You are on page 1of 32

Pemikiran Jamaludin Al Afghani

JAMALUDDIN AL-AFGHANI Oleh Novi Hendra (novi_hendra24@yahoo.co.id) Exmahasiswa ilmu Politik Universitas Andalas Padang Sayyid Jamaluddin Al-Afghani merupakan salah satu tokoh yang pertama kalimenyatakan kembali tradisi Muslim dengan cara yang sesuai untuk menjawab berbagaiproblem penting yang muncul akibat Barat semakin mengusik Timur Tengah di abadkesembilanbelas. Sosoknya jarang ditemukan di Dunia Islam: penganjur persatuan Islamsekaligus nasionalisme, dua hal yang sepintas bertolak belakang. Ia juga dikenal sebagaipembaharu Islam. Penguasaannya terhadap hampir semua bidang ilmu pengetahuan,membuatnya dijuluki ensiklopedi berjalan. Dilahirkan di Asad Abad pada 1254 H/1838 M. Sejak kecil Al-Afghani yangtinggal di Kabul hingga usia 18 tahun sudah menunjukkan kejeniusannya. Al-Afghanimerantau ke India pada usia 19 tahun. Benih nasionalismenya semakin tumbuh ketikamelihat rakyat India menderita akibat penjajahan Inggris.mulai benci terhadapkolonialisme serta ikut dalam perjuangan India. Kemudian dia kembali ke Mesirmembentuk lembaga-lembaga perjuangan politik yang lebih konstitusional yangmempunyai pengaruh cukup besar terhadap gerakan nasionalisme Mesir 1882. Pada awalnya, Jamaluddin mencoba menjauhi politik dengan memusatkan dirimemelajari ilmu pengetahuan dan sastra Arab. Namun, melihat campur-tangan Inggris diMesir, ia akhirnya kembali ke politik. Pada 1879, ia mendirikan partai politik bernamaHizb al-Watani (Partai Kebangsaan). Partai itu antara lain menanamkan kesadaranberbangsa, memperjuangkan pendidikan universal, dan kemerdekaan pers. Aktivitaspolitik Jamaluddin memberikan pengaruh besar pada umat Islam. Setelah itu di Paris, iabekerjasama dengan muridnya Muhammad Abduh dan membuat jurnal antipenjajahan al-Urwatulwusqa. Barat khawatir dengan majalah tersebut dengan berbagai alasan. Pertama, senantiasa membantah tuduhan Barat yang ditujukan kepada Timur,yang menyatakan bahwa kaum muslimin tidak akan bangkit, selama mereka masihberpegang teguh pada agamanya. Kedua, memaparkan kepada orang-orang Timur realita dan rahasia-rahasia internasional, sehingga mereka tahu akan rencana-rencana politikusEropa terhadap Islam. Ketiga, memperkuat hubungan antarumat Islam dan memberikanpenjelasan tentang asas-asas solidaritas. Itu untuk menepis intervensi politik luar, danjuga seruan untuk menggali khazanah ajaran agama, serta menjauhi fanatisme kelompokatau golongan. Untuk yang terakhir itu, Al-Afghani juga dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme, bersatunya negaranegara Islam dalam satu kekhalifahan. Sayang, ia tidakmendapat dukungan. Maka, kembali ia menyerukan untuk saling tolong-menolong antararaja-raja di negara Islam, agar mengatur daerah-daerah kekuasaannya sesuai dengannorma agama. Sebagai modernis Islam pertama, yang pengaruhnya dirasakan di beberapanegara, Afghani memicu kecenderungan menolak tradisionalisme murni dan westernismemurni. Meski Afghani di kemudian hari dan sejak meninggalnya dikaitkan khususnyadengan pan-Islam, tulisan pan-Islamnya hanya menjadi bagian dari dasawarsa penting1880-an. Dalam hidupnya dia mempromosikan berbagai sudut pandang yang seringbertentangan. Dan pikirannya juga memiliki afinitas dengan berbagai kecenderungan didunia Muslim. Afghani merupakan figur besar dalam dunia Muslim.

Penekanannya bahwa Islammerupakan kekuatan yang sangat penting untuk menangkal Barat dan untukmeningkatkan solidaritas kaum Muslim, seruannya agar ada pembaruan dan perubahan didalam sistem politik despotis yang berbendera Islam, serta serangannya terhadap merekayang memihak imperialisme Barat atau yang memecah-belah umat Muslim, semuanyamerupakan tema-tema yang diperjuangkannya. Kemunduran umat Islam membuat kalangan intelektual Muslim berpikir kerasbagaimana mengentaskan ketertinggalan umat Islam agar dapat berdiri sejajar denganumat lain. Dalam rangka memajukan umat Islam dan mengejar ketertinggalan dari bangsalain, Jamaluddin Al-Afghani lebih menitikberatkan pada nasionalisme Muslim dan persatuan umat Islam (Pan-Islamisme) untuk membebaskan umat Islam dari cengkramanpenjajah. Karena pemikiran dan gerakan itu terlalu berorientasi kekuasaan, bidang-bidanglain yang lebih menyentuh kebutuhan riil masyarakat hampir-hampir terlupakan. Padahal,bidang-bidang sosial, pendidikan, dan ekonomi yang memberdayakan masyarakat sangatpenting bagi kemajuan kaum Muslim. Pemikiran-pemikiran rasional dalam gerakanpembaruan itu mestinya berpijak pada nilai intinya, yaitu mengangkat harkat danmartabat manusia, yang tidak selama harus dengan kekuasaan. Afghani menghabiskan sisa umurnya dengan berkeliling Eropa untuk berdakwah.Bapak pembaru Islam itu memang tak memiliki rintangan bahasa karena ia menguasaienam bahasa dunia. Pada 9 Maret 1897, Afghani mengembuskan napasnya yang terakhirkarena kanker yang dideritanya sejak 1896. Versi lain, ia meninggal karena diracun olehorang yang tidak suka kepadanya. PEMIKIRAN PERADABAN ISLAM MASA MODERN ( 1800 - SEKARANG ) 1. Masa Pembebasan dari Kolonial Barat Dunia Islam abad XX ditandai dengan kebangkitan dari kemunduran dan kelemahan secara budaya maupun politik setelah kekuatan Eropa mendominasi mereka. Eropa bisa menjajah karena keberhasilannya dalam menerapkan strategi ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengelola berbagai lembaga pemerintahan. Negeri-negeri Islam menjadi jajahan Eropa akibat keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan. Terjadinya penetrasi kolonial Barat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Disatu sisi kekuatan militer dan politik negara - negara muslim menurun, perekonomian mereka merosot sebagai akibat monopoli perdagangan antara timur dan barat tidak lagi ditangan mereka. Disamping itu pengetahuan di dunia muslim dalam kondisi stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistik1. Pada sisi yang lain, Eropa dalam waktu yang sama menggunakan metode berpikir rasional, dan disana tumbuh kelompok intelektual yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan Gereja; Barat memasuki abad renaisanse. Sementara dalam bidang ekonomi dan perdagangan mereka telah

mengalami kemajuan pesat dengan ditemukannya Tanjung Harapan sebagai jalur perdagangan maritim langsung ke Timur, demikian pula penemuan benua Amerika. Dengan dua temuan ini Eropa memperoleh kemajuan dalam dunia perdagangan karena tidak bergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai Islam. Pada permulaan abad ini tumbuh kesadaran nasionalisme hampir disemua negeri muslim yang menghasilkan pembentukan negara-negara nasional. Tetapi persoalan mendasar yang dihadapi adalah keterbelakangan umat Islam, terutama menyangkut kemampuan menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat paling penting dalam mempertahankan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa mengenyampingkan agama, politik dan ekonomi. Upaya kearah itu tidak lepas dari pembaharuan pemikiran yang dapat mengantarkan Islam terlepas dari cengkraman kolonialisme Barat. a. Dunia Islam Abad XX Keunggulan - keunggulan Barat dalam bidang industri, teknologi, tatanan politik, dan militer tidak hanya menghancurkan pemerintahan negara-negara muslim yang ada pada waktu itu, tetapi lebih jauh dari itu, mereka bahkan menjajah negara - negara muslim yang ditaklukkannya, sehingga pada penghujung abad XIX hampir tidak satu negeri muslim pun yang tidak tersentuh penetrasi kolonial Barat. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 1798 M, Napoleon Bonaparte menduduki Mesir. Walaupun pendudukan Perancis itu berakhir dalam tiga tahun, mereka dikalahkan oleh kekuatan Angkatan Laut Inggris, bukan oleh perlawanan masyarakat muslim. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan Mesir salah satu pusat Islam untuk menghadapi kekuatan Barat. Sejak Napoleon menduduki Mesir, umat Islam mulai merasakan dan sadar akan kelemahan dan kemundurannya, sementara mereka juga merasa kaget dengan kemajuan yang telah dicapai Barat. Gelombang ekspansi Barat ke negaranegara muslim yang tidak dapat dibendung itu memaksa para pemuka Islam untuk mulai berpikir guna merebut kembali kemerdekaan yang dirampas. Salah seorang tokoh yang pikirannya banyak mengilhami gerakan - gerakan kemerdekaan adalah Sayyed Jamaluddin Al Afghani. Ia dilahirkan pada tahun 1839 di Afghanistan dan meninggal di Istambul 18973. Pemikiran dan pergerakan yang dipelopori Afghani ini disebut Pan-Islamisme, yang dalam pengertian luas berarti solidaritas antara seluruh umat muslim di dunia internasional. Tema perjuangan yang terus menerus dikobarkan oleh Afghani dalam kesempatan apa saja adalah semangat melawankolonialisme dengan berpegang kepada tema-tema ajaran Islam sebagaistimulasinya. Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa diskursus tema-tema itu antara lain diseputar: Perjuangan melawan absolutisme para penguasa;Melengkapi sains dan teknologi modern; Kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya; Iman dan keyakinan aqidah;

