You are on page 1of 13

1 I.

PENDAHULUAN Abad ke 19 hingga abad ke 20 merupakan suatu momentum dimana umat Islam memasuki suatu gerbang baru, gerbang pembaharuan. Fase ini kerap disebut sebagai abad modernisme, suatu abad dimana umat diperhadapkan dengan kenyataan bahwa Barat jauh mengungguli mereka. Keadaan ini membuat berbagai respon bermunculan, berbagai kalangan Islam merespon dengan cara yang berbeda berdasarkan pada corak keislaman mereka. Ada yang merespon dengan sikap akomodatif dan mengakui bahwa memang umat sedang terpuruk dan harus mengikuti bangsa Barat agar dapat bangkit dari keterpurukan itu. Ada pula yang merespon dengan menolak apapun yang datang dari Barat sebab mereka beranggapan bahwa itu diluar Islam. Kalangan ini menyakini Islamlah yang terbaik dan umat harus kembali pada dasar-dasar wahyu, kalangan ini kerap disebut dengan kaum revitalis. Berbagai nama tokoh pun segera tampil dalam ingatan ketika disebutkan tentang abad modernisme Islam yang ditandai dengan dominasi Eropa ini. Dominasi Eropa atas dunia Islam, khusunya di bidang politik dan pemikiran ini ditanggapi dengan beragam cara sehingga melahirkan kalangan modernis dan fundamentalis. Modernisme cenderung akomodatif terhadap ide Barat meskipun kemudian mengembangkan sendiri ide-ide tersebut, sedangkan fundamentalisme menganggap apaapa yang datang dari Barat adalah bukan berasal dari Islam dan tak layak untuk diambil.

Fundamentalisme merupakan suatu paham yang lahir atau besar setelah fase modernisme. Berbicara abad pembaharuan dalam Islam, maka tak lepas dari seorang tokoh yang merupakan sosok penting dalam pembaharuan Islam, alAfghani, seorang pembaharu yang memiliki keunikan, kekhasan, dan misterinya sendiri. Berangkat dari pembagian corak keIslaman di atas, Afghani menempati posisi yang unik dalam menanggapi dominasi Barat terhadap Islam. Di satu sisi, Afghani sangat moderat dengan mengakomodasi ide-ide yang datang dari Barat, ini dilakukannya demi memperbaiki kemerosotan umat. Namun di lain sisi, Afghani tampil begitu keras ketika itu

2 berkenaan dengan masalah kebangsaan atau mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keIslaman. Alhasil Afghani memijakkan kedua kakinya di dua sisi berbeda, ia seorang modernis tapi juga fundamentalis. Agaknya tepat apa yang dikatakan Black bahwa afghani adalah puncak dari kalangan modernis dan fondasi bagi kalangan fundamentalis.1 Pada makalah sederhana ini kami akan paparkan sedikit tentang Afghani, riwayat hidup, pemikiran, kiprah politik, dan hal penting lainnya yang berhubungan dengan Al-Afghani yang ditulis secara sederhana sebab makalah ini tak cukup jika harus mewakili keseluruhan pemikiran dan sepak terjang beliau yang begitu fenomenal. II. PEMBAHASAN A. Riwayat Hidup Jamaluddin Al Afghani Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bin Shafdar Al-Husaini yang lahir pada tahun 1835 M di Asadabat dekat Kota Kunar yang termasuk kawasan distrik Kabul bagian timur Afghanistan. Ayahnya bernama Shafdar Al-Husaini, seorang bangsawan terhormat dan mempuyai nasab sampai ke Ali bin Abi Thalib dari jalur At-Tirmidzi, seorang perawi hadits yang termasyhur.2 Di masa kecilnya Al-Afghani pindah ke kota Kabul beserta keluarganya. Sejak masa kecilnya telah nampak pada diri Al-Afghani kecerdasan dan kemauan yang besar untuk menggali pengetahuan. Dalam usia delapan tahun ia mulai belajar disiplin ilmu dan menguasai beberapa ilmu, diantaranya Al-Quran, bahasa Arab, hadits, fiqih, ilmu kalam, politik, sejarah, musik dan termasuk ilmu-ilmu eksak.3 Dalam rangka menambah wawasan pengetahuannya, Al-Afghani melanjutkan studi ke India dan menetap disana selama satu tahun untuk belajar pengetahuan-pengetahuan Barat dan metodologinya serta bahasa Inggris. Tahun 1857 ia menunaikan ibadah haji ke mekah dan sekembalinya
Antony Black, Pemikiran Politik Islam (Jakarta : Serambi, 2006), hal. 550. Bernard Lewis, et.al., The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J Brill, 1965), hal. 417. 3 Eksiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Depatemen Agama RI, 1993), hal. 507
2 1

