You are on page 1of 5

Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat

untuk Diskusi Kelompok II Pemicu II: Kamis, 1 April 2010 oleh Evan Regar, 0906508024

Pengantar Farmakodinamik Farmakodinamik ialah salah satu subdisiplin farmakologi yang mempelajari tentang efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya.1 Dengan memahami farmakologi diharapkan diketahui bagaimana interaksi obat dengan sel dan bagaimana efek dan respons yang terjadi.

Mekanisme Kerja Obat Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru. Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti dihidrofolat reduktase, asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter).2 Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik (hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan). Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis Ada obat yang juga berikatan dengan reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator dan menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat yang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa memedulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis-parsial bermanfaat untuk mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena itu disebut pula dengan istilah antagonis parsial Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif. Pembagian reseptor fisiologik adalah1,2: i. Reseptor enzim mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor di membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase, siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin/treonin kinase, dan guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim. Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), platelet-derived growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), transforming growth factor-beta (TGF-), dan sitokin. Reseptor kanal ion reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah ligandgated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran sel dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar. Contoh ligan untuk reseptor ini: nikotinik, -aminobutirat tipe A (GABAA), glutamat, aspartat, dan glisin. Reseptor tekait Protein G Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP berbentuk heterotrimer. Protein G adalah penghantar sinyal dari reseptor di permukaan sel ke protein efektor. Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A2, fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang selektif untuk ion Ca2+ dan K+. Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan mekanisme ini. Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormon-hormon peptida lain.

ii.

iii.

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat

iv.

v.

Reseptor faktor transkripsi mengatur transkripsi gen tertentu.. Terdapat daerah pengikatan dengan DNA (DNA binding domain) yang berinteraski secara spesifik pada genom tertentu untuk DNA domain) mengaktifkan atau menghambat transkripsi. Contoh ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid. retinoid Second Messenger pada sitoplasma dalam transduksi sinyal memungkinkan terbentuknya caraka kedua (second messenger) yang bertindak sebagai sinyal lanjutan untuk jalur transduksin sinyal. ) (NO). Ciri khas cara kedua adalah produksinya yang sangat cepat dengan konsentrasi yang r . rendah. Setelah sinyal utama (first messenger) tidak ada, caraka kedua akan disingkarkan melalui proses daur ulang. Contoh: AMP, siklik GMP, siklik ADP-ribosa, ion Ca2+, inositol fosfat, diasilgliserol, dan nitrit oksida ADP

Selain daripada reseptor, obat juga dapat bekerja tanpa melalui reseptor, misalnya obat yang mengikat molekul atau ion dalam tubuh. Contohnya penggunaan antasida sebagai penetral keasaman lambung yang berlebihan. 2merkaptoetana sulfonat (mesna) meniadakan radikal bebas di saluran perkemihan. Obat lain juga berfungsi ) sebagai analog struktur normal tubuh yang bisa bergabung ke dalam sel sehingga mengganggu fungsi sel dan tubuh. Misalnya analog purin dan pirimidin yang dapat diinsersei ke dalam asam nukleat, mampu menjuadi obat nukleat, antivirus dan kemoterapi untuk kanker. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat Faktor Tubuh setiap orang berbeda-beda dalam hal menghasilkan respons untuk pemberian obat dengan dosis beda tertentu. Pemberian obat biasanya telah disepakati secara bersama oleh farmakolog dalam dosis biasa ( (dosis rata-rata) yang cocok untuk sebagian besar pasien. Dosis rata-rata ini dapat menimbulkan efek toksik untuk rata beberapa orang. Sebaliknya dosis rata-rata juga dapat menimbulkan efek yang tidak terapeutik. rata Gambar di bawah ni menunjukkan bagaimana perjalanan suatu obat hingga menimbulkan efek farmakologik (respons pasien terhadap obat tertentu).1

Dosis yang diberikan (resep)