Perjuangan melawan kolonial asing; Persatuan Islam; Menginfuskan semangat perjuangan dan perlawanan kedalam tubuh masyarakat Islam yang sudah separo mati; dan Perjuangan melawan ketakutan terhadap Barat4. Disamping Afghani, terdapat dua orang ahli pikir Arab lainnya yang telah mempengaruhi hampir semua pemikiran politik Islam pada masa berikutnya. Dua pemikir itu adalah Muhammad Abduh(1849-1905) dan Rasyid Ridha(1865-1935). Mereka sangat dipengaruhi oleh gagasangagasan guru mereka yakni Afghani, dan berkat mereka berdualah pengaruh Afghani diteruskan untuk mempengaruhi perkembangan nasionalisme Mesir. Seperti halnya Afghani dan Abduh, Ridha percaya bahwa Islam bersifat politis, sosial dan spiritual. Untuk membangkitkan sifat-sifat tersebut, umat Islam mesti kembali kepada Islam yang sebenarnya sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya atau para salafiah. Untuk menyebarkan gagasan - gagasannya ini Ridha menuangkannya dalam bingkai tulisan tulisan yang terakumulasi dalam majalah Al Manar yang dipimpinnya. Di daratan Eropa, Syakib Arsalan selalu memotori gerakan - gerakan guna kemerdekaan Arab. Misi Arsalan adalah menginternasionalkan berbagai masalah pokok yang dihadapi negara-negara muslim Arab yang berasal dari kekuasaannegara-negara Barat; dan menggalang pendapat seluruh orang Islam Arab sehingga membentuk berdasarkan ikatan keIslaman, mereka dapat memperoleh kemerdekaan dan memperbaiki tata kehidupan sosial yang lebih baik5. Sementara pimpinan masyarakat Druze dan pembesar Usmaniyah yang mengasingkan diri ke Eropa setelah Istambul diduduki Inggris ini menyebarluaskan propagandanya melalui berbagai penerbitan berkala, diantarannya melalui jurnal La Nation Arabe yang dicetak di Annemasse Prancis. Meskipun pada awalnya Arsalan mengambil alih konsep - konsep Pan-Islamismenya Afghani karena merasakan perlunaya pemabaharuan dalam masyarakat, namun dalam praktiknya, ia lebih menitikberatkan perjuanggannya pada Pan - Arabisme. Gerakan perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh tersebut, walaupun belum mencapai hasil yang diinginkan yakni kemerdekaan, namun gema pemikiran Islam mereka sangat mewarnai era generasi selanjutnya, untuk membebaskan negerinya dari penetrasi kolonial Barat. b. Pembebasan Diri dari Kolonial Barat Gerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh umat Islam selalu kandas ketika berhadapan dengan kolonialis Barat, tentu saja, karena teknologi dan militer mereka jauh lebih maju dari yang dimiliki umat Islam. Menurut Afghani, untuk menanggapi tantangan Barat, umat Islam harus mempelajari contoh - contoh darinya. Tentu saja tidak semua komunitas Islam sependapat dengan yang dimaksud belajar atau berguru kepada Barat. Para ulama tradisional tetap

mempertahankan corak non-koperatifnya, sementara putra - putra negeri jajahan gelombang demi gelombang belajar kepada penjajah atau di sekolah-sekolah yang sengaja diadakan di negeri jajahannya. Dengan demikian, terdapat dua kelompok pejuang kemerdekaan dengan basisnya masingmasing, ada yang sifatnya nonkoperatif yang basisnya lembaga - lembaga pendidikan agama - di Indonesia pesantren, sedang di Asia Tengah dan Barat serta Afrika basisnya pada kelompok kelompok tarekat-dan yang bercorak kooperatif yaitu pakar terpelajar dengan pendidikan Barat. Pada pertengahan pertama abad XX terjadi perang dunia kedua yang melibatkan seluruh negara kolonialis. Seluruh daratan Eropa dilanda peperangan, disamping Amerika, Rusia dan Jepang. Kecamuk perang ini disatu sisi melibatkan Jepang, Hitler dengan Nazi Jermannya, dan Mussolini dengan Fasis Italianya, dan disisi lain terdapat Inggris, Perancis, dan Amerika yang bersekutu, serta Rusia. Konsekuensi atas terjadinya peperangan ini adalah terpusatnya konsentrasi kekuatan militer di kubu masing-masing negara, baik untuk keperluan ofensif maupun defensif. Pengkonsentrasian kekuatan militer tersebut mengakibatkan ditarik dan berkurangnya kekuatan militer kolonialis dinegeri-negeri jajahan mereka. Dalam pada itu, negara muslim tidak terlibat langsung dalam perang dunia keduasehingga pemikiran mereka waktu itu terkonsentrasi pada perjuangan untuk kemerdekaan negerinya masing-masing, dan kondisi dunia yang berkembang pada saat itu memungkinkan tercapainya cita-cita luhur tersebut. Mulai saat itu negara negara muslim yang terjajah memproklamirkan kemerdekaannya. Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya yang dikenal dengan gerakan pembaharuan didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memandang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan - Islamisme yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahabiyah dan Sanusiah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al Afghani [1839-1897 M]. Jika di Mesir bangkit dengan nasionalismenya, dibagian negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme itu terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di Mesir, Syria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuweit. Di India, sebagaimana

di Turki dan Mesir gagasan Pan - Islamisme yang dikenal dengan gerakan Khilafat juga mendapat pengikut, pelopornya adalah Syed Amir Ali ( 1848 - 1928 M ). Gagasan itu tidak mampu bertahan lama, karena terbukti dengan ditinggalkannya gagasan-gagasan tersebut oleh sebagian besar tokoh-tokoh Islam. Maka, umat Islam di anak benua India ini tidak menganut nasionalisme, tetapi Islamisme yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Sementara di Indonesia, partai politik besar yang menentang penjajahan adalah Sarekat Islam [SI], didirikan pada tahun 1912 dibawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Partai ini merupakan kelajutan dari Sarekat Dagang Islam [SDI] yang didirikan oleh H. Samanhudi pada tahun 1911. Tidak lama kemudian, partaipartai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia [PNI] didirikan oleh Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia [PNI-Baru], didirikan oleh Muhammad Hatta [1931], Persatuan Muslimin Indonesia [PERMI] yang baru menjadi partai politik pada tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtamar Luthfi8. Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat, dalam kenyataannya, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya teraplikasi dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun dalam bentuk pendidikan dan propaganda yang tujuannya adalah mempersiapkan masyarakat untuk menyambut dan mengisi kemerdekaan.Adapun negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu. Akan tetapi, rakyat Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya itu dengan perjuangan bersenjata selama lima tahun berturutturut karena Belanda yang didukung oleh tentara sekutu berusaha menguasai kembali kepulauan ini. Negara muslim kedua yang merdeka dari penjajahan adalah Pakistan, yaitu tanggal 15 Agustus 1947 ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan Konstitusi, satu untuk India dan lainnya untuk Pakistan-waktu itu terdiri dari Pakistan dan Bangladesh sekarang-. Di Timur Tengah, Mesir misalnya, secara resmi memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1922. akan tetapi, pada saat kendali pemerintahan dipegang oleh Raja Farouk pengaruh Inggris sangat besar. Baru pada waktu pemerintahan Jamal Abd al Nasser yang menggulingkan raja Farouk 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar - benar merdeka. Mirip dengan Mesir, Irak merdeka secara formal pada tahun 1932, tetapi rakyatnya baru merasakan benarbenar merdeka pada tahun 1958. sebelum itu, negara-negara sekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya seperti Syria, Yordania, dan Libanon pada tahun 1946. Di Afrika, Libya merdeka pada tahun 1951 M, Sudan dan Maroko tahun 1956 M, serta Aljazair merdeka pada

tahun 1962 M yang kesemuanya itu membebaskan diri dari Perancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara dan Yaman Selatan, serta Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia Tenggara, Malaysia yang waktu itu merupakan bagian dari Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1957, dan Brunei Darussalam baru pada tahun 1984 M9. Demikianlah satu persatu negara-negara muslim memerdekakan dirinya dari penjajahan. Bahkan beberapa diantaranya baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir, seperti negaranegara muslim yang dahulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Azerbaijan baru merdeka pada tahun 1992, serta Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia pada tahun 199210. Namun, sampai saat ini masih ada umat muslim yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka sendiri. Mereka itu adalah penduduk minoritas muslim dalam negara-negara nasional, misalnya Kasymir di India dan Moro di Filipina. Alasan mereka menuntut kebebasan dan kemerdekaan itu adalah karena status minoritas seringkali mendapatkan kesulitan dalam memperoleh kesejahteraan hidup dan kebebasan dalam menjalankan ajaran agama mrka