3 di Afghanistan, ia diangkat menjadi pembantu pangeran Dost Muhammad Khan. Pada taun 1864, Al-Afghani menjadi penasehat Sher Ali Khan dan pada masa Muhammad Azzam Khan menjadi perdana menteri. Karena terjadinya konflik dalam negeri Afghanistan, ia kembali menuju India untuk kedua kalinya pada tahun 1869. Saat itu India jatuh ke tangan Inggris, oleh karenya ia memutuskan untuk menuju Mesir pada tahun 1871. Di Mesir ia sempat berkenalan dengan kalangan ulama Al-Azhar dan memberikan kuliah. Selanjutnya Al-Afghani pergi ke Turki dan diangkat sebagai anggota Majelis Pendidiakan Turki dan sering diundang untuk menyampaikan ceramah di Aya Shofia dan Masjid Sultan Ahmad. Karena keberadaanya yang dianggap membehayakan posisi kepala pemerintahan, timbullah fitnah yang dilancarkan oleh Hasan Fahmi Syaikh Al-Islam dengan mengatakan bahwa ceramah-ceramah Al-Afghani banyak mengandung unsur penghinaan terhadap kenabian. Dengan alasan ingin menunaikan haji, maka Al-Afghani meninggalkan Turki dan kemudian menetap di Mesir hingga tahun 1879. Pada masa inilah ide pemikiran dan aktivitas memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia Islam khususnya Mesir.4 Al-Afghan telah mengunjungi beberapa kota di Eropa bahkan menetap di sana. Tahun 1882 berada diLondon, lalu satu tahun kemudain ke Paris, dan kembali lagi menetap di London tahun 1885. Selanjutnya ke Teheran, ke Moscow tahun 1887, ke Jerman dan akhirnya kembali lagi ke Teheran. Pengamanan merantau inilah yang kemudian membentuk wawasan berfikirnya yang luas, bebas dan demokratis yang tentunya telah banyak melahirkan banyak murid asli didikan dan binaan yang dilakukan Al-Afghani yang mewarnai sejarah pemikiran di dunia Islam. Akhirnya pada tahun 1897 ia wafat di Istanbul karena sakit.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 52.

4 B. Pemikiran Jamaluddin Al Afghani Semua orang sepakat bahwa dialah yang menghembuskan gerakan Islam modern dan mengilhami pembaharuan di kalangan kaum Muslim yang hidup ditengah-tengah kemodernan. Dia pula yang pengaruhnya amat besar terhadap gerakan-gerakan pembebasan dan konstitusional yang dilakukan dinegara-negara Islam setelah zamannya. Ia menggabungkan ilmu-ilmu tradisional Islamnya dengan berbagai ilmu pengetahauan yang diperolehnya dari Eropa dan pengetahuan modern.5 Semua usahanya dicurahkan untuk menerbitkan makalah-makalah politik yang membangkitkan semangat, khususnya yang termuat dalam majalah Al-Urwah al-Wutsqa. Ia telah membangkitkan gerakan yang berskala nasional dan gerakan jamaah Islam. Afghani mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh. Sebenarnya Afghani bukanlah pemikir Islam yang pertama yang mempelopori aliran salafiyah (revivalis). Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula Syeikh Mohammd Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi salafiyah (baru) dari Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni : Pertama keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ketiga pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat dalam
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal.293
5

