan dan FMPA (Forum Masyarakat Peduli Anggaran) yang berkonsentrasi pada pengusutan dan pengawalan kasus dugaan korupsi di Legislatif Kota Semarang. c. Membuat SERASI (Sekolah Rakyat Sipil) untuk penguatan kapasitas perempuan miskin atau hak-hak ekosob.

2. Pengorganisasian Politik Pengorganisasian politik adalah mengkonsolidasikan stakeholders untuk mendukung advokasi yang dilakukan. Kegiatannya antara lain: a. Membangun Jaringan Kegiatannya meliputi:

242

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

1.

Koalisi Media untuk Anggaran yang Responsif Gender Sebagai aktor pilar demokrasi, media massa mempunyai peran strategis untuk membangun opini tentang APBD yang pro publik, APBD responsif gender, dan pemberantasan korupsi untuk realokasi. Media massa yang secara aktif memberitakan isu tersebut Jawa Pos, Radar Solo, dan Kompas Jawa Tengah. Penyuaraan isu dalam bentuk press release, kegiatan, opini, gagasan, wawancara, pelaporan kasus yang diliput media. Cara ini efektif untuk menimbulkan efek langsung dalam mempengaruhi wacana kebijakan publik dengan conversation by media antaraktor politik yang secara tidak langsung membentuk opini publik dalam transparansi kebijakan publik.

2.

Forum-forum Seminar/Diskusi Forum seminar dan diskusi dilakukan untuk mengemukakan hasil riset, gagasan PATTIRO Semarang dengan akademisi, pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif ) serta profesional. Undangan yang hadir kalangan LSM, Pemkot, Ormas, OKP, organisasi perempuan, DPRD, dan komunitas sektoral. Ini adalah salah satu cara untuk mengkonsolidasikan aktor dan wacana.

3.

Membentuk Jaringan Dalam upaya mengubah kebijakan, metode yang dilakukan untuk memperkuat daya desak adalah berjaringan. Fasilitasinya dalam FGD, diskusi, dan seminar yang melahirkan soliditas, kesamaan tujuan untuk menampilkan wajah APBD yang pro publik, responsif gender dan pemberdayaan perempuan untuk mendorong swaadvokasi.

b. Road Show ke Fraksi DPRD dan Koalisi dengan DPRD Pada momentum Pembahasan APBD 2005, advokasi di lini DPRD lebih diutamakan karena ketika Pembahasan APBD 2005 masih di Eksekutif celahnya lebih sulit untuk ditembus karena mekanisme intern. Di Legislatif memungkinkan karena dapat menjalin komunikasi intensif baik dengan perseorangan, fraksi, komisi maupun pimpinan DPRD. Dalam setiap diskusi, seminar, pertemuan dengan organisasi dan basis diupayakan menghadirkan DPRD untuk mengkomunikasikan kebijakan dengan penerima manfaat. Selain memfasilitasi pertemuan dengan organisasi perempuan, sektoral dan perempuan basis, PATTIRO juga melakukan road show ke Fraksi PKS, F-PAN, F-Golkar, F-PDK untuk menyampaikan usulan yang disusun dalam FGD dan semiloka. Kegiatan kedua dengan Legislatif, yakni menjalin koalisi dengan DPRD untuk realokasi anggaran. Dengan banyaknya temuan penyimpangan yang terjadi dalam setiap tahunnya, maka harus ada perubahan menuju wajah APBD yang lebih baik. Posisi tawar PATTIRO di DPRD dan pemerintah yang cukup tinggi, membuat tekanan dan rekomendasi yang dimunculkan memiliki pengaruh signifikan terhadap pembahasan APBD. Caranya dengan melakukan asistensi teknis tiap pagi sebelum anggota Dewan bersidang di komisinya masing-masing. Sebelum sidang pembahasan RASK Dinas, maka PATTIRO melakukan diskusi dan share atas pengkritisan yang telah dibuat dengan anggota dewan di masing-masing fraksi DPRD Kota Semarang. Dari seluruh temuan penyimpangan yang terjadi, PATTIRO Semarang bersama DPRD Kota Semarang berhasil merealokasi Rp 29 miliar dana yang diusulkan oleh pihak Eksekutif Kota Semarang. Realokasi itu

243

digunakan untuk pembiayaan kegiatan/program yang diusulkan oleh masyarakat semisal pembangunan pasar di Kelurahan Podorejo sebesar Rp 100.000.000, proyek pengadaan air bersih di Kelurahan Podorejo sebesar Rp 200.000.000, penambahan alokasi BBM untuk mesin penyedot rob di Kelurahan Panggung Kidul dan beberapa kelurahan lainnya sebesar Rp 214.987.000, penambahan dana untuk pemeliharaan Puskesmas di Kota Semarang (dari RP 7.000.000/tahun menjadi Rp 15.000.000/tahun), dan lain sebagainya. 3. Komunikasi Intensif dengan Pemerintah Daerah Komunikasi intensif dengan dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah, Bappeda, dinas Kesehatan Kota, dinas Kebersihan, dinas Pendidikan, serta dinas Perindustrian dan Perdagangan. Komunikasi intensif ini dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu formal dan informal. 1. Pendekatan Formal Pendekatan formal yang dilakukan misalnya dengan melakukan hearing dan audiensi. Sebelum melakukan hearing dan audiensi, terlebih dulu kirimkan surat permohonan kepada institusi yang dituju. 2. Pendekatan Informal Pendekatan informal dilakukan dengan cara lobby dan share personal, suplai data analisis, serta peninjauan lapangan bersama (bertemu dengan masyarakat secara langsung maupun peninjauan lokasi). Langkah-langkah tersebut dilakukan secara bersamaan dan berkelan-jutan. Semisal, sebelum PATTIRO mengadakan hearing, PATTIRO melakukan pemetaan aktor (pejabat) dari dinas yang akan ditemui pada saat hearing. Kemudian, aktoraktor yang akan hadir dalam hearing tersebut, dilobi untuk memunculkan prakondisi dan pemahaman bersama atas substansi hearing. Prakondisi ini memudahkan proses hearing yang dilakukan. Misalnya, hearing dalam rangka menyampaikan data dan analisis PATTIRO menjadi lebih mudah dilakukan karena telah dilakukan diskusi pendahuluan dengan pejabat yang ditemui dalam hearing. Dengan demikian, target hearing lebih mudah tercapai karena telah ada pemahaman bersama dengan beberapa kawan dari dinas yang juga mendukung data dan analisis PATTIRO. Untuk beberapa usulan yang dihasilkan dari analisis PATTIRO, dinas membutuhkan peninjauan lapangan untuk meyakinkan dan memastikan bahwa usulan yang disampaikan benar adanya. Ini terjadi misalnya ketika dinas Pasar Kota Semarang ingin memastikan usulan dari warga Kelurahan Podorejo untuk pembuatan pasar. PATTIRO bersama dinas Pasar melakukan peninjauan lapangan di Kelurahan Podorejo. Begitu juga dengan dinas Pekerjaan Umum yang pasca hearing dengan PATTIRO, melakukan peninjauan ke Kelurahan Panggungkidul untuk melihat seberapa dampak rob pada warga Panggungkidul dan kebutuhan solar untuk pompa penyedot rob.

244

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

B. Pengalaman Kota Parepare1


Kota Parepare merupakan salah satu kota perdagangan dan jasa di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Meski luas wilayahnya terkecil di Sulsel, tetapi paling strategis secara geografis. Kota yang terdiri dari 4 kecamatan dan 21 kelurahan ini, berada di bagian tengah Sulsel. Kota Parepare menjadi daerah transit dari dan ke Makassar serta Kawasan Timur Indonesia. Parepare adalah kota kecil yang dinamis, berpenduduk 15.169 jiwa jiwa. Koalisi Masyarakat Sipil Kota Parepare yang bernama Fraksi Balkon, melakukan advokasi anggaran responsif gender pada masa pembahasan APBD Kota Parepare tahun 2008.

Konteks Perencanaan dan Penganggaran


Parepare memiliki Perda No. 17 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Bersama Masyarakat (PPBM). Isi perda ini mengatur bahwa pra musrenbang harus dilaksanakan, sebelum musrenbang kelurahan. Selain itu, untuk mengelola jalannya musrenbang kelurahan dan mengawal kebutuhan masyarakat, diangkat seorang fasilitator kelurahan atau Faskel di setiap kelurahan. Namun demikian, dalam praktiknya pelaksanaan proses perencanaan memiliki beberapa kelemahan, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Terpisahnya antara proses perencanaan dan penganggaran. Dokumen perencanaan yang tidak sinergis. Inkonsistensi pelaksanaan jadwal perencanaan dan penganggaran. Minimnya partisipasi masyarakat, khususnya perempuan, dalam musrenbang. Minimnya serapan hasil musrenbang yang diakomodasi dalam APBD.

Rendahnya keterlibatan perempuan dalam musrenbang dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 9.1 Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang Kelurahan


Kelurahan Pr Mallusetasi Wt. Soreang Bukit Harapan Jumlah Persentase 5 2 6 13 16,45% 2007 Lk 16 22 28 66 83,55% Jumlah Peserta Jum 21 24 34 79 100% Pr 17 10 14 41 34,45% 2008 Lk 26 25 27 78 65,55% Jum 43 35 41 119 100%

Sumber: Kantor Kelurahan (diolah)

Meskipun Perda PPBM memberikan peluang partisipasi masyarakat dalam mengikuti musrenbang kelurahan, namun dalam implementasinya belum seperti yang diharapkan. Ironisnya banyak masyarakat yang belum memahami apa itu musrenbang, di mana diadakan dan apa tujuannya. Padahal pra musrenbang telah dilakukan selama tiga tahun (2004-2007) dan ada fasilitator kelurahan yang diangkat Bappeda.

