You are on page 1of 28

Hakikat Mengajar

Mengajar merupakan proses yang komplek, tidak sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa, banyak kegiatan maupun tindakan yang harus dilakukan, terutama bila diinginkan hasil belajar yang lebih baik pada siswa. Karena itu banyak terdapat aneka ragam pengertian mengajar, antara lain. Menurut M. Ali mengartikan, mengajar adalah segala upaya yang disengaja dalam rangka memberi kemungkinan bagi siswa untuk terjadinya proses belajar sesuai dengan tujuan yang dirumuskan. O. Screeuder (dalam Roestiyah) mengatakan bahwa mengajar adalah kegiatan yang dilakukan guru dengan memakani bahan pelajaran sebagai medium untuk membawa anak-anak dalam pembentukkan pribadi termasuk kegiatan pembentukkankejasmanian. Mengajar merupakan satu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggung jawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Mengajar merupakan suatu perbuatan atau pekerjaan yang bersifat unik tetapi sederhana. Dikatakan unik karena hal itu berkenaan dengan manusia yang belajar yakni siswa, dan yang mengajar, yakni guru, dan berkaitan erat dengan manusia di dalam masyarakat yang semuanya menunjukkan keunikkan. Dikatakan sederhana karena mengajar dilaksanakan dalam keadaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, mudah dihayati oleh siapa saja. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar mengajar. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa mengajar merupakan suatu proses, upaya, kegiatan, perbuatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh seorang guru kepada siswa yang bertujuan untuk mencapai rumusan yang telah ditentukan yang membutuhkan tanggung jawab moral yang cukup berat, namun mengajar merupakan suatu pekerjaan yang unik dan sederhana.
http://subliyanto.blogspot.com/2011/04/hakikat-mengajar.html

HAKIKAT MENGAJAR

A. Tinjauan Historis Sejak dahulu kala di kalangan ahli-ahli filsafat Yunani kuno, sistem pendidikan Yunani pada masa itu telah mulai disoroti terutama di tujukan pada penggunaan disiplin yang sangat keras di sekolah-sekolah yang terlalu ketat dan kaku, pengajaran yang telah didasarkan pada pemikiran, tetapi pada tingkat fakta-fakta. Sebagai alternative, mereka menyarankan agar orang menghormati dan memandang seseorang sebagai suatu keseluruhan yang utuh, seperti halnya dengan konsep dalam GBHN : manusia seutuhnya. Mereka menyarankan agar menggunakan kurikulum yang relevan, serta perhatian lebih banyak ditujukan pada kebutuhan dan minat anak-anak. Apa yang dianggap baru dalam sistem pendidikan adakalanya tidaklah baru sama sekali. Sistem pendidikan yang dianggap modern sekarang, kalau ditelusuri dalam sejarah tampak bahwa prinsip-prinsip yang biasa dibanggakan itu sering telah dikemukakan oleh tokoh-tokoh pendidik jauh sebelumnya. Survey sejarah yang singkat menunjukkan bahwa lima abad sebelum Masehi, Socrates (470-399 S.M) telah mengemukakan konsep pendekatan penyelidikan (inquiry approach) dan pendekatan penemuan (discovery approach). Ia telah menggunakan suatu prosedur pertanyaan lisan dan pemikiran dialektis yang digunakan oleh Socrates telah menjadi dasar teknik pendidikan yang direncanakan untuk mendorong seorang siswa untuk berfikir cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Plato (472-347 S.M), seorang murid Socrates, dalam bukunya Republica telah menyatakan : hindarkanlah paksaan dalam pendidikan dan antarlah pelajaran anak-anak itu ke dalam bentuk permainan. Pengetahuan tak dapat ditanamkan secara mekanik; belajar harus didasarkan pada keinginan anak itu sendiri untuk belajar. Tujuan pendidikan menurut Plato adalah untuk menemukan kemampuan alamiah setiap individu dan melatihnya sehingga ia menjadi warga negara yang baik dalam masyarakat yang harmonis untuk melaksanakan tugasnya secara efisien. Aliran Humanisme, Empirisme, Reformasi dan Kaum Jezuit sama sekali tidak puas dengan sistem pendidikan lama, untuk itu mereka mulai mencari jalan lain yakni dengan meragakan bahan pelajaran. Mereka memperkennalkan pelajaran dengan mewujudkan benda-benda yang dapat diajarkan pada anak-anak. Mereka yakin bahwa dengan cara demikian anak-anak akan lebih aktif dan akan menimbulkan dorongan pada diri mereka untuk memperoleh pengetahuan. Pandangan lama HAFAL atau INGAT = PINTAR, harus ditinggalkan.

Francois Rabelais (1483-1553) mengecam kurikulum yang tidak relevan ketika itu dan menganjurkan kebebasan pribadi bagi siswa-siswa. Michaele de Montaigne (1533-1592) mengecam kekerasan dan metodemetode yang suka menonjolkan sifat keilmuan (pedantic methods) pendidikan Prancis. Ia menganjurkan pengajaran individual, belajar dengan praktek dan bermain. Johan Amos Comenius (1592-1670), seorang ahli pendidikan Cekoslovia, pada awal abad ke-17 telah mengeemukakan buah pikirannya dalam pengembangan sistem pendidikan modern. Di dalam bukunya Didaktica Magma (didaktik besar) dikemukakan beberapa petunjuk mengenai metode mengajar atau azas-azas didaktik. Ia menekankan betapa pentingnya pengalaman praktis dan integrasi mata-mata pelajaran. Ia juga mendesak agar pengajaran disesuaikan dengan anak, bukan sebaliknya, anak yang menyesuaikan diri dengan pengajaran. Comenius juga menganjurkan agar dicari penyajian pengajaran yang di dalamnya guru mengajar lebih sedikit dan murid belajar lebih banyak. John Locke (1632-1704) seorang ahli pendidikan dan filsafat Inggris menganut teori empirisme, memandang anak sebagai kertas putih atau tabularasa, menekankan betapa perlunya pengalaman penginderaan (sensualism). Untuk itu, anak-anak harus di bawa keluar gedung sekolah terjun ke dalam lingkungan hidup sehari-hari untuk belajar. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) seorang tokoh terkemuka dari pendekatan Child Centered yang mengemukakan pandangannya pada abad ke-18 dalam novelnya Emile, suatu esai mengenai pendidikan anak laki-laki. Ia menganjurkan agar anak-anak dibiarkan berkembang secara alamiah, bebas dari penekanan. Masa kanak-kanak bukanlah semata-mata sebagai langkah menuju kepada kedewasaan tetapi juga sebagai suatu langkah yang penting dari kehidupan. Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827), seorang ahli pendidikan Swiss telah menyumbangkan buah pikirannya yang menjadi dasar teoriteori pendidikan modern sekitar abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ia menekankan bahwa pengalaman sensoris anak merupakan dasar pengetahuan, dan menyarankan agar anak-anak bereksperimen dengan objek-objek nyata sebelum mereka dapat membentuk ide-ide abstrak. Pestalozzi percaya akan kemampuan anak-anak untuk belajar dari pengalaman sendiri, yang dinyatakan denggan life educates. Ia ingin mendidik orang sebanyak-banyaknya, untuk itu diciptakannya sistem pengajaran klasikal, seperti yang kita warisi sekarang. Pada abad ke-18 dua tokoh pendidikan berbangsa Jerman, Johan Friedrich Herbart (1776-1841) & Friedrich Froebel (1782-1852) telah membantu meletakkan dasar-dasar pembaharuan pendidikan. Herbart adalah seorang filosof dan praktisioner yang menyusun rencana pengajaran secara sistematik. Berdasarkan teori tanggapan yang telah

1. 2. 3. 4. 5.

