You are on page 1of 15

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah lama ada di Indonesia, oleh sebagian orang dianggap sebagai lembaga pendidikan yang kolot dan ketinggalan zaman. Anggapan ini mungkin benar, tetapi pada dasarnya tidak semuanya benar, karena di pesantren mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan yang mungkin tidak ditemukan di masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya sistem pembelajaran yang berkesan tradisional, akan tetapi memiliki pengaruh besar bagi kelangsungan hidup seiring perkembangan zaman yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang. Karakteristik utama dari pesantren yang membedakannya dengan lembaga lain adalah pengajaran kitab kuning, yaitu kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama Islam di zaman Islam klasik dan. Pengajaran kitab kuning ini memberikan ilmu pengetahuan agama Islam bagi para santri dan membekali santri dalam menyikapi dan menghadapi perkembangan

modernisasi serta mengajarkan santri untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan masyarakat luas. Tradisi pesantren yang membuatnya bekesan unik adalah hubungan kiai atau ustadz dengan santri dalam proses pembelajaran yang menuntut santri bersikap tunduk dan taatkepada kiai. Hal ini karena sudah menjadi tradisi dan sekaligus memiliki filosofi agar ilmu yang diperoleh santri berbarokah serta bermanfaat untuk hidupnya, sehingga santri dapat ikut berpartisipasi secara aktif diberbagai kegiatan sosial dalam rangka untuk melaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat. B. Tujuan Pembahasan 1. Mengetahui asal-usul dan perkembangan pesantren. 2. Mengetahui metodologi pembelajaran di pesantren. 3. Mengidentifikasi pola interaksi pesantren dengan masyarakat. 4. Memahami peran dan kedudukan pesantren dalam masyarakat.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan 1. Arti Pesantren Kata pesantren berasal dari akar kata santri yaitu istilah yang lazim digunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia khususnya di Jawa. Kata santri mendapat awalan pe dan akhiran an, yang dalam perkembangannya disebut pesantren, yaitu tempat para santri menuntut ilmu agama.1 Menurut John, seperti yang dikutip oleh Zamakhsari Dhofier, kata santri berasal dari bahasa Tamil sastri yang berarti guru mengaji. Sedangkan menurut C. C. Berg, sebagaimana yang dikutip oleh Dhofier, berasal dari bahasa India shastri yang berarti buku suci, bukubuku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.2 Meskipun kedua pendapat yang tersebut di atas berbeda, tetapi pada dasarnya keduanya memiliki kandungan isi yang sama dengan makna santri. Jika dilihat dari pendapat yang pertama bahwa santri berarti guru mengaji, maka dapat diambil makna bahwa santri adalah orang-orang yang belajar ilmu agama Islam lalu mengajarkannya kepada masyarakat umum, selanjutnya oleh masyarakat Jawa dikenal dengan istilah guru mengaji. Begitu pula dengan pendapat kedua, sastri yang diartikan buku-buku suci atau buku-buku agama, ini mengandung arti yang dekat dengan tradisi pesantren yaitu menuntut ilmu agama yang bersumber dari kitab suci Islam atau buku-buku

Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren: Asal-Usul Perkembangan Pesantren di Jawa (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), hal. 30. 2 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 18.

pengetahuan agama Islam yang ditulis oleh ulama-ulama salaf (terdahulu) yang lebih dikenal dengan istilah kitab kuning. Menurut Nurcholish Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa santri berasal dari bahasa Sansekerta sastriyang artinya melek huruf.Nampaknya pada masa dahulu, utamanya pada permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas leterary (melek huruf) bagi orang Jawa.Ini karena ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan bersumber dari kitab-kitab bertulisan Arab.Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa menjadi santri berarti juga belajar untuk dapat mengerti bahasa asing, yaitu bahasa Arab.Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa santri berasal dari bahasa Jawa cantrik, yang artinya seseorang yang mengabdi kepada seorang guru.Cantrik selalu mengikuti kemana saja gurunya menetap, dengan tujuan dapat belajar suatu keahlian darinya.Pola interaksi antara guru-cantrik terus berjalan dari waktu ke waktu.Karena kata guru bersifat umum, maka guru yang ahli di bidang ilmu keagamaan selanjutnya disebut kiai, yang mengandung arti orang yang tua, sakral, keramat, dan sakti.Pada perkembangan selanjutnya, interaksi ini dikenal dengan istilah kiai-santri.3 2. Unsur-Unsur Pesantren Pesantren merupakan hasil usaha mandiri kiai yang dibantu oleh santri dan masyarakat, sehingga memiliki bentuk dan corak yang berbeda-beda.Selama ini belum pernah ada atau terjadi penyeragaman pesantren dalam skala nasional.Setiap pesantren memiliki ciri khusus yang berbeda, dikarenakan selera kiai dan kondisi sosial budaya masyarakat sekitar maupun letak geografis sekelilingnya. Setidaknya, dalam pesantren minimal harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Nurcholish Madjid, Pola Pergaulan dalam Pesantren dalam Kasnanto, ed., Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 19-20.
3