5 dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam.6 Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam, serta pengembalian keutuhan umat Islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam (Jamiah islamiyah) atau Pan-Islamisme. Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus melipluti seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam negara-negara yang merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang masih merupakan rakyat jajahan. Ikatan tersebut, yang didasarkan atas solidaritas akidah Islam, bertujuan membiana kesetiakawanan dan pesatuan umat Islam dalam perjuangan; pertama, menentang tiap system pemerintahan yang dispotik atau sewenang-wenang, dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, hal mana juga berarti menentang sistem pemerintahan Utsmaniyah yang absolut itu. Kedua, menentang kolonialisme dan dominasi Barat.7 Menurut Afghani, dalam ikatan itu eksistensi dan kemandirian masing-masing negara anggota tetap diakui dan dihormati, sedangkan kedudukan para kepala negaranya, apa pun gelarnya, tetap sama dan sederajat antara satu dengan yang lain, tanpa ada satu pun dari mereka yang lebih ditinggikan. Afghani mendiagnose penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak adanya keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada konstitusi dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik), inilah alasan mengapa pemikir di negara-negara Islam di timur tidak bisa mencerahkan masyarakat tentang inti sari dan kebaikan dari pemerintahan republik. Pemerintahan republik, merupakan sumber dari kebahagiaan dan kebanggaan. Mereka yang diatur oleh pemerintahan republik sendirilah yang
Munawir Sajdzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993). Hal.124-125 7 Ibid, hal.126
6

6 layak untuk disebut manusia; karena suatu manusia yang sesungguhnya hanya diatur oleh hukum yang didasari oleh keadilan dan mengatur gerakan, tindakan, transaksi dan hubungan dengan orang yang lain yang dapat mengangkat masyarakat ke puncak kebahagiaan. Bagi Afghani, pemerintah rakyat adalah pemerintahan yang terbatas, pemerintahan yang yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya merupakan lawan dari pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah yang berkonsultasi dalam mengatur, membebaskan dari beban yang diletakkan pemerintahan despotik dan mengangkat dari keadaan membusuk ke tingkat kesempurnaan.8 Reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik yang hendak diperjuangkan oleh salafiyah (baru) di negara-negara Islam adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melaui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat), pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undangundang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik an sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan an dominasi Barat. Menurut Afghani, cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat, kalau perlu dengan pertumpahan darah. Ia mengatakan bahwa kalau memang ada sejumlah hal yang harus direbut dan tidak ditunggu untuk diterima sebagai hadiah atau anugerah, maka kebebasan kemerdekaan merupakan dua hal tersebut. 9 Waktu tinggal di Mesir, sejak awal Afghani menganjurkan pembentukan pemerintaha rakyat melalui partisipasi rakyat Mesir dalam pemerintahan konstitusional yang sejati. Ia banyak berbicara tentang keharusan pembentukan dewan perwakilan yang disusun sesuai dengan apa yang diinginkan rakyat, dan anggota-anggotanya terdiri ari orang-orang yang betul-betul dipilih oleh rakyat, sebab dia berkeyakinan bahwa suatu dewan
8

http://www.iol.ie/~afifi/Articles/democracy.htm Munawir Sajdzali, Islam dan Tata Negara..., Hal.129

7 perwakilan yang dibentuk atas perintah raja atau kepala negara, atau atas anjuran penguasa asing, maka lembaga tersebut akan lebih merupakan alat politik bagi yang membentuknya. Ketika penguasa Mesir, Khedewi Taufiq bermaksud menarik kembali janjinya untuk membentuk dewan perwakilan rakyat berdasarkan alasan bahwa rakyat masih bodoh dan buta politik, Afghani menulis surat kepada Khedewi yang isinya menyatakan bahwa memang benar di antara rakyat Mesir, seperti halnya rakyat dinegeri-negeri lain, banyak yang masih bodoh, teapi itu tidak berarti bahwa di antara mereka tidak terdapat orang-orang pandai dan berotak.10 Tujuan utama gerakan Afghani ialah menyatukan pendapat semua negara-negara Islam dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Ia ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Menyadarkan bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini karena mereka berpecah-belah.11 Afghani berusaha menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang tercecer. Ia yakin bahwa kebangkitan Islam merupakan tanggungjawab kaum Muslim, bukan tanggung jawab Sang Pencipta. Masa depan kaum Muslim tidak akan mulia kecuali jika mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai orang besar. Mereka harus bangkit dan menyingkirkan kelalaian. Mereka harus tahu realitas, melepaskan diri dari kepasrahan. Ia menjelaskan kebobrokan umat Islam, dan menerangkan bahwa duni Islam sedang terancam. Ancamannya datang dari Barat yang memiliki kekuatan dinamis. Afghani mengajak umat Islam untuk melakukan perbaikan secara internal, menumbuhkan kekuatan untuk bertahana dan mengaopsi buah peradaban Barat, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembalikan kejayaan Islam. Barat harus dihadapi karena dialah yang