dikembangkannya, Herbart menyusun sistem pengajaran berdasarkan tanggapan-tanggapan yang telah diperoleh dari pengalaman. Sesuatu yang telah diamati akan membentuk tanggapan. Ia berpendepat bahwa segala kecakapan manusia ditentukan oleh jelas tidaknya yang terdapat dalam jiwa. Oleh sebab itu, setiap kesulitan harus dipecahkan dan disusun serapirapinya. Tugas guru adalah memberikan penjelasan atau informasi tiap hal yang dikemukakan. Herbart juga mengakui peranan kegiatan dan minat anak-anak sebagai faktor motivasi belajar. Ia memandang minat sebagai pembuka kemauan belajar yang penting. Menurut Herbart, tidak semua pengetahuan menimbulkan kemauan belajar. Oleh sebab itu, perlu ditimbulkan minat murid terlebih dahulu. Herbart telah menyusun langkah-langkah pemberian pelajaran yang disebut tangga formal atas bantuan seorang muridnya, Tuiskon Ziller, dengan susunan sebagai berikut : Analisis : dari tanggapan murid-murid ditimbulkan appersepsi yang ditujukan kepada suatu yang baru Sintesis : sesuatu itu diragakan dan diceriterakan, lalu diperdalam pengertian tentang hal itu Asosiasi : yang baru dihubungkan dengan yang lama, kemudian ditetapkan hal-hal yang umum serta pengertian-pengertiannya. Sistem : pengertian-pepngertian yang beraturan disatukan menjadi pengetahuan Metode : diberikan latihan tentang hal-hal yang baru agar dapat dipergunakan oleh murid-murid. Froebel (1782-1852) seorang pendidik yang gagasannya banyak berpengaruh terhadap pendekatan progresif dalam pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan harus diberikan sedini mungkin. Oleh sebab itu, ia membuka Sekolah Taman Kanak-kanak yang pertama di dunia. Bagi Froebel tidak ada perbedaan antara bekerja dengan bermain. Ia memberikan arti istimewa dan nilai baru kepada permainan anak-anak. Froebel memandang permainan sebagai suatu saluran untuk mempekenalkan dunia kepada anak-anak. Dengan permainan, pendidik dapat memberikan bimbingan kepada peserta didik tentang kehidupan yang sebenarnya. Permainan dapat memberikan perasaan bebas, dapat menimbulkan sifat tolong menolong, dan dapat memperkenalkan hubungan social antara sesame manusia di kalangan peserta didik. Leo Tolstoy (1828-1910) seorang ahli pendidik bangsa Rusia yang hidup pada abad ke-19 mendasarkan pandangannya menurut pengalamannya sendiri dalam mengorganisasikan sekolah bagi budakbudak. Dalam konsep pendidikannya ia mendesak agar dipertimbangkan kebutuhan dan minat anak-anak dalam berlatih bertanggungjawab. Ia menyatakan bahwa sekolah seharusnya merupakan tempat yang menyenangkan.

1. 2. 3. 4.

Pada awal abad ke-20 banyak pendidikan merupakan ekspresi dari gerakan pendidikan progresif, yang banyak menyangkut nama seorang bangsa Amerika, yaitu John Dewey (1859-1952). Inti filsafat John Dewey harus dimulai dari masalah atau keheranan, yang menyebabkan orang terdorong untuk memecahkan masalah sebagai daya penggerak untuk belajar. Melalui interaksi dengan lingkungan, anak itu memecahkan keheranannya. Menurut John Dewey, tujuan-tujuan itu hanya bermakna kalau diterima atau dialami. Ia menyatakan bahwa, saya akan mempunyai anak yang tak mengatakan saya tahu saya telah mengalami. John Dewey menganut sistem belajar : belajar sambil mengerjakan (learning by doing), karena kebenaran terdapat dalam perbuatan (truth is in the making). Dari filsafat ini, mengalirlah kritikan terhadap metode yang lebih formal dari pendidikan yang tradisional, terhadap mengajar anak melalui ceramah, bagi mereka yang menekankan subjek yang akan mempersiapkan anak untuk masa dating yang telah diperkirakan, melebihi dari pada hal yang menarik minat anak itu sendiri. Menurut John Dewey, berpikir yang sebenarnya baru timbul jika kita berdiri di sebuah persimpangan jalan dan tidak tahu jalan mana yang harus kita ambil dan kita harus berbuat sesuatu dan hasilnya akan membuktikan apakah tindakan kita itu tapat atau tidak. Sebelum kita mengambil keputusan, ada langkah-langkah yang dilalui : Kita menghadapi suatu kesulitan, kita ragu-ragu; untuk sementara kita tidak tahu apa yang akan dilakukan Berdasarkan pengalaman, kita teringat akan berbagai kemungkinan untuk memecahkan kesulitan itu Kita mencoba melaksanakan satu atau lebih dari kemungkinan itu Hasilnya menunjukkan kemungkinan-kemungkinan mana yang paling efektif Di samping John Dewey ada banyak pendidik lain yang berhubungan dengan gerakan progresif. Di antara mereka itu ialah Francis Farker, yang lebih dahulu dari John Dewey; Junius Merriam, yang telah mengorganisasikan sekolah laboratorium progresif yang berpengaruh di Universitas Missouri; terutama William Heard Kilpatrick, yang telah merancang metode proyek. Banyak tokoh pendidik abad ke-20 yang telah memberikan sumbangan terhadap konsep pendidikan modern. Mereka itu adalah yang mengusulkan psikologi untuk membantu menjelaskan perkembangan emosional dan intelektual anak-anak dan ahli-ahli sosiologi yang memandang sekolah sebagai suatu lingkungan sosioal. Maria Montessori (1896-1952), seorang dokter Italia menggunakan masa peka dan kebebasan sebagai prinsip dalam konsep pendidikannya. Anak-anak harus bebas memilih kegiatan-kegiatan dari sejumlah tugas tugas khusus. Menurut Montessori, ada tiga prinsip dasar, yaitu :

1. 2. 3.

Pekerjaan sekolah harus disesuaikan individu anak Setiap anak harus dapat mengembangkan diri sendiri dengan bebas Alat indera anak perlu dikembangkan Helen Parkhurst, seorang guru wanita Amerika, lahir pada tahun 1887, dalam bukunya Pendidikan Menurut Rancangan Dalton yang diterbitkan pada 1922 antara lain mengemukakan : Pengajaran harus disesuaikan dengan sifat individu dan harus diadakan perbedaan Hubungan kelas harus lebih longgar, tetapi tidak boleh dihilangkan Kerja sendiri harus ditingkatkan Tiap-tiap anak harus melakukan tugas yang dinyatakan dengan jelas Tugas guru lebih bersifat menunjukkan daripada mengajar. George Kerschensteiner (1854-1932) sebagai peletak dasar Sekolah Kerja mengemukakan bahwa Sekolah Kerja itu adalah sekolah yang menganggap pembentukan watak sebagai tugas utamanya. Watak adalah keadaan jiwa yang tetap, tempat tiap-tiap keinginan ditentukan oleh asas atau prinsip yang selalu ada. Watak terbagi atas dua : watak biologis dan watak intelligible. Watak biologis bertalian dengan kejasmanian, keadaannya tak dapat dididik; watak intelligible bertalian dengan intelegensi, keadaannya dapat dididik. Selanjutnya Kerschensteiner membagi watak intelligible atas empat unsure. Kemauan, adalah keinginan atau hasrat terhadap sesuatu yang disadari, dengan pikiran, bahwa keinginan atau hasrat itu pasti akan tercapai dengan bekerja. Kemauan ada dua macam : Kemauan pasif, yang mengajar kita sabar dan tabah Kemauan aktif, yang memberi kita keberanian, semangat berusaha, inisiatif, perhatian yang tertentu. Kejernihan keputusan Kehalusan perasaan Aufwuhlbarkeit, yang dapat diartikan dengan keharuan, atau tingkat, luas dalamnya jiwa kita dikuasai pengamatan dan tanggapan. Dalam kaitannya dengan watak intelligible, sekolah kerja dapat digunakan untuk mengembangkan watak, yaitu : Memperkuat kemauan; Menjernihkan keputusan; Menambah kehalusan perasaan; Meningkatkan Aufwuhlbarkeit. Ahli psikologi Amerika Serikat Jerome Bruner mengarahkan perhatiannya pada pendidikan dan aktif dalam gerakan pembaharuan kurikulum pada tahun 1960-an. Ia menekankan betapa pentingnya

1. 2. 3. 4. 5.

1.

a. b. 2. 3. 4.