Reformasi Islam: Telaah atas Pemikiran Jamaluddin alAfghani dan Muhammad Abduh
A. Pendahuluan M. Amien Rais memaparkan bahwa gerakan pembaruan atau reformasi Islam mulai muncul sejak zaman Dinasti Umayyah, kala pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan dan secara sewenang-wenang pemerintah melakukan penindasan terhadap masyarakat. Aktor yang cukup berperan pada saat itu muncul dari gerakan sufi. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap penafsiran Islam yang terlalu menekankan pada aspek hukum. Selanjutnya, muncullah berturutturut gerakan pembaruan atau reformasi Islam yang dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Syah Waliullah, dan gerakan Sanusiah. Berbagai macam gerakan pembaruan yang muncul sebelum abad ke-20 ini diarahkan untuk menghentikan proses degenerasi umat dan untuk mempersempit kesenjangan antara Islam dalam teori (ideal Islam) dan Islam dalam praktik (historical Islam). Gerakan pembaruan yang menekankan pada membangkitkan semangat ijtihad ini muncul dari kesadaran umat Islam sendiri, bukan karena desakan dan pengaruh Barat.[1]

Gerakan pembaruan Islam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengambil corak yang berbeda dengan gerakan pembaruan sebelumnya.[2] Pada periode ini, gerakan pembaruan merupakan upaya reaktif umat Islam dalam menghadapi kolonialisme negara-negara Barat.[3] Secara historis, Harun Nasution memaparkan bahwa latar belakang gerakan pembaruan pada periode ini adalah jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Kejadian ini menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan kemajuan peradaban Barat. Dari sini, para pemuka Islam mulai berpikir, bagaimana meningkatkan kesadaran dan kualitas umat Islam.[4] Di antara tokoh reformasi Islam yang cukup terkenal pada periode ini adalah Jamaluddin alAfghani dan Muhammad Abduh. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan sepak terjang dan sumbangan pemikiran kedua tokoh ini bagi upaya pembaruan Islam. B. Kehidupan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh 1. Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afghani as-Sayyid Muhammad bin Shafdar al-Husain. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Jamaluddin al-Afghani.[5] Al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal di Istanbul pada tahun 1897.[6] Al-Afghani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah saw., Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya adalah Sayyid Shafdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali at-Turmudzi (seorang perawi hadis yang masyhur) dan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.[7] Tempat kelahiran al-Afghani sulit dipastikan. Ia mengaku dilahirkan di Asadabad, Konar, Distrik Kabul, Afghanistan, dari keluarga penganut Mazhab Hanafi. Versi lain mengatakan, ia dilahirkan di Asadabad dekat Hamadan, Persia (Iran). Pengakuan al-Afghani dilahirkan di Asadabad, Konar, Distrik Kabul, Afghanistan dilakukan dengan maksud menghindari kesewenang-wenangan penguasa Persia pada saat itu.[8] Menurut Nikki R. Keddie, banyak sumber yang mengatakan bahwa al-Afghani tidak mungkin berasal dari Afghanistan, tetapi ia lahir dan mendapat pendidikan Syiah di Iran. Di antara sumber-sumber tersebut adalah surat untuk kemenakannya yang tinggal di Iran serta berbagai buku dan risalah bertahun yang ditemukan di antara tulisan-tulisan al-Afghani.[9] Ketika baru berusia 22 tahun, al-Afghani menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada tahun 1864, ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad Azam Khan. Pada masa karier politiknya ini, Inggris sudah mulai ikut campur dalam urusan politik Afghanistan. Dalam pergolakan tersebut, al-Afghani memilih pihak yang berupaya menentang golongan pribumi yang disokong oleh Inggris. Pada tahun 1869, setelah pihaknya kalah dalam perseteruan politik, al-Afghani meninggalkan Afghanistan dan pergi menuju India.[10]

Di India, al-Afghani tidak merasa lebih baik, karena saat itu India sudah berada di bawah kekuasaan Inggris. Oleh karena itu, pada tahun 1871, ia pindah menuju Mesir. Di Mesir, alAfghani menetap di Kairo. Awal mula tinggal di Mesir, ia menjauhi persoalan-persoalan politik dan hanya memusatkan perhatian pada dunia ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat tinggalnya menjadi tempat pertemuan murid-muridnya dan para pengikutnya. Di sanalah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Para pengikut al-Afghani di antaranya adalah orang-orang terkemuka di bidang pengadilan, dosen-dosen, para mahasiswa al-Azhar serta universitas lain, dan para pegawai pemerintahan. Di antara para muridnya tersebut ada yang kemudian menjadi pemimpin, seperti Muhammad Abduh (tokoh pembaru dan reformis Islam) dan Saad Zaglul (pemimpin kemerdekaan Mesir).[11] Pada tahun 1876, campur tangan Inggris dalam urusan politik Mesir makin meningkat. AlAfghani tidak tinggal diam. Akhirnya, ia menerjunkan diri ke dalam dunia politik. Supaya bisa bergaul dengan para tokoh politik Mesir, ia bergabung dengan organisasi Freemason Mesir, suatu organisasi yang disokong oleh kelompok anti zionis. Di sini, ia bertemu dengan Putra Mahkota Taufik. Pada tahun 1879, atas usaha keras al-Afghani, terbentuklah parta al-Hizb alWathani (Partai Nasional). Tujuan didirikannya partai ini adalah memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi penting dalam bidang militer. Dengan sokongan partai ini, al-Afghani berhasil menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa saat itu, Khedewi Ismail, yang kemudian digantikan kedudukannya oleh Putra Mahkota Taufik. Tetapi sayang, Taufik malah tidak dapat memenuhi tuntutan al-Hizb alWathani. Ia malah bersekongkol dengan Inggris. Pada tahun 1879, Taufik mengusir al-Afghani keluar dari Mesir.[12] Setelah diusir dari Mesir, al-Afghani kembali ke India, tepatnya ke negara bagian Hyderabad yang mayoritas berpenduduk muslim. Pada masa ini, ia banyak menyelesaikan tulisan-tulisan penting. Di antaranya ia menulis sekumpulan artikel dan risalah yang kemudian dikumpulkan. Dalam edisi bahasa Inggris, tulisan ini terkenal dengan judul The Refutation of the Materialist. Kumpulan tulisan ini ditujukan untuk menyanggah karya Sayyid Ahmad Khan yang proInggris.[13] Akibat pemberontakan Urabi Pasya (1881-1882),[14] al-Afghani akhirnya meninggalkan India dan pindah ke Paris. Di sana ia mendirikan perkumpulan al-Urwah al-Wutsqa yang beranggotakan orang-orang Islam dari India, Mesir, Syria, Afrika Utara, dan lain-lain. Tujuan organisasi ini adalah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Di samping itu, organisasi ini juga menerbitkan majalah al-Urwah alWutsqa yang gaungnya sampai ke berbagai pelosok negeri muslim, termasuk Indonesia. Dalam menerbitkan majalah al-Urwah al-Wutsqa ini, al-Afghani dibantu oleh salah seorang muridnya, Muhammad Abduh, yang juga diusir dari Mesir karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasya. Namun sayang, usia majalah ini tidak dapat berlangsung lama. Setelah terbit selama 8 bulan, sebanyak 18 nomor, mulai 13 Maret 1884 sampai 17 Oktober 1884, penerbitan majalah