a) Kiai, peran seorang kiai dalam lingkup pesantren adalah sebagai pendidik, pengajar, dan sekaligus pemegang kendali pesantren. Bentuk dan corak pesantren yang bermacam-macam merupakan suatu pantulan dari

kecenderungan kiai. Kiai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan, dan memfatwakan ajaran-

ajaran agama Islam dengan baik dan benar. Muhammad Tholchah Hasan sebagaimana dikutip oleh Mujamil, melihat sosok kiai dari empat sisi, yakni:41) kepemimpinan ilmiah 2) spiritualitas 3) sosial 4) administrasinya. Jadi ada beberapa kemampuan yang harus terpadu pada diri seorang kiai dalam kapasitasnya sebagai pengasuh dan pembimbing pesantren. b) Santri, adalah murid yang belajar di pesantren dan sekaligus sebagai objek pendidikan. Akan tetapi dalam perkembangan saat ini, santri yang telah memiliki ilmu pengetahuan yang mencukupi atau senior sekaligus merangkap sebagai pengajar santri-santri yunior. Pada umumnya, santri terbagi menjadi dua kategori, yakni: 1) santri mukim, yaitu santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh sehingga harus menetap di pesantren. 2) santri kalong, yaitu santri-santri yang rumahnya berada di sekitar pesantren atau dekat dengan pesantren, sehingga jika kegiatan belajar di pesantren telah selesai mereka bisa pulang ke rumahnya masing-masing. c) Pondok, yaitu tempat tinggal para santri yang ingin bermukim dan merupakan ciri khas dari tradisi pesantren yang membedakan pesantren dengan sistem pendidikan lainnya. Pentingnya pondok sebagai tempat tinggal para
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 1996), hal. 20.
4

santri tergantung pada jumlah santri yang berasal dari daerah yang jauh. Ciri lain yang khas dari pondok adalah adanya pemisahan tempat tinggal antara santri putra dan santri putri. Sekat pemisah itu biasanya adalah rumah kiai, masjid, maupun madrasah. Di sinilah letak pentingnya pondok sebagai salah satu elemen pesantren yang turut serta menopang keberlangsungan tradisi pendidikan di pesantren. d) Masjid, pada umumnya yang pertama kali dilakukan seorang kiai untuk mendirikan sebuah pondok pesantren adalah dengan membangun masjid. Masjid merupakan sebuah simbol yang sangat erat kaitannya dengan pesantren. Fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat untuk melakukan ritual ibadah, tetapi juga tempat pengajaran kitab-kitab agama Islam dan kegiatan pesantren lainnya. Kendatipun sekarang ini kegiatan belajar di pesantren mulai dialihkan di ruang-ruang atau madrasah, bukan berarti masjid kehilangan fungsinya. Para kiai dan santri umumnya masih setia menggunakan masjid sebagai tempat

pengajaran kitab-kitab dengan sistem sorogan, bandongan atau wetonan di masjid. Hal ini karena masjid dirasa sebagai tempat yang nyaman, tenang, dan kondusif untuk belajar. e) Pengajaran kitab kuning, pada umumnya di pesantren salaf dalam sistem pengajaran tentang agama Islam

menggunakan kitab-kitab klasik, yaitu kitab yang dikarang oleh ulama-ulama terdahulu. Pengajaran kitab-kitab kuning ini berbahasa Arab dan tanpa harakat atau sering disebut gundul, sehingga untuk bisa membacanya harus menguasai dulu ilmu alat yaitu nahwu dan sharaf. Di pesantren yang sudah modern biasanya sudah tidak lagi mengacu penuh