Diringkas dari Fattah, Ibrahim, dkk. Mengubah Wajah APBD:Pengalaman Advokasi Anggaran Responsif Gender di Kota Parepare,YLP2EM,2008.

245

Fokus intervensi: Zona Partisipasi dan Zona Politis Intervensi difokuskan pada zona partisipasi dan politis yang alurnya dapat dilihat pada bagan berikut ini:

Bagan 9.1 Intervensi di Level Partisipasi dan Politis


Pemerintah Kota

DPRD

Pembahasan APBD di DPRD

Kelompok Masyarakat Sipil

Media Massa Realokasi Anggaran

Analisis APBD dan Daftar Inefisiensi

Assessment Komunitas

Strategi advokasi anggaran yang dilakukan di Parepare meliputi dua tahap, yaitu: 1. Pengorganisasian pengetahuan adalah langkah-langkah dalam memproduksi dokumen analisis, assessment terhadap kebutuhan komunitas, dan diskusi yang berkaitan dengan fokus advokasi. Pengorganisasian masyarakat, organisasi masyarakat sipil dan media melalui gerakan memasifkan isu di semua organisasi masyarakat sipil, termasuk media massa. Pembentukan aliansi taktis dan strategis bertujuan untuk membangun ketajaman isu dan kekuatan daya desak. Terdapat cara pendekatan yang berbeda untuk kelompok masyarakat miskin dan marjinal dengan media. Langkah membangun kesadaran individu dan kolektif serta transfer pengetahuan menjadi langkah awal dalam pengorganisasian masyarakat. Sementara itu, media menjadi fokus untuk upaya mendiseminasikan isu yang lebih luas karena mempunyai daya tekan lebih tinggi. Assessment komunitas dilakukan sebagai bentuk terobosan karena minimnya keterlibatan perempuan di musrenbang yang berakibat tidak tersuarakannya kebutuhan dan aspirasi perempuan, anak-anak, manula dan kelompok marjinal lainnya. Assessment ini juga bertujuan untuk menggali masalah dan kebutuhan warga sekaligus sebagai pengorganisasian warga karena selama ini peserta musrenbang didominasi para tokoh masyarakat yang umumnya laki-laki, sehingga usulan yang sering muncul cenderunga berorientasi pada usulan fisik atau infrastruktur.

2.

246

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

3.

Pengorganisasian eksekutif dan legislatif adalah advokasi dalam domain teknokratis. Pendekatan kepada eksekutif melalui cara yang bersifat technical assistance dan konsultatif (audiensi). Dilakukan pada level Bappeda, SKPD dan wali kota. Pendekatan kepada legislatif melalui cara hearing ke Fraksi, Komisi dan Sidang Paripurna.

Hasil Analisis APBD Hasil analisis terhadap RAPBD 2008 menunjukkan beberapa hal penting, yaitu: 1. Belanja langsung turun 29% dibandingkan tahun sebelumnya, sementara Belanja Tidak Langsung mengalami kenaikan sebesar 24%. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena belanja langsung adalah belanja yang terkait dengan program/kegiatan yang akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. a. Penurunan paling besar dialami dinas Perhubungan sebesar 75% dibandingan anggaran tahun sebelumnya.

b. Penurunan anggaran dinas Kesehatan sebesar 69%, sehingga dikhawatirkan target Parepare Sehat 2008 sulit tercapai. c. d. Penurunan anggaran dinas Perindustrian, Perdagangan dan PMD sebesar 66%, dikhawatirkan pedagang kaki lima dan asongan akan terabaikan. Penurunan anggaran dinas Pendidikan sebesar 31%, dikhawatirkan pelayanan pendidikan akan terkendala, sehingga anggaran kurang mendukung Parepare sebagai kota pendidikan.

2.

Alokasi anggaran tidak mencerminkan prinsip ekonomis, efisien dan adil. Jika alokasi tersebut tetap dipertahankan, maka berpotensi terjadi pemborosan anggaran. Total potensi pemborosan adalah Rp 17.892.408.109, dengan rincian sebagai berikut: a. c. d. e. Potensi pemborosan di Setdako, sebesar Rp 6.884.792.000. Potensi pemborosan di kantor Pariwisata, Seni dan Budaya, sebesar Rp 89.000.000. Potensi pemborosan di dinas PU dan Prasarana Wilayah, sebesar Rp 6.840.664.600. Potensi pemborosan di dinas Tata Kota, Perumahan, Pemukiman dan Wasbang, sebesar Rp 1.500.993.709. b. Potensi pemborosan di Sekretariat DPRD, sebesar Rp 6.650.333.550.

Berikut rincian potensi pemborosan di Sekretariat Daerah Kota (Setdako), sebesar Rp 6.884.792.000, antara lain: a. Beberapa kegiatan merupakan pembangunan fisik yang tidak prioritas dilakukan terkait dengan keterbatasan dana dan penurunan belanja langsung di dinas yang menangani pelayanan dasar. Antara lain pengadaan mobil dinas Rp 1.631. 000.000, pembangunan gedung kantor sebesar Rp 800. 000. 000, dan pengadaan meubeler mess Pemda Parepare di Jakarta, sebesar Rp 300. 000. 000.

b. Sejumlah kegiatan yang sifatnya baru karena baru muncul di dokumen RAPBD dan tidak ada di dokumen sebelumnya, baik itu RKPD, KUA, maupun PPAS. Kegiatan baru ini, antara lain: pengadaan lampu hias sebesar Rp 46.150.000 dan

247

pembangunan gedung DPRD sebesar Rp 2.946.306.550. Padahal penerima manfaat kegiatan ini adalah pejabat, bukan masyarakat. c. Sejumlah kegiatan dengan penerima manfaat pejabat dan dianggarkan tiap tahun. Misalnya pengadaan pakaian dinas beserta kelengkapannya, pada 2007 dianggarkan sebesar Rp 50.000.000, pengadaan pakaian khusus hari-hari tertentu dianggarkan Rp 37.000.000, dan pengadaan pakaian dinas pegawai beserta kelengkapannya dianggarkan Rp 31.500.000. Sedangkan pada 2008, terdapat anggaran Rp 30.000.000 untuk pengadaan pakaian khusus hari-hari tertentu kerumahtanggaan, Rp 56.600.000 untuk pengadaan pakaian seragam satgas protokol Pemkot. Untuk DPRD, pada 2007, terdapat kegiatan pengadaan pakaian dinas DPRD dengan anggaran sebesar Rp 127.297.000, di mana kegiatan yang sama berulang pada 2008, dengan jumlah anggaran Rp 115.822.000.

Temuan di Sekretariat DPRD dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9.2 Temuan Hasil Analisis RAPBD 2009 Kota Parepare


No No Rekening
1 1 2 1.20.12004 .03.02

Nama Program /Kegiatan


4 Pengadaan pakaian dinas beserta perlengkapan (hal. 76) Pengadaan perlengkapan gedung kantor (hal. 76) Penyediaan makanan dan minuman (hal. 76)

PPAS
5 Rp 126.622.000

RAPBD

Argumentasi

6 7 Rp 115.822.000 Di tengah keterbatasan dana, alokasi ini perlu dikurangi/ dicoret mengingat tahun 2007 dianggarkan sebesar Rp 127.297.000. sangat bijak sekiranya memberi contoh hidup sederhana

1.20.12004 .02.07 1.20.12004 .01.17

Rp 1.000.000.000 Rp 1.000.000.000 Kegiatan ini belum saatnya dilakukan karena gedung baru belum selesai, sehingga kegiatan ini layak untuk dicoret Rp 484.987.500 Rp 484.987.500 Jika anggaran mamin (makanan dan minuman) digabung dengan pegawai di Setwan, maka bisa dialokasikan Rp 30.000.000, dikurangkan dari 484.987.500, maka menjadi = Rp 454.987.500. Jika merujuk pada jumlah angota DPRD yang hanya 25 orang, dengan hari kerja di tahun 2008 adalah 246 hari (365 hari - 119 hari libur), berarti 1 orang anggota DPRD mendapat jatah sebesar Rp 19.399.500 atau Rp 78.860 per hari/orang. Angka ini jauh di atas angka di SHB Wali Kota sebesar Rp 24.000 (terdiri dari: Rp 17.500 untuk konsumsi dan Rp 6.500 untuk snack). Selayaknya alokasi ini diturunkan menjadi Rp 191.880.000, dengan perhitungan Rp 24.000 x 25 orang x 246 hari kerja = Rp 147.600.000, ditambah 50% dari Rp 147.600.000). Penambahan 30% ini untuk makan minum pegawai setwan dan kegiatan DPRD di luar hari kerja dan tamu.

1.20.12004 .01.18

Rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah (hal. 76)

Rp 175.000.000 Rp 1.570.290.000 Terjadi kenaikan anggaran sebesar Rp 1.395.290.000 atau naik 797% atau naik hampir 8 kali lipat. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena berarti kembali ke pagu di RKPD dan KUA. Padahal di PPAS, pos ini mengalami penurunan yang drastis menjadi Rp 175.000.000. Sebenarnya penurunan di PPAS adalah wujud dari kepekaan dan komitmen DPRD terhadap rakyat. Selayaknya alokasi di RAPBD dikurangi dan dikembalikan ke PPAS, yaitu Rp 175.000.000

248

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

1.20.12004 .02.57

Pembangunan gedung kantor (lanjutan tahun 2007) (hal. 76)

Rp - Rp 2.946.306.550 Alokasi ini baru muncul di RAPBD 2008. Terkait dengan masalah dugaan penggelapan yang muncul, maka sebaiknya proyek ini ditunda sampai masalah terselesaikan, sehingga selayaknya mata anggaran ini dicoret

1.20.1204 .15.07 1.20.12004 .15.08

Peningkatan kapasitas Rp 1.376.927.500 Rp 1.376.927.500 Di tengah keterbatasan dana, alokasi ini perlu dikurangi pimpinan dan anggota dengan kembali ke alokasi yang diajukan di RKPD dan KUA, DPRD (hal. 77) yaitu sebesar Rp 955.000.000 Sosialisasi peraturan perundang-undangan (hal. 77) Rp 286.000.000 Rp 286.000.000 Kegiatan ini tidak perlu dilakukan oleh Setwan karena kegiatan yang sama sudah dilakukan oleh Setdako. Jadi pihak yang lebih berkompeten melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan sebaiknya oleh Setdako. Kegiatan ini layak dicoret

Jumlah

Rp 4.844.827.000 Rp 7.780.333.550

3.