ini diberhentikan secara paksa oleh negara-negara Barat yang saat itu banyak menguasai negerinegeri muslim.[15] Pada tahun 1889, al-Afghani diundang ke Persia untuk mencari penyelesaian persengketaan antara Rusia dan Persia yang timbul akibat politik pro-Inggris yang dianut Persia waktu itu. Akan tetapi, al-Afghani tidak setuju kepada kebijakan Persia untuk memberikan konsesi kepada Inggris. Akhirnya, al-Afghani berselisih paham dengan Syah Nasir ad-Din. Kemudian, alAfghani diusir oleh Syah Nasir ad-Din. Pada tahun 1896, Syah dibunuh oleh seorang pengikut al-Afghani.[16] Pada tahun 1892, al-Afghani pindah ke Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid. Melihat pengaruh al-Afghani yang demikian luas di berbagai negeri muslim, Sultan Abdul Hamid memerlukan al-Afghani untuk merealisasikan rencana politiknya. Sultan berpikir bahwa bantuan negeri-negeri muslim sangat diperlukan untuk menentang kekuasaan Eropa yang waktu itu kian mendesak eksistensi Kerajaan Usmani di Timur Tengah. Akan tetapi, kerja sama antara alAfghani yang berpikiran maju dan demokratis dengan Sultan Abdul Hamid yang masih mempertahankan kekuasaan otokrasi tidak dapat berlangsung lama. Karena takut akan pengaruh al-Afghani yang semakin besar, akhirnya Sultan mulai membatasi gerak-gerik al-Afghani. AlAfghani tidak dapat keluar dari Istanbul sampai akhirnya ia meninggal karena kanker pada tahun 1897.[17] Melihat sepak terjang Jamaluddin al-Afghani di atas, sebenarnya Jamaluddin al-Afghani lebih pantas disebut sebagai pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaruan/reformasi Islam.[18] Akan tetapi, menurut Harun Nasution, aktivitas politik Jamaluddin al-Afghani didasarkan pada ide-ide brilian tentang pembaruan dalam Islam. Dengan demikian, ia adalah pemimpin pembaruan/reformasi Islam sekaligus pemimpin politik.[19] Di antara karya tulis Jamaluddin al-Afghani adalah Baab maa Yauulu ilaihi Amr al-Muslimiin, Makiidah asySyarqiyyah, Risaalah fii ar-Radd alaa al-Masiihiyyiin, Diyaa al-Khaafiqain, Haqiiqah alInsaan wa Haqiiqah al-Wathan, dan ar-Radd alaa ad-Dahriyyiin.[20] 2. Muhammad Abduh (1849-1905) Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di Desa Mahallat Nasr, Kabupaten al-Buhairah, Mesir, pada tahun 1849. Walaupun bukan berasal dari keluarga kaya dan keturunan bangsawan, tetapi ayahnya sangat dihormati oleh masyarakat.[21] Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah yang berasal dari Turki, sementara ibunya merupakan keturunan bangsa Arab yang silsilahnya sampai kepada suku bangsa Umar bin Khattab.[22] Abduh tumbuh di bawah asuhan keluarga yang tidak ada hubungannya dengan dunia sekolah, tetapi memiliki jiwa keagamaan yang teguh. Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani.

Ayahnya adalah seorang petani. Semua saudaranya adalah petani. Akan tetapi, Abduh diistimewakan oleh ayahnya. Ia tidak disuruh bekerja membantu ayahnya bertani. Ia malah disuruh oleh ayahnya untuk belajar dan menimba ilmu.[23] Pada usia 13 tahun, Abduh dikirim ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha, sekitar 80 km dari Kairo untuk mempelajari Al-Quran dan tajwidnya. Karena tidak betah, dua tahun kemudian Abduh pulang dan bertani mengikuti jejak keluarga dan kerabatnya. Beberapa lama kemudian, setelah menikah dalam usia muda, Abduh dipaksa oleh ayahnya untuk kembali belajar agama. Abduh menolak perintah tersebut dan kabur ke Syibr Alkhit, tempat tinggal paman-pamannya. Di desa ini Abduh bertemu dengan Syeikh Darwisy Khidr yang memiliki pengetahuan mendalam tentang Al-Quran dan mengamalkan ajaran tasawuf ala asy-Syadziliah. Pertemuan ini rupanya sangat membekas di hati Abduh. Pertemuan ini berhasil mengubah Abduh yang enggan belajar menjadi Abduh yang haus akan ilmu. Akhirnya, Abduh kembali ke Thantha untuk memperdalam ilmu agama sebagaimana dianjurkan ayahnya dulu.[24] Setelah dari Thantha, pada tahun 1866, Abduh melanjutkan petualangan ilmiahnya ke Kairo. Ia menimba ilmu di al-Azhar. Namun, sistem pengajaran di al-Azhar ketika itu yang menekankan pada pendapat para ulama terdahulu tanpa disertai upaya perbandingan dan pengkajian mendalam tidak memuaskan hatinya. Di luar al-Azhar, Abduh berkenalan dan menimba ilmu dari berbagai ulama yang memiliki pandangan maju. Dalam upaya petualangannya inilah Abduh bertemu dan berkenalan dengan Jamaluddin al-Afghani. Abduh sangat mengagumi pemikiran dan sepak terjang tokoh pembaruan ini. Dua tahun bergaul dengan al-Afghani merupakan waktu yang cukup singkat untuk mengubah Abduh yang cenderung kepada tasawuf dan menutup diri menjadi Abduh yang gigih dalam berjuang dan berpandangan maju. Abduh juga akhirnya menjadi seorang penulis. Ia tidak saja menulis buku-buku ilmiah yang berisi bantahan terhadap pandangan-pandangan negatif terhadap Islam, tetapi juga menulis artikel-artikel yang menganjurkan pembaruan Islam di harian al-Ahram.[25] Setelah lulus dari al-Azhar, yakni pada tahun 1877, Abduh menjadi asisten dosen di almamaternya. Di samping mengajar di al-Azhar, Abduh juga mengajar etika dan sejarah peradaban kerajaan-kerajaan Eropa di kediamannya. Karena kedekatannya dengan Jamaluddin al-Afghani yang revolusioner dan sangat aktif mengembuskan semangat menentang kezaliman dan penjajahan, ia diberhentikan sebagai tenaga pengajar di al-Azhar. Kemudian, ia diasingkan ke tempat kelahirannya. Setelah terjadi pergantian dalam tubuh kabinet pemerintahan Mesir, Abduh diserahi tugas untuk memimpin surat kabar resmi pemerintah, yaitu al-Waqaai Mishriyyah. Melalui surat kabar tersebut, Abduh sering melontarkan kritikan tajam kepada pemerintah. Akibatnya, Abduh diusir dari Mesir. Akhirnya, Abduh tinggal beberapa saat di Syria. Kemudian, Abduh menuju Paris untuk menyusul Jamaluddin al-Afghani.[26] Di Paris, bersama Jamaluddin al-Afghani, pada tahun 1884 Abduh menerbitkan majalah alUrwah al-Wutsqa yang gaungnya dalam menentang penjajah melebar ke seluruh penjuru negeri,

termasuk Indonesia. Setelah menjalani masa pengasingan, pada tahun 1888, Abduh kembali ke Mesir dan diserahi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha. Pada tahun 1894, Abduh diangkat menjadi anggota Majelis al-Ala di al-Azhar. Sebagai anggota majelis ini, Abduh banyak membawa perubahan penting ke dalam tubuh al-Azhar. Kemudian, Abduh menjadi hakim di Pengadilan Abidin Kairo, sampai akhirnya menjadi Mufti Mesir dan anggota Majelis Syura Kerajaan Mesir. Pada 11 Juli 1905, Muhammad Abduh wafat dalam usia yang relatif muda.[27] Tidak seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh banyak terjun di bidang ilmiah akademik, walaupun Abduh juga banyak berperan dalam lapangan politik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya tulis yang dihasilkan dari tangan kreatif Abduh. Di antara karya Muhammad Abduh adalah al-Islaam Diin al-Ilm wa al-Madaniyyah, al-Fikr as-Siyaasii, Duruus min Al-Quraan, Risaalah Tauhiid, Tafsiir Juz Ammaa, dan Tafsiir al-Manaar. C. Reformasi Islam Menurut Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh Pembaruan atau reformasi Islam yang digagas oleh Jamaluddin al-Afghani didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. Demi terlaksananya ajaran Islam di berbagai tempat dan zaman tersebut, diperlukan interpretasi baru terhadap ajaran Islam sebagaimana yang tersurat dalam Al-Quran dan hadis. Proses reinterpretasi ini membutuhkan ijtihad. Dengan demikian, menurut al-Afghani, pintu ijtihad selalu terbuka.[28] Dalam melakukan penafsiran ulang terhadap Al-Quran dan hadis ini, al-Afghani menekankan pentingnya akal. Menurutnya, dengan melakukan penafsiran ulang terhadap Al-Quran dan hadis secara rasional, Islam akan menjadi dasar bagi sebuah masyarakat yang ilmiah modern, sebagaimana pernah menjadi dasar masyarakat muslim pada zaman keemasan Islam.[29] Selanjutnya, al-Afghani juga berpendapat bahwa jika dapat dipahami secara rasional, Islam sesungguhnya adalah sebuah keyakinan yang dinamis, karena Islam mendorong sikap aktif, yakni sikap bertanggung jawab terhadap urusan dunia. Sikap inilah yang menurut al-Afghani akan membantu proses kebangkitan umat Islam menuju kejayaan politik dan kultural.[30] Menanggapi kemunduran yang melanda umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, al-Afghani berpendapat bahwa faktor penyebabnya bukan karena ajaran Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman, tetapi karena umat Islam terpengaruh oleh ajaran yang datang dari luar Islam. Di samping itu, umat Islam juga mundur karena salah dalam mengartikan hadis yang menyatakan bahwa di akhir zaman nanti umat Islam akan mengalami kemunduran. Akibat berpegang pada pengertian salah ini, umat Islam menjadi statis dan pasrah terhadap nasib.[31] Sebab lain kemunduran umat Islam adalah perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam, pemerintahan negeri-negeri muslim yang absolut, para pemimpin yang tidak amanah, rapuhnya