kepada kitab-kitab kuning, tetapi menggunakan sumbersumber ilmu pengetahuan yang lain. 3. Metode Pembelajaran Pesantren Menurut Kiai Zarkasyi sebagaimana dikutip oleh Amin Haedari, metode pembelajaran di pesantren merupakan hal yang setiap kali mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengajarkan masingmasing cabang ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, dalam rentang waktu yang panjang pesantren secara seragam mempergunakan metode pengajaran yang lazim disebut dengan sorogan dan bandongan (weton).5 Sistembandonganatau wetonan yaitu sekelompok santri terdiri antara 5 sampai dengan 500 orang mendengarkan seorang guru/kiai yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan sering kali mengulas buku-buku Islam yang berbahasa Arab. Setiap santri memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan, baik arti maupun keterangan tentang kata-kata yang sulit dipahami atau sesuatu yang dianggap penting untuk dicatat. Adapun sistem sorogan biasanya diterapkan pada santri yang baru masuk dan membutuhkan bimbingan serta pengawasan secara individual oleh kiai atau ustadz. Akan tetapi, justru sistem ini dirasakan amat sulit bagi santri karena menuntut tingkat kesabaran, ketekunan, kerajinan, dan kedisiplinan yang tinggi. Sistem ini terbukti sangat efektif dalam proses pendidikan Islam tingkat dasar, walaupun kenyataannya banyak santri yang gagal menempuh level ini. Pada dasarnya faktor yang menjadi penyebab gagalnya sistem sorogan ini adalah santri-santri pemula tidak menyadari bahwa seharusnya mereka harus melewati tahap ini dan mematangkannya terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan ke tahap pendidikan yang lebih tingggi di
Amin Haedari, Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global (Jakarta: IRD Press, 2004), hal. 40-41.
5

pesantren. Pada sistem ini, seorang kiai atau ustadz mampu untuk mengawasi, mengontrol, membimbing, dan menilai perkembangan serta kemampuan santrinya dalam proses pembelajaran di pesantren, karena dalam sistem bandongan para santri tidak dapat menunjukkan bahwa ia paham atau tidak tentang pelajaran yang diberikan oleh kiai atau ustadz. Untuk lebih jelasnya, sistem bandongan atau weton hanya diberikan kepada santri kelas menengah dan atas yang telah lolos dari sistem sorogan yang dianggap sebagai sistem pembelajaran yang hanya mempersulit mereka. Di pesantren-pesantren besar, pada

umumnya dalam menerapkan sistem bandongan ini membuat kelaskelas bandongan atau halaqah yang mengajarkan kitab-kitab mulai dari yang berskala rendah sampai yang berskala tinggi. Penyelenggaraan kelas-kelas dalam sistem bandongan ini

diharapkan agar dapat mengembangkan keilmuan di pesantren, karena tidak jarang kiai menyuruh santri senior untuk mengajar dalam halaqah atau kelas bandongan tersebut. Sehingga dalam sistem pembelajaran di pesantren ini juga terdapat wahana untuk memupuk intelektualitas santri. B. Pesantren Sebagai Laboratorium Sosial 1. Pesantren Miniatur Masyarakat Sebagaimana tampak dari segi fisiknya, pesantren adalah suatu komplek yang umumnya berlokasi terpisah dari kehidupan sosial di sekitarnya, di dalamnya terdapat beberapa bangunan berupa masjid, pondok, rumah kiai, dan madrasah tempat untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Walaupun secara fisik pesantren memang terpisah dari kehidupan masyarakat sosial di sekitarnya, namun semangat dan denyut nadi pesantren tidak pernah terlepas dari konteks sosial kemasyarakatan. Itulah yang menjadikan pesantren tetap eksis