Temuan ketimpangan antara anggaran untuk pejabat daerah dengan anggaran untuk kelompok perempuan dan miskin, seperti berikut ini: a. Alokasi untuk peningkatan kapasitas pimpinan dan anggota DPRD Rp 1.376.927.500, sedangkan alokasi untuk beasiswa bagi keluarga tidak mampu di dinas Pendidikan sebesar Rp 170.000.000.

b. Alokasi untuk penyediaan makanan dan minuman (Setwan) Rp 484.987.500, sedangkan alokasi untuk perbaikan gizi masyarakat sebesar Rp 215.000.000. Padahal jumlah warga miskin mencapai 29.000 jiwa. Jadi hanya dianggarkan Rp 7.414 /jiwa per tahun. Bandingkan dengan jatah setiap anggota DPRD yang mencapai Rp 19.399,50 per tahun. c. Alokasi untuk pengadaan kendaraan dinas di Setdako, sebesar Rp 1.858.460.000, sedangkan alokasi untuk pelayanan orang terlantar di Disnakertrans dan Kesejahteraan, hanya Rp 10.000.000. Alokasi untuk pakaian wali kota dan wakil wali kota mencapai Rp 50.000.000, sedangkan alokasi untuk pelatihan keterampilan berusaha bagi keluarga miskin di Disnakertrans dan Kesejahteraan, hanya Rp 17.000.000.

d.

Rekomendasi terhadap Hasil Analisis RAPBD 2008 Kota Parepare


Berdasarkan berbagai temuan dari analisis, maka perlu dilakukan realokasi, yaitu memindahkan alokasi anggaran dari program/kegiatan yang dipandang tidak prioritas ke program/kegiatan yang dipandang prioritas bagi kepentingan masyarakat. Hal ini penting untuk dilakukan agar anggaran berfungsi sebagaimana mestinya, sesuai prinsip kepatutan, ekonomis, efektif, efisien, akuntabel, transparan, adil, dan tertib. Berikut usulan realokasi: 1. Menambah alokasi anggaran program/kegiatan yang sudah ada di dokumen RAPBD. Dengan penambahan anggaran diharapkan cakupan kegiatan menjadi lebih luas dan masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan akan menjadi lebih banyak jumlahnya. Menghidupkan kembali usulan program/kegiatan yang tidak ada dalam dokumen RAPBD, padahal usulan tersebut dapat ditemui di dokumen RKPD, KUA maupun PPAS. Menghidupkan kembali kegiatan, terutama dilakukan untuk kegiatankegiatan yang dipandang prioritas bagi kepentingan masyarakat. Mengusulkan program/kegiatan yang baru, yang sebelumnya tidak terdapat di dokumen RKPD, KUA, PPAS maupun RAPBD. Usulan kegiatan baru ini terkait dengan

2.

3.

249

hasil assessment kami terhadap kelompok miskin dan perempuan yang selama ini kebutuhannya jarang tersuarakan. Kegiatan baru ini telah disampaikan kepada anggota DPRD dari DP (Daerah Pemilihan) Soreang dan Ujung pada saat reses. Total Potensi Pemborosan dalam RAPBD 2008 sebesar Rp 17.892.408.109 dan direkomendasikan untuk direalokasi kepada SKPD di bawah ini:

Tabel 9.3 Usulan Realoaksi dan SKPD Penerima


No Nama SKPD 1. 2. 3. 4. Dinas Pendidikan Dinas Kesehatan Dinas Perindag Dinas Tenaga Kerja Total Realokasi Jumlah Realokasi (Rp) 628.550.000 94.914.000 110.000.000 80.000.000 913.464.000

Dengan demikian anggaran yang dapat di-saving oleh daerah sebesar Rp 16.978.944.109. Dana saving ini dapat digunakan oleh daerah untuk membayar utang. Contoh usulan realokasi sektor pendidikan pada tabel berikut:

Tabel 9.4 Realokasi di Sektor Pendidikan


No Nama Program/ Kegiatan 1 3 RAPBD 4 Anggaran Alternatif 5 Selisih RAPBD 6 (5 - 4) Argumentasi 7

Program Pendidikan Anak Usia Dini Pengembangan Rp55.000.000 Rp350.000.000 Rp295.000.000 Sudah banyak PAUD yang Pendidikan Anak diinisiasi kelompok masyarakat Usia Dini yang saat ini membutuhkan intervensi program pemerintah agar proses belajar lebih menyenangkan dengan bertambahnya alat peraga. Program Pelayanan Administrasi Perkantoran Penyediaan Jasa Rp91.815.450 Rp350.000.000 Rp258.184.550 Biaya oprasional sekolah Komunikasi, Air khususnya telepon, air dan listrik dan Listrik membutuhkan tambahan biaya mengingat jumlah sekolah SD sampai SLTA yang sangat banyak. Hal ini dilakukan agar pihak sekolah tidak memungut biaya tambahan dari orang tua siswa. Program Pendidikan Non- Formal Pembinaan PendiRp14.500.000 dikan Kursus dan Kelembagaan Rp30.000.000 Rp15.500.000 Pertumbuhan lembaga-lembaga kursus perlu mendapat dukungan dalam bentuk peningkatan biaya agar proses belajar menjadi lebih efektif.

Program Manajemen Pelayanan Pendidikan Peningkatan KuaRp40.000.000 Rp100.000.000 Rp60.000.000 Pelayanan pendidikan merupalitas pelayanan kan faktor yang sangat penting Pendidikan dalam memajukan pendidikan. Jumlah Rp 201.315.450 Rp 830.000.000 Rp628.684.550

250

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

Selain kegiatan yang sudah ada di SKPD tadi, diusulkankan pula sejumlah kegiatan yang sebelumnya muncul di PPAS, namun hilang dalam RAPBD. Selain itu, sejumlah usulan yang berasal dari hasil assessment yang dilakukan di komunitas miskin serta FGD bidang pendidikan, yakni: 1. 2. Program pembebasan buta aksara latin dan buta aksara Quran. Pelatihan kompetensi tenaga pendidikan, dalam hal ini pelatihan konselor bagi guru BP, mengingat banyaknya anak sekolah SLTP dan SLTA yang bermasalah di sekolah. Pengembangan pendidikan kecakapan hidup (life skill) yang diarahkan pada pelatihan keterampilan teknis sebagai solusi bagi anak putus sekolah. Pembangunan perpustakaan bukan hanya pada satu SD tetapi perlu ditambah dua SD, sehingga di setiap kecamatan ada perpustakaan sebagai pilot project.

3. 4.

Capaian Advokasi Beberapa agenda yang mendapat respons selama advokasi, di antaranya: 1. Proses a. Pemda dalam hal ini wali kota menerima atau merespons dengan menerima Fraksi Balkon dalam sebuah audiensi penyampaian hasil analisis RAPBD 2008.

b. Anggota DPRD menerima Fraksi Balkon untuk berbagi tentang analisis konsistensi dokumen perencanaan. c. DPRD menerima pendapat Fraksi Balkon terkait penyampaian hasil analisis RAPBD 2008. Mereka adalah: H Ridha Ali sebagai Wakil Ketua DPRD, H Bakhtiar Tijjang dari PKS, H Rahman Saleh dari PKS, dan Ir Kaharuddin Kadir M.Si dari Golkar. Fraksi Balkon bisa mengikuti Rapat Komisi dan Gabungan Komisi.

d.

2. Substansi Temuan hasil analisis berupa: a. Penghematan anggaran Usulan yang berhasil dihemat sebesar kurang lebih Rp 1,7 miliar, yaitu pos untuk pembelian mobil dinas wali kota, wakil wali kota, Setdako dan mobil Badan Kehormatan DPRD dihapus. b. Realokasi berupa penambahan anggaran atau usulan baru Usulan anggaran yang berhasil direalokasi yaitu sebesar Rp 2.106.555.775.

Tabel 9.5
No Bidang/sektor 1. 2. 3. Dinas Pendidikan Disperindag Dinas Kesehatan Jumlah Program/Kegiatan 13 program 6 program 6 program Anggaran( Rp) 915.888.500 257.100.075 933.567.200

251

Berikut contoh kegiatan yang ditambah anggarannya:

Tabel 9.6 Kegiatan yang Dinaikkan Anggarannya dan Kegiatan Baru yang Diakomodir APBD
Nama Kegiatan RAPBD (Rp) APBD (Rp) Keterangan (Rp)

Dinas Pendidikan Penyediaan Jasa Komunikasi, 91.815.450 Sumber Daya Air dan Listrik Program Pendidikan Anak 55.000.000 Usia Dini Program Pendidikan 224.158.000 Non-Formal Disperindag Program Pembinaan Pedagang Kaki Lima dan Asongan Kegiatan Pengawasan Mutu Dagangan Pedagang Kaki Lima dan Asongan Kegiatan Penataan Tempat berusaha Bagi Pedagang Kaki Lima dan Asongan

500.000.000 Penambahan sebesar 408.184.550 82.270.000 Penambahan sebesar 27.270.000 301.473.000 Penambahan sebesar 77.315.000 129.642.675 Kegiatan baru yang diusulkan berdasarkan hasil FGD komunitas 6.620.000 Kegiatan baru yang diusulkan berdasarkan hasil FGD komunitas 64.222.675 Kegiatan baru yang diusulkan berdasarkan hasil FGD komunitas

Pembelajaran
Secara keseluruhan, ada beberapa pembelajaran yang cukup menarik dalam pengalaman advokasi anggaran responsif gender di Pare-pare. Keberhasilan advokasi realokasi anggaran dapat diraih karena dukungan beberapa faktor yang dapat disebut sebagai prasyarat keberhasilan advokasi realokasi anggaran. Beberapa prasyarat tersebut adalah: a. c. d. e. CSO yang cukup kuat. Media yang independen dan terlibat dalam tim advokasi. Pelibatan SKPD calon penerima dana hasil realokasi ketika menentukan usulan kegiatan hasil realokasi. Kedudukan yang cukup berimbang antara eksekutif dan legislatif, di mana tidak terlalu dominan salah satunya. b. DPRD yang cukup terbuka.