kekuatan militer, sistem administrasi yang buruk, intervensi asing lewat kolonialisme, dan lemahnya rasa persaudaraan di kalangan umat Islam.[32] Inilah beberapa faktor yang menyebabkan umat Islam terpuruk dalam lembah kemunduran dan keterbelakangan. Dalam menanggapi situasi memprihatinkan ini, al-Afghani menawarkan tiga langkah strategis. Pertama, umat Islam harus melenyapkan pola pikir dan paradigma salah kaprah yang dianut selama ini. Caranya adalah dengan kembali kepada ajaran dasar Islam yang berpedoman kepada Al-Quran dan hadis. Kedua, corak pemerintahan otokrasi yang dianut oleh umat Islam selama ini harus diubah dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Menurut al-Afghani, Islam menghendaki sistem pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada undang-undang. Ketiga, persatuan umat Islam perlu digalakan kembali. Sebab, dengan persatuan inilah umat Islam akan bangkit kembali meraih kemajuan. Demi mewujudkan persatuan seluruh umat Islam, al-Afghani mencetuskan gagasan Pan-Islam. Pan-Islam merupakan respons al-Afghani terhadap kekuasaan Inggris di Mesir dan dominasi Eropa atas dunia Islam pada umumnya. Tetapi sayang, usaha alAfghani ini tidak membuahkan hasil gemilang.[33] Inilah beberapa pemikiran reformasi Islam yang dicetuskan oleh al-Afghani. Walaupun hasilnya jauh dari yang diharapkan, tetapi pemikiran al-Afghani banyak memengaruhi para pemimpin umat Islam dan menjadi amunisi ampuh bagi gerakan pembaruan Islam di berbagai negeri muslim, termasuk di Indonesia. Berikut ini adalah peta pikiran Jamaluddin al-Afghani tentang reformasi Islam. No. Aspek Pemikiran 1 Kerangka teori 2 Metodologi Bentuk Pemikiran Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Reinterpretasi ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan sunnah melalui konsep ijtihad yang sesuai dengan akal. Kondisi terpuruk umat Islam akibat kolonialisme Barat. - Melenyapkan pola pikir yang salah terhadap ajaran Islam, yakni kembali kepada ajaran dasar Islam (Al-Quran dan hadis). - Mengganti sistem pemerintahan otokrasi dengan sistem pemerintahan

3 4

Dipengaruhi oleh Konsep reformasi Islam

demokratis. Menggagas Pan-Islam, yakni persatuan seluruh umat Islam. Contribution of knowledge - Menafsirkan ulang Al-Quran dan hadis dengan cara yang modernis dan liberal. - Membuka kembali pintu ijtihad. Beralih kepada Muhammad Abduh, fokus utama pemikiran tokoh pembaru Mesir yang dianggap sebagai arsitek modernisme Islam ini ada dua, yaitu: (1) membebaskan umat Islam dari taklid dengan berupaya memahami agama langsung dari Al-Quran dan hadis sebagaimana yang dipahami para ulama salaf; dan (2) memperbaiki gaya bahasa Arab yang sangat bertele-tele.[34] Dari sinilah starting point proyek pembaruan atau reformasi Islam Muhammad Abduh bermula. Dalam menggagas pembaruan Islam, Abduh bersandar pada keyakinan bahwa wahyu dan akal pada dasarnya selaras dan tidak bertentangan. Dalam Risaalah Tauhiid, Abduh menegaskan bahwa setiap spekulasi logis menuntun ke arah keimanan kepada Tuhan sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Quran. Abduh juga berpendapat bahwa segala ajaran yang disampaikan dalam wahyu harus dipahami secara rasional. Oleh karena itu, bagi Abduh, Islam adalah agama yang rasional.[35] Pemikiran Abduh ini merupakan respons atas situasi dan kondisi umat Islam yang sedang berada dalam keterpurukan. Menurut Abduh, kondisi ini disebabkan oleh paham jumud yang selama ini dianut oleh umat Islam. Padahal, dalam kata jumud tersebut terkandung makna keadaan membeku, statis, dan tidak ada perubahan. Akibat memegang pola pikir jumud ini, umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Pola pikir jumud ini menimbulkan tradisi-tradisi negatif di tubuh umat Islam, seperti pemujaan yang berlebihan kepada para syekh dan wali, kepatuhan buta kepada para ulama, taklid buta, serta tawakal dan kepasrahan total pada takdir. Akibatnya, membekulah akal dan berhentilah gejolak pemikiran dalam Islam yang akhirnya membawa umat Islam pada jurang kebodohan dan kemunduran.[36] Dalam menanggapi keadaan umat Islam tersebut, Muhammad Abduh berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam awal sebagaimana yang dipahami oleh para ulama salaf. Akan tetapi, ajaran Islam tersebut harus dikontekstualisasikan dan diselaraskan dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, perlu diadakan reinterpretasi baru terhadap ajaran Islam yang bersumber langsung dari Al-Quran dan hadis. Untuk keperluan ini, Abduh menekankan pentingnya ijtihad. Akan tetapi, menurut Abduh, ijtihad di sini hanya boleh dilakukan terhadap ajaran Islam yang berkaitan dengan hukum muamalah dan hukum sosial-kemasyarakatan.[37]

Selain penekanan kepada ijtihad dan reinterpretasi ajaran Islam, Abduh juga memberikan penekanan kepada pemberantasan budaya taklid dari tubuh umat Islam. Menurut Abduh, taklid kepada para ulama tidak perlu dipertahankan, bahkan mesti diperangi. Sebab, taklid inilah yang telah membuat umat Islam berada dalam kemunduran. Taklid telah membuat umat Islam berhenti berpikir sehingga akal mereka menjadi berkarat. Taklid pula yang telah menghambat perkembangan bahasa Arab, susunan masyarakat Islam, syariat, sistem pendidikan, dan sebagainya.[38] Demi mewujudkan idealismenya tersebut, Muhammad Abduh menggagas pembaruan atau reformasi Islam yang bersandar pada dua hal. Pertama, pembaruan teologi dan pemikiran Islam. Kedua, reformasi sistem pendidikan Islam.[39] Pembaruannya di bidang pendidikan Islam banyak dicurahkan pada upaya perbaikan Universitas al-Azhar. Muhammad Abduh berupaya membawa ilmu-ilmu modern ke dalam al-Azhar. Selain itu, Abduh juga melakukan reformasi kelembagaan di al-Azhar. Di antaranya, Abduh membentuk dewan pimpinan al-Azhar yang terdiri atas para ulama, penambahan honorarium bagi para ulama al-Azhar, perbaikan fasilitas bagi mahasiswa, perpanjangan masa studi, perbaikan sistem pengajaran, dan perbaikan fasilitas perpustakaan. Dengan perbaikan dan pembaruan dalam tubuh al-Azhar, Abduh berharap universitas ini menjadi pusat pembaruan yang diinginkannya bagi dunia Islam secara keseluruhan.[40] Selain memperbaiki sistem pendidikan di al-Azhar, Muhammad Abduh juga berusaha memperbaiki sistem pendidikan Mesir secara umum. Abduh memandang telah terjadi sistem dualisme dalam pendidikan. Menurut Abduh, sistem madrasah lama hanya mengeluarkan para ulama yang buta akan ilmu pengetahuan modern, sedangkan sekolah-sekolah pemerintah hanya menelorkan tenaga ahli yang sedikit pengetahuannya tentang agama. Oleh karena itu, Abduh berupaya keras memasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam madrasah dan memasukkan ilmu-ilmu agama ke dalam sekolah-sekolah pemerintah. Dengan upayanya ini, Abduh berharap, jurang yang memisahkan golongan ulama dan golongan ahli ilmu modern akan semakin sempit.[41] Gerakan reformasi pendidikan yang dicanangkan Abduh tersebut bermaksud mendidik generasi muda Islam supaya banyak berorientasi ke masa sekarang dan masa depan. Sebab, dengan pola pikir ini, yakni pola pikir yang memberikan kedudukan yang tinggi pada akal dan ilmu pengetahuan, membebaskan diri dari taklid, serta kembali kepada Al-Quran dan hadis, mereka akan mampu membawa umat Islam pada gerbang kemajuan sebagaimana yang telah diraih oleh peradaban Barat.[42] Rupanya paradigma ini membawa pengaruh yang cukup besar pada pola pemikiran Abduh. Salah satunya adalah dalam bidang tafsir. Dalam menafsirkan Al-Quran, Abduh menekankan pada akal dan kondisi sosial-kemasyarakatan. Menurut Abduh, pemaparan pendapat para ulama yang saling berlawanan malah akan menjauhkan umat Islam dari tujuan diturunkannya Al-

Quran.[43] Selain di bidang tafsir, paradigma pemikiran Abduh yang sangat rasional juga banyak berpengaruh dalam bidang teologi Islam.[44] Secara ringkas, gagasan Abduh tentang pembaruan atau reformasi Islam dapat digambarkan sebagai berikut. No. Aspek Pemikiran 1 Kerangka teori 2 3 4 Metodologi Dipengaruhi oleh Konsep reformasi Islam Bentuk Pemikiran Akal dan wahyu (Islam) selaras, tidak ber-tentangan. Reinterpretasi ajaran Islam (Al-Quran dan sunnah) secara rasional. Gagasan dan pemikiran pembaruan Islam al-Afghani. Pembaruan teologi Islam; membebaskan umat Islam dari taklid. Restrukturisasi dan pembaruan pen-didikan Islam. - Melakukan reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern. Contribution of knowledge - Rasionalisasi tafsir. - Rasionalisasi ajaran dan teologi Islam. D. Al-Afghani dan Abduh: Antara Gerakan Revolusioner dan Gerakan Reformis Berdasarkan kajian atas pemikiran dua tokoh pembaru Islam ini, penulis menyimpulkan bahwa gagasan reformasi Islam al-Afghani dan Abduh berangkat dari kepentingan yang sama untuk membawa umat Islam dari jurang keterpurukan kepada kemajuan serta melepaskan umat Islam dari belenggu kolonialisme. Ide awal ini kemudian direalisasikan dengan cara melakukan reinterpretasi ajaran Islam dengan kembali kepada dasar ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan hadis. Walaupun tujuan pembaruan al-Afghani dan Abduh sama, tetapi konsep dan metode yang mereka gunakan berbeda. Konsep reformasi Islam yang ditawarkan al-Afghani lebih menekankan pada upaya reformasi di bidang politik. Dalam hal ini, al-Afghani menawarkan dua konsep pembaruan di bidang politik, yaitu mengganti sistem pemerintahan otokrasi dengan sistem pemerintahan demokratis dan menggagas Pan-Islam, yakni persatuan seluruh umat Islam.