menempatkan diri sebagai basis pendidikan moral dalam melakukan transformasi sosial.6 Gambaran lahiriyah pesantren yang terpisah dari kehidupan sosial di sekitarnya itu memiliki filosofi tersendiri, sehingga pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan yang terhindar dari pengaruh negatif lingkungan sekitarnya, tetapi dalam konteks ini pesantren juga diproyeksikan sebagai sebuah miniatur sosial yang ideal. Keterpisahan pesantren dari lingkungan sekitar tidak menjadikannya terisolasi, akan tetapi justru membuat pesantren bisa leluasa melakukan kontrol sosial dan mengamati perkembangan sosial di luar pesantren. Hal itulah yang melatarbelakangi ketertutupan pesantren dan telah menjadikan pesantren sebagai orientasi atas isu-isu modernisasi dan pembangunan yang dilakukan oleh negara. Pesantren dipandang sebagai miniatur masyarakat juga bisa dilihat dari sistem pembinaan dan pengajaran santri yang unik dan hanya dapat dipahami oleh orang yang benar-benar mengetahui seluk-beluk pesantren secara detail. Di pesantren tidak hanya belajar ilmu keislaman saja, tetapi yang tidak kalah penting adalah seorang santri harus bisa belajar bersosialisasi, baik dengan teman, santri-santri senior, maupun dengan kiai dan guru-guru yang mengajar di pesantren. Ada dua hal yang sering kali dipesankan oleh seorang kiai kepada santri-santrinya, yaitu jangan meninggalkan kegiatan mengaji dan salat berjamaah.7 Pesan tersebut memang nampak sederhana dan tidak bernilai, akan tetapi sebenarnya memiliki makna yang mendalam dan berdampak positif dalam kehidupan bermasyarakat. Makna dari pesan jangan meninggalkan mengaji tidak lain adalah menerapkan konsep belajar sepanjang hayat (long life education) yang berarti tidak mengenal batasan waktu dan usia dalam belajar. Selain itu juga dalam rangka memerangi kebodohan di tengah masyarakat yang pada
6 7

Ibid., hal. 178. Ibid., hal. 180.

akhirnya dimaksudkan agar sekembalinya santri ke daerah asalnya ia dapat melakukan pengajian-pengajian dan membuka majlis talim dengan tujuan untuk penyebaran ilmu pengetahuan dan dakwah. Adapun makna yang tersirat dari pesan jangan meninggalkan salat berjamaah adalah sebagai wujud implementasi dari ilmu agama Islam dan memupuk nilai-nilai sosial. Dengan melakukan salat berjamaah di masjid dengan masyarakat, santri dapat berinteraksi dan berbaur dengan masyarakat. Melalui interaksi ini diharapkan santri dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial masyarakat dan melakukan transformasi nilai-nilai keagamaan kepada masyarakat secara berkesinambungan. Dari kedua konsep di atas, jelaslah bahwa pesantren tidak hanya melaksanakan tugas pendidikan, tetapi juga berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan dan kehidupan sosial kemasyarakatan. 2. Eksperimentasi Ilmu di Pesantren Seperti yang telah diterangkan di atas, selain menyelenggarakan pembelajaran, pesantren juga menekankan pada pengaplikasian ilmu yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu yang telah diperoleh santri diaplikasikan secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan kiai atau guru pesantren. Tidak jarang dalam hal ini santri dilibatkanlangsung dalam unit-unit kegiatan pesantren, misalnya koperasi pesantren, dakwah sosial, dan unit kegiatan lain di pesantren. Santri yang dianggap telah mempunyai ilmu pengetahuan keislaman yang mumpuni atau sudah senior, terkadang oleh kiai ditugasi untuk melakukan pengabdian ke daerah-daerah terpencil yang menjadi binaan pesantren atau ke daerah yang mayoritas penduduknya masih awam. Dengan model eksperimentasi seperti ini, seorang santri dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya di bawah bimbingan pengasuh pesantren dalam menghadapi berbagai problem sosial di masyarakat. Sehingga ketika ia telah pulang ke daerahnya sendiri dan

10

terjun ke masyarakat luas, ia sudah mempunyai kematangan yang cukup untuk dapat beradaptasi dan berinteraksi di masyarakat.8 Dari penerapan ilmu dengan metode seperti dijelaskan di atas, maka kiai atau pengurus pesantren dapat melihat sejauh mana ilmu dan kemampuan yang dimiliki oleh santrinya. Sehingga ini bisa menjadi sebuah alat untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan proses