252

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

Bahan Bacaan 9.2 Refleksi Advokasi Anggaran Responsif Gender di Indonesia


A. Tujuan Inisiatif Anggaran Responsif Gender Tujuan advokasi anggaran responsif gender dapat bervariasi menurut konteks sosial dan politik suatu negara dan pengaturan kelembagaan yang melaksanakannya. Namun tujuan yang menjadi inti dari mayoritas inisiatif anggaran responsif gender adalah1: 1. Membangkitkan kesadaran mengenai isu gender dan dampaknya, agar bisa diintegrasikan dalam anggaran dan kebijakan Di sini perlu mengenalkan pentingnya anggaran pemerintah menjadi responsif gender atau sebaliknya, perlu mengenalkan manfaat dan dampak anggaran tidak responsif gender. Terkait dengan tujuan ini, beberapa tools analisis dikembangkan untuk menyampaikan data-data keterkaitan antara kebijakan dan anggaran yang bertujuan mencapai kesetaraan gender. 2. Membuat pemerintah bertanggung jawab dan berkomitmen agar isu kesetaraan gender tercermin dalam anggaran Tujuan kedua ini terkait dengan capaian advokasi pada tingkat awal, yaitu munculnya kesadaran pemerintah untuk memiliki komitmen sekaligus menerjemahkan komitmen kesetaraan gender dalam anggaran. Komitmen ini merupakan tindak lanjut dari tujuan pertama, sebagai respons positif pemerintah untuk mengubah situasi saat ini di mana komitmen kesetaraan gender masih sekedar wacana dan belum konkret dalam anggaran sebagaimana tersaji dalam hasil analisis yang banyak dilakukan di tujuan pertama. Komitmen ini perlu ditingkatkan menuju tujuan ketiga. 3. Mengubah anggaran dan kebijakan untuk memajukan kesetaraan gender Tujuan ini merupakan tindak lanjut ketika tujuan kedua telah tercapai, yakni menindaklanjuti komitmen dengan mengubah anggaran dari kondisi belum responsif gender menjadi responsif gender. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah2: a)peningkatan alokasi anggaran, b)peningkatan kualitas input sumber daya, misalnya pelatihan pegawai, kepastian dana yang lebih besar, termasuk pembelanjaan dana sesuai rencana, c)redistribusi alokasi anggaran, d)mengubah jenis dan kualitas barang dan jasa yang disampaikan pemerintah, dan e)mengubah hasil kebijakan.

Dalam praktiknya, tujuan pertama, kedua dan ketiga dapat dilakukan secara bersamaan jika pemerintah merespons positif inisiatif anggaran responsif gender.

1 2

Sharp, Ronda,Budgeting for Equity,UNIFEM 2003, page 9. Ibid, page 18.

253

B. Refleksi Advokasi Anggaran Responsif Gender Inisiatif anggaran responsif gender telah dilaksanakan di Indonesia sejak 2002. Mayoritas inisiatif dilakukan di tingkat daerah, khususnya pada tingkat kota/kabupaten3. Sejumlah capaian berhasil diraih, antara lain peningkatan alokasi anggaran di Semarang, Tangerang, Bone dan Parepare; komitmen pemda untuk mewujudkan kecamatan melek gender di Palu; SE Bappeda tentang indikator prioritas di Bone, peningkatan kapasitas dan partisipasi perempuan untuk terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran. Secara umum, masyarakat dan pemerintah daerah memberikan respons positif atas inisiatif anggaran responsif gender. Respons positif ini dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan pertama, kedua dan ketiga tadi secara bersamaan, sebagaimana yang dilakukan di Kota Parepare, Sulawesi Selatan pada 2007-2008. Inisiatif anggaran responsif gender yang sudah berjalan selama enam tahun ini memunculkan beberapa pembelajaran yang dapat dijadikan bekal bagi daerah yang ingin memulai inisiatif anggaran. Beberapa pembelajaran yang didapat antara lain:

1. Menjadikan isu partisipasi, transparansi dan akuntabilitas sebagai isu dasar Inisiatif anggaran responsif gender membutuhkan beberapa prasyarat, antara lain sistem perencanaan dan penganggaran yang baik, ketersediaan data terpilah, tersedianya ruang partisipasi bagi masyarakat dan proses yang transparan di setiap tahapan dalam siklus APBD. Dalam kondisi ini, inisiatif anggaran responsif gender dapat dimulai dengan isu-isu dasar tentang partisipasi, transparansi dan akuntabilitas karena sering kali pengintegrasian isu gender merupakan langkah lebih lanjut dari isu dasar ini. Misalnya, ketika pemerintah daerah berkomitmen untuk membuka ruang partisipasi, maka isu pentingnya partisipasi perempuan dan kelompok miskin menjadi satu isu yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dengan memahami kendala-kendala partisipasi yang ada. Demikian juga dengan isu akuntabilitas. Pemerintah akan dinilai akuntabel jika melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik untuk melayani seluruh lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Memulai dengan isu-isu dasar good governance akan memberikan manfaat yang sangat penting, yaitu respons positif dari pemerintah daerah dan DPRD karena gagasan yang dibawa memberikan alternatif solusi dari masalah-masalah yang terjadi dalam masa awal implementasi sistem anggaran berbasis kinerja dan membantu memahami aturan perundangan yang cepat berganti. Pada awalnya, kritik akan muncul karena belum terlihat jelas nuansa gendernya, namun ini adalah era kritis dalam rangka membangun pondasi sistem perencanaan dan penganggaran yang baik. Jika pondasi sudah kokoh, maka jalan untuk mewujudkan anggaran responsif gender akan menjadi lebih mudah dilakukan. 2. Menggunakan isu pro poor dan responsif gender secara paralel Strategi ini tidak terlepas dari situasi riil yang ada di banyak kota/kabupaten, yaitu banyaknya kasus korupsi yang ada di daerah, baik yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun DPRD. Data KPK menunjukkan bahwa pada periode 2004-2006,
3

Inisiatif awal berasal dari kelompok masyarakt sipil, antara lain PATTIRO, FITRA dan CIBA atas dukungan dari The Asia Foundation. Selain itu, inisiatif yang sama juga dilakukan oleh KNPP (Kementrian Nasional Pemberdayaan Perempuan) dalam rangka mengoperasionalisasikan strategi pengarusutamaan gender di tingkat daerah dengan memberikan dana stimulan yang berasal dari APBN kepada kota/kabupaten.

254

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

terdapat 1.164 kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah, yang terdiri dari 7 gubernur, 63 bupati/wali kota, 327 anggota DPRD provinsi dan 767 anggota DPRD dari 110 kabupaten dan 25 kota. Maraknya kasus korupsi APBD menunjukkan profil APBD yang belum pro poor dan responsif gender. Penggunaan kasus korupsi APBD, efektif untuk membuka kesadaran para pemangku kepentingan. Dari titik ini, gagasan pentingnya anggaran yang pro poor dan responsif gender menemukan momentum terbaiknya karena menjadi alternatif solusi dari profil APBD yang ada selama ini terbukti pro pejabat. Penggunaan isu pro poor dan responsif gender secara paralel, juga efektif dalam meminimalisasi resistensi dari kelompok-kelompok yang menganggap isu kesetaraan gender sebagai isu yang membahayakan. Ilustrasi ketimpangan anggaran untuk kepala daerah berbanding dengan untuk kelompok perempuan dan miskin, menjadi sarana efektif untuk menunjukkan fakta bagaimana kelompok perempuan dan miskin menjadi pihak yang paling berat menanggung akibat dari APBD yang tidak pro poor dan responsif gender. 3. Peluang untuk institusionalisasi dalam pemerintah daerah melalui asistensi teknis Peluang ini terkait dengan peran pemerintah daerah yang cukup besar di setiap tahapan dalam siklus APBD. Asistensi teknis terhadap pemerintah daerah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu asistensi terhadap Bappeda/TAPD dan asistensi terhadap SKPD. Asistensi terhadap Bappeda/TAPD berhubungan dengan upaya perbaikan sistem penganggaran terkait dengan pembelajaran pertama, sedangkan asistensi terhadap SKPD terkait dengan proses penyusunan usulan kegiatan masingmasing SKPD yang tercermin dalam dokumen Renja SKPD dan RKA SKPD. Sedangkan asistensi terhadap anggota DPRD dilakukan dengan memberikan hasil analisis terhadap rancangan dokumen KUA dan PPAS serta dokumen RAPBD yang diserahkan oleh TAPD. Asistensi teknis dapat bersifat sangat elitis karena memasuki wilayah teknokratis, namun faktanya metode ini cukup efektif mengubah APBD menjadi pro poor dan responsif gender. Metode ini memberi jawaban dan aksi konkret bagi daerah yang telah menyadari arti penting dari anggaran pro poor dan responsif gender dan mereka berkomitmen mewujudkannya. Secara sederhana, metode asistensi teknis menjawab pertanyaan pemda tentang apa yang harus mereka lakukan untuk mewujudkan anggaran pro poor dan responsif gender.