10 11

Munawir Sajdzali, Islam dan Tata Negara, hal.128 Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh..., hal.295

8 mengancam Islam. Cara menghadapinya adalah dengan menirunya dalam halhal yang positif, selain aturan kebebasan dan demokrasinya.12 Afghani adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term Islam dan Barat sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah pertentangan yang justru harus dijadikan patokan berpikir kaum muslim, yaiut untuk membebaskan kaum muslim dari ketakutan dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa.13 Beberapa buku yang ditulis oleh Afghani antara lain14; Tatimmat albayan (Cairo, 1879). Buku sejarah politik, sosial dan budaya Afghanistan. Hakikati Madhhabi Naychari wa Bayani Hali Naychariyan . Pertama kali diterbitkan di Haydarabad-Deccan, 1298 H/1881 M, ini adalah karya intelektual Afghani paling utama yang diterbitkan selama hidupnya. Merupakan suatu kritik pedas dan penolakan total terhadap materialisme. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Arab oleh Muhammad Abduh dengan judul Al-Radd 'ala al-dahriyyin (Bantahan terhadap Materialisme). AlTa'Liqat 'ala sharh al-Dawwani li'l-'aqa'id al-'adudiyyah (Cairo, 1968). Berupa catatan Afghani atas komentar Dawwani terhadap buku kalam yang terkenal dari] Adud al-Din al-'Iji yang berjudul al-aqaid al-adudiyyah. Berikutnya Risalat al-waridat fi sirr al-tajalliyat (Cairo, 1968). Suatu tulisan yang didiktekan oleh Afghani kepada siswanya Muhammad 'Abduh ketika ia di Mesir. Khatirat Jamal al-Din al-Afghani al-Husayni (Beirut, 1931). Suatu buku hasil kompilasi oleh Muhammad Pasha al-Mahzumi wartawan Libanon. Mahzumi hadir dalam kebanyakan forum pembicaraan Afghani pada bagian akhir dari hidupnya Buku berisi informasi yang penting tentang gagasan dan hidup Afghani. Selanjutnya, pemikiran Afghani, diteruskan dan dikembangkan oleh murid-muridnya yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Selanjutnya, pemikiran Islam modern yang mereka kembangkan bukan hanya pada tingkat wacana, namun ditransformasikan oleh pengikut-pengikut selanjutnya
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh..., hal.294-195 Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh..., hal.295 14 http://www.cis-ca.org/voices/a/afghni.htm
13 12

9 menjadi gerakan. Dapat dikatakan bahwa gerakan Islam di abad kedua puluh banyak terpengaruh olehnya dan menjadikannya sumber inspirasi.15 Pengaruh tersebut terlihat dalam tokoh dan gerakan-gerakan Islam modern masa kini seperti Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin, Abul Ala al-Maududi dengan Jamaatul Islam dan termasuk Muh Natsir dengan Masyuminya.