1. 2. 3. 4.

keterlibatan anak dalam belajar mereka sendiri, mengakui kegairahan sebagai suatu kegiatan yang mendorong, dan mendesak agar digunakan pendekatan penemuan (discovery approach). Bruner menyatakan bahwa anak harus dipandang bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek; bukan sebagai penonton, tetapi sebagai peserta. Carl Rogers adalah ahli Psikologi yang banyak sumbangan pikirannya terhadap pengembangan sistem pendidikan modern. Di antara lain menyatakan bahwa kualitas hubungan antara guru dan anak-anak beserta lingkungan kelas merupakan ramuan-ramuan yang menentukan dalam pendidikan. Rogers menyesalkan adanya kurikulum yang terikat. Ia menuntut supaya masing-masing kurikulum merupakan pilihan anak sendiri. Menurut Rogers, apa yang dapat diajarkan kepada orang lain adalah sedikit dampaknya. Pengetahuan yang diperoleh dengan usaha sendiri adalah lebih berarti. Dari studi sejarah ini kita memperoleh gambaran bahwa mengajar dan belajar bukan persoalan sekarang, tetapi persoalan yang telah ada sejak dahulu kala. Ia menunjukkan bahwa perhatian orang terhadap mengajar dan belajar begitu besar. B. Pengertian Mengajar Dalam bahasa Inggris ada kata teaching dan ada kata instruction, yang selama ini diartikan mengajar sebagai kata kerja dan pengajaran sebagai kata benda. Namun akhir-akhir ini ada kecenderungan orang mengartikan kata teaching dengan pembelajaran, sedangkan instruction atau instructional ada kalanya diartikan dengan pengajaran dan ada kalanya dengan intruksional. Hal ini dapat dilihat pada tujuan proses belajar-mengajar. Kita kenal apa yang disebut Tujuan Instruksional Umum (TIU) dengan pasangan Tujuan Instruksional khusus (TIK), sementara itu berkembang pula apa yang disebut Tujuan Umum Pembelajaran (TUP) dengan pasangan Tujuan Khusus Pembelajaran (TKP). Dalam pemberian nama bidang studi, juga terdapat kesimpangsiuran penggunaan kata mengajar, pembelajaran dan instruksional. Dalam kurikulum ada bidang studi Proses Belajar Mengajar, (PBM), bidang studi Disain Instruksional, bidang studi Perencanaan Pengajaran. Untuk mengurangi kesimpangsiuran dalam penggunaan kata mengajar, pembelajaran dan instruksional, dalam tulisan ini kata teaching akan diartikan sebagai mengajar sebagai kata kerja dan pengajaran sebagai kata benda, sedangkan instruksional, mungkin pula dengan pembelajaran, tergantung pada konteksnya. Mengajar adalah suatu hal yang sifatnya dinamis dan sangat erat hubungannya dengan manusia yang selalu berubah-ubah, sehingga penyelesaian yang sempurna tidak akan tercapai. Pengajaran memiliki

makna, tujuan dan rencana. Ahli-ahli pengajaran berusaha merumuskan pengertian mengajar, tetapi sebagaimana pengetahuan-pengetahuan lainnya, mengajar juga mempunyai rumusan yang berbeda-beda. Jadi dapat disimpulkan bahwa Mengajar ialah apa yang dikerjakan oleh guru. Tetapi pengertian ini belum memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang dikerjakan oleh guru itu. William C. Morse & G. Max Wingo (1962) mengemukakan tiga macam defenisi mengajar, yaitu defenisi tradisional, defenisi menurut kamus, dan defenisi mutakhir. Secara tradisional mengajar diartikan sebagai Proses memberikan kepada pelajar pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menguasai mata-mata pelajaran yang telah ditentukan. Menurut defenisi ini keberhasilan guru mengajar dan murid belajar diukur dari segi kemampuan murid-murid menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan mata pelajaran yang telah diberikan. Defenisi kamus lebih maju sedikit dari pada pengertian tradisional. Dalam defenisi ini, mengajar diartikan sebagai menunjukkan bagaimana mengerjakan; menjadikan mengerti; member instruksi kepada. Sekalipun sudah agak jelas; namun dalam defenisi ini belum dikemukakan mengenai apa, bagaimana dan mengapa dari mengajar itu. Defenisi mutakhir merumuskan mengajar sebagai sistem kegiatan untuk membimbing atau merangsang belajar anak mengerti dan membimbing anak sebagai individu dan sebagai kelompok dengan maksud terpenuhinya kelengkapan pengalaman belajar yang memungkinkan setiap anak dapat berkembang terus secara teratur mencapai kedewasaannya. Ahli-ahli psikologi pendidikan modern pemikirannya tidak terurama ditujukan pada apa yang diajarkan, tetapi kepada bagaimana mengatur situasi yang dapt menggairahkan belajar, menyusun bahan pelajaran sehingga mudah dipelajari, cara menyampaikan pelajaran yang efektif dan menarik sehingga menimbulkan motivasi belajar yang memungkinkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, dapat dipahami kalau defenisi mengajar selalu dikaitkan dengan belajar. Mashuri (1970), selaku menteri pendidikan dan kebudayaan mendefenisikan mengajar dengan pemberian stimulus atau rangsangan untuk belajar. Hartwig Schroder (1976) mengartikan mengajar sebagai prosedur mewariskan pengalaman dengan tujuan menyebabkan belajar berlangsung, David M. Johnson & Roger T. Johnson (1975) mengartikan mengajar dengan : proses pengaturan situasi belajar sedemikian rupa sehingga belajar siswa itu lancar. Belajar biasanya berlangsung tanpa disadari atau disengaja sebagai perubahan perilaku, tetapi proses mengajar, sebagaimana lazimnya,

disadari dan disengaja untuk menjadikan belajar itu efektif. Karakteristik mengajar yang penting adalah : 1. Perbuatan yang bertujuan; 2. Berorientasi pada belajar. Telah dikemukakan bahwa selain ada kata mengajar ada pula kata Instruksional yang dapat diartikan dengan pengajaran yang direncanakan. Mengajar selalu dihubungkan dengan tujuan,tetpi hal ini dapat juga berlangsung tanpa sistematik, tanpa rencana, dengan menggunakan cara apa adanya. Lain halnya dengan Instruksional, yang dapat diartikan dengan program pengaturan situasi belajar sedemikian rupa sehingga belajar siswa dapat berlangsung dengan mudah. Instruksional adalah pengajaran yang diorganisasikan. Sebagai pengajaran yang diorganisasikan, instruksional bukan ditentukan secara kebetulan, melainkan dengan prosedur yang direncanakan. Lazimnya instruksional berlangsung dalam lembaga pendidikan sekolah dalam arti luas. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal, karena di sekolah terlaksana serangkaian kegiatan terencana dan terorganisasikan, termasuk kegiatan dalam rangka proses mengajar-belajar di dalam kelas. Dari segi wawasan struktural, setiap bentuk instruksional ditentukan oleh tujuan yang telah disusun dan direncanakan, oleh isi (materi pelajaran) yang disampaikan untuk mencapai tujuan, dan dengan metode yang digunakan untuk maksud tersebut. Dengan demikian, karakteristik instruksional meliputi penyusunan tujuan, isi dan metode, yang akan diuraikan tersendiri.
http://euphorialine.blogspot.com/2011/10/hakikat-mengajar.html

