You are on page 1of 20

Pesa ntr en Dalam Si ste m Pen di di kan

Nas io nal

Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki


kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa.
Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah
Santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak
diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di
bidang pendidikan dan moral.

Perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan


terhadap pesantren, baik dari segi manajemen, akademik (kurikulum)
maupun fasilitas, menjadikan pesantren keluar dari kesan tradisional
dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa pesantren bahkan
telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak


saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga
karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga
agama tersebut. Karena keunikannya itu, C. Geertz menyebutnya
sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada
zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum
nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang
berbasis pada dunia pesantren.

Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis


sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan

1
masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk
masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok
pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat,
bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai
suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren
merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara
umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok
pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang
mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw
sekaligus melestarikan ajaran Islam.

Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk


mempertahankan nilai-niali keislaman dengan titik berat pada
pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri
yang belajar pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi
orang-orang yang mendalam pengetahuan keislamannya. Kemudian,
mereka dapat mengajarkannya kepada masyarakat, di mana para
santri kembali setelah selesai menamatkan pelajarannya di
pesantren.

Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan,


kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh
institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi,
sejak kapan mulai munculnya pesantren, belum ada pendapat yang
pasti dan kesepakatan tentang hal tersebut. Belum diketahui secara
persis pada tahun berapa pesantren pertama kali muncul sebagai

2
pusat-pusat pendidikan-agama di Indonesia. Pesantren yang paling
lama di Indonesia namanya Tegalsari di Jawa Timur. Tegalsari
didirikan pada ahkir abad ke-18, walaupun sebetulnya pesantren di
Indonesia mulai muncul banyak pada akhir abad ke-19.

Namun, jika melihat beberapa hasil studi yang dilakukan


beberapa sarjana, seperti Dhofier (1870), Martin (1740), dan
ilmuwan lainnya, ada indikasi bahwa munculnya pesantren tersebut
diperkirakan sekitar abad ke-19. Akan tetapi, terlepas dari
persoalan tersebut yang jelas signifikansi pesantren sebagai sebuah
lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan
masyarakat muslim pada masa itu.

Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan


oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah,
selain pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama dan
pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan gerakan-gerakan
protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana
gerakan protes tersebut selalu dimotori dari dan oleh para penghuni
pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya misalnya; pemberontakan
petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984) Jihad
Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak
1786-1875) dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat
dibantah bahwa pesantren mempunyai peran yang cukup besar
dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. (Steenbrink; 1984)

Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000


pesantren yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbeda
bentuk dan modelnya. Bahkan, dihuni tidak kurang dari tiga juta

3
santri. Pendidikan Islam sekarang di Indonesia kini begitu luas.
Sehingga, beranekaragam dan bagaimanapun aliran Islam yang
dianut oleh seseorang, pasti ada pesantren atau sekolah Islam yang
sesuai.

Karena itu, menurut Tholkhah, pesantren seharusnya mampu


menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut, 1) pesantren sebagai
lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama
(tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues); 2)
pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol
sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang
melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan
masyarakat (community development). Semua itu, menurutnya hanya
bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan
tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan
keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan
sebagai agent of change.

Pesantre n dan Tuntutan Pe rubahan Zaman

Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai


jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai
mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat
mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di
masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik
Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga, fungsi dan peran
pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tapi, penjelasan di

4
atas kiranya cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau
sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga
pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap
dipertahankan.

Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan pesantren di


Indonesia pada saat itu sama sekali belum testandardisasi secara
kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren
Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap pesantren
mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan
mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka
ikuti. Sehingga, ada pesantren yang menerapkan kurikulum
Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan menerapkan
juga kurikulum agama. Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin
memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja. Yang berarti
bahwa tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak
terbatasi.

Setelah kemerdekaan negara Indonesia, terutama sejak


transisi ke Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul
naik tajam, pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan
kurikulum pesantren menjadi lebih tetap. Misalnya, selain kurikulum
agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata
pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan
kurikulum Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio yang
ditetapkannya, yaitu 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen

5
mata pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan
kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.

Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam


membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya,
pesantren secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan
dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban,
kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren
mampu mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara
berkelanjutan.

Mengutip Sayid Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum
dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan
pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana.
Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan
semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu
berbenah diri.

Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan


kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan
orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia
dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab
dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern
lainnya.

Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini,


bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di
sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi
tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh

6
dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui
produk-produk teknologi.

Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga


pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia
unggul. Prinsip pesantren adalah al muhafadzah 'ala al qadim al
shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang
tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal
baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic
values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang
pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif,
berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat
manusia (al musawah bain al nas).

Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang


pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus
terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari
adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini,
dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan
perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.

Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam


melakukan pengembangannya, yaitu:

Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan


yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan
sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi
pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal

7
tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera
mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.

Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih


kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang
harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih
kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya
santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh
kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan
tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan
sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan
prasarana yang layak dan memadai.

Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia


dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam
rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren
dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian
yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia
dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang
berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi
pertimbangan pesantren.

Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan


networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan
pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih
terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di
daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan
pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.

8
Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan
unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih
terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi
dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum
optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian
(data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang
terstruktur.

Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan


keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas
pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan
pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren.
Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu
lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar,
bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.

Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan


masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan
wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila
melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan
kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang
keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang
bersifat keahlian. (Saifuddin Amir, 2006)

Forma t Pesantren Masa Depan

Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan


datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi

9
persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh
Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang
dimaksud hanya sebatas menejemen dan bukan coraknya apalagi
berganti baju dari salafiyah ke mu'asyir (moderen), karena hal itu
hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti yang
terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji.

Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi


tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai
kesalafannya. Pertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya
kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri
dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra
seperti kursus computer, bahasa inggris, skill lainnya dan program
paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formalnya. Atau dengan
menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan.
Jika hal ini terjadi, akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoha yang
mumpuni.

Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia


pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu
(mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan
sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama
lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para
murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di
sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau
pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak
didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru
pembimbing.

10
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu
dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka
ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi,
tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari
libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman
sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam
sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang
sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan
romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita,
sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua.

Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam dinamika


kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal
tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar
dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding
school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah
suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan
keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat.
Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama
di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal
dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama
bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah
lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan
plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda
karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula.

Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik


dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah

11
tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual
dan moralitas anak. Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang
semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas
kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan
mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka
yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik
dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan
mereka.

Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan


pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang
telah diterima orang tuanya. Ketiga, cara pandang religiusitas.
Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan
terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang
semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan
semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas
membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan
antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak
ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada
keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau
memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua
mencarikan sistem pendidikan alternatif.

Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school


seolah menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding
school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen
yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama
dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni

12
teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan
yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita.

Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang


paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena
itu anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui
berbagai layanan dan fasilitas. Terakhir dari segi semangat
religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang
antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual.
Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan
dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal soleh.

Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan


sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang.
Pemerintah diharapkan semakin serius dalam mendukung dan
mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, pesantren
menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis
pada nilai-nilai spiritual yang handal.

Pesantre n dalam Keb ijakan Sisdiknas

Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki


kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat
secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa
dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren
mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali
potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

13
Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung
jawab semua komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang
telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan
masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan.
Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa
dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah
diupayakan pemerintah.

Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi


tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh
perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah.
Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam
proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam
membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih,
dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan
mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus
inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak
menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.

Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung


kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat
mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh kemurniannya
sebagai lembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak
mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam.

14
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari
Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai
sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2)
Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan
pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian
madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan. Kegiatannya
terangkum dalam "Tri Dharma Pondok pesantren" yaitu: 1)
Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan
keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama,
masyarakat, dan negara.

Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren
sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini
belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran
Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan
usia perkembangan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren
dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan
penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai
berikut:

Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan


nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

15
demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah
berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak
lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban
bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada
keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.

Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan


Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai
suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan
dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan
mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi
segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini
masih berlaku dan dijalankan di pesantren. Karena itu, pesantren
sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan
nasional.

16
Tidak hanya itu, keberadaan pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah
mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang Sisdiknas. Ketentuan
mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan
bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin
eksistendi dan keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan
yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem
pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang
jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup
pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan,
dan khusus. Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang
concern di bidang keagamaan.

Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini


dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang
menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk
pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.

17
Labih jauh lagi, saat ini pesantren tidak hanya berfungsi
sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam
perkembangannya ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi
sebagai sarana pendidikan nonformal, dimana para santrinya
dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau
kecakapan hidup sesuai dengan bakat para santrinya. Ketentuan
mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam Pasal 26
yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi
warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan
kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan,
pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan,
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri
atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan
pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan
bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan,
kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri,
mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil

18
pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta


masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU
Sisdiknas. Pasal 54 menjelaskan: (1) Peran serta masyarakat dalam
pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga,
organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2)
Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan.

Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis


Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh
pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1)
Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis
masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan
kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan
masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi
pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan
standar nasional pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan
berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara,
masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat

19
memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain
secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Demikianlah, ternyata posisi pesantren dalam sistem


pendidikan nasional memilki tempat dan posisi yang istimewa.
Karena itu, sudah sepantasnya jika kalangan pesantren terus
berupaya melakukan berbagai perbaikan dan meningkatkan kualitas
serta mutu pendidikan di pesantren. Pemerintah telah menetapkan
Renstra pendidikan tahun 2005 - 2009 dengan tiga sasaran
pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu: 1)
meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2)
meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya
tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan
publik. Maka, dunia pesantren harus bisa merespon dan
berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di bidang pendidikan
tersebut. Pesantren tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot atau
terbelakang. Karena posisi pesantren dalam sistem pendidikan
nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan
formal lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

20

You might also like