C. Pilihan Zona Intervensi Anggaran Repsonsif Gender Pembelajaran selama melakukan advokasi anggaran responsif gender memunculkan pilihan-pilihan area advokasi yang akan menjadi fokus intervensi bagi siapa saja yang ingin memulainya. Secara umum, ada tiga pilihan zona intervensi: partisipatif, teknokratis dan politis. 1. Zona partisipatif Isu penting dari zona partisipatif adalah keterlibatan kelompok perempuan dan miskin dalam seluruh tahapan siklus APBD. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan adalah melalui aturan tentang kuota perempuan di musrenbang, pagu indikatif, Forum Delegasi Musrenbang dan musrenbang khusus perempuan. Di tingkat masyarakat,

255

zona partisipasif dilakukan melalui pembentukan jaringan kelompok perempuan di tingkat kota/kabupaten yang berperan sebagai pressure group terhadap pengambil keputusan. Mereka melaksanaan pendidikan politik perempuan di tingkat akar rumput untuk mendorong perempuan aktif terlibat dalam proses musrenbang. 2. Zona teknoratis Isu penting intervensi di zona teknokratis adalah asistensi teknis dalam rangka perbaikan sistem penganggaran secara umum, misalnya dengan mengenalkan indikator penentuan prioritas, pagu indikatif, tools untuk review RKA SKPD. Pada tataran yang lebih luas, asistensi juga dapat dilakukan pada saat penyusunan dokumen perencanaan jangka menengah, baik berupa RPJMD maupun Renstra SKPD, dengan mengintegrasikan isu gender dalam kedua dokumen ini. Di tingkat SKPD, asistensi teknis difokuskan pada perbaikan proses penyusunan kegiatan tahunan SKPD dengan mengenalkan penyusunan ToR Kegiatan sebagai lampiran dalam dokumen Renja SKPD dan RKA SKPD. Dalam lampiran dokumen inilah, dituliskan bentuk konkret pernyataan anggaran responsif gender.

3. Zona politis Intervensi di zona politis dilakukan di tahapan proses yang melibatkan DPRD. Misalnya penyusunan KUA dan PPAS serta Pembahasan RAPBD. Isu penting dalam zona politis adalah optimalisasi fungsi penganggaran DPRD dengan menempatkan DPRD sebagai penjaga gawang terakhir APBD pro poor dan responsif gender. Analisis terhadap dokumen, baik KUA dan PPAS maupun RAPBD, dan penyebarluasan hasil analisis kepada kepada masyarakat dan DPRD, merupakan kegiatan utama yang dilakukan dalam zona politis ini. Analisis terhadap RAPBD merupakan titik kritis di zona ini karena waktunya relatif singkat4. Namun tahapan ini, strategis untuk diintervensi karena di masa inilah profil RAPBD dapat dilihat secara utuh. Analisis dilengkapi dengan rekomendasi yang bersifat solutif dan konstruktif, yakni menggunakan strategi realokasiberupa pengurangan pos anggaran yang berpotensi pemborosan dan menambah anggaran untuk program/kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat. Pilihan fokus intervensi akan sangat tergantung pada sumber daya yang dimiliki dan hasil yang ingin dicapai. Jika ingin mendapatkan perubahan secara cepat, zona teknokratis adalah pilihan utama. Sebaliknya, jika yang ingin dikuatkan adalah keterlibatan kelompok perempuan dan kelompok miskin, zona partisipasi lebih baik dipilih. Zona partisipatif dan teknoratis bersifat trade off, meski masih bisa dilakukan secara paralel. Jadi harus memilih salah satu di antaranya. Intervensi secara paralel tetap bisa dilakukan, namun hasilnya tidak bisa optimal dua-duanya karena terkait dengan konsentrasi sumber daya. Sementara itu, zona politis bersifat melengkapi kedua zona tadi. Apa pun zona yang dipilih, semuanya demi mewujudkan anggaran responsif gender.

Waktu yang tersedia kurang lebih tiga bulan, mulai dari bulan Oktober-Desember (sesuai UU. No. 17 Tahun 2003). Namun pada praktiknya, TAPD sering terlambat menyerahkan RAPBD kepada DPRD yang berakibat mepetnya waktu pembahasan.

256

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

Bahan Bacaan 9.3 Strategi Kemitraan dalam Advokasi Anggaran Responsif Gender
Inisiatif anggaran responsif gender merupakan satu solusi alternatif atas masalah kemiskinan dan ketimpangan gender yang terjadi saat ini. Perubahan harus dilakukan agar anggaran dapat menjalankan fungsinya sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyat dan mengatasi problem ketimpangan gender yang ada menuju masyarakat yang sejahtera, berkeadilan sosial dan berkeadilan gender. Kerja sama antarpemangku kepentingan dibutuhkan agar perubahan menuju anggaran yang responsif gender dapat dilakukan dengan baik. Kerja sama diperlukan karena proses penyusunan dan penetapan APBD melibatkan banyak aktor. Kerja sama antarpemangku kepentingan ini, dapat dikonkretkan dnegan membentuk jaringan kerja anggaran responsif gender. Ada beberapa elemen utama yang perlu dilibatkan dalam jaringan kerja anggaran responsif gender, yaitu pemda, DPRD, akademisi, LSM/CSO dan media. Jika inisitiaf awal jaringan kerja anggaran responsif gender berasal dari masyarakat sipil, maka langkah pertama adalah membangun kemitraan dengan pimpinan pemda dan DPRD. Ini perlu dilakukan, untuk menjelaskan gagasan anggaran responsif gender dan meminta kesediaan mereka mendukung gagasan ini. Jika mereka sudah berkomitmen, maka biasanya komitmen ini akan dioperasionalisasikan oleh tim teknis yang ditunjuk. Jika komitmen formal sulit diperoleh, masyarakat sipil dapat membangun relasi secara informal dengan pejabat pemda maupun anggota DPRD. Selain itu, jaringan dikembangkan dengan menggandeng akademisi dan media. Strategi kemitraan dibangun oleh pemahaman bersama bahwa masing-masing elemen pemangku kepentingan dapat berkontribusi sesuai dengan posisi dan kompetensi masing-masing. Anggota DPRD dan pegawai pemda berkontribusi memberikan dokumen-dokumen APBD dan menginformasikan perkembangan seputar proses penyusunan dan pembahasan RAPBD. LSM bersama akademisi berkontribusi melakukan analisis RAPBD dan memberikan hasil analisis ke anggota DPRD maupun media. Media berkontribusi dengan memberitakan hasil analisis dan perkembangan proses penyusunan dan penetapan APBD. Pemberitaan media seputar proses pembahasan RAPBD di DPRD akan menjadikan publik mengetahui perkembangan pembahasan RAPBD sebagai sarana pembelajaran bersama. Dari beberapa pengalaman yang sudah dilakukan, terbukti bahwa isu anggaran responsif gender dapat menjadi isu yang diterima secara luas oleh masyarakat. Di sisi lain, strategi kemitraan merupakan strategi yang efektif untuk membuat perubahan ke arah terwujudnya anggaran responsif gender melalui optimalisasi peran dari masing-masing elemen pemangku kepentingan.

257

Bahan Bacaan 9.4 Peran Media dalam Advokasi


Dalam prosesnya, advokasi membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Namun, sumber daya yang dimiliki oleh pelaku advokasi sangatlah terbatas untuk bisa menjangkau langsung kepada masyarakat dan menjelaskan apa yang sedang diperjuangkan. Dalam kondisi seperti ini, media memegang peranan penting untuk membantu pelaku advokasi mendapatkan dukungan dari publik atas apa yang tengah diperjuangkan. Media, baik dalam bentuk media cetak maupun elektronik adalah pihak yang strategis untuk diajak menjadi bagian dari pihak yang pendukung advokasi kita. Mengapa Harus Advokasi Lewat Media?1 1. Advokasi lewat media penting untuk: 2. masuk ke dalam agenda politik; membuat isu anda terlihat dan credible; memberitahu publik tentang isu anda dan cara pemecahan yang diusulkan; mencari sekutu; mengubah perilaku dan sikap publik; mempengaruhi pengambil kebijakan dan pemimpin opini; membentuk kebijakan, program, dan perilaku badan-badan pemerintah dan swasta. pesan apa yang ingin disampaikan; siapa yang menjadi target pesan anda; bagaimana anda meraih perhatian audiens tersebut; bagaimana anda menggunakan jenis media; bagaimana strategi tersebut bisa membantu upaya advokasi secara keseluruhan.

Rencana advokasi lewat media mencakup:

Pengembangan Pesan Pesan advokasi anda adalah kata-kata yang anda pilih untuk mewakili isu anda, solusinya, dan siapa anda. Untuk membangun suatu pesan, anda perlu informasi untuk mendukung argumen yang anda gunakan. Secara umum, untuk mengembangkan suatu pesan yang efektif, hal yang penting adalah: kenali audiens anda; kenali lingkungan dan moment politik; pesan harus singkat dan sederhana; gunakan kisah nyata dan kutipan; gunakan bahasa yang tepat, lugas dan kata kerja aktif;

Veneklasen, Lisa dan Valerie Muller, 2002. A New Way of Power, People & Politics: The Action Guide for Advocacy and Citizen Participation: hal. 231 - 237.

258

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

gunakan fakta, angka, dan ilustrasi yang jelas dan kreatif; sesuaikan pesan dengan medianya; biarkan audiens berusaha memahami; dorong audiens mengambil tindakan; berikan rekomendasi penyelesaian masalah.