HAKIKAT PEMBELAJARAN
BAB HAKIKAT PEMBELAJARAN II

2.1 Pengertian dan Ciri-ciri Pembelajaran Pembelajaran atau mengajar adalah upaya guru untuk mengubah tingkah laku siswa. Hal ini disebabkan karena pembelajaran adalah upaya guru untuk supaya siswa mau belajar. Sedangkan belajar adalah perubahan tingkah laku siswa. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa mengajar bukan upaya guru untuk menyampaikan bahan, tetapi bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Apabila dilihat dari arti belajar pada Bab I, yang menyatakan bahwa perubahan yang dimaksud dengan belajar adalah perubahan yang konstan, berbekas, dan menjadi milik siswa, maka dalam belajar siswa mengalami proses dan meningkatkan kemampuan mentalnya. Dengan demikian maka mengajar haruslah mengatur lingkungan agar terjadi proses belajar mengajar dengan baik. Dari pengertian tersebut mengajar mempunyai dua arti, yaitu: Menyampaikan pengetahuan kepada siswa, dan Membimbing siswa. Dua arti belajar di atas menunjukkan bahwa pelajaran lebih bersifat pupilcentered, dan guru berperan sebagai meneger of learning. Hal ini membedakan dengan mengajar dalam arti menanamkan pengetahuan, yang biasanya pelajaran bersifat teacher-centered. Mengajar yang berarti menanam pengetahuan, tujuannya adalah penguasaan pengetahuan anak. Anak dianggap pasif, dan gurulah yang memegang peranan utama. Kebanyakan ilmu pengetahuan diambil dari buku pelajaran yang tidak dihubungkan dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran serupa ini disebut intelektualitas, sebab menekankan pada segi pengetahuan. Hal di atas berbeda dengan pengertian belajar: suatu aktivitas mengatur dan mengorganisasi lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar. Perbedaan itu ditunjukkan pada mengajar di sini adalah usaha dari pihak guru untuk mengatur lingkungan, sehingga terbentuk suasana yang sebaik-baiknya bagi anak untuk belajar. Artinya yang belajar adalah anak itu sendiri dan berkat kegiatannya sendiri, sedangkan guru hanya dapat membimbing anak. Dalam membimbing tersebut guru tidak hanya menggunakan buku pelajaran semata, tetapi dimanfaatkannya segala faktor dalam lingkungan, termasuk dirinya, alat peraga, lingkungan, dan sumber-sumber lain. Uraian di atas memberikan batasan-batasan yang benar tentang mengajar, yaitu:

Mengajar adalah membimbing aktivitas anak. Artinya yang belajar adalah anak sendiri, sedangkan tugas guru adalah mengatur lingkungan dan membimbing aktivitas anak. Jadi yang aktif adalah siswa, dan bukan sebaliknya. Mengajar berarti membimbing pengalaman anak. Pengalaman adalah proses dan hasil interaksi anak dengan lingkungan. Jadi interaksi dengan lingkungan itulah yang dinamakan belajar. Dari pengalaman, anak memperoleh pengertian-pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan, kecakapan, dan lain sebagainya. Lingkungan jauh lebih luas dibandingkan dengan buku dan kata-kata guru. Seluruh lingkungan anak adalah sumber belajar, untuk itu pelajaran hendaknya dihubungkan dengan kehidupan anak dalam lingkungannya. Mengajar berarti membantu anak berkembang dan menyesuaikan diri kepada lingkungan. Artinya mengajar adalah mengantarkan anak agar bakatnya berkembang. Sedangkan membantu anak untuk supaya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat diupayakann dengan memberikan pelajaran yang berfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini agar lebih sanggup mengatasi masalah-masalah dalam kehidupannya. Dengan upaya tersebut diharapkan anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, termasuk lingkungan sosialnya. Ia harus belajar berpikir, merasa, dan berbuat sesuai dengan norma-norma lingkungan. Sedangkan tafsiran yang kurang tepat tentang mengajar antara lain: Mengajar adalah menyuruh anak untuk menghafal. Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan. Seluruh rangkaian penjelasan tentang mengajar di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan mengajar di sini adalah juga termasuk di dalamnya mendidik. Jadi bukan saja mentransfer pengetahuan, tetapi juga membimbing ke arah norma yang benar. Atau dapat dikatakan bahwa mengajar atau pembelajaran adalah aktivitas mengatur lingkungan, sehingga terjadi proses belajar. Untuk itu dalam pembelajaran perlu adanya komponen-komponen pendukung dengan tujuan supaya proses pembelajaran berjalan dengan baik. Komponen pembelajaran secara garis besar terdiri dari: Tujuan. Bahan. Metode dan media pembelajaran. Penilaian. Hubungan komponen-komponen pembelajaran tersebut dapat digambarkan pada Gambar 2.1 berikut ini: Tujuan

Bahan Metode dan Media Penilaian Gambar 2.1 Hubungan antar komponen Pembelajaran Dalam pelaksanaan pembelajaran, disamping memperhatikan ke 5 komponen dasar di atas ternyata masih harus dipertimbangkan pula lingkungan untuk membentuk situasi yang menyenangkan di dalam pembelajaran. Dan perlu pula memperhatikan dari pelaku belajar (siswa) dan pelaku pembelajaran (guru). Dari sini dapat ditunjukkan ciri-ciri pembelajaran, yaitu: Adanya tujuan. Adanya bahan yang sesuai dengan tujuan. Adanya metode dan media pembelajaran. Adanya penilaian. Adanya situasi yang subur. Adanya guru yang melaksanakan pembelajaran. Adanya siswa yang melaksanakan belajar. 2.2 Jenis-jenis Pembelajaran 2.2.1 Jenis belajar berdasarkan cara mengorganisasi siswa. Jenis pembelajaran dapat ditentukan dari cara mengorganisasi siswa ataupun dari pendekatan pembelajarannya. Berdasarkan cara mengorganisasi siswa, ada 3 cara yang dapat dilakukan guru dalam mengelola siswa, supaya pembelajaran berjalan efektif dan efisien. Tiga cara tersebut adalah: 1. Pembelajaran secara individual. 2. Pembelajaran secara kelompok. 3. Pembelajaran secara klasikal 2.2.1.1 Pembelajaran secara individual Pembelajaran secara individual adalah kegiatan pembelajaran yang menitik beratkan pada bantuan dan bimbingan belajar kepada masingmasing individu. Pemberian bantuan dan bimbingan secara individual dapat dilakukan pada pembelajaran individual ataupun pembelajaran klasikal. Pembelajaran individual dalam pembelajaran individual dengan cara guru memberi bantuan pada masing-masing pribadi, sedangkan bantuan individual dalam pembelajaran klasikan dengan cara guru memberi bantuan individu secara umum. Contohnya misalnya siswa diminta untuk membaca dalam hati pada pokok bahasan tertentu. Tujuan pembelajaran individual adalah:

Memberi kesempatan dan keleluasaan siswa untuk belajar berdasarkan kemampuan sendiri. Pengembangan kemampuan tiap individu secara optimal. Kedudukan siswa dalam pembelajaran individual adalah: Keleluasaan belajar berdasarkan kemampuan sendiri. Kebebasan menggunakan waktu belajar. Keleluasaan dalam mengontrol kegiatan, kecepatan, dan intensitas belajar dalam rangka mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Siswa melakukan penilaian sendiri atas hasil belajar. Siswa dapat memiliki kesempatan untuk menyusun program belajar sendiri. Kedudukan guru dalam pembelajaran individual adalah membantu dalam: Perencanaan kegiatan belajar, dengan cara antara lain membantu menetapkan tujuan belajar, membuat program sesuai dengan kemampuan siswa, merencanakan pelaksanaan belajar, dan membantu siswa untuk melihat kemajuan. Dalam kegiatan ini guru berperanan sebagai penasihat atau pembimbing. Pengorganisasian kegiatan belajar. Dalam pengorganisasian ini guru berperan sebagai pengatur dan memonitor semua kegiatan dengan cara: (1) memberi orientasi umum sehubungan dengan belajar topik tertentu, (2) membuat variasi belajar supaya tidak menimbulkan kebosanan, (3) mengkoordinasikan kegiatan dengan memperhatikan kemajuan, materi, dan sumber, (4) membagi perhatian pada sejumlah siswa, menurut tugas dan kebutuhan siswa, (5) memberi balikan terhadap setiap siswa, dan (6) mengakhiri kegiatan belajar dalam suatu unjuk hasil belajar. Penciptaan pendekatan terbuka antara guru dan siswa bertujuan untuk menimbulkan perasaan bebas dalam belajar. Dilakukan dengan cara antara lain: (1) membuat hubungan akrab dan peka terhadap kebutuhan siswa, (2) mendengarkan secara simpatik terhadap segala ungkapan jiwa siswa, (3) tanggap dan memberi reaksi positip terhadap siswa, (4) membina suasana aman sehingga siswa bebas mengemukakan pendapat. Fasilitator yang mempermudah belajar, dengan tujuan untuk mempermudah proses belajar. Cara yang dapat dilakukan antara lain: (1) membimbing siswa belajar, (2) menyedia media dan sumber belajar, (3) memberi penguatan belajar, (4) menjadi teman dalam mengevaluasi keberhasilan, (5) memberi kesempatan siswa untuk memperbaiki diri. Kelemahan pembelajaran individual adalah: Bila jumlah siswa banyak maka pembelajaran ini kurang efisien, karena akan melelahkan guru. Tidak semua bidang studi atau pokok bahasan sesuai diorganisasi dengan pembelajaran ini. Pembelajaran ini dapat efektif bila: Disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa.