pembelajaran di pesantren. Sebagai timbal baliknya, masyarakat juga bisa merasakan langsung eksistensi santri-santri dalam menerapkan proses pemberdayaan masyarakat. C. Pola Interaksi Pesantren Dengan Masyarakat Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang telah ada di Indonesia, telah diakui mempunyai pengaruh tersendiri bagi kehidupan bermasyarakat. Pengaruh pesantren dalam kehidupan sosial tidak terbatas pada aspek pendidikan dan agama saja, melainkan juga meliputi aspek sosial yang lain. Pada pembahasan ini, peran kiai tidak hanya sebagai pengasuh pesantren saja, tetapi juga sebagai seorang tokoh yang berpengaruh dan disegani oleh masyarakat. Adapun keterkaitan kepemimpinan pesantren dalam masyarakat, pesantren harus mampu membaca dan menelaah kecenderungan masyarakat dalam konteks waktu saat ini dan masa yang akan datang dengan indikasi tantangan yang dihadapinya seiring dengan perubahan kondisi masyarakat sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun kebudayaan. Oleh sebab itu, pergeseran nilai-nilai tersebut menuntut pesantren untuk menemukan bentuk baru yang relevan dengan tantangan zamannya, tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam.9 Pada konteks ini, terdapat beberapa pola interaksi antara pesantren dengan masyarakat: 1. Kepemimpinan Pesantren
Ibid., hal. 182-183. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hal. 71.
9 8

11

Pola pergantian kepemimpinan di kalangan pesantren selama perkembangannya masih bercorak alami, hal ini disebabkan karena institusi pesantren belum ada pola tertentu dalam proses pergantian kepemimpinan ini. Begitu pula dalam prosesi pembinaan dan pengkaderan kepemimpinan pesantren belum ada bentuk yang pasti dan terorganisir. Meskipun demikian adanya, akan tetapi pesantren memiliki corak tersendiri dari sistem kepemimpinannya, yaitu sebuah kepemimpinan karismatis, sebagaimana diungkapkan oleh Gus Dur.10 Kepemimpinan pesantren yang berwatak karismatis ini sangat berpengaruh dalam memandang keadaan masyarakat Indonesia yang masih dipelopori oleh sistem kepemimpinan patriarkis. Oleh sebab itu, lembaga pesantren sebagai bagian dari masyarakat Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Jika dilihat perkembangan saat ini, banyak alumni-alumni pesantren yang menduduki peranan yang penting dalam masyarakat perkotaan maupun pedesaan, maka hal ini semakin mempermudah kepemimpinan pesantren dalam masyarakat untuk menemukan momentumnya. Selain dengan adanya relevansi antara pola kepemimpinan pesantren dan realitas sosial di atas, pesantren juga harus dapat memahami kebutuhan masyarakat, baik sekarang maupun yang akan datang. Sistem kepemimpinan sosial masyarakat yang cenderung patriarkis tidak dapat mewujudkan tanda-tanda positif bagi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, sistem yang demikian seharusnya sudah ditinggalkan. 2. Hubungan Pengasuh Pesantren Dengan Orang Tua Santri11 Pola hubungan antara pengasuh pesantren dengan orang tua santri ini dimaksudkan agar memperoleh manfaat dan daya guna positif serta
Abdurrahman Wahid, Kepemimpinan Dalam Pengembangan Pesantren dalam Menggerakkan Tradisi (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 134. 11 Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Taarifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren (Sapen: Lista Fariska Putra, 2004), hal. 115-117.
10

12

mempererat tali silaturrahim antara keduanya. Terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pengasuh pesantren dalam hal ini, di antaranya: a) pengasuh pesantren dapat menyelidiki dan memahami bagaimana pola perkembangan intelektual santri dalam keterkaitannya dengan kegiatan belajar di pesantren. b) kiai atau ustadz dapat mengetahui cara berkomunikasi dan berinteraksi yang baik dan bermakna melalui pertukaran pendapat atau musyawarah bersama, bukan cara yang hanya mementingkan egoisme sendiri. c) orang tua bisa mengetahui secara transparan bagaimana keadaan pesantren yang dikelola oleh seorang kiai dan dapat mengevaluasi seberapa jauh tingkat keberhasilan anaknya dalam menempuh proses belajar di pesantren tersebut. 3. Peran Politik Pesantren Dalam Masyarakat Menurut Martin sebagaimana yang dikutip oleh Amin Haedari, pesantren memiliki watak dasar yang penting bagi terwujudnya masyarakat sipil sebagai pilar demokratisasi di Indonesia. Meskipun pola pendidikan yang diterapkan di pesantren begitu tradisional, namun masyrakat pesantren justru lebih cepat menerima perubahan dan arus modernisasi dibandingkan yang lainnya.12 Pesantren sesunguhnya tidak hanya semata-mata sebagai lembaga pendidikan saja, tetapi sekaligus sudah merupakan infrastruktur komunikasi yang terbukti efektif untuk mengartikulasikan kepentingan politik masyarakat, terutama masyarakat kalangan bawah, misalnya memberikan wawasan bahwa pesan-pesan keagamaan harus