Kemas Pesan Anda Cara anda mengemas masalah dan solusinya adalah salah satu dari sekian faktor paling penting dalam advokasi. Untuk membantu anda menyampaikan informasi dengan mengingat prinsip pengembangan pesan, kami sarankan anda: mulailah kampanye advokasi anda dengan pesan inti; sesuaikan cara penyampaian pesan untuk meraih audiens tertentu; berikan kerangka dan konteks untuk isu yang diangkat.

Membingkai pesan untuk berbagai audiens Audiens Masalah Pesan


Pengambil-keputusan (politik dan ekonomi ) 1. Menteri 2. Kepala kepolisian 3. Anggota legislatif 4. Presiden dan staf eksekutif 5. Pimpinan perusahaan 6. Dewan direksi/pemegang saham Kelompok civil society: 1. LSM 2. Serikat buruh 3. Badan pembangunan 4. Kelompok agama 5. Kelompok riset dan think tank

Media
1. Koran 2. Televisi 3. Radio 4. Jurnal bisnis 5. Kertas posisi 6. DIM 1. Koran 2. Televisi 3. Radio 4. Poster dan pamflet 5. Stiker 6. Milis 7. Newsletter 8. Konferensi dan lokakarya 9. Kertas posisi 1. Koran besar 2. Televisi 3. Radio 4. Poster dan pamflet 5. Stiker 6. Konferensi dan lokakarya

Pembentuk opini 1. Pemimpin agama 2. Pemimpin adat dan tradisi 3. Akademisi 4. Profesional

259

Lembar Bantu Belajar 9.1 Rencana Advokasi dan Rencana Tindak Lanjut
Panduan Diskusi Kelompok: Langkah Pertama : Isilah Form Rencana Advokasi di bawah ini
Tahapan Kondisi Saat Ini Kondisi yang Diinginkan DPRD Musyawarah Desa/Kelurahan Musyawarah Kecamatan Forum SKPD Musyawarah Kota/Kabupaten Penyusunan RKPD Penyusunan KUA Penyusunan Prioritas dan Plafon Penyusunan RKA SKPD Pembahasan RAPBD Penetapan APBD Pembahasan APBD Perubahan Pembahasan LPJ APBD Rencana Advokasi Pemerintah Masyarakat Daerah Sipil

Keterangan : 1. 2. 3. Kondisi saat ini: kondisi yang terjadi di daerah ini di setiap tahapan proses perencanaan dan penganggaran di daerah ini Kondisi yang diinginkan: kondisi ideal yang seharusnya terjadi. Upaya advokasi diarahkan untuk mengubah kondisi saat ini menjadi kondisi yang diinginkan Rencana advokasi: berisi kontribusi yang bisa diberikan oleh masing-masing pihak, baik eksekutif, legislatif, dan masyarakat sipil agar kondisi yang diinginkan bisa terwujud

Langkah Kedua: Buatlah Rencana Tindak Lanjut Rencana Tindak Lanjut (RTL) disusun berdasarkan tujuan advokasi yang ingin dicapai. Dari setiap tahapan yang ada di Rencana Advokasi, sangat dimungkinkan bahwa advokasi akan memfokuskan diri pada tahapan-tahapan tertentu, dan tidak pada tahapan yang lainnya. Hal ini dilakukan mengingat ada keterbatasan yang kita miliki, baik dari sisi SDM, waktu maupun dana. Oleh karena itu RTL yang disusun adalah RTL yang realistis dan siap untuk diimplementasikan. Penyusunan RTL dimulai dengan menjawab dua pertanyaan kunci berkut ini: 1. 2. Apa tujuan advokasi yang akan dilakukan? Apa hasil yang ingin dicapai?

260

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Sesi 9

Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

Setelah dua pertanyaan di atas terjawab, maka pertanyaan selanjutnya adalah: Apa yang harus dilakukan agar tujuan advokasi bisa tercapai? Jawaban atas pertanyaan di atas disusun dengan mengisi tabel berikut ini:
Kegiatan Utama Rincian Kegiatan Output Penanggung Jawab Waktu

Keterangan: 1. Kegiatan Utama: kegiatan yang bisa dirinci menjadi kegiatan-kegiatan lainnya. Misalnya, riset terhadap dokumen APBD. Kegiatan ini bisa dirinci menjadi beberapa kegiatan lainnya, antara lain pengumpulan dokumen APBD, analisis APBD, dst. Kegiatan Utama diturunkan dari hasil yang ingin dicapai (output) dalam advokasi Rincian Kegiatan: merupakan turunan dari kegiatan utama. Hendaknya rincian kegiatan dibuat sedetail mungkin agar mencerminkan kerja yang sesungguhnya akan dilakukan Output: keluaran dari rincian kegiatan. Misalnya output dari kegiatan pengumpulan dokumen APBD adalah tersedianya dokumen APBD yang siap untuk dianalisis Penanggung Jawab: orang yang diserahi tanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan tertentu, dengan membentuk tim yang terdiri dari Pemda, DPRD dan masyarakat sipil atau bentuk lainnya sesuai dengan kondisi lokal. Akan lebih baik jika kolom ini sudah berisi nama orang dan bukannya kelompok (Pemerintah Daerah, DPRD, atau Masyarakat Sipil) Waktu: periode dilaksanakannya suatu kegiatan. Misalnya, kegiatan pengumpulan dokumen APBD dilaksanakan pada bulan Januari pekan pertama sampai dengan keempat

2.

3.

4.

5.

261

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,
Menimbang : a. bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah, masih terdapat ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, sehingga diperlukan strategi pengintegrasian gender melalui perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, penganggaran, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di daerah; b. bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di Daerah, sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarus-utamaan Gender di Daerah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Negara Republik Lembaran sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, tentang Penetapan Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 4437) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pebangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009; 6. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri; Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional;

Memperhatikan :

262

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Lampiran

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH. BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Pengarusutamaan Gender di daerah yang selanjutnya disebut PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan di daerah. 2. Gender adalah konsep yang mengacu pada pembedaan peran dan tanggung jawab lakilaki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. 3. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. 4. Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan dan memahami pembagian perempuan. 5. Analisis Gender adalah analisis untuk mengidentifikasi dan memahami kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan, dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanannya memperhatikan faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa. 6. Perencanaan Berperspektif Gender adalah perencanaan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, yang dilakukan melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, potensi, dan penyelesaian permasalahan perempuan dan laki-laki. 7. Anggaran Berperspektif Gender (Gender budget) adalah penggunaan atau pemanfaatan anggaran yang berasal dari berbagai sumber pendanaan untuk mecapai kesetaraan dan keadilan gender. 8. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 9. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 10. Kecamatan nadalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah Kabupaten dan daerah Kota. 11. Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota di bawah Kecamatan.

263

12. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 13. Focal lPoint PUG adalah aparatur SKPD yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pengarusutamaan gender di Unit kerjanya masing-masing. 14. Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender yang selanjutnya disebut Pokja PUG adalah wadah konsultasi bagi pelaksana dan penggerak pengarusutamaan gender dari berbagai instansi/lembaga di daerah.

BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat yang berperspektif gender. Pasal 3 Pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender di daerah bertujuan : a. memberikan acuan bagi aparatur Pemerintah Daerah dalam menyusun strategi pengintegrasian gender yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, clan kegiatan pembangunan di daerah; b. mewujudkan perencanaan berperspektif gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, potensi, dan penyelesaian permasalahan laki-laki dan perempuan; c. mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, berbangsa, dan bernegara; d. mewujudkan pengelolaan anggaran daerah yang responsif gender; e. meningkatkan kesetaraan dan keadilan dalam kedudukan, peranan, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai insan dan sumberdaya pembangunan; dan f. meningkatkan peran dan kemandirian lembaga yang menangani pemberdayaan perempuan.

BAB III PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN Bagian Kesatu Perencanaan

Pasal 4 (1) Pemerintahdaerah berkewajiban menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD.

264

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Lampiran

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008

(2) Penyusunankebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui analisis gender. Pasal 5 (1) Dalam melakukan analisis gender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dapat menggunakan metode Alur Kerja Analisis Gender (Gender Analisys Pathway) atau metode analisis lain. (2) Analisis gender terhadap Rencana Kerja SKPD dilakukan oleh masing-masing SKPD bersangkutan. (3) Pelaksanaan analisis gender terhadap RPJMD dan Renstra SKPD dapat bekerjasama dengan lembaga perguruan tinggi atau pihak lain yang memiliki kapabilitas di bidangnya. Pasal 6 (1) Bappeda mengoordinasikan penyusunan RPJMD, Renstra SKPD, dan Rencana Kerja SKPD berperspektif gender. (2) Rencanakerja SKPD berperspektif gender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Bagian Kedua Pelaksanaan Paragraf 1 Pelaksanaan di Provinsi Pasal 7 (1) Gubernur bertangung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangurian, dan pelayanan masyarakat bidang pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender skala Provinsi. (2) Pelaksanaan tanggung jawab Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh Wakil Gubernur. Pasal 8 Gubernur menetapkan Badan/Dinas/Dinas yang membidangi tugas pemberdayaan masyarakat sebagai koordinator penyelenggaraan pengarusutamaan gender di provinsi. Pasal 9 (1) Dalam upaya percepatan pelembagaan pengarusutamaan gender di seluruh SKPD provinsi dibentuk Pokja PUG Provinsi. (2) Gubernur menetapkan Ketua Bappeda sebagai Ketua Pokja PUG Provinsi dan Kepala Badan/Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagai Kepala Sekretariat Pokja PUG Provinsi. (3) Anggota Pokja PUG adalah seluruh Kepala/Pimpinan SKPD. (4) Pembentukan Pokja PUG Provinsi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