Kepatuhan pasien (Patient's complience) Kesalahan medikasi Mutu obat

Dosis yang diminum

Kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat, dan toleransi - faktorKondisi faktor yang memengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat tertentu Faktor farmakokinetik seperti absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi Faktor Faktor farmakodinamik seperti interaksi obat-reseptor, keadaan fungsional jaringan, dan Faktor obat reseptor, mekaisme homeostatik

Respons pasien terhadap obat tertentu Efek Farmakologik

Kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pemberian obat per oral mengaitkan jumlah obat yang diserap dengan bioavailabilitas obat itu. Sementara itu bioavailabilitas ditentukan oleh mutu obat. Faktor

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat

farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptor. Sementara faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat. 1 Faktor-faktor eksternal, yakni kepatuhan pasien, kesalahan medikasi, dan mutu obat, tidak dibahas lebih lanjut di sini. Faktor internal akan dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu perbedaan respons obat dalam tubuh dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan (environmental influences). Kondisi Fisiologik Kondisi fisiologik ditentukan oleh usia, berat badan, laus permukaan tubuh, atau kombinasi faktorfaktor ini. Usia dapat menyebabkan perubahan efek farmakologik ekstrem dibandingkan dengan golongan usia lain. Semisal, pada neonatus dan bayi prematur fungsi farmakokinetik tubuh belum berlangsung dengan baik (misalnya b iotransfrmasi hati, eksrekgi ginjal, ikatan protein plasma, dan sawar darah-otak dan sawar kulit). Hal ini menyebabkan peningkatan kadar obat dalam darah dan jaringan. Pemberian obat heksaklorofen topikal pada neonatus, misalnya, menyebabkan respons neourotoksisitas akibat belum terbentuknya sawar kulit secara sempurna. Kloramfenikol dapat menyebabkan sindrom bayi abu-abu akibat metabolism obat oleh hepar masih rendah (glukuronidasi) serta filtrasi obat oleh glomerulus ginjal belum berlangsung dengan sempurna. Pada usia lanjut efek ini juga terjadi. Fungsi ginjal yang melemah merupakan penyebab perubahan farmakokinetik yang terbesar. Peningkatan sensitivitas reseptor (terutama di otak) juga menjadi andil dalam konteks ini. Contohnya adalah penggunaan isoniazid yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas akibat melemahnya metabolism oleh hepar. Demikian juga penggunaan antikolinergik dapat menimbulkan respons konstipasi akibat melemahnya kontraktilitas otot polos.

Kondisi Patologik Terjadinya kondisi patologik terutama pada organ-organ yang banyak melakukan efek farmakokinetik terhadap obat, misalnya penyakit saluran cerna, hepar, ren, dan kardiovaskuler, mengubah respons tubuh terhadap obat. Penyakit saluran cerna dapat mengurangi kecepatan absorbsi obat, khususnya pada pemberian per oral. Penyakit kardiovaskular mengurangi distribusi obat dan aliran darah ke hepar dan ginjal yang akan mengeliminasi obat. Penyakit hepar melemahkan metabolime obat di hati. Gangguan ginjal mengurangi eksreksi obat aktif maujpun metabolitnya melalui ginjal. Contohnya, diare atau gastroenteritis menurunkan respons tubuh terhadap obat digoksin, kontrasepsi oral, fenitoin, dan sediaan salut enterik. Ini diakbiatkan waktu transit dalam saluran cerna yang memendek akibat terjadinya motilitas tinggi (akibat diare), sehingga jumlah obat yang diabsorbsi menjadi berkurang.

Faktor Genetik1,3 Efek farmakologis yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh adanya kaitan faktor genetik dipelajari secara khusus melalui farmakogenetik. Farmakogenetik adalah studi tentang variasi respons obat akibat faktor genetik. Farmakogenetik perlu dibedakan dari overdosis, reaksi alergi, dan inborn error of metabolism. Inborn error of metabolism adalah kelainan genetik yang mengakibatnya kelainan pengolahan zat tertentu sehingga terjadi akumulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogenetik mempelajari tentang adanya perbedaan respons individu terhadap suatu obat. Dari aspek farmakokinetik, farmakogenetik banyak memengaruhi sisi biotransformasi (metabolisme) obat. Selain biotransformasi (metabolisme), farmakokinetik juga melibatkan proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi. Metabolisme obat terutama terjadi di sel-sel hati (mikrosom = retikulum endoplasma hati), serta di sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit juga menjadi tempat biotransformasi obat.