C. Kiprah Politik Jamaluddin Al Afghani Terkenal sebagai orator ulung dan politikus sejati, Al-Afghani selalu mendasarkan kegiatan agama dan politiknya pada ide -idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Ia adalah seorang yang anti terhadap pemerintahan otoriter. Menurutnya, sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi umat muslim adalah pemerintahan konstisusional atau republik dan konsep kewarganegaraan aktif. Bukannya tanpa sebab, pemerintahan otoriter tidaklah jauh berbeda dengan tirani. Bentuk pemerintahan seperti ini menafikan keaktifan warga negara selain juga rentan terhadap monopoli asing yang langsung tertuju pada penguasa suatu negara. Hasilnya dapat dilihat, dengan mudahnya imperialisme Barat menguasai serta mengintervensi bentuk pemerintahan absolut yang banyak digunakan sebagai sistem pemerintahan di banyak negara Islam. Dalam perjuangan politiknya, Afghani kerap berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, ini dilakukannya sebab seringkali pada suatu negara ia mengalami pngusiran oleh penguasa setempat. Namun demikian talenta politik Afghani memang telah tampak sejak awal, bahkan ia lebih menonjol sebagai seorang aktivis gerakan politik ketimbang pemikir keagamaan. Pendapat tersebut dipaparkan Harun Nasution yang juga ia kutip dari berbagai pendapat semisal Stoddart maupun Goldzhier. Pandangan ini memang bukan sekadar komentar, tapi suatu pandangan yang memiliki dasar. Jika kita amati kronologi perjalanan hidup Afghani, maka kita akan mendapati agenda beliau dipenuhi dengan aktivitas politik. Talenta politik ini memang sujah tamapak sejak dini. Pada usia 22
15

Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh..., hal.294-295

10 tahun, ia membantu pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan, lalu pada usia kurang lebih 25 tahun ia menjadi penasihat Sher Ali Khan, dan beberapa tahun setelah itu Afghani diangkat sebagai perdana menteri oleh Azam Khan. Perjalanan politiknya ke berbagai negara pun patut mendapat sorotan, semua ia lakukan untuk menggoyang posisi penguasa yang otoriter, penguasa yang keluar dari rel amanat, dan juga untuk melawan dominasi barat atas negeri-negeri muslim. Namun ia kerap kali terlibat pertentangan dengan para pemimpin, kendati pemimpin itulah yang telah mengundangnya masuk ke negaranya. Misalnya saja pada kasus Iran, ia diundang ke Iran untuk urusan Iran-Rusia, namun sikap otoriter syah membuatnya menentang syah dan berpendapat bahwa syah harus digulingkan. Namun pendiriannya ini membuatnya terusir dari Iran. Nasib yang lebih tragis diterimanya ketika ia Berada di turki, alih-alih menjadi penasihat sultan Hamid II, Afghani malah berakhir sebagai tahanan kota hingga akhir hayatnya.

D. Konsep Negera Menurut Al Afghani Al-Afghani juga mengajukan konseop negara republik yang

demokratis bagi negeri-negeri Islam. Al-Afghani banyak mencela sistem pemerintahan umat Islam yang bercorak otokratis monarkhi absolut. Menurutnya, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpinpemimpin masyarakat yang memiliki banyak pengalaman. Pengetahuan manusia secara individu amat terbatas. Islam dalam pandangan Al Afghani menghendaki pemerintahan Republik di mana kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada Undangundang.16 Menurut Al-Afghani, Islam menghendaki bentuk republik karena di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar.

16

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam..., hal. 56.

11 Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam. Sebelumnya umat Islam hanya mengenal system kekhalifahan yang mempunayai kekuasaan absolut. Dalam pemerintah republik, yang berkuasa adalah undang-undang dan hukum, bukan kepala Negara. Ia hanya kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan hukum yang digaiskan oleh lembaga legislative untuk memajukan kemaslahatan rakyat.17 Pendapat Al-Afghani tersebut jelas dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Penafsiran Al-Afghani tersebut lebih maju dari Muhammad Abduh. Islam dalam pemikian Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan, Jika system khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model

pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebadan berpikir. Pemunculan de Al-Afghani tersebut sebagai reaksi kepada salah satu sebab kemunduran umat Islam yang bersifat politis, yaitu pemerintahan absolute. Abduh pun melihat sikap jumud merupakan penyebab kemunduran umat Islam, akibat dari pemeritnahan sewenang-wenang dan absolute. Abduh, sebagaiman agurunya -Al-Alghani- berpendapat bahwa Islam punya unsure dinamis, yang dapat disesuaikan dengan pekembangan zaman, dengan jalan ijtihad.18 Di dalam pemerintahan absout dan otokrasi tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan hanya pada raja/kepala Negara untuk bertindak yang tidak diatur oleh undang-undang. Karena itu, A-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absolute dan otokrasi diganti dengan coak pemeritahan demokrasi.19 Bukti keinginan Al-Afghani akan pemerintahan yang demokratis, adalah penegasannya tentang keharusan kepala Negara mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak pegalaman.20