Tujuan pembelajaran dibuat dan dimengerti siswa. Prosedur dan cara kerja dimengerti siswa. Kriteria keberhasilan dimengerti siswa. Keberhasilan guru dalam evaluasi dimengerti oleh siswa. 2.2.1.2 Pembelajaran secara kelompok Pembelajaran kelompok adalah pembelajaran dengan cara kelas dibagi menjadi beberapa kelompok, antara 3-8 orang. Penekanan pembelajaran ini pada peningkatan kemampuan individu sebagai anggota kelompok. Tujuan pembelajaran kelompok adalah: Memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional. Mengembangkan sikap sosial dan bergotong royong. Tiap anggota mempunyai tanggung jawab terhadap kelompok. Mengembangkan kemampuan memimpin. Kedudukan siswa dalam kelompok adalah: Tiap siswa merasa sadar diri sebagai anggota kelompok. Tiap siswa merasa diri memiliki tujuan bersama berupa tujuan kelompok. Memiliki rasa saling membutuhkan dan saling tergantung. Ada interaksi dan komunikasi antar anggota. Ada tindakan bersama sebagai perwujudan tanggung jawab kelompok. Pada peran guru dalam pembelajaran kelompok adalah: Pembentukan kelompok. Pertimbangan dalam pembentukan kelompok adalah: tujuan yang akan diperoleh siswa dalam kelompok, latar belakang pengalaman siswa, minat atau pusat perhatian siswa. Perencanaan tugas kelompok. Yang perlu diperhatikan dalam perencanaan adalah untuk menentukan bentuk tugas. Tugas yang diberikan dalam kelompok ada dua macam, yaitu: (1) dengan paralel, (2) dengan komplementer. Tugas kelompok paralel berarti semua kelompok mempunyai tugas yang sama. Sedangkan tugas komplementer bearti masing-masing kelompok mempunyai tugas yang berbeda. Tujuannya untuk saling melengkapi dalam pemecahan masalah. Pelaksanaan. Tugas guru dalam tugas kelompok antara lain: (1) memberi informasi umum tentang pelaksanaan diskusi, (2) saat siswa berdiskusi tugas guru sebagai fasilitator, (3) pada akhir diskusi guru berperanan sebagai evaluator terhadap hasil diskusi. Evaluasi hasil belajar kelompok. 2.2.1.3 Pembelajaran secara klasikal Pembelajaran klasikal yaitu pembelajaran yang dilaksnakan secara klasikal atau diikuti siswa dalam jumlah berkisar antara 1- 45 orang. Karena guru harus menghadapi siswa dengan jumlah banyak, maka dalam pembelajaran klasikal diperlukan pelaksanaan dua kegiatan sekaligus,

yaitu pengelolaan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Pengelolaan pembelajaran adalah kegiatan untuk melaksanakan desain instruksional, sedangkan pengelolaan kelas adalah penciptaan kondisi yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan belajar dengan baik. Sedangkan pengelolaan kelas biasanya dilakukan karena adanya masalah disaat pembelajaran, di mana sumber masalah tersebut antara lain dari kondisi tempat belajar ataupun dari siswa yang terlibat dalam pembelajaran. Contoh sumber masalah dari kondisi tempat belajar misalnya ruang kotor, kursi rusak, papan tulis kotor, dan lain sebaginya. Sedangkan sumber dari siswa dapat secara individu ataupun kelompok. Kelebihan pembelajaran ini adalah efisien dan murah. Sedangkan kelemahannya adalah kurang dapat memperhatikan kebutuhan individual. Kelemahan ini dapat diatasi dengan memberikan pembelajaraan individual dalam pembelajaran klasikal. Tindakan pembelajaran kelas antara lain: Penyususunan desain instruksional. Melaksanakan tindakan-tindakan antara lain: Penciptaa tertib belajar di kelas. Penciptaan suasana senang dalam belajar. Pemusatan perhatian pada bahan ajar. Mengikut sertakan siswa aktif belajar. Pengorganisasian belajar sesuai kondisi siswa. 2.2.2 Jenis Pembelajaran berdasarkan Pendekatan 2.2.2.1 Pendekatan Konsep Pendekatan konsep merupakan pendekatan yang mementingkan hasil daripada proses perolehan hasil. Untuk itu pendekatan ini terkesan hanya merupakan pemberian informasi, sehingga hasilnya kurang bermakna dan bertahan lama. Bagaimanapun pendekatan ini masih pula dibutuhkan dalam pembelajaran, karena tidak mungkin semua pokok bahasan dapat digunakan pendekatan keterampilan proses. Hal ini disebabkan karena jenis bahan atau mungkin waktu yang tidak memungkinkan dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses semua. Hanya saja perlu digali bagaimana penerapan pendekatan konsep ini dapat digunakan semaksimal mungkin di dalam pembelajaran. 2.2.2.2 Pendekatan Keterampilan Proses Pendekatan keterampilan proses merupakan pendekatan yang mengembangkan keterampilan memproseskan pemerolehan, sehingga siswa mampu menemukan dan mengembangkan secara bebas dan kreatif fakta dan konsep serta mengaitkannya dengan sikap dan nilai yang

diperlukan. Hal ini dapat dilakukan karena pendekatan keterampilan proses dilakukan sebagaimana layaknya ilmuwan menemukan pengetahuan (menggunakan langkah-langkah metode ilmiah), sehingga kevalidannya dapat diandalkan. Keterampilan proses ini tidak saja mementingkan hasil, tetapi juga memperhatikan proses mendapatkan hasil. Dengan melaksanakan pendekatan ketarmpila proses berarti siswa terlibat seccara aktif dalam kegiatan pengamatan, dan menemukan sendiri konsep dan prinsip, sehingga materi belajar mudah dikuasai oleh siswa. Dengan mengetahui proses diharapkan dapat merangsang daya cipta untuk menemukan sesuatu, dan pada akhirnya dapat membentuk manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang kreatif, mampu memecahkan persoalan-persoalan aktual dalam kehidupan, dan mampu mengambil keputusan yang menjangkau masa depan. Perkembangan selanjutnya pendekatan keterampilan proses yang perlu di terapkan terutama dalam pembelajaran IPA adalah pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM). Berikut akan dibicarakan pendekatan STM. 2.2.2.3 Pendekatan Expository Pada pendekatan expository guru cenderung memberikan informasi yang berupa teori, generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti-bukti yang mendukung. Sedangkan siswa hanya menerima saja informasi yang diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru, sehingga siap disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi yang diterimanya itu. 2.2.2.4 Pendekatan Discovery Discovery atau penemuan adalah proses mental yang dicirikan dengan siswa dapat mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Proses mental itu misalnya mengamati, menjelaskan, mengelompokkan, membuat kesimpulan, dan sebaginya. Inqury atau penyelidikan mengandung proses mental yang lebih tinggi, misalnya merumuskan problem, merancang eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis data, membuat kesimpulan, dan lain sebagainya. Dari sini dapat dilihat bahwa inquiry ini selaras dengan teori belajar yang ditemukan oleh Brunner. Menurut Brunner discovery learning adalah merupakan belajar dengan menemukan sendiri menggunakan prinsip belajar induktif, yaitu dari khusus ke yang umum. Sumber munculnya discovery learning ini adalah teori belajar Piaget, yaitu anak harus berperan secara aktif di dalam kelas. 2.2.2.5 Pendekatan Humanistik Suatu pendekatan yang berpusat pada siswa (Student centered).