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat

Metabolisme memiliki tujuan untuk mengubah obat yang nonpolar (larut dalam lemak) menjadi polar (larut dalam air) agar dapat dieksresi melalui ginja.. Pada umumnya perubaha ini menyebabkan obat menjadi inaktif, namun ada juga yang justru menjadi lebih aktif, atau bahkan toksik. Metabolisme obat dibagi menjadi 2 fase, yakni fase I yang merupakan fase reduksi, oksidasi, dan hidrolisis; dan fase II yang merupakan reaksi konjugasi dengan substrat lain, misalnya asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, dan asam-asam amino. Reaksi fase I dilakkan oleh enzim sitorkrom P450 (CYP) sebagai enzim pengoksidasi, dan merupakan enzim yang terpenting dalam reaksi ini. Enzim ini memiliki isoenzim sekitar 50 macam. Reaki fase II, terutama reaksi glukuronidasi (oleh enzim UDP-glukuroniltransferase / UGT), dan reaksi asetilasi oleh enzim N-asetiltransferase 2(NAT2). Polimorfisme genetik dapat ditemukanj pada enzim CYP2D6, CYP2D9, CYP2C19, serta NAT2. Oleh karena itu, populasi terbagi menjadi 2 golongan. Untuk enzim-enzim CYP (sebagai enzim dalam reaksi oksidasi fase I), populasi terbagi menjadi golongan extensive metabolizer (EM) dan poor metabolizer (PM). Sementara untuk enzim NAT2 yang berperan dan asetilasi fase II, terbagi menjadi rapid acetylator (RA) dan slow acetlyator (SA). Bagi orang-orang dalam golongan slow acetylator, penggunaan obat INH (isoniazid) misalnya dalam terapi tuberkolosis dapat menyebabkan toksisitas, dan memicu penyakit-penyakit lain. Ini diakibatkan kadar obat yang tinggi akibat mengalami metabolisme secara lambat. Demikian juga untuk metabolisme menggunakan CYP. Orang dengan keadaan poor metabolizer akan mengalami peningkatan kadar obat akibat obat dimetabolisme secara kurang baik. Adanya polimorfisme genetik dalam konteks farmakologi ini menyebabkan diperlukan dosis-dosis tertentu untuk orang-orang dengan golongan tertentu. Misalkan pengobatan dengan INH bagi penderita tuberkolosis harus dengan penurunan dosis INH untuk menghindari terjadinya akumulasi INH yang lambat dimetabolisme oleh enzim NAT2. Faktor genetik dapat juga dikatakan sebagai faktor lingkungan, mengingat kecenderungan untuk ditemukannya satu golongan tertentu (misalnya, golongan RA / rapid acetylator) di masyarakat yang tinggal daerah tertentu.

Faktor Toleransi Toleransi merupakan penurunan efek farmakologik akibat pemberian yang berulang. Toleransi ini terbagi menjadi toleransi farmakokinetik, yang terjadi akibat obat meningkatkan metabolismenya sendiri (dikarenakan obat merupakan self inducer bagi proses metabolism dirinya sendiri); dan toleransi farmakodinamik, akibat terjadi adaptasi sel dan reseptor terhadap ligan (obat) yang terus menerus berada di sekitar sel tersebut berada. Sensitifitas reseptor-reseptor ini umumnya menurun di tengah kelimpahan ligan. Jumlah ligan yang berikatan tidak berkurang, namun sensitiiftas reseptor berkurang sehingga efek farmakologis yang ditimbulkan juga berkurang.