diimplementasikan dalam rangka kepentingan umum. Sehingga dalam konteks ini, pesantren tidak hanya berperan sebagai mediator bagi kepentingan-kepentingan intrinsik, melainkan juga kepentingan yang bersifat lebih luas. Peran pesantren di sini hendaknya tidak berjalan secara sporadis, tetapi secara berkesinambungan sehingga memiliki arah dan tujuan
12

Amin Haedari, Op. Cit. hal. 220-221

13

yang jelas. Peran politik pesantren dalam hal ini harus dibedakan dengan institusi politik secara umum, karena pada dasarnya pesanten bukan merupakan sebuah institusi politik. Pesantren adalah institusi pendidikan yang telah diakui memiliki eksistensi tersendiri sebagai subkultur di masyarakat. Akan tetapi peran pesantren dalam dunia politik juga sangat penting, karena bagaimanapun juga, pesantren memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga sosial masyarakat lain pada umumnya. Bahkan peran pesantren lebih utama dari pada lembaga sosial masyarakat lain dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat bawah secara lebih luas untuk menyeimbangi negara.

14

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pemberdayaan

masyarakat memiliki banyak versi dari segi asal-usul kata dan pengertiannya. Akan tetapi pada dasarnya pesantren merupakan institusi pendidikan pertama di Indonesia yang bertujuan untuk mendidik dan membimbing para santrinya agar nantinya mereka dapat berguna dan mampu beradaptasi dengan masyarakat luas sehingga mereka dapat berinteraksi dengan baik sekaligus bisa mentransformasikan nilai-nilai keagamaan yang mereka dapatkan di pesantren. Elemen-elemen yang ada di pesantren sangat mendominasi berjalannya proses pendidikan di pesantren. Elemen-elemen tersebut meliputi kiai, santri, pondok, masjid, dan pengajian kitab kuning. Sistem pembelajaran yang diterapkan di pesantren menggunakan sistem atau metode sorogan dan bandongan (wetonan). Sistem sorogan ini pada umumnya diberikan kepada santri yang masih pemula dengan tujuan memantapkan ilmu santri agar nantinya ia dapat melanjutkan ke tingkat sistem pembelajaran yang lebih tinggi, yaitu bandongan. Hal ini karena sistem bandongan hanya boleh diikuti oleh santri yang telah lolos dari sistem sorogan dan telah mampu menerapkan teknik bandongan. Letak geografis pesantren yang cenderung terpisah dari kehidupan umum tidak membuat pesantren kehilangan pamornya di masyarakat, akan tetapi pesantren justru menampakkan intelektualitas dan kreatifitasnya dalam berbagai kegiatan sosial yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Hal inilah yang membuat pesantren tetap dapat berpartisipasi aktif dalam upaya pendidikan dan pemberdayaan

masyarakat, walaupun dengan menerapkan sistem pembelajaran pesantren yang tergolong masih tradisional.

15

DAFTAR PUSTAKA

Asrohah,

Hanun.

2004.

Pelembagaan

Pesantren:

Asal-Usul

Perkembangan Pesantren di Jawa. Jakarta: Departemen Agama RI. Dawam, Ainur & Taarifin, Ahmad. 2004. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Sapen: Lista Fariska Putra. Dhofier, Zamakhsari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai. Jakarta: LP3ES Haedari, Amin. 2004. Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modenitas dan Tantangan Komplesitas Global. Jakarta: IRD Press. Mastuhu. 1994.Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. Nurcholish, Madjid. 1997.Pola Pergaulan dalam Pesantren. Dalam Kasnanto, (Ed.), Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (hal. 19-20). Jakarta: Paramadina. Qomar, Mujamil. 1996. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga. Wahid, Abdurrahman. 2002. Kepemimpinan Dalam Pengembangan Pesantren: dalam Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta: LKiS.

You might also like