Pendekatan ini mengutamakan perkembangan afektif siswa sebagai prasyarat dan sebagai bagian integral dari proses belajar. Hal ini dapat terlaksana apabila kesejahteraan mental dan emosional siswa dipandang sebagai sentral pendidikan. Prioritasnya adalah pengalaman belajar yang diarahkan terhadap tanggapan minat, kebutuhan, dan kemampuan siswa. 2.2.2.6. Pendekatan Rekonstruksionalisme Suatu pendekatan yang menfokuskan pada masalah-masalah pendting yang dihadapi masyarakat. Untuk itu pendekatan ini juga disebut pendekatan rekonstruksi sosisal. Pendekatan ini dibagi menjadi dua, yaitu: Rekonstruksionalisme Konservatif Pendekatan ini ditujukan kepada peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat dengan mencari penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi masyarakat. Rekonstruksionalisme Radikal Pendekatan ini mempunyai tujuan untuk menrombak tata sosial yang ada dan membangun struktur sosial baru. 2.3 Tujuan dan Unsur-unsur Dinamis Pembelajaran 2.3.1 Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran yang biasanya disebut tujuan instruksional merupakan tujuan yang akan dicapai setelah pembelajaran selesai dilakukan. Tujuan instruksional ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Tujuan instruksional umum (TIU) telah tersedia di dalam kurikulum, sedangkan tujuan instruksional khusus (TIK) merupakan hasil perencanaan dan perumusan guru, dimana merupakan penjabaran dari tujuan instruksional umum. TIU menggunakan kata kerja yang bersifat umum, dan memuat lebih dari satu pengertian, misalnya mengenal, mengerti, memahami, sehingga sulit diukur keberhasilannya atau dievaluasi. Sedangkan TIK menggunakan kata kerja yang bersifat operasional, dapat dikerjakan, yang memuat hanya satu pengertian, sehingga mudah diukur keberhasilannya atau dievaluasi. Tujuan instruksional ini sebenarnya merupakan tujuan yang dijabarkan dari tujuan kurikuler. Secara lengkap hierarki tujuan pembelajaran itu adalah sebagai berikut: Tujuan Pendidikan Nasional. Tujuan pembelajaran pada jangka panjang sebenarnya akan mencapai pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional didasarkan pada falsafah negara atau way of life nya bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Citra tujuan pendidikan nasional adalah terbentuknya manusia pancasila yang utuh dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air melalui pembangunan nasional. Jadi tujuan

pendidikan seluruh lembaga pendidikan di Indonesia baik formal maupun non formal mengarah pada tujuan pendidikan nasional tersebut. Dan tujuan pendidikan nasional tersebut akan terwujud dengan dijabarkannya ke dalam tujuan institusional. Atau dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional merupakan pedoman umum bagi pelaksanaan pendidikan dalam jenis dan jenjang pendidikan. Karena merupakan pedoman umum tentu saja dalam pencapaiannya perlu dioperasionalkan lagi supaya terealisasi. Penjabaran tersebut menjadi tujuan institusional. Tujuan pendidikan nasional ini tercantum dalam Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II, Pasal 4, yang berbunyi: Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantab dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan Institusional. Tujuan institusional merupakan tujuan pendidikan yang ingin dicapai pada tingkat lembaga pendidikan. Keluaran dari lembaga akan tercermin dari tujuan institusional lembaga pendidikan tersebut. Dengan demikian akan dapat segera dibedakan antara Sekolah Tingkat Dasar, Sekolah Tingkat Menengah, dan Perguruan Tinggi. Tingkat Pendidikan Mengah juga masih dapat dibedakan dari pendidikan kejuruan (SMK/Sekolah Menengah Kejuruan) dan pendidikan umum (SMU/Sekolah Menengah Umum). Begitu juga masih dapat dibedakan lagi antara sekolah umum (di bawah Departemen Pendidikan), dan sekolah agama (di bawah naungan Departemen Agama). Misalnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) akan berbeda dengan Sekolah Dasar (SD). Madrasah Tsanawiyah (MTs) akan berbeda dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan Madrasah Aliyah (MA) akan berbeda dengan Sekolah Menengah Umum (SMU). Tujuan institusional atau tujuan sekolah ini dapat tercapai dengan dijabarkannya tujuan ini ke tujuan kurikuler. Tujuan Kurikuler Tujuan kurikuler adalah tujuan-tujuan yang akan dicapai oleh atau melalui tiap bidang studi. Atau dapat disebut juga tujuan bidang studi, misalnya tujuan sejarah, biologi, kimia, dan lain sebaginya. Tujuan kurikuler ini akan dicapai melalui tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran. Tujuan Instruksional. Tujuan instruksional adalah tujuan yang pencapaiannya dibebankan pada tiap pokok bahasan. Selanjutnya akan dibahas lebih rinci di bagian lain

pada bab ini juga. Rangkaian tujuan pembelajarn di atas mengandung harapan apabila rangkaian tujuan instruksional berhasil, maka akan berhasil pula tujuan institusionalnya, yang pada akhirnya akat tercapai tujuan pendidikan nasional. Secara teoritis memang penjabaran secara struktural tujuan di atas dapat dipertanggungjawabkan, namun pelaksanaannya sangat sulit. Belum tentu pencapaian tujuan instruksional akan diikuti tercapainya tujuan kurikuler, dan seterusnya. Tujuan tersebut dapat dicapai apabila di dalam pembelajaran berhasil mencapai dua hasil yang diharapkan dari pembelajaran, yaitu damak pengajaran dan dampak pengiring. Dampak pengajaran adalah hasil yang dapat diukur (tujuan instruksional khusus), dan dampak pengiring, yaitu terapan pengetahuan dan kemampuan di bidang lain. Untuk memberi gambaran tentang dampak pengajaran dan dampak pengiring dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 dapat dijelaskan sebagai berikut: Guru melakukan tugas pembelajaran, dilakukan dengan pengorganisasian siswa, pengolahan pesan, dan evaluasi. Siswa memiliki motivasi belajar dan beremansipasi sepajang hayat. Siswa memiliki kemampuan pra belajar. Berkat tindak pembelajaran ataupun motivasi instrinsik, siswa melakukan kegiatan belajar. Guru melakukan evaluasi untuk melihat hasil yang dicapai dalam pembelajaran. Hasil belajar sebagai dampak pengajaran, dan Dampak pengiring. Hasil belajar dapat tercermin melalui dampak pengajaran dan dampak pengiring, apabila dalam pembelajaran memperhatikan ketiga ranah tujuan pembelajaran, yaitu ranah kognitif, afektif, psikomotorik. Ke tiga ranah tersebut harus tercermin dalam tujuan instruksional khusus (TIK) atau tujuan pembelajaran khusus (TPK). 2.3.2 Unsur-unsur Dinamis Pembelajaran Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran dinamakan unsur-unsur dinamis pembelajaran. Sama halnya dengan unsur dinamis belajar, maka nnsur dinamis pembelajaran juga dapat mendukung (berpengaruh positif) atau sebaliknya menjadi penghambat (berpengaruh negatif). Faktor internal yang berpengaruh dalam proses pembelajaran dapat dibedakan menjadi faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis misalnya pendengaran, penglihatan, dan kondisi fisik. Sedangkan faktor psikologis, misalnya kecedasan, motivasi, perhatian, berpikir, dan ingatan.

Bedanya dengan faktor dinamis belajar di atas adalah internal yang dimaksud di dalam pembelajaran adalah dari segi guru (pelaku pembelajaran). Faktor eksternal belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan pembelajar dan sistem instruksional. Lingkungan belajar dapat dibedakan menjadi lingkungan dalam sekolah dan dan lingkungan luar sekolah. Sedangkan sistem instruksional antara lain kurikulum, bahan ajar, metode, media, dan evaluasi. Penjelasannya sama dengan faktor dinamis belajar di atas. Teori teori atau pendekatan reduksionisme sangat banyak dikemukakan didalam khazanah ilmu pendidikan. Dalam hal ini akan dibicarakan berbagai pendekatan reduksionisme sebagai berikut : v Pendekatan Pedagogis atau Pedagogisme v Pendekatan Fisolofis atau Filosofisme. v Pnedekatan Religius atau Religionisme. v Pendekatan Psikologis atau Psikologisme. v Pendekatan Negativis atau negativisme. v Pendekatan Sosiologis atau Sosilogisme. 1. Pendekatan Pedagogisme Titik tolak dari teori ini ialah anak yang dibesarkan menjadi dewasa, pandangan ini apakah berupa pandangan nativisme Schopenhaur serta penganut penganutnya yang beranggapan bahwa anak telah mempunyai kemampuan kemampuan yang dilahirkan dan tinggal dikembangkan saja atau apakah pandangan tersebut dari teori tabularasa atau empirisme John Locke yang mengatakan bahwa anak dilahirkan seperti kertas putih yang akan diisi oleh pendidikan. Pandangan pedagogisme ini memang mempunyai segi segi yang positif yang sangat menghormati perkembangan anak, namun juga mempunyai berbagai kelemahan karena anak seakan akan disolasikan dari kehidupan bersama didalam masyarakat. Pedagogisme melahirkan child centered education yang cenderung bahwa anak hidup didalam suatu masyarakat tertentu dan mempunyai cita cita hidup bersama yang tertentu pula. Memang child centered education tersebut antara lain merupakan reaksi terhadap pendidikan yang tidak melihat hakikat anak sebagai makhluk manusia yang hidup didalam dunianya sendiri sehingga perlu memperoleh perlakuan perlakuan khusus didalam proses mendewasakannya. 2. Pendekatan Fisiolofis Pendekatan fisolofis atau fisiolofisme mengenai pendidikan antara lain bertitik tolak dari pertentangan mengenai hakikat manusia dan hakikat anak. Anak manusia mempunyai hakikatnya sendiri dan berbeda dengan