Faktor Interaksi Obat Obat dapat berinteraksi dengan zat=zat makanan, zat kimia, bahkan dengan obat lain. Oleh karena itu perlu diperhatikan adanya efek (yang mungkin menguntungkan, atau malah merugikan) akibat interaksi ini. Interaksi yang menguntungkan misalnya penggunaan kombinasi obat antihipertensi, antiasma, dan antidiabetik yang dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping; kombinasi obat anti-HIV dan anti-kanker. Interaksi yang merugikan akan mendapatkan bahasan yang lebih mendalam. Interaksi yang dapat terjadi adalah:

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat

1.

Interaksi farmakokinetik jika salah satu obat memengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi (metabolisme), dan ekskresi obat yang lain. Ini dapat mengakibatkan kadar plasma obat lain menurun atau justru meningkat. Akibatnya, toksisitas dapat terjadi, atau mungkin penurunan efektivitas obat tersebut. Interaksi absorpsi: penggunaan obat antasida dapat mengubah pH, sehingga mengakibatkan kelarutan obat-obat asam (seperti aspirin) menjadi menigkat, sehingga meninkatkan absorpsi obat-obat ini. Interaksi distrbusi: banyak obat yang memerlukan protein plasma sebagai sarana transport obat tersebut. Adanya obat lain mengakibatkan terjadinya kompetisi untuk memperebutkan protein plasma. Interaksi metabolisme: sebagai contoh obat-obat yang merupakan substrat enzim sitokrom dapat mengalami gangguan metabolisme apabila terdapat enzim yang mencegah kerja enzim sitokrom (contohnya: untuk enzim CYP3A4, sakuinavir, obat yang digunakan dalam terapi penderita HIV, seharusnya dimetabolisme oleh enzim ini, namun keberadaan ritonavir secara bersama-sama menghambat kerja enzim ini sehingga terjadi peningkatan kadar sakuinavir, sehingga dosis untuk sakuinavir harus diturunkan untuk mencegah penumpukan sakuinavir). Interaksi ekskresi: terdapat berbagai golongan obat yang bisa menyebabkan kerusakan ginjal (misalnya: aminoglikosida merusak ginjal, menyebabkan peningkatan kadar digoksin yang toksik); adanya kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal; atau adanya perubahan pH urin (misal: obat yang dapat mengasamkan urin meningkatkan ionisasi obat lain yang bersifat basa, dan meningkatkan ekskresi obat yang bersifat basa ini).

2.

Interaksi farmakodinamik merupakan suatu interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini bisa menimbuolkan efek yang sinergistik, atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik ini biasanya dapat diramalkan (misalnya: pengelompokan obat antihipertensi yang dapat saling sinergik menurunkan tekanan darah). Interaksi pada reseptor: misalnya asetilkolin yang bekerja pada reseptor kolinergik (muskarinik) sebagai agonis; sementara adanya atropine, kuinidin, dan antihistamin H1 sebagai antagonis untuk reseptor yang sama. Interaksi fisiologik: merupakan interaksi pada sistem fisiologik yang sama, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan respons. Misalnya penggunaan antidiabetes (bekerja pada sistem endokrin) dengan tiazid atau kortikosteroid (juga bekerja pada sistem endokrin) dapat menurunkan efek antidiabetik. Demikian juga penggunaan obat -bloker dengan verapamil dapat menyebabkan gagal jantung dan bradikardia.

Terima kasih / Thank you / Danke schn / Salamat / /C /

Matur nuhun / Hatur nuhun / Sukesma / Muliate / Saohagolo / Sakalangkong / Makasih ye..

Referensi 1. 2. 3. Gunawan, SG. Setiabudy R. Nafrialdi, Elysabeth (editor). Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Brunton LL. Lazo JS. Parker KL (editor). Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th ed. New York: McGraw-Hill; 2006. Katzung BG, ed. Basic and Clinical Pharmacology. 7th ed. London: Prentice Hall Int; 1998.

DK II Pemicu 2 / Modul Biologi Molekular 2010 LTM: Farmakodinamik dan Respons Tubuh terhadap Obat

/ / Gracias / Grazie / Dank u / / C m n b n / Dkuji / / /

////

You might also like