Kemudian, untuk merealisasikan gagasannya ini, al-Afghani pun lebih banyak bergerak di lapangan politik. Bahkan, sebagian besar kehidupan dan petualangan al-Afghani dihabiskan di jalur politik. Strategi politik yang dianut al-Afghani pun cenderung keras. Menurut catatan Nikki R. Keddie, al-Afghani bahkan setuju dengan aksi-aksi kilat dan keras seperti pembunuhan, perang, intrik, dan pemberontakan.[45] Rupanya cara dan strategi pembaruan al-Afghani tidak efektif dan tidak banyak memberikan hasil, walaupun memberikan pengaruh yang besar bagi upaya pembaruan Islam selanjutnya. Tentang hal ini, Nikki R. Keddie berkomentar bahwa al-Afghani akan menjadi figur yang efektif jika ia lebih banyak menghabiskan konsentrasinya untuk organisasi dan pendidikan politik, ketimbang menghabiskan energinya untuk aksi politik yang hanya menemui kegagalan.[46] Langkah ini berbeda jauh dengan strategi yang ditempuh oleh muridnya, yakni Muhammad Abduh. Walaupun pernah berkecimpung dalam aktivisme politik bersama gurunya, tetapi akhirnya Abduh menjauhkan diri dari dunia revolusionisme dan beralih pada pendekatan yang lebih evolusioner dan damai.[47] Hal ini bisa dilihat dari gagasan pembaruan atau reformasi Islam yang dicanangkan Abduh, yakni pembaruan teologi Islam, membebaskan umat Islam dari taklid, restrukturisasi dan pembaruan pendidikan Islam, serta melakukan reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern. Walaupun memiliki banyak kesamaan dengan al-Afghani dalam hal pemikiran, tetapi jalan yang ditempuh Abduh berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh gurunya tersebut. Menurut Harun Nasution, Abduh bukan seorang revolusioner seperti al-Afghani, yang ingin mengadakan perubahan dalam waktu singkat. Abduh adalah seorang pendidik yang ingin mengadakan reformasi lewat jalur pendidikan. Walaupun memakan waktu yang panjang, tetapi cara ini memberikan fondasi yang kokoh. Inilah perbedaan di antara kedua tokoh pembaru ini; yang satu menghendaki pembaruan umat melalui pembaruan negara, sedangkan yang satu lagi menginginkan pembaruan negara melalui pembaruan umat.[48] E. Penutup Sudah satu abad lebih gagasan pembaruan dan reformasi Islam dicetuskan oleh Jamaluddin alAfghani dan Muhammad Abduh. Akan tetapi, kondisi umat Islam masih belum berubah. Kemunduran, kebodohan, bahkan cengkeraman kolonialisme dengan wajah baru masih menyelimuti tubuh umat Islam. Hal ini bukan berarti gerakan reformasi Islam yang digagas kedua tokoh pembaru ini tidak berhasil. Dalam beberapa hal memang sudah membuahkan hasil, tetapi belum tuntas. Maka, sudah semestinya generasi selanjutnya meneruskan langkah yang sudah digagas oleh alAfghani dan Abduh ini. Melanjutkan gagasan al-Afghani dan Abduh bukan berarti mengambilnya secara persis. Zaman sudah berbeda, situasi dan kondisi yang dihadapi pun sudah

berubah. Adalah langkah bijak jika gagasan besar tersebut diambil semangatnya untuk kemudian diselaraskan dengan konteks masa kini. Tentu hal ini dengan tetap mengacu pada tujuan awal reformasi Islam, yakni mengangkat derajat umat dan membawanya kepada gerbang kemajuan. [] DAFTAR PUSTAKA Esposito, John L. (ed.). Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N., dkk. Bandung: Mizan, 2001. Haddad, Yvonne. Muhammad Abduh: Perintis Pembaruan Islam, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1996. Haroen, Nasrun (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001. Jamaluddin al-Afghani: Penentang Imperialisme Barat, dalam Republika, edisi Kamis, 6 Agustus 2009. Keddie, Nikki R. Sayyid Jamaluddin al-Afghani, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1996. Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Masadi, Bagian Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasionalisme Mutazilah. Jakarta: UI-Press, 1987.

_______. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 2001. Nurdin, Muh. Hermawan Ibnu. Pemikiran Politik Islam Jamaluddin al-Afghani, dalam www.klipingpilihanku.blogspot.com, 17 November 2009., Rais, M. Amien. Kata Pengantar, dalam John L. Donohue dan John L. Esposito (peny.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terj. Machnun Husein. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994. Sanaky, Hujair A. Dinamika Gerakan Kebangkitan Islam, dalam www.sanaki.com, 17 November 2009.

Shihab, M. Quraish. Syaikh Muhammad Abduh dan Karakter Tafsirnya, dalam Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, terj. Muhammad Bagir. Bandung: Mizan, 2001.

[1]M. Amien Rais, Kata Pengantar, dalam John L. Donohue dan John L. Esposito (peny.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terj. Machnun Husein (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. v-xiii.

[2]Secara terperinci, Ira M. Lapidus memetakan gerakan reformasi dan pembaruan Islam sejak abad ke-18 sampai abad ke-20 M yang terbentang mulai dari Arabia, Asia Tengah, India, Asia Tenggara, Mesir, sampai Afrika. Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Masadi, Bagian Ketiga (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 25-26. [3]Ibid., hlm. 28. [4]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), hlm. 6. [5]Jamaluddin al-Afghani: Penentang Imperialisme Barat, dalam Republika, edisi Kamis, 6 Agustus 2009. [6]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 43. [7]Jamaluddin al-Afghani: Penentang Imperialisme Barat, dalam Republika, edisi Kamis, 6 Agustus 2009. [8]Muh. Hermawan Ibnu Nurdin, Pemikiran Politik Islam Jamaluddin al-Afghani, dalam www.klipingpilihanku.blogspot.com, 17 November 2009., [9]Nikki R. Keddie, Sayyid Jamaluddin al-Afghani, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 19-20. [10]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 43. [11]Ibid., hlm. 43-44. [12]Ibid., hlm. 44.

[13]Nikki R. Keddie, Jamaluddin al-Afghani, dalam John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N., dkk., Jilid I (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 25-26. [14]Pemberontakan Urabi Pasya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh para perwira tinggi militer Mesir. Pemberontakan ini diawali oleh suatu gerakan yang dipimpin oleh Urabi Pasya (pemimpin perwira militer dan golongan nasionalisme Mesir). Pemberontakan ini berawal dari politik rasialisme yang dijalankan oleh penguasa Mesir yang kemudian berimbas pada kalangan militer. Nasrun Haroen (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), hlm. 2. Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasionalisme Mutazilah (Jakarta: UI-Press, 1987), hlm. 16. [15]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 45. Muh. Hermawan Ibnu Nurdin, Pemikiran Politik Islam Jamaluddin al-Afghani, dalam www.klipingpilihanku.blogspot.com, 17 November 2009., [16]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 45. [17]Ibid., hlm. 45-46. [18]Stoddard mengatakan bahwa al-Afghani sedikit sekali memikirkan permasalahan agama. Ia lebih memusatkan perhatiannya pada bidang politik. Bahkan, Goldziher mengatakan bahwa alAfghani adalah seorang tokoh politik, bukan seorang pemimpin pembaruan Islam. Ibid., hlm. 46. [19]Ibid., hlm. 46. [20]Jamaluddin al-Afghani: Penentang Imperialisme Barat, dalam Republika, edisi Kamis, 6 Agustus 2009. [21]M. Quraish Shihab, Syaikh Muhammad Abduh dan Karakter Tafsirnya, dalam Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, terj. Muhammad Bagir (Bandung: Mizan, 2001), hlm. v. [22]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 49-50. [23]Ibid., hlm. 50. M. Quraish Shihab, Syaikh Muhammad Abduh, hlm. v. [24]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 50-51. M. Quraish Shihab, Syaikh Muhammad Abduh, hlm. v. [25]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 51-52. M. Quraish Shihab, Syaikh Muhammad Abduh, hlm. vi. [26]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 52. M. Quraish Shihab, Syaikh Muhammad Abduh, hlm. vi.