hakikat orang dewasa, anak bukanlah orang dewasa didalam bentuknya yang kecil. Anak mempuyai nilai nilainya sendiri yang akan berkembang menuju kepada nilai nilai seperti orang dewasa, oleh sebab itu proses pendewasaan anak bertitik tolak dari anak sebagai anak manusia yang mempunyai tingkat tingkat perkembangannya sendiri. Pandangan ini sudah mulai ditinggalkan oleh karena ternyata manusia tidak pernah akan berhenti untuk memperoleh pendidikan, selain itu manusia itu akan terus menerus berkembang selama dia hidup. Dengan demikian pandangan bahwa pendidikan berakhir ketika manusia itu dewasa tidak relevan lagi di dalam dunia informasi dewasa ini dan pendidikan berlaku untuk seumur hidup. 3. Pendekatan Religius Pendekatan religius atau religionisme dianut oleh pemikir pemikir yang melihet hakikat manusia sebagai makhluk yang religius, dengan demikian hakikat pendidikan ialah membawa peserta didik menjadi manusia yang religius karena sebagai makhluk ciptaan Tuhan peserta didik itu harus dipersiapkan untuk hidup sesuai dengan harkatnya. Pendekatan religius mengenai hakikat pendidikan menekankan kepada pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik bagi kehidupannya diakhirat, oleh sebab itu pendidikan agama manjadi yang sentral dalam proses pendidikan. Proses pendidikan yang mempunyai citra religius ini dikenal dalam semua kebudayaan baik di Barat maupun di Timur. Namun demikian kemajuan ilmu pengetahuan yang sekuler tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral, jangan jangan pendidikan yang sekuler telah ikut memicu berbagai pihak berbagai peperangan serta kemunduran moral manusia dewasa ini. Di pihak lain kehidupan modern bukan hanya menuntut manusia manusia yang religius dan bermoral tetapi juga kehidupan yang menuntut penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk memerangi kemiskinan dan kemunduran hidup. Pendidikan hendaknya berfungsi bukan hanya untuk kehidupan akhirat tetapi juga untuk meningkatkan mutu kehidupan duniawi yang aman dan adil. 4. Pendekatan Psikologis Pendekatan psikologis atau psikologisme dalam pendidikan sangat kuat terutama pada tahap permulaan lahirnya ilmu pendidikan pada permulaan abad 20. Pandangan pandangan pedagogisme seperti yang telah diuraikan telah lebih memacu masuknya psikologi kedalam bidang ilmu pendidikan. Psikologisme cenderung mereduksi ilmu pendidikan menjadi ilmu proses belajar dan mengajar, dengan sendiriny pendekatan tersebut lebih memperkuat lagi pandangan pedagogisme seperti yang telah dijelaskan.

Hal tersebut telah mempersempit pandangan para pendidik seakan akan ilmu pendidikan terbatas pada ilmu mengajar saja, dan oleh sebab mengajar merupakan suatu tugas yang setua dengan manusia itu sendiri maka profesi pendidik mendapat penghargaan kurang dari profesi profesi lainnya. Dengan demikian pandangan pandangan pedagogisme serta psikologisme akan memperpuruk profesi pendidikan sebagai profesi yang tidak professional dan kurang bobot ilmiahnya. 5. Pendekatan Negativis Pendekatan negativis atau negativisme didalam urainan ini diambil dari pendapat filosof Bertrand Russel didalm bukunya yang terkenal Education and Social Order. Menurut beliau ada tiga teori yang sifatmya negatif yaitu : Teori yang menyatakan bahwa tugas pendidikan ialah menjaga pertumbuhan anak, didalam pertumbuhan itu perlu disingkirkan hal hal yang dapat merusak atau yang sifatnya negatif terhadap pertumbuhan itu. Ialah yang melihat pendidikan sebagai usaha mangembangkan kepribadian pesert didik atau dengan kata lain membudayakan individu. Pandangan ini di anggap sebagai pandangan yang negatif oleh karena didalam mengembangkan kepribadian anak implisif melindungi dari hal hal yang negatif yang menghalangi perkembangan kepribadiannya. Proses pendidikan adalah melatih peserta didik menjadi warga negara yang berguna. Pandangan ini berarti menghindarkan peserta didik dari hal hal yang mengakibatkan dia itu menjadi warga negara yang tidak berguna bagi masyarakatnya, pandangan ini tidak realistis oleh sebab seseorang didalam masyarakat akan menghadapi kenyataan hidup bermasyarakat yang penuh dengan hal hal yang positif maupun yang negatif. Pandangan pandangan negatif tersebut memang membawa proses pendidikan kepada suatu proses yang defensif atau protektif, dengan demikian tidak akan membawa peserta didik kepada pengambilan keputusan untuk berdiri sendiri dan bertanggung jawab. Oleh sebab itu proses pendidikan bukanlah suatu proses yang protektif tetapi yang memberikan kesempatan yang seluas luasnya untuk belajar berdiri sendiri dan mengambil keputusan sendiri secara moral. 6. Pendekatan Sosiologis Pandangan sosiologisme mengenai hakikat pendidikan terdapat versi yang bermacam macam, pada prinsipnya pandangan ini meletakkan hakikat pendiddikan kepada keperluan hidup bersama dalam masyarakat. Pandangan sosiologisme cenderung berlawanan arah dengan

pedagogisme, titik tolak dari pandangan ini prioritas kepada kebutuhan masyarakat dan bukan kepada kebutuhan individu. b.2.Pendekatan Holistik Integratif Pendekatan pendekatan reduksionisme melihat proses pendidikan, peserta didik dan keseluruhan perbuatan pendidikan termasuk lembaga lembaga pendidikan telah menampilkan pandangan pandangan ontologis maupun metafisis tertentu mangenai hakikat pendidikan. Pandangan pandangan tersebut tidak menampilkan hakikat pendidikan secara utuh tetapi sepihak berdasarkan sudut pandangan yang digunakan. Berdasarkan pengetahuan kita mengenai pendekatan reduksionisme terhadap hakikat khakikat pendidikan maka dapatlah dirumuskan suatu pengertian operasional mengenai hakikat pendidikan sebagai berikut : Hakikat pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global. Rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan tersebut diatas mempunyai komponen komponen sebagai berikut : Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan 1. Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan. Proses tersebut berimplikasikan bahwa di dalam peserta-didik terdapat kemampuan-kemampuan yang immanen sebagai makhluk yang hidup di dalam suatu masyarakat. Kemampuan-kemampuan tersebut berupa dorongan-dorongan, keinginan, elan vital, yang ada pada manusia. Kemampuan-kemampuan tersebut harus dikembangkan dan diarahkan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup atau dihidupkan dalam masyarakat.) Proses pendidikan yang berkesinambungan berarti bahwa manusia tidak pernah akan selesai. Pendidikan tidak berhenti ketika peserta-didik menjadi dewasa tetapi akan terus-menerus berkembang selama terdapat interaksi antara manusia dengan lingkungan sesama manusia serta dengan lingkungan alamnya 2. Proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia. Hal ini berarti eksistensi atau keberadaan manusia adalah suatu keberadaan interaktif. Tidak dapat kita bayangkan apabila interaksi manusia dilumpuhkan. Interaksi tersebut bukan hanya interaksi dengan sesama manusia tetapi juga dengan alam dan dunia ide termasuk dengan Tuhannya.Tanggung jawab manusia yang ditumbuhkembangkan melalui proses pendidikan bukan hanya mempunyai dimensi lokal tetapi juga berdimensi nasional dan global. 3. Eksistensi manusia yang memasyarakat. Proses pendidikan adalah proses mewujudkan eksistensi manusia yang memasyarakat, Proses itu sendiri tidak terjadi di dalam vacuum atau ruang hampa tetapi sekurangkurangnya terdapat unsur-unsur ibu, orang tua 1 pendidik formal dan