265

Pasal 10 Pokja PUG Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 mempunyai tugas : a. mempromosikan dan menfasilitasi PUG kepada masing-masing SKPD; b. melaksanakan sosialisasi dan advokasi PUG kepada Pemerintah Kabupaten/Kota; c. menyusun program kerja setiap tahun; d. mendorong terwujudnya anggaran yang berperspektif gender; e. menyusun rencana kerja Pokja PUG setiap tahun; f. bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Wakil Gubernur;

g. merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Bupati/Walikota; h. menfasilitasi SKPD atau Unit Kerja yang membidangi Pendataan untuk menyusun Profil Gender Provinsi; i. j. melakukan pemantauan pelaksanaan PUG di masing-masing instansi; menetapkan tim teknis untuk melakukan analisis terhadap anggaran daerah;

k. menyusun Rencana Aksi Daerah (RANDA) PUG di Provinsi; dan l. mendorong dilaksanakannya pemilihan dan penetapan Focal Point di masing-masing SKPD. Pasal 11 (1) Tim Teknissebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf j beranggotakan aparatur yang memahami analisis anggaran yang berperspektif gender. (2) Rencana Aksi Daerah (RANDA) PUG di Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf k memuat : a. PUG dalam peraturan perundang-undangan di daerah; b. PUG dalam siklus pembangunan di daerah; c. penguatan kelembagaan PUG di daerah; dan d. penguatan peran serta masyarakat di daerah. Paragraf 2 Pelaksanaan Di Kabupaten/Kota

Pasal 12 (1) Bupati/Walikotabertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat bidang pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender skala Kabupaten/Kota. (2) Tanggungjawab Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Wakil Bupati/Walikota.

266

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Lampiran

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008

Pasal 13 Bupati/Walikota menetapkan Badan/Kantor/Dinas yang membidangi tugas pemberdayaan masyarakat sebagai koordinator penyelenggaraan pengarusutamaan gender di Kabupaten/ Kota. Pasal 14 (1) Dalam upaya percepatan pelembagaan pengarusutamaan gender di seluruh SKPD Kabupaten/Kota dibentuk Pokja PUG Kabupaten/Kota. (2) Anggota Pokja PUG adalah seluruh Kepala/Pimpinan SKPD. (3) Bupati/Walikota menetapkan Ketua Bappeda sebagai Ketua Pokja PUG Kabupaten/ Kota dan Kepala Badan/Dinas/Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa sebagai Kepala Sekretariat Pokja PUG Kabupaten/Kota. (4) Pembentukan Pokja PUG Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Bupati/ Walikota. Pasal 15 Pokja PUG Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 mempunyai tugas : a. mempromosikan dan menfasilitasi PUG kepada masing-masing SKPD; b. melaksanakan sosialisasi dan advokasi PUG kepada Camat, Kepala Desa, Lurah; c. menyusun program kerja setiap tahun; d. mendorong terwujudnya anggaran yang berperspektif gender; e. menyusun rencana kerja POKJA PUG setiap tahun; f. bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Wakil Bupati/Walikota;

g. merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Bupati/Walikota; h. menfasilitasi SKPD atau Unit Kerja yang membidangi Pendataan untuk menyusun Profil Gender kabupaten dan kota; i. j. melakukan pemantauan pelaksanaan PUG di masing-masing instansi; menetapkan tim teknis untuk melakukan analisis terhadap anggaran daerah;

k. menyusun Rencana Aksi Daerah (RANDA) PUG di Kabupaten/Kota; dan l. mendorong dilaksanakannya pemilihan dan penetapan Focal Point di masing-masing SKPD. Pasal 16 (1) TimTeknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf j beranggotakan aparatur yang sudah mengikuti pelatihan atau pendidikan analisis anggaran yang berperspektif gender, atau tenaga ahli di bidang analisis anggaran. (2) Rencana Aksi Daerah (RANDA) PUG di Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf k memuat : a. PUG dalam peraturan perundang-undangan di daerah; b. PUG dalam siklus pembangunan di daerah; c. penguatan kelembagaan PUG di daerah; dan d. penguatan peran serta masyarakat di daerah.

267

Paragraf 3 Focal Point Pasal 17 (1) Focal Point PUG pada setiap SKPD di Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri dari pejabat dan/atau staf yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan dan Bidang lainnya. (2) Focal Point PUG sebagaimana dimaksud patia ayat (1), mempunyai tugas : a. mempromosikan pengarusutamaan gender pada unit kerja; b. menfasilitasi penyusunan Rencana Kerja SKPD yang berperspektif gender; c. melaksanakan pelatihan, sosialisasi, advokasi pengarusutamaan gender kepada seluruh pejabat dan staf di lingkungan SKPD; d. melaporkan pelaksanaan PUG kepada pimpinan SKPD; e. mendorong pelaksanaan analisis gender terhadap kebijakan, program, dan kegiatan pada unit kerja; dan f. menfasilitasi penyusunan profil gender pada setiap SKPD.

(3) Pelaksanaan tugas Focal Point PUG sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikoordinir oleh pejabat pada setiap SKPD yang membidangi tugas pemberdayaan perempuan. (4) Focal Point PUG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipilih dan ditetapkan oleh Kepala/Pimpinan SKPD.

BAB IV PELAPORAN, PEMANTAUAN, DAN EVALUASI

Pasal 18 (1) Bupati/Walikota menyampaikan laporan pelaksanaan PUG kepada Gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan. (2) Gubernur menyampaikan laporan pelaksanaan PUG kepada Menteri Dalam Negeri secara berkala setiap 6 (enam) bulan dengan tembusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. (3) Menteri Dalam Negeri menyampaikan laporan pelaksanaan PUG kepad Presiden secara berkala setiap akhir tahun. Pasal 19 Materi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi : a. pelaksanaan program dan kegiatan; b. instansi yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan; c. sasaran kegiatan; d. penggunaan anggaran yang bersumber dari APBN, APBD, atau sumber lain; e. permasalahan yang dihadapi; dan f. upaya yang telah dilakukan.

268

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Lampiran

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008

Pasal 20 Bupati/Walikota menetapkan pedoman mekanisme pelaporan di tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan. Pasal 21 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 menjadi bahan pemantauan dar evaluasi pelaksanaan PUG. Pasal 22 (1) Gubernur,Bupati, dan Walikota melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG. (2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada setiap SKPD dan secara berjenjang antar susunan pemerintahan. (3) Pemantauandan evaluasi pelaksanaan PUG dilakukan sebelum diadakannya penyusunan program atau kegiatan tahun berikutnya. (4) Bappeda melakukan evaluasi secara makro terhadap pelaksanaan PUG berdasarkan RPJMD dan Renja SKPD. (5) Pelaksanaanevaluasi dapat dilakukan melalui kerjasama dengan Perguruar Tinggi, Pusat Studi Wanita, atau Lembaga Swadaya Masyarakat. (6) Hasil evaluasi pelaksanaan PUG menjadi bahan masukan dalam penyusunar kebijakan, program, dan kegiatan tahun mendatang; BAB V PEMBINAAN

Pasal 23 (1) Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan umum terhadap pelaksanaan PUG di daerah yang meliputi : a. pemberian pedoman dan panduan; b. penguatan kapasitas aparatur pemerintah daerah; c. penguatan kapasitas Tim Teknis Analisis PUG, Pokja PUG provinsi, kabupaten dan kota; d. pemantauan pelaksanaan PUG antar susunan pemerintahan; e. evaluasi pelaksanaan PUG; f. pemberian Pedoman Penilaian Pelaksanaan PUG (gender audit); dan

g. penyusunan indikator pencapaian kinerja PUG . (2) Pembinaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri. Pasal 24 Gubernur melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan PUG yang meliputi : a. penetapan panduan teknis pelaksanaan PUG skala Provinsi;

269

b. penguatan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan, konsultasi, advokasi, dan koordinasi; c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG di Kabupaten/Kota dan pada SKPD Provinsi; d. peningkatan kapasitas focal point dan Pokja PUG; dan e. strategi pencapaian kinerja. Pasal 25 Bupati/Walikota melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan PUG yang meliputi : a. penetapan panduan teknis pelaksanaan PUG skala Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa/ Kelurahan; b. penguatan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan, konsultasi, advokasi, dan koordinasi; c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG di Desa dan pada SKPD Kabupaten/ Kota; d. peningkatan kapasitas focal point dan Pokja PUG; dan e. strategi pencapaian kinerja. BAB VI PENDANAAN

Pasal 26 (1) Pendanaanpelaksanaan program dan kegiatan PUG di Provinsi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. (2) Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan PUG di Kabupaten/Kota bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/ Kota. (3) Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan PUG di Desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Alokasi Dana Desa. Pasal 27 Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan PUG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan surnber lain yang sah dan tidak mengikat. Pasal 28 Pendanaan pelaksanaan program dan kegiatan PUG yang bersumber dari APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), dianggarkan pada SKPD yang terkait dengan Pelaksanaan PUG.