[27]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 52-53. M. Quraish Shihab, Syaikh Muhammad Abduh, hlm. vi-vii. [28]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 46-47. [29]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial, hlm. 110. [30]Ibid. [31]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 47. [32]Ibid., hlm. 47-48. [33]Ibid., hlm. 28. Kenneth Cragg, Muhammad Abduh, dalam John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford, Jilid I, hlm. 12. Sebenarnya, konsep Pan-Islam telah ada sejak awal kehadiran Islam. Para ulama dan fuqaha sering menggunakan konsep ini dalam upaya mendorong umat Islam untuk membangun kerja sama dan solidaritas. Feroz Ahmad, PanIslam, dalam John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford, Jilid 4, hlm. 239. [34]Harun Nasution, Muhammad Abduh, hlm. 24. M. Quraish Shihab, Syaikh Muhammad Abduh, hlm. vii. [35]Kenneth Cragg, Muhammad Abduh, dalam John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford, Jilid I, hlm. 13. Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 56. [36]Ibid., hlm. 53-54. [37]Ibid., hlm. 54-55. [38]Ibid., hlm. 55. [39]Kenneth Cragg, Muhammad Abduh, dalam John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford, Jilid I, hlm. 12. Menurut H.A.R. Gibb, gagasan-gagasan pembaruan Abduh diformulasikan ke dalam empat butir penting, yaitu: (1) memurnikan Islam dari pengaruh-pengaruh dan praktikpraktik yang merusak; (2) melakukan reformasi pendidikan tinggi Islam; (3) melakukan reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern; (4) mempertahankan Islam dari serangan-serangan Barat-Kristen. Lihat Hujair A. Sanaky, Dinamika Gerakan Kebangkitan Islam, dalam www.sanaki.com, 17 November 2009. [40]Harun Nasution, Muhammad Abduh, hlm. 19-22.

[41]Harun Nasution, Pembaharuan, hlm. 58. Nasrun Haroen (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, hlm. 1. [42]Harun Nasution, Muhammad Abduh, hlm. 26. [43]M. Quraish Shihab, Syaikh Muhammad Abduh, hlm. vii-viii. [44]Untuk lebih jelasnya, baca Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah. [45]Nikki R. Keddie, Sayyid Jamaluddin al-Afghani, hlm. 28. [46]Ibid., hlm. 29. [47]Yvonne Haddad, Muhammad Abduh: Perintis Pembaruan Islam, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis, hlm. 38. [48]Harun Nasution, Muhammad Abduh, hlm. 23.

a dan kesan yang di bentuk

Perasaan nyaman maupun tidak nyaman akan muncul ketika kita memasuki sebuah ruangan. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan warna ruang yang tidak tepat. Ya, fungsi utama dari ruangan tergantung dari pemilihan warna serta suasana apa yang ingin dimunculkan pada ruangan tersebut

Penerapan warna pada sebuah ruangan akan menimbulkan kesan perasaan tertentu. Oleh karena itu, untuk melakukan penataan pada interior Anda perlu memahami mengenai psikologi warna sehingga

warna yang diaplikasikan bisa sesuai dengan konsep yang diinginkan. Berikut adalah warna serta efek atau suasana yang dimunculkan:

Merah : merah merupakan warna yang memiliki karakter penuh dengan kekuatan dan antusias. Jika Anda akan mengaplikasikan warna merah pada dinding interior sebaiknya warna merah tak diterapkan sepenuhnya. Tapi gunakan warna merah sebagai aksen yang membuat ruangan tampak mengagumkan

Pink : cocok untuk ruang santai tetapi dapat memberi kesan lesu dan kurang bersemangat.

Kuning : kuning adalah warna yang kuat yang menunjukkan kehangatan, kekayaan dan kebahagiaan. Meskipun warna ini ceria tetapi hindari penggunaan secara dominan karena akan memunculkan kesan perasaan berat pada mata serta secara psikologis membuat orang senang berdebat. Warna kuning cocok diterapkan pada ruang belajar maupun ruang kerja karena warna kuning bagus untuk meningkatkan konsentrasi.

Ungu : memberi kesan romantis pada interior. Untuk mengaplikasikan, sebaiknya padukan dengan warna lain sebagai aksen sehingga ruang akan terlihat semakin indah.

Biru : biru warna kedamaian, akrab, dan tenang. Nuansa biru merupakan pilihan yang sesuai untuk diterapkan pada ruang tengah tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga.

Hijau : warna yang segar dan digunakan hampir di setiap ruangan. Selain berkesan ringan di mata, efek warna hijau juga mampu memperbaiki penglihatan karena menimbulkan esensi alam ke dalam interior ruangan.

Coklat : coklat membuat kita merasa mewah,elegan, bijaksana, dan kuat. Penggunaan warna coklat yang berlebihan pada interior akan menimbulkan efek kesedihan.

Putih : warna putih digunakan untuk ruang dengan area yang sempit dan kurang pencahayaan sehingga dapat memunculkan suasana yang cerah dan luas pada interior. Putih merupakan warna netral kita dapat menambah aksen dengan berbagai warna.

Munculkan warna putih dengan aksen warna-warna cerah yang mampu memberi kesan lebih lembut pada sebuah ruang atau interior. Warna putih juga dapat menambah kejernihan mental, mendorong kita untuk membersihkan kekacauan, membersihkan pikiran dan tindakan.

Sumber : http://www.edupaint.com/warna/pengaruh-warna/1771-psikologi-warna-dan-kesan-yangdibentuk.html

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook Label: Aliran Psikologi, Tips Hidup Sehat 0 komentar: Poskan Komentar

Komentar anda sangat penting bagi kami, silahkan berkomentar sesuai dengan isi judul postingan. Komentar yang berbau sara atau pornografi akan kami hapus. Buatlah diri anda senyaman mungkin di blog kami. Terimakasih..!
Home > Dunia Islam > Khazanah

Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat (4-habis)


Jumat, 02 Maret 2012, 17:52 WIB
Wordpress.com

Jamaluddin Al-Afghani Berita Terkait Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat (3) Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat (2) Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat (1) Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (3-habis) Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (2)

REPUBLIKA.CO.ID, Apa yang dilihat Al-Afghani di dunia Barat dan apa yang dilihatnya di dunia Islam memberi kesan kepadanya bahwa umat Islam pada masanya sedang berada dalam kemunduran, sementara dunia Barat dalam kemajuan. Hal ini mendorong Al-Afghani untuk memunculkan pemikiran-pemikiran baru agar umat Islam mencapai kemajuan. Pemikiran pembaruan yang ia cetuskan mempunyai pengaruh besar dalam dunia Islam. Pembaruan pemikiran Al-Afghani didasarkan pada keyakinan bahwa agama Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi yang disebabkan perubahan zaman. Dalam pandangan Afghani, jika ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi zaman saat ini, maka harus dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Islam yang tercantum dalam Alquran dan hadits. Untuk mencapai hal ini dilakukan ijtihad, dan

pintu

ijtihad

menurutnya

masih

tetap

terbuka.

Ia melihat bahwa kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi. Kemunduran mereka disebabkan oleh beberapa faktor. Umat Islam, menurutnya, telah dipengaruhi oleh sifat statis, berpegang pada taklid, bersikap fatalis, telah meninggalkan akhlak yang tinggi, dan telah melupakan ilmu pengetahuan. Ini berarti bahwa umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya menghendaki agar umat Islam bersifat dinamis, tidak bersifat fatalis, berpegang teguh pada akhlak yang tinggi, dan mencintai ilmu pengetahuan. Sifat statis, kata Afghani, telah membawa umat Islam menjadi tidak berkembang, dan hanya mengikuti apa yang telah menjadi hasil ijtihad ulama sebelum mereka. Karenanya umat Islam hanya bersikap menyerah dan pasrah kepada nasib. Faktor lainnya adalah adanya paham Jabariah dan salah paham terhadap qada (ketentuan Tuhan yang tercantum di Lauh Mahfuz/belum terjadi). Paham itu menjadikan umat Islam tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja giat. Bagi Al-Afghani, qada dan qadar mengandung pengertian bahwa segala sesuatu terjadi menurut sebab-musabab (kausalitas). Lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat Islam tentang dasar-dasar ajaran agama mereka, lemahnya rasa persaudaraan, dan perpecahan di kalangan umat Islam yang dibarengi oleh pemerintahan yang absolut, mempercayakan kepemimpinan kepada yang tidak dapat dipercaya, dan kurangnya pertahanan militer merupakan faktor-faktor yang ikut membawa kemunduran umat Islam. Ia juga ingin melihat umat Islam kuat, dinamis, dan maju. Jalan keluar yang ditunjukkannya untuk mengatasi keadaan ini adalah melenyapkan pengertian yang salah yang dianut umat Islam dan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Menurut dia, Islam mencakup segala aspek kehidupan, baik ibadah, hukum, maupun sosial. Corak pemerintahan autokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi dan persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam bergantung kepada keberhasilan membina persatuan dan kerjasama. Pemikiran lain yang dimunculkan Al-Afghani adalah ide tentang adanya persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama, tidak berbeda. Keduanya mempunyai akal untuk berpikir. Ia melihat tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di luar jika situasi menuntut itu. Dengan jalan demikian, Al-Afghani menginginkan agar wanita juga meraih

kemajuan dan bekerjasama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis.