J Suyuthi Pulungan, Figh Siyasah; Ajaran , Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 281. 18 ibid., hal. 283. 19 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam..., hal. 56 20 Ibid

17

12 Pemerintahan otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat menghargai hak-hak individu. Pemerintahan otokrasi yang mawujud dalam institusi khilafah saat itu haru s diganti denegan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu.21 Pemerintah yang demokratis menurut Al-Afghani menghendaki adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga ini bertugas memberi usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu

kebijaksanaan Negara. Ide dari wakil rakyat yang berpengalaman merupakan sumbangan yang berharga bagi pemerithah. karenanya para wakil rakyat haruslah berpengalaman dan berwawasan luas dan bermoral baik. Wakil wakil tersebut akan memabwa dampak positif pada pemerinnthan sehingga akan melahirkan uandang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat. Demikain juga para pemegang kekuasan haruslah orang -orang yang paling taat terhadap undang-unang. Kekuasaan yang diperoleh bukanlah karena kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaannya. Model inilah yang berlaku di dalamsistem khilafah, yang bagi Al-Afghani tidak sesuai dengan ajaran Islam. Baginya, kekuasan itu harus diperoleh melaui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demkian orang yang dipilih mempunyai dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaanya itu.22 Meskipun semua ide Al-Afghani bertujaun untuk mempersatukan umat Islam guna menghadapi penetrasi Barat dan kekuatan Turki Usmani yang dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islaminya tidak jelas. Apakah bentuk kerjasama itu dalam rangka mempersatukan umat Islam dalam bentuk asosiasi, atau dalam bentuk federasi yang dipimpin oleh seseorang atau badan yang mengkoordinasikan kerjasam tersebut, dan atau seperti negara persemakmuran dibawah Negara Inggris.

J Suyuthi Pulungan, Figh Siyasah; Ajaran..., hal. 286 John D. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan pembaharuan, Ensiklopedi Masalahmasalah , terj. Drs. Machnun Hussein, (Jakarta: Rajawali, 1984), hal. 25.
22

21

13 III. KESIMPULAN Dalam kiprahnya di dunia politik Al-Afghani banyak meyumbangkan pemikiran, yakni: 1. Keyakian bahwa kebangkitan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang murni, dan meneladani pola hidup Nabi dan para sahabatnya. 2. Perlawanan terhadap kolonislisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan 3. Pengakuan terhdap keunggulan Barat dalam Ilmu dan Teknologi, dan karenanya umat Islam hars belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut. 4. Menentang setiap sistem yang sewenang-wenang dan menggantikannya dengan pemerintahan berdasarkan musyawarah. 5. Menganjurkan pembentukan Jamiah Islamiyah/ Pan-Islamisme,

menyatukan seluruh umat Islam termasuk Persia dengan menggunakan suatu bahasa yakni bahasa Arab. 6. Melakukan perubahan kekuasan dengan cara revolusi. IV. REFERENSI Black, Antony. Pemikiran Politik Islam. Jakarta : Serambi, 2006. Eksiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Depatemen Agama RI, 1993. Husayn, Ahmad Amin. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. J Suyuthi Pulungan. Figh Siyasah; Ajaran , Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. John D. Donohue dan John L. Esposito. Islam dan pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-masalah, terj. Drs. Machnun Hussein. Jakarta: Rajawali, 1984. Lewis, Bernard, et.al. The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J Brill, 1965. Munawir, Sajdzali. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993. Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Website : http://www.iol.ie/~afifi/Articles/democracy.htm http://www.cis-ca.org/voices/a/afghni.htm

You might also like