270

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Lampiran

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008

BAB VII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 29 (1) Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di Daerah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) RPJMD, Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD yang telah disusun disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak ditetapkan. (3) Semuakebijakan daerah di bidang PUG sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap berlaku. Pasal 30 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Februari 2008 MENTERI DALAM NEGERI, ttd MARDIYANTO

271

Daftar Pustaka
Budlender, Debbie, dan Rhonda Sharp. 1998. How to do gender-sensitive budget analysis: Contemporary Research and Practice. London: Commonwealth. Budlender, Debbie, dan Rhonda Sharp. 1998. How to do gender-sensitive budget analysis: Contemporary Research and Practice. London: Commonwealth. Fattah, Ibrahim, dkk. Mengubah Wajah APBD: Pengalaman Advokasi Anggaran Responsif Gender di Kota Parepare, YLP2EM, 2008. FPPM. 2005. Mengembangkan Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif: Working Draft. Bandung. International Budget Project, A Taste of Success: Examples of the Budget Work of NGOs. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran dan Belanja Daerah. Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah. LBH Surabaya, HES sebagai HAM,makalah, tanpa tahun. Rostanty, Maya & Susana Dewi R. 2005. Buku Pintar Mengkritisi APBD. Jakarta: PATTIRO. Mawardi dan Sumarto. 2002. Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit Andi. Mastuti, Sri & Rinusu. 2003. APBD Responsif Gender. Jakarta: CIBA. Ministry of Women. 2005. Family and Community Development, Manual on Gender Budgeting in Malaysia, Kuala Lumpur: Thumb-Print Studi Sdn Bhd. Modul Making Governance Gender Responsive, CAPWIP, 2007. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Rostanty, Maya dkk. 2005. Membedah Ketimpangan Anggaran,Working Draft. Jakarta: PATTIRO. Sharp, Ronda. 2003. Budgeting for Equity: Gender Budget Initiatives within a Framework of Performance Oriented Budgeting. New York: UNIFEM.

272

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Daftar Pustaka

Prakarsa. 2008. Mendahulukan Si Miskin: Buku Sumber Bagi Anggaran Pro Rakyat, Yogyakarya: LKIS. Prosiding Training Anggaran Responsif Gender, Makassar, 16-20 Juni 2005. Prosiding Workshop Multistakeholders Anggaran Responsif Gender, Watampone, 13-15 Oktober 2005. Prosiding Workshop Multistakeholders Anggaran Responsif Gender, Palu, 29 September - 1 Oktober 2005. Atmodiwirio, Drs Soebagio, M.Ed. 2005. Manajemen Pelatihan. Jakarta: Ardadizya Jaya. Sundari, Eva. 2005. Pemberdayaan Ekonomi Perempuan: Makalah. The Asia Foundation & Center for Legislative Development. 1997. Report of The Asia-Pasific Regional Advocacy Training of Trainer.Manila. Website UNIFEM (www.unifem.org). VeneKlasen, Lisa dan Valerie Miller. 2002. A New Wave of Power, People & Politics: The Action Guide for Advocacy and Citizen Participation. Washington DC. Topatimasang, Roem, dkk. (ed.) 2000. Merubah Kebijakan Publik. Insist. Yogyakarta. Todaro, Michael P., Burhanuddin Abdullah (Ed.). 1993. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

273

Daftar Singkatan Dan Akronim


ABK ADD AHH AIDS AKB AKI AKU APBD APBK ARG APK APM Asda ASEAN Bawasda BAPEDA BBLR BBM BDNI BKB BKKD BPD BPK BPS Bulin Nakes BUMDes CAPWIP CEDAW CRC CSO DASK DAU : Anggaran Berbasis Kinerja : Alokasi Dana Desa : Angka Harapan Hidup : Acquired Immune Deficiency Syndrome : Angka Kematian Bayi : Angka Kematian Ibu : Arah Kebijakan Umum : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Anggaran Pendapatan dan Belanja Keluarga : Anggaran Responsif Gender : Angka Partisipasi Kasar : Angka Partisipasi Murni : Asisten Daerah : Association of Southeast Asian Nations : Badan Pengawasan Daerah : Badan Perencanaan Daerah : Bayi Berat Lahir Rendah : Bahan Bakar Minyak : Bank Dagang Negara Indonesia : Bina Keluarga Balita : Badan Kekayaan dan Keuangan Daerah : Badan Perwakilan Desa : Badan Pemeriksa Keuangan : Badan Pusat Statistik : Ibu Bersalin oleh Tenaga Kesehatan : Badan Usaha Milik Desa : Center for Asia-Pacific Women In Politics : Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women : Citizen Report Card : Civil Society Organization : Dokumen Anggaran Satuan Kerja : Dana Alokasi Umum

274

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Daftar Singkatan dan Akronim

DAK DBD DP DPRD DPKD DSP DUHAM DUK Ekosob FGD FGolkar FKPP FMPA FORPAT FPAN FPKS GDI GDP GFP GNP HAM HDI HDR HIV HP IBI IDI IK ILO Inpres IPG IPM ISPA JKJ JPS

: Dana Alokasi Khusus : Demam Berdarah Dengue : Daerah Pemilihan : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Dinas Pendapatan dan Keuangan Daerah : Daftar Skala Prioritas : Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia : Daftar Usulan Kegiatan : Ekonomi, Sosial dan Budaya : Focus Group Discussion : Fraksi Golongan Karya : Forum Koordinasi dan Konsultasi Pembangunan : Forum Masyarakat Peduli Anggaran : Forum Peduli Anggaran Tasikmalaya : Fraksi Partai Amanat Nasional : Fraksi Partai Keadilan Sejahtera : Gender Development Index : Gross Domestic Product : Gender Focal Point : Gross National Product : Hak Asasi Manusia : Human Development Index : Human Development Report : Human Immunodeficiency Virus : Handphone : Ikatan Bidan Indonesia : Ikatan Dokter Indonesia : Industri Kecil : International Labour Organization : Instruksi Presiden : Indeks Pembangunan Gender : Indeks Pembangunan Manusia : Infeksi Saluran Pernafasan : Jaminan Kesehatan Jembrana : Jaring Pengaman Sosial

275

KADINDA Kaltim KB KDRT Kepmen KIA KIBBLA KNPI KPM KPPIA KTP KUA KUD LPM LSM MCK MDGs Mendagri Menkes MRI MTEF Musrenbang Musrenbangkel Musrenbangcam Musrenbangkot NTB NTT OKP Ormas NAPZA Pansus PAD PAE PAM PDB

: Kamar Dagang dan Industri Daerah : Kalimantan Timur : Keluarga Berencana : Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Keputusan Menteri : Kesehatan Ibu dan Anak : Kesehatan Ibu Bayi Baru Lahir dan Anak : Komite Nasional Pemuda Indonesia : Kantor Pemberdayaan Masyarakat : Komite Penanggulangan Penyakit Ibu dan Anak : Kartu Tanda Penduduk : Kebijakan Umum Anggaran : Koperasi Unit Desa : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat : Lembaga Swadaya Masyarakat : Mandi Cuci Kakus : Millennium Development Goals : Menteri Dalam Negeri : Menteri Kesehatan : Marine Research Institute : Medium Term Expenditure Framework : Musyawarah Perencanaan Pembangunan : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota : Nusa Tenggara Barat : Nusa Tenggara Timur : Organisasi Kemasyarakatan Pemuda : Organisasi Kemasyarakatan : Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif : Panitia Khusus : Pendapatan Asli Daerah : Panitia Anggaran Eksekutif : Perusahaan Air Minum : Produk Domestik Bruto

276

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Daftar Singkatan dan Akronim

Pemda Pemkot PER Perbup Perda Permendagri PIN PKK P2WKSS PMT PNS Pokja PP PPAS PPK PROBA PRSP PSK PUG Rakorbang RAPBD RASK Renstra RKA RKPD RPJMD RDPU RS RSUD RT RTL Rumpun Karang RW SD

: Pemerintah Daerah : Pemerintah Kota : Public Expenditure Review : Peraturan Bupati : Peraturan Daerah : Peraturan Menteri Dalam Negeri : Pekan Imunisasi Nasional : Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga : Program Peningkatan Peran Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera : Pemberian Makanan Tambahan : Pegawai Negeri Sipil : Kelompok Kerja : Peraturan Pemerintah : Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara : Program Pengembangan Kecamatan : Problem Base Approach : Poverty Reduction Strategy Paper : Pekerja Seks Komersial : Pengarusutamaan Gender : Rapat Koordinasi Pembangunan : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Rencana Anggaran Satuan Kerja : Rencana Strategis : Rencana Kerja dan Anggaran : Rencana Kerja Pemerintah Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah : Rapat Dengar Pendapat Umum : Rumah Sakit : Rumah Sakit Umum Daerah : Rukun Tetangga : Rencana Tindak Lanjut : Forum Perempuan Kota Semarang : Rukun Warga : Sekolah Dasar

277

SDM SEB SekdaA Sekmat SERASI Setwan Sipol SK SKO SKPD SLTA SLTP SMART SMS SMU SPP SPP SPJ SPM SPKM SOTK TA TAPD TAS TB TGNP TK ToR TPAK TTS Tupoksi UCI UKM UNDP

: Sumber Daya Manusia : Surat Edaran Bersama : Sekretariat Daerah : Sekretaris Camat : Sekolah Masyarakat Sipil : Sekretariat Dewan : Sipil dan Politik : Surat Keputusan : Surat Kewenangan Otorisasi : Satuan Kerja Perangkat Daerah : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Specific Measureable Achievable Result oriented and Time-bound : Solidaritas Masyarakat Semarang : Sekolah Menengah Umum : Surat Perintah Pembayaran : Sumbangan Pembinaan Pendidikan : Surat Pertanggungjawaban : Standar Pelayanan Minimal : Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat : Struktur Organisasi dan Tata Kerja : Tahun Anggaran : Tim Anggaran Pemerintah Daerah : Tanzania Assistance Strategy : Tuberculosis : Tanzania Gender Networking Programme : Taman Kanak-kanak : Term of Reference : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja : Timor Tengah Selatan : Tugas Pokok dan Fungsi : Universal Child Immunization : Usaha Kecil dan Menengah : United Nations Development Programme

278

MODUL PELATIHAN ADVOKASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA RESPONSIF GENDER

Daftar Singkatan dan Akronim

UNFPA UNIFEM UPG UR UU UUD VCD WC

: United Nations Population Fund : United Nations Development Fund for Women : Ukuran Pemberdayaan Gender : Usulan Rencana : Undang Undang : Undang Undang Dasar : Video Compact Disk : Water Closet

279

You might also like