Redaktur: Chairul Akhmad Reporter: Nidia Zuraya Home > Dunia Islam > Khazanah

Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat (3)


Jumat, 02 Maret 2012, 17:37 WIB
Wordpress.com

Jamaluddin Al-Afghani Berita Terkait Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat (2) Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat (1) Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (3-habis) Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (2) Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (1)

REPUBLIKA.CO.ID, Jurnal berkala ini segera menjadi barometer perlawanan imperialis Dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan analisis.Tak hanya dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan Barat yang penasaran dan kagum dengan kecemerlangan AlAfghani. Selama mengurus jurnal ini, Afghani harus bolak-balik Paris-London untuk menjembatani diskusi dan pengiriman tulisan para ilmuwan Barat, terutama yang bermarkas di International Lord Salisbury, London. Atas undangan penguasa Persia saat itu, Syah Nasiruddin, pada tahun 1889 ia mengunjungi Persia. Di sana ia diminta untuk menolong mencari penyelesaian persengketaan Rusia-Persia yang timbul karena politik pro-Inggris. Pada tahun 1892, ia ke Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid yang ingin memanfaatkan pengaruh Al-Afghani di berbagai negara Islam untuk menentang Eropa yang pada waktu itu mendesak kedudukan Kerajaan Utsmani (Ottoman) di Timur Tengah. Akan tetapi kedua tokoh tersebut tidak mencapai kerjasama. Sultan Abdul Hamid tetap mempertahankan kekuasaan otokrasi lama, sedangkan Al-Afghani mempunyai pemikiran demokrasi tentang pemerintahan. Akhirnya, Sultan membatasi kegiatan al-Afghani dan tidak mengizinkannya keluar dari Istanbul sampai wafatnya pada tanggak 9 Maret 1897. Ia dikubur di sana. Jasadnya kemudian dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah dalam bukunya, "Al-Afghani: Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya, menyatakan Al-Afghani meninggal akibat diracun. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya. Di samping majalah Al-Urwah al-Wusqa yang diterbitkannya, Al-Afghani juga menulis banyak buku dan artikel. Di antaranya ialah Bab ma Yaulu Ilaihi Amr al-Muslimin (Pembahasan tentang Sesuatu Yang Melemahkan Orang-Orang Islam), Makidah asy-Syarqiyah (Tipu Muslihat Orientalis), Risalah fi ar-Radd Ala al-Masihiyyin (Risalah untuk Menjawab Golongan Kristen; 1895), Diya al-Khafiqain (Hilangnya Timur dan Barat; 1892), Haqiqah al-Insan wa Haqiqah al-Watan (Hakikat Manusia dan Hakikat Tanah Air; 1878), dan Ar-Radd Ala al-Dahriyin.
me > Dunia Islam > Khazanah

Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat (1)


Jumat, 02 Maret 2012, 17:18 WIB
Wordpress.com

Jamaluddin Al-Afghani Berita Terkait Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (3-habis) Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (2) Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (1) Hujjatul Islam: Syekh Yusuf Al-Qardhawi, Ulama Progresif yang Kontroversial (4-habis) Hujjatul Islam: Syekh Yusuf Al-Qardhawi, Ulama Progresif yang Kontroversial (3)

REPUBLIKA.CO.ID, Nama lengkapnya adalah Jamaluddin Al-Afghani As-Sayid Muhammad bin Shafdar Al-Husain. Namun, ia lebih dikenal dengan Jamaluddin Al-Afghani. Ia merupakan seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian Al-Afghani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya. Di tengah kemunduran kaum Muslimin dan gejolak kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, Al-Afghani menjadi seorang tokoh yang amat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20. Dilahirkan di Desa Asadabad, Distrik Konar, Afghanistan pada tahun 1838, Al-Afghani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah SAW, Hussein bin Ali bin Abi Thalib.

Ayahnya, Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali Al-Tirmidzi (seorang perawi hadits yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga senasab hingga Sayyidina Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Keluarganya merupakan penganut mazhab Hanafi. Masa kecil dan remajanya, ia habiskan di Afghanistan. Namun ketika beranjak dewasa, ia berpindah dari satu negara ke negara lainnya, seperti India, Mesir, dan Prancis. Pendidikan dasar ia peroleh di tanah kelahirannya. Pada usia 8 tahun, Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa. Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Kabul dan Iran. Ia tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Ia tekun mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fikih dan ilmu keislaman lainnya. Ketika berada di Kabul, sampai umur 18 tahun, ia mempelajari beberapa cabang ilmu keislaman disamping filsafat dan ilmu eksakta. Kemudian ketika berada di India dan tinggal di sana lebih dari satu tahun, ia menerima pendidikan yang lebih modern. Di India, Al-Afghani memulai misinya membangkitkan Islam. Kala itu India berada di bawah kekuasaan penjajahan Inggris. Pada saat perlawanan terjadi di seluruh India, Al-Afghani turut ambil bagian dengan bergabung dalam perang kemerdekaan India di tahun 1857. Meski demikian, ia masih sempat pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari haji, Al-Afghani memutuskan untuk pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad Khan, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Ketika Sher Ali Khan menggantikan Dost Muhammad Khan pada 1864, Al-Afghani diangkat menjadi penasihatnya. Dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad A'zam Khan. Karena campur tangan Inggris dalam soal politik di Afghanistan dan kekalahannya dalam pergolakan melawan golongan yang disokong Inggris, Aghani meninggalkan Afghanistan pada 1869 menuju India. Karena koloni Inggris yang berada di India selalu mengawasi kegiatannya, ia pun meninggalkan India dan pergi ke Mesir pada 1871, dan menetap di Kairo.

Home > Dunia Islam > Khazanah

Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat (2)


Jumat, 02 Maret 2012, 17:24 WIB
Wordpress.com

Jamaluddin Al-Afghani Berita Terkait Hujjatul Islam: Jamaluddin Al-Afghani, Simbol Perlawanan Imperialisme Barat (1) Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (3-habis) Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (2) Hujjatul Islam: Abdul Qadir Audah, Pakar Hukum Islam dari Mesir (1) Hujjatul Islam: Syekh Yusuf Al-Qardhawi, Ulama Progresif yang Kontroversial (4-habis)

REPUBLIKA.CO.ID, Awalnya, Jamaluddin Al-Afghani menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatiannya pada bidang ilmu pengetahuan dan sastra Arab. Rumahnya dijadikan tempat pertemuan murid-murid dan para pengikutnya. Di sinilah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Salah seorang murid Al-Afghani adalah Muhammad Abduh. Ia kembali ke lapangan politik pada 1876 ketika melihat adanya campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir. Kondisi tersebut mendorong Al-Afghani untuk terjun ke dalam kegiatan politik di Mesir. Ia bergabung dengan perkumpulan yang terdiri atas orang-orang politik di Mesir. Lalu pada tahun 1879, Al-Afghani membentuk partai politik dengan nama Hizb Al-Watani

(Partai Kebangsaan). Dengan partai ini ia berusaha menanamkan kesadaran nasionalisme dalam diri orang-orang Mesir. Partai yang ia dirikan ini bertujuan untuk memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi militer. Kegiatan yang dilakkukan Al-Afghani selama berada di Mesir memberi pengaruh yang besar bagi umat Islam di sana. Ia yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara itu dapat mencapai kemajuan dan menjadi negara modern. Akan tetapi, karena keterlibatannya dalam bidang politik itu, pada tahun 1882 ia diusir dari Mesir oleh penguasa saat itu. Dia kemudian pergi ke Paris. Pada tahun 1883, ketika berada di Paris, Al-Afghani mendirikan suatu perkumpulan yang diberi nama Al-'Urwah Al-Wusqa (Ikatan yang Kuat), yang anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suriah, Afrika Utara, dan lain-lain. Tujuan didirikannya perkumpulan tersebut antara lain memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Jurnal perlawanan Sebagai sarana untuk menyalurkan ide-ide dan kegiatannya, Al-Afghani bersama Muhammad Abduh menerbitkan jurnal berkala, yang juga bernama Al-'Urwah Al-Wusqa. Publikasi ini bukan saja menggoncang dunia Islam, tapi juga menimbulkan kegelisahan dunia Barat. Majalah ini hanya berumur delapan bulan karena Barat melarang peredarannya di negeri-negeri Islam. Majalah ini dinilai dapat menimbulkan semangat dan persatuan orang-orang Islam. Di manamana, terutama untuk pasaran dunia Timur, majalah ini dibinasakan penguasa Inggris. Di Mesir dan India, majalah ini dilarang untuk diedarkan. Akan tetapi, majalah ini terus saja beredar meski secara ilegal.

You might also like