pendidik nonformal. Dengan kata lain manusia hanya eksis dalam masyarakatnya. Lembaga-lembaga pendidikan adalah prana sosial masyarakat yang ditugaskan untuk melaksankaan proses pendidikan secara sistematis. Dengan kata lain, tujuan atau visi pendidikan adalah kongruen dengan visi masyarakat di mana pendidikan itu berada. Karena proses pendidikan mengandalkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat maka dengan sendirinya proses pendidikan adalah penghayatan dan perwujudan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang hidup maupun karena inovasi nilai-nilai baru, 4. Proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya. Inti dari kehidupan bermasyarakat adalah nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut (perlu dihayati, dilestarikan, dikembangkan dan dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakatnya. Keseluruhan proses tersebut, adalah kebudayaan Di mana ada kebudayaan di situ ada pendidikan. Di mana ada pendidikan di situ ada kebudayaan. 5. proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi waktu dan ruang. Dengan dimensi waktu, p roses tersebut mempunyai aspek historistas, kekinian dan visi masa depan. Aspek historitas, berarti bawah suatu masyarakat telah berkembang di dalam proses waktu, yang menyejarah, berarti bahwa kekuatan-kekuatan historis telah menumpukj dan berasimilasi di dalam suatu proses kebudayaan. Demikianlah pendekatan hakikat pendidikan yang holistik inregratif yang merupakan suatu pandangan pengembangan manusia seutuhnya. Dengan demikian pendekatan-pendekatan reduksionis yang hanya melihat manusia itu dari suatu segi tertentu tidak menggambarkan keseluruhan hakikat manusia dan hakikat pendidikan. Pengembangan manusia seutuhnya melihat manusia itu atau peserta-didik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh Penciptanya berbagai potensi. Potensi-potensi yang beragam tersebut hanya dapat dikembangkan di dalam dan oleh masyarakat di mana seseorang menjadi anggotanya dan sekaligus mewujudkan suatu tata kehidupan tertentu dengan nilai-nilai tertentu yang pada dasarnya diarahkan kepada perwujudan nilai-nilai kemanusiaan sebagai ciptaan ilahi. Itulah manusia yang berbudaya. Dengan demikian pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Menggugurkan pendidikan dari proses pembudayaan merupakan alienasi dari hakikat manusia dan dengan demikian alienasi dari proses humanisasi. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia 6. Manusia berpendidikan dan manusia berbudaya Manusia yang berpendidikan adalah sama artinya dengar. manusia yang berbudaya. Rumusan ini benar karena lahir dari pengertian bahwa

pendidikan adalah aspek dari kebudayaan. Dengan demikian scoring yang lelah berkembang sesuai dengan kebudayaannya adalah juga seseorang yang telah memperoleh pendidikan yang bertujuan yang sama dengan perkembangan priadi di dalam kebudayaan di mana pendidikan itu berlangsung. 7. Mencari Konsep Manusia Indonesia Sebagaimana sulitnya kita menggambarkan mengenai bentuk rupa kebudayaan nasional Indonesia maka begitu pula sulitnya kita merumuskan konsep manusia Indonesia yanr jelas dan dapat disepakati oieh semua orang. Kesulitan tersebut disebabkan karena bukan saja masyarakat dan bangsa Indonesia yang bhinneka tetapi juga karena manusia itu sendiri bersifat multi dimensional. Hanyala manusialah makhluk yagn menyerajarah. Oleh sebab itu manusia akan terus menerus berkembang selama keberadaannya di dunia ini. 8. Pengembangan Manusia Indonesia Seutuhnya Apabila kita melihat rumusan pakar-pakar tersebut di atas yang tentunya masing-masing dilihat dari dimensi tertentu, dan belum dilihat manusia saeabagai multi dimensional, maka ada kebutuhan untuk melihat manusia itu sebagai keseluruhan. Maka lahirlah suatu tantangan yang ingin merumuskan pendidikan itu sebagai aktivitas untuk pembangunan manusia seutuhnya. Konsep pengembangan manusia seutuhnya muncul untuk mengimbangi konsep pendidikan yang mengarah kepada spesialisasi yagn sempit. Seorang spesialis yang sempit tidak melihat keahliannya itu di dalam keselurhan pola kehidupan yang menyeluruh. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pembelajaran atau mengajar adalah upaya guru untuk mengubah tingkah laku siswa. Hal ini disebabkan karena pembelajaran adalah upaya guru untuk supaya siswa mau belajar. Sedangkan belajar adalah perubahan tingkah laku siswa. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa mengajar bukan upaya guru untuk menyampaikan bahan, tetapi bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Komponen pembelajaran secara garis besar terdiri dari: 1 Tujuan. 2 Bahan. 3 Metode dan media pembelajaran. 4 Penilaian. Dalam pelaksanaan pembelajaran, disamping memperhatikan ke 5 komponen dasar di atas ternyata masih harus dipertimbangkan pula lingkungan untuk membentuk situasi yang menyenangkan di dalam pembelajaran. Dan perlu pula memperhatikan dari pelaku belajar (siswa)

dan pelaku pembelajaran (guru). Dari sini dapat ditunjukkan ciri-ciri pembelajaran, yaitu: 1 Adanya tujuan. 2 Adanya bahan yang sesuai dengan tujuan. 3 Adanya metode dan media pembelajaran. 4 Adanya penilaian. 5 Adanya situasi yang subur. 6 Adanya guru yang melaksanakan pembelajaran. 7 Adanya siswa yang melaksanakan belajar. 3.1.1 Jenis-jenis Pembelajaran 3.1.1.1 Jenis belajar berdasarkan cara mengorganisasi siswa. 1 Pembelajaran secara individual. 2 Pembelajaran secara kelompok. 3 Pembelajaran secara klasikal 3.1.1.2 Jenis Pembelajaran berdasarkan Pendekatan 1. Pendekatan Konsep 2. Pendekatan Keterampilan Proses 3. Pendekatan Expository 4. Pendekatan Discovery 5. Pendekatan Rekonstruksionalisme 6. Pendekatan Humanistik 3.1.2 Tujuan dan Unsur-unsur Dinamis Pembelajaran 3.1.2.1 Tujuan Pembelajaran 1. Tujuan Pendidikan Nasional. 2. Tujuan Institusional. 3. Tujuan Kurikuler 4. Tujuan Instruksional. 3.1.2.2 Unsur dinamis pembelajaran Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran dinamakan unsur-unsur dinamis pembelajaran. Sama halnya dengan unsur dinamis belajar, maka nnsur dinamis pembelajaran juga dapat mendukung (berpengaruh positif) atau sebaliknya menjadi penghambat (berpengaruh negatif). Faktor internal yang berpengaruh dalam proses pembelajaran dapat dibedakan menjadi faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis misalnya pendengaran, penglihatan, dan kondisi fisik. Sedangkan faktor psikologis, misalnya kecedasan, motivasi, perhatian, berpikir, dan ingatan. Bedanya dengan faktor dinamis belajar di atas adalah internal yang dimaksud di dalam pembelajaran adalah dari segi guru (pelaku pembelajaran). Faktor eksternal belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan pembelajar dan sistem instruksional. Lingkungan belajar dapat dibedakan menjadi lingkungan dalam sekolah dan dan lingkungan luar

sekolah. Sedangkan sistem instruksional antara lain kurikulum, bahan ajar, metode, media, dan evaluasi. Penjelasannya sama dengan faktor dinamis belajar di atas.
http://zaifbio.wordpress.com/2009/01/30/hakikat-pembelajaran